Membangun Epistemologi Ekonomi Islam ; Mendialogkan Epistemologi Positivisme dengan Epistemologi Islam dalam Bingkai Filsafat Ilmu
Oleh Niwari & Macky Pendahuluan
Belakangan ini sering muncul kritikan terhadap ilmu-ilmu yang dihasilkan dari paradigm positifisme, misalnya ilmu ekonomi, yang cenderung merugikan pihak pihak tertentu. Terlepas dari apakah a pakah sifat dari ilmunya yang salah ataukah orang yang mempra mempraktek ktekkan kan,, yang yang jelas jelas karakt karakter er sebuah sebuah ilmu, ilmu, cara cara memper memperoleh olehnya nya,, ukuran ukuran kebe kebena nara rann nnya ya akan akan begi begitu tu berp berpen enga garu ruh h terh terhad adap ap fung fungsi si ilmu ilmu ters terseb ebut ut bagi bagi kemaslahatan manusia. Oleh karenanya menelaah lebih jauh proses memperoleh ilmu, termasuk metodenya, dan ukuran kebenaran suatu ilmu perlu diketengahkan Dalam kajian filsafat ilmu, bidang yang mengkaji tentang proses memperoleh ilmu, termasuk metodenya, dan ukuran kebenaran suatu ilmu, disebut epistemologi. Mak Makalah alah ini ini
akan akan mene menela laah ah tent tentan ang g epis episte tem molog log.
Dan leb lebih jau jauh, untu untuk k
pengembangan epistemologis akan dibicarakan perbandingan antara epistemologi positifisme dan epistemologi Islam. Dari itu diharapkan dapat menemukan bentuk epist epistem emol olog ogii yang yang lebi lebih h komp kompre rehen hensif sif dan dan memp memper ertim timba bang ngka kan n semua semua aspe aspek. k. Sehingga epistemologi ini menghasilkan ilmu yang bukan hanya benar tapi punya nilai guna bukan merugikan bagi semua. Filsafat Ilmu ; mencari definisi
Dalam berbicara filsafat ilmu, para penulis (terutama penulis Indonesia) sejauh ini cukup jarang yang mendifinisikan apa itu filsafat ilmu secara jelas dan tegas. Keba Kebany nyak akan an dari dari mere mereka ka keti ketika ka meng mengka kaji ji filsa filsafat fat ilmu ilmu lebih lebih mene meneka kank nkan an dan dan langsung membahas aspek-aspek filsafat ilmu yaitu : ontologi, yang berbicara hakikat ilmu atau yang ada, epistemologi, bicara bagaimana proses memperoleh ilmu, dan aksiologi, bicara tentang nilai guna atau manfaat dari ilmu. ilmu .1 1. Noeng,Muhadjir, Noeng,Muhadjir, Filsafat Ilmu ; Positivisme, Post-Positivisme, dan Post-Modernisme, Yogyaka ogyakarta rta : Rakesa Rakesaras rasin, in, 2001, 2001, h. 57-60, 57-60, Ahmad Ahmad Tafsir, afsir, Filsafat ilmu; mengurai ontologi, epistemology dan aksiologi pengetahuan , Bandung : PT Remaja Rosda karya, 2006, h. 1-11, dan Jujun Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2007, h. S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, 63.
Namun defini definisi si filsafa filsafatt ilmu ilmu yang yang cukup cukup bisa dijadi dijadikan kan represe representa ntasi si dari dari kajiankajian-kaj kajian ian filsafa filsafatt ilmu ilmu selama selama ini dapat dapat kita kita lihat lihat pada pada defini definisi-d si-defin efinisi isi yang yang dihimp dihimpun un oleh oleh The Ling Ling Gie dari dari beberap beberapaa pakar pakar.. Misaln Misalnya, ya, Robert Robert Ackerman Ackermann n mengatakan filsafat ilmu sebagai sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat yang ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan. Lewis White Beck : filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metod metode-metodee pemikiran ilmiah serta mencoba mencoba menetapkan menetapkan nilai dan pentingnya pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan. Cernelius Benjamin : filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah secara sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, pra anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum pengetahuan. May Brodbeck : fungsi filsafat ilmu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasanlandasan ilmu.2 Dari keempat definisi tersebut tergambar bahwa ruang lingkup yang dibahas dalam filsafat meliputi 1) komparasi komparasi kritis sejarah perkembangan perkembangan ilmu, 2) sifat dasar ilmu pengetahuan, pengetahuan, 3) metode metode ilmiah, ilmiah, 4) pra anggapan-pra anggapan-pra anggapan ilmiah, 3) sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam Dalam kont kontek ekss filsaf filsafat at ilmu ilmu,, maka makala lah h ini ini akan akan meny menyor orot otii pada pada aspek aspek epistemologi yang didalamnya juga mengandung metode ilmiah, pra anggapan, sifat dasar yang mencerminkan standar kebenaran dalam ilmu. Kesemuanya ini merupakan rangkaian dari proses memperoleh ilmu. Untuk lebih jelasnya tentang epistemology ini, mari kita lanjutkan. Pengertian Epistemologi
Secara etimologis, Istilah epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti ilmu atau teori. Epistemologi berarti ilmu atau teori tentang pengetahuan. secara termenologis, terdapat beberapa pengertian atau pemaknaan dari beberapa pakar terhadap epistemologi sebagaimana berikut. Salam, mengartikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang mempersoalkan atau menyelidiki tentang asal, susunan, struktur, metode serta kebenaran pengetahuan, dengan dengan kata kata lain epistem epistemolo ologi gi membah membahas as secara secara mendala mendalam m segena segenap p proses proses yang yang 2. Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, h. 45.
2
terli terliha hatt dala dalam m usah usahaa kita kita untu untuk k mempe mempero roleh leh peng pengeta etahu huan an sehi sehing ngga ga terca tercapa paii pengetahuan yang benar dan pengetahuan tersebut statusnya naik menjadi ilmu. 3 Lebih sederhana dari Salam, Muhadjir memaknai epistemologi sebagai bagian dari filsafat ilmu membicarakan tentang terjadinya dan kebenaran suatu ilmu. 4 Agak mirip dengan Muhadjir, Tafsir memaknai Epistemologi bicara tentang objek (sumber), cara memperoleh ilmu dan cara mengukur kebenaran ilmu. 5 Sedangkan Jujun lebih focus dan mengatakan bahwa epistemologi berbicara tentang cara memperoleh pengetahuan yang benar.6 Dari beberapa pengertian atau pemaknaan di atas, saya menyimpulkan bahwa epistem epistemolo ologi gi berbic berbicara ara tentang tentang sumber sumber dari dari ilmu, ilmu, metode metode atau atau cara memper memperole oleh h pengetahuan yang benar (ilmu), dan ukuran kebenaran ilmu. Bagaimana ketiga unsur ini dalam positivisme dan Islam? Mari kita lihat. Epistemologi Positivisme vis a vis Epistemologi Islam
Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon sekitar 1825. Pelopor dari Positivisme adalah Auguste Comte. Positivisme berakar pada empirisme. Prinsip filosofis tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh empirist Inggris, Francis Francis Bacon. Bacon. Dikata Dikatakan kan positi positivism visme, e, karena karena pangan panganut ut paham paham ini berang beranggap gapan an bahwa yang dapat kita selidiki dan dapat kita pelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang nyata (positif).7 Tesis positivisme adalah bahwa ilmu merupakan satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. pengetahuan. Dengan begitu positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek yang ada di luar luar fakta, fakta, menola menolak k penggu penggunaa naan n segala segala metode metode di luar luar yang yang diguna digunakan kan untuk untuk menelaah menelaah fakta.8 Dengan Dengan demiki demikian an positi positivis visme me memand memandang ang bahwa bahwa sumber sumber ilmu ilmu hanyalah, hanyalah, fakta atau alam sebagaimana sebagaimana adanya dan terbatas terbatas hanya pada pengalaman kita.9
3. Burhanuddin Salam, Logika Materiil; Filsafat Ilmu Pengetahuan , Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997, h. 97 4. Muhadjir, Filsafat, h. 60. 5. Tafsir, Filsafat, h. 27. 6. Suriasumantri, Filsafat h. 99-104. 7. Salam, Logika, h. 193 dan Muhadjir, Filsafat, h. 69. Susunan Ilmu Pengetahuan Pengetahuan;; Sebuah Sebuah 8.Muhadjir, Filsafat, h. 69 dan C.A. C.A. Van Peurs Peursen, en, Susunan Pengantar Filsafat Ilmu, Jakarta : PT. Gramedia, 1989, h. 82. 9. Suriasumantri, Filsafat, h. 105.
3
Namun berbeda dengan empirisme yang mengesampingkan fungsi akal, positivisme menggabungkan fungsi akal dan panca indra sekaligus. 10 Dengan demikian demikian maka bagi positivisme positivisme yang menjadi menjadi sumber ilmu hanyalah segala sesuatu yang dapat dicerna oleh akal atau logika dan dapat dijangkau oleh panca indra. Di luar itu bukanlah sumber yang dapat menghasilkan ilmu, misalnya keyakinan-keyakinan dalam agama, dalam perspektif positivistik bukanlah sumber untuk menggali ilmu. Menuru Menurutt episte epistemol mologi ogi ‘Islam’ ‘Islam’,, misaln misalnya ya sepert sepertii yang yang dikemu dikemukak kakan an oleh oleh Muhama Muhamad d Iqbal, Iqbal, tokoh tokoh intelek intelektua tuall muslim muslim,, yang yang berlan berlandas daskan kan pada pada ayat-ay ayat-ayat at alQur’an bahwa sumber ilmu terdiri dari : pertama, afaq (alam semesta). Bagi Iqbal alam semesta perlu diselidiki, ia mengandung aspek kebenaran bahkan alam semesta bisa menghantarkan manusia pada kebenaran hakiki (the ultima ultimate te realit realityy) yait yaitu u tuhan.11 Kedua, anfus (ego/diri), yaitu manusia yang merupakan kesatuan jiwa dan badan. Bagi Iqbal identitas manusia adalah individualitas yang mempunyai kesadaran dan yang berkata “aku”. Aku yang sadar menjadi pusat seluruh pengalaman. Konsepsi manusia semacam ini, menurut Iqbal menjadi sumber ilmu, sumber informasi bagi manu manusi siaa yang yang menc mencar arii tahu tahu.. Deng Dengan an kata kata lain lain,, sela selain in menj menjad adii obje objek k kaji kajian an (berk (berkon onot otasi asi pasif pasif), ), manu manusia sia juga juga sekali sekaligu guss menj menjad adii subj subjek ek atau atau peng pengka kajin jinya ya (berko (berkonot notasi asi aktif). aktif). Pada Pada sisi sisi lain konsep konsepsi si manusi manusiaa bagi bagi Iqbal Iqbal mengan mengandun dung g tiga tiga potensi yang menjadi sumber ilmu yaitu panca indera, akal atau rasio, dan intuisi atau hati12. Ketiga, sejarah atau rekaman masa lalu dari kehidupan masyarakat. Dari uraian uraian di atas terliha terlihatt ada perbed perbedaan aan mendasa mendasarr antara antara epistem epistemolo ologi gi positivisme dan epistemologi Islam pada konteks sumber ilmu. Positivisme tidak mengakui sebagai ilmu atau kebenaran terhadap segala sesuatu yang hanya diresapi oleh hatin, seperti keyakinan agama misalnya. Bagi positivisme sumber ilmu hanyalah sesuatu yang faktual, dapat dijangkau oleh panca indera dan dicerna oleh akal atau rasio. Lebih dari itu, epistemologi Islam tidak hanya menilai sesuatu yang terjangkau oleh panca indera dan dapat dinalar oleh akal sebagai sumber ilmu, melainkan sesuatu yang dapat diresapi oleh intuisi, intuisi, seperti sebagian sebagian ajaran-ajaran agama yang memang bukan wilayah akal dan panca indera. Perbedaan perspektif semacam ini dalam 10. Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 114. 11. Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, h. 4143.
12. Ibid., h. 44, bandingkan Muhadjir, Filsafat, h. 98-104.
4
memandang sumber ilmu berimplikasi pada berbedanya pula antara keduan dalam unsure epistemology yang kedua, dan ini menurut saya unsur yang sangat fital dalam epist epistem emol olog ogy y, yait yaitu u baga bagaim iman anaa cara cara atau atau meto metode de mempe mempero roleh leh ilmu, ilmu, sebag sebagai ai pengetahuan yang benar. benar. Pada aspeks metode metode memperoleh memperoleh dan mengukur mengukur kebenaran ilmu, positifisme positifisme berangkat dari cara pandang rasionalisme ras ionalisme dan empirisme. e mpirisme. Rasionalisme beranggapan bahwa akal itulah sebagai alat pencari dan pengukur ilmu pengetahuan. pengetahuan dicari dengan akal kemudian temuannya diukur pula oleh standar kebenaran akal sehin sehingg ggaa menj menjad adii peng pengeta etahu huan an yang yang ‘ben ‘benar’ ar’ (ilmu (ilmu). ).13 Tidak idak berh berhen enti ti di situ situ sebagaimana rasionalisme, empirisme mengharuskan apa yang dianggap benar oleh akal ini, harus dibuktikan dibuktikan dulu secara empirisme. empirisme. Cara pandang pandang semacam ini adalah cara pandan pandang g empiri empirisme. sme. Bagi Bagi empiris empirisme me kebena kebenaran ran tidak tidak boleh boleh berhen berhenti ti pada pada kebenaran menurut akal atau logika, karena hal itu masih abstrak, perlu dibuktikan secara kongkrit, maka prinsip penting empirisme adalah cara memperoleh ilmu yaitu deng dengan an cara cara memb membuk uktik tikan an secara secara empi empirik rik dala dalam m arti arti diol diolah ah oleh oleh panc pancaa indr indra, a, obser observa vasi si atau atau dida didasar sarkan kan pada pada peng pengal alama aman n empir empirik ik manu manusia sia.. Dan Dan hasi hasill dari dari pengetahuan itu harus terukur. terukur.14 Sebagai Sebagai langkah langkah kongkrit kongkrit untuk mengimplementasik mengimplementasikan an dari prinsip-pri prinsip-prinsip nsip rasionalisme dan empirime di atas, diperlukan metode. Dalam filsafat ilmu metode itu dikenal dikenal dengan dengan
metode ilmiah ilmiah.
Metode ini adalah suatu cara untuk memperoleh
pengetahuan yang benar (ilmu) atau teori te ori yang ilmiah. Ia merupakan suatu rangkaian prosedur tertentu yang harus diikuti untuk mendapatkan jawaban tertentu pula. Prosedur tersebut terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut : 1. Sadar akan adanya masalah atau rumusan masalah. 2. Pengamatan dan pengumpulan data yan relevan. 3. Penyusunan atau klasifikasi data. 4. Deduksi dan hipotesis. 5. Tes dan pengujian kebenaran secara empirik (verifikasi) dari hipotesis. hipotesis.15 13. Tafsir, afsir, Filsafat, h. 30 dan Jujun S. Suriasum Suriasumantr antri, i, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003, h. 99-100. Salam, Logika, h. 99-100 dan Suriasumantri, Suriasumantri, Ilmu, h. 102-103. 14. Tafsir, Filsafat, h. 31, dan Salam, 15. Suriasumantri, Ilmu, h. 105 dan Salam, Logika, h. 105-108.
5
Pertama, Sadar akan adanya masalah atau rumusan masalah. masalah . Disini secara sadar kita menetapkan masalah yang akan kita telaah dengan ruang lingkup dan batas batasnya. Ruang lingkup permasalahan ini harus jelas. Kedua, Pengamatan Pengamatan dan pengumpulan data. Tahap ahap ini berhub berhubung ungan an dengan dengan pengam pengamatan atan yang yang teliti teliti yang yang dimungkinkan oleh terdapatnya berbagai alat yang dibuat manusia (ilmuan) dengan standar logika, selanjutnya memberikan kontribusi yang cukup kuat terhadap konsepkons konsep ep keil keilmu muan an sebag sebagai ai suat suatu u pros prosed edur ur yang yang pada pada dasar dasarny nyaa adal adalah ah empi empiris ris (bertumpu pada indera) dan induktif. Ketiga, penyusunan dan klasifikasi data. Tahap ini menekankan kepada penyusunan fakta dalam kelompok-kelompok, jenis-jenis, dan kelas-kelas. Keempat, deduks deduksii dan hipote hipotesis, sis, merupa merupakan kan suatu suatu pernya pernyataan taan secara secara deduktif dan rasional untuk memberikan penjelasan atau asumsi sementara tentang suatu hal yang kita teliti, yang masih perlu dibuktikan kebenarannya. Kelima, Tes dan pengujian kebenaran secara empirik (verifikasi) dari hipotesis. Ini adalah tahap pengumpulan fakta-fakta yang memang ada dalam realitas empirik untuk dicocokkan atau sebagai bukti terhadap hipotesis yang sudah dibuat sebelumnya. Dan hipotesis (rasion (rasional) al) yang yang sudah sudah sesuai sesuai dengan dengan fakta-f fakta-fakt aktaa yang yang ditemu ditemukan kan (empir (empiris) is) inilah inilah kemudian diakui sebagai pengetahuan yang ilmiah. 16 Bagaimana dengan epistemologi Islam pada aspek bagaimana metode mencari atau memperoleh pengetahuan yang benar (ilmu)? Cuku Cukup p bere berebed bedaa anta antara ra bagai bagaima mana na posit positif ifism ismee memp mempero eroleh leh ilmu ilmu dan dan bagaimana ‘Islam’ memperoleh ilmu. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa positifisme dalam memperoleh ilmu berangkat dari paradigma rasionalisme (akal) dan empirisme (panca indera), kemudian diimplementasikan dalam metode ilmiah yang mempunyai prosedur tertentu. Dalam epistemologi juga ada paradigma bagaimana memper memperoleh oleh ilmu. ilmu. Abid Abid al-Jabi al-Jabiri ri memper memperken kenalk alkan an bahwa bahwa cara memper memperole oleh h ilmu ilmu dalam epistemology Islam berangkat dari tiga cara atau perspektif. Cara yang pertama identik dengan rasionalisme dalam positifisme, yaitu Burhani. Paradigma ini juga berangkat dari akal, kebenaran suatu ilmu diukur dengan standar logika yaitu dengan metode sologisme.17
16. Suriasumantri, Ilmu, h. 105-108 dan Salam, Logika, h. 106-108
17. Silogisme Silogisme adalah bentuk, cara berpikir berpikir atau menarik menarik simpulan simpulan yg terdiri terdiri atas premis umum, premis khusus, dan simpulan, Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, h. 1349.
6
cara yang kedua dan ketiga, dan ini tidak ada atau tidak diakomodir oleh positifisme sebagai cara atau paradigma untuk memperoleh pengetahuan ilmiah, yaitu cara atau metode bayani dan irfani. irfani. Bayani berangkat Bayani berangkat dari teks wahyu ( al-Qur’an dan al-Hadits) al-Hadits) sebagai sebagai suber ilmu.18 Standarnya Standarnya adalah kebenaran kebenaran tekstual, apa kata teks wahyu itulah yang sangat menentukan sebagai se bagai sebuah pengetahuan yang benar, bukan rasio ataupun panca indra. Cara pandang semacam ini memang tidak mendapat tempat sebagai metode yang benar dalam paradigm positifisme. Metode burhani atau atau dalam dalam filsa filsafa fatt barat barat dike dikena nall deng dengan an intu intuiti itism sme, e, memper memperoleh oleh ilmu ilmu lewat lewat intuis intuisi, i, hati, hati, perenu perenunga ngan n yang yang kemud kemudian ian ilmu ilmu terseb tersebut ut diberikan langsung oleh sumber ilmu yang hakiki yaitu Allah. Maka standar atau parameter kebenaranya pun menurut burhani atau intuitisme ini adalah kebenaran menurut keyakinan hati, namun apa yang diyakini sebagai kebenaran menurut irfani ini,seringkali ini,seringkali logis dan empiris. empiris.19 Menurut Iqbal untuk memperoleh pengetahuan yang benar ketiga paradigm tersebut sama-sama penting dan dibutuhkan tanpa mengabaikan satu dengan yang lain, lain, karena karena manusi manusiaa memang memang memili memiliki ki ketika ketika potens potensii yang yang bisa bisa dijadi dijadikan kan alat memperoleh memperoleh ilmu yaitu akal, panca indera indera dan hati. 20 Namun demikian, perlu diakui bahwa epistemologi Islam tidak selengkap positifisme dalam hal bagaimana memper memperoleh oleh ilmu. ilmu. Epeste Epestemol mologi ogi Islam Islam memang memang memili memiliki ki paradi paradigma gma-pa -parad radigm igmaa sebagaimana positifisme, akan tetapi epistemologi Islim, menurut hemat saya, belum memiliki metode-metode yang begitu memadai hingga pada level teknis yang dapat mengimlementa mengimlementasikan sikan paradigm-pa paradigm-paradigm radigmaa tersebut, tersebut, lebih-lebih lebih-lebih burhani dan irfani, untuk memperoleh ilmu. Tidak begitu halnya dengan positifisme, ia memiliki metode yang yang dikena dikenall dengan dengan metode metode ilmiah ilmiah sebaga sebagaii cara cara mengim mengimplen plentasi tasikan kan paradi paradigma gma rasion rasionalis alisme me dan empiris empirisme me pada pada level level yang yang lebih lebih aplikat aplikatif if bahkan bahkan teknis teknis untuk untuk memperoleh ilmu. Pengembangan Epistemologi
Perl Perlu u
untu untuk k
meng mengemb emban angk gkan an
dan dan
mend mendial ialog ogka kan n
kedu keduaa
epis epistem temol olog ogii
positifisme dan Islam di atas untuk menghasilkan sebuah sintesis dan memperkaya 18. Salam, Logika, h. 103-104. 19. Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 50-53, Tafsir, Filsafat, h. 9-11.dan Salam , Logika, h. 102-13. 20. Danusiri, Epistemologi, h. 61-64.
7
dalam kajian filsafat ilmu. Langkah tersebut begitu strategis terutama untuk mengkaji ekonomi Islam dalam konteks filsafat ilmu. Kredibilitas dari ilmu yang dihasilkan dari epistemologi positifisme memang selama ini begitu kuat bahkan mendominasi dan dinggap dinggap sebagai sebagai pengetahaua pengetahauan n yang ‘benar’ dan ilmiah, ilmiah, karena karena ia dihasilkan dihasilkan dengan metode ilmiah pula. Namun demikian ilmu yang dihasilkan oleh epistemologi positifisme tidak berarti satu-satunya kebenaran dan bukan pula satu-satunya solusi terhadap permasalah manusia yang membutuhkan kontribusi dari ilmu. Bahkan seringkali ilmu yang yang dihasil dihasilkan kan oleh oleh positi positifism fismee justru justru kontra kontra produ produktif ktif dan ‘merug ‘merugika ikan’ n’ bagi bagi kepentingan kepentingan dan kebaikan kebaikan manusia. manusia. Sebut saja kerusakan kerusakan lingkunga lingkungan, n, eksplotaisi eksplotaisi terhada terhadap p rakyat rakyat kecil, kecil, sebagai sebagai implik implikasi asi dari dari ilmu ilmu ekonom ekonomii yang yang berbas berbasis is pada pada paradigma positifisme positif isme yang hanya berpangkal pada rasionalitas dan empiririsitas empiririsit as dan kurang mempertimbangkan nilai-nilai, misalya. Dari itu pengembanga pengembangan n epistemologi epistemologi yang diharapkan diharapkan menghasilkan menghasilkan ilmu yang yang bena benarr serta serta puny punyaa nilai nilai guna guna dan dan tida tidak k merug merugik ikan an siapa siapapu pun. n. Sala Salah h satu satu Pengembangan epistemologi tersebut yaitu menggabungkan dan saling melengkapi anatara epistemologi positifisme (rasional-empirik) yang cenderung sekuler dengan epistemologi Islam (burhani, (burhani, bayani, irfani). irfani ). Positifisme memiliki metode ilmiah, namun ia perlu dilengkapi prinsip-prinsip bayani, bayani, yang berketuhanan, dan irfani, yang sangat menghargai suara hati nurani. Dengan demikian dilihat dari sudut pandang filsafat ilmu, hasil dari kolaborasi epistemologis ini akan menghasilkan ilmu yang kaya secara sudut pandang, memperhatikan semuan elemen, nilai-nilai, agama, suara hati nurani, dan rasionalitas-empirisitas tentu saja. Sifat ilmu semacam ini khususnya bisa kita kembangkan pada disiplin ekonomi Islam. Penutup
Diao Diaolo log g anta antara ra kedu keduaa epist epistem emol olog ogii terse tersebu butt perl perlu u untu untuk k terus terus dika dikaji ji,, dikembangkan, dan disintesakan, guna menemukan bentuk epistemologi yang tidak bias, tetapi berpihak dan bermanfaat bagi semua kalangan sebagaimana tujuan dasar dari ilmu pengetahuan yaitu untuk kemudahan dan kebaikan manusia bukan justru jadi sumber masalah. Format dialog tersebut yitu dengan saling melengkapi antara keduanya, positifisme mengajarkan bagaimana membentuk metode ilmiah sebagai medi mediaa impl implem ement entas asii dari dari para paradi digm gmaa rasio rasiona nalis lisme me dan dan empi empiri risme sme,, seda sedang ngka kan n 8
epistemologi Islam mengajarkan bahwa manusia tidak hanya berdimensi rasional dan empirikal, melainkan ia juga berdimensi ketuhanan dan keyakinan serta punya nilainilai yang itu semua bisa diperoleh melalui hati yang bersih atau suci. Dialog kedua epistemologi ini sangat penting dan strategis sebagai dasar epistemologis bangunan epistemologi ekonomi Islam.
9
Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Amsal, Filsafat Agama, Jakarta : Logos Wacana Wacana Ilmu, 1997. Danusiri, Epistemologi Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Tasawuf Iqbal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. Muhadj Muhadjir ir,, Noeng, Noeng, Filsafat Ilmu ; Positivisme, Post-Positivisme, dan Post Modernisme, Yogyakarta : Rakesarasin, 2001. Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002. Peursen, C.A. Van, Susunan Ilmu Pengetahuan; Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, Jakarta : PT. PT. Gramedia, 1989. Salam, Burhanuddin, Logika Materiil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Pengetahuan, Jaka Jakart rtaa : PT Rineka Cipta, 1997. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2007. Suriasumantri, Jujun S., Ilmu dalam Perspektif, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003. Tafsir afsir,, Ahma Ahmad, d, Filsafat ilmu; mengurai ontologi, epistemology dan aksiologi pengetahuan, pengetahuan, Bandung : PT Remaja Rosda karya, 2006. Tim Penyusun, Kamus Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Daftar Bacaan Kontowijoyo, Islam sebagai Ilmu; epistemologi, metodologi, dan etika, ed. ed. II, II, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006. Ghulsyani, Ghulsyani, Mahdi, Mahdi, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, terj., terj., Bandun Bandung g : Penerb Penerbit it Mizan, 1991. Verha erhaak ak,, C. dan dan R. Hary Haryon ono o Imam Imam,, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jaka Jakarta rta : PT. PT. Gramedia, 1989. Ziai, Hossein, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi, ter., Bandung : Zaman Wacana Mulia, 1990.
10