Evaluasi Kinerja Implementasi BPJS Kesehatan di Rumah Sakit Sutoto, Heru Ariyadi, Daniel Wibowo Ritz Carlton – Jakarta, 21 Mei 2014
Kunjungan Pasien peserta BPJS
Tarif INACBG
Regulasi
Sudut Pandang RS Pemerintah & Non Pemerintah
RS. Pemerintah = RS Bersubsidi RS Non Pemerintah = RS Mandiri Kepuasan RS
Pelayanan RS
Klaim Pembayaran
Kunjungan Pasien Peserta BPJS BPJS •
Peserta BPJS BPJS kesehatan terus meningkat (per 9 Mei 2014 sudah mencapai 121.671.432 peserta), sehingga kunjungan peserta BPJS BPJS di rumah sakit terus meningkat.
•
Terjadi pergeseran proporsi kunjungan pasien peserta BPJS BPJS dengan pasien non BPJS, BPJS, yang makin meningkat dari bulan ke bulan.
•
Bagi sebagian besar RS Pemerintah, Pemerintah, peningkatan peserta BPJS BPJS meningkatkan pendapatan rumah sakit, sehingga muncul tuntutan insentif tambahan bagi karyawan.
•
Bagi RS non pemerintah, unit cost biaya pelayanan per episode relatif lebih rendah dibanding biaya pelayanan pasien umum (walaupun sebagian surplus dibanding tarif RS), karena penggunaan standar therapy yang dikendalikan menyesuaikan tarif INA-CBG.
•
Regionalisasi kunjungan ke RS berdasar alamat pasien, dianggap melanggar ha k pasien untuk memilih RS.
•
Kesulitan input untuk rumah sakit yang jauh dari fasilitas internet.
•
Mis komunikasi dengan pasien yang tidak paham perbedaan haknya dalam skema JKN.
•
Pasien mandiri yang ikut BPJS sebagian besar sudah sakit.
Tarif INA-CBG •
Selisih tarif antar regional tidak bermakna dan pengelompokannya tidak sesuai, misalnya tarif RS di Jakarta yang biaya operasional SDM nya tinggi disamakan dengan RS kota kecil di jawa (bobot beban SDM sekitar 30 – 40 persen biaya operasional).
•
Walaupun sudah ada koreksi beberapa tarif INA-CBG, masih ada beberapa kategori tarif dengan tindakan yang dianggap tidak sesuai unit cost, seperti tindakan bedah laparoskopi.
•
Ada kesenjangan tarif yang sangat besar ( > 2 kali lipat) antara RSU Kelas A dan RSU kelas B/C/D, termasuk pelayanan yang menjadi kompetensi RSU kelas B / C / D. hal itu diduga akibat data costing yang diolah NCC dari RS kelas B/C/D tidak valid.
•
Sebagian besar rumah sakit di kota sedang dan kecil secara agregat pembayaran klaim BPJS BPJS surplus dibanding tarif pelayanan RS, walaupun dari biaya per episode pasien relatif lebih kecil dibanding pasien umum.
•
Tidak ada insentif bagi rumah sakit swasta yang ambil bagian dalam pelayanan JKN. Insentif yang dimaksud bisa berupa bantuan investasi, potongan pajak, peluang menarik iur pasien dsb nya.
•
Tarif lambat mengakomodir tehnologi kesehatan baru yang lebih akurat berdasarkan penapisan HTA.
Pelayanan Rumah Sakit •
Pasien kehilangan haknya untuk memilih alternatif metode pengobatan dan hak mendapat “second opinion”.
•
Dokter merasa dikurangi hak profesionalismenya dan juga hak atas jasa medis.
•
Perbedaan persepsi tentang pemahaman arti “fraud” antara RS dengan pemangku kepentingan harus disamakan, agar jelas rambu-rambu nya.
•
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan pelayanan BPJS BPJS dari pusat – regional – KCU belum optimal, sehingga sering membingungkan rumah sakit.
•
Tidak ada standarisasi kompetensi kasus di d i RS type D,C,B dan A, sehingga banyak kerancuan dalam pelaksanaan rujukan. Rumah sakit dengan type yang sama juga relatif besar perbedaan kompetensinya. Standar dan perlakuan pasien berbedabeda antar rumah sakit , walaupun dengan kelas rumah sakit dan kelas perawatan yang sama.
•
Biaya rujukan yang mahal belum diakomodir (mis Ambulance udara untuk daerah Papua).
Klaim Pembayaran •
Peran verifikator masih belum sama persepsinya, sebagai verifikator administratif atau juga verifikator klinis. Kompetensi verifikator harus sesuai dengan apa yang diverifikasi.
•
Banyak kelambatan pengajuan proses klaim karena masalah administrasi internal rumah sakit. Perlu segera direalisasikan “bridging” antara SIM BPJS dengan SIM RS.
•
Kode diagnosis berdasar ICD 9 dan ICD 10CM, belum dipahami semua dokter, sehingga tergantung koder dalam menerjemahkan diagnosis ke kode diagnosis. Akibatnya rawan terjadi under dan up coding.
•
Pada jam sibuk , koneksi dengan server BPJS sangat lambat dan sering terganggu. Untuk daerah yang “sulit “sulit”” internet , menjadi permasalahan tersendiri.
Kepuasan RS •
Rumah sakit (dan dokter) saat ini lebih menyukai pasien umum yang membayar fee for service karena : •
Tidak ada resiko kerugian, dan dokter dapat mempraktekkan keilmuannya berdasarkan pengetahuan, keyakinan dan pengalaman masing-masing (karena belum ada PNPK yang lengkap).
•
Banyak rumah sakit yang kesulitan arus kas, karena kelambatan dalam mengajukan klaim.
•
Resiko tuntutan dan teguran bagi rumah sakit yang tidak melaksanakan pelayanan sesuai aturan pelayanan relatif besar.
•
Bagi RS non pemerintah : total pendapatan rumah sakit relatif lebih tinggi.
Regulasi •
Banyak rumah sakit kesulitan menyusun “clinical pathway” untuk kasus yang sering masuk.
•
Belum ada PNPK (Pedoman Nasional Praktek Kedokteran) yang lengkap dan bisa diaplikasikan ke rumah sakit.
•
Belum ada manlak pelaksanaan JKN, sehingga terjadi banyak improvisasi pelayanan yang tidak berdasar oleh rumah sakit dan BPJS Kesehatan di tingkat Regional maupun KCU.
•
Perlu ada perbedaan manlak antara RS Swasta dengan RS Pemerintah, (utamanya dalam subsidi, tarif, sistem rujukan dan iur biaya).
Kesimpulan dan Saran (antara GADUH – GAGAP dan GAGAL) •
Implementasi BPJS kesehatan masih “on track” dari sisi target kepesertaan dan pelayanan di rumah sakit.
•
Perlu penetapan regulasi, pengadaan “tool” untuk “bridging” SIM RS dan SIM BPJS serta persamaan persepsi antara semua pemangku kepentingan.
•
Rumah sakit masih memerlukan proses adaptasi dalam pelayanan pasien peserta BPJS kesehatan.
•
Perlu dibedakan perlakuan pada RS Pemerintah yang bersubsidi dan RS non pemerintah yang mandiri. Dengan tujuan ada keadilan dalam pembagian kue BPJS dan tidak ada rumah sakit yang harus dibangkrutkan.
•
Perlu perbaikan dan transparansi data dasar untuk pengambilan keputusan.
Kesimpulan dan Saran (antara GADUH – GAGAP dan GAGAL) •
Kementrian Kesehatan sebagai regulator segera mengeluarkan panduan tentang pencegahan “fraud” dalam pelayanan pasien BPJS.
•
Kementrian Kesehatan mengeluarkan pedoman pe doman kerja verifikator BPJS BPJS termasuk tugas hak wewenang dan tanggung jawab verifikator.
•
Kementrian kesehatan segera menyelesaikan Panduan Nasional pelayanan Kedokteran (PNPK) bersama organisasi profesi, agar dapat segera diterjemahkan menjadi “clinical pathway”. pathway”.
•
Ada pedoman standar kompetensi dan pelayanan untuk rumah sakit berdasar b erdasar jenis rumah sakit (umum dan khusus), serta kelas rumah sakit.
•
Respons terhadap permasalahan yang terjadi harus lebih cepat dalam solusinya.
Implementasi BPJS Kesehatan di Rumah Sakit , memang “Gaduh” Gaduh” dan agak “Gagap” Gagap” tapi tidak “Gagal” Gagal”.