EKONOMI POLITIK MEDIA
TELEVISI BERITA SEBAGAI RUANG PUBLIK Dosen Pengampu : Drs. Hendra Harahap, M.Si Makalah ini disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester
Disusun Oleh : FEBY GRACE ADRIANY 147045003
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016
PENDAHULUAN
Konsep ruang publik pada media massa di Indonesia menjadi mimpi besar yang ingin segera dicapai. Kebebasan berinformasi dan mengutarakan pendapat merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Karena merupakan hak dasar bagi manusia sebagai bagian dari negara, maka hak ini harus terpenuhi dan dilindungi dari berbagai intervensi pihak berkepentingan. Untuk menyampaikan aspirasinya inilah warga negara membutuhkan sebuah ruang publik yang mampu menjadi wadah bagi pendapat-pendapat mereka mengenai berbagi permasalahan sosial. Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, maksudnya sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi warga itu sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah diakses semua orang. Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik. Media massa melalui tayangan beritanya diharapkan menjadi ruang publik yang sebenar-benarnya. Beberapa televisi berita yang ada saat ini di tanah air, sudah memposisikan diri sebagai kanal bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi secara cepat dan dapat dipercaya. Melalui serangkaian program yang disiarkan, televisi berita percaya bahwa mereka dapat menjelaskan permasalahan-permasalahan di dalam masyarakat, menangkap kegelisahan masyarakat hingga menawarkan solusi. Publik sebagai khalayak pun berharap banyaknya ruang yang tersedia dalam televisi berita otomatis membuka ruang bagi publik untuk berdiskusi secara sejajar dengan bebas terutama dalam menunjang kehidupan berdemokrasi. Dalam prakteknya, ketika media massa Indonesia saat ini tidak lagi mampu ditekan oleh elit penguasa, namun kekuatan kapital ekonomi dan politik yang ada di sekeliling media massa menjadi sama kejamnya. Para jurnalis akhirnya bekerja untuk melayani kepentingan pemilik modal untuk menjaga keberlangsungan hidupnya dan membenamkan konsep ruang publik jauh dari ruang redaksinya.
PEMBAHASAN
A. Ruang Publik (Public Sphere) Jurgen Habermas Pada dasarnya public sphere merefleksikan bahwa media massa benarbenar menjadi a social institution yang mampu memfasilitasi pembentukan opini dengan menjadi wadah independen untuk perdebatan publik, dimana media tidak terkontrol oleh negara dan pasar (capital owner). Konsep mengenai public sphere (ruang publik) berasal dari pemikiran Jurgen Habermas tahun 1962. Konsep ini merujuk pada gagasan yang dikembangkan Habermas terhadap penggambaran bourgeois public sphere di Inggris pada abad ke-17. Public sphere dapat dipahami sebagai sebuah arena bagi kaum borjuis saat itu untuk berdiskusi secara bebas dan rasional tanpa tekanan negara dan pasar. Semua peserta diskusi ditempatkan secara sejajar untuk secara bebas mengemukakan opini mereka untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan negara. (Curran dalam Hidayat dalam Adhrianti, 2005). Hal ini muncul karena adanya perubahan kultur warga dalam menanggapi regulasi maupun realitas politik abad ke-18, seiring dengan semakin baiknya intelektualitas warga. Warga menjadi melek media, memiliki
akses
terhadap
karya-karya
bermutu,
kemudahan
dalam
mendapatkan buku-buku sastra dan juga konsumsi terhadap jurnalisme yang lebih kritis melalui berita yang dipublikasikan. Ruang publik ini terpisah dari domain otoritas kekuasaan yang ada saat itu di Eropa. Ruang publik bahkan saat itu diartikan sebagai kekuatan baru dalam menyeimbangkan dan mengkritisi kebijakan yang merupakan produk otoritas yang berkuasa. Bila awalnya ruang publik secara historis muncul di tengah-tengah masyarakat Eropa, akan tetapi ruang publik baru yang dikupas oleh Habermas tidak hanya terjadi di warung kafe sebagaimana terjadi di Inggris dan salon di Perancis, melainkan juga terjadi di ruang-ruang baca maupun tempat-tempat pertemuan khusus dengan keterlibatan warga yang jauh lebih berbeda secara komposisi, adanya debat yang tidak berhenti pada debat kusir dan juga orientasi dari topik-topik yang diangkat sebagai fokus debat.
Habermas memunculkan apa yang disebutnya sebagai „institutional criteria‟ yang dimaksudkan untuk memperjelas konsep ruang publik. Kriteria yang pertama adalah pengabaian terhadap status (disregard of status) atau lebih tepatnya menjauhi diskusi kritis tentang status. Ruang publik tidak memperkarakan keinginan persamaan status dengan otoritas yang berkuasa, tetapi adanya kesempatan yang sama dalam mengungkapkan atau mengkritisi sebuah realitas. Kriteria ini bukan pula upaya untuk menciptakan publik yang setara di kafe, salon atau di antara anggota perkumpulan. Ruang publik lebih menekankan adanya ide-ide yang terlembagakan dan mendapatkan klaim secara objektif sehingga bisa diterima oleh publik secara luas, yang jika tidak terealisasikan minimal ide tersebut melekat secara sadar di benak publik. Kriteria kedua adalah fokus pada domain of common concern. Realitas historis menunjukkan bahwa beberapa domain hanya dikuasai penafsirannya oleh otoritas yang berkuasa dan atau oleh kalangan gereja. Padahal domain tersebut bisa dibincangkan dengan melibatkan publik secara lebih luas. Filsafat, seni dan sastra yang diklaim hanya boleh diinterpretasikan dan menjadi kewenangan eksklusif dalam publisitas oleh kalangan gerejawi menjadi sesuatu yang bisa diakses oleh publik. Karya-karya tersebut bukan lagi berada dalam kebutuhan untuk bisa diakses, melainkan sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan oleh industri. Distribusi karya-karya tersebutlah yang menjadi bahan diskusi kritis di ruang publik. Interpretasi menjadi lebi beragam dan bisa berasal dari siapa saja dalam anggota ruang publik tersebut. Kriteria terakhir adalah inklusif (inclusivity). Betapa pun ekslusifnya publik dalam kasus tertentu akan tetapi dalam ruang publik ia menjadi bagian dari kelompok kecil tersebut. Ide-ide yang muncul dari perdebatan khusus mereka pada dasarnya bukan menajdi milik mutlak anggota ruang publik, melainkan ketika disebarkan melalui media maka publik dapat pula mengaksesnya. Isu-isu yang diangkat sebagai bahan diskusi juga menjadi lebih umum karena setiap orang bisa mengakses sumber-sumber yang terkait dengan isu tersebut. Setiap orang di ruang publik pada dasarnya menemukan dirinya bukan sebagai publik itu sendiri, melainkan seolah-olah menjadi juru
bicara dan bahkan sebagai guru dari apa yang dikatakan sebagai publik itu sendiri. Habermas menyebutnya sebagai perwakilan atau bentuk baru representasi borjuis. Habermas juga mengangkat apa yang disebutnya sebagai „private sphere‟ dan „intimate sphere‟. Private sphere adalah ruang yang berada dalam hubungan ekonomi atau pasar dan lebih disebut sebagai ruang kepemilikan. Kaum borjuis adalah orang-orang yang dalam konteks ini disebut sebagai private persons. Sementara ruang keluarga yang disebut sebagai intimate sphere merupakan inti dari private sphere tersebut. Sebagai private persons kalangan borjuis memiliki dua hal, yakni kepemilikan atas barang dan juga pekerja. Inilah yang menjadi ambiguitas ruang publik dimana keberadaan private sphere menjadi tak terelakkan dan tercampur. Ada suara untuk tidak menyebutkan kepentingan, bahwa ruang publik yang ia sebagai private persons terlibat dalam diskusi kritis terhadap sebuah realitas politik pada dasarnya mewakili statusnya sebagai kaum borjuis dan kekhawatiran terhadap regulasi yang mungkin akan mengganggu private sphere mereka. Habermas juga menekankan bahwa dalam ruang publik sebenarnya kalangan borjuis itu secara sadar ataupun tidak, mewakili dua identitas di dalam dirinya sebagai publik. Diri sebagai pemilik kapital atau pekerja yang dengannya ia harus mewakili suara ruang pribadi tersebut dengan mengaitkannya sebagai kepentingan publik dan juga diri sebagai warga yang murni dan sederhana. Jika ditarik kesimpulan sederhana, ruang publik Habermas merupakan ruang yang bekerja dengan memakai landasan wacana moral praktis yang melibatkan interaksi secara rasional maupun kritis dibangun dengan tujuan untuk mencari pemecahan masalah-masalah politik. Walau karya Habermas fokus pada ruang publik masyarakat borjuis, namun melalui batu loncatan inilah ruang publik bisa dipahami sebagai ruang yang menyediakan dan melibatkan publik secara lebih luas dalam mendiskusikan realitas yang ada. Akan tetapi dalam praktiknya, konsep-konsep ideal akan ruang publik tersebut tidak terwujud secara nyata. Akses untuk berpartisipasi dalam ruang publik tidak setara dan inklusif karena kepemilikan properti menjadi syarat
tak tertulis sebelum dapat berpartisipasi di dalamnya. Orang-orang miskin dan tak berpendidikan secara faktual tidak dapat memasuki diskusi dalam ruang publik. Demikian juga wanita diekslusikan darinya karena karakter patriarkal dari ruang publik memposisikan wanita di dalam ruang intim (intimate sphere) rumah dan keluarga. Semua ini terkait dengan konsep manusia dalam ruang publik yang sedemikian reduktif dan restriktifnya karena terbatas kepada kaum borjuis, yaitu pria kulit putih pemilik properti. Konsep manusia juga “dimonopoli” oleh sosok kaum borjuis karena mereka secara sepihak memandang diri mereka sebagai subyek alami dari humanitas. Kepentingan mereka dalam mempertahankan ranah pertukaran komoditas dan kerja sosial dengan demikian sesungguhnya hanyalah mencerminkan kepentingan partikular yang hanya dapat berlaku melalui penggunaan kekuatan kepada orang-orang Jadi diskusi yang diselenggarakan di ruang publik justru hanya merepresentasikan kepentingan parsial kaum borjuis. Selain itu, ruang publik juga bersandar kepada asumsi yang lemah tentang independensi dirinya dari negara. Pada kenyataannya negara selalu mengintervensi ruang publik pada khususnya dan masyarakat sipil pada umumnya, misalnya melalui kegiatan yudisial, pemeliharaan ketertiban, menyediakan infrastruktur, dan bahkan juga menjaga pasar dari intervensi itu sendiri melalui pemberian jaminan akan hak-hak sipil, termasuk hak akan kepemilikan properti (Thomassen dalam Prasetyo, 2012). Demikianlah maka sesungguhnya ruang publik merupakan konsep yang senantiasa mengalami ketegangan. Melalui tilikan atas kondisi empiris ini, ideal-ideal ruang publik akan kesetaraan, inklusivitas, dan rasionalitas dipandang tak lebih sebagai fiksi, kemunafikan, dan ideologi semata. Akan tetapi, dalam terang ideal tersebut, harapan akan transformasi ke arah yang lebih progresif dan mendekati harapan normatif juga selalu dinyalakan. Dalam kebebasan seperti sekarang ini, di mana orang sudah diberikan bahkan
dijamin
haknya
oleh
undang-undang
untuk
menyampaikan
pendapatnya secara bebas tentu secara tidak langsung telah memberi kontribusi
bagi
terwujudnya
public
sphere.
Hanya
saja,
untuk
mengorganisasi, memobilisasi dan mensosialisasi opini tersebut menjadi
sebuah opini kolektif dan memiliki kekuatan real untuk memonitor sekaligus mengkritisi kebijakan negara membutuhkan mediator yang juga dapat dijamin independensinya dari himpitan pasar dan negara. Mediator tersebut secara strategis akan menempatkan media, baik cetak maupun elektronik menjadi pilihan bagi proses pembentukan opini kolektif tersebut. Televisi, misalnya, diharapkan mampu menempatkan diri sebagai salah satu elemen utama bagi tegaknya public sphere dalam proses penyelenggaraan wacana publik. Namun, di tengah arus neoliberalisme yang mengarah pada pemusatan modal dan kepemilikan media, berbagai kalangan mulai pesimis terhadap potensi dan prospek media massa komersial sebagai public sphere (Hidayat dalam Adhrianti, 2005). Gauthier (1997) menyatakan bahwa ruang publik dapat dilihat sebagai ruang komunal dalam artian ruang ini milik seluruh warga masyarakat yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi secara bersama-sama dalam diskusi tentang kepentingan publik. Ruang ini adalah sebuah ruang dimana individu
menjalin
diskusi
dan
saling
bertukar
pendapat
sekaligus
memungkinkan untuk meminta pertanggungjawaban aparat negara. Dalam ruang ini pula justifikasi rasional tentang pikiran dan tindakan tidak hanya diharapkan tapi juga merupakan tuntutan. Ini merupakan institusi utama untuk membangun kesepakatan.
B. Ekonomi Politik Media Televisi Berita Saat ini di Indonesia beroperasi sejumlah stasiun televisi, yang terdiri dari lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran berlangganan dan lembaga penyiaran komunitas. Lembaga penyiaran publik yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan belasan televisi swasta bersiaran di seluruh wilayah Indonesia dengan sistem free to air. Artinya siaran dapat diterima oleh klalayak dengan alat penerima yang tepat tanpa harus berlangganan. Televisi swasta sendiri yang disiarkan secara free to air ternyata terbagi dalam segmen-segmen tertentu, dimana saat ini sudah hadir 4 televisi swasta yang memposisikan diri sebagai televisi berita, yaitu MetroTV, TVOne,
INews dan KompasTV. Namun KompasTV dalam kapasitasnya sebagai televisi berita belum bisa dikaji secara mendalam karena peluncurannya baru dilaksanakan pekan lalu (28 Januari 2016). Televisi berita jelas memiliki rancangan program dan konten yang sarat akan informasi-informasi aktual dibandingkan dengan muatan hiburannya. Dengan positioning seperti ini maka penonton televisi berita pun akan jauh lebih sedikit daripada penonton televisi lain yang banyak menampilkan hiburan. Kepercayaan publik akan kebenaran informasi yang disampaikan menjadi kunci utama bertahannya televisi berita. Dalam perkembangannya saat ini, tercatat sejumlah ketidakpuasan publik atas kinerja televisi berita terutama MetroTV dan TVOne yang jam terbangnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan Inews dan KompasTV. Keduanya dianggap sarat kepentingan politik dalam memberitakan beritaberita politik. Salah satu contoh yang paling nyata adalah terbelahnya media massa saat pelaksanaan Pemilihan Presiden 2014. MetroTV yang dimiliki oleh politisi Partai Nasdem Surya Paloh dan TVOne yang dimiliki oleh politisi Partai Golkar Aburizal Bakrie memberitakan masing-masing pasangan calon dengan porsi yang tidak berimbang. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melayangkan surat teguran untuk kedua stasiun televisi tersebut. KPI menekankan adanya pelanggaran atas perlindungan kepentingan publik dan netralitas isi program siaran jurnalistik terkait dua pasang calon. Penilaian KPI didasarkan pada durasi, frekuensi dan tone kecenderungan pemberitaan yang mengarah kepada salah satu pihak saja. Layar MetroTV didominasi pemberitaan mengenai Jokowi dan TVOne didominasi pemberitaan Prabowo. Tindakan tersebut oleh KPI dinilai melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Penyiaran (SPS) tahun 2010 (www.bbc.com). Pada era ini state intervention murni sudah sangat longgar berbeda dengan masa orde baru. Walaupun muncul wujud baru dari intervensi ini terjadi ketika pemilik media memanfaatkan kekuasaan untuk menjamin kebebasan sistem kapitalisme media. Alih-alih negara mengontrol dengan
sistem sensor yang represif, negara lebih menjadi alat kelas tertentu sebagai warranty body atas kepentingan pengelola media. Dalam bidang politik, perubahan fungsi ini makin signifikan ketika televisi tidak lagi sebatas media publikasi. Media televisi tidak lagi dipandang sebatas kerja jurnalistik yang akan meliput perhelatan politik para aktor-aktor politik. Kini, televisi telah menjadi kekuatan politik tersendiri bagi para aktoraktor dan partai politik. Perubahan fungsi politik media televisi ini dimobilisasi oleh semakin canggihnya strategi komunikasi politik aktor dan partai politik dengan melibatkan para professional seperti konsultan politik dan lembaga survei. Pada saat yang sama para aktor politik menyadari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap politik dan lembagalembaga politik, sehingga televisi dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menggeser citra tersebut. Apa yang ditakutkan kemudian adalah munculnya television politics , yang nota bene berbeda dengan the real politics (Simarmata, 2010). Vincent Mosco menyatakan bahwa terdapat aspek kekuasaan di balik kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan dan memuaskan keinginan masyarakat. Murdock dan Golding yang mengadopsi pandangan ideologi Marx tentang pendekatan ekonomi politis untuk analisis media massa berpendapat pernyataan Marx dalam The German Ideology memerlukan tiga proporsi empiris hingga dapat divalidasi secara memuaskan : bahwa produksi dan distribusi gagasan dipusatkan di tangan para pemilik sarana-sarana produksi kapitalis; bahwa karena itu gagasan-gagasan mereka semakin mengemuka dan mendominasi pemikiran kelompok subordinat; dan dalam arena itu mendominasi ideologis umum terjadi saat memberi hak istimewa kelas penguasa dan mengeksploitasi kelas-kelas subordinat (Halim, 2013: 40). Lebih jauh lagi, Murdock dan Golding berpendapat, perspektif ekonomi politik memandang media massa sebagai pihak yang berperan dalam menyampaikan nilai-nilai dan asumsi-asumsi dominan yang berasal dari kelas penguasa dan melayani berbagai kepentingan kelas penguasa, dan mereproduksi struktur kepentingan kelas yang setara.
Media massa yang sepenuhnya di bawah kendali pemilik modal akan senantiasa memilih jalur aman demi kelangsungan usahanya. Keinginan untuk terus mendominasi hegemoni tersebut membuat media massa harus memperhitungkan kekuasaan politik. Komodifikasi sebagai bagian dari ekonomi politik media oleh Mosco (dalam Halim 2013: 47) dilihat dari tiga aspek yakni isi media, khalayak dan pekerja : “When it has treated the commodity, political economy has tended to concentrate on media content and, to a lesser extent, on media audience. It has paid considerably less attention to the commodification of labor in the communication industries”. Jadi menurut Mosco ekonomi politik dalam perlakukannya terhadap komoditas cenderung berfokus pada konten media dan tidak terlalu konsen dengan khalayak media, bahkan kurang memperhatikan para pekerja di industri komunikasi. Logika komersialisme dan komodifikasi bahkan dianggap telah menjadi cara berpikir para pengelola pers dalam kegiatan jurnalistiknya. Dengan logika seperti ini maka akan sulit menempatkan kepentingan publik setara atau bahkan di atas kepentingan modal dan kuasa. Semakin jelas bahwa pesan yang diproduksi dan didistribusikan media dalam bentuk program berita tak lain merupakan produk yang diharapkan menggelontorkan keuntungan sebesar-besarnya kepada pemilik modal. Dengan demikian komodifikasi bisa diartikan sebagai kegiatan pengelola media dalam memperlakukan pesan sebagai komoditas yang bisa menyenangkan khalayak, mengundang para pemasang iklan, dan memperpanjang bisnis media. Peraihan keuntungan adalah „ideologi‟ di balik produksi dan distribusi pesan media.
C. Televisi Berita Sebagai Ruang Publik Media massa sebagai ruang publik mempunyai dua peran penting, yaitu sebagai sumber informasi dan menyediakan ruang bagi publik untuk melakukan diskusi dan debat publik. Hanya saja yang menjadi catatan besar adalah apakah media massa mampu menyediakan ruang publik yang benarbenar independen dari berbagai kepentingan?
Tidak mudah membayangkan bagaimana mewujudkan media massa dalam menyelenggarakan ruang publik yang ideal. Karena pada realitanya, media massa tidak bisa terlepas dari berbagai kepentingan pemilik modal dan pemerintah. Ruang publik yang ideal juga harus mampu menyediakan akses bagi seluruh khalayak agar tidak terjadi dominasi opini oleh segolongan publik yang mempunyai akses terhadap media massa. Media massa sebagai penyelenggara public sphere harus menjadi katalisator dalam menyelesaikan permasalahan publik. Karena dengan jurnalisme yang berimbang dan independen serta public sphere yang terjamin kebebasannya maka akan muncul opini publik yang benar-benar mewakili kepentingan seluruh publik. Opini publik tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai dasar lahirnya kebijakan publik (public policy) yang berpihak kepada publik yang kemudian akan berdampak pada meningkatnya mutu public service. Gambar : Televisi Sebagai Ruang Publik (McNair, 2003 : 20)
The State/Government/Political Establisement Public Opinion Trade Unions
Features
Editorials
Pressure Groups
News
Media
TV debates
Political Parties
Business
Current Affair Terrorist Organizations
Public Organizations
Citizens
Secara struktural, media televisi Indonesia telah memenuhi indikatorindikator dasar untuk memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan publik. Banyak stasiun televisi nasional dan televisi berita seharusnya bisa menjamin keberagaman informasi politik yang disebarluaskan. Dengan alasan itu pula berarti bisnis televisi (media economy) mengalami kemajuan sehingga tidak tergantung pada sumbangan pemerintah. Kemudian juga sudah terdapat kesadaran dalam aspek profesionalitas jurnalis dalam menjalankan tugasnya seperti dengan dibuatnya kode etik jurnalistik, lembaga-lembaga profesi dan lembaga-lembaga independen lain yang setidaknya menjaga pemberitaan televisi agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Tetapi pendekatan di atas masih bisa dikatakan sebagai politically one sided. Analisis tersebut kurang memperhatikan kekuatan ekonomi yang bahkan jauh lebih dominan dalam dunia televisi. Media televisi sangat bergantung pada iklan. Hal ini berbeda dengan media cetak seperti surat kabar dan majalah atau film yang juga menjadikan penjualan oplah sebagai sumber pemasukan disamping iklan. Akibatnya televisi secara politik sangat bergantung pada kekuatan iklan. Pada saat yang sama kandidat pejabat publik dan partai politik secara lihai memanfaatkan kelemahan televisi ini. Bersedianya sebuah stasiun televisi untuk menyiarkan materi iklan politik tertentu tidak ditentukan apakah isi iklan tersebut mencerdaskan pemilih atau tidak, tetapi lebih ditentukan oleh apakah partai politik sanggup membayar biaya tayang iklan tersebut. Ketika uang yang menjadi penentu ketersediaan televisi untuk menayangkan iklan politik partai-partai dan aktor politik, maka hukum klasik pasar berlaku. Kandidat dan partai politik dalam pemilu yang tidak memiliki cukup modal misalnya akan sulit untuk punya akses terhadap media televisi. Dengan demikian „partai-partai besar‟ saja yang akan menguasai jagat ruang publik tersebut. Kompetisi politik dalam kontes pesat demokrasi berubah menjadi persaingan bisnis. Masalahnya, konsep bisnis sangat jauh berbeda dengan semangat demokrasi. Pengalaman yang terjadi di Indonesia bahkan terkadang kepentingan politik pemilik modal bisa menjadi lebih penting dari sekedar kebutuhan akan
iklan. Lihat saja bagaimana MetroTV menayangkan acara-acara seremonial yang berhubungan dengan pemiliknya Surya Paloh ataupun kegiatan-kegiatan Partai Nasdem. Bahkan pernyataan-pernyataan Surya Paloh bisa disiarkan dalam durasi yang sangat panjang dalam program-program berita MetroTV. Oleh KPI tindakan MetroTV ini dianggap tidak proporsional terutama dalam masa kampanye dan menimbulkan protes dari partai politik peserta Pemilu lain (www.nasional.kompas.com) Kecenderungan
akomodasi
media
juga
berdampak
pada
corak
pemberitaan yang elitis. Pemberitaan yang tidak jauh dari seputar kekuasaan, dimana masyarakat tidak mengalami fenomena sosial politik yang ditampilkan di ruang publik. Makna „publik tidak lagi berkorelasi dengan res public, tetapi seperti kembali ke abad 16 dan 17, di mana „publik‟ atau „kepublikan‟ sendiri hanya muncul dalam konteks „perwakilan‟, atau representation
lewat
kehadiran
„lembaga
publik‟
dan
„pejabat
publik‟(Habermas dalam Simarmata, 2010: 138-139). Muncul keseragaman corak dan wacana pemberitaan media televisi oleh karena memiliki kerangka kerja yang sama. Karakter buruk ini tidak sehat bagi demokrasi, sebab „publik‟ mestinya hadir sebagai aktor politik yang memiliki kemampuan untuk secara bersama-sama melalpaui perbedaan, mecapai suatu kesepakatan bersama. Kualitas deliberasi ini ditentukan oleh kekayaan akan perbedaan informasi yang dipertukarkan. Jurgen Habermas menyatakan untuk mencapai ruang publik ideal, deliberasi
publik
mestinya
didasarkan
pada
kualitas-kualitas berikut:
comprehensibility, truth, truthfulness, rightness. Sementara Steven Schneider, dengan mengembangkan konsep teori demokrasi Habermas menemukan empat kriteria ruang publik ideal: kesetaraan (equality), keragaman (diversity),
saling
berbalasan
(reciprocity),
dan
kualitas
(quality).
Kelengkapan berarti informasi yang dipertukarkan menyentuh seluruh aspek isu yang dibahas, ada keragaman wacana didalamnya. Setiap informasi yang dipertukarkan oleh pihak-pihak terlibat harus didasarkan pada kebenaran. Kebenaran tersebut diharapkan akan memberi nilai kebaikan bagi masingmasing pihak. Jadi deliberasi dalam televisi itu bukan merupakan alat politik
untuk mempertahankan citra, melainkan proses untuk memecahkan suatu persoalan secara bersama-sama dengan bertumpu pada reasoned arguments. Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah setiap pihak diperlakukan secara sama, walaupun pada diri mereka terdapat keberagaman. Ukuran kualitas keberagaman informasi tersebut tidak dilihat dari sisi perbedaan-nya, tetapi alasan rasional yang mendukungnya. Dengan demikian ketidaksetujuan bukan merupakan hal yang janggal dalam proses deliberasi di ruang publik, tetapi sebagai proses pemurnian pemikiran secara dialektis ke tahap yang paling sempurna. Televisi khususnya lewat dua format programnya, yaitu: debat langsung dan current affairs atau dialog sangat ideal untuk menerapkan paradigma ruang publik ideal ini. Apa yang utama dalam wacana media televisi sering kali menjadi wacana dominan dalam masyarakat. Pola konsumsi media televisi di Indonesia tampaknya masih mengikuti doktrin tradisional dari agenda setting theory. Televisi mungkin tidak berhasil mengubah cara pandang masyarakat, tetapi bombardir informasi dengan sudut pandang tertentu akan menentukan apa yang diperbincangkan di masyarakat. Penting atau tidak penting bukan merupakan suatu pertimbangan di sini. Dalam realitas politik seperti muncul sebuah kecenderungan bangkitnya elit politik sebagai pemilik televisi: sebuah paralelisme yang menyimpan toksit bagi demokrasi. Meleburnya elit partai sebagai pemilik televisi bisa menjadi televisi tersebut sebagai alat politik penyeragaman
wacana,
tentu
sesuaidengan
kepentingan
pemiliknya.
Pluralitas ideologi dan nilai-nilai politik dalam masyarakat tidak diakomodir di sini. Ruang publik melalui media massa sebenarnya sangat bergantung pada sistem negara sebagai sebuah penjamin kebebasan pers. Poin penting dalam sistem pers yang sehat adalah adanya pers sebagai tanggungjawab sosial. Sistem pers tanggungjawab sosial sudah mulai diterapkan di Indonesia sejak dimulainya masa reformasi, karena pers tidak lagi mengalami tekanan oleh pemerintah, melainkan benar-benar menjadi lembaga sosial yang independen. Melalui sistem ini diberikan kebebasan bagi insan pers untuk memproduksi berita dengan catatan untuk tetap mengutamakan kepentingan publik.
Namun dalam prakteknys sistem pers ini memiliki tanggungjawab yang lebih besar karena di bawah pengawasan masyarakat sebagai konsumen, sehingga pers tidak bisa sekehendaknya dalam menyusun dan menyiarkan informasi. Kebebasan merupakan sesuatu yang krusial bagi pers untuk dapat memproduksi siarannya secara independen dan tanpa harus takut tekanan pihak manapun. Namun, kebebasan pun tidak serta merta diberikan begitu saja. Oleh karena itu, negara kemudian menjamin dan mengatur kebebasan pers melalui UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi, “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” (UUD 1945). Selain itu, kebebasan pers juga dijamin dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1) (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers) . Keterkaitan antara media massa dan kebebasan pers merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan demi mewujudkan public sphere yang dapat memenuhi hak asasi manusia untuk mendaptkan dan menyampaikan informasi dan pedapatnya secara bebas dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu media massa harus memberikan kebebasan bagi publik untuk memperoleh dan menyampaikan opini mereka.
PENUTUP
Konsep ruang publik melalui televisi berita di tanah air masih jauh panggang dari api. Realitas televisi berita di Indonesia saat ii kurang mencerminkan kualitas ruang publik sebagaimaa diharapkan dalam konteks berdemokrasi. Kepentingan kapitalis media dan kepentingan politis pemilik media menjadi kekuatan struktural yang menggerogoti fungsi kepublikan televisi. Krisis ruang publik pada akhirnya akan melahirkan krisis demokrasi. Sebab mustahil lahir demokrasi yang benar-benar demokrasi secara substantif, bukan sekedar prosedur-mekanistis, tanpa hadirnya ruang publik. Thomas Meyer (dalam Simarmata, 2010) menyatakan “In a democracy a public sphere is and will always remain the sine qua non of politics, for even when high levels of participation are not expected or encouraged, elections still have to be held. Legitimacy, the lifeblood of democratic politics, can be acquiredo nly through citizen‟s consent to what they perceive as the decisions made by political elites.” Ruang publik adalah elemen konstitutif demokrasi dan televisi secara struktural merupakan bentuk ruang publik yang ideal. Untuk mewujudkan peran tersebut diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnya hak-hak publik dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunya ditransformasi secara total untuk memperjuangkan kepentingan publikdi tengah degradasi fungsi televisi komersil untuk demokrasi. Televisi mestinya menjadi ruang publik strategis di tengah konsolidasi demokrasidi Indonesia sekarang ini.
DAFTAR REFERENSI Adhrianti, L. (2008). Idealisasi TVRI Sebagai TV Publik : Studi “Critical Political Economy”. Mediator Vol. 9 No. 2. 281-292 Dian, A. 2013. Media Massa, Ruang Publik dan Kebebasan Pers. Diakses 4 Februari 2016 dari https://antoniusdianjournal.wordpress.com/2013/12/18/ media-masa-ruang-publik-dan-kebebasan-pers/ Halim, S. 2013. Poskomodifikasi Media. Yogyakarta: Jalasutra Karana, P. (2014). Pilpres 2014 : Ketika Media Jadi Corong Propaganda. Diakses 27 Januari 2014 dari http://www.bbc.com/indonesia/berita_ indonesia/2014/07/140702_lapsus_media_bias Prasetyo, A. G. (2012). Menuju Demokrasi Rasional : Melacak Pemikiran Jurgen Habermas tentang Ruang Publik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol 16, No 2. ISSN 1410-4946. 169-185 Rastika, I. 2014. KPI : MetroTV Tak Proporsional Beritakan Nasdem. Diakses 4 Februari 2016 dari http://nasional.kompas.com/read/2014/03/18/1328152 /KPI.Metro.TV.Tak.Proporsional.Beritakan.Nasdem Simarmata, S. 2010. Televisi Sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia : Mungkinkah?. Quo Vadis Televisi?Masa Depan Televisi dan Televisi Masa Depan. Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta