LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR TERTUTUP PADA PERGELANGAN KAKI Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah IV
DISUSUN OLEH: 1. FEBRITA LAYSA SUSANA
P07120112060
2. NURUL DIAN RAHMALIA IKAWATI
P07120112068
3. RISKI OKTAFIAN
P07120112075 P07120112075
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA JURUSAN KEPERAWATAN 2014
FRAKTUR ANKLE
A.
Definisi Fraktur (patah tulang) pada ujung distal fibula dan tibia merupakan istilah
yang digunakan untuk menyatakan fraktur pergelangan kaki (ankle fracture). Fraktur ini biasanya disebabkan oleh terpuntirnya tubuh ketika kaki sedang bertumpu di tanah atau akibat salah langkah yang menyebabkan tekanan yang berlebihan (overstressing) pada sendi pergelangan kaki. Fraktur yang parah dapat terjadi pada dislokasi pergelangan kaki. Fraktur ankle itu sendiri yang dimaksudkan adalah fraktur pada maleolus lateralis (fibula) dan/atau maleolus medialis. Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan penopang badan dimana talus duduk dan dilindungi oleh maleolus lateralis dan medialis yang diikat dengan ligament. Dahulu, fraktur sekitar pergelangan kaki disebut sebagai fraktur Pott. Fraktur pada pergelangan kaki sering terjadi pada penderita yang mengalami kecelakaan (kecelakaan lalu lintas atau jatuh). Bidang gerak sendi pergelangan kaki hanya terbatas pada 1 bidang yaitu untuk pergerakan dorsofleksi dan plantar fleksi. Maka mudah dimengerti bila terjadi gerakangerakan di luar bidang tersebut, dapat menyebabkan fraktur atau fraktur dislokasi pada daerah pergelangan kaki. Bagian-bagian yang sering menimbulkan fraktur dan fraktur dislokasi yaitu gaya abduksi, adduksi, endorotasi atau eksorotasi.
B.
Epidemiologi Insidens sering terjadi pada : 1.
Fraktur pergelangan pergelangan kaki menduduki menduduki posisi kedua sebagai fraktur yang yang sering ditemukan.
2.
Fraktur
pada
anak-anak
pada
umunya
melibatkan
lempeng
pertumbuhan. 3.
Fraktur pada remaja (Fraktur (Fraktur Tillaux) memiliki pola khusus khusus karena penutupan parsial pada lempeng pertumbuhan.
4.
C.
Angka kejadian fraktur ini lebih tinggi pada kelompok dewasa muda.
Etiologi 1.
Fraktur pergelangan pergelangan kaki paling paling sering sering terjadi pada trauma akut, akut, seperti jatuh, salah langkah, atau cedera saat berolahraga
2.
Lesi patologis jarang menyebabkan fraktur pergelangan kaki
Kondisi yang Berkaitan dengan Fraktur Pergelangan Kaki
D.
1.
Keseleo pergelangan kaki (sprain ankle)
2.
Keseleo PTT (sprain PTT)
Klasifikasi Lauge-Hansen (1950) mengklasifikasikan menurut patogenesis terjadinya
pergeseran dari fraktur, yang merupakan pedoman penting untuk tindakan pengobatan atau manipulasi yang dilakukan. Klasifikasi yang sering dipakai adalah klasifikasi dari Danis –Weber yang berdasarkan pada level fraktur fibula. Klasifikasi lainnya adalah dari AO serta Lange-Hansen yang berdasarkan patogenesanya. Klasifikasi Danis – Weber adalah sebagai berikut : 1.
Weber type A Fraktur fibula dibawah tibiofibular syndesmosis yang disebabkan adduksi atau abduksi. Medial maleolus dapat fraktur atau deltoid ligamen robek.
2.
Weber type B Fraktur oblique dari fibula yang menuju ke garis syndesmosis. Disebabkan cedera dengan pedis external rotasi syndesmosisnya intak tapi biasanya struktur dibagikan medial ruptur juga.
3.
Weber type C Fibulanya patah diatas syndesmosis disebut C1 bila 1/3 distal dan C2 bila lebih tinggi lagi. Disebabkan abduksi saja atau kombinasi abduksi dan external rotasi. Syndsmosis & membrana interosseus robek juga.
E.
Patofisiologi Penyelidikan-penyelidikan mekanisme trauma pada sendi talocrural ini
telah dilakukan sejak lama sekali. Tapi baru setelah tahun 1942 oleh penemuanpenemuan berdasarkan penyelidikan eksperimentil pada preparat-preparat anatomik, Lauge Hansen dari Denmark berhasil melakukan pembagian dari jenis-jenis trauma serta berdasarkan pembagian ini hampir semua fraktur serta trauma dapat dibagi dalam 5 dasar mekanismenya.
1.
Trauma supinasi/Eversi Dalam jenis ini termasuk lebih dari 60% dari fraktur sekitar sendi talocrural.
2.
Trauma Pronasi/Eversi Tidak begitu sering, hanya kurang lebih 7 -- 8% fraktur sekitar sendi talocrural.
3.
Trauma Supinasi/Adduksi Antara 9 -- 15% dari fraktur sendir talocrural termasuk golongan ini.
4.
Trauma Pronasi/Abduksi Sekitar 6 -- 17% fraktur sendi talocrural.
5.
Trauma Pronasi/Dorsifleksi Sangat jarang terjadi tapi perlu disebutkan.
Fraktur maleolus dengan atau tanpa subluksasi dari talus, dapat terjadi dalam beberapa macam trauma: 1.
Trauma abduksi Tauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis yang bersifat oblik, fraktur pada maleolus medialis yang bersifat avulsi atau robekan pada ligamen bagian medial.
2.
Trauma adduksi Trauma adduksi akan menimbulkan fraktur maleolus medialis yang bersifat oblik atau avulsi maleolus lateralis atau keduanya. Trauma adduksi juga bisa hanya menyebabkan strain atau robekan pada ligamen lateral, tergantung dari beratnya trauma.
3.
Trauma rotasi eksterna Trauma rotasi eksterna biasanya disertai dengan trauma abduksi dan terjadi fraktur pada fibula di atas sindesmosis yang disertai dengan robekan ligamen medial atau fraktur avulsi pada maleolus medialis. Apabila trauma lebih hebat dapat disertai dengan dislokasi talus.
4.
Trauma kompresi vertikal Pada kompresi vertikal dapat terjadi fraktur tibia distal bagian depan disertai dengan dislokasi talus ke depan atau terjadi fraktur komunitif disertai dengan robekan diastasis.
F.
Manifestasi Klinis Pada fraktur pergelangan kaki penderita akan mengeluh sakit sekali dan
tak dapat berjalan. Ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki, kebiruan atau deformitas. Yang penting diperhatikan adalah lokalisasi dari nyeri tekan apakah pada daerah tulang atau pada ligamen. Nyeri pada pergelangan kaki dan ketidakmampuan menahan berat tubuh. Deformitas dapat timbul bersama dengan fraktur/dislokasi.
Sering juga
ditemukan pembengkakan dan ekimosis.
G.
Komplikasi 1.
Vaskuler Apabila terjadi fraktur subluksasi yang hebat maka dapat terjadi gangguan pembuluh darah yang segera, sehingga harus dilakukan reposisi secepatnya.
2.
Malunion Reduksi yang tidak komplit akan menyebabkan posisi persendian yang tidak akurat yang akan menimbulkan osteoarthritis.
3.
Osteoartritis
4.
Algodistrofi Algodistrofi adalah komplikasi dimana penderita mengeluh nyeri, terdapat pembengkakan dan nyeri tekan di sekitar pergelangan kaki. Dapat terjadi perubahan trofik dan osteoporosis yang hebat.
5.
H.
Kekakuan yang hebat pada sendi
Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan radiologik perlu dilakukan bilamana dicurigai adanya patah
tulang atau disangka adanya suatu robekan ligamen. Biasanya pemotretan dari dua sudut, anteroposterior dan lateral sudah akan memberikan jawaban adanya hal-hal tersebut. Pandangan oblique tidak banyak dapat menambah keterangan lain. Untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik mengenai permukaan sendi talocrural, suatu pandangan anteroposterior dengan kaki dalam inversi dapat dilakukan. Suatu stress X-ray dapat dibuat untuk melihat berapa luas robekan dari ligamen, hal ini terutama berguna untuk ligamenta lateral. Diastasis sendi (syndesmosis) tibiofibular distal penting sekali untuk dikenali. Tapi tidak ada
suatu cara khusus untuk melihat luasnya diastasis ini. Suatu fraktur fibula diatas permukaan sendi talocrural (dapat sampai setinggi 1/3 proksimal fibula) secara tersendiri (tanpa fraktur tibia pada ketinggian yang sama), selalu harus diperhatikan akan kemungkinan adanya suatu diastasis. Diastasis juga jelas bila ada subluksasi talus menjauhi malleolus medialis. Tapi bila tidak terdapat subluksasi ini, belum berarti tidak adanya suatu diastasis.
Gambar 6. Rotgen Fraktur Ankle
I.
Penatalaksanaan Fraktur Ankle 1.
Reduksi fraktur terbuka atau tertutup Tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
2.
Imobilisasi fraktur Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
3.
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan, pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri, status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau, latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah
4.
Langkah Umum a.
Analgesik dan elevasi adalah terapi yang harus dilakukan.
b.
Semua fraktur pergelangan kaki harus dipasangi splint dalam posisi netral.
c.
Fraktur fibula yang terisolasi atau fraktur malleolus media yang tak bergeser harus dipasangi casting below-the-knee.
d.
Fraktur stabil harus diterapi secara fungsional dengan splint udara dan peningkatan fungsi weightbearing secara bertahap.
e.
Kesesuaian sendi pergelangan kaki penting untuk dipikirkan ketika melakukan reduksi pada arthritis post-trauma.
f.
Dislokasi harus secepatnya di reduksi dengan menggunakan sedasi yang sesuai.
g.
Pasien yang mengalami fraktur terbuka harus dimasukan ke ruang operasi untuk dilakukan irigasi, debridement, dan fiksasi dalam jangka waktu 8 jam.
h.
Pasien dilarang bertumpu pada pergelangan kaki yang mengalami fraktur hingga tidak ada lagi nyeri dan tanda-tanda penyembuhan fraktur telah tampak pada gambaran radiologis.
i.
Fraktur bimalleolar atau fraktur fibula dengan cedera ligament media atau cedera syndesmosis hanya dapat diterapi dengan melakukan operasi.
5.
Aktivitas a.
Pergelangan
kaki
harus
diangkat
untuk
mengurangi
pembengkakan. b.
Weightbearing dan ROM yang lebih dini sangat penting dilakukan untuk mencegah kekakuan.
6.
Perawatan Penggosokan pada splint atau cast sebaiknya tidak dilakukan.
7.
Terapi Fisik ROM pada sendi MTP dan, kemudian, pada pergelangan kaki dan pertengahan kaki penting dilakukan untuk mencegah kontraktur dan mengurangi parut jaringan lunak.
8.
Medikamentosa a.
Lini Pertama : Analgesik
b.
Operasi Selain persoalan yang terdapat mengenai tindakan operatip pada
fraktur yang tidak stabil ada beberapa trauma pada sendi talocrural yang memang merupakan indikasi untuk tindakan operatip, seperti : 1)
Fraktur Malleolus medialis dengan interposisi jaringan lunak.
2)
Diastasis syndesmosis Tibiofibular inferior (distal).
3)
Fraktur
Posterior
marginal
(VOLKMAN
Striangle)
daritibia,
bilamana lebih dari 1/3 permukaan sendi. 4) 9.
Fraktur Anterior marginal dari Tibia (Pronation/dorsiflexion injury).
Follow Up a.
Gambaran radiografi pasien harus di-follow up tiap 1-2 minggu
b.
Setelah splint awal dilepaskan, pasien sebaiknya dipasangi cast below-the-knee atau moon boot selama 4 minggu.
c.
Setelah itu gambaran radiografi di-follow up lagi tiap 6 minggu hingga fraktur sembuh.
10. Disposisi 11. Rujukan Fraktur tidak stabil atau yang bergeser harus segera dirujuk ke dokter spesialis ortopedi.
J.
Prognosis Pada umumnya fraktur pergelangan kaki dapat sembuh tanpa komplikasi
dan pasien dapat kembali beraktivitas sebagaimana biasanya. 1.
Pada fraktur yang parah, lepuhan dapat timbul dan menyebabkan gangguan pada integritas kulit.
2.
Lesi tendon peroneal dapat disebabkan oleh plat posterior antiglide.
3.
Piranti keras yang menyakitkan harus dilepaskan segera setelah fraktur sembuh.
4.
Sindrom kompartemen.
5.
Fraktur terbuka dapat mengalami infeksi dan membutuhkan irigasi dan deridemen
6.
Nonunion,sering membtuhkan operasi fusi.
7.
Malunion, kadang-kadang membutuhkan osteotomy korektif
8.
Pada pasien tua memiliki tulang osteoporotik, yang menyulitkan proses operasi.
9.
Lebih rentan mengalami kerusakan kulit atau luka, dan membutuhkan terapi khusus untuk memastikan asupan darah tetap lancar.
10. Artritis pasca-trauma: a. Terjadi pada 25% pasien yang mengalami fraktur pergelangan kaki dan membutuhkan fusi pergelangan kaki untuk mengatasinya. b. Terjadi
peningkatan
jumlah
pasien
yang
mengalami
nyeri
pergelangan kaki dan arthritis yang berbanding lurus dengan panjangnya masa follow up setelah fraktur. 11. Pengawasan Pasien Pemeriksaan radiografi harus dilakukan tiap 2-6 minggu, tergantung pada pola fraktur dan tanda-tanda penyembuhan.
K.
Pemeriksaan Fisik 1.
Pengkajian primer a.
Airway
: Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh
adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk. b.
Breathing
: Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan
napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi. c.
Circulation
: Tekanan darah dapat normal atau meningkat ,
hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
2.
Pengkajian sekunder a.
Aktivitas/istiraha
: Kehilangan fungsi pada bagian yang
terkena dan Keterbatasan mobilitas. b.
Sirkulasi
: Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon
nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah), tachikardi, penurunan nadi pada bagian distal yang cidera, cailary refil melambat, pucat pada bagian yang terkena, dan masa hematoma pada sisi cedera.
c.
Neurosensori
:
Kesemutan,
deformitas,
krepitasi,
pemendekan, dan kelemahan d.
Kenyamanan
:Nyeri tiba-tiba saat cidera dan spasme/
kram otot e.
Keamanan
:Laserasi
kulit,
perdarahan.
perubahan
warna dan pembengkakan lokal Palpasi pada daerah yang terpengaruh dan menginspeksi tiap patahan pada kulit atau tenting. Memeriksa pulsasi arteri dorsalis pedis dan tibia posterior dan semua saraf sensoris maupun motoris pada kaki. Cederan inverse pada pergelangan kaki dapat menyebabkan palsy nervus peroneus. Memeriksa ada tidaknya pembengkakan yang parah dan kemungkinan terjadinya sindrom kompartemen pada kaki.
L.
ASUHAN KEPERAWATAN 1.
Anamnesa a.
Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b.
Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan: 1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri. 2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk. 3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi. 4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien
menerangkan
seberapa
jauh
rasa
sakit
mempengaruhi
kemampuan fungsinya. 5) Time:
berapa
lama
nyeri
berlangsung,
kapan,
apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. c.
Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui
mekanisme
terjadinya
kecelakaan
bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain d.
Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk
berapa
lama
tulang
tersebut
akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik
dan
juga
diabetes
menghambat
proses
penyembuhan tulang e.
Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic
f.
Riwayat Psikososial Merupakan
respons
emosi
klien
terhadap
penyakit
yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
g.
Pola-Pola Fungsi Kesehatan 1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat
steroid
yang
dapat
mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak 2) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap
menentukan
pola
penyebab
nutrisi
klien
masalah
bisa
membantu
muskuloskeletal
dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama
pada
lansia. Selain
itu
juga
obesitas
juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien. 3) Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan
pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. 4) Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
5) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain 6) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap 7) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan
akibat
frakturnya,
rasa
cemas,
rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) 8) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur 9) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya 10) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien b.
Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. 1)
Gambaran Umum Perlu menyebutkan: a)
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti: (1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien. (2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. (3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b)
Secara sistemik dari kepala sampai kelamin (1) Sistem Integumen Terdapat
erytema,
suhu
sekitar
daerah
trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan. (2) Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala. (3) Leher Tidak
ada
gangguan
yaitu
penonjolan, reflek menelan ada.
simetris,
tidak
ada
(4) Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema. (5) Mata Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan) (6) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. (7) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. (8) Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat. (9) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris. (10) Paru (a) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru. (b) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. (c) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya. (d) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. (11) Jantung (a)
Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung. (b)
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c)
Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. (12) Abdomen (a)
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. (b)
Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. (c)
Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. (d)
Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit. (13)
Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2)
Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: a)
Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: (1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). (2) Cape au lait spot (birth mark). (3) Fistulae. (4) Warna
kemerahan
atau
kebiruan
(livide)
atau
hyperpigmentasi. (5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). (6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa) b)
Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah: (1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time à Normal > 3 detik (2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. (3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya. c)
Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah
melakukan
pemeriksaan
feel,
kemudian
diteruskan
dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. 2.
Pemeriksaan Diagnostik
a.
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai
penunjang,
pemeriksaan
yang
penting
adalah
“pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan
penunjang
dan
hasilnya
dibaca
sesuai
dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray: 1)
Bayangan jaringan lunak.
2)
Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi. 3)
Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4)
Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti: 1)
Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. 2)
Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. 3)
Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa. 4)
Computed
Tomografi-Scanning:
menggambarkan
potongan
secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu st ruktur tulang yang rusak. b.
Pemeriksaan Laboratorium
1)
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
2)
Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. 3)
Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang. c.
Pemeriksaan lain-lain
1)
Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi. 2)
Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. 3)
Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur. 4)
Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan. 5)
Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang. 6)
MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL 1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi. 2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti) 3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) 4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang) 6. Kurang
pengetahuan
tentang
kondisi,
prognosis
dan
kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
RENCANA KEPERAWATAN NO DX 1
DIANGOSA KEPERAWATAN DAN KOLABORASI Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
TUJUAN (NOC)
INTERVENSI (NIC)
NOC v Pain Level, v Pain control, v Comfort level Kriteria Hasil : 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5. Tanda vital dalam rentang normal
NIC Pain Management 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 4. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau 5. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau 6. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 7. Kurangi faktor presipitasi nyeri 8. Ajarkan tentang teknik non farmakologi 9. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 10. Tingkatkan istirahat 11. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil 12. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
2
Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
NOC : NIC : v Respiratory Status : Gas exchange Airway Management v Respiratory Status : ventilation 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau v Vital Sign Status jaw thrust bila perlu Kriteria Hasil : 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 1. Mendemonstrasikan peningkatan 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat ventilasi dan oksigenasi yang jalan nafas buatan adekuat 4. Pasang mayo bila perlu 2. Memelihara kebersihan paru paru 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu dan bebas dari tanda tanda 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction distress pernafasan 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara 3. Mendemonstrasikan batuk efektif tambahan dan suara nafas yang bersih, tidak 8. Lakukan suction pada mayo ada sianosis dan dyspneu (mampu 9. Berika bronkodilator bial perlu mengeluarkan sputum, mampu 10. Barikan pelembab udara bernafas dengan mudah, tidak ada 11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan pursed lips) keseimbangan. 4. Tanda tanda vital dalam rentang 12. Monitor respirasi dan status O2 normal Respiratory Monitoring 1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi 2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal 3. Monitor suara nafas, seperti dengkur 4. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot 5. Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis) 6. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
3
Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).
NOC : v Joint Movement : Active v Mobility Level v Self care : ADLs v Transfer performance Kriteria Hasil : 1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik 2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas 3. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah 4. Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
7. Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan napas utama 8. auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya Latihan Kekuatan Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan program latihan secara rutin Latihan untuk ambulasi 1. Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan keluarga. 2. Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker 3. Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang aman. Latihan mobilisasi dengan kursi roda 1. Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi roda & cara berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya. 2. Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh 3. Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda Latihan Keseimbangan Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat mengatur posisi secara mandiri dan menjaga keseimbangan selama latihan ataupun dalam aktivitas sehari hari. Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar 1. Ajarkan pada klien/ keluarga untuk mem perhatikan postur tubuh yg benar untuk menghindari kelelahan, keram & cedera.
2. Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latihan. 4
Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
NOC : v Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes Kriteria Hasil : 1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan 2. Melaporkan adanya gangguan sensasi atau nyeri pada daerah kulit yang mengalami gangguan 3. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang 4. Mampumelindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami NOC : v Immune Status v Risk control
5
Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur Kriteria Hasil : invasif/traksi tulang) 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 3. Jumlah leukosit dalam batas normal 4. Menunjukkan perilaku hidup sehat
NIC : Pressure Management 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar 2. Hindari kerutan padaa tempat tidur 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien 8. Monitor status nutrisi pasien 9. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
NIC : Infection Control (Kontrol infeksi) 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain 2. Pertahankan teknik isolasi 3. Batasi pengunjung bila perlu 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung 8. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum 10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing 11. Tingktkan intake nutrisi 12. Berikan terapi antibiotik bila perlu Infection Protection (proteksi terhadap infeksi) 1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal 2. Monitor hitung granulosit, WBC 3. Monitor kerentanan terhadap infeksi 4. Batasi pengunjung 5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular 6. Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko 7. Pertahankan teknik isolasi k/p 8. Berikan perawatan kuliat pada area epidema 9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase 10. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah 11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup 12. Dorong masukan cairan 13. Dorong istirahat 14. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep 15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi 16. Ajarkan cara menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi 18. Laporkan kultur positif 6
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
NOC : NIC : v Kowlwdge : disease process Teaching : disease Process v Kowledge : health Behavior 1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan Kriteria Hasil : pasien tentang proses penyakit yang spesifik v Pasien dan keluarga menyatakan 2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan pemahaman tentang penyakit, kondisi, bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi prognosis dan program pengobatan dan fisiologi, dengan cara yang tepat. v Pasien dan keluarga mampu 3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul melaksanakan prosedur yang dijelaskan pada penyakit, dengan cara yang tepat secara benar 4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang v Pasien dan keluarga mampu tepat menjelaskan kembali apa yang dijelaskan 5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara perawat/tim kesehatan lainnya yang tepat 6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat 7. Hindari harapan yang kosong 8. Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat 9. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit 10. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan 11. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan 12. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
13. Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat 14. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
DAFTAR PUSTAKA Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3 . EGC. Jakarta Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta. Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya Johnson, M., et
all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3 . Jakarta: Media Aesculapius Mc Closkey, C.J., et all . 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006 . Jakarta: Prima Medika Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.