Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2008) 34 (2) 207 -225
ISSN 0125 - 9830
EKSTRAK LAMUN SEBAGAI SUMBER ALTERNATIF ANTIBAKTERI PENGHAMBAT BAKTERI PEMBENTUK BIOFILM Oleh IRMA SHITA ARLYZA Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Received 28 February, Accepted 16 July 2008
ABSTRAK Padang lamun merupakan kekayaan sumberdaya laut dan salah satu ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir. Lamun diketahui memiliki kandungan bahan aktif yang mampu mencegah bakteri pembentukan biofilm dan perlekatan organisme fouling. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan ekstrak lamun dalam menghambat bakteri pembentuk biofilm. Penelitian ini dilakukan terhadap berbagai jenis lamun, yaitu Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Enhalus acroides, Halophila sp., Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Halodule uninervis. Metode penelitian meliputi; pengambilan sampel lamun dilakukan pada tiga lokasi; Tanjung Benoa Bali, pantai Kuta dan Gerupuk Lombok dan Labuhan Bajo Flores pada tahun 2007, persiapan isolat bakteri uji, ekstraksi dan bioassay ekstrak lamun, pengumpulan data didapat dari setiap percobaan yang dilakukan, yaitu uji antibakteri, dan analisa data diperoleh melalui data deskriptif dengan tabel dan gambar. Hasil penelitian menunjukkan dari 10 jenis lamun yang diperoleh di lapangan, 8 jenis memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Delapan ekstrak lamun dengan 4 pelarut diketahui mampu menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyii, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Aeromonas hydrophila. Kata Kunci: Ekstrak lamun, Bahan aktif, Fouling, Biofilm
ABSTRACT SEAGRASS EXTRACTS AS ANTIBACTERIA ALTERNATIVE SOURCE TO INHIBIT BACTERIA FORMING BIOFILM. Seagrass bed is one of the marine resource, as ecosystems which can be found in coastal area, It had been known having bioactive compounds property which can prevent bacteria forming biofilm, and organisms fouling settlement. This research is conducted to species of seagrass, such as Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Enhalus acroides, Halophila sp., Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Halodule uninervis. The research propose is to know ability of seagrass extracts in handle forming biofilm bacteria. The research methods such as; took seagrass samples from three locations such as Benoa Cape Bali, Kuta and Gerupuk beach Lombok and Labuhan Bajo Flores at 2007, preparation bioassay bacterias, extraction and bioassay seagrass extracts, data collaction from each experimen works, i.e. antibacteria bioassay, dan data analysis got by data describtion with table and pictures. The result of research shown from 10 seagrass species that got in field, 8 species has ability as antibacteria. Extract of seagrass species with four organic solvents had been known be able to inhibite bacteria growth as Vibrio
IRMA SHITA ARLIZA harveyii, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Aeromonas hydrophila. Key word: Seagrass extracts, Bioactive compound, Fouling, Biofilm
PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara maritim yang juga merupakan pusat megadiversitas dunia, yang luas lautan lebih besar dari pada daratan dan mempunyai keanekaragaman hayati laut dan non hayati yang sangat tinggi. Padang lamun merupakan kekayaan sumberdaya laut dan ekosistem ini terdapat di wilayah pesisir (PATTISELANO 2005). Ekosistem ini dibandingkan dengan ekosistem pesisir yang lain, yaitu rawa payau, hutan mangrove, rumput laut (seaweed), dan terumbu karang, belum banyak dikenal dan diperhatikan. Sumberdaya laut ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan dan sumber obat-obatan (MC CONNAUGHEY et al. 1983; SUMICH 1999). DEN HARTOG dalam NYBAKKEN (1988) melaporkan bahwa lamun di seluruh dunia hanya mencakup sekitar 50 jenis yang dikelompokkan dalam 12 marga. Keduabelas marga tersebut digolongkan dalam suku Potamogenasea dan Hydrocharitaceae (MCCONNOUGHEY et al. 1983). Lamun dapat mempunyai biomassa tetap sebesar 2 kg/m2. Kebanyakkan jenis lamun mempunyai morfologi luar yang secara garis besar nampak serupa, merupakan kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu bertahan hidup secara permanen di bawah permukaan air laut (WIMBANINGRUM 2003). Seluruh proses kehidupan lamun berlangsung di lingkungan perairan laut dangkal. Kenampakan luar dari tumbuhan kelompok ini mempunyai kemiripan dengan kerabatnya yang tumbuh di daratan yaitu rumput. Lamun mempunyai akar, daun, bunga, dan jaringan-jaringan yang dilapisi pembuluh sebagai penyalur bahan makanan, air dan gas. Berbeda dengan rumput pada lamun tidak mempunyai stomata pada lapisan daunnya (SUSETIONO 2004). Lamun di perairan akan tampak dengan jelas muncul di permukaan laut saat mengalami surut jauh (Spring Low Tide). Lamun berbeda dengan tumbuhan darat adalah karena sifat adaptasinya tehadap lingkungan kehidupan laut. Penampakan luar lamun serupa dengan rerumputan yang hidup di darat, yaitu adanya rimpang yang beruas-ruas, pada ruas ke arah bawah terdapat akar sedangkan ke atasnya membentuk tegakan atau batang yang disertai dengan daun. Kondisi seperti ini tidak sama dengan alga (seaweed) yang hanya mempunyai thallus sehingga memerlukan subtrat keras untuk menempel. Pada lamun, fungsi stomata ini digantikan oleh tipisnya lapisan kutikula pada permukaan daun. Kondisi ini mempermudah 208
LAMUN PENGHAMBAT BAKTERI PEMBENTUK BIOFILM penyerapan nutrisi yang selanjutnya disalurkan kepada sel-sel fotosintesa tanpa melalui sistem perakarannya (SUSETIONO 2004). Ekosistem padang lamun dan terumbu karang merupakan dua dari beberapa ekosistem perairan pantai yang mempunyai peranan sangat penting dalam menunjang kelangsungan populasi biota yang hidup di daerah tersebut. Peranan tersebut antara lain sebagai tempat mencari makan (Feeding ground), berpijah (Spawning ground), berlindung (Shelter) dan membesarkan anak (Nursery ground) bagi beberapa jenis ikan dan udang (SETYONO et al. 1991; CAPPENBERG 1996; SUSETIONO 2004). Menurut SUSETIONO (2004), faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi penyebaran lamun di suatu wilayah perairan adalah kedalaman, kekeruhan macam substrat dan pergerakan air. Kedalaman dan kekeruhan sangat berpengaruh bagi masuknya cahaya matahari ke dasar perairan untuk proses fotosintesis lamun. Tanaman lamun yang produktif bagi perairan adalah tanaman lamun yang mempunyai akar kokoh dan daun yang labat, sedangkan daun-daunnya merupakan pelindung bagi flora dan fauna dari kekeringan dan sengatan matahari. Kelimpahan, kepadatan, dan keanekaragaman jenis-jenis epifauna dan infauna yang hidup di padang lamun sangat ditentukan oleh luasan kanopi (Canopy) daun lamun. Indonesia memiliki 12 jenis lamun yang tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Menurut KURIANDEWA et al. (2004) Indonesia memiliki 12 jenis lamun yang tersebar di seluruh perairan Indonesia dan terbagi kedalaman dua suku, yaitu Hydrocharitaceae (Enhalus acroides, Halophila decipiens, Halophila minor, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Thalassia hemprichii) dan Cymodoceae (Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum) (ANONIM 2004). Lingkungan laut tersusun atas komponen cair yang digunakan dalam metabolisme dan pertumbuhan oleh mikroorganisme. Pada kondisi yang berkebalikan, permukaan bumi cenderung menyimpan dan mengkonsentrasi nutrisi melalui pertukaran ataupun interaksi hidrofobik (KWON et al. 2002). Dalam sejarah mengenai mikrobiologi, mikroorganisme awal dicirikan sebagai planktonik, sel tertutup dan dideskripsikan sebagai dasar pertumbuhan pada media kultur yang kaya nutrisi (DONLAN 2002). Menurut RITTSCHOF & MARY (2002), bahwa di dalam lingkungan laut semua permukaan bawah air dipengaruhi oleh penempelan organisme fouling, seperti bakteri, alga dan invertebrata khususnya teritip dan remis. Biofilm merupakan sekelompok sel yang dihasilkan oleh bakteri tertentu yang bersifat irreversible dan menutupi permukaan dengan bahan utamanya berupa polisakarida. Mikroorganisme merupakan agen utama yang mengambil tempat di permukaan dan berkembang untuk menghasilkan biofilm (BISHOP 2007). Material non-selular seperti kristal mineral, bahan 209
IRMA SHITA ARLIZA korosi, tanah liat bahkan komponen darah dalam lingkungan merupakan tempat berkembangnya biofilm, selain materi non selular akan ditemukan juga matrik biofilm. Biofilm memiliki bentuk yang beragam pada permukaan, masuk dalam jaringan hidup, merusak peralatan kesehatan, industri, pipa saluran air dan saluran mata air (DONLAN 2002; CALLOW & CALLOW 2008). Menurut LENS et al. (2003) terungkap bahwa bentuk biofilm memiliki ketahanan terhadap antibakteri, biosida dan temperatur yang tinggi. Peranan bakteri laut terhadap pencemaran dikatagorikan dalam dua hal, yaitu merugikan dan menguntungkan. Bakteri laut diduga turut menyebabkan terjadinya fouling, yaitu penempelan dan tumbuhnya berbagai organisme pada benda-benda yang berada di bawah permukaan air laut, meliputi kayu, besi, beton, gelas dan bahkan plastik. Organisme yang umum dijumpai adalah barnacle, kerang-kerangan, rumput laut, bahkan lumut. Menurut ZOBELL & ALLEN dalam SIDHARTA (2000), bakteri berperan dalam terjadinya fouling dengan cara : 1. memberikan tempat perlekatan untuk larva planktonik berbagai organisme fouling, 2. menyuramkan permukaan benda-benda yang cerah dan terang, 3. menyediakan sumber makanan bagi barnacle, tiram, tunicata, dan lainnya, 4. menyediakan pengendapan bahan-bahan berkapur bagi organisme sesil, dan 5. meningkatkan kandungan CO2 dan amonia yang dibutuhkan tumbuhan laut. Diperkirakan bakteri laut mampu mencerna hampir semua senyawa organik dan sebagian besar senyawa anorganik yang akan mengalami perubahan akibat kegiatan bakteri laut. Secara umum bakteri laut lebih kecil dalam hal mencerna protein daripada karbohidrat. ZOBELL & GRANT dalam SIDHARTA (2000) memperlihatkan bahwa semua bakteri laut yang heterotropik mampu mengasimilasi glukosa, hanya 40-60% sediaan yang diamati mampu memfermentasi glukosa dan menghasilkan asam, tapi tidak satupun yang menghasilkan gas. Kemungkinan ini disebabkan rendahnya kemampuan fermentasi tapi mungkin pula karena sifat efisiensi dalam mencerna senyawa organik yang berguna baginya. Hampir semua bakteri laut akan melepas ammonia dari hasil pencernaan peptone dan 75% memiliki kemampuan mencairkan gelatin. Hanya beberapa yang menghasilkan indol dari triptofan, seperti Vibrio adaptatus, Vibrio marinofullius (ZOBELL & UPHAM dalam SIDHARTA 2000). Pemeriksaan secara acak terhadap berbagai koloni dan pengamatan mikroskopis langsung menunjukkan 95% bakteri laut bersifat gram negatif. Angka ini sebanding dengan prosentase bakteri gram negatif air tawar (TAYLOR dalam SIDHARTA 2000) dan 2 kali daripada bakteri gram negatif tanah (TAYLOR & LOCHHEAD dalam SIDHARTA 2000). Pada umumnya bakteri laut memiliki kecenderungan untuk berasosiasi dengan suatu lapisan permukaan padat. Kecenderungan ini juga dijumpai pada 210
LAMUN PENGHAMBAT BAKTERI PEMBENTUK BIOFILM beberapa mikroorganisme laut lain, seperti diatom, ganggang dan actinomyces. Akan tetapi bakteri laut ini sangat tergantung pada substrat yang dilengketinya akibat rendahnya kandungan nutrien dalam air laut. Dengan demikian sangatlah wajar bila sebagian besar bakteri laut menjadi teradaptasi dengan kehidupan sesil. Beberapa jenis bakteri yang yang memiliki kemampuan berasosiasi, baik pada air laut maupun air tawar. Bakteri penyebab penempelan merupakan komponen dari ekosistem akuatik alami. Bakteri ini penting secara ekologi, tidak hanya sebagai koloni awal dari substrat kompleks, seperti bahan organik dalam kolom air dan pasir pantai, namun bakteri ini juga berperan dalam transformasi logam berat, degradasi bahan organik kompleks, siklus nutrien, dan mineralisasi. Bakteri yang resisten terhadap logam berat yang berperan dalam transformasi logam berat juga resisten terhadap antibiotik (ALLEN et al. dalam COLWELL 1984). Bakteri dan fungi akuatik bertanggung jawab dalam tahap utama korosi metal dan kerusakan kayu serta bahan lain dalam lingkungan laut. Proses penempelan dan aktifitas mikrobial terkait erat dan penting secara mendasar bagi individu mikroorganisme untuk bertahan hidup, bereplikasi dan berkolonisasi dalam lingkungan. Pada awalnya, kolonisasi yang luas bervariasi mulai dari beberapa bakteri dan atau spora fungi, hingga kolonisasi organisme eukariotik seiring waktu. Sehingga penempelan dapat diartikan sebagai penambahan dan pengontrolan lingkungan oleh larva hewan invertebrata. Oleh karena itu, penempelan merupakan salah satu dari sekian banyak proses mendasar yang harus dikontrol namun tidak dihilangkan (COLWELL 1984). Menurut NAIR & THAMPHY (1988), terdapat dua faktor yang mempengaruhi penempelan organisme, yaitu lapisan tipis (primary film) dan warna dari substrat. Lapisan tipis dihasilkan oleh bakteri dan merupakan kebutuhan esensial dari organisme fouling untuk menempel pada fase larva. Studi pemanfaatan organisme laut untuk menghasilkan bahan aktif alami dari lamun telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Beberapa hasil penelitian dari luar negeri untuk mencegah bakteri pembentukan biofilm dan perlekatan barnacle dan blue mussel dari organisme laut sudah dilakukan oleh TAYLOR (1999). Asam p-sulfoxy cinnamic telah diisolasi dari ekstrak metanol eelgrass Zostera marina yang memiliki kemampuan signifikan sebagai antifouling untuk mencegah marine fouling (ZIMMERMAN 1990; ZIMMERMAN et al. 1997). Thalassia testudinum telah diteliti dan diketahui sebagai new antibiotic flavone glycoside yang dapat melawan zoosporic fungi dari fungus Schizochytrium aggregatum (JENSEN et al. 1998). Penelitian-penelitian di bidang ini sekarang terus berkembang. Kendati kajian seagrass atau lamun sudah berjalan relatif lama yaitu sejak tahun 1970an, namun banyak fenomena menarik tentang karakteristik 211
IRMA SHITA ARLIZA kandungan bahan aktif lamun yang belum dimengerti dengan baik. Untuk memperoleh kejelasan ilmiah fenomena di atas perlu dilakukan kajian yang kuantitatif tentang karakteristik kandungan bahan aktif pada lamun (ZULKIFLI 2003). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan ekstrak lamun dalam menghambat bakteri pembentuk biofilm. BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel lamun Sampling dilakukan di tiga lokasi, yaitu pantai Tanjung Benoa, Bali, pantai Kuta dan Gerupuk, Lombok dan Labuhan Bajo, Flores pada tahun 2007. Metode sampling yang digunakan adalah transek linier dengan menarik garis tegak lurus pantai ke arah tubir. Setiap jarak 10 dibuat transek kuadrat (1x1 m2). Lamun yang terperangkap di dalam frame kuadrat dikumpulkan, dicatat, didokumentasikan dan dikeringkan (untuk menghindari kerusakan sampel).
(Sumber: http://www.encarta.msn.com/map) Gambar 1. Peta lokasi pengambilan lamun di Tanjung Benoa, Bali Picture 1. Map of took seagrass sampel location in Benoa Cape, Bali
212
LAMUN PENGHAMBAT BAKTERI PEMBENTUK BIOFILM
(Sumber: http://www.encarta.msn.com/map) Gambar 2. Peta lokasi pengambilan lamun di pantai Kuta dan Gerupuk, Lombok Picture 2. Map of took seagrass sampel location in Kuta and Gerupuk, Lombok
Sumber: http://www.encarta.msn.com/map) Gambar 3. Peta lokasi pengambilan lamun di Labuhan Bajo, Flores Picture 3. Map of took seagrass sampel location in Labuhan Bajo, Flores
Persiapan isolat bakteri uji Bakteri uji yang digunakan diperoleh dari Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Pusat Penelitian Biologi-LIPI dan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB. Bakteri yang
213
IRMA SHITA ARLIZA digunakan adalah bakteri umum untuk pengujian antibakteri, seperti Vibrio harveyii, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Aeromonas hydrophila, Staphylococcus aureus yang memiliki toleransi terhadap garam dan tumbuh dengan baik pada media yang mengandung natrium klorida 10% (BENSON 2002). Ektraksi dan bioassay ekstrak lamun Ekstraksi sampel lamun Jenis lamun yang diekstrak adalah Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Enhalus acroides, Halophila sp., Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Halodule uninervis. Lamun diekstrak dengan menggunakan pelarut organik dari berbagai tingkat kepolaran; metanol, etil asetat, kloroform dan heksan. Ekstraksi dilakukan dengan maserasi selama 24 jam menggunakan alat magnetic stirer yang kecepatannya konstan. Setelah itu disaring dan filtratnya dievaporasi pada suhu di bawah titik didih pelarut organik (40-50oC). Pengujian ekstrak sebagai antibakteri dimodifikasi dari TAYLOR (1999) atau UNITED STATE PATENT NUMBER 5.989.323) Bakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah bakteri gram positif dan gram negatif yang diisolasi dari laut. Media pertumbuhan untuk bakteri uji Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Vibrio harveyii, Pseudomonas aeruginosa, Aeromonas hydrophila menggunakan media cair Muller Hincton dengan memasukkan satu ose kultur bakteri ke dalam media. Khusus untuk bakteri Vibrio harveyii perlu ditambahkan trace element. Kultur bakteri uji akan digunakan bila telah mencapai tingkat optical density (OD550nm) sebesar 0,5-0,8 berdasarkan spektrum absorpsi menggunakan spektrofotometer UV/VIS. Media pengujian antibakteri yang digunakan adalah media padat Muller Hincton (ATLAS 1993). Media-media yang akan digunakan, terlebih dahulu disteril dalam autoclave pada suhu 121o C selama 15 menit. Pengumpulan data Pengumpulan data diperoleh dari setiap percobaan yang dilakukan, jenis lamun dan hasil uji antibakteri dari ekstrak dengan empat jenis pelarut yang dicobakan. Analisis data Analisa data dilakukan melalui data deskriptif dengan tabel dan gambar.
214
LAMUN PENGHAMBAT BAKTERI PEMBENTUK BIOFILM
HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-jenis lamun Indonesia Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di tiga lokasi diperoleh 10 jenis lamun, sebagaimana tampak pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis lamun dari beberapa lokasi penelitian, 2007 Table 1. Species of seagrass from research locations, 2007 Seagrasses
Locations Bali
Lombok
Flores
Cymodocea rotundata
+
+
+
Cymodocea serrulata
+
+
+
Syringodium isoetifolium
+
+
+
Halodule uninervis
+
+
-
Halodule pinifolia
+
+
-
Halophila sp
-
-
+
Halophila ovalis
+
+
+
Halophila spinulosa
-
+
-
Thalassia hemprichii
+
+
+
Enhalus acroides
+
+
+
Ekstrak lamun Ekstrasi lamun dengan pelarut organik berdasarkan pada sifat kepolaran zat dalam pelarut pada saat ekstraksi. Zat-zat polar yang terkandung dalam lamun hanya larut pada pelarut polar, yaitu air, etanol, metanol dan butanol, sedangkan zat-zat yang nonpolar akan larut dalam pelarut nonpolar, antara lain kloroform, heksan, eter (GRITTER et al. 1991). Jenis-jenis lamun yang diperoleh dari lapangan diproses seperti yang dijelaskan pada bagian metodologi untuk mendapatkan ekstrak kasar dari masing-masing jenis lamun. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah perolehan bahan aktif yang diekstrak, yaitu kondisi alamiah dari bahan aktif, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel.
215
IRMA SHITA ARLIZA Berdasarkan proses ekstraksi yang dilakukan diperoleh 4 jenis ekstrak yang terdiri dari ekstrak metanol (Me), ekstrak etil asetat (Ea), ekstrak kloroform (Cl) dan ekstrak heksan (Hx). Dari 10 jenis lamun yang diperoleh jumlah total ekstrak yang diperoleh untuk 4 jenis pelarut adalah metanol sebanyak 10 ekstrak, etil asetat 10 ekstrak, kloroform 10 ekstrak dan heksan 8 ekstrak. Uji antibakteri Berdasarkan morfologi yang dipelajari bahwa ada sekitar 80% bakteri laut yang diketahui berbentuk batang dan bersifat gram negatif (ZOBELL dalam SIDHARTA 2000). Pleomorfisme umum terjadi pada bakteri laut dibandingkan bakteri sungai, danau, dan tanah. Sekitar seperlima bakteri batang dari laut berbentuk kumparan helicoid, sehingga sering diklasifikasikan sebagai vibrio atau spirillum. Bakteri laut bergerak secara aktif, antara 75-85% sediaan murni yang diamati memiliki flagel. Diperkirakan kemampuan bergerak ini sebagai hasil adaptasi kehidupan perairan. Jenis-jenis Pseudomonas, Vibrio, Flavobacterium, Achromobacter, dan Bacterium merupakan jenis terbanyak yang dijumpai di laut (SIDHARTA 2000). Bakteri akan membentuk lapisan film, yang pada keadaan tertentu menjadi pelapis luar cat antifouling, sehingga tidak berpengaruh terhadap organisme fouling. Secara perlahan bakteri akan merombak senyawa penyusun pelapis atau cat. Di sisi lain, bakteri juga mencegah organisme lain yang lebih besar untuk tinggal bersama melalui antibiotik yang dihasilkannya (SIDHARTA 2000). Ekstrak lamun yang dihasilkan diuji terhadap bakteri gram (+) dan gram (-). Bakteri uji untuk bakteri gram (+) adalah Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus sedangkan untuk bakteri gram (-) adalah Vibrio harveyii, Pseudomonas aeruginosa, Aeromonas hydrophila. Hasil pengujian ekstrak lamun terhadap lima bakteri yang diujikan menunjukkan bahwa ekstrak lamun mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan tingkatan yang berbeda-beda. Berdasarkan pengujian antibakteri yang dilakukan diperoleh data seperti yang tampak pada Tabel 2.
216
LAMUN PENGHAMBAT BAKTERI PEMBENTUK BIOFILM Tabel 2. Hasil uji antibakteri ekstrak metanol, etil asetat, kloroform dan heksan Table 2. Bioassay result of methanol, etyl acetat, chloroform and hexane extract
No.
Seagrass samples
Bacteria
Solvent V. harveyii
P. aeruginosa
S. aureus
B. subtilis
A. hydrophila
1.
Halophila ovalis
Methanol
+
-
-
+
-
2.
C. serrulata
Methanol
++
-
+
+++
-
3.
S. isoetifolium
Methanol
-
-
-
++
-
4.
H. pinnifolia
-
1.
S. isoetifolium
2.
Methanol
+
-
+
++
-
-
-
++
-
T. hemprichii
Etyl acetate Etyl acetate
-
-
-
+++
-
3.
H. pinnifolia
Etyl acetate
-
-
-
+
-
4.
C. serrulata
Etyl acetate
-
-
-
+
-
5.
Halophila sp.
Etyl acetate
+
-
-
-
-
1.
C. rotundata
-
-
-
+
-
2.
H. ovalis
Chloroform Chloroform
+
-
-
+
+
3.
C. serrulata
Chloroform
-
-
-
++
-
4.
T. hemprichii
Chloroform
-
-
-
+++
-
5.
H. uninervis
Chloroform
-
-
+
-
-
6.
H. pinnifolia
Chloroform
-
-
-
+++
-
7.
S. isoetifolium
Chloroform
-
-
-
+
-
8. 1
Halophila sp. C. rotundata
Chloroform
+ -
-
+++
-
2
S. isoetifolium
Hexane Hexane
-
-
-
+++
-
3
C. serrulata
Hexane
-
-
-
+
-
4
H. pinnifolia
Hexane
-
-
-
+++
-
5
T. hemprichii
Hexane
-
-
-
+++
-
H. uninervis
Hexane
-
-
-
+++
-
6
Hasil uji antibakteri Berdasarkan hasil pengujian antibakteri (tahap I, II dan III) tampak bahwa ekstrak nonpolar (kloroform dan heksan) memiliki kemampuan sebagai antibakteri lebih dominann dibandingkan dengan ekstrak semipolar (etil asetat) dan polar (metanol). Hal tersebut kemungkinan terjadi karena kandungan bahan aktif antibakteri dari masing-masing sampel yang diuji cenderung bersifat nonpolar. Sifat kandungan bahan aktif dapat dijelaskan apabila bahan aktif yang berperan sebagai antibakteri tersebut dipisahkan dan diisolasi. Tehnik pemisahan dan isolasi zat aktif dari ekstrak lamun dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa analisa yang umum digunakan, seperti kromatografi lapis tipis. Hasil pengujian antibakteri ditampilkan pada gambar-gambar di bawah ini.
217
IRMA SHITA ARLIZA
Gambar 4. Ekstrak metanol C. serrulata (no.6)
Gambar 5. Ekstrak metanol S.isotifolium (no.7)
Picture 4. Methanol extract C. serrulata (no.6)
Picture 5. Methanol extract S.isotifolium (no.7)
Hasil pengujian antibakteri terhadap ekstrak lamun dengan pelarut metanol menghasikan dua ekstrak lamun yang memiliki kemampuan sebagai antibakteri, yaitu ekstrak Cymodoceae serrulata (no.6) dan Syringodium isoetifolium (no.7). Hal ini menunjukkan bahwa bahan aktif yang berperan sebagai antibakteri pada kedua ekstrak lamun tersebut bersifat polar dan hanya akan larut pada jenis pelarut polar seperti yang telah dijelaskan oleh GRITTER et al. (1991).
Gambar 6. Ekstrak etil asetat S.isotifolium (no.3) Gambar 7. Ekstrak etil asetat T. Hemprichii (no.7) Picture 6. Etyl acetat extract S.isotifolium (no.3) Picture 7. Etyl acetat extract T. hemprichii (no.7)
Hasil pengujian ekstrak etil asetat diperoleh 4 ekstrak lamun yang memiliki kemampuan sebagai antibakteri, yaitu Cymodoceae serrulata (no.9), Halodule pinnifolia (no.8), Thallasia hemprichii (no.7) dan Syringodium isoetifolium (no.3) dan (no.4)] dengan hambatan terluas di peroleh dari ekstrak Thallasia hemprichii (no.7) kemudian disusul oleh ekstrak Syringodium isoetifolium (no.3).
218
LAMUN PENGHAMBAT BAKTERI PEMBENTUK BIOFILM
Gambar 8. Ekstrak kloroform aktif (no.3, 4) Picture 8. Active chloroform extract (no.3, 4)
Gambar 9. Esktrak kloroform aktif (no. 9,11) Picture 9. Active chloroform extract (no. 9,11)
Hasil pengujian antibakteri menggunakan ekstrak kloroform menghasilkan 8 ekstrak lamun yang memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Jenis lamun tersebut adalah Cymodoceae serrulata (no.7), Cymodoceae rotundata (no.2), Halodule pinnifolia (no.11), Halophila ovalis (no.5), Thallasia hemprichii (no.9) dan Syringodium isoetifolium (no.12), H. uninervis (no.3) dan Halophila sp. (no.6). Kemampuan menghambat terluas diperoleh ekstrak Thallasia hemprichii (no.9) dan Halodule pinnifolia (no.11).
Gambar 10. Ekstrak heksan C. rotundata (no.3) Gambar 11. Ekstrak heksan S. isoetifolium (no.7) Picture 10. Hexana extract C. rotundata (no.3) Picture 11. Hexana extract S. isoetifolium (no.7)
219
IRMA SHITA ARLIZA
Gambar 12. Ekstrak heksan aktif (no.13, 14, 15) Picture 12. Active hexane extract (no.13, 14, 15)
Berdasarkan hasil uji antibakteri menggunakan ekstrak heksan diperoleh 6 ekstrak yang memiliki kemampuan sebagai antibakteri, yaitu Cymodoceae rotundata (3), Syringodium isoetifolium (7), Halodule pinnifolia (13), Thallasia hemprichii (14), Halophila uninervis (15) dan Cymodoceae serrulata (10). Berdasarkan hasil pengujian antibakteri tahap ketiga tampak bahwa ekstrak polar (metanol) memiliki kemampuan sebagai antibakteri lebih baik dibandingkan dengan ekstrak semipolar dan nonpolar. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena kandungan bahan aktif antibakteri dari masingmasing sampel yang diuji cenderung bersifat polar. Hasil pengujian antibakteri akan ditampilkan pada gambar-gambar di bawah ini.
Gambar 13. Ekstrak metanol aktif (no. 4, 5)
Gambar 14. Ekstrak metanol aktif (no. 4, 5)
Picture 13. Active methanol extract (no. 4,5)
Picture 14. Active methanol extract (no. 4,5)
220
LAMUN PENGHAMBAT BAKTERI PEMBENTUK BIOFILM
Gambar 15. Ekstrak metanol C. serrulata (no. 5) Picture 15. Methanol extract C. serrulata (no. 5)
KESIMPULAN Berdasarkan hasil kegiatan penelitian yang diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada 8 jenis lamun yang menunjukkan aktifitas sebagai antibakteri, 1 jenis lamun yaitu Enhalus acroides tidak menunjukkan aktifitas sebagai antibakteri. 2. Jenis lamun yang paling berpotensi sebagai antibakteri secara berurutan adalah Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata dan Cymodocea rotundata 3. Hasil ekstrak dari masing-masing jenis lamun yang paling dominan menunjukkan aktifitas sebagai antibakteri adalah ekstrak nonpolar, yaitu heksan dan kloroform. 4. Hasil ekstrak yang menunjukkan aktifitas clear zone (zona hambat) paling besar adalah ekstrak dengan pelarut heksan. 5. Bakteri uji yang berhasil dihambat oleh ekstrak lamun (metanol, etil asetat, kloroform dan heksan) secara berurutan adalah Bacillus subtilis, Vibrio harveyii, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeroginosa dan Aeromonas hydrophila.
221
IRMA SHITA ARLIZA SARAN Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti menyarankan dilakukannya penelitian lanjutan sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penelitian khusus isolasi bakteri penghasil biofilm langsung dari alam. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan isolasi, purifikasi dan karakterisasi zat aktif dari ekstrak lamun yang berperan sebagai antibakteri. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan isolasi gen dari ekstrak lamun yang berperan sebagai antibakteri. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Zainal Arifin selaku peneliti senior yang banyak memberikan sumbangan pemikiran, teman-teman peneliti (Rahma Poespitasari, S.Si, Indra Bayu Vimono, S.Si, A’an Johan Wahyudi, S.Si dan Tri Handayani, S.Si), teman-teman teknisi (Rahman, S.Si, Triyoni Purbonegoro, S.Si dan Irman Luthan) dan mahasiswa magang yang telah banyak membantu dalam mengerjakan hasil penelitian ini hingga menjadi sebuah karya ilmiah. DAFTAR PUSTAKA ANONIM 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004. Jakarta 13 Oktober 2004:15 pp ALLEN, D. A., B. AUSTIN, and R. R. COLWELL, 1977. Antimicrob. Agents Chemother dalam COLWELL, 1984. Microbial Ecology of Biofouling. Biotechnology in The Marine Sciences. Proceedings of the First Annual MIT Sea Grant Lecture and Seminar. John Wiley and Sons. Canada: 98 pp ATLAS, R. M. 1993. Handbook of Microbiological Media. London; CRC Press: 629 pp BENSON, H. J. 2002. Microbiological Aplications Laboratory Manual in General Microbiology, Eighth Edition. New York; Mc Graw Hill: 257-258 BISHOP, P.L. 2007. The role of biofilms in water reclamation and reuse. Water Science & Technology. 55:(1-2): 19–26 CALLOW, J.A and M. E. CALLOW, 2008. Biofilms. School of Biosciences, The University of Birmingham, Birmingham. Tanggal akses internet 12 Februari 2008: 30 pp 222
LAMUN PENGHAMBAT BAKTERI PEMBENTUK BIOFILM www.biosciences.bham.ac.uk/labs/callowj/ent/Ch06.pdf CAPPENBERG, H.A.W. 1996. Komunitas Moluska di Padang Lamun Teluk Kotania, Seram Barat. Perairan Maluku dan Sekitarnya. 11: 19-33 COLWELL, 1984. Microbial Ecology of Biofouling. Biotechnology in The Marine Sciences. Proceedings of the First Annual MIT Sea Grant Lecture and Seminar. John Wiley and Sons. Canada: 98 pp DONLAN, R. M. 2002. Biofilms: Microbial Life on Surfaces. Emerging Infectious Diseases. 8:(9): 881-890 GRITTER, R. J., M. B. JAMES and E. S. ARTHUR 1991. Pengantar Kromatografi. Penerjemah: Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung: 266 pp JENSEN, .R., K.M. JENKINS, D. PORTER and W. FENICALL 1998. Evidence that a new antibiotic flavone glycoside chemically Defends the lamun Thalassia testudinum against zoosporic fungi. Scripps Institute of Oceanography, Center for Marine Biotechnology and Biomedicine, University of California-San Diego, La Jolla, California. Appl Environ Microbial. 64(4): 1490-1496 KURIANDEWA T. E., W. KISWARA, M. HUTOMO dan S. SOEMDIHARJO, 2003. The Seagrass of Indonesia in World Atlas of Seagrasses. Editor : Edmund P. G and Frederick T. Short. Published in Association with UNEP-WCMC by The University of California Press: 274 pp KWON, K.K., H.S. LEE, S-Y. JUNG, J-H. YIM, J-H. LEE and H.K. LEE, 2002. Isolation and Identification of Biofilm-Forming Marine Bacteria on Glass Surfaces in Dae-Ho Dike, Korea. The Journal of Microbiology. 4:(4): 260-266 LENS, P., A. P. MORAN, T. MAHONY, P. STOODLEY and V. O’FLAHERTY, 2003. Biofilms in Medicine, Industry and Environmental Biotechnology: Characteristics, Analysis and Control. IWA Publishing, London: 11-12 MC CONNAUGHEY, BAYARD H. & R. ZOTTOLI 1983. Pengantar Biologi Laut, Edisi Pertama. London; The C. V. Mosby Company: 288-291 NAIR, N. B. And D. M. THAMPHY, 1988. Marine Ecology dalam Puspasari, L., 1995. Pengaruh Lama Berlayar dan Posisi pada Lambung Kapal terhadap Kelimpahan Biota Penempel pada Kapal Feri. Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor NYBAKKEN, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta; PT. Gramedia: 286 pp 223
IRMA SHITA ARLIZA PATTISELANO, F. 2005. Menggali Potensi Biologi dan Prospek Ekoturisme Taman Nasional Laut Teluk Cendrawasih. Warta Konversi Lahan Basah. 13(1): 6-7 RITTSCHOF, D. And A. MARY, 2002. Biofouling. Poseidon Ocean Sciences. Inc. Tanggal access : 17 September 2002. http://www.poseidonsciences.com/antifouling.html. SETYONO, D.E.D., S. WOUTHUYZEN & T. PERISTIWADY 1991. Komunitas di Daerah Padang Lamun dan Terumbu Karang Perairan Tanimbar, Maluku Tenggara. Perairan Maluku Tenggara: 17-27 SIDHARTA, B. R. 2000. Sifat-sifat Bakteri Laut; Pengantar Mikrobiologi Kelautan. Yogyakarta; Universitas Atmajaya: 1-13 SUMICH, J. L. 1999. An Introduction To The Biology of Marine Life, Seventh Edition. McGraw-Hill Companies, New York: 146-160 SUSETIONO 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Jakarta; Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Program COREMAP II: 6-11 TAYLOR, G.T. 1999. Aquatic antifouling compositions and methods. The Research Foundation of State. University of New York, Stony Brook, NY. Patent Number : 5.989.323. TAYLOR C. B. dalam B. R. SIDHARTA, 2000. Sifat-sifat Bakteri Laut; Pengantar Mikrobiologi Kelautan. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta: 1-13 TAYLOR C. B. & A. G. LOCHHEAD dalam B. R. SIDHARTA, 2000. Sifat-sifat Bakteri Laut; Pengantar Mikrobiologi Kelautan. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta: 1-13 WIMBANINGRUM, R. 1999. Komunitas Lamun di Rataan Terumbu Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Jurnal Ilmu Dasar. 4(1): 25-32 ZIMMERMAN, R. 1990. Natural Ways to Banish Barnacles The Hopkins Marine Station. The article is drawn from News Scientist Magazine 18th February 1995. Copyright News Scientist, RBI Limitied. http://www.biosciences.bham.ac.uk/external/biofoulnet/ http://www.odu.edu/sci/oceanography/people/faculty/zimmerman/ ZIMMERMAN, R., C. ALBERTE, S. RANDALL, TODD, S. JAMES, CREWS and PHILLIP 1997. Phenolic acid sulfate esters for prevention of marine biofouling. United States Patent 5607741. http://www.freepatentsonline.com/5607741.html
224
LAMUN PENGHAMBAT BAKTERI PEMBENTUK BIOFILM ZOBELL C. E. & E. C. ALLEN E. C dalam B. R. SIDHARTA, 2000. Sifatsifat Bakteri Laut; Pengantar Mikrobiologi Kelautan. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta: 1-13 ZOBELL C. E. & C. W. GRANT dalam B. R. SIDHARTA, 2000. Sifat-sifat Bakteri Laut; Pengantar Mikrobiologi Kelautan. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta: 1-13 ZOBELL C. E. & H. C. UPHAM dalam B. R. SIDHARTA, 2000. Sifat-sifat Bakteri Laut; Pengantar Mikrobiologi Kelautan. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta: 1-13 ZULKIFLI, E. 2003. Kandungan Zat Hara dalam Air Poros dan Air Permukaan Padang Lamun Bintan Timur Riau. Jurnal Natur Indonesia. 5(2): 139-144
225