Fenomena Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Sosial Media
(Analisis Kasus Munculnya Meme Kekalahan Prabowo & Kemenangan Jokowi Pada Pilpres 2014)
Revisi Tugas
Kajian dan Pengembangan Teori Komunikasi dan Informasi
Dosen: Dr. Hj. Herlina Agustin., MT
Disusun Oleh:
Rio Kurniawan
210120150011
Magister Komunikasi dan Media
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran
2015
Fenomena Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Sosial Media
(Analisis Kasus Munculnya Meme Kekalahan Prabowo vs Kemenangan Jokowi Pada Pilpres 2014)
Rio Kurniawan1
1Penulis, Universitas Padjadjaran,
[email protected]
Abstrak
Hate Speech pada sosial media sudah cukup marak sekali terjadi di Indonesia khususnya pada saat pesta demokrasi terbesar seperti pemilihan presiden 2014 kemarin, salah satu bentuk hate speech yang sangat menarik untuk diamati adalah ujaran kebencian berbentuk meme seperti yang dilakukan oleh para pendukung Jokowi-JK kepada Prabowo dan kelompoknya karena pernyataan Prabowo yang tidak menyetujui hasil penghitungan KPU yang menunjukkan kemenangan Jokowi-JK. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana teori-teori komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi dalam kasus munculnya hate speech oleh para pendukung Jokowi-JK yang berbentuk meme dengan tema kekalahan Prabowo & kemenangan Jokowi pada pilpres 2014. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruksivis dan pendekatan kualitatif dengan studi kasus sebagai metode penelitiannya. Adapun hasil dari pembahasan ini bahwa terdapat tiga teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena hatespeech di sosial media yang berbentuk meme-meme pada saat hasil akhir pilpres 2014. Pertama,Teori Penilaian Sosial lebih menekankan pada keterlibatan ego para pendukung Jokowi pada saat pilpres, sehingga penilaian sosial mereka ketika Prabowo menyatakan tidak setuju terhadap penghitungan hasil KPU, persepsi sosial mereka diwujudkan dengan membuat meme-meme yang bernuansa hatespeech kepada Prabowo di sosial media. Kedua, Teori Penjulukan lebih memaparkan label "macan asia" yang dimiliki oleh Prabowo dibenak publik, telah menjadi alat untuk menjatuhkan citra Prabowo setelah Prabowo menyatakan tidak setuju terhadap penghitungan hasil KPU yang menunjukkan kemenangan Jokowi-JK. Ketiga, Teori Konstruksi Sosia Emosi lebih menjelaskan bagaimana suatu emosi yang dimiliki oleh para pendukung Jokowi-JK diatur dalam empat indikator dalam mengatur suatu emosi, empat cara ini adalah (rules of appraisal), (rules of behavior), (rules of prognosis), dan (rules of attribution).
Keywords: Hate Speech, Sosial Media, Meme Pilpres 2014
LATAR BELAKANG
Ujaran kebencian ialah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual ,kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam arti hukum, Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan Hate Speech ini disebut Hate Site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan Forum internet dan Berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu.
Para kritikus berpendapat bahwa istilah Hate speech merupakan contoh modern dari novel Newspeak, ketika Hate speech dipakai untuk memberikan kritik secara diam-diam kepada kebijakan sosial yang diimplementasikan dengan buruk dan terburu-buru seakan-akan kebijakan tersebut terlihat benar secara politik. Sampai saat ini, belum ada pengertian atau definisi secara hukum mengenai apa yang disebut Hate speech dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, pencemaran nama baik diartikan sebagai sebagai defamation, libel, dan slander yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah fitnah (defamation), fitnah lisan (slander), fitnah tertulis (libel). Dalam bahasa Indonesia, belum ada istilah yang sah untuk membedakan ketiga kata tersebut. Hampir semua negara di seluruh Dunia mempunyai undang-undang yang mengatur tentang hate speech. Contohnya adalah Inggris, pada saat munculnya Public Order Act 1986 menyatakan bahwa suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindakan kriminal adalah ketika seseorang melakukan perbuatan "mengancam, menghina, dan melecehkan baik dalam perkataan maupun perbuatan" terhadap "warna kulit, ras, kewarganegaraan, atau etnis". Di Brazil, negara mempunyai konstitusi yang melarang munculnya atau berkembangnya propaganda negatif terhadap agama, ras, kecurigaan antarkelas, dll (www.wikipedia.com).
Jika di Turki, seseorang akan divonis penjara selama satu sampai tiga tahun apabila melakukan penghasutan terhadap seseorang yang membuat kebencian dan permusuhan dalam basis kelas, agama, ras, sekte, atau daerah. Di Jerman, ada hukum tertentu yang memperbolehkan korban dari pembinasaan untuk melakukan tindak hukum terhadap siapapun yang manyangkal bahwa pembinasaan itu terjadi. Di Kanada, Piagam Kanada untuk hak dan kebebasan (Canadian Charter of Rights and Freedoms) menjamin dalam kebebasan berekspresi namun dengan ketentuan-ketentuan tertentu agar tidak terjadi penghasutan. Hate speech jika dibahas pada dunia new media / internet tentu memerlukan pembahasan yang mendalam lagi. Etika dalam dunia online perlu ditegaskan, mengingat dunia online merupakan hal yang sudah dianggap penting bagi masyarakat dunia. Namun, semakin banyak pihak yang menyalahgunakan dunia maya untuk menyebarluaskan hal-hal yang tidak lazim mengenai sesuatu, seperti suku bangsa, agama, dan ras. Penyebaran berita yang sifatnya fitnah di dunia Internet, misalnya, menjadi hal yang patut diperhatikan. Internet Service Provider (ISP) biasanya menjadi pihak yang dianggap bertanggung jawab atas segala isi yang mengandung fitnah. Sesungguhnya, isi yang mengandung fitnah berada di luar tanggung jawab ISP; terlebih ada pihak ke tiga yang memasukkannya tanpa sepengetahuan ISP. Sama halnya seperti manajemen dalam toko buku, dunia Internet membedakan peran antara distributor dan publisher. Dalam hal ini, ISP sekadar bertindak sebagai publisher yang mengontrak distributor untuk mengelola jaringan mereka. Hal di ataslah yang sering disebut dengan Libel yakni sebuah pernyataan ataupun ekspresi seseorang yang mengakibatkan rusaknya reputasi orang lain dalam komunitas tertentu karena ekspresinya itu. Ataupun bisa dalam bentuk pembunuhan karakter dan dalam dunia profesional sekalipun (www.hatespeechdunia.wikipedia.com).
Pada situasi di Indonesia tanpa disadari sebenarnya hate speech di dalam sosial media sudah banyak terjadi jauh sebelum pilpres 2014 lalu, namun khusus fenomena hate speech pada pilpres 9 juli 2014 inilah yang membuat masyarakat menjadi terpolarisasi. Pertentangan kedua kubu begitu sengit, khususnya di ranah Internet. Masing-masing kubu didukung oleh 'pasukan media sosial' yang siap bertarung. Praktik tweet-war, perang 'meme' maupun komentar-komentar yang mem-bully—menjelekkan atau menjatuhkan—lawan mewarnai situasi perang itu. Kehadiran media sosial dalam konteks pemilihan presiden kala itu menjadi penting karena saat itulah puncak penggunaan media sosial dalam peristiwa pemilu.
Kaum cyber-optimist melihat Internet adalah democratic space yang bisa membuka ruang demokrasi partisipatoris. Internet mampu (1) menyediakan ruang dan waktu bagi publik untuk berkomunikasi tanpa batas (space-time liberty), (2) menyebarluaskan berita, informasi, maupun gagasan secara mandiri (sharing liberty), serta (3) membuka akses bagi orang-orang dengan keterbatasan ekonomi (access liberty). Sebaliknya, kaum cyber-pessimist melihat 'the dark side': Internet bisa 'menggembosi' demokrasi. Ini terkait penggunaan Internet secara negatif atau untuk tujuan negatif, antara lain untuk menyerang atau 'mem-bully' lawan, menyebarkan fitnah, menyerang reputasi seseorang, menyebarkan sikap permusuhan, dan lain-lain (Unwin, 2000).
Fenomena hate speech di Internet dan media sosial berbentuk meme, meme ialah berupa foto/gambar/komik mengenai capres maupun cawapres yang ditambahi tulisan atau dimodifikasi dengan menambahkan talking bubble. Meme atau gambar seperti itu bisa jadi untuk sekadar lucu-lucuan atau memang ditujukan untuk menjatuhkan atau merusak reputasi capres atau cawapres tertentu (smear campaign). Tak sedikit dari orang-orang kemudian menyebarluaskannya secara viral melalui media sosial, akun BBM, dan lain-lain. Ketika kita melakukannya, secara tak sadar kita sudah berada dalam lingkaran bernama cyberbullying. Dibandingkan bullying, istilah cyberbullying mungkin belum terlalu sering terdengar di telinga. Bullying seringkali diidentikkan dengan perilaku siswa-siswi di sekolah yang melakukan tindakan kekerasan kepada siswa-siswi lain. Bullying biasanya dilakukan oleh pihak yang memiliki 'status' lebih tinggi kepada mereka yang 'statusnya' lebih rendah (Ardhiati, 2014).
Cyberbullying juga dikenal sebagai Bullying 2.0 atau kekejaman sosial secara online adalah tindakan bullying dengan medium Internet (e-mail, pesan singkat, chat room, Web site, situs game online, pesan digital) atau gambar-gambar yang dikirimkan melalui telepon seluler (Kowalski, Limber, & Agatston, 2012). Di ranah politik, juga dikenal istilah political cyberbully. Nancy Willard, seorang pengacara yang sekaligus merupakan Direktur dari Center for Safe and Responsible Internet Use di Amerika mengategorikan sembilan perilaku yang tergolong sebagai cyberbullying, (Ardhiati, 2014) yaitu: (1) Flaming yakni celaan, cercaan, atau hinaan kepada satu sama lain. Misalnya, twitwar di Twitter. (2) Harassment yakni kata-kata atau tindakan yang bersifat memalukan, melecehkan, bahkan kadang membahayakan.
Misalnya, menciptakan akun palsu yang anonim, kemudian membombardir pemilik akun yang menjadi sasaran dengan kalimat-kalimat atau ilustrasi yang menghina, menggunakan akun tersebut, misalnya. (3) Denigration yakni informasi mengenai seseorang yang bersifat menghina dan tidak benar atau tidak sesuai dengan keadaan nyatanya. Informasi ini bisa dipampangkan di website, atau disebarkan kepada orang lain melalui e-mail, instant messaging, dan media-media lainnya. (4) Impersonation yakni 'mencuri' atau 'membajak' akun milik seseorang dan menyampaikan informasi-informasi yang tidak benar. (5) Outing and Trickery yakni membujuk seseorang untuk membagikan informasi mengenai diri mereka yang sifatnya pribadi, kemudian menyebarluaskan informasi itu kepada pihak lain secara luas. (6) Exclusion/Ostracism yakni tindakan meng-unfriend, unshared, atau memutuskan hubungan dari media (sosial), di mana awalnya kedua pihak ini saling berhubungan/berteman. (7) Cyberstalking yakni tindakan menguntit seseorang secara berulang dan melakukan komunikasi yang bersifat mengganggu dan mengancam, khususnya jika disertai dengan niatan untuk menakuti bahwa akan terjadi hal-hal yang membahayakan dirinya atau orang-orang lain di sekelilingnya. (8) Video Recording of Assaults/Happy Slapping and Hopping yakni merekam perilaku seseorang yang bersifat memalukan dan mengunggahnya ke internet sehingga memungkinkan banyak pihak untuk dapat menonton dan mengomentari video tersebut. (9) Sexting yakni mengirimkan atau mem-posting foto atau video telanjang atau setengah telanjang kepada seseorang, yang bertujuan untuk mengganggu atau mempermalukannya. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa para korban akan merasa rendah diri, mengalami kecemasan sosial, konsentrasi yang menurun, perasaan terasing, bahkan pada tahap yang ekstrem, dapat mengakibatkan depresi dan (keinginan) bunuh diri (Ardhiati, 2014).
Fenomena meme pada pilpres 2014 lalu, telah menarik perhatian banyak kalangan masyarakat khususnya dalam dunia maya / sosial media. seperti yang telah diberitakan Liputan6.com, Jakarta - Pengumuman hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) untuk menentukan pasangan Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019 akan segera diumumkan. Namun salah satu Capres, Prabowo Subianto, sudah menyatakan tidak menerima hasil penghitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pernyataan sikap ini tak pelak langsung menuai reaksi dari berbagai pihak.
Tak perlu menunggu lama, respon berupa gambar plesetan alias meme untuk merespons sikap Prabowo langsung bertebaran di dunia maya, salah satunya lewat Twitter. Sebuah gambar memperlihatkan bahwa Capres bernomor urut 1 itu akan terus meminta hasil Pemilu diulang terus hingga dirinya menang. Bahkan, gambar itu menampilkan sebuah celotehan: 'Pokoknya ulang terus sampai saya menang' tetap muncul di tahun 2090 dengan latar gambar yang menampilkan situasi sebuah meteor siap menghantam bumi beserta jawaban 'Udah mo kiamat keleuuuss'.
Ada pula sebuah gambar yang berisi saran agar Prabowo LEGOWO. Tapi namanya juga meme, maka isinya harus plesetan. Gambar ini menampilkan tulisan 'Maen Lego aja, Wo', yang ditujukan kepada Capres bernama panggilan 'Wo'. Lalu, ada pula tulisan mainan ini bisa berlaku diatur untuk membangun sendiri kerajaan, tentara bahkan negara. Sangat menyenangkan memang! Gambar berikutnya ialah gambar dukungan kepada KPU atas hasil perhitungan sementara yang menunjukkan pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla sebagai pemenang. Bila Capres yang akrab dipanggil Jokowi itu menjadi Presiden, maka sang wakil Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jadi menggantikannya jadi Gubernur. Sedangkan Prabowo ditampilkan sebagai Macan Asia, tapi dengan penampilan layaknya pengembala
(http://tekno.liputan6.com/read/2081703/meme-prabowo-tolak-pilpres-banjiri-dunia-maya).
.
Meme lainnya muncul menggenapi kekecewaan Prabowo atas hasil penghitungan manual yang dilakukan oleh KPU. Namun, di meme ini Prabowo malah digambarkan menangis dan sedang diejek oleh lawan politiknya, Jokowi yang dilengkapi tulisan 'ora popo.. gak usah nangis..., malu sama kudanya' kepada Prabowo yang memang hobi melihara kuda.
Kumpulan gambar meme tersebut muncul dengan cepat di Twitter dengan tagar #PresidenBaru dan Prabowo Tolak Pelaksanaan Pilpres. Kemungkinan akan makin banyak meme lainnya yang muncul sebagai respon masyarakat atas proses politik Pilpres yang berlangsung pada tahun ini (www.liputan6.com). Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas tentang penyebaran hate speech berbentuk meme pada pilpres 2014 lalu, yang dilakukan oleh pendukung-pendukung dari kubu prabowo-hatta maupun jokowi-jk tersebut menurut penulis akan menjadi menarik untuk diamati dan dianalisis menggunakan teori-teori komunikasi. Karena seperti salah satu fungsi dari teori komunikasi adalah untuk menjelaskan suatu fenomena.
.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana teori-teori komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi dalam kasus munculnya hate speech oleh para pendukung Jokowi-JK yang berbentuk meme dengan tema kekalahan Prabowo & kemenangan Jokowi pada pilpres 2014 ?
KAJIAN TEORI
West dan Turner (2012:49) mengatakan bahwa teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan di antara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Dalam pengertian lain, Venus (2015) menjelaskan bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang saling terkait, sistematis, logis, faktual, dan objektif tentang suatu fenomena tertentu yang tujuannya adalah untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol fenomena tersebut. Terdapat persamaan dalam dua definisi tersebut bahwa salah satu fungsi dari teori adalah untuk membantu kita memahami atau menjelaskan sebuah fenomena yang terjadi. Dalam hal ini, teori-teori komunikasi yang relevan akan membantu penulis dalam menganalisis kasus hatespeech yang muncul di sosial media dengan bentuk meme pada saat pilpres 2014 lalu. Berikut adalah kajian singkat beberapa teori yang akan digunakan oleh penulis:
Teori Penilaian Sosial
Teori Penilaian Sosial merupakan bagian dari teori komunikasi yang menggambarkan dan menguraikan bagaimana individu menilai pesan-pesan yang diawali ketika mendengar atau merespon suatu pesan. Seperti yang dikemukakan oleh sherif bahwa seseorang akan lebih cenderung memberikan penilaian berdasarkan pengalaman yang dimiliki untuk melakukan seleksi sekaligus mempertimbangkan setiap informasi yang diterima. Secara umum teori penilaian social ini digunakan untuk menganalisis proses-proses seseorang dalam menilai pesan-pesan komunikasi. Dalam pandangan social mengacu pada sifat internal dan berdasarkan pada pengalaman masa lalu. Acuan internal atau titik referensi selalu mempengaruhi cara seseorang dalam merespon suatu pesan (Morissan:2013:79).
Dasar Teori Penilaian Sosial
Teori penilaian social adalah hasil penelitian seorang psikolog yang bernama Muzafer Sherif dari Oklahoma University. Teori penilaian social didasarkan pada penelitian filsafat zaman dulu, dimana orang-orang diuji kemampuannya untuk menilai rangsangan-rangsangan fisik seperti beban suatu objek atau terangnya sebuah cahaya. Bentuk penelitian ini dijadikan perumpamaan oleh sheriff untuk meneliti cara-cara individu menilai berbagai macam pesan, ternyata sherif menemukan prinsip psikofisika yang juga berpegang pada penilaian social. Dalam Teori penilaian social ini terdapat tiga zona sikap individu dalam melakukan interaksi social yaitu Penerimaan, Penolakan dan non komitmen. Konsep ini diawali ketika seseorang mendengar ataupun merespon suatu pesan maka seseorang akan cenderung untuk memberikan penilaian berdasarkan atas pengalaman yang telah dimiliki untuk menseleksi dan mempertimbangkan setiap informasi yang diterima. Sherif berpendapat bahwa Dalam menilai pesan-pesan komunikasi terdapat proses-proses yang sama dalam beroperasi. Dalam persepsi social, acuan-acuan ini bersifat internal dan didasarkan pada pengalaman masa lalu. Keterlibatan ego menurut sheriff merupakan hal yang krusial terhadap suatu issu atau masalah yang dihadapi dalam kehidupan.oleh karena itu, keterlibatan diri merupakan variabel kunci dalam penentuan rentang penerimaan dan juga rentang penolakan dalam diri seseorang. Hal ini merupakan tingkatan sejauh mana sikap seseorang terhadap sesuatu yang mempengaruhi konsep diri atau tingkat penting yang diberikan pada masalah tersebut (Morissan:2013:80).
Penilaian Pesan : Kontras dan Kesalahan Asimilasi
Seperti yang dikemukakan oleh sherif bahwa individu akan menilai menguntungkan atau tidaknya suatu pesan didasarkan pada acuan-acuan internal dan keterlibatan ego. Dilain sisi teori ini juga menunjukkan bahwa proses penilaian tersebut melibatkan distorsi. Pengaruh rentangan juga timbul apabila seseorang menilai suatu pesan sebagai hal yang lebih jauh dari sudut pandang mereka sendiri daripada hal yang sebenarnya, dan pengarus asimilasi terjadi apabila seseorang menilai pesan tersebut lebih dekat dengan sudut pandang mereka daripada yang sebenarnya (Morissan:2013:81).
Ketidaksesuaian dan Perubahan Sikap
Dalam Teori penilaian social ini membantu pemahaman kita tentang komunikasi sebagai perubahan sikap. Teori penilaian social juga membantu membuat prediksi perubahan sikap berdasarkan rentang yang ada, yaitu : 1). Pesan-pesan yang jatuh pada rentang penerimaan cenderung akan mempermudah perubahan sikap. 2). Jika suatu pesan oleh seseorang dinilai terletak dalam rentang penolakan, maka perubahan sikap akan berkurang atau tidak ada. 3). Dalam rentang penerimaan dan rentang non komitmen semakin tidak sesuai suatu pesan dengan pendirian/prinsip seseorang, maka akan semakin besar kemungkinan sikap akan berubah.
Morissan,2013:83, mengatakan bahwa hal lain mengenai teori penilaian sosial yang membantu kita memahami komunikasi adalah mengenai perubahan sikap, teori ini menyatakan bahwa:
Pertama, pesan yang berada dalam "wilayah penerima" akan dapat mendorong perubahan sikap. Suatu argument yang masuk dalam wilayah penerimaan akan lebih mampu membujuk dibandingkan dengan argument yang berada diluar wilayah penerimaan.
Kedua, jika anda menilai suatu argument atau pesan masuk dalam wilayah penolakan, maka perubahan sikap akan berkurang atau bahkan tidak ada.
Ketiga, jika berbagai argument yang anda terima berada diantara wilayah penerimaan dan wilayah dimana anda perpandanga netral, maka kemungkinan perubahan sikap anda akan dapat terjadi walaupun berbagai argument itu berbeda dengan argument sendiri. Suatu pernyataan yang berbeda jauh dengan sikap sendiri kemungkinan akan dapat menyebabkan perubahan sikap dibandingkan dengan pernyataan yang tidak berbeda jauh dengan pandangan sendiri selama ia berada di antara dua wilayah tersebut. namun sekali argument itu menyentuh wilayah penolakan anda, maka perubahan sikap tidak akan terjadi.
Keempat, semakin besar keterlibatan ego anda dalam suatu isu, semakin luas wilayah penolakan, semakin kecil wilayah netral maka semakin kecil perubahan sikap. Orang-orang dengan keterlibatan ego yang tinggi akan sulit untuk diubah pandangannya. Mereka cenderung akan menolak segala bentuk pernyataan dalam skala yang lebih luas dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki keterlibatan ego dalam suatu isu. Secara umum dapat dikatakan perubahan sikap jauh lebih mudah dilakukan terhadap individu yang tidak memiliki keterlibatan ego dalam suatu isu dibandingkan dengan mereka yang memiliki keterlibatan ego di dalamnya.
Teori Penjulukan / Labelling
Fenomena penjulukan atau biasa disebut Labelling Teori terhadap kelompok dalam masyarakat sudah lama menjadi fokus pengamatan Sosiologi. Kajian tentang penjulukan banyak dilakukan terhadap kelompok atau orang yang memiliki perilaku menyimpang ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat yang telah memiliki standar norma atau aturan tertentu atau interaski antara kelompok. Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (widdy.weebly.com).
Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, Pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan Kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompok, tetapi dalam kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelompoknya. Oleh karena itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentang tingkah laku mana yang layak.
Schrag (1971) memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut:
Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal.
Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan.
Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia ditetapkan demikan oleh penguasa.
Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok:kriminaldannon-kriminal.
Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling.
Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam system peradilan pidana.
Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant(orang yang menyimpang) dan sub-kultur serta menghasilan"rejectionoftherejector"
Ada dua konsep lain yang menarik dalam Teori Penjulukan:
1. Master Status
Teori penjulukan memiliki label dominant yang mengarah pada suatu keadaan yang disebut dengan Master Status. Maknanya adalah sebuah label yang dikenakan (Dikaitkan) yang biasanya terlihat sebagai karakteristik yang lebih atau paling penting atau menonjol dari pada aspek lainnya pada orang yang bersangkutan. Bagi sebagian orang julukan penyimpangan telah diterakan, atau yang biasa disebut dengan konsep diri, mereka menerima dirinya sebagai penyimpang. Bagaimnapun hal ini akan membuat keterbatasan bagi perilaku para penyimpang selanjutnya di mana mereka akan bertindak.
Bagi para "penyimpang" sebutan tersebut menjadi menyulitkan, mereka akan mulai bertindak selaras dengan sebutan itu. Dampaknya mungkin keluarga, teman, atau lingkungannya tidak mau lagi bergabung dengan yang bersangkutan. Dengan kata lain orang akan mengalami stigma sebagai penyimpang/menyimpang dengan berbagai konsekwensinya, ia akan dikeluarkan dari kontak dan hubungan-hubungan yang yang ada (konvensional). Kondisi seperti ini akan sangat menyulitkan yang bersangkutan untuk menata identitasnya dari seseorang yang bukan deviant. Akibatnya, ia akan mencoba malihat dirinya secara mendasar sebagai criminal, terutama sekarang ia mengetahui orang lain memanggilnya sebagai jahat. Melewati rentang waktu yang panjang di mana orang memperlakukannya sebagai kriminal dalam berbagai hal dan ia mungkin akan kehilangan dan tidak akan mendapatkan pekerjaan. Bahkan mungkin lama kelamaan akan mempercayai bahwa kejahatan adalah jalan hidupnya, dan ia akan membangun keoneksinya dengan orang-orang yang memiliki nasib yang sama dan menciptakan subkulturnya yag baru. Sekarang ia menjadi deviant career (widdy.weebly.com).
2. Deviant Career
Konsep Deviant Career mengacu kepada sebuah tahapan ketika sipelanggar aturan (penyimpang) memasuki atau telah menjadi devian secara penuh (outsider). Kai T. Erikson dalam Becker (9 Januari 2005) menyatakan bahwa penyimpangan bukanlah suatu bentuk perilaku inheren, tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan yang mengetahui dan menyaksikan tindakan mereka baik langsung maupun tidak langsung.
Teori ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif Pluralis (pandangan banyak orang). Dalam perspektif itu dikatakan bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada benar atau tidak benar. Hal ini selaras dengan pengertian labeling sebagai bentuk penilaian orang lain terhadap benar atau tidak benarnya tingkah laku seseorang di dalam masyarakat. Penilaian ini muncuk karena adanya proses interaksi diantara masing-masing individu. Paradigma yang sesuai adalah Paradigma Interaksionis, di mana paradigma ini menekankan kepada perbedaan psikologi-sosial dari kehidupan manusia.
Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu kualitas dari reaksi sosial masyarakat terhadap suatu tingkah laku atau perbuatan, di mana dalam teori labeling dijelaskan bahwa tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada proses labeling atau cap terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku kejahatan. Ilustrasi singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru saja keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang dia lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling, yaitu keputusan dari penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan patut untuk dihukum penjara (sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag, penangkapan adalah proses labeling). Setelah keluar dari penjara tersebut, masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena cap yang telah melekat pada dirinya (sulit melepaskan label). Terjadi interaksi antara individu yang baru keluar dari penjara tersebut dengan masyarakatnya, dan interaksi itu menghasilkan kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas.
Siklus Terjadinya Labelling Teori.
Hal ini kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental, dan sisi psikologis seseorang tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk bertahan, seperti misalnya sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali kepercayaan dari orang-orang. Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang tersebut akhirnya mengulangi perbuatannya dan akhirnya mengidentifikasi dirinya sebagai penjahat (widdy.weebly.com).
Teori Konstruksi Sosial Emosi
Emosi berasal dari kata Prancis Amouvoir,atau dalam bahasa Latin e-movere (e=luar,dan movere=bergerak),yang berarti "perasaan yang bergerak ke luar." Definisi yang umum untuk kata emosi adalah "reaksi atau perasaan yang intens terhadap seseorang atau sesuatu kejadian". Secara biologis emosi dihasilkan dari sistem limbik otak yang terletak dibatang otak. Respon orang terhadap pemicu emosi berbeda-beda,antara lain ditentukan oleh faktor kepribadian dan tingkat intelektualitas seseorang. Teori konstruksi sosial emosi termasuk kedalam tradisi sosiopsikologis, karena tradisi ini memberikan perhatian antara lain pada perilaku individu, pengaruh, kepribadian dan sifat individu atau bagaimana individu melakukan persepsi. Sosiopsikologis digunakan dalam topik-topik tentang diri individu,pesan,percakapan,hubungan interpersonal,kelompok,organisasi,media,budaya dan masyarakat. Jadi,konstruksi sosial emosi termasuk dalam tradisi sosiopsikologis karena teori ini menyangkut bagaimana individu didalam masyarakat bisa menempatkan emosi secara positif,walaupun tidak dipungkiri bahwa emosi secara negatif terkadang masih terlampiaskan didalam kehidupan bermasyarakat,tetapi setidaknya dengan memahami emosi secara mendalam dalam mengurangi emosi secara negatif.
Tokoh dalam teori konstruksi sosial emosi ini adalah Harre dan James Averill. Harre menyatakan bahwa emosi merupakan konsep-konsep yang tersusun,seperti aspek lain dari pengalaman manusia karena mereka ditentukan oleh bahasa lokal dan tata susunan moral dari kebudayaan atau kelompok sosial. Salah satu karya ilmiah terkemuka mengenai pembentukan sosial mengenai emosi adalah James Averill. Menurut Averil, emosi merupakan sistem kepercayaan yang memandu pemahaman seseorang mengenai situasi. Biasanya,emosi terdiri dari norma-norma sosial yang dipelajari dan aturan yang mengatur perasaan. Norma dan aturan ini memberitahu kita bagaimana menjelaskan serta menanggapi emosi. Emosi memiliki sebuah komponen psikologis,tetapi mengenali dan menamai perasaan-perasaan jasmani dipelajari secara sosial dalam sebuah kebudayaan. Dengan kata lain,kemampuan untuk memahami emosi terbentuk secara emosional (Morissan,2013:119).
Bagaimana sebuah emosi dinamai "emosi?". Anda mungkin memiliki pengertian yang berbeda untuk respons psikologis yang sama,bergantung pada apakah anda menyebutkan "kemarahan" atau "rasa takut". Anda mengalami emosi secara sepihak ketika anda menyebutnya "kecemburuan" dan cukup berbeda ketika anda menyebutknya "kesendirian". Kita memiliki aturan untuk apa kemarahan, rasa takut dan kesendirian serta kita memiliki aturan untuk bagaimana merespons pada perasaan tersebut, aturan yang terbentuk dalam interaksi sosial selama masa hidup. Averill menyebut emosi sebagai sindrom yang diartikan sebagai kelompok-kelompok atau susunan-susunan respon yang berjalan beriringan. Tidak ada respons tunggal yang cukup untuk menjelaskan sebuah emosi,tetapi semuanya harus dipandang secara bersamaan. Sindrom emosional terbentuk secara sosial karena manusia belajar melalui interaksi mengenai kelompok perilaku tertentu apa yang harus diambil untuk mengartikan dan bagaimana menunjukkan sebuah emosi tertentu. Emosi dimainkan dalam cara tertentu dan kita mempelajari peranan ini melalui komunikasi. Seperti apakah dukacita itu? Dukacita terlihat berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Manusia harus belajar dalam masing-masing budayanya untuk mengenali dan melakukan peranan orang yang sedang berduka,orang yang sedang marah,atau orang yang cemburu (Morissan,2013:120).
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini didasari atas paradigma konstruktivisme yang bertujuan untuk membongkar makna-makna tertentu dari komunikasi. Paradigma konstruktivisme ini digunakan untuk membangun proses kognitif dalam memahami sebuah fenomena yang terjadi pada pilpres 2014 lalu, dalam hal ini tentang pihak-pihak pendukung prabowo maupun jokowi ketika melakukan hate speech dalam bentuk meme dengan tema kekalahan prabowo dan kemenangan jokowi. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif adalah salah satu metode penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang kenyataan melalui proses berpikir induktif. Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek, merasakan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari (Basrowi dan Suwandi, 2008:2).
Pendekatan studi kasus (case study) memusatkan diri secara intensif pada satu obyek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, dengan kata lain dalam studi ini dikumpulkan dari berbagai sumber. Penelitian studi kasus akan kurang kedalamannya bilamana hanya dipusatkan pada fase tertentu saja atau salah satu aspek tertentu sebelum memperoleh gambaran umum tentang kasus tersebut. Sebaliknya studi kasus akan kehilangan artinya kalau hanya ditujukan sekedar untuk memperoleh gambaran umum namun tanpa menemukan sesuatu atau beberapa aspek khusus yang perlu dipelajari secara intensif dan mendalam. Studi kasus yang baik harus dilakukan secara langsung dalam kehidupan sebenarnya dari kasus yang diselidiki. Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja dari kasus yang diteliti, tetapi, juga dapat diperoleh dari semua pihak yang mengetahui dan mengenal kasus tersebut dengan baik. Dengan kata lain, data dalam studi kasus dapat diperoleh dari berbagai sumber namun terbatas dalam kasus yang akan diteliti (Mulyana, 2006).
DISKUSI
Munculnya Hatespeech di sosial media oleh para pendukung Jokowi dalam bentuk meme kepada Prabowo pada pilpres 2014.
Pada saat pilpres 2014 lalu berlangsung, ketika hasil pengumuman untuk menentukan pasangan Presiden dan Wakil Presiden periode sudah hampir diumumkan, ada salah satu Capres, yakni Prabowo Subianto, sudah menyatakan tidak menerima hasil penghitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pernyataan prabowo ini telah diberitakan media-media online seperti liputan6.com, kompas.com. Pernyataan sikap ini tak pelak langsung menuai reaksi dari berbagai pihak khususnya para pendukung Jokowi, tidak banyak dari mereka yang melakukan hate speech atau ujaran kebencian atas pernyataan prabowo ini dengan membuat meme atau plesetan di media sosial khususnya twiter,yang ditujukan pada prabowo dan para pendukungnya. Jika melakukan analisis terhadap fenomena ini dengan menggunakan teori komunikasi, penulis berpendapat setidaknya ada tiga teori yang relevan antara lain: Pertama, Teori Penilaian Sosial, Teori penilaian sosial ini memberikan perhatian bagaimana seseorang memberikan penilaian mengenai segala pernyataan yang didengarnya. Teori ini disusun berdasarkan peneitian muzafer sheriff yang berupaya memperkirakan bagaimana seseorang menilai suatu pesan dan bagiaman penilaian yang dibuat tersebut dapat memengaruhi system kepercayaan yang sudah dimiliki sebelumnya. Menurut sherif, proses yang sama juga berlaku dalam menilai pesan komunikasi. Hal ini disebutnya dengan persepsi sosial. Dalam kehidupan sosial, acuan atau refrensi tersimpan didalam kepala kita serta berdasarkan pengalaman sebelumnya. Kita mengandalkan pada refrensi internal ata disebut reference point. Dalam teori ini, individu memberikan penilaian untuk menerima dan menolak pesan berdasarkan dua hal yaitu acuan internal dan keterlibatan ego, namun demikain proses penilaian ini dapat menimbulkan distorsi atau penyimpangan, dalam hal ini pertama adalah penilaiannya dengan cara membuat efek pertentangan atau membuat efek asimilasi (morissan,2013:81). Jika melihat dalam kasus pilpres 2014 lalu, ketika prabowo menyatakan ketidakterimaannya terhadap hasil penghitungan suara oleh KPU yang menunjukkan kemenangan jokowi. secara otomatis pihak-pihak yang menjadi pendukung jokowi akan langsung menolak dengan keras pernyataan prabowo tersebut, karena pendukung jokowi ini memiliki keterlibatan ego yang tinggi dengan keikutsertaannya secara langsung dalam mendukung jokowi. sehingga dari proses penolakan dari pesan prabowo tersebut, mereka melakukan penilaian sosial dengan cara membuat meme-meme yang tersebar di sosial media. Dengan munculnya meme-meme tersebut, hal inilah yang disebutkan dalam teori sebagai persepsi sosial, dimana persepsi yang tertanam dalam pikiran masyarakat bahwa prabowo menolak hasil pilpres, dan meminta agar pilpres tersebut diulang kembali. Selanjutnya yang kedua adalah analisis dengan Teori Penjulukan atau Labelling, dalam teori ini, penjulukan sesungguhnya merupakan suatu yang cukup dilematik. Ketika seseorang atau kelompok menjuluki orang lain atau pihak lain, yang katakanlah dengan sebutan pencuri atau yang lebih ekstrim golongan teroris, maka julukan tersebut akan tersosialisasi dengan intens dan pandangan masyarakat terhadap pihak yang dijuluki akan menjadi sangat negatif, tidak peduli apakah penulukan tersebut memiliki landasan argumen yang kuat atau tidak terhadap keselarasan norma kemanusiaan, bersifat benar atau hanya mengada-ada belaka. Sehingga pada keadaan tertentu, orang yang terkena julukan tersebut kemudian tidak akan mampu membendung arus negatif yang menerpa mereka dari berbagai cacian, kecaman, hujatan dan sanksipun seolah-olah merupakan suatu harga yang harus mereka bayar (Morissan,2013). Jika melihat fenomena diatas, ketika Prabowo mengeluarkan pernyataan tidak menerima hasil akhir penghitungan KPU, ketika itu pula pihak-pihak yang kontra atau bukan pendukungnya memanfaatkan label prabowo yang sudah kita kenal sejak dulu ialah sebagai julukan "macan asia", namun mereka yang notabenenya adalah pendukung jokowi, tentu memanfaatkan label macan asia ini sebagai alat untuk menjatuhkan prabowo sendiri dengan membuat meme seperti dibawah ini:
Label "macan asia" pada Prabowo yang semula diinterpretasikan sebagai sosok seorang pemimpin yang gagah berani dan juga ditakuti oleh Negara-negara asing, label yang diberikan pada Prabowo yang berdasarkan prestasinya dulu sebagai TNI yang cukup ternama, dan sebagai menantu dari Presiden Soeharto. Namun, seketika itu juga label "macan asia" berubah menjadi label untuk menjatuhkan citra Prabowo.
Hal ini disebabkan karena pernyataan Prabowo yang tidak menerima hasil kemenangan Jokowi, sehingga masyarakat menilai seorang Prabowo tidak secara jantan menerima kekalahannya atas Jokowi dan langsung memberikan penjulukan seperti pada meme tersebut, hal ini sangat sesuai dengan yang dijelaskan dalam teori penjulukan.
Selanjutnya analisis dengan menggunakan teori ketiga, yaitu Teori Konstruksi Sosial Emosi. Di dalam teori ini telah disebutkan, terdapat empat aturan yang mengatur emosi, pertama adalah aturan mengenai penilaian (rules of appraisal). Aturan memberitahu apakah emosi itu, kepada siapa emosi diarahkan, serta apakah emosi itu positif ataukah negatif. Aturan kedua ialah mengenai tingkal laku (rules of behavior) memberitahu bagaimana memberikan respons kepada perasaan, apakah perasaan itu harus disembunyikan atau diungkapkan secara pribadi atau ditunjukkan secara terbuka kepada publik. Ketiga aturan mengenai pendapat (rules of prognosis), menentukan kemajuan dan arah emosi, berapa lama emosi harus dipertahankan, bagaimana memulai dan mengakhirkannya, bagaimana tahapannya dll. Terakhir keempat aturan mengenai atribusi (rules of attribution), menentukan bagaimana suatu emosi harus dijelaskan atau dibenarkan, apa yang akan dikatakan kepada orang lain mengenai emosi itu, dan bagaimana mengungkapkannya secara publik (Morissan, 2013:121).
Jika fenomena meme diatas ditelaah menggunakan teori konstruksi sosial emosi, penulis menemukan adanya beberapa indikator yang dirasa cukup relevan. Pertama ialah dari perspektif (rules of appraisal), dalam hal ini ialah kepada siapa emosi diarahkan dan emosi yang negatif atau negatif, pada kasus prabowo, ketika beliau mengambil keputusan berupa pernyataan bahwa beliau tidak sepakat atau sejutu dengan keputusan hasil KPU. Maka secara otomatis juga kelompok yang mendukung Jokowi akan timbul perasaan emosi pada diri mereka masing-masing, hal ini ditunjukkan dengan melihat meme-meme yang telah dibuat oleh para pendukung jokowi, emosi mereka jelas bersifat negatif dan ditujukan kepada Prabowo dan pendukungnya. Indikator kedua ialah (rules of behavior), dalam hal ini emosi yang ditimbulkan oleh para pendukung jokowi dengan berbentuk meme ini telah memilih untuk ditunjukkan secara terbuka kepada publik/masyarakat. Indikator ketiga ialah (rules of prognosis), dalam konteks kasus diatas, emosi yang muncul oleh pihak-pihak jokowi ini tidak dapat dipastikan waktu berlangsungnya. Karena bisa jadi setelah pemilu selesai, pihak-pihak dari kubu Jokowi, akan terus membenci/tidak menyukai sosok dari seorang Prabowo. Indikator keempat ialah (rules of attribution),
dalam hal ini para pendukung jokowi mengatakan tentang emosi yang mereka rasakan dengan mengaplikasikannya ke dalam sebuah meme-meme dan cara mengungkapkannya kepada publik adalah dengan menggunakan jejaring sosial seperti twiter dan facebook. Berikut ialah contoh dari meme-meme yang dibuat oleh pendukung Jokowi kepada pihak kubu Prabowo.
Sumber: liputan6.com
SIMPULAN
Berdasarkan diskusi yang telah diuraikan, Ada tiga teori yang bisa digunakan dalam analisis kasus meme prabowo dan jokowi di dalam sosial media pada pillres 2014 lalu ini, yaitu: Teori Penilaian Sosial, Teori Penjulukan, dan Teori Konstruksi Sosial Emosi.
Teori Penilaian Sosial lebih menekankan pada keterlibatan ego para pendukung Jokowi pada saat pilpres, sehingga penilaian sosial mereka ketika Prabowo menyatakan tidak setuju terhadap penghitungan hasil KPU, persepsi sosial mereka diwujudkan dengan membuat meme-meme yang bernuansa hatespeech kepada Prabowo di sosial media.
Teori Penjulukan lebih memaparkan label "macan asia" yang dimiliki oleh Prabowo dibenak publik, telah menjadi alat untuk menjatuhkan citra Prabowo setelah Prabowo menyatakan tidak setuju terhadap penghitungan hasil KPU yang menunjukkan kemenangan Jokowi-JK.
Teori Konstruksi Sosia Emosi lebih menjelaskan bagaimana suatu emosi yang dimiliki oleh para pendukung Jokowi-JK diatur dalam empat indikator dalam mengatur suatu emosi, empat cara ini adalah (rules of appraisal), (rules of behavior), (rules of prognosis), dan (rules of attribution).
SARAN
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan, untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk bisa lebih banyak mengembangkan dan membahas fenomena-fenomena lainnya berkaitan dengan isu yang mengandung hate speech dalam konteks manapun selain di sosial media dan dalam konteks pemilu, untuk memperkaya hasil penelitian yang telah ada. Selain itu, untuk lebih memperluas bidang kajian yang serupa dengan ini, penelitian selanjutnya disarankan dapat melihat dan mengkaji lebih mendalam mengenai motif seseorang maupun kelompok ketika melakukan hate speech dan dampaknya dari si penerima hatespeech itu sendiri yang akhirnya menimbulkan gejolak yang tidak harmonis dalam realitas sosial masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Basrowi., Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta:Rineka Cipta
Effendy, Onong Uchjana. 2013. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Cetakan keduapuluhlima.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Littlejohn, Stephen W., & Foss, Karen A. 2014. Teori Komunikasi. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Moleong, Lexy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2006. Metode Penulisan Kualitatif. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya.
Morissan., Wardhani, Andy Corry., & U, Farid Hamid. 2013. Teori Komunikasi Massa. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Rousydiy, Lathief. 1989. Rhetotica Komunikasi dan Informasi. Medan. Firma "Rimbow" Medan.
Supardan, Dadang. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
West, Richard dan Turner. 2013. Pengantar Teori Komunikasi. Analisis dan Aplikasi. Jakarta. Salemba Humanika.
West, Richard dan Turner, Lynn H. 2014.Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Edisi 3 – Buku 2. Jakarta: Salemba Humanika.
Venus, Antar. 2015. Apakah Teori Itu? Materi Kuliah Kajian dan Pengembangan Teori Komunikasi dan Informasi, Program Magister Komunikasi FIKOM UNPAD
Internet:
https://id.wikipedia.org/wiki/Ucapan_kebencian
http://tekno.liputan6.com/read/2081703/meme-prabowo-tolak-pilpres-banjiri-dunia-maya
http://widdy.weebly.com/blog/sekilas-tentang-teori-labelling http://fisip.uajy.ac.id/2014/07/08/cyberbullying-dan-pilpres-2014/