Unpublished
EKSPRESI EMOSI DALAM BUDAYA Oktarizal Drianus (Magister Sains Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta) PENGANTAR Seberapa dan bagaimana hubungan timbal-balik budaya (culture) dan emosi (emotions)? Pertanyaan ini lah yang menjadi titik simpul dan titik kebingungan dari kajiankajian yang mencoba menggeledah emosi termasuk antropologi, filsafat, sosiologi, komunikasi dan lingustik, psikologi, dan sebagainya. Emosi sebagai konsep teoretis psikologi telah jauh-jauh hari dikaji serius oleh banyak pakar, salah satunya Paul Ekman dan rekan-rekannya (Ekman, 1972;1992;2003;2005). Berkaitan dengan hal di atas, sebagai kajian cross-cultural psychology, tema yang berkaitan dengan emosi mengalami “kegalauan akademik”, dimana ada kecenderungan dan tarik-menarik antara emosi sebagai kondisi psikologis atau emosi sebagai konstruksi sosial budaya. Berry. dkk (2002) mengeksplisitkannya dengan tegas bahwa “in crosscultural studies the most central question is how to find a balance between emotions as psychological states that presumably are invariant across cultures, and emotions as social constructions that differ in essential ways across cultures”. Kecenderungan di atas membawa dua implikasi yang saling menjauhi kutub antara pendekatan universalisme dan partikularisme. Oleh karenanya, crosscultural psychology hadir dalam upaya menjembatani polarisasi ekstrem antara dua pendekatan tersebut. Dengan kata lain, “sekali tepuk, dua lalat didapat”. Usaha ini lah yang sedang dicoba dalam pembahasan kali ini. Tema yang luas ini tidak mungkin dapat dijangkau semuanya dalam pembahasan. Berlandas pada kesadaran itu, maka pembahasan mencukupkan diri pada interaksi resiprokal atau intertekstualitas antara budaya dan eksrepsi emosi saja. Adapun mengenai bentuk-bentuk emosi dalam budaya dapat ditangguhkan untuk sementara waktu. Lokus pembahasannya pun seputar emosi dalam tataran konseptual yang mencoba menunjukkan sisi universal
dan sisi partikular serta sejauh mana intervensi budaya terhadap ekspresinya. Hubungan yang dimaksud tidak sekedar mencari hubungan sebab-akibat, melainkan bagaimana suatu antecendent dimaknai dan dihayati dalam sebuah kebudayaan. A. EMOSI 1. Sekilas Tentang Emosi Usaha menangkap dan meringkus definisi emosi dalam satu terminologi yang ketat sudah dilakukan sejak zaman Yunani, baik di bidang filsafat maupun psikologi. Perjalanan panjang ambil-buang ini, hingga saat ini hanya dapat memahatnya dalam pengungkapan aspek-aspek emosi saja baik bentuk maupun pengungkapannya. Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti “bergerak menjauh”. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut KBBI, emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yang bersifat subjektif) (http://kbbi.web.id/emosi). Definisi yang cenderung clear-cut mengenai emosi dapat dirunut pada William James yang mengatakan bahwa “emotion is the perception of any such bodily change” (Oatley, 2004). Daniel Goleman (2003) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Descrates membagi emosi menjadi tiga: Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder 1
Unpublished
(heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan) (Lyons, 1980). Lebih lanjut, term emosi melibatkan pikiran dan tubuh. Istilah ''emosi'' mencakup berbagai fenomena. Untuk menunjukkan kisaran ini beberapa penulis telah menghidupkan kembali istilah ''affect'' dan ''affective, '' yang telah digunakan dalam bahasa Inggris di abad ke-17 awal. Lebih umum saat ini, bagaimanapun, 'emosi' istilah '' dan ' 'emosional' 'digunakan untuk menunjukkan kisaran ini (Oatley, 2004). Aspek dan bentuk emosi ini dikembangkan lebih lanjut nantinya oleh misalnya Paul Ekman. Oleh karena itu, secara figuratif dapat dirumuskan bahwa emosi itu merupakan suatu persinggahan (transient) antara reaksi neurofisiologis terhadap peristiwa yang mempunyai konsekuensi terhadap diri kita, dan menuntut respon behavioral dengan segera. Hal ini mencakup feelings, reaksi fisiologis, perilaku ekspresif, intensi behavioral, dan perubahan kognitif (Matsumoto dan Juang, 2013). Adapun bagaimana emosi muncul (elicited) dapat dilihat pada bagan di bawah ini:
Figure 1. Model Elisitasi Emosi (Matsumoto dan Juang, 2013) Berdasarkan bagan di atas, emosi merupakan metafora untuk menunjuk beberapa aspek yang saling bekerjasama dalam merespon lingkungan, termasuk peristiwa-peristiwa tertentu. 2. Universalitas Ekspresi Emosi Salah satu konsep yang cukup powerfull dalam psikologi adalah apa yang dikenal sebagai basic emotions (emosi dasar). Emosi dasar ini seperti marah, jijik, takut, senang, sedih, terkejut merupakan ekspresi emosi yang secara biologis terdapat juga pada non-human. Paul Ekman (1992) mengindikasikan sejumlah karakteristik yang membedakan basic emotions dengan emosi lainnya: (1) distinctive universal signals, (2) presence in
other primates, (3) distinctive physiology (both in the autonomic nervous system— ANS—and the central nervous system— CNS), (4) distinctive universal antecedent events, (5) coherence among emotional responses, (6) quick onset and brief duration, (7) automatic appraisal, and (8) unbidden. Basic emotions ini lah yang disebut sebagai universal emotions. Emosi yang tersebar dan sama pada setiap budaya (Darwin, 1872). Enam emosi dasar tersebut mencakup happiness, sadness, anger, fear, surprise, and disgust (Berry, dkk, 2002). Kemudian, Matsumoto menambahkan menjadi 7 emosi dasar dengan menambahkan contempt (Matsumoto dan Juang, 2013). Kajian dalam mainstream psikologi rata-rata memegang prinsip universalitas emosi ini, terutama yang bersandar pada basis biologi dan neurosains (Berry.dkk, 2002). Paul Ekman termasuk salah satu dari universalis yang melakukan penelitian berdasarkan rekognisi pada ekspresi wajah. Emotion Universal Underlying Psychological Theme Happiness Goal attainment or accomplishment Anger Goal obstruction Sadness Loss of loved one or object Disgust Contamination Fear Threat to physical or psychological well-being Surprise New or novel objects Contempt Moral superiority Tabel tema-tema pokok universal basic emotions (Matsumoto dan Juang, 2013) Universalitas ekspresi emosi ini mengkaji aspek-aspek objektif dalam budaya. Aspek objektif ini direfleksikan dalam indikator mengenai kondisi cuaca, tingkat pendidikan, produk-produk nasional. Indikasi subjektif ini mencerminkan bagaimana seseorang melihat diri mereka sendiri dan bagaimana menilai cara hidup mereka. Hal ini mencerminkan apa yang disebut dengan subjective culture. Ekman dan rekan-rekan menerapkan empat jenis penelitian yang berbeda dalam penelitian tersebut. Sejak saat itu, telah banyak peneliti yang melanjutkan atau memperdalam penelitian tersebut sehingga 2
Unpublished
semakin menegaskan keutuhan dari penelitian tersebut. Pada bagian pertama penelitian tersebut, mereka (Ekman, Friesen, dan Tomkins) memilih beberapa foto ekspresi emosi wajah yang dianggap memiliki kesamaan ekspresi emosi secara universal. Kemudian mereka menunjukkan foto-foto tersebut kepada para pengamat dari lima negara yang berbeda (AS, Argentina, Brazil, Chili, dan Jepang) dan meminta para pengamat tersebut untuk memberi label pada masing-masing ekspresi. Data yang didapat menunjukkan tingkat kesamaan yang sangat tinggi dari keseluruh pengamat dalam mengintepretasikan enam emosi yang diberikan – marah, jijik, takut, gembira, sedih, dan terkejut. Izard melakukan penelitian yang sama di lokasi kebudayaan yang lain, dan membuahkan hasil yang sama (Berry. dkk, 2002). Salah satu dari permasalahan penelitian tersebut adalah bahwa semua budaya yang dikenai penelitian merupakan kebudayaan yang terpelajar, mengenal industri, dan relatif modern. Maka bisa dimungkinkan bahwa para pengamat yang diambil dari kebudayaan tersebut telah mempelajari sebelumnya bagaimana mengintepretasikan ekspresi wajah pada sebuah foto. Bahkan faktanya, masyarakat tersebut telah mengenal media massa– televisi, film, majalah, dan sebagainya, sehingga hal ini memperkuat kemungkinan tersebut. Untuk menghadapi kritikan ini, Ekman, Sorensen, dan Friesen (Berry. dkk, 2002) melakukan penelitian yang sama di dua suku tertinggal di New Guinea. Karena sifat dari partisipan dalam penelitian ini, maka para peneliti tidak lagi menggunakan kata untuk mewakili suatu ekspresi wajah, namun menggantinya dengan menggunakan sebuah cerita pendek yang paling mencerminkan ekspresi wajah yang ditunjukkan. Jadi para partisipan diminta untuk menceritakan tentang gambar yang diberikan. Dan menakjubkannya, hasil data yang didapat dari suku terbelakang ini sama dengan data yang didapat dari masyarakat yang telah maju. Oleh karena itu, hal ini dijadikan sumber kedua sebagai bukti pendukung tentang universalitas. Penelitian terhadap suku terbelakang ini kemudian dilanjutkan lebih jauh, di mana
Ekman meminta semua anggota suku untuk menunjukkan ekspresi wajah masing-masing terhadap beberapa emosi yang diberikan. Para anggota suku tersebut kemudian difoto, dan foto tersebut dibawa ke Amerika Serikat. Di AS, foto tersebut ditunjukkan kepada para pengamat, dan mereka diminta memberikan label pada tiap-tiap foto ekspresi wajah tersebut. Dan lagi-lagi, hasil yang didapat menunjukkan hasil yang sama. Kemudian penelitian selanjutnya dilakukan terhadap bayi yang buta, di mana penelitian ini juga menunjukkan hasil yang sama. Sehingga menunjukkan bahwa indera visual bukanlah sarana/media untuk mempelajarai suatu ekspresi wajah. Dengan demikian semakin menegaskan bahwa ekspresi emosi wajah adalah bersifat universal dan merupakan bawaan lahir. Dengan kata lain, penelitian ini berpendapat bahwa semua orang lahir dengan kapasitas untuk mengalami, mengekspresikan, dan merasakan emosi dasar yang sama. Pengandaian basic emotion kaitannya dengan ekspresi budaya digambarkan dengan jernih dalam Matsumoto dan Juang (2013) dengan apa yang disebut sebagai core emotion system. Emosi-emosi dasar ini layaknya sebuah core computer processor. Seluruh core computer sama namun bagaimana informasi diolah dan dicerna sangat tergantung dari users. Users ini diparalelkan dengan intervensi budaya. Selanjutnya, terjadi kalibrasi dari respon emosi terhadap norma-norma kultural melalui display rule.
Figure 2. Pengaruh Kultural pada Sistem Emosi Inti (Matsumoto dan Juang, 2013) Berkaitan dengan kerangka di atas, emosi yang kita alami tidak hanya emosi dasar saja, namun lebih luas seperti cinta, benci, cemburu, bangga, dan sebagainya. Namun demikian, keberadaan emosi dasar menegaskan bahwa emosi-emosi tersebut bercampur dengan atmosfer pengalaman, kepribadian, dan sosiokultural kita yang kemudian membentuk dan mewarnai kehidupan kita. Hal ini seperti halnya warna, 3
Unpublished
di mana warna dasar merupakan warna asal untuk melahirkan warna-warna lainnya, yaitu melalui percampuran di antara warna-warna dasar. Adapun mengenai basic emotions, sampai saat ini tidak ada perubahan pendapat ilmiah yang berarti. Dengan kata lain, basic emotions dipahami dan diyakini sebagai psychological states yang tetap dan universal serta sama dalam setiap budaya. Hal ini juga berlaku pada rekognisi ekspresi suara dan ekspresi non-verbal. Universalitas ditemukan pada beragam ekspresi emosi ini pada level psychological states. B. EKSPRESI EMOSI DALAM BUDAYA 1. Regulasi Kultural Sistem Emosi Dasar a. Front-End Calibration Front-End Calibration saya terjemahkan dengan kalibrasi di permukaaningin menunjukkan perbedaan ekspresi emosi pada apa yang disebut dengan emotions antecedens and appraisals (anteseden dan penilaian emosi) (Matsumoto dan Juang, 2013). Pada konsep universalitas emosi, kesamaan anteseden (peristiwa awal/penyebab) pada umumnya membuahkan ekspresi emosi yang sama. Akan tetapi, perbedaan kultural hadir dalam frekuensi relatif dari beragam peristiwa anteseden dalam menghasilkan ekspresi emosi. Frekuensi relatif ini dapat dilihat pada misalnya peristiwa kematian. Peristiwa kematian di Jawa tentunya membawa duka mendalam bagi keluarga, lebih luas misalnya masyakakat Jawa. Namun, sebagai berita nasional peristiwa ini mempunyai frekuensi yang berbeda pada masyarakat Aceh yang menontonnya. Singkatnya, relationship membuat frekuensi dan intensitas kedukaan menjadi bervariasi. Dalam hal di atas, ada perbedaan kultural pada proses penilaian (appraisals) emosi. Atribut Jawa dan Aceh dapat menjadikannya lebih positif atau negatif, lebih kuat atau lemah. Masyarakat Maluku mungkin menghayatinya dengan kedukaan dan rasa marah. Latar belakang kultural memungkinkan hal ini. Studi-studi
mengenai emotion appraisal ini misalnya Scherer terhadap 37 negara (Matsumoto dan Juang, 2013) secara kolektif menunjukkan bahwa banyak proses-proses penilaian emosi (emotion appraisal) antarmanusia, pengaruh kultural pada peristiwa-peristiwa yang dinterpretasikannya. b. Back-End Calibration Emosi dapat dianggap sebagai a slice of continuum of human behavior, a sort scenario with antecedents and outcomes, where pan-culturalist and cultural-specific play different but complementary rules (Heider, 1991). Ekman mengajukan suatu solusi yaitu konsep display rule yang mengacu pada pembentukan pola kultural aliran emosi.
Figure 3. Display rule of The Flow of Emotion Ekman dalam Heider (1991) Aktualisasi konkrit dari the flow of emotion di atas seperti ini: Peristiwa pendahuluan (antecedent event) dapat digambarkan secara netral: misalnya, "Kematian seorang anak". Peristiwa ini diberikan nuansa emosional oleh 1). definisi budaya melalui aturan budaya khusus yang menghasilkan emotional inner state sederhana atau kompleks. 2). intervensi spesifik kultur melalui aturan reaksi (reaction rule), atau aturan tampilan (display rule), yang menentukan apakah emosi inner state itu diubah dalam performa publik melalui intensifikasi (intensification), pengecilan (diminution), netralisasi (neutralization), atau penopengan (masking) dengan perilaku (biasanya dengan ekspresi wajah) (Heider, 1991). Ekman (1992), berbicara secara khusus mengenai ekspresi wajah dan emosi, dengan menggunakan istilah "display rule," menekankan properti komunikatif wajah. Misalnya, Display rule Indonesia, misalnya, seperti yang diceritakan oleh musikolog Mantle Hood: "Among the many refinements of Javanese society is the ideal of 4
Unpublished
concealing the emotions - it is sometimes said that there is a Javanese smile for every emotion" (Heider, 1991). Dengan kata lain, budaya Jawa menyelubungi setiap emosi dalam senyuman. Variasi penjelasan lainnya yang diajukan adalah refraction rule (aturan pembiasan). Penggambarannya dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini:
Figure 4. Cultural Refractions of the Flow of Emotion Konsep ini menjelaskan bahwa ada pembiasan budaya. Hal ini tidak hanya terkait dengan display adjustment, atau dikenal dengan menutupi emosi. Refraction rule ini menjelaskan outcomes ekspresi emosi yang tidak terduga, cenderung berbeda, bahkan berkebalikan dalam beberapa budaya. Pada jalur pan-kultural, flow of emotion tidak mengalami pembiasan yang berarti. Dengan kata lain, seperti yang dijelaskan pada display rule, ekpresi emosi yang dihasilkan hanya modifikasi intensitas. Akan tetapi, pada refraction rule, terjadi pemaknaan akan antecedent yang sama sekali lain (unusual) oleh budaya-budaya tertentu. Sebagai contoh, seorang janda petarung samurai tetap tersenyum ketika dirundung kedukaan (Berry. dkk, 2002). Kedua penjelasan di atas sebenarnya ingin menjelaskan tahap dan variasi aliran ekspresi emosi melalui konsep display. Baik display rule maupun refraction rule hanya mempunyai perbedaan titik tekan sejauh mana intervensi budaya. Semakin kuat intervensi budaya, maka semakin besar pembiasan yang terjadi. c. Kalibrasi Kultural Penilaian Emotion (Cultural Judgement) Jika budaya melakukan kalibrasi produksi ekspresi emosi melalui cultural
display rule, itu artinya budaya juga mengkalibrasi bagaimana seseorang (dalam budaya) mempersepsi emosinya. Sebagai contoh, budaya yang individualisme lebih baik dalam menanggapi emosi negatif seperti sedih, marah. Sebaliknya, budaya yang koletivisme lebih kurang intensitasnya (Matsumoto dan Juang, 2013). Hal ini tampak dalam spontanitas, bukan pada voluntarisme. Adapun yang dimaksud adalah misalnya Tsunami Aceh yang melibatkan duka mendalam dari luar Aceh bahkan luar negeri sebagai voluntarisme, bukan spontanitas. Artinya, kalibrasi emosi sudah terjadi melalui cultural judgement.
Figure 5 Neucultural Ekspresi Emosi (Matsumoto dan Juang, 2013) Emosi manusia sangatlah kompleks dan beragam, lebih dari tujuh emosi dasar yang dipaparkan di atas. Masyarakat dalam kultur kolektivisme, misalnya cenderung untuk merasakan keterlibatan emosi secara sosial seperti persahabatan, penghargaan, simpati, rasa bersalah, malu. Sebaliknya, masyarakat dalam kultur individualisme cenderung mengalami keterputusan emosi secara sosial seperti kebanggaan, harga diri, kekonyolan, frustasi (Matsumoto dan Juang 2013). Kompleksitas emosi ini menunjukkan perbedaan lebih kepada kontruksi budaya dimana pengalaman-pengalaman ini merupakan “socially shared script” yang mencakup fisiologis, perilaku, dan komponen-komponen subjektif. Dalam 5
Unpublished
pengertian ini, konstruksi sosial membentuk pengalaman emosional. Enkripsi budaya memainkan peranan penting dimana emosi mencerminkan lingkungan kultural sebagai tempat hidup mereka. 2. Emosi sebagai Konstruksi Kultural Pada bagian sebelumnya telah dipaparkan mengenai basic emotion, kemudian bagaimana ekspresinya yang dapat beragam dalam budaya dengan persamaan dan perbedaannya. Oleh karenanya, ekspresi emosi sudah merupakan ekspresi emosi kultural. Hal ini tercermin bagaimana belief, makna, rekognisi terhadap suatu peristiwa ditafsirkan secara kultural. Hal ini menandakan bahwa merespon peristiwa sudah berarti menafsir peristiwa dengan berbagai atribut kulturalnya. Realitas yang ditafsir sudah merupakan realitas kultural dalam totalitasnya sebagai manusia kultural. Pada bagan di atas, merupakan penjelasan ringkas bagaimana sistem pembentukan dan hubungan timbal-balik antara budaya dan emosi. Jika pada penjelasan sebelumnya lebih merupakan penjelasan terhadap bagaimana ekspresi emosi muncul, bagaimana adjustment ekspresi yang lebih subjektif, maka pada tahap ini dilakukan abstraksi konseptual mengenai sistem working process antara budaya dan ekspresi emosi. Kultur membentuk sikap, nilai, dan kepercayaan/keyakinan mengenai emosi. Oleh karenanya, penghayatan emosi individu dalam suatu kultur memungkinkannya menghayati sesuai dengan nilai yang dianut, termasuk bagaimana individu memaknai peristiwaperistiwa yang terkait dengan kehidupannya. Sejauh mana makna tersebut memberi arti baik atau buruk bagi dirinya. Singkatnya, kultur memfasilitasi konstruksi nilai-nilai tersebut. Model di atas berguna untuk membuat peta ekspresi emosi dalam penerapannya di lapangan penelitian. Hal ini mengingat tidak semua budaya mempunyai kosakata “emosi” seperti pada kelompok Ifaluks Micronesia dan masyarakat Samoa yang tidak mempunyai kata emosi, akan tetapi mereka mempunyai kata lagona yang merujuk kepada sensasi dan perasaan (Matsumoto dan Juang, 2013). Namun, ada juga emosi
yang tidak terdefinisikan dengan ketat, mengingat ada ekspresi-ekspresi tertentu yang sulit diterjemahkan dengan bahasa selain bahasa budaya asli. Oleh karenanya, emosi yang tidak dapat secara tepat diterjemahkan ini biasanya dilakukan kategorisasi. Selain itu, mengenai lokasi emosi sendiri, terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar mengenai hal ini. Misalnya, pada masyarakat Amerika emosi terletak di dalam diri. Pada masyarakat Samoa, Aborigin Pintupi, dan penghuni pulau Solomon, emosi merupakan pernyataan mengenai hubungan antarorang, dan masyarakat dan budaya. Mengenai lokasi eksaknya, terdapat perbedaan pula. Masyarakat di USA mengasosiasikannya dengan heart, pada masyarakat Jepang terletak pada hara (perut), masyarakat Chewong Malaysia menunjuk pada organ hati (liver) (Matsumoto dan Juang, 2013). Pada masyarakat Indonesia menyebutnya dengan hati, pada kultur Islam menyebutnya dengan nafs. C. PENUTUP Emosi, pada tataran universal (basic emotion) memiliki persamaan antarbudaya. Emosi dasar ini bersifat pan-kultural. Emosi dasar ini lebih merupakan cara untuk survive. Akan tetapi, ketika emosi bersentuhan dengan the others, emosi mengalami ekspresi yang variabelnya sebanyak kemungkinannya. Pada titik inilah sebenarnya emosi dan budaya berjalinkelindan, saling pengaruh-mempengaruhi. Totalitas manusia sebagai makhluk budaya memungkinkan manusia menafsirkan peristiwa lalu kemudian mengekspresikannya dalam lanskap norma, nilai, keyakinan yang diwariskan oleh budayanya. Sistem nilai ini membuat emosi tidak sekedar sebagai fasilitas neuropsikologis untuk bertahan hidup saja. Namun, emosi merupakan metafora untuk menunjukkan relasi kompleks antara peristiwa, Akusubjektif, Aku-membudaya, yang di dalamnya memuat jutaan lapisan makna. Emosi dalam pengertian konstruksi sosial menyimpan kearifan-kearifan lokal yang menjadikan manusia-budaya menjadi lebih humanis. Ada kekayaan khazanah peradaban yang dimulai dari emosi, tinggal 6
Unpublished
bagaimana suatu budaya melakukan “seni” buang-ambil untuk eksistensi budayanya. Hari ini, emosi perlu ditafsir dengan segala ciri lokalitasnya, keunikannya, dalam tidak-terengkuhnya oleh teori-teori umum. Pada titik ini, psikologi lintas-budaya mempunyai andil penting dalam merangkul berjuta-juta emosi dalam satu rangkulan persaudaraan, kemanusiaan. Karena perbedaan merupakan tanda-tanda dari Sang Pencipta untuk dihayati dan dihidupi maknanya bagi masa depan manusia. DAFTAR PUSTAKA Ekman, P. (1992). “An argument for Basic Emotions”. Cognition & Emotion, 6(3–4), 169–200. Darwin, C. (1872). The Expression of Emotion in Man and Animals. New York: Oxford University Press. Berry, J.W., et.al. (2002). Cross-Cultural Psychology. Research and Aplication. Second Edition. New York: Cambridge University Press. Heider, K.G. (1991). Landscape of Emotion. Mapping Three Cultures of Emotion in Indonesia. New York: Cambridge University Press. Keith, K.D (ed.). (2011). Cross-Cultural Psychology. Contemporary Themes and Perspectives. Chicester: John Wiley & Sons. Matsumoto, D dan Juang, L. (2013). Culture & Psychology. 5th Edition. Belmont: Wadsworth.
7