EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID
Prisia Rizky Anantama, S.Ked Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya 2013
PENDAHULUAN
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai respon terhadap hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya respon terhadap stres, respon sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme 1
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, dan tingkah laku.
Kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat ini mempunyai 3,4
efek anti inflamasi dan imunosupresan. Sejak kortikosteroid digunakan dalam bidang dermatologi, obat ini sangat menolong pasien. Berbagai penyakit yang dahulu membutuhkan waktu penyembuhan yang lama dapat dipersingkat, misalnya dermatitis, tetapi disamping memberikan manfaat yang banyak penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama juga akan mengakibatkan efek samping yang tidak diinginkan. Oleh karena seringnya penggunaan obat kortikosteroid ini maka diperlukan pengetahuan mengenai efek samping yang akan ditimbulkan. PEMBAHASAN
Kelenjar adrenal mengeluarkan dua jeniss steroid yaitu Kortikosteroid (glukokortikoid dan mineralokortikoid) dan sex sex hormon. Mineralokortikoid banyak berperan dalam pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit,sedang glukokortikoid berperan dalam metabolisme 1
karbohidrat.
Glukokortikoid dan analog sintetik glukokortikoid dapat menekan gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik glukokortikoid menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi 1
leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efek yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresi terhadap sitokin dan kemokin inflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lain. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebab, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Setelah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat, sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sumsum tulang dan penurunan migrasi dari 2
pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag terutama menandai dan membatasi kemampuan makrofag untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis faktor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan glukokortikoid
aktivator
mempengaruhi
plasminogen. Selain reaksi
inflamasi
prostaglandin,leukotrien dan platelet-activating factor .
efek
dengan
terhadap cara
fungsi
leukosit,
menurunkan
sintesis
2
Klasifikasi:
1. Kortikosteroid Sistemik Meskipun
kortikosteroid
mempunyai
berbagai
macam
aktivitas
biologik,
umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat antiinflamasinya. Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan
masa
kerja,
potensi
glukokortikoid,
dosis
ekuivalen
dan
potensi
3
mineralokortikoid.
2
Tabel 1. Farmakologi Glukokortikoid
3,6
FARMAKOLOGI GLUKOKORTIKOID Dosis Potensi Durasi Ekuivalen Mineralokorti Aksi (mg) koid (jam) (relatif)
Waktu paruh dalam plasma (menit)
Short-acting
Cortisone Hydrocortisone
25 20
1.0 0.8
8 – 12 8 – 12
60 90
5 5 4 4
0.25 0.25 0 0
24 – 36 24 – 36 24 – 36 24 – 36
60 200 180 300
0 0
36 – 54 36 – 54
200 200
I ntermediate-actin g
Prednisone Prednisolone Methylprednisolone Triamcinolone Long-acting
Dexamethasone Betamethasone
0.75 0.6
2. Kortikosteroid Topikal Kortikosteroid topikal memiliki efek spesifik dan non-spesifik yaitu anti inflamasi, 3
imunosupresif, antiproliferasi, dan efek vasokonstriksi. Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat pelepasan enzim posfolipase A2, enzim yang bertanggung jawab dalam pembentukan prostaglandin, leukotrin, dan derivat asam arakidonat lain. Kortikosteroid juga menghambat faktor transkripsi seperti activator protein 1 dan nuclear factor kB, yang berperan dalam aktivasi gen pro inflamasi. Efek antiinflamasi juga didapat dari penghambatan fagositosis dan stabilisasi membran lisosom 4
pada sel yang difagosit.
4,5
Berdasarkan potensi klinis, kortikosteroid topikal dibedakan ke dalam 7 golongan: a. Golongan I (Super Potent )
Clobetasol proprionate ointment dan cream 0,5%
Betamethasone diproprionate gel dan ointment 0,05%
Diflorasone diacetate ointment 0,5%
Halobetasol proprionate ointment 0,05%
b. Golongan II ( Potent )
Amcinonide ointment 0,1% 3
Betamethasone diproprionate AF cream 0,05%
Mometasone fuorate ointment 0,1%
Diflorasone diacetate ointment 0,05%
Halcinonide cream 0,1%
Flucinonide gel, ointment, dan cream 0,05%
Desoximetasone gel, ointment, dan cream 0,25%
c. Golongan III ( Potent, upper mid-strength)
Triamcinolone acetonide ointment 0,1%
Fluticasone proprionate ointment 0,05%
Amcinonide cream 0,1%
Betamethasone diproprionate cream 0,05%
Betamethasone valerate ointment 0,1%
Diflorasone diacetate cream 0,05%
Triamcinolone acetonide cream 0,5%
d. Golongan IV ( Mid-strength)
Fluocinolone acetonide ointment 0,025%
Flurandrenolide ointment 0,05%
Fluticasone proprionate cream 0,05%
Hydrocortisone valerate cream 0,2%
Mometasone fuorate cream 0,1%
Triamcinolone acetonide cream 0,1%
e. Golongan V ( Lower Mid-strength)
Alclometasone diproprionate ointment 0,05%
Betamethasone diproprionate lotion 0,05%
Betamethasone valerate cream 0,1%
Fluocinolone acetonide cream 0,025%
Flurandrenolide cream 0,05%
Hydrocortisone butyrate cream 0,1%
Hydrocortisone valerate cream 0,2%
Triamcinolone acetonide lotion 0,1% 4
f.
Golongan VI ( Mild strength)
Alclometasone diproprionate cream 0,05%
Betamethasone diproprionate lotion 0,05%
Desonide cream 0,05%
Fluocinolone acetonide cream 0,01%
Fluocinolone acetonide solution 0,05%
Triamcinolone acetonide cream 0,1%
g. Golongan VII ( Least potent) Obat topikal dengan hydrocortisone, dexamethasone, dan prednisolone.
Beberapa pasien memiliki risiko lebih tingggi terhadap efek samping glukokortikoid. Wanita memiliki risiko lebih tinggi karena efek esterogen memperlambat metabolisme dan pengeluaran glukokortikoid dan densitas tulang lebih rendah, wanita post menopause memiliki risiko lebih tinggi untuk osteoporosis. Anak memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami retardasi pertumbuhan Pasien dengan SLE berisiko untuk menderita nekrosis aseptik pada tulang. Pasien rheumatoid arthritis memiliki insidensi osteoporosis lebih tinggi. Pasien miositis memiliki kecenderungan untuk mengalami atropi otot jika diterapi dengan glukokortikoid jangka panjang. Pasien dengan penyakit hati dan alkoholisme memiliki kesulitan untuk memetabolisme glukokortikoid dan metabolisme lemak yang abnormal,
sehingga
dapat
meningkatkan
kadar
serum
trigliserida.
Pasien
hipoalbuminemia memiliki fraksi bebas glukokortikoid eksogen sehingga memiliki efek samping lebih banyak. Merokok dan penggunaan alkohol yang berlebihan sangat 3
meningkatkan risiko osteoporosis, ulkus peptikum, dan beberapa efek samping lain. Efek Samping Pengunaan Kortikosteroid:
1. Efek samping sistemik a
Withdrawal of Therapy Pemberian kortikosteroid jangka lama (> 4 minggu) yang dihentikan secara
mendadak dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal). Insufisensi adrenal akut berbeda dengan Addison disease, pada Addison disease terjadi destruksi 5
adrenokorteks oleh bermacam penyebab (misal autoimun, granulomatosa, keganasan). Insufisiensi adrenal akut terjadi akibat penekanan sumbu hipothalamus-hipofisisadrenal oleh kortikosteroid eksogen, sehingga kelenjar adrenal kurang memproduksi kortikosteroid endogen. Pada saat kortikosteroid eksogen dihentikan, terjadilah +
kekurangan kortikosteroid (endogen). Dapat terjadi kehilangan ion Na dan syok karena aktivitas mineralokortikoid yang berkurang. Gejala yang timbul adalah gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa lemah, hipotensi, demam, mialgia, dan arthralgia. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian hidrokortison, disertai asupan air, +
-
Na , Cl , dan glukosa. Untuk menghindari insufisiensi adrenal maka penghentian 6,8
penggunaan kortikosteroid harus secara perlahan atau bertahap.
b. Perubahan Metabolik Hiperlipidemia adalah efek terapi yang paling sering, terutama pada pasien dengan profil lipid yang abnormal. Peningkatan trigliserida adalah yang paling sering, tetapi peningkatan HDL atau penurunan LDL terjadi pada beberapa pasien. Mekanisme hipertrigliserida berhubungan dengan insufisiensi insulin relative. Diet rendah lemak dan
kalori
harus
disertakan
dalam
pengobatan
pasien
yang
menggunakan
3
glukokortikoid jangka panjang.
Efek metabolik lain dari glukokortikoid adalah penambahan berat badan, alkalosis hipokalemia yang berhubungan dengan terapi dosis tinggi, dan yang jarang adalah 3
hipokalsemia, yang dapat menyebabkan tetanus pada anak dengan terapi dosis tinggi.
Kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam metabolisme glukosa yaitu melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-6-pospat, maka akan timbul gejala berupa peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga terjadi hiperglikemia, glikosuria, resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa, sehingga 7
menyebabkan diabetes steroid ( steroid-induced diabetes). c. Defisit Kognitif
Terapi kortikosteroid jangka panjang dan pendek menyebabkan defisit memori verbal dan deklaratif. Defisit memori selama terapi jangka pendek karena disfungsi 6
hipokampus dan terjadi bersamaan dengan atrofi neuron hipokampus yang reversibel. Defisiensi memori deklaratif dapat terjadi setelah 4-5 hari pemberian deksametason atau prednison. Gangguan ini terjadi tergantung pada dosis dan reversibel dengan penghentian kortikosteroid. Gangguan kognitif yang lebih berat dapat bermanifestasi sebagai delirium atau demensia. Pada review psikosis kortikosteroid, Hall et al mengidentifikasi distraktibilitas sebanyak 79% kasus dan gangguan memori intermiten
sebanyak
71%.
Gangguan
memori
persisten
sebanyak
7%,
8
mengindikasikan demensia yang diinduksi kortikosteroid.
d. Respon Imun Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi terjadi melalui mekanisme penekanan aktifitas fosfolipase sehingga mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien. Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi peradangan, namun dapat memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh karena itu pada pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamatik sebaiknya disertakan dengan pemberian 4
antibiotik/antifungal untuk mencegah infeksi.
e. Mata Total dosis keseluruhan dan durasi terapi adalah faktor yang paling penting pada perkembangan katarak subkapsular posterior pada pasien dalam terapi glukokortikoid. Efek ini ditemukan pada pasien yang mendapat prednisone minimal 10 mg/hari selama satu tahun. Anak merupakan faktor resiko terbesar karena dapat terjadi katarak meskipun dengan dosis kecil dan durasi pengobatan yang lebih pendek daripada 3
dewasa.
Kortikosteroid oral diduga meningkatkan resistensi aliran aquos humor yang berpotensi meningkatkan tekanan intraokular, hal inilah yang mencetuskan terjadinya glaukoma. Disisi lain, pengobatan Kortikosteroid juga berpotensi meningkatkan 3,7
opasififikasi dari kristalin lensa sehingga meningkatkan pembetukan katarak.
Pemeriksaan mata direkomendasikan setiap 6 – 12 bulan untuk pasien yang menggunakan terapi glukokortikoid sistemik jangka panjang. Perkembangan katarak 7
masih dapat terjadi meskipun terapi glukokortikoid telah dihentikan atau dosis telah 3,6
diturunkan.
f. Kardiovaskular Penggunaan Kortikosteroid jangka panjang dapat meyebabkan hipertensi dengan dua mekanisme kerja. Pertama melalui jalur retensi sodium sehingga meningkatkan volume plasma. Jalur kedua melaui respon vasopresor terhadap angitensin II dan 10
katekolamin.
Ketika glukokortkoid dihubungkan dengan hipertensi, hipertensi lebih banyak terjadi pada pasien dengan riwayat hipertensi sebelumnya atau dengan penurunan fungsi ginjal atau pada orangtua karena glukokortikoid jarang mempengaruhi tekanan darah pada dua minggu pertama terapi. Pada pasien yang mendapat terapi jangka 3
panjang, restriksi garam sangat penting dengan penambahan diuretik thiazide.
Pada pasien dengan SLE, rheumatoid arthritis, dan transplantasi ginjal, penggunaan glukokortikoid jangka panjang dapat mempercepat atherosklerosis. Anak muda yang dalam pengobatan glukokortikoid juga memperlihatkan efek ini, dan sejak lama telah terlihat pada pasien dengan sindrom Cushing karena kelebihan glukokortikoid endogen kronik. Komplikasi tromboemboli dan masalah konduksi 3
atrioventrikuler juga telah dilaporkan pada terapi glukokortikoid. g. Gastrointestinal
Hubungan terapi glukokortikoid dengan ulkus peptikum masih kontroversi karena hasil yang berbeda dari beberapa penelitian case series. Faktor risiko yang dapat menyebabkan ulkus peptikum pada pasien yang menggunakan glukokortikoid adalah merokok, minum alkohol, dan riwayat ulkus peptikum sebelumnya. Gejala ulkus peptikum dapat beragam, mulai dari nyeri ringan hingga komplikasi lebih lanjut seperi perdarahan atau perforasi. Komplikasi ini berhubungan dengan kecenderungan glukokortikoid untuk menyamarkan tanda dan gejala inflamasi dan menghambat penyembuhan luka. Mekanisme yang mungkin menyebabkan ulserasi adalah 8
penurunan produksi mucus dan penggantian sel mukosa. Pemberian glukokortikoid oral setelah makan atau dengan menambahkan antagonis reseptor H2 atau inhibitor 3
pompa proton, dapat meminimalisasi kemungkinan ulkus peptikum.
Efek samping gastrointestinal lain yang dapat terjadi adalah mual dan muntah (dapat diminimalisasi dengan regimen propilaksis dispepsia dan dosis glukokortikoid setelah makan), refluks esofagitis kandida (masalah utama pada pasien dengan penyakit erosi mukosa oral seperti pemfigus vulgaris, sehingga membutuhkan terapi antifungal misal flukonazol), pancreatitis pada pasien hipertrigliseridemia, perforasi 3
usus, dan perubahan lemak hati. h. Sistem Reproduksi
Keamanan pemberian glukokortikoid pada trimester pertama kehamilan masih diperdebatkan karena terdapat peningkatan insiden cleft palate. Namun, pengalaman klinis dan beberapa clinical trials menunjukkan efek minimal pada manusia. Hanya sebagian kecil prednisone dalam bentuk aktif yang mencapai fetus pada pasien hamil, karena enzim plasenta, 11-hydroxysteroid dehydrogenase type 2, meng-inaktifasi sebagian besar predison yang melewati sirkulasi fetus. Pasien hamil memiliki sedikit peningkatan resiko hipertensi, yang secara tidak langsung berhubungan dengan 3
ukuran fetus yang lebih kecil dari masa gestasi, dan intoleransi glukosa gestasional.
Ketika glukokortikoid dosis besar digunakan pada saat mendekati waktu melahirkan, sering terjadi supresi aksis HPA fetus, menyebabkan pseudo-Addisonian 3
pada neonatus.
Pada perempuan yang tidak hamil, dapat terjadi amenore dan paling sering terjadi pada pasien yang mendapatkan suntikan intramuskuler. Pada laki-laki telah dilaporkan 3
terjadi penurunan jumlah sperma.
9
i.
Sistem Saraf Efek samping yang paling sering adalah perubahan mood, kecemasan,dan
insomnia. Pasien dengan riwayat gangguan kepribadian memiliki resiko yang lebih besar untuk meningkatkan gejala neuropsikiatri. Depresi dan kelelahan tidak jarang terjadi selama fase tapering terapi glukokortikoid. Pseudotumor serebri adalah komplikasi yang mungkin terjadi pada terapi glukokortikoid dosis tinggi atau jangka panjang, pasien mengeluh sakit kepala, mual, muntah, gangguan penglihatan, dan edema papil. Masalah ini kebanyakan terjadi pada saat penurunan dosis yang cepat atau penghentian glukokortikoid. Pada kasus ini direkomendasikan untuk kembali kedosis sebelumnya dengan penurunan dosis perlahan. Meskipun kondisi ini reversibel, terdapat potensi untuk kehilangan penglihatan.Efek samping yang jarang 3
terjadi adalah kejang, perubahan EKG, tremor, dan neuropati perifer. j.
Tulang Osteoporosis
terjadi
pada
40%
individu
yang
mendapatkan
pengobatan
kortikosteroid sistemik, khususnya pada anak, remaja, dan wanita post-menopouse. Sekitar 1 dari 3 pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid selama 5 sampai 10 tahun mengalami fraktur vertebrae dan meningkat pada wanita post-menopouse. Bone-lose terjadi secara cepat pada 6 bulan pertama penggunaan
kortikosteroid dan terus
berlanjut dengan kecepatan yang lebih lambat, dengan kehilangan sebesar 3-10% pertahun. Studi terbaru menunjukkan bahwa resiko untuk fraktur meningkat sekalipun 6
menggunakan prednison dosis rendah (2,5 mg/hari). Kortikosteroid
dapat
menurunkan
kadar
+
Ca2 dalam
darah
dengan
cara
menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast) dan meningkatkan resorpsi +
-
sehingga memicu osteoporosis. Selain itu juga menurunkan absorpsi Ca2 dan PO43
dari intestinal dan meningkatkan ekskresi melalui ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan PTH yang menyebabkan resorpsi. Salah satu komplikasi 2
adalah fraktur vertebra akibat osteoporosis dan kompresi.
10
Osteonekrosis atau Avaskular Nekrosis(AVN) adalah manifestasi dari nyeri serta keterbatasan dari satu atau lebih sendi. Hal ini menyebabkan hipertensi interosseous yang mengakibatkan iskemia tulang dan nekrosis. Pada pemakaian kortikosteroid terjadi hipertropi liposit pada interosseous, sehingga terjadi hipertensi, kortikosteroid juga memicu apoptosis dari osteoblast yang turut berperan sebagaia penyebab 6,11
AVN.
Kortikosteroid bisa memepengaruhi metabolisme dari osteoblast, osteoclast, stromal cell sumsum tulang dan sel adiposa. Hal ini terjadi melalui mekanisme pengaktifan dan penghamabatan dari regulator yang berhubungan dengan adipognesis dan osteogenesis, mengakibatkan jumlah dan ukuran stem-cell adiposit akan meningkat drastis, sebaliknya akan terjadi penurunan dari osteoblast sel-sel tulang, secara bersamaan aktivitas dari osteoklast juga terjadi, semua ini menginduksi untuk terjadi osteonekrosis.
11
2. Efek samping topikal Pada penggunan kortikosteroid topikal efek samping dapat terjadi apabila kortikosteroid topikal digunakan dalam waktu lama ( > 2 minggu) dan penggunaan 5
kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat. Efek samping penggunaan kortikosteroid topikal: a. Atrofi kulit
Semua steroid topical menyebabkan atrofi kulit dalam berbagai derajat. Faktor yang mempengaruhi derajat atrofi kulit adalah usia, sisi tubuh yang terkena, dan potensi kortikosteroid topikal yang digunakan. Penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan atrofi kulit karena penekanan proliferasi sel dan penghambatan 5,9
sintesis kolagen.
b. Telangiektasia Kortikosteroid menstimulasi mikrovaskuler sel endotel kulit yang menyebabkan telangiektasia. Kondisi ini ditandai oleh dilatasi pembuluh kapiler dan arteriol yang 5
abnormal.
11
c. Akne Kortikosteroid menyebabkan acneiform eruption. Steroid topikal menyebabkan degradasi epitel folikuler sehingga terjadi ekstruksi isi folikuler. Steroid menekan peradangan pada papul dan pustul dan menjadi lebih resisten pada saat rekuren, sehingga menimbulkan gambaran klinis topical corticosteroid induced acne like 5,9
lesions.
Gambar 1. Steroid Akne pada wajah, 5 tampak pustule, eritem, dan beberapa komedo terbuka dan tertutup pada dahi
d. Dermatitis Perioral Dermatitis perioral yang diinduksi steroid dideskripsikan sebagai erupsi fasial yang terjadi pada perempuan dan tampak papul folikuler dan pustul di atas eritem yang dimulai dari perioral. Perioral dermatitis lebih sering pada perempuan dan anak. Dermatitis perioral disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid poten jangka 5,9
panjang.
e. Hipopigmentasi Steroid kemungkinan mempengaruhi sintesis melanin menyebabkan sintesis melanin menjadi lebih sedikit dan menimbulkan patch hipopigmentasi. Lesi 5
hipopigmentasi bersifat reversibel setelah terapi steroid dihentikan.
12
Gambar 2. Hipopigmentasi dan telangekstasia pada lengan 5 karena penggunaan steroid topikal
f. Infeksi Kulit Infeksi mukokutaneus sering terjadi selama pengobatan dengan kortikosteroid dan sering terjadi pada awal terapi. Insidensi infeksi kulit bervariasi antara 16 % dan 43 %. Infeksi yang terjadi pada kulit adalah tinea versikolor, onikomikosis yang disebabkan oleh spesies Tricophyton dan Candida, dermatofitosis. Tinea incognito adalah infeksi tinea yang berubah menjadi erupsi kulit yang tidak terkategori. Terapi kortikosteroid
menekan
inflamasi,
sedangkan
jamur
dan
bakteri
menjadi
5
berkembang.
Gambar 3. Tinea incognito pada pasien dalam terapi kortikosteroid
13
Infeksi tidak hanya terjadi pada penggunaan kortikosteroid topikal, namun juga pada penggunaan kortikosteroid sistemik. Pasien yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid sistemik memiliki kemungkinan infeksi bakteri, virus, jamur, dan 3
parasit yang lebih tinggi.
g. Penyembuhan Luka yang terhambat Efek kortikosteroid pada penyembuhan luka karena keratinosit (atrofi epidermal, re-epitelisasi yang terlambat), fibroblast (kolagen yang berkurang, menyebabkan atrofi kulit dan striae), jaringan ikat vaskuler (telangiektasia, purpura, mudah lebam), 5
dan gangguan angiogenesis (pembentukan jaringan granulasi yang terlambat).
h. Kontak Alergi Kontak alergi dapat terjadi karena bahan kortikosteroid sendiri atau komponen campuran pada kortikosteroid topikal. Sensitifitas kontak pada hidrokortison pertama dilaporkan pada tahun 1959. Penggunaan kortikosteroid harus hati-hati jika terdapat 9
infeksi, karena dapat memicu eksaserbasi sensitifitas kortikosteroid. Pengawasan Terapi:
Pada follow up, pasien yang mendapat glukokortikoid kronik harus ditanyakan mengenai poliuria, polidipsi, nyeri abdomen, demam, gangguan tidur, dan efek psikologis. Tekanan darah dan berat badan pasien juga harus dimonitor. Elektrolit serum, gula darah puasa, kadar kolesterol dan trigliserida harus diperiksa. Feses diperiksa untuk mengetahui perdarahan tersembunyi. Pemeriksaan mata dilakukan 6 – 12 bulan sekali 6
untuk mengetahui komplikasi katarak atau glaucoma.
Pencegahan efek samping pada penggunaan kortikosteroid topikal dapat dilakukan 4
dengan cara:
1. Kortikosteroid potensi tinggi harus digunakan dalam jangka pendek (dua sampai tiga minggu) atau intermiten. 2. Mengurangi frekuensi pemakaian, misal hanya digunakan pada pagi hari, alternateday therapy. 14
3. Kortikosteroid topikal harus dihindari pada kulit yang atrofi atau ulserasi. 4. Penghentian tiba-tiba setelah penggunaan dalam jangka panjang harus dihindari untuk mencegah fenomena rebound 5. Petunjuk khusus harus diikuti ketika menggunakan kortikosteroid topikal untuk area tubuh khusus (misal area intertriginous) atau populasi khusus (misal anak atau orang tua) untuk mencegah efek samping lokal atau sistemik.
KESIMPULAN
Kortikosteroid
memiliki
efek
antiinflamasi,
imunosupresif,
antiproliperatif,
dan
vasokontriksi, oleh karena itu kortikosteroid digunakan secara luas di bidang kedokteran. Selain memiliki manfaat yang sangat besar untuk proses penyembuhan penyakit, kortikosteroid juga memiliki banyak efek samping. Efek samping kortikosteroid dapat bersifat lokal maupun sistemik. Efek samping lokal kortikosteroid adalah atrofi kulit, infeksi kulit, hipopigmentasi, telangektasia, penyembuhan luka yang terhambat, acneiform eruption, dan kontak alergi. Sedangkan efek samping sistemik kortikosteroid dapat mengenai seluruh organ dalam tubuh misal efek samping pada otak (defisit kognitif, gangguan perilaku), mata (katarak, glaukoma), kardiovaskuler (atherosklerosis), gastrointestinal (ulkus peptikum), sistem reproduksi (amenroe, penurunan jumlah sperma). Karena banyak memiliki efek samping, pasien yang menggunakan kortikosteroid harus selalu dalam pengawasan.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC, John EH. Buku Ajar Fisisologi Kedokteran : Hormon Adrenokortikal. Edisi 11. Jakarta: EGC. 2. Schimer BP. Adrenocorticotropic hormone ; Adrenal Steroid and their Synthetic. In: Brunton LL, John SL, Keith LP, editors. Goodman and Gilman's The Pharmacological th
basis of therapeutic. 11 Ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc. 2006 3. Nesbite LT. Glucocorticoid. In: Bolognia JL, Joseph LJ, Ronald PR, editors. Bolognia: nd
Dermatology. 2 Ed. London: Elsevier. 2008 4. Valencia, Isabel C, Kerdel, Francisco A. Topical Corticosteroids In: Wolff K, Goldsmith L, Kath SI, Gilchrest BA, Paller AS, Jeffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in th
general medicine. 7 Ed. New York: The McGraw-Hill Companies Inc. 2008;p.21022106 5. Hengge, Ulrich R, Ruzicka, Thomas, et al. Adverse Effect Of Topical Glucorticosteroids. J Am Acad Dermatol 2006;54:1-15 6. Werth VP. Systemic Therapy In: Wolff K, Goldsmith L, Kath SI, Gilchrest BA, Paller th
AS, Jeffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7 Ed. New York: The McGraw-Hill Companies Inc. 2008;p.2147-2153 7. Aulakh R, Surjit S. Strategies for Minimizing Corticosteroid Toxicity: a review. Indian J pediatr. 2008; 75(10): p.1067-107 8. Warrington, Thomas P, Bostwick, J. Michael. Psychiatric Adverse Effects of Corticosteroids. Mayo proceeding. 2006;81(10):1361-1367 9. Jones, J. Berth. Topical therapy. In: Burns, Tony, Stephen Breathnach, Neil Cox, et al. editor. Rook’s Textbook of Dermatology. Seventh Edition. Massachusetts, United State of America. Blackwell Science. 2004; p. 75.16. 16
10. Rhen T, John AC. Antiinflamatory Action of Glucocorticoid. N Engl J Med. 2005;353:p.1711-23 11. Gang T, Kang P, PEI F. Glucocorticoid effect the metabolism of bone marrow stromal cells and lead to osteonecrosis of the femoral head: a Reviw. Chin Med J. 2012;125(1):p.134-139
17
18