FISIOLOGI MANUSIA: INDERA PENCIUMAN DAN ILMU PENYAKIT PADA HIDUNG
JURNAL PENELITIAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Bahasa Indonesia
Oleh :
Putri Kusumandari
25212771
AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014
ABSTRAK
Anatomi dan Fisiologi pada Manusia, Alat Indera Penciuman terdapat didalamnya. Beberapa sel-sel yang membantu alat indera ini menjalankan tugasnya dengan baik. Menerima, mengolah, hingga sampai pada saat merasakan dan dapat membedakan bau-bauan yang ada. Beberapa penyakit pun dapat timbul pada alat indera ini, jika salah-salah kita mengorek hidung atau penyebab lainnya dikarenakan adanya virus, jamur, dan bakteri yang masuk.
Hidung tidak dapat diremehkan begitu saja, karena jika kita tidak benar-benar merawat atau sesekali membersihkannya maka hidung juga dapat terserang beberapa penyakit. Beberapa penghindaran juga dapat dilakukan untuk tetap menjaga hidung tetap sehat agar tidak terkena penyakit sehingga harus melakukan pemeriksaan hingga tindakan pemeriksaan lanjut.
Pendahuluan
Latar Belakang
Fisiologi manusia adalah ilmu mekanis, fisik, dan biokimia fungsi manusia yang sehat, organ-organ mereka, dan sel-sel yang mereka tersusun. Tingkat utama fokus dari fisiologi adalah pada tingkat organ dan sistem. Sebagian besar aspek fisiologi manusia homolog erat dengan aspek-aspek terkait fisiologi hewan, dan hewan percobaan telah memberikan banyak dari dasar pengetahuan fisiologis. Anatomi dan fisiologi berhubungan erat dengan bidang studi: anatomi, studi tentang bentuk, dan fisiologi, mempelajari fungsi, secara intrinsik terikat dan dipelajari bersama-sama sebagai bagian dari kurikulum medis.
Secara anatomi, hidung adalah penonjolan pada vertebrata yang mengandung nostril, yang menyaring udara untuk pernapasan. Hidung sebagai suatu istilah, dapat juga digunakan untuk menunjukkan ujung sesuatu, seperti hidung pada pesawat terbang.
Hidung adalah bagian yang paling menonjol di wajah, yang berfungsi menghirup udara pernapasan, menyaring udara, menghangatkan udara pernapasan, juga berperan dalam resonansi suara.
Hidung merupakan alat indera manusia yang menanggapi rangsang berupa bau atau zat kimia yang berupa gas. Di dalam rongga hidung terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi dengan sel-sel pembau. Setiap sel pembau mempunyai rambut-rambut halus (silia olfaktori) di ujungnya dan diliputi oleh selaput lendir yang berfungsi sebagai pelembab rongga hidung.
Pada saat kita bernapas, zat kimia yang berupa gas ikut masuk ke dalam hidung. Zat kimia yang merupakan sumber bau akan dilarutkan pada selaput lendir, kemudian akan merangsang rambut-rambut halus pada sel pembau. sel pembau akan meneruskan rangsang ini ke otak untuk diolah sehingga bisa mengetahui jenis bau dari zat kimia tersebut.
Gangguan pada hidung biasanya disebabkan oleh radang atau sakit pilek yang menghasilkan lendir atau ingus sehingga menghalangi bau mencapai ujung saraf pembau. Gangguan lain juga bisa disebabkan oleh adanya kotoran pada hidung dan bulu hidung yang terlalu banyak. Membersihkan hidung dari kotoran dan merapikan bulu, dapat membantu menghindarkan gangguan penciuman.
1.2. Kajian Teori
1.2.1. Penciuman
Indera penciuman adalah salah satu alat indera yang wajib dimiliki oleh masing-masing manusia karena hidung adalah alat yang dipergunakan manusia untuk bernafas. Hidung memiliki sel-sel yang sangat sentifif, apabila salah mengorek hidung maka bisa mengalami gangguan pada alat penciuman ini. Hidung memiliki pusat saraf pembau yang mampu memberikan dan menerima untuk melakukan kerja pada hidung.
1.2.2. Ilmu Penyakit pada Hidung: Epistaksis
Epistaksis adalah pendarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal maupun sebab umum (kelainan sistematik). Penyebab lokal terjadinya epistaksis salah satunya adalah adanya benda asing dan rinolit, yang dapat menyebabkan epistaksis ringan disertai ingus berbau busuk. Sedangakan penyebab umum (penyebab sistematik) salah satunya adalah infeksi sistematik, seperti demam berdarah dengue, influenza, morbili, atau demam tifoid.
1.2.3. Ilmu Penyakit pada Hidung: Rinitis Atrofi (Ozaena)
Rinitis Atrofi adalah suatu penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya atrofi progrefis tulang dan mukosa konka. Secara klinis, mukosa hidung mengahasilkan secret kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta berbau busuk. Beberapa hal yang dianggap sebagai penyebabnya seperti infeksi oleh kuman spesifik, yaitu klebsiella, yang sering klebsiella ozanae, kemudian stafilokok, streptokok, dan pseudomonas aeruginosa, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal, dan penyakit kolagen. Mungkin berhubungan dsengan trauma atau terapi radiasi.
1.2.4. Ilmu Penyakit pada Hidung: Sinusitis Kronik
Sinusitis adalah radang sinus paranasal. Bila terjadi pada beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai seluruhnya disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena dalah sinus makslia kemudian etmoid, frontal, dan sfenoid. Hal ini disebabkan sinus maksila adalah sinus terbesar, letak otsiumnya lebih tinggi dari dasar. Dasarnya adalah dasar akar gigi sehingga dapat berasal dari infeksi gigi, dan otsiumnya terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga sering tersumbat. Sinusitis kronik umumnya sukar untuk disembuhkan dengan terapi medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan predisposisinya. Penyebabnya dapat dari virus, bakteri, maupun jamur. Polusi bahan kimia, alergi, dan defisiensi imunologik menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan ini mempermudah terjadinya infeksi. Terdapat eema konka yang mengganggub drainase sekret, sehingga silia rusak dan seterusnya. Jika pengobatan pada sinusitis akut tidak edekuat, maka akan terjadi infeksi kronik.
Metodelogi Penelitian
2.1. Sumber Data
Data-data yang digunakan bersumber dari Internet dan beberapa buku tentang ilmu Anatomi dan Fisiologi Manusia, dengan penggabungan dari beberapa data, sehingga menjadi bahan yang penulis gunakan untuk meneliti.
2.2. Pendekatan
Pendekataan untuk melakukan penelitian ini dengan menggunakan ilmu Anatomi dan Fisiologi pada Manusia.
2.3. Metode Penelitian
Pada penelitian ini pengumpulan data menggunakan metode kualitatif. Dengan pengumpulan data dari beberapa sumber dan penulis menganalisisnya.
Pembahasan
3.1. Penciuman
Nervus olfaktorius atau saraf kranial pertama melayani ujung organ penciuman. Serabut-serabut saraf ini timbul pada bagian atas selaput lender hidung, yang dikenal sebagai bagian olfaktorik hidung.
Nervus olfaktorius dilapisi sel-sel yang sangat khusus, yang mengeluarkan fibril-fibril halus untuk berjalin dengan serabut-serabut dari bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius yang pada hakikatnya merupakan bagian otak yang terpencil adalah bagian yang agak terbentuk bulbus (membesar) dari saraf olfaktorius yang terletak di atas lempeng kribiformis tulang etmoid. Dari bulbus olfaktorius, perasaan bergerak melalui traktus olfaktorius dengan perantaraan beberapa stasiun penghubung, hingga mencapai daerah penerimaan akhir dalam pusat olfaktori pada lobus temporalis otak, tempat perasaan ditafsirkan.
Rasa penciuman dirangsang oleh gas yang terhirup atau oleh unsur-unsur. Rasa penciuman ini sangat peka, dan kepekaannya mudah hilang bila dihadapkan pada suatu bau yang sama untuk suatu waktu yang cukup lama. Rasa penciuman juga diperlemah bila selaput lendir hidung sangat kering, sangat basah, atau membengkak, seperti halnya seseorang yang diserang pilek. Bau-bauan dilukiskan sebagai bau harum dan bau busuk.
3.2. Ilmu Penyakit pada Hidung: Epistaksis
Pada epistaksis, atau yang biasa dikenal dengan mimisan pada masyarakat awam. Terdapat dua sumber perdarahan pada epistaksis, yaitu bagian anterior dan posterior.
Pada epistaksis anterior , perdarahan berasal dari pleksus kiesseblach (yang banyak terjadi dan sering ditemukan pada anak-anak), atau dari arteri etmoidalis anterior. Biasanya pendarahan tidak begitu hebat dan apabila pasien duduk, darah akan keluar melalui lubang hidung. Seringkali mudah behenti spontan dan mudah diatasi.
Pada epistaksi posterior, perdarahan berasal dari sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskular. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Tiga prinsip utama penanggulangan epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulangnya epistaksis.
Komplikasi dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha pananggulangannya. Akibat perdarahan hebat, terjadinya syok dan anemia. Serta tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufiensi koroner, dan infark miokard, dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infuse atau transfuse drah. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdaharan hrbat, sering kambuh, dan prognosisnya buruk.
3.3. Ilmu Penyakit pada Hidung: Rinitis Atrofi (Ozaena)
Manifestasi klinis pada ranitis atrofi, biasanya keluhan subjektif yang sering ditemukan pada penderita. Biasanya napas berbau (sementara penderita sendiri menderita anosmia), ingus kental hijau, krusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala, dan hidung tersumbat.
Pada pemeriksaan THT ditemukan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna hijau.
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan transiluminasi, foto sinus paranasal, pemeriksaan mikroorganisme dan uji resistensi kuman, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan Fe serum, dan serelogi darah. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi dan atrofi jumlahnya berkurang, dan bentuknya mengecil.
Bila pengobatan konservatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan, penderita dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembaliselama dua tahun. Atau dfapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.
3.4. Ilmu Penyakit pada Hidung: Sinusitis Kronik
Menifestasi klinis pada sinusitis kronik terdapat beberapa gejala subjektif, dari yang ringan hingga yang berat. Salah satunya adalah gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan nasofaring (post nasal drip). Sekret di nasofaring secara terus menerus akan menyebabkan batuk kronik.
Hasil pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan terdapat pembengkakan di muka. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Pemeriksaan mikrobiologik biasanya menunjukkan infeksi campuran, bemacam-macam bakteri, kuman anaerob, atau lebih sering ditemukan campuran dengan aerob. Untuk membantu menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal., radiologi, pungsi sinus maksila, sinuskopi sinus maksila, pemeriksaan histapalogi, nasoendoskopi meatus superior. Tomografi komputer diindikasikan untuk evaluasi sinusitis kronik yang tidak membaik dengan trapi, sinusitis dengan komplikasi, evaluasi preoperative, dan jika da dugaan keganasan. Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebihbaik daripada tomografi komputer dalam resolusi jaringan lunak dan sangat baik untuk memvedakan sinusitis karena jamur, neoplasma, dan perluasan intrakranialnya, namun resolusi tulang tidak tergambar dengan baik.
Terapi medikamentosa memiliki peran terbatas karena umumnya disebabkan obstruksi sinus yang persisten.
Terapi radikal dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-luc, sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan etmoidektomi dari intranasal atau ekstranasal. Pada sinusitis frontal dilakukan secra intranasal dan ekstranasal (operasi killian). Drainase sinus dilakukan secara intranasal.
Perkembangan terakhir adalah Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehungga mukosa sinus kembali normal.
Pada anak pemberian antibiotic jangka lama, dekongestan sistematik atau topical, secara imunotropi yang tepat merupakan dasar pengobatan sinusitis kronik.
Dengan penemuan antibiotik, komplikasi sinusitis menurun denga nyata. Biasanya terjadi pada sinusitis akut atau kronik dengan eksaberbasi akut. Osteomielitis dan abses supersiostal paling sering pada sinusitis frontal dan sering pada anak-anak. Pada sinusitis maksila dapat timbul fistula oroantral.
Kelainan orbita terjadi akibat sinusitis paranasal yang berdekatan dengan orbita. Kelainan yang dapat timbul adalah edema palpebra, seluitis orbita, abses orbita, dan thrombosis sinus kavernosus.
Komplikasi berupa kelainan intracranial, seperti meningitis, abses otak, dan thrombosis sinis kavernosis dapat timbul. Juga kelaianan paru, seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis, yang disebut sebagai sinobronkitis. Dapat juga timbul asma bronchial.
Bila terdapat tanda-tanda komplikasi ini maka penderita harus dirujuk segera. Tanda bahaya lainnya adalah gejala sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid akut yang berat.
Bila gejala akut tidak reda dengan pengobatan terutama apabiloa serangan timbul lebih dari 4-6 kali pertahun, gejala menetap diantara 2 serangan dan diperkirakan ada masalah lain, maka penderita sebaiknya dirujuk, karena mungkin diperlukan tidakan pembedahan.
Hasil Penelitian
4.1. Penciuman
Alat Indera Penciuman atau yang sering masyarakat bilang hidung adalah salah satu alat indera yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Oleh karenanya hidung menjadi bagian sangat penting. Dalam alat indera ini terdapat banyak sel-sel yang sangat berpengaruh terhadap penciuman manusia. Sebab itu hidung dapat merangsang bau-bauan yang ada.
4.2. Ilmu Penyakit pada Hidung: Epistaksis
Epistaksis adalah pendarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal maupun sebab umum (kelainan sistematik) atau yang biasa dikenal dengan mimisan. Penyakit ini biasanya dikarenakan adanya benturan pada hidung, atau terkadang manusia awam tidak tau penyebabnya sehingga darah mengalir begitu saja, tanpa diketahui sebabnya. Salah satu penanganan untuk menghentikan pendarahan pada hidung ini yang paling mudah dilakukan adalah dengan cara menaruh batu es pada kening, itu bisa membantu menghentikan pendarahan. Tetapi biasanya darah bisa berhenti secara spontan.
4.3. Ilmu Penyakit pada Hidung: Rinitis Atrofi (Ozaena)
Rinitis Atrofi adalah suatu penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya atrofi progrefis tulang dan mukosa konka. Masyarakat awam jarang tau tentang penyakit ini, Rinitis Atrofi biasanya disebabkan oleh beberapa kuman, yaitu klebsiella, yang sering klebsiella ozanae atau disebabkan oleh kelainan hormonal. Jika penderita mempunyai keluhan dengan napas berbau busuk, lendir bewarna hijau, maka dokter akan segera melakukan tidakan pemeriksaan lanjut dengan cara pemeriksaan THT, agar lebih jelas. Tetapi jika keluhan ini masih berlanjut setelah ada tindakan dokter, maka biasanya dokter akan melakukan tindakan operasi pada penderita.
4.4. Ilmu Penyakit pada Hidung: Sinusitis Kronik
Sinusitis adalah radang sinus paranasal. Beberapa masyarakat awam menderita penyakit ini, sinusitis terdapat 3 macam sinus. Salah satunya adalah sinus kronik ini. Biasanya sinusitis kronik ini disebabkan karena dapat dari virus, bakteri, maupun jamur. Polusi bahan kimia, alergi, dan defisiensi imunologik menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan ini mempermudah terjadinya infeksi. Biasanya penyembuhan sinusitis ini penderita mendapatkan beberapa penangan. Pemeriksaan mikrobiologik, Terapi medikamentosa, Terapi radikal, dan Perkembangan terakhir adalah Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia "Fisiologi Manusia", http://id.m.wikipedia.org
Wikipedia "Hidung", http://id.m.wikipedia.org
Mansjoer, Arif M., Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculaipus, Jakarta, 2000.
Pearce, Evelyn C,. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, PT. Gramedia Pustaka Utama.