16
Bab I
Pendahuluan
Latar belakang
Vitamin D adalah vitamin larut lemak yang memiliki struktur molekul steroid (Dusso et al., 2005). Vitamin D bukan sepenuhnya vitamin karena kebutuhannya dapat dipenuhi tidak hanya dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin D tapi dapat juga disintesis oleh tubuh dengan bantuan pajanan sinar matahari (Dusso et al., 2005 dan Visser, 2003). Saat ini telah diakui bahwa vitamin D dimetabolisme di dalam tubuh menjadi metabolit yang merupakan suatu hormon steroid 1,25-dihydroxyvitamin D3 [1,25(OH)2D3] atau calcitriol. Berbagai penelitian memfokuskan pada interaksi metabolit vitamin D tersebut dengan vitamin D reseptor (VDR), yang merupakan bagian dari kelompok reseptor steroid. Kemampuan 1,25(OH)2D3 dalam menghambat pertumbuhan dan merangsang diferensiasi berbagai tipe sel membuka kemungkinan kemampuan lain dari vitamin D dalam mencegah kanker, memodulasi sistem imun dan mengatur beberapa sistem endokrin. Hal ini dibuktikan dengan berbagai penelitian epidemiologi yang memberikan bukti nyata tentang hubungan antara defisiensi vitamin D dengan kejadian kanker, penyakit autoimun, hipertensi dan diabetes (Dusso et al., 2005).
Sistem imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan oleh kelainan sistem imun, yaitu lupus erimatosus sistemik (LES). Pada pasien LES cenderung terjadi defisiensi vitamin D akibat fotosensitivitas (Irastorza et al., 2008). Rendahnya kadar vitamin D menjadi faktor resiko berkembangnya LES (Costendaber et al., 2008).
Provitamin D terutama ditemukan pada makanan yang berasal dari hewan. Vitamin D natural ditemukan di minyak ikan, yang merupakan sumber vitamin A dan D, selain itu vitamin D dapat ditemukan pada telur, mentega, hati, dan makanan yang berasal dari ikan yang berminyak seperti mackerel, salmon, sardines dan herring. Saat ini banyak makanan yang sudah ditambahkan vitamin D terutama ke dalam susu atau sereal. Makanan yang berasal dari tumbuhan biasanya mengandung kadar vitamin D yang rendah. Hal ini menyebabkan seorang vegetarian harus memakan suplemen vitamin D sekitar 400 IU per hari (Janssen et al., 2003).
Pada tulisan ini mencoba membahas Perkembangan vitamin D terkait farmakologi dan fisiologi molekulernya. Selain itu juga akan dibahas mengenai peran vitamin D sebagai bagian dari sistem endokrin termasuk mekanisme yang memfasilitasi pengangkutan metabolit vitamin D, dan potensial efek dari 1,25(OH)2D3.
Tujuan Makalah
Mengetahui Perkembangan vitamin D terkait farmakologi dan fisiologinya dalam tubuh serta peranan vitamin D.
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi Vitamin D
Vitamin D adalah grup vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan Union of Pure and Applied Chemist (IUPAC) vitamin D dikenal juga dengan nama kalsiferol. Vitamin D berperan dalam pembentukan struktur tulang dan gigi yang baik. Sumber vitamin D bisa diperoleh dari jeruk, strawberi, tomat, brokoli, dan sayuran hijau lainnya (Kim, 1983).
Terdapat dua bentuk aktif vitamin D, yaitu Vitamin D2 dan vitamin D3. Vitamin D2 dikenal dengan nama ergokalsiferol berasal dari turunan kolesterol dan banyak diperoleh pada ragi dan tanaman (Holick, 2007). Vitamin D3 dikenal dengan nama kolekalsiferol, berasal dari turunan senyawa 7-dehidrokolesterol, paling banyak ditemukan pada kulit manusia. Pada ginjal, vitamin D dikonversi menjadi bentuk aktif yang disebut 1,25-dihidroxycholecalciferol [1,25(OH)2D3] atau kalsitriol.
Gambar 1. Struktur kimia vitamin D2 dan vitamin D3(Holick, 2007).
2.2. Metabolisme Vitamin D
Kebutuhan vitamin D dipenuhi melalui diet dan pajanan sinar matahari di kulit. Pajanan sinar matahari ke kulit menginduksi konversi fotolitik dari 7-dehydrocholesterol menjadi previtamin D3 yang diikuti oleh isomeriasi termal vitamin D3. Bila kulit terpajan sinar matahari atau sumber penyinaran artifisial tertentu, radiasi ultraviolet memasuki epidermis dan menyebabkan transformasi 7,8-dehydrocholesterol ke vitamin D3 (cholecalciferol). Selanjutnya vitamin D3 dibawa ke hati dan dimetabolisir menjadi 25(OH)D oleh mitokondria hati dan enzim mikrosom. Pembuatan 25(OH)D di hati diatur oleh mekanisme umpan balik, yakni peningkatan konsumsi diet dan produksi endogen vitamin D3. Setelah pembentukan di hati, 25(OH)D akan dibawa ke ginjal oleh protein pengikat vitamin D (Vitamin D binding protein) dan mendapat tambahan C1 dan C24. Aktivitas 25(OH)D di mitokondria ginjal ditingkatkan oleh hipokalsemia dengan meningkatkan konversi 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D (Baeke et al., 2010).
Gambar 2. Proses Metabolisme Vitamin D (Baeke et al., 2010)
Dalam proses bioaktifasi vitamin D formasi bentuk 1,25(OH)2D dari 25(OH)D dalam kondisi fisiologi normal, utamanya dilakukan di ginjal, tetapi ternyata terdapat beberapa organ lain yang dapat melakukan perubahan tersebut terutama dalam kondisi spesifik (kehamilan, gagal ginjal kronik, sarkoidosis, tuberkulosis, kelainan granulomatosa dan rheumatoid arthritis). Setelah menjadi metabolit aktif vitamin D (1,25(OH)2D3 maka vitamin D dapat dimanfaatkan oleh berbagai jaringan perifer (gambar 2).
Gambar 2. Target vitamin D dalam tubuh (Baeke et al., 2010)
1,25(OH)2D yang diproduksi di ginjal dan plasenta, pertama berikatan dengan protein pengikat vitamin D dibawa ke berbagai target organ, lalu bentuk bebas diambil oleh sel serta dibawa ke protein reseptor inti khusus. Reseptor vitamin D (VDR) merupakan reseptor golongan steroid-retinoid-thyroid hormone-vitamin D. VDR berinteraksi dengan reseptor asam retinoic X (RXR) ke bentuk kompleks heterodinamik (RXR-VDR) dan mengikat DNA spesifik dinamakan vitamin D respon elemen (VDRE) pada promotor region yang selanjutnya terlibat dalam proses Ikatan RNA pollymerase ke start site transkripsi atau membantu mengurai chromatin pada site gen melalui rekruitmen histone acetyl transferases (HAT), yang memungkinkan terjadinya proses transkripsi (gambar 3) (Bikle, 2009).
Gambar 3. Jalur vitamin D reseptor (Bikle, 2009)
2.3. Sistem Regulasi Vitamin D
Regulasi sekresi hormon
1,25-dihidroksivitamin D (1,25(OH)2D3) berperan penting dalam mengatur sekresi hormon untuk menjaga homeostasis mineral tulang dalam batas normal dan juga sekresi insulin (Bikle, 2009):
Para Thyroid Hormon (PTH)
1,25-dihidroksivitamin D (1,25(OH)2D3) menghambat sintesis dan sekresi PTH serta mencegah proliferasi kelenjar tiroid. Gen paratiroid mengandung VDREs negatif akibat supresi 1,25(OH)2D3. PTH menstimulasi produksi 1,25(OH)2D di ginjal dan inhibisi produksi dan sekresi PTH melalui mekanisme umpan balik.
Insulin
1,25-dihidroksivitamin D (1,25(OH)2D3) menstimulasi sekresi insulin melalui mekanisme yang belum jelas.
Fibroblast Growth Factor-23 (FGF23)
Fibroblast Growth Factor-23 (FGF23) terutama dihasilkan di tulang khususnya oleh osteoblas dan osteosit. Mekanisme 1,25(OH)2D3 menstimulasi proses ini belum diketahui secara jelas.
Regulasi proliferasi dan diferensiasi (Bikle, 2009):
Epidermis dan folikel rambut
Secara fisiologis, epidermis tidak hanya dapat membuat vitamin D akan tetapi juga dapat mengubahnya menjadi 1,25(OH)2D3 pada sel yang sama. 1,25(OH)2D3 memungkinkan keratinosit untuk meningkatkan respon imun innate dan menekan mekanisme autoimun. Selain itu, 1,25(OH)2D3 juga meningkatkan diferensiasi keratinosit dan menghambat proliferasi.
Kanker
1,25-dihidroksivitamin D (1,25(OH)2D3) memiliki aktivitas anti kanker yang potensial. Ada beberapa sel ganas yang mengekspresikan VDR, sehingga 1,25(OH)2D3 diharapkan dapat berperan dalam pencegahan dan pengobatan keganasan termasuk efek antiproliferasi, prodiferensiasi pada sebagian besar jenis sel. Secara khusus 1,25(OH)2D3 menstimulasi ekspresi inhibitor siklus sel p21 dan p27 serta ekspresi molekul adhesi sel, E-cadherin, dan menginhibisi aktivitas transkripsional catenin. Pada keratinosit, 1,25(OH)2D3 meningkatkan perbaikan terhadap kerusakan DNA yang diinduksi oleh radiasi UV, mengurangi apoptosis dan meningkatkan daya tahan setelah radiasi UV dan meningkatkan p53.
Regulasi fungsi imun :
Peranan vitamin D dan metabolit aktifnya 1,25(OH)2D3 dalam memodulasi respon imun didasarkan atas (Bikle, 2009) :
Adanya VDR pada makrofag, sel monosit, sel limfosit T dan B yang teraktivasi.
Kemampuan makrofag, sel dendritik, sel T dan B teraktivasi untuk mengekspresikan CYP27B1 (enzim yang memproduksi 1.25(OH)2D3).
Kemampuan 1,25(OH)2D3 untuk mengatur proliferasi dan fungsi makrofag, sel dendritik, serta sel T dan B .
Vitamin D sebagai sistem endokrin memiliki kemampuan dalam mengontrol infeksi, penyakit autoimun dan toleransi pada transplantasi organ. Hal ini berdasarkan kemampuan 1,25(OH)2D3 yang mempunyai efek prodiferensiasi dari makrofag monosit, antigen presenting cell (APC), sel dendritik (DC), dan limfosit (Dusso et al., 2005).
1,25(OH)2D3 juga berfungsi sebagai ajuvan bagi vaksin, mekanismenya adalah 1,25(OH)2D3 menginduksi p21 dan C/EBPβ yang dapat memediasi peningkatan fungsi imun makrofag-monosit, 1,25(OH)2D3 menginduksi p21 yang berperan secara langsung pada proses diferensiasi monosit menjadi makrofag matang. C/EBPβ adalah faktor transkripsi yang penting bagi makrofag yang berfungsi sebagai antibakteria, antivirus, dan antitumor, dan penting juga dalam sintesis IL-12, sebuah sitokin yang memediasi potensi fungsi Th1. 1,25(OH)2D3 menginduksi ekspresi C/EBPβ di sel makrofag yang berkontribusi pada peningkatan diferensiasi monosit menjadi makrofag yang dimediasi oleh 1,25(OH)2D3, fungsi imun, dan kemampuan tubuh melawan bakteria, dan pertumbuhan sel tumor (Ginanjar et al., 2007).
Secara umum, mekanisme yang mendasari kemampuan 1,25(OH)2D3 dalam aksi imunitas merupakan reaksi feedback dari parakrin untuk mengurangi inflamasi atau mempengaruhi diferensiasi sel T CD4 dan atau meningkatkan fungsi
Gambar 4. Peranan Vitamin D terhadap sistem Imunitas (Nagpal et al., 2001)
2.4. Peranan Klasik Vitamin D
Vitamin D sebagai sistem endokrin adalah komponen penting dalam interaksi antara ginjal, tulang, hormon paratiroid, dan usus yang hasilnya menjaga kadar kalsium ekstraseluler selalu dalam batas normal sehingga dapat berguna dalam proses vital fisiologi dan integritas skeletal (Dusso et al., 2005 dan Akizawa et al., 2003).
Di usus, peranan vitamin D sangat penting dalam proses absorpsi kalsium dan fosfat dari makanan. 1,25(OH)2D3 merangsang mekanisme mengambilan dan transpor kalsium secara aktif ditingkat seluler. Di skeleton, vitamin D mempunyai peranan yang sangat penting untuk pembangunan dan pemeliharaan mineralisasi skeleton. Pertumbuhan dari tulang membutuhkan kalsium dan 1,25(OH)2D3 membuat formasi osteoblastik tulang yang optimal. Selain itu resorpsi osteoklastik juga sangat membutuhkan 1,25(OH)2D3 dan VDR. Komponen tersebut sangat dibutuhkan sehingga bila tidak ada satu komponen saja maka proses keseimbangan di skeleton tidak akan berlangsung dengan baik (Dusso et al., 2005 dan Moe et al., 2006).
Di kelenjar paratiroid, vitamin D merupakan suatu sistem endokrin yang sangat berpotensi sebagai modulator dari fungsi paratiroid. Dimana defisiensi vitamin D menyebabkan hiperplasia dari paratiroid yang akibatnya terjadi peningkatan sintesis dan sekresi PTH. Pemberian 1,25(OH)2D3 akan menghambat sintesis PTH dan pertumbuhan sel paratiroid sehingga pemberian 1,25(OH)2D3 sebagai terapi bagi hiperparatiroidisme pada pasien gagal ginjal kronik (Dusso et al., 2005 dan Akizawa et al., 2003).
Di ginjal, peran terpenting dari efek endokrin 1,25(OH)2D di ginjal adalah kontrol yang ketat dari hemostasisnya sendiri melalui mekanisme supresi dari 1α-hydroxylase dan menstimulasi 24-hydroxylase dan melalui ekspresi dari megalin di tubulus proksimal (Dusso et al., 2005 dan Rallof, 2004).
2.5. Peranan Non Klasik Vitamin D
Berbagai penelitian genetika, nutrisi dan epidemiologi, serta bukti ilmiah terbaru yang berkaitan dengan defisiensi vitamin D tidak hanya berhubungan dengan gangguan dari hemostasis kalsium tetapi juga banyak yang berkaitan dengan hipertensi, fungsi otot, imunitas dan kemampuan menahan infeksi, penyakit autoimun dan kanker. Pada bagian ini akan sedikit dibahas tentang peran vitamin D selain dari perannya secara klasik yang memelihara homeostasis kalsium dan sistem skeleton (Dusso et al., 2005).
Supresi pertumbuhan sel. Abe dan kawan-kawan mendapatkan bahwa 1,25(OH)2D3 menghambat proliferasi klonal dari berbagai varietas sel leukemia pada manusia. Selain itu 1,25(OH)2D3 juga merangsang diferensiasi sel secara normal dan membuat prekursor sel leukemia mieloid menjadi lebih matur dan kurang agresif. Hasil dari penelitian ini membuka beberapa penelitian baru yang mencoba membuktikan potensi dari calcitriol sebagai terapi dari leukemia dan kelainan mieoproliperatif. Peranan protektif vitamin D terhadap kejadian kanker juga dibuktikan dengan hubungan yang kuat secara epidemiologi antara kanker prostat, mammae dan kolon dengan defisiensi vitamin D. Aksi antiproliferatif dari vitamin D lebih bersifat autokrin dibandingkan endokrin (Dusso et al., 2005 dan Rallof, 2004). Mekanisme yang menjadi hipotesisnya adalah mengkaitkan sistem 1,25(OH)2D3-VDR yang memblok siklus sel kanker pada transisi antara G1-G0 melalui berbagai cara antara lain (Dusso et al., 2005 dan Rallof, 2004) :
1,25(OH)2D3 menginduksi transkripsi gen cyclin-dependent kinase inibitor p21 sehingga dapat membuat terhentinya pertumbuhan sel kanker dan merangsang diferensiasi sel monosit-makrofag.
1,25(OH)2D3 menginduksi sintesis dan atau stabilisasi cyclin-dependent kinase inibitor p27 sehingga mencegah terjadinya degradasi proteosom.
Pada tumor yang pertumbuhannya dikontrol oleh over ekspresi dari TGF-α/EGFR, 1,25(OH)2D3 menghambat sinyal pertumbuhan dari EGFR di membran sel dan juga menghambat transaktivasi gen cyclin D1 dari EGFR di nukleus. Hal ini menjadi bukti bahwa vitamin D memiliki potensi sebagai terapi pertumbuhan keratinosit hiperplastik pada pasien psoriasis.
Pada sel monosit jalur HL60 dan pada osteoblas, 1,25(OH)2D3 menginduksi ekspresi dari C/EBPβ sebuah protein yang saat ini dipercaya mempunyai potensi sebagai supresor dari oncogenic-cyclin D1 pada tumor epitelial.
1,25(OH)2D3 mereduksi kadar HRPA20, sebuah fosfoprotein yang menjaga pertumbuhan dan ketahanan dari limfoma prolactin-dependent rat Nb2T, sebuah tumor yang sangat dipengaruhi hormonal.
Regulasi apoptosis. 1,25(OH)2D3 terbukti memiliki kemampuan menginduksi apoptosis sehingga merupakan kontributor penting dalam menekan pertumbuhan yang berlebihan dari sel. Pada kanker payudara, 1,25(OH)2D3 menginduksi apoptosis sel kanker melalui mekanisme modulasi resiprokal dari Bcl2 dan Bax. Hal ini meningkatkan kalsium intraseluler yang mana mengaktifkan protease proapoptotik yang dependen kalsium, yaitu microcalpain dancaspase 12. 1,25(OH)2D3 juga meningkatkan kemampuan antitumor dan proapoptotik pada radiasi ionisasi pada kanker mammae. Namun kejadian sebaliknya terjadi pada kulit dimana 1,25(OH)2D3 melindungi keratinosit dari apoptosis yang disebabkan oleh pajanan sinar UV atau kemoterapi. Dari sini hal yang terpenting yang dapat diambil adalah peranan 1,25(OH)2D3 sebagai agen proapoptotik sangat penting dalam mengontrol pertumbuhan sel hiperplastik (Dusso et al., 2005 dan Cantorna et al., 2003).
Modulasi respon imun. Efektifitas vitamin sebagai sistem endokrin dalam mengontrol infeksi, penyakit autoimun dan toleransi terhadap transplantasi merupakan hasil dari efek prodiferensiasi dari 1,25(OH)2D terhadap makrofag-monosit, antigen presenting cells, sel dendrit (SD) dan limfosit.1 Hal ini dibuktikan secara in vivo pada manusia dan binatang yang kurang memiliki fungsi VDR dan atau vitamin D yang secara in vitro dibuat model tentang fungsi regulasi vitamin D terhadap sistem imun (Rallof, 2004).
Kontrol diferensiasi dan fungsi dari kulit. Vitamin D sudah dipakai secara luas sebagai terapi dari berbagai penyakit kulit terutama penyakit psoriasis. Namun baru sekitar tahun 1980an diketahui secara pasti potensi menakjubkan dari vitamin D dalam proteksi kulit dan terapi penyakit psoriasis. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang memperlihatkan reaksi dramatik terhadap lesi psoriatik pada pasien yang menerima suplemen 1α-hydroxyvitamin D untuk pengobatan osteoporosis berat. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa 1,25(OH)2D merupakan agen anti proliferatif pada keratinosit psoriatik yang mengalami over ekspresi dari TGF-α yang memberikan hasil kemampuan 1,25(OH)2D3 dalam menghambat sinyal mitogenik dari lengkung pertumbuhan TGF-α/EGFR. Kemampuan imunosupresif dari 1,25(OH)2D3 pada sel Langehans, antigen-presenting cells dari kulit, dapat juga sebagai mediasi efek sterol dalam pengobatan psoriasis, melanoma dan skleroderma. Tidak hanya itu ternyata 1,25(OH)2D3 juga sangat penting pada pertumbuhan rambut dan kulit normal melalui mekanisme modulasi diferensiasi keratinosit di kulit (Dusso et al., dan Norman, 1998).
Kontrol sistem renin-angiotensin. Sistem renin-angiotensin merupakan sistem utama dalam mengatur tekanan darah, elektrolit dan homeostasis dari volume cairan tubuh. Beberapa penelitian klinik dan epidemiologi terakhir menyimpulkan adanya hubungan yang bermakna antara tidak adekuatnya pajanan sinar matahari atau rendahnya 1,25(OH)2D3 dalam serum dengan tingginya tekanan darah dan/atau tingginya aktifitas renin di plasma. Hal ini membuktikan satu peranan lagi dari vitamin D yaitu sebagai regulator negatif dari sistem renin-angiotensin. Penelitian yang menggunakan tikus VDR-null didapatkan peninggian kadar renin di plasma dan peningkatan produksi angiotensin II sehingga menyebabkan kondisi hipertensi, hipertrofi miokard dan peningkatan masukan cairan (Lane et al., 1999).
Kontrol sekresi insulin. Pada eksperimen yang menggunakan binatang, defisiensi vitamin D dikaitkan dengan onset yang lebih awal dan lebih agresifnya penyakit diabetes melitus. Hal ini kemungkinan sejalan dengan abnormalitas dari fungsi imun dan kerusakan pada sekresi insulin yang dimediasi glukosa yang disebabkan kurangnya calcitriol. Mekanisme yang saat ini dipercaya adalah dengan memodulasi ekspresi dari calbindin melalui VDR yang mengatur aliran kalsium intraseluler sehingga berefek pada pengeluaran insulin di sel. Hal ini dibuktikan dengan defisiensi 1,25(OH)2D3 pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang selalu mengalami gangguan dalam sekresi insulin. Selanjutnya penelitian terakhir yang menemukan aktifitas 1α-hidroxylase pada sel pankreas, meningkatkan kemungkinan potensi dari vitamin D dalam mengatur sekresi vitmin D dan mencegah terjadinya penyakit diabetes melitus (Norman, 1998).
Kontrol fungsi otot. Kelemahan dan atrofi otot dengan gangguan elektrofisiologi pada mekanisme kontraksi dan relaksasi otot banyak terjadi pada pasien dengan defisiensi vitamin D contohnya pada pasien gagal ginjal kronik dan penggunaan obat anti konvulsi jangka panjang yang menurunkan kadar vitamin D pada serum. Khusus pada otot jantung, 1,25(OH)2D3 mencegah terjadinya hipertrofi miokard dan membantu mensintesis dan melepaskan faktor natriuretik atrium. Pada pasien gagal ginjal kronik pemberian vitamin D secara rutin dapat memperbaiki fungsi ventrikel kiri pada pasien dengan kardiomiopati dan kelemahan otot. Mekanisme yang berlaku sebenarnya belum jelas betul dan membutuhkan penelitian lebih lanjut (Dusso et al., 2005).
Kontrol susunan saraf pusat. Peranan 1,25(OH)2D3 di susunan saraf pusat termasuk induksi dari VDR (VDR diekspresikan di otak dan sebagian sistem saraf pusat dan perifer) sehingga membantu efektifitas konduksi dari motor neuron dan sintesis faktor neurotropik (contohnya faktor pertumbuhan sel saraf dan neutrophyn) yang berfungsi mencegah kehilangan sel neurons. Penelitian terakhir juga menjelaskan bahwa 1,25(OH)2D3 juga merangsang ekspresi dari faktor neurotropik dari jalur sel glia sehingga menjadikan vitamin D sebagai kandidat potensial untuk terapi penyakit Parkinson. Hubungan yang erat antara defisiensi vitamin D dengan pertumbuhan otak yang abnormal membuat para peneliti saat ini sedang menyelidiki kemungkinan potensi dari vitamin D sebagai terapi yang potensial untuk schizophrenia. Selain itu sudah ada penelitian pada tikus yang mengalami difisiensi vitamin D prenatal ternyata mengalami gangguan motorik hebat ketika dewasa (Dusso et al., 2005).
Berdasarkan regulasi dan peranannya, maka dapat dilihat potensial efek dari vitamin D sesuai dengan gambar di bawah ini.
Gambar 5. Regulasi vitamin D dan efek potensialnya (Nagpal et al., 2001)
2.6. Keterlibatan Vitamin D terhadap Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (tambahin)
Sistem imun memiliki semua komponen yang diperlukan untuk memanfaatkan vitamin D sebagai sistem signaling autokrin dan parakrin. Banyak penyakit autoimun yang dipengaruhi oleh vitamin D salah saunya Lupus Eritomatosus sistemik. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ada kaitan antara vitamin D dan penyakit LES. Kamen et al (2006) melaporkan bahwa kadar 1,25(OH)D pada 124 pasien LES ras Kaukasia lebih rendah dibandingkan dengan 240 kontrol sehat dengan usia, jenis kelamin, dan kebiasaan merokok yang sama. Selain itu terdapat 67% pasien LES ras Afrika Amerika mengalami defisiensi vitamin D dengan kadar vitamin D lebih rendah dibandingkan ras Kaukasia (Marco et al., 2010).
Tabel 2. Beberapa penelitian level vitamin D pada pasien LES (Kusworini et al., 2011).
Authors
N
Ethnicity
Women
Age
Dur
Essential findings
Mok, 2011
290
Chinase
94%
38.9
7.7
96% patients insufficiency; 27% had levels <15ng/mL;25(OH)D, levels inversely correlated with disease activity; esp. with renal activity scores
Amital, 2010
378
Europeans and Israeli
92%
40.2
9.7
25(OH)D, levels inversely correlated with disease activity scores
Cutillas-Marco, 2010
55
Spanish
76%
47
8.2
80% had cutaneous lupus; lower 25(OH)D3 levels than controls; 95% had levels <30ng/mL; 11% had levels <10ng/mL; skin disease associated with vitamin D deficiency
Kim, 2010
104
Korean
100%
36.2
NA
25(OH)D3 levels lower in SLE patients than controls (N=49); 16% patients had level <30ng/dL; no significant
Szodory, 2010
177
Hungarian
90%
44.9
12
45% patients had insufficiency; 37% had defficiency ; 25(OH)D3 correlated inversely with SLEDAI; low 25(OH)D3 level associated with higher anti-dsDNA, anti-Sm and Ig levels, pericarditis and neuropsycjiatric disease
Toloza, 2010
124
65% whites, 15% black
100%
48.3
17.7
67% patients had 25 (OH)D3 levels <32ng/mL;18% had levels <16ng/mL; no correlation between 25 (OH)D3 level and SLEDAI
Wu, 2009
181
62% whites, 27% blacks
100%
43.2
11.9
62% had 25(OH)D3 level <30ng/mL; 20% had level <15ng/mL; lower 25(OH)D3 level associated with higher SLEDAI, damage scores and fasting glucose level
Borba, 2009
36
45% whites, 56% blacks
100%
29.9
5.1
Lower 25(OH)D3 levels associated with higher SLEDAI scores but lower osteocalcin levels
Ruiz-irastorza, 2008
92
98% whites
90%
41
7
75% patients had 25(OH)D3 levels <30ng/mL; 15% had levels <10ng/mL; low levels of 25(OH)D3 associated with fatigue; no relationship between 25(OH)D3 and SLEDAI or SDI; male
Metabolit aktif 1,25(OH)2D3 memiliki efek penekan (supresif) pada monosit dan menghambat IFNa yang dimediasi diferensiasi monosit ke DC sehingga menghambat aktivasi dan perluasan autoreaktif sel T dan sel B yang mengurangi produksi autoantibody (adam dan Hewison, 2008).
VDR diekspresikan oleh limfosit T dan limfosit B dan pada monosit yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel dendritik (DC). APC terutama sel dendritik adalah target utama dari ligan VDR, baik in vitro dan in vivo (Adorini et al., 2004). Vitamin D dilaporkan memiliki efek menghambat diferensiasi sel monosit menjadi sel dendritik (Cutolo, 2009), kemudian mempertahankan sel dendritik dalam kondisi imatur (Dusso et al., 2005). 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25(OH) D] menginduksi penurunan ekspresi dari molekul kostimulator CD40, CD80, CD86 dan IL-12, secara bersama meningkatkan produksi IL-10, mempromosikan sel dendritik untuk apoptosis dan menghambat aktivasi sel T (Cutolo, 2009).
Dari hasil tersebut maka di asumsikan bahwa defisiensi vitamin D menjadi faktor resiko LES. Hal ini mendorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang efek vitamin D terhadap prevansi atau pengobatan pasien LES.
2.7. Defisiensi Vitamin D
Kadar vitamin D ditentukan dengan mengukur 25(OH)D serum. Konsentrasi serum minimum untuk 25(OH)D sebesar 30 ng/ml (75 nmol/l) diperlukan untuk mendapatkan efek vitamin D yang menguntungkan dan beragam. Meskipun tidak ada kesepakatan mengenai kadar optimal 25(OH)D yang diukur di serum, tetapi sebagian ahli menetapkan kadar 25(OH)D sebagai berikut (Zittermann, 2003):
Tabel 3. Status Vitamin D
Serum 25-Hydroxyvitamin D (ng/ml)
Status Vitamin D
10
Severe deficiency
10-20
Deficiency
21-29
Insufficiency
30
Sufficiency
> 150
Toxicity
Secara epidemiologi defisiensi vitamin D banyak melanda daerah dengan empat musim terutama Amerika Utara dan Eropa. Hal ini disebabkan oleh defisit dari makanan ditambah lagi dengan kurangnya pajanan sinar matahari. Dampak defisiensi vitamin D sebagai berikut (Rosen, 2011):
Osteoporosis & Fragility fracture
Peningkatan resiko schizofrenia dan depresi
Peningkatan resiko penyakit autoimun
Pengingkatan resiko multiple sklerosis
Peningakatan resiko alergi dan asma
Pengingkatan resiko diabetes mellitus
Peningkatan resiko obesitas dan infeksi
Peningkatan resiko penyakit jantung dan hipertensi
Peningkatan resiko kanker payudara, colorectal, GI, Pancreas, leukemia
Peningkatan resiko gangguan otot
Riketsia, retardasi mental, dan osteomalasi pada orang dewasa.
2.8. Farmakokinetik vitamin D
Absorpsi vitamin D melalui saluran cerna cukup baik. Vitamin D3 diabsorpsi lebih cepat dan lebih sempurna. Gangguan fungsi hati, kandung empedu dan saluran cerna seperti steatore akan mengganggu absorpsi vitamin D. Vitamin D di ekskresikan terutama melalui empedu dan dalam jumlah kecil ditemukan dalam urine.
2.9. Dosis pemakaian vitamin D
Dewasa sampai berusia 50 tahun membutuhkan 200 IU/hari, dewasa berusia 50-70 tahun dan bayi membutuhkan 400 IU/hari, Dewasa berusia diatas 70 tahun membutuhkan 600 IU/hari, untuk pencegahan osteoforosis membutuhkan 800 IU/hari, Pengobatan defisiensi membutuhkan vitamin D sebagai loading dose sebanyak 50.000 IU/minggu, diikuti maitenance sebanyak 400-1000 IU/hari. Dosis maksimal pemberian vitamin D adalah 2000 IU/hari (Kusworini et al., 2011).
Bab III
Kesimpulan
Vitamin D sebagai sistem endokrin adalah komponen penting dalam interaksi antara ginjal, tulang, hormon paratiroid, dan usus yang hasilnya menjaga kadar kalsium ekstraseluler selalu dalam batas normal sehingga dapat berguna dalam proses vital fisiologi dan integritas skeletal.Vitamin D juga berkaitan dengan hipertensi, fungsi otot, imunitas dan kemampuan menahan infeksi, penyakit autoimun dan kanker.
Kemampuan 1,25(OH)2D dalam imunitas merupakan reaksi umpan balik dari parakrin untuk mengurangi inflamasi atau mempengaruhi diferensiasi sel T CD4 dan atau meningkatkan fungsi sel T supressor atau kombinasi antara keduanya. 1,25(OH)2D dalam menghasilkan dan memelihara toleransi imunologik diri, beberapa penelitian menunjukan bahwa 1,25(OH)2D menghambat induksi penyakit pada ensefalomyelitis autoimun, thyoriditis, diabetes melitus tipe 1, inflammatory bowel disease (IBD), lupus eritematosus sistemik, dan artritis yang diinduksi kolagen danLyme arthritis
1,25(OH)2D menghambat proliferasi sel T dan menurunkan produksi Th1 sehingga terjadi keseimbangan antara produksi Th1 dan Th2. Selain itu 1,25(OH)2D menghambat Th1 yang mengkontrol respon hipersensitifitas. Kontrol 1,25(OH)2D terhadap sel T dan keseimbangan inilah yang saat ini dipercaya sebagai mekanisme yang mendasari aksi protektif vitamin D terhadap penyakit autoimun. Peran vitamin D dalam tubuh kita baik klasik maupun non klasik, secara khusus peranannya dalam imunitas dan penyakit autoimun masih belum jelas betul, maka membutuhkan penelitian yang lebih lanjut.
Berdasarkan studi pustaka dan beberapa hasil penelitian diasumsikan bahwa Vitamin D memiliki hubungan terhadap patogenitas Lupus Eritematosus Sistemik dimana defisiensi vitamin D menjadi faktor resiko LES melalui mekanisme prodiferensiasi makrofag monosit menjadi sel dendritik sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek vitamin D terhadap sel dendritik sebagai dasar untuk prevansi atau pengobatan pasien LES.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J.S., and M. Hewison. 2008. Unexpected actions of vitamin D: new perspectives on the regulation of innate and adaptive immunity. Nat. Clin. Pract. Endocrinol. Metab. 4(2): 80-90.
Adorini, L., and G. Penna. 2009. Dendritic cell tolerogenicity: a key mechanism in immunomodulation by vitamin d receptor agonist. Human Immunol. 70(5): 345-52.
Akizawa T, Kazuhiro S, HAtamura I, Kamimura M, Mizobuchi M, Narukawa N, et al. New strategies for treatment of secondary hyperparathyroidism. Am J Kidney Dis 2003; 41(3) : p100-3
Baeke, F., Etten, E. V., Overbergh, L., & Mathieu, C. (2007). Vitamin D3 and the immune system: maintaining the balance in health and disease. Nutrition research reviews, 20(1), 106-18. doi:10.1017/S0954422407742713
Bikle DD. Vitamin D: production, metabolism and mechanisms of action. Available atwww.endotext.com
Cantorna, M.T., et al. 2000. 1,25-dihydroxycholecalciferol prevents and ameliorates symptoms of experimental murine inflammatory bowel disease. Journal of Nutrition 130(November):2648-2652.
Costenbader, K.H., Feskanich, D., Garcia, E.B., Holmes, M., Karison, E.W. 2008. Vitamin D intake and risk of systemic lupus erythematosus and rheumatoid arthritis in women. Ann. Rheum. Dis. 67(4): 530-535.
Cutolo, M. 2009. Vitamin D and autoimmune rheumatic diseases. Rheumatology. 48: 210-212.
Dusso, A.D., Brown, A.J., Slatopolsky, E. 2005. Vitamin D. Am. J. Physiol. Renal. Physiol. 289: 8-28.
Ginanjar, E., Sumariyono, Setiati, S., Setiyohadi, B. 2007. Vitamin D and autoimmune disease. Acta Med Ind. J. Intern. Med. 39(3): 133-141
Holick, M.F. High prevalence of vitamin D inadequacy and implications for health.Mayo. Clin Proc. 81(3):353-373.
Irastorza, G.R, Egurbide, M.V., Olivares, N., Berritxoa, A.M., Aguirre, C. 2008. Vitamin D deficiency in systemic lupus erythematosus: prevalence, predictors and clinival consequences. Drhematology. 47:920-923.
Janssen HCJP, Samson MM, Verhaar HJJ. Vitamin D deficiency, muscle function, falls in ederly people. Am J Clin Nutr.2002; 75 : p611-5
Kamen DL, Cooper GS, Bouali H, et al, 2006. Vitamin D deficiency in systemic lupus erythematosus. Autoimmune Rev, 5; 114-7
Kim YS, Stumpff WE, Clark SA, Sar M, deLuca HF. 1983. Target Cells for 1,25-Dihydroxyvitamin D3 in Developing Rat Incisor Teeth. J Dent Res 62(1):58-59.
Kusworini et al., 2011. Role of Vitamin D in Healthy and Rheumatic Autoimmune. Faculty of Medicine - Brawijaya University.
Lane, N.E., et al. 1999. Serum vitamin D levels and incident changes of radiographic hip osteoarthritis. Arthritis & Rheumatism 42(May):854-860. Available athttp://www.interscience.wiley.com.
Marco EC, Morales MM, Vila M, et al, 2010. Serum 25-hydroxyvitamin D levels in patients with cutaneous lupus erythematosus in a mediterranean region. Lupus (2010)
Moe SM. Overview of vitamin D biology. Available at www.hdcn.org. Sited on February 25, 2006
Nagpal, S., Lu, J., & Boehm, M. F. (2001). Vitamin D analogs: mechanism of action and therapeutic applications. Current medicinal chemistry, 8(13), 1661-79. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11562285
Norman AW. Sunlight, season, skin pigmentation, vitamin D, and 25-hydroxyvitamin D: intergral component of vitamin D endocrine system. Am J Clin Nutr. 1998; 67:1108-10
Raloff J. Vitamin D: From muscle strength to immunity, scientists find new vitamin D benefits—cancers, immunity, diabetes. Magazine, Oct 16, 2004, Vol 166, No 16
Rosen, C. J. (2011). Vitamin D Insufficiency.
Visser M, Deeg DJ, Lips P. Low vitamin D and high parathyroid hormon levels as determinants of loss muscle strength and muscle mass (sarcopenia) : the longitudinal aging studyAmsterdam. J Clin Endocrinol Metab. 2003; 88 : p5766-72
Zittermann, A. (2003). Vitamin D in preventive medicine: are we ignoring the evidence? The British journal of nutrition, 89(5), 552-72. doi:10.1079/BJN2003837