Efek Media Massa terhadap Stereotyping
Gender
Studi Kasus: Cinderella Story Lutviah Risty Juliany
Pendahuluan
Permasalahan sosial yang terjadi dalam lingkungan masyarakat salah satunya adalah masalah gender. Masalah ini muncul akibat adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara lelaki dan perempuan. Kebanyakan orang menganggap bahwa peran laki-laki dan perempuan memang sudah dibedakan sejak lahir, atau memang berasal dari takdir. Padahal, jenis kelamin (sex) dan gender adalah dua hal yang berbeda. Moore dan Sinclair (1995:117) menyebutkan bahwa ³Sex ³Sex refers to the biological differences between men and women, the result of differences in the chromosomes of the embryo´(Sunarto embryo´ (Sunarto 2004). 2004). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara lelaki dan perempuan, termasuk didalamnya perbedaan fisik, struktur organ reproduksi, dan perbedaan biologis lainnya. Kerstan (1995) juga menambahkan bahwa jenis kelamin bersifat biologis dan dibawa sejak lahir, sehingga tidak dapat diubah. Contoh yang diberikannya seperti hanya perempuanlah yang dapat melahirkan; hanya lelakilah yang dapat menjadikan seorang perempuan hamil (Sunarto 2004). Sementara itu, gender memiliki definisi yang berbeda dengan jenis kelamin atau seks. Menurut Butler, ³Gender ³Gender is the cultural component which is socialized into the person on the basis´ (Gauntlett 2002). 2002). Giddens juga menambahkan bahwa konsep gender mengacu pada perbedaan psikologis, sosial, dan budaya antara laki-laki dan perempuan (Sunarto 2004). Dengan kata lain, gender merupakan perbedaan perilaku, psikologis, sosial dan budaya antara lelaki dan perempuan yang dikonstrusikan secara sosial. Misalnya pembagian kerja antara lelaki dan perempuan, perbedaan upah kerja, dan lain-lain.
1
Melihat kedua definisi diatas, dapat dilihat bahwa sebenarnya konsep jenis kelamin dengan gender adalah dua hal yang berbeda. Hanya saja, kebanyakan masyarakat yang didominasi oleh budaya patriarki menganggap bahwa konstruksi gender merupakan hal yang memang sudah ada sejak lahir dan sudah seharusnya. Budaya patriariki sendiri adalah budaya yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang mengsubordinasikan perempuan dari lelaki. Permasalahan muncul ketika konstruksi gender tersebut menimbulkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan diantara laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya merugikan salah satu atau kedua belah pihak baik lelaki maupun perempuan. Namun secara umum, kaum perempuan merupakan kelompok yang paling dirugikan akibata konstruksi gender dalam budaya patriarki yang seringkali mengsubordinasikan perempuan da lam struktur sosial, ekono mi, dan politik. Kerstan (1995) menyebutkan bahwa gender tidak bersifat biologis melainkan dikonstruksikan secara sosial (Sunarto 2004). Proses konstruksi itu dilakukan melalui proses sosialisasi gender yang dilakukan oleh agen-agen sosial, yaitu keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa. Diantara keempat agen sosialisasi tersebut, hanya media massa agen yang dapat mengkonstuksi tanpa berinteraksi secara langsung. Hal ini karena media massa memiliki kekuatan dalam mempengaruhi persepsi khalayak khususnya dalam membentuk stereotyping gender dalam masyarakat. Media massa mentransmisikan nilai-nilai tersebut melalui konten-konten yang ia publikasikan seperti berita, film, musik, iklan, dan lain-lain. Misalnya cenderung menampilkan perempuan sebagai ibu rumah tangga, melayani suami, dan lain-lain. Durkin mendefinisikan stereotyping sebagai ³attributing qualities of a group to individuals within that group, without regard to the uniqueness of the individual´ (Preiss, et al. 2007). Stereotip ini menjadi merugikan karena seringkali menilai seseorang berdasarkan kelompok dimana ia tinggal sehingga ia kehilangan keunikan dalam dirinya, yang pada umumnya penilaian tersebut bresifat negatif. Media massa sebagai agen sosialisasi gender seringkali menampilkan konten-konten yang bias gender sehingga menimbulkan stereotyping yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Hal ini dikarenakan media massa sendiri secara tidak sadar telah terhegemoni oleh nilai-nilai budaya patriarki yang pada akhirnya mempengaruhi konten-konten media massa. Konten-konten 2
media massa tersebut direpetisi berulang sehingga mempengaruhi asumsi dan ideologi khayalak tentang peran gender dalam masyarakat. Analisis representasi gender dalam media sebenarnya bukanlah hal yang baru. Gerakan hak asasi manusia dan perempuan pada tahun 1960-an melakukan eksplorasi terhadap konten media massa serta kontribusinya terhadap oppression pada perempuan dan kelompok minoritas (Preiss, et al. 2007). Laporan penelitian dari Komisi Hak Asasi Manusia Amerika Serikat (1977) berjudul Window Dressing on the Set: Women and Minorities in Television menemukan bahwa sejak tahun 1950-an hingga 1970-an perempuan kurang terwakili sebagai karakter dalam tayangantayangan televisi. Ketika perempuan muncul, mereka seringkali dibentuk dalam stereotip (Preiss, et al. 2007). Komisi Nasional Pekerja Perempuan menemukan representasi perempuan dalam media massa mulai membaik pada pertengahan 1980-an. Karakter perempuan menjadi lebih banyak, beragam dari sisi usia dan pekerjaan, dan secara ekonomi dan sosial lebih independen dibandingkan pada era televisi sebelumnya (Preiss, et al. 2007) Kajian konten analisis, secara konsisten mengindikasikan bahwa media mempresentasikan tampilan yang mendistorsi realita khususnya dalam hal peran gender: laki-laki lebih dari perempuan; perempuan biasanya lebih muda daripada lelaki yang diberikan dalam tradisi dan peran stereotip; perempuan kurang agresif dan lebih sering dijadikan korban dibandingkan lelaki; perempuan terbatas dalam kemungkinkan pekerjaan; dan perempuan umumnya lebih sering dinikahkan disbanding lelaki (Preiss, et al. 2007). Salah satu konten media massa yang bias gender adalah film Cinderella Story yang diproduksi oleh Walt Disney pada tahun 1950. Film ini dinilai bias karena sangat kental sekali dalam memberikan stereotyping gender terhadap lelaki dan perempuan. Makalah ini mencoba menganalisis konten film Cinderella Story dalam menampilkan stereotyping, peran serta posisi lelaki dan perempuan.
Resensi Film Cinderella Story
3
Cerita Cinderella telah diceritakan di banyak versi beberapa negara. Namun tayangan film cerita Cinderella dalam bentuk animasi yang dibuat oleh Walt Disney Production sepertinya telah
menjadi
rujukan
cerita
Cinderella
yang
lebih
kontemporer. Versi cerita cinderella yang paling terkenal ditulis oleh seorang penulis asal Perancis Charles Perrault pada tahun 1697 yang didasarkan pada cerita rakyat yang pernah ditulis oleh Giambattista Basile.
Kisah cerita Cinderella menceritakan nasib seorang gadis desa yang disia-sia oleh ibu dan saudara tirinya. Ayah Cinderella telah meninggal dunia. Ia pun hidup dalam penderitaan bersama ibu tiri dau saudara tiri. Cinderella tak pernah menyangka kalau suatu hari ia bakal menjadi seorang permaisuri istana. Kisahnya berawal dari suatu hari saat istana menggelar pesta dansa. Pangeran berniat mencari calon istri. Maka ibu tiri dan dua orang saudara Cinderella pun berangkat ke istana sementara Cinderella tak boleh ikut. Hingga kemudian seorang peri yang baik hati menyulap Cinderella menjadi seorang puteri yang cantik jelita mengenakan kereta. Hanya saja persyaratan yang diberikan oleh peri adalah sulap tersebut akan habis masanya pada pukul 12 malam.
Sesampai di istana, pangeran amat terpesona dengan kecantikan Cinderella, ia pun diajak berdansa hingga tanpa sadar sudah pukul 12 malam. Menyadari hal tersebut Cinderella buru buru kabur tanpa pamit pada pangeran. Pangeran pun mengejarnya, hingga sepatu Cinderella patah ia tak memperdulikannya, ia terus saja berlari. Pangeran memungut dan menyimpan sepatu tersebut. Ia pun membuat pengumuman kepada siapa saja yang pas memakai sepatu tersebut maka akan dijadikan istri.
Seluruh gadis desa mencoba sepatu tersebut, namun tak ada yang bisa memakainya. Hingga akhirnya pangeran menemukan Cinderella, Cinderella pun mengeluarkan sepatu yang satu lagi dari kotak. Ibu dan saudara tiri Cinderella amat terkejut, Cinderella pun akhirnya dibawa ke istana untuk dijadikan istri pangeran.
4
Tinjauan Tidak
Pustaka
dapat dipungkiri bahwa komunikasi massa memiliki efek terhadap khalayak. Efek-efek
tersebut antara lain efek kognitif (pengetahuan), afektif (emosional dan perasaan), dan behavioral (perubahan pada perilaku) (Nurudin 2009). Namun demikian, proses munculnya efek-efek tersebut juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Dimana pesan-pesan yang disampaikan media massa tidak secara langsung diterima oleh khalayak, melainkan disaring, dipikirkan, dan dipertimbangkan terlebih dahulu apakah pesan tersebut dapat diterima oleh khalayak atau tidak. faktor-faktor inilah yang ikut menjadi penentu besar tidaknya efek yang diterima khalayak. Faktor-faktor yang mempengaruhi e fek media massa antara lain: 1. Faktor Individu Faktor-faktor individu merupakan faktor-faktor pribadi yang ada pada diri manusia yang ikut mempengaruhi efek media massa yang diterimanya. Faktor-faktor individu yang mempengaruhi proses komunikasi antara lain selective attention, selective perception, dan selective retention, motivasi dan pengetahuan, kepercayaan, pendapat, nilai dan kebutuhan, pembujukan, kepribadian, dan penyesuaian diri. 2. Faktor Sosial Dalam faktor sosial, individu dilihat sebagai gejala sosial. Artinya bagaimana individu tersebut berhubungan dengan orang lain. Yang termasuk faktor-faktor sosial antara lain umur dan jenis kelamin, pendidikan dan latihan, pekerjaan dan pendapatan, agama, dan tempat tinggal (Nurudin 2009). Dalam ilmu komunikasi cukup banyak teori yang menjelaskan bagaimana terpaan media massa memberikan efek terhadap khalayak. Beberapa teori yang dapat digunakan untuk menganalisis efek media massa terhadap stereotyping gender pada khayalak antara lain: a.
Teori Teori
Kultivasi kultivasi pada awalnya digunakan untuk menganalisis bagaimana efek tayangan
televisi terhadap khayalak.
Teori
ini menganggap bahwa tayangan-tayangan televisi dapat
mempengaruhi persepsi khayalak dalam memandang dunia. Dalam hal ini, efek terjadi pada tataran kognitif dimana khayalak menganggap apa yang ditampilkan televisi adalah
5
kenyataan yang sebenarnya. Efek ini biasanya terjadi pada heavy viewer atau khayalak yang banyak mengkonsumsi tayangan d i televisi.
Pada teori kultivasi, khayalayak menganggap bahwa realitas yang dikonstruksi dan ditampilkan media massa adalah realitas yang sebenarnya.
Teori
kultivasi memiliki tiga
asumsi yang menyatakan hubungan antara media dan budaya: 1.
Televisi,
secara esensi dan fundamental, berbeda dengan bentuk-bentuk media massa
lainnya. 2.
Televisi
membentuk cara berpikir dan membuat kaitan dari masyarakat kita.
3. Pengaruh dari televisi terbatas (West and Turner 2008). Untuk menunjukkan secara empiris bahwa televisi memberikan efek terhadap budaya khayalak, terdapat empat tahapan proses: 1.
Analisis
sistem pesan¸ terdiri atas analisis isi mendetail dari pemrograman televisi untuk
menunjukkan presentasi gambar, tema, nilai dan penggambaran yang paling sering berulang dan konsisten. 2.
F ormulasi
pertanyaan mengenai realitas sosial penonton, melibatkan penyusunan
pertanyaan mengenai pemahaman orang akan kehidupan sehari-hari mereka. 3. Menyurvei khayalak, mensyaratkan bahwa pertanyaan-pertanyaan dari tahap kedua diberikan kepada anggota khalayak dan bahwa para peneliti menanyakan para penonton ini mengenai level konsumsi televisi mereka. 4. Membandingkan realitas sosial dari penonton kelas berat dan kelas ringan (West and Turner
b.
Teori Teori
2008).
Jarum Hipodermik jarum hipodermik menyatakan bahwa media massa memiliki pengaruh yang kuat
dalam mempengaruhi khalayak. Disamping itu, teori ini juga mengasumsikan bahwa para pelaku media lebih pintar dibanding khalayak. Akibatnya, khalayak dapat dikelabui sedemikian rupa dari apa yang disiarkannya.
Teori
ini mengasumsikan media massa
mempunyai pemikiran bahwa khalayak dapat ditundukkan sedemikian rupa atau bahkan dapat dibentuk dengan cara apapun yang dikehendaki media. Initinya, sebagaimana yang 6
dikatakan oleh Jason dan Anne Hill (1997), media massa dalam teori jaruh hipodermik memiliki efek langsung ³disuntikkan dalam ketidaksadaran khalayak (West and
Turner
2008).
Perilaku-perilaku yang ditunjukkan media massa dalam konten-kontennya memberikan rangsangan kepada khalayak untuk meniru perilaku-perilaku tersebut. Padahal tidak semua yang ditampilkan oleh media massa adalah sesuatu yang benar. Namun karena begitu kuatnya pengaruh media massa, teori ini mengasumsikan bahwa khalayak tidak memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh yang diberikan media massa. Analisis
Stereotyping
R epresentasi
Gender
pada Film Cinderella Story
perempuan dalam Film Cinderella Story antara lain Perempuang dianggap lemah,
dimana Cinderella digambarkan sebagai perempuan yang lemah, ketika mendapatkan perlakuan kasar dari ibu dan saudara tirinya Cinderella tidak melawan dan hanya bias menangis ketika mendapatkan perlakuan kasar tersebut, selain itu pada Film Cinderella Story juga dapat dilihat dari awal film digambarkan bahwa seorang anak perempuan haruslah bangun pagi dan merapikan seluruh pekerjaan rumah dari mulai merapihkan kamarnya sendiri sampai membuat sarapan untuk keluarganya. Karakter Cinderella memang sengaja dibuat oleh Walt Disney sebagai anak perempuan yang seharusnya menjadi seorang ³putri´ tetapi malah menjadi seorang ³pembatu´. Dan dalam film Cinderella digambarkan bahwa seorang wanita itu harus anggun, ramah dan baik hati, digambarkan seolah-olah dua saudara tiri Cinderella jahat dan yang jahat digambarkan tidak akan ³menang´.
Tokoh
laki-laki yang digambarkan oleh Sang Pangeran dianggap sebagai
penyelamat ketika menemukan Cinderella, karena dapat membuat Cinderella terbebas dari siksaan ibu dan saudara tirinya, serta hidup bahagia di Istana. Kesimpulan
Sebagai salah satu agen sosialisasi, media massa berperan dalam membentuk stereotip gender. Melalui konten-konten yang ditampilkannya, media massa memiliki kemampuan untuk membentuk stereotip-stereotip tertentu yang dilekatkan pada peran gender.
7
Jika merujuk kepada teori kultivasi dan teori jarum hipodermik, maka apa yang ditampilkan oleh media massa memiliki kemampuan yang besar dalam mempengaruhi khalayak, khususnya pada tataran kognitif. Dimana konten-konten media massa memiliki kemampuan untuk mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir tentang se suatu hal. Dalam hubungannya dengan pembentukan stereotip gender dalam film Cinderella Story, dapat dilihat bahwa representasi perempuan dan laki-laki dalam film tersebut dibentuk sedemikian rupa dan bahkan cenderung bias gender. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang ada pada film tersebut lebih mempresentasikan nilai-nilai dan budaya patriarkhi. Film Cinderella Story merupakan salah satu konten media massa yang bias gender, karena tidak memperlihatkan posisi dan peran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Jika merujuk pada kedua teori diatas, bisa jadi apa yang ditampilkan oleh film tersebut dapat mempengaruhi bagaimana khalayak berpikir tentang peran dan posisi laki-laki dan perempuan yang seharusnya.
--------------
Daftar Pustaka Nurudin. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali Press, 2009. Preiss, Raymond W., Barbara Mae Gayle, Nancy Burrel, Mike Allen, and Jennings Bryant. Mass Media
Effects Research Advance Through Meta-Analysis. London: Lawrence Erlbaum Associates , 2007. Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004. West, Richard, and Lynn H. Turner. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi Edisi 3 Buku 2. Jakarta: Salemba Humanika, 2008.
8