Konstruksi Sosial Media Massa
A. Latar Belakang Kajian Konstruksi Sosial Media
Pada mulanya, iklan televisi merupakan subkajian sosiologi komunikasi
massa yang kemudian bersentuhan dengan studi komunikasi bisnis dan budaya
popular. Di saat iklan memperoleh medium yang disebut televisi, pesan-
pesannya semakin menjadi hidup, bergairah, dan memenuhi sasaran secara
lebih efektif bila dibandingkan dengan iklan melalui media lainnya.
Selama ini iklan televisi telah banyak menumbuhkan kegairahan
sosiologis dalam interaksi sosial di antara anggota masyarakat, sebagaimana
beberapa contoh berbagai parodi (bagian dari interaksi verbal yang
terdengar di masyarakat). Di antaranya terdengar di tengah senda gurau anak-
anak, 'aku dan kau, jelekan kau'. Parodi lain yang juga terdengar di
kalangan remaja yang sedang bersitegang, 'ah teori'. Dua parodi itu
ternyata ditiru dari iklan Dancow dan sampo Clear yang sudah cukup lama
ditayangkan di televisi. Ada juga parodi yang menggelitik telinga seperti,
'orang pintar minum tolak angin' (Tolak Angin) dan parodi lain yang cukup
'berani' seperti 'pas susunya' (Torabika).
Parodi-parodi di atas hanyalah hiburan musiman yang berkembang,
kemudian hilang, dan muncul lagi, namun lebih dari itu, kenyataan ini
menyadarkan bahwa adanya sebuah realitas baru di masyarakat yang
merefleksikan parodi-parodi itu karena seseorang melihat iklan televisi.
Bahkan realitas sosial tersebut dapat atau sedang dikonstruksi oleh sebuah
iklan televisi.
Parodi hanyalah salah satu contoh dari realitas kekuatan media
mengkonstruksi realitas sosial, di mana melalui kekuatan itu media
memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah diubah
citranya, kemudian media memindahkannya melalui replikasi citra ke dalam
realitas sosial yang baru di masyarakat, seakan realitas itu sedang hidup
di masyarakat. Contohnya iklan susu Dancow di televisi yang menyebutkan
'aku dan kau suka Dancow'. Pada awalnya ide iklan tersebut diangkat dari
dialog seorang ibu dengan anaknya (sebuah realitas sosial lama). Namun,
begitu dialog itu terjadi dalam media televisi, maka telah terjadi
perubahan citra, bahwa Dancow bukan lagi susu sembarangan. Hal ini
dikarenakan ketika pada akhir dialog, sang anak sehabis minum susu Dancow
lalu ia memberitahukan kepada ibunya, kalau tangannya telah menyentuh
telinga. Artinya, sang anak telah cepat besar hanya dengan meminum segelas
Dancow.
Berdasarkan contoh iklan susu Dancow tersebut, akhirnya menggiring
kepada serangkaian pertanyaan tentang bagaimana suatu realitas sosial bisa
dikonstruksi oleh iklan televisi. Dengan kata lain, adakah format iklan
tertentu yang dapat mengkonstruksi realitas sosial. Begitu pula seharusnya
ada substansi tertentu yang menunjukkan adanya ciri-ciri realitas sosial
yang dibentuk oleh iklan, kemudian, adakah makna dan implikasi sosial
tertentu yang terdapat simbol dan citra realitas sosial suatu iklan.
Secara teoritis persoalan itu sementara dapat dijawab bahwa konstruksi
sosial iklan televisi adalah cara bagaimana realitas baru itu bisa
dikonstruksi oleh media melalui interaksi simbolik dan padanan budaya dalam
dunia intersubjektif serta proses pelembagaan realitas baru. Sebagaimana
dikatakan Parera, terciptanya konstruksi sosial itu melalui tiga momen
dialektis, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Sehingga
sebagai media konstruksi realitas sosial, iklan mampu melampaui momen
dialektis.
Namun, masalah-masalah dominan dalam bab ini, yakni persoalan iklan
televisi mengkonstruksi realitas sosial, atau dengan kata lain bagaimana
konstruksi iklan televisi atas realitas sosial dalam masyarakat kapitalis.
Persoalan spesifiknya menyangkut substansi mengenai:
1. Proses konstruksi iklan televisi atas realitas sosial sebagai refleksi
dari kekuatan konstruksi sosial pencipta iklan televisi;
2. Bentuk atau ciri realitas sosial apa yang dibentuk atau dibangun oleh
konstruksi sosial pencipta iklan televisi;
3. Makna dan implikasi sosial suatu simbol realitas sosial dari iklan
televisi bagi masyarakat pemirsa televisi.
B. Teori konstruksi sosial
Sebelum memahami teori konstruksi sosial, akan dijelaskan terlebih
dahulu tentang paradigma definisi sosial dan paradigma konstruktivis.
Ritzer menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma definisi
sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari
realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan
oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan sebagainya, yang
semua itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan
struktur dan pranata sosial.
Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas
kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana individu berasal. Manusia
secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respon-respon
terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi
sosial lebih tertarik pada apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang
proses sosial, terutama para pengikut interaksi simbolik. Dalam proses
sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang
relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Yang menjadi pusat perhatian dalam paradigma definisi sosial adalah tentang
tindakan sosial, yaitu tindakan individu mempunyai makna atau arti
subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Teori yang
tergabung adalah teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi.
Dalam pandangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan
manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di
sekelilingnya. Dunia sosial yang dimaksud (menurut George Simmel) bahwa
realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut
kesan kita itu 'ada' dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya.
Paradigma Konstruktivis
Sementara paradigma konstruktivis ialah paradigma di mana kebenaran suatu
realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran
suatu realitas sosial bersifat relatif (nisbi). Pertama, dilihat dari
penjelasan ontologis, realitas yang dikonstruksi itu berlaku sesuai konteks
spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Kedua, paradigma
konstruktivis ditinjau dari konteks epistemologis, bahwa pemahaman tentang
suatu realitas merupakan produk interaksi antara peneliti dengan objek yang
diteliti. Dalam hal ini, paradigma konstruktivis bersifat transactionalist
atau subjectivist. Ketiga, dalam konteks aksiologi, yakni peneliti sebagai
passionate participation, fasilitator yang menjembatani keragaman
subjektivitas pelaku sosial.
Posisi pembahasan teoretis dalam bab ini, berada pada studi-studi
masyarakat dan komunikasi massa (mass communication and society) dengan
topik kajian utama media massa dan konstruksi sosial atas realitas sosial
(mass media and social construction of reality). Untuk menempatkan kajian
ini pada kerangka sosiologis, maka dalam pembahasan nanti, paradigma
definisi sosial menjadi basis dominan di samping paradigma konstruktivis
(constructivism paradigm). Sehingga diharapkan dapat menjembatani kedua
paradigma, yakni kerangka studi sosiologi komunikasi dengan spesifikasi
konstruksi sosial iklan televisi dalam masyarakat kapitalis.
Teori Konstruksi Realitas
Konsep mengenai konstruksi pertama kali diperkenalkan oleh Peter L. Berger,
seorang interpretatif. Peter L. Berger bersama-sama dengan Thomas Luckman
mengatakan setiap realitas sosial dibentuk dan dikonstruksi oleh manusia.
Mereka menyebutkan proses terciptanya konstruksi realitas sosial melalui
adanya tiga tahap, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Eksternalisasi ialah proses penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural
sebagai produk manusia. Dimulai dari interaksi antara pesan iklan dengan
individu pemirsa melalui tayangan televisi. Tahap pertama ini merupakan
bagian yang penting dan mendasar dalam satu pola interaksi antara individu
dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Yang dimaksud dalam proses ini
ialah ketika suatu produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam
masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial
itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia
luar;
2. Objektivasi ialah tahap di mana interaksi sosial yang terjadi dalam
dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi. Pada tahap ini, sebuah produk sosial berada proses
institusionalisasi, sedangkan individu memanifestasikan diri dalam produk-
produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya
maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini
bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka bisa
dipahami secara langsung. Dengan demikian, individu melakukan objektivasi
terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini
berlangsung tanpa harus mereka saling bertemu. Artinya, proses ini bisa
terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di
masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, dan
tanpa harus terjadi tatap muka antarindividu dan pencipta produk sosial;
3. Internalisasi ialah proses di mana individu mengidentifikasikan dirinya
dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu
menjadi anggotanya. Terdapat dua pemahaman dasar dari proses internalisasi
secara umum; pertama, bagi pemahaman mengenai 'sesama saya' yaitu pemahaman
mengenai individu dan orang lain; kedua, pemahaman mengenai dunia sebagai
sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial.
C. Teori Politik-Ekonomi Media
Garnham mengemukakan beberapa asumsi yang menjadi kerangka berpikir dari
teori politik-ekonomi media, yaitu:
"An approach which focuses more on economic structure than on ideological
content of media; It asserts the dependence of ideology on the economic
base and directs research attention to the empirical analysis of the
structure of ownership and to the way media market forces operate; From
this point of view, the media institution has to be considered as part of
the economic system though with close links to the political system; The
predominant character of the knowledge of and for society produced by the
media can be largely accounted for by the exchange value of different kinds
of content, under conditions of pressure to expand markets, and by the
underlying economic interests of owners and decision makers" .
(Sebuah pendekatan yang lebih memfokuskan pada struktur ekonomi daripada
isi ideologi media; Teori ini menyatakan ketergantungan ideologi pada dasar
ekonomi dan menunjukkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap
struktur kepemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media; Dari sudut
pandang ini, institusi media harus dipertimbangkan sebagai bagian dari
sistem ekonomi yang berkaitan dengan sistem politik; Kualitas pengetahuan
yang diproduksi media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan
oleh pertukaran nilai berbagai macam isi di dalam kondisi yang memaksakan
perluasan pasar, dan di bawah kepentingan ekonomi dan pembuat kebijakan).
Teori Politik-Ekonomi Media (political-economic media theory) bisa
dikategorikan salah satu akar dari teori makro komunikasi massa. Secara
komprehensif, Teori Politik-Ekonomi Media memusatkan perhatian bahwa media
massa sebagai bagian dari suatu industri yang mempunyai kaitan erat dengan
aspek ekonomi dan politik. Aspek ekonomi bisa dirumuskan dengan bagaimana
media menjual atau memasarkan isi berita. Di dalam pemikiran ini, isi
berita pada media bisa disebut sebagai sebuah komoditi untuk dijual ke
pasar. Tetapi, isi berita suatu media dikontrol oleh apa yang diinginkan
pasar. Di sinilah kekuatan pasar sebagai bagian dari sistem ekonomi
memiliki pengaruh terhadap isi berita media massa.
Sedangkan hubungan antara institusi pers dengan aspek politik bisa ditinjau
dari struktur kepemilikan media dan ideologinya. Namun, tidak dapat
disangkal bahwa institusi pers memiliki ketergantungan dan bahkan lebih
dekat dengan sistem politik (pembuat kebijakan) suatu negara. Maka dari
itu, aspek ekonomi dan politik selalu mempengaruhi pemberitaan sebuah media
baik cetak maupun elektronik.
Daftar Pustaka
Bungin, Burhan. 2007. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
McQuail, Dennis. 1987. Mass Communication Theory: An Introduction. London
and New Delhi: Sage Publications.
Konstruksi Sosial atas Realitas dan Konstruksi Sosial Media Massa
A. Kritik terhadap Teori Konstruksi Sosial
Seperti yang sudah dijelaskan pada pertemuan lalu, bahwa Peter L. Berger
dan Thomas Luckman menjelaskan konstruksi sosial atas realitas terjadi
secara simultan melalui tiga tahap, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi. Tiga proses ini terjadi di antara individu satu dengan
individu lainnya dalam masyarakat.
Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan
Luckman adalah proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa
dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi-sekunder.
Basis sosial teori dan pendekatan ini ialah masyarakat transisi-modern di
Amerika pada sekitar tahun 1960-an, di mana media massa belum menjadi
sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian, teori
konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckman tidak
memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh
dalam konstruksi sosial atas realitas.
Pada kenyatannya konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban,
membutuhkan waktu yang lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara
hierarkis-vertikal, di mana konstruksi sosial berlangsung dari pimpinan ke
bawahannya, pimpinan kepada massanya, kyai kepada santrinya, guru kepada
muridnya, orang tua kepada anaknya, dan sebagainya.
Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial
atas realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckman ini memiliki kemandulan
dan ketajaman atau dengan kata lain mampu menjawab perubahan zaman, karena
masyarakat transisi-modern di Amerika Serikat telah habis dan berubah
menjadi masyarakat modern dan postmodern, dengan demikian hubungan-hubungan
sosial antarindividu dengan kelompoknya, pimpinan dengan kelompoknya, orang
tua dengan anggota keluarganya menjadi sekunder-rasional. Hubungan-hubungan
sosial primer dan semi-sekunder hampir tak ada lagi dalam kehidupan
masyarakat modern dan postmodern. Maka, teori dan pendekatan konstruksi
sosial atas realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckman menjadi tidak
bermakna lagi.
Di dalam buku yang berjudul, Konstruksi Sosial Media Massa; Realitas Iklan
Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik, teori dan pendekatan konstruksi
sosial atas realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckman telah direvisi
dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi hal yang
substansial dalam proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Artinya, sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses
konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu. Substansi
"konstruksi sosial media massa" adalah pada sirkulasi informasi yang cepat
dan luas sehingga konstruksi sosial yang berlangsung sangat cepat dan
sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini
massa, massa cenderung apriori, dan opini massa cenderung sinis.
Posisi "konstruksi sosial media massa" adalah mengoreksi substansi
kelemahan dan melengkapi "konstruksi sosial atas realitas", dengan
menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan
"konstruksi sosial media massa" atas "konstruksi sosial atas realitas".
Namun, proses simultan yang digambarkan di atas tidak bekerja secara tiba-
tiba, namun terbentuknya proses tersebut melalui beberapa tahap penting.
B. Proses Kelahiran Konstruksi Sosial Media Massa
Dari konten konstruksi sosial media massa, proses kelahiran konstruksi
sosial media massa melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1) Tahap menyiapkan materi konstruksi
Ada tiga hal penting dalam tahap atau proses persiapan materi konstruksi,
yaitu:
a) Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui, saat
ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis.
Dalam arti, media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk
menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan penggandaan modal.
Semua elemen media massa, termasuk orang-orang media massa berpikir untuk
melayani kapitalisnya, ideologi mereka adalah membuat media massa laku di
masyarakat.
b) Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini adalah
empati, simpati, dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-
ujungnya adalah untuk "menjual berita" dan menaikkan rating untuk
kepentingan kapitalis.
c) Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada
kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap
media massa, namun, akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan
jati dirinya, walaupun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.
2) Tahap sebaran konstruksi
Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media massa.
Konsep konkret strategi sebaran media massa masing-masing berbeda, namun
prinsip utamanya adalah real-time. Media elektronik memiliki konsep real-
time yang berbeda dengan media cetak. Karena sifatnya yang langsung (live),
maka yang dimaksud dengan real-time oleh media elektronik adalah seketika
disiarkan, seketika itu juga pemberitaan sampai ke pemirsa atau pendengar.
Namun bagi varian-varian media cetak, yang dimaksud dengan real-time
terdiri dari beberapa konsep hari, minggu, atau bulan, seperti harian,
mingguan, dan bulanan. Walaupun media cetak memiliki konsep real-time yang
tertunda, namun konsep aktualitas menjadi pertimbangan utama sehingga
pembaca merasa tepat waktu memperoleh berita tersebut.
3) Tahap pembentukan konstruksi
a) Tahap pembentukan konstruksi realitas
Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, di mana pemberitaan telah sampai
pada pembaca dan pemirsanya, yaitu terjadi pembentukan konstruksi di
masyarakat melalui tiga tahap yang berlangsung. Pertama, konstruksi
realitas pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang
terbentuk di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang ada
(tersaji) di media massa sebagai suatu realitas kebenaran.
Kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari
tahap pertama. Bahwa pilihan orang untuk menjadi pembaca dan pemirsa media
massa adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-pikirannya
dikonstruksi oleh media massa. Ketiga, menjadikan konsumsi media massa
sebagai pilihan konsumtif, di mana seseorang secara habit tergantung pada
media massa. Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa
dilepaskan.
b)Tahap pembentukan konstruksi citra
Konstruksi citra yang dimaksud bisa berupa bagaimana konstruksi citra pada
sebuah pemberitaan ataupun bagaimana konstruksi citra pada sebuah iklan.
Konstruksi citra pada sebuah pemberitaan biasanya disiapkan oleh orang-
orang yang bertugas di dalam redaksi media massa, mulai dari wartawan,
editor, dan pimpinan redaksi. Sedangkan konstruksi citra pada sebuah iklan
biasanya disiapkan oleh para pembuat iklan, misalnya copywriter.
Pembentukan konstruksi citra ialah bangunan yang diinginkan oleh tahap-
tahap konstruksi. Di mana bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh
media massa ini terbentuk dalam dua model, yakni model good news dan model
bad news. Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung
mengkonstruksi suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Sedangkan
model bad news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi
kejelekan atau memberi citra buruk pada objek pemberitaan.
4) Tahap konfirmasi
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca dan pemirsa
memberi argumentasi dan akunbilitas terhadap pilihannya untuk terlibat
dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai
bagian untuk memberi argumentasi terhadap alasan-alasannya konstruksi
sosial. Sedangkan bagi pemirsa dan pembaca, tahapan ini juga sebagai bagian
untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses
konstruksi sosial.
Daftar Pustaka
Bungin, Burhan. 2007. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Goodman, Douglas J, dan George Ritzer. 2004. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.