REVIEW JURNAL
EUTROFIKASI PERAIRAN OLEH LIMBAH DETERJEN
Oleh:
Ni Luh Gede Rai Ayu Saraswati
(1214521012)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
I. Pendahuluan
Perairan merupakan salah satu komponen penting yang mendukung kehidupan makhluk hidup. Setiap makhluk hidup memerlukan air untuk melakukan aktivitas sehari-harinya. Seiring perkembangan jaman dan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan air semakin meningkat pula, khususnya oleh aktivitas manusia. Segala aktivitas manusia yang memanfaatkan lingkungan perairan akan berdampak bagi kualitas lingkungan perairan. Aktivitas manusia yang secara sengaja atau tidak sengaja dalam membuang sisa atau limbahnya ke perairan dapat menambah kandungan bahan organik, bahan anorganik dan mencemari perairan. Hal ini dapat menurunkan fungsi perairan dan mengubah kondisi perairan. Dengan demikian, manusia memiliki tanggung jawab atas segala perubahan kualitas perairan yang terjadi, seperti halnya dengan pencemaran perairan.
Menurut PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, limbah merupakan sisa atau buangan dari usaha/kegiatan manusia. Jenis limbah yang sering dihasilkan dari kegiatan manusia adalah limbah domestik yaitu berupa sisa buangan kegiatan rumah tangga. Salah satu limbah domestik yang sering dibuang oleh manusia ke perairan adalah limbah deterjen. Penggunaan deterjen akhir-akhir ini mengalami peningkatan seiringnya peningkatan populasi manusia dan perkembangan industri (Yuliana et al, 2013). Deterjen diketahui saat ini telah digunakan oleh hampir semua penduduk untuk memenuhi keperluannya dalam mencuci seperti mencuci pakaian, perabotan rumah tangganya dan sebagai bahan pembersih (Golib, 1984). Apabila limbah tersebut dibuang secara langsung ke perairan dan tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu, maka berpotensi sebagai penyebab timbulnya pencemaran perairan sehingga mengancam kelangsungan hidup biota akuatik. Bentuk dari pencemaran perairan yang dapat ditimbulkan salah satunya adalah eutrofikasi.
Eutrofikasi adalah pengkayaan unsur hara dan bahan organik secara berlebihan ke dalam ekosistem perairan. Eutrofikasi dapat dikategorikan sebagai salah satu pencemaran perairan. Hal ini dikarenakan eutrofikasi dapat menyebabkan kematian masal pada ikan, penurunan kualitas air dan pendangkalan pada ekosistem perairan. Timbulnya eutrofikasi di perairan disebabkan oleh adanya masukan unsur hara secara berlebih yang menyebabkan produktivitas primer meningkat dengan cepat atau pengkayaan. Secara umum, nutrien yang menjadi penyebab utama eutrofikasi adalah nitrogen dan fosfor (Poscella dan Bishop, 1975). Proses eutrofikasi dapat berlangsung dengan cepat seiring dengan banyaknya masukan unsur hara yang masuk ke perairan. Dengan demikian, diperlukan adanya solusi-solusi yang mampu menekan jumlah dan mengurangi bahaya limbah yang masuk ke perairan. Pengolahan limbah dilakukan dengan tujuan menurunkan kandungan bahan organik dan bahan lainnya di dalam limbah, baik dalam bentuk cair maupun gas sehingga diperoleh konsentrasi yang aman untuk dibuang.
II. Limbah Deterjen
Mengenal Deterjen
Deterjen merupakan salah satu senyawa kimia yang dimanfaatkan untuk mencuci dalam kehidupan sehari-hari baik oleh rumah tangga maupun industri. Dewasa ini perkembangan industri deterjen semakin pesat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Hal ini menyebabkan penggunaan deterjen dalam segala aktivitas juga bertambah (Adhitiastuti dan Bisono, 2008).
Gambar 01. Penggunanaan deterjen dalam kegiatan rumah tangga dan industri
Bahan-bahan kimia yang terkandung dalam deterjen diketahui memiliki dampak yang kurang baik terhadap lingkungan. Menurut Applequist et al, 1981 dalam Sopiah (2004), komposisi kimia pada deterjen dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu :
Kelompok zat aktif (Surfaktan), yaitu molekul senyawa organik yang terdiri dari dua bagian dengan sifat berbeda (hidrofobik dan hidrofilik) berkisar 20-30%. Surfaktan berfungsi sebagai penurun tegangan permukaan sehingga dapat meningkatkan daya pembahasan air sehingga kotoran yang berlemak dapat dibasahi, mengendorkan dan mengangkat kotoran serta mensuspensikan kotoran. Berdasarkan struktur kimianya, surfaktan dibedakan menjadi yaitu LAS (Linear Alkil Benzeneasulfonat) dan ABS (Alkilbenzenasulfonat), sedangkan jenis surfaktan sintetik yang biasa digunakan dibagi menjadi 3 macam yaitu surfaktan anionik, surfaktan sintetis nonionik, dan surfaktan sintetis kationik.
Kelompok bahan penguat (Builder), yaitu unsur lain yang terdapat dalam deterjen dan berfungsi dalam melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-mineral yang terlarut dan sebagai buffer dalam mempertahankan pH larutan sehingga meningkatan efisiensi dari surfaktan. Kandungan dalam builder ini umumnya adalah senyawa kompleks berupa fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natriu silikat atau zeolit. Kelompok bahan ini memiliki komposisi komponen terbesar dalam deterjen yaitu berkisar 70-80%.
Kelompok bahan pelengkap yaitu bahan-bahan lainnya yang mendukung komposisi deterjen seperti pemutih, pewangi, dan bahan penimbul busa. Komposisi bahan ini tidak terlalu banyak hanya berkisar 2-8%.
Sebagai senyawa yang berfungsi untuk mencuci, deterjen berkerja dengan cara mengangkat kotoran, baik yang larut dalam air maupun yang tak larut dalam air. Ujung molekul surfaktan satunya lebih suka air, bagian inilah yang berperan mengendorkan kotoran dari kain dan mendispersikan kotoran, sehingga tidak kembali menempel ke kain. Akibatnya warna kain akan dapat dipertahankan. Jika kotoran berupa minyak atau lemak maka akan membentuk emulsi minyak air dan detergen sebagai emulgator (zat pembentuk emulsi). Sedangkan apabila kotoran yang berupa tanah akan diadsorpsi oleh detergen kemudian mambentuk suspensi butiran tanahair, dimana detergen sebagai suspensi agent (zat pembentuk suspensi).
Dampak Deterjen Terhadap Lingkungan Perairan
Pemanfaatan deterjen sebagai bahan pembersih dan pencuci tidak diragukan lagi, karena kandungan yang terdapat dalam deterjen, yaitu surfaktan terbukti dapat menghilangkan kotoran (Nasir, 2011). Namun, pemanfaatan deterjen tersebut dalam kehidupan sehari tidak terlepas dari limbah sisa buangan. Tidak jarang limbah tersebut secara langsung dialirkan ke lingkungan, khususnya ke perairan. Hal ini dapat terlihat secara nyata bahwa buih-buih putih yang timbul di perairan merupakan hasil dari limbah deterjen. Limbah deterjen yang secara langsung dibuang ke perairan dilaporkan dapat memberikan dampak terhadap ekosistem perairan dan hal ini merupakan salah satu pemicu timbulnya pencemaran di perairan (Garno, 2000; Rosariawari, 2008).
Pencemaran perairan akibat limbah deterjen diketahui memberikan kontribusi terhadap lingkungan perairan (Garno, 2000; Komarawidjaja, 2004). Pencemaran akibat limbah deterjen menyebabkan timbulnya residu di hampir semua jenis perairan, seperti danau, sungai, laut, dan air tanah dangkal (Said, 2006). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dampak yang ditimbulkan dari limbah deterjen pada lingkungan perairan secara langsung mempengaruhi kualitas air dan biota akuatik di dalamnya. Menurut Permana dan Widyastuti (2013), deterjen dapat meningkatkan kandungan bahan organik diperairan, dimana kandungan organik tersebut berupa fosfor dan senyawa ini sulit diuraikan oleh mikroorganisme. Menurut Sopiah (2004) dan Said (2006), kandungan fosfor yang berlebih pada limbah deterjen merupakan pemicu timbulnya eutrofikasi perairan. Apabila eutrofikasi terjadi, maka menyebabkan penurunan kualitas air yang ditandai dengan penurunan oksigen terlarut, penurunan pH, penurunan intensitas cahaya, meningkatnya suhu perairan, dan meningkatnya BOD. Selain itu, tercemarnya perairan oleh limbah deterjen secara berlebih dapat menurunkan kemampuan air dalam memulihkan dirinya sendiri (water self-purifier), sehingga menyebabkan terjadinya pendangkalan, meledaknya populasi alga, bertambanya bahan organik, terhambatnya difusi oksigen ke perairan dan menurunnya estetika dari ekosistem perairan.
Sedangkan bagi biota akuatik, limbah deterjen dapat menimbulkan kerusakan organ organisme akuatik hingga menyebabkan kematian. Menurut Komarawidjaja (2004), limbah deterjen di perairan menjadi salah satu penyebab menurunnya kemampuan alga berfotosintesis, populasi kerang (Mytilus edulis), dan keragaman jenis invertebrata sesil, seperti siput antara Sungai Citarum dan Sungai Cipalasari. Menurut Jones (1964), dalam Garno (2000), dampak negatif limbah deterjen dapak merusak insang dan organ pernafasan ikan, dimana kerusakan tersebut menyebabkan daya toleran ikan terhadap kandungan oksigen terlarut yang rendah menjadi menurun sehingga menimbulkan kematian ikan. Selain kerusakan insang, dampak lain yang ditimbulkan adalah perubahan kebiasaan makanan ikan yang selanjutnya berdampak bagi kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan ikan. Garno (2000) melakukan penelitian terhadap daya tahan terhadap organisme yang mewakili lapisan perairan yaitu Chironomous sp. (organisme dasar perairan), Daphnia carinata (organisme badan perairan) dan Culex sp. (organisme permukaan air). Berdasarkan penelitiannya tersebut, Culex sp. memiliki daya tahan yang lebih baik dibandingkan dengan organisme badan perairan dan dasar perairan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa limbah deterjen sangat mengganggu kelangsungan hidup organisme di dalam perairan, dimana ditandai dengan semakin dasar organisme pada perairan berada pada kondisi yang tercemar limbah deterjen, maka semakin rendah daya tahannya.
(a) (b)
(c)
Gambar 02. (a) Buih limbah deterjen; (b) Eutrofikasi dampak dari limbah deterjen; dan (c) Kematian ikan secara masal
Selain berdampak bagi biota akuatik, limbah deterjen dapat pula berdampak bagi manusia jika mencemari wilayah perairan air baku minum. Menurut Said (2006), zat surfaktan sintesis yang terkandung dalam deterjen bersifat toksik atau beracun jika tertelan. Selain itu, jenis surfaktan SLS (Sodium Lauril Sufat) dan SLES (Sodium Lauret Sulfat) dapat membenruk senyawa nitrosamine yang bersifat karsinogenik. Menurut Sopiah (2004), apabila deterjen mengalami kontak secara langsung dengan kulit, maka dapat menimbulkan kuli kering, melepuh, serta eksim pada kaki dan tangan.
III. Kasus Eutrofikasi di Perairan
Eutrofikasi merupakan salah satu permasalahan perairan yang menjadi isu penting kualitas air secara nasional maupun internasional (EEA, 1998a dalam Dills et al., 2001). Eutrofikasi disebabkan oleh terjadinya pengkayaan unsur hara (nutrien) kedalam suatu perairan. Secara umum, makronutrien yang berperan penting sebagai penyebab timbulnya eutrofikasi adalah fosfor. Fosfor dikatakan memegang peranan penting dalam kesehatan dan fungsi ekosistem perairan. Hal ini disebabkan oleh fosfat adalah nutrien utama bagi tumbuhan, sehingga apabila kadar fosfat berlebih akan menyebabkan tumbuhan dan alga tumbuh secara tidak terkendali. Pada kondisi tersebutlah timbul eutrofikasi dan terganggunya kualitas perairan (Dills et al., 2001; Anonim, 2007). Limbah deterjen merupakan salah satu sumber fosfor yang masuk ke perairan. Menurut Morse et al (1993) dalam Dills et al., 2001, limbah deterjen menyumbang sekitar 10% kadar fosfor ke perairan. Meskipun persentase tersebut diasumsikan kecil, namun jika limbah deterjen tersebut masuk secara berlebihan, maka akan menimbulkan eutrofikasi dan penurunan kualitas air. Senyawa fosfat yang terkandung dalam deterjen dapat menyebabkan meledaknya populasi alga dan tanaman air.
Kasus eutrofikasi saat ini telah melanda ekosistem perairan Indonesia. Hal ini ditandai dengan laporan dan penelitian mengenai status lingkungan perairan yang telah banyak dilakukan. Beberapa kasus perairan yang telah mengalami eutrofikasi diantaranya adalah :
NAMA DANAU
KATEGORI EUTROFIKASI
PENYEBAB
REFERENSI
Danau Tondano
Mesotrofik
Limbah pertanian, rumah tangga (deterjen dan kotoran manusia), dan perikanan tancap.
Sittadewi, 2008 (Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 9, No 1)
Danau Rawa Pening
Eutrofik hingga hyper-eutrofik (Eutrofikasi akut)
Limbah perikanan budidaya, pertanian, peternakan, manusia (terutama deterjen) dan industri.
Zulfiah et al., 2013 (BAWAL, Vol. 5, No. 3)
Sungai Sungean (DAS Danau Tondano)
Eutrofik
Limbah rumah tangga (terutama deterjen), peternakan, dan pertanian.
Lumingkewas et al., 2012
Danau Sentani
Eutrofik
Limbah rumah tangga (sabun dan deterjen), industri dan erosi tanah.
Walukow, 2010 (Forum Geografi, Vol. 24, No. 2)
Danau Limboto
Eutrofik hingga hyper-eutrofik
Limbah domestik, pertanian, industri
Suryono et al., 2010 (Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, Vol. 36, No. 1)
Tabel 01. Beberapa kasus eutrofikasi perairan Indonesia
Dari beberapa kasus eutrofikasi diatas, sebagian besar disebabkan oleh limbah rumah tangga yang membuangan limbah deterjen ke perairan. Hal ini membuktikan bahwa limbah deterjen bertanggung jawab atas terjadinya pengkayaan bahan organik diperairan (eutrofikasi), khususnya dalam penambahan senyawa fosfat di perairan.
IV. Upaya Minimalisir Pengaruh Limbah Deterjen
Pengaruh limbah deterjen terhadap likungan perairan telah dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, diperlukan adanya upaya-upaya untuk mengurangi dan menurunkan masukan limbah deterjen secara langsung ke lingkungan perairan. Seperti yang diketahui, penggunaan detejen tidak dapat lepas dengan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, teknik-teknik untuk mengolah limbah deterjen sebelum di buang ke perairan sangan diperlukan untuk meminimalisir beban pencemaran dan pengaruhnya. Beberapa upaya dengan berbagai macam teknik telah dilakukan untuk meminimalisir pengaruh limbah deterjen ke perairan, diantaranya :
Fitoremidiasi menggunakan tanaman eceng gondok (Yuliana et al., 2013).
Fitoremidiasi merupakan salah satu metode untuk mengurangi orthofosfat. Salah satu tanaman yang dapat digunakan adalah eceng gondok. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuliana et al., 2013, eceng gondok dapat menyerap orthofosfat total selama 4 hari dengan konsentrasi deterjen 0,05 mg/L yaitu sebesar 60%.
Merancang IPAL-Mini dengan metode elektroflotasi (Rochman, 2009).
Pengolahan limbah deterjen anionik dapat dilakukan dengan metode elektroflotasi. Metode elektroflotasi merupakan teknik pengolahan limbah deterjen menggunakan sistem elektrolisis, yaitu memanfaatkan sifat anionik deterjen (bermuatan negatif) yang dialirkan arus DC (2-5 mA) untuk menempelkan deterjen pada anoda. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rochman, 2009, rancangan IPAL Mini dengan metode elektroflotasi dapat menurunkan kadar limbah deterjen. Hal ini dikarenakan adanya penempelan molekul deterjen dipermukaan anoda dan timbulnya buih akibat keliarnya oksigen pada katoda yang naik ke permukaan. Selain itu, melalui IPAL Mini dapat diestimasikan penurunan jumlah deterjen sebesar 97,56% dengan debit air 72 L/jam diperlukan resirkulasi limbah deterjen sebanyak 20 kali.
Pemanfaatan lumpur aktif untuk menurunkan DBS deterjen (Suastuti, 2010).
Lumpur aktif diketahui mengandung berbagai macam mikroorganisme heterotrofik, seperti bakteri, protozoa, dan beberapa organisme yang lebih tinggi. Pengunaan lumpur aktif merupakan salah satu metode efektif dalam pengolahan limbah. Berdasarkan penelitian oleh Suastuti, 2010, selama 15 hari lumpur aktif dapat menurunkan kandunganDBS sebesar 46,726 mg/L dibandingkan dengan kontrol (tanpa lumpur aktif, hanya aerasi) yaitu sebesar 0,381 mg/L. Dengan demikian, pemanfaatan lumpur aktif terbukti efektif menurunkan dan merombak DBS secara signifikan.
Penggunaan deterjen filter (Monacho, tanpa tahun).
Deterjen filter merupakan salah satu alat yang diharapkan memiliki kemampuan untuk menyerap senyawa kimia pada deterjen. Deterjen filter yang dirancang oleh Monacho menggunakan bahan-bahan yang telah umum digunakan sebagai filter, yaitu ijuk, arang tempurung kelapa, pasir,dan batu zeolit. Berdasarkan hasil penelitiannya, deterjen filter dapat berguna sebagai media penyaring air dan pengurang senyawa LAS dan ABS pada deterjen. Selain itu, deterjen filter juga dapat menstabilkan pH air, menjernihkan air dan mempertahankan ketahanan hidup ikan lebih lama dibandingkan dengan air limbah yang belum disaring.
V. Simpulan
Eutrofikasi adalah pengkayaan unsur hara dan bahan organik secara berlebihan ke dalam ekosistem perairan. Salah satu penyebab eutrofikasi adalah limbah deterjen. Kandungan fosfor yang berlebih pada limbah deterjen merupakan pemicu timbulnya eutrofikasi perairan. Selain itu, kandungan deterjen tersebut dapat berdampak pula terhadap biota-biota sekitar perairan yang tercemar limbah deterjen. Pada kasus eutrofikasi di Indonesia sebagian besar bersumber dari limbah rumah tangga berupa limbah deterjen. Untuk meminimalisir pencemaran deterjen di lingkungan perairan, diperlukan adanya upaya-upaya penanggulangan. Beberapa upaya tersebut diantaranya adalah fitoremediasi, IPAL mini, pemanfaatan lumpur aktif, dan dengan deterjen filter.
Daftar Pustaka
Adhitiastuti. H., Bisono, P. H. O. 2008. Pengolahan Limbah Deterjen Sintetik Dengan Trickling Filter. Makalah Penelitian. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Semarang.
Anonim. 2007. Phosphate: a good environmental solution for detergents. Centre Europeen d'Etudes des Polyphosphates.
Budi,T dan Nasir,S. 2011. Pengolahan Air Limbah Hasil Proses Laundry Menggunakan Filter Keramik Berbahan Campuran Tanah Liat Alam dan Zeolit. Laporan Hibah Kompetitif . Universitas Sriwijaya
Dills, R., S. Leaf, R. Robinson, N. Sweet. 2001. Phosphorus In The Environtment-Why Should Recovery Be A Policy Issues?. Environment Agency. CEEP.
Garno. 2000. Daya tahan Beberapa Organisme Air Pada Pencemar Limbah Deterjen. Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol. 1, No. 3. Hal. 212-218.
Gholib, I., 1994, Kimia Lingkungan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Komarawidjaja, W. Kontribusi Limbah Deterjen Terhadap Status Kehidupan Perairan Di DAS Citarum Hulu. Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol. 5, No. 3, Hal. 193-197.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Permana, D. I., M. Widyastuti. 2013. Studi Perubahan Kualitas Air Sungai Winongo Tahun 2003 dan 2012. Jurnal Bumi Indonesia. Vol. 2, No. 2. Hal. 53-62.
Poscella, D,B dan A.B. Bishop. 1975. Comprehensive management of Phosporus Water Pollution. An Arbour Acience.
Rosariawari. 2008. Penurunan Konsentrasi Limbah Deterjen Menggunakan Furnance Bottom ASH (FBA). Jurnal Rekayasa Perencanaan. Vol. 4, No. 3.
Said, N. I. 2006. Penghilangan Deterjen Dan Senyawa Organik Dalam Air Baku Air Minum Dengan Proses Biofilter Ungun Tetap Tercelup. Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol. 7, No. 1, Hal. 97-108.
Sittadewi, E. H. 2008. Fungsi Strategis Danau Tondano, Perubahan Ekosistem dan Masalah Yang Terjadi. Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol. 9, No. 1, Hal. 59-66.
Sopiah, R. N. 2004. Pengelolaan Limbah Deterjen Sebagai Upaya Minimalisasi Polutan di Badan Air Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan. Balai Teknologi Lingkungan, Serpong. Hal. 99-104.
Suryono, T., Senny, S., Endang, M., Rosidah. Tingkat Kesuburan dan Pencemaran Danau Limboto, Gorontalo. 2010. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 36, No. 1, Hal. 49-61.
Walukow, A. F. 2010. Pembuatan Ipal Mini Untuk Limbah Deterjen Domestik. Forum Geografi. Jurnal Peneli, Med., Eksata. Vol. 8, No. 2. Hal. 134-142.
Yuliana, M., Tengku, S. R., Andi, Z. 2013. Efektivitas Dan Efisiensi Fitoremediasi Orthofosfat Pada Detergen Dengan Menggunakan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes). Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Zulfia, N., Aisyah. 2013. Status Trofik Perairan Rawa Pening Ditinjau Dari Kandungan Unsur hara (NO3 dan PO4) Serta Klorofil-a. BAWAL. Vol. 5, No. 3, Hal. 189-199.