UNIVERSITAS INDONESIA
DRAMATURGI: MEDIA SOSIAL SEBAGAI PANGGUNG PRESENTASI DIRI
Dosen: Ike Iswary Lawanda, S.S., M.S
Mata Kuliah Manajemen dan Budaya Perpustakaan
Oleh:
ABDI MUBARAK SYAM
1306353612
ILMU PERPUSTAKAAN
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2014
DRAMATURGI: SOSIAL MEDIA SEBAGAI PANGGUNG PRESENTASI DIRI
Oleh:
Abdi Mubarak Syam – 1306353612
PENDAHULUAN
Bagi pengguna media sosial, memeriksa akun media sosial adalah sebuah
aktivitas yang lazim dilakukan. Namun, ketika pengguna menata akun media
sosial, yang pengguna lakukan sebenarnya sedang menata wajah atau
penampilannya di dunia maya. Ketika melakukan penataan terhadap tema atau
warna halaman depan di media sosial kita, maka kita seakan-akan sedang
memilih pakaian yang mana atau warna apa yang cocok dengan diri sendiri.
Begitu pula ketika pengguna hendak melakukan pembaharuan status atau
menulis di akun media sosial, maka pengguna pun mengalami proses selayaknya
ingin mengungkapkan sesuatu kepada lawan bicara yang sedang ada di depan
kita. Apalagi, bagi pengguna yang menyadari bahwa audiens (atau pengguna
lainnya) tidak hanya satu atau dua orang melainkan berpotensi sangat banyak
(selayaknya sekumpulan massa). Penataan media sosial akan menjadi sebuah
tindakan yang tidak serta merta spontan, tetapi melalui sebuah 'meja
editorial' didalam dirinya sendiri.
Setiap orang memiliki harapan untuk bisa menjadi sebuah sosok impian.
Sosok impian yang bisa saja berdasarkan kebutuhan dirinya sendiri, karena
melihat-lihat kondisi sekitarnya, atau berdasarkan konstruksi pribadi.
Berdasarkan figur impiannya tersebut, setiap individu akan menata dirinya
dengan berbagai cara baik itu dari cara berbicara, pemilihan kata-kata,
cara berpakaian, peralatan teknologi yang dimiliki, teman atau kelompok
yang dipilih, kegiatan yang diikuti, dan tempat makan/minum yang dipilih.
Bagi seorang anak muda yang sangat memimpikan untuk menjadi seperti sosok
artis tertentu, maka dia akan menata dirinya baik itu pakaian, kata-kata,
dan berbagai elemen untuk mencapai figur tersebut. Bagi seorang yang ingin
menampilkan diri sebagai seorang profesional muda, maka tentulah dia akan
menata dirinya sesuai dengan sosok profesional muda yang dia harapkan.
Singkatnya, hampir semua wadah bisa dipakai oleh setiap individu untuk
melakukan penataan terhadap dirinya. Dengan demikian, ketika media sosial
hadir, maka media sosial pun bisa digunakan sebagai wadah untuk melakukan
penataan diri.
Bagi kalangan remaja khususnya di Indonesia, media sosial dimanfaatkan
sebagai ajang presentasi diri. Segala kegiatan yang dilakukan dirasa wajib
untuk di sharing melalui media sosial agar semua orang mengetahui apa yang
sedang dilakukan atau terjadi. Sosial media menuntut remaja untuk selalu up
to date akan kegiatan yang dilakukan.
Mudahnya melakukan praktek di media sosial membuat remaja menjadikan
fasilitas itu sebagai "rumah" bagi mereka. Ungkapan perasaan, isi hati,
curhatan, sampai kepada masalah pribadi mereka bagi melalui media sosial.
Media sosial menjadi sarana presentasi diri oleh para remaja.
Fenomena presentasi diri ini menjadi perhatian bagi khalayak ramai,
termasuk pakar komunikasi. Berawal dari pemikiran bahwa manusia sebagai
aktor yang berada di atas panggung, tentunya semua itu berdasarkan
settingan yang sudah ditata sedemikian rupa dengan sebaik-baiknya agar
terlihat bagus dimata penonton. Para aktor (pengguna sosial media) akan
berhati-hati dalam melakukan aktingnya diatas panggung. Terlihat jelas
bahwa media sosial memberikan ruang khusus yang seluas-luasnya kepada
pengguna untuk berkreasi sesuai keinginannya, khususnya dalam presentasi
diri.
Bagi kalangan remaja, membuat status di facebook, menunggah foto di
facebook, menulis tweet di twitter bukan sesuatu yang baru untuk dilakukan.
Hal itu sudah menjadi aktivitas wajib yang mereka lakukan dalam
kesehariannya. Mereka lebih khawatir ketika tidak membawa handphone
daripada dompet.
Memodifikasi foto, mengedit foto sebagai tampilan untuk dilihat oleh
pengguna lainnya adalah hal yang wajib dilakukan. Aktivitas-aktivitas
seperti inilah yang termasuk dalam aktivitas presentasi diri. Setidaknya,
perkembangan teknologi memungkinkan pengguna media sosial hanya masih
sebatas representasi dirinya, belum sampai pada level seutuhnya yang berada
di dalam media sosial.
Aktivitas presentasi diri ini termasuk kedalam berbagai bentuk, yaitu
dalam bentuk tampilan gambar, mengupdate kata-kata bijak, tweets bijak atau
lucu, menyampaikan kritik, mengkomunikasikan kondisi pribadi, berbagi
lokasi atau dengan berbagi foto dengan publik figur dan berbagai cara
lainnya.
Dramaturgi dapat dikatakan sebagai panggung sandiwara dimana individu
berbeda karakternya ketika berada di front stage dan back stage. Dalam
tulisan ini media sosial merupakan panggung sandiwara (front stage) yang
dijadikan individu sebagai media untuk menampilkan dirinya karena ada
pengguna media sosial lainnya yang menonton dirinya. Karena ada yang
melihat atau menonton dirinya, individu berusaha tampil semaksimal mungkin
kebaikan dirinya di media sosial. Sedangkan ketika individu sedang berada
di dunia nyata (back stage), maka yang terlihat adalah realitas dirinya
yang sesungguhnya.
TINJAUAN LITERATUR
Teori Dramaturgi
Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau
pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter
manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran
kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama
yang disajikan.
Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial
psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In
Everyday Life. Digali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan
dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita
sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter
orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti
mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan.
Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk
mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah
penerimaan penonton akan manipulasi. Dramatugis mempelajari konteks dari
perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil
dari perilakunya tersebut.
Dalam konsep dramaturgi, Goffman mengawalinya dengan penafsiran
"konsep-diri", diamna Goffman menggambarkan pengertian diri yang lebih luas
dari pada Mead, (menurut Mead, konsep-diri seorang individu bersifat stabil
dan sinambung selagi membentuk dan dibentuk masyarakat berdasarkan basis
jangka panjang). Sedangkan menurut Goffman, konsep-diri lebih bersifat
temporer, dalam arti bahwa diri bersifat jangka pendek, bermain peran
karena selalu dituntut oleh peran-peran sosial yang berlainan, yang
interaksinya dalam masyarakat berlangsung dalam episode-episode pendek
(Mulyana, 2008 : 110)
Menurut Goffman, kehidupan sosial tersebut dapat dibagi menjadi
"wilayah depan" (front region) dan "wilayah belakang" (back region).
Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang memungkinkan individu
bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka seperti sedang memainkan
suatu peran di atas panggung sandiwara didepan khalayak penonton.
Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat atau peristiwa yang
memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan.
Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage)
yang ditonton publik. Front stage dibagi dua , setting pemandangan fisik
yang harus ada jika aktor ingin memainkannya, dan front personal berbagai
macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari aktor. Front personal
dibagi dua, yaitu penampilan berbagai jenis barang yang mengenalkan status
sosial aktor (appearance), dan gaya mengenalkan peran macam apa yang
dimainkan aktor dalam situasi tertentu (manner), atau dalam bahasa lain di
front stage inilah aktor melakukan pencitraan dirinya sebaik mungkin.
Sedangkan wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back
stage) atau kamar rias tempat pemain bersantai, mempersiapkan diri atau
berlatih untuk memainkan perannya dipanggung depan. Untuk mencapai
tujuannya, aktor (indvidu) perlu menggunakan teknik "manajemen kesan" atau
impression management agar penonton yakin dengan apa yang diperankan dan
tidak mengetahui karakter asli dari aktor.
Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada
"kesepakatan" perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan
akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi
permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita
sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan
permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu. Hal
ini terlihat pada fenomena presentasi diri individu melalui media sosial.
Media sosial dijadikan sebagai panggung sandiwara untuk membuat peran lain
dari individu yang sama.
Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak
stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan
psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung
dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana
kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial
dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha
untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain
melalui "pertunjukan dramanya sendiri".
Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh
manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian
memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung
pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Dramaturgis dianggap
masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat
manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin
memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif
(kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut
manusia berlaku obyektif, berlaku natural, mengikuti alur. Proses subyektif
akan beralih menjadi obyektif saat ia menjalani peran yang dipilihnya
tersebut.
Dramaturgis merupakan teori yang mempelajari proses dari perilaku dan
bukan hasil dari perilaku. Obyektifitas yang digunakan disini adalah karena
institusi tempat dramaturgi berperan adalah memang institusi yang terukur
dan membutuhkan peran-peran yang sesuai dengan semangat institusi tersebut.
Presentasi Diri
Pada dasarnya, setiap orang memiliki langkah-langkah khusus dalam
mempresentasikan dirinya kepada orang lain. Presentasi diri atau sering
juga disebut manajemen impresi (impression management) merupakan sebuah
tindakan menampilkan diri yang dilakukan oleh setiap individu untuk
mencapai sebuah citra diri yang diharapkan. Presentasi diri yang dilakukan
ini bisa dilakukan oleh individu atau bisa juga dilakukan oleh kelompok
individu/organisasi (Boyer dkk, 2006:4)
Seorang kameraman yang handal akan berusaha sebaik mungkin untuk
bisa mengambil gambar dengan angle terbaik, moment yang tepat, dan kualitas
gambar yang baik untuk menjaga kompetensinya. Seorang yang bekerja di
bidang Public Relations akan berupaya sebaik mungkin untuk
mempresentasikan dirinya sesuai dengan budaya perusahaannya. Untuk menjadi
teman yang baik, seseorang akan berupaya untuk berusaha mempresentasikan
dirinya dengan cara yang sesuai dengan harapan teman-temannya. Untuk
menjamin kompetensinya, seorang fotografer akan berupaya untuk menampilan
karya-karya terbaiknya kepada orang lain. Dengan berbagai tujuan, setiap
individu akan berupaya untuk mengkonstruksi dirinya dengan cara yang sesuai
dengan karakteristiknya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan dramaturgi oleh Erving Goffman. Informasi penelitian didapatkan
terutama melalui sumber primer dengan observasi dan wawancara. Wawancara
dilakukan kepada 5 informan. Informan dalam penelitian dipilih sesuai
dengan kriteria tertentu yang nantinya kemudia akan menjadi suatu temuan
penelitian.
PEMBAHASAN
Analisis Teori Dramaturgi Media Sosial sebagai Presentasi Diri oleh Remaja.
Media sosial merupakan media yang tercipta akibat perkembangan
teknologi yang paling banyak digandrungi oleh remaja Indonesia. Tiap
tahunnya pengguna media sosial terus bertambah. Media sosial telah menjadi
bagian hidup masyarakat untuk berkomunikasi dan bersosialisasi.
Dramaturgi sangat kental dengan pengaruh drama atau pertunjukan fiksi
diatas panggung, dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia
yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh
tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.
Dramaturgi dengan kata lain adalah panggung sandiwara, dunia adalah
panggungnya sementara insan manusia adalah pelaku sandiwaranya. Dalam
memainkan peranannya manusia pada dasarnya memiliki hak preority untuk
memilih peranan seperti apa yang dia mau tetapi disebabkan berbagai hal
manusia terkadang memerankan tokoh yang lain yang jauh dari pilihannya.
Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial
psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In
Everyday Life. Digali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan
dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita
sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter
orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini adalah
mengacu pada hal yang sama yang hendak ditampilkan. Pertunjukan yang
terjadi dalam masyarakat memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan.
Tujuan dari representasi dari diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton
akan manipulasi. Dramaturgis mempelajari konteks dari perilaku manusia
dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari
perilakunya, Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada
"kesepakatan" perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan
akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi
permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita
sendiri. Manusia menciptakan suatu mekanisme tersendiri, dimana dengan
permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok tertentu.
Dalam hal ini penulis ingin memaparkan hal-hal tersebut sama seperti
yang terjadi di kalangan remaja Indonesia saat ini, dimana remaja
memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk presentasi diri, menjalankan
perannya diatas panggung. Mereka berusaha mengontrol diri dari segi
penampilan, fisik, perilaku aktual ketika mereka menjalankan perannya.
Media sosial seperti twitter melalui profilnya menggambarkan "peran" yang
akan mereka mainkan oleh si pemilik. Didalam profil akun twitter, terdapat
"biografi" atau "bio" yang digunakan untuk menggambarkan informasi mengenai
si pemilik. Biografi sering diisi dengan berbagai kesukaan si pemilik atau
status diri pemilik akun twitter, misalnya saja "jomblo" atau "available",
atau biografi diisi dengan nama pasangan yang menunjukkan bahwa si pemilik
akun twitter sedang menjalani hubungan dengan nama orang yang ada di
biografinya. Biografi juga sering ditulis dengan kata-kata bijak yang
seakan mencerminkan diri si pemilik akun twitter.
Begitu juga dengan akun facebook. Penggambaran di akun facebook
terdapat di bagian "about" facebook yang berisi informasi tentang dirinya.
Informasi di bagian "about" pada akun facebook terdiri dari informasi
tentang kesukaan musik, film, buku, nama instansi kuliah atau kerja, hobi
dll yang lebih banyak dapat dituangkan daripada biografi di akun twitter.
Penggambaran dilakukan dengan menuliskan tentang keadaan fisik dirinya,
sejarah percintaan, kriteria pasangan yang di idam-idamkan dan sebagainya
Penggambaran dari akun twitter tidak hanya dapat dilihat dari
biografinya saja, tetapi juga dapat dilihat dari tweet-tweet yang mereka
tulis di akun twitter, retweet, maupun avatar profilnya. Pemilik akun
berusaha untuk menggambarkan dirinya sebaik mungkin melalui tweet yang
diberikan atau dari avatar profilnya dengan menampilkan foto yang palig
menarik untuk dijadikan tampilan profil twitternya (avatar profil). Hal itu
dilakukan dengan tujuan untuk menampilkan perannya dan orang lain dapat
menerima dirinya dan termanipulasi sesuai dengan peran yang dikehendakinya.
Mereka melakukan ini dengan alasan-alasan tersendiri, mereka memiliki
tujuan dalam menjalankan perannya tersebut. Peran yang mereka jalani
memiliki latar belakang tentunya, keterlibatan mereka sebagai aktor dalam
peran yang mereka buat sendiri. Represntasi diri – Goffman mengatakan
penonton mampu menerima manipulasi.
Tweet atau kicauan mereka di twitter menjadi panggung depan (front
stage) dari diri si pemilik akun. Dan temen-teman atau followersnya di
twitter yang melihat dan berinteraksi adalah penontonnya. Dengan berbagai
tweet (kicauan) si pemilik berusaha mempertahankan peran yang dilakoninya
dalam panggung dan menampilkan sebaik mungkin dirinya di depan penonton
agar mendapatkan kesan dan citra yang baik. Secara kasat mata setiap
individu melakukan perannya seperti realitas kehidupannya.
Ketika individu kembali ke dalam realitas sosial nyata dan bukan
virtual (back stage) dan bukan realitas virtual, maka panggungnya pun
berubah. Tanpa penonton dari followersnya atau pengikutnya di twitter, ia
akan berperan berbeda seperti ketika ada penonton yang melihatnya. Karakter
individu akan kembali menjadi yang sebenarnya ketika berada di kehidupan
nyata. Peranan yang mereka lakukan di twitter sama seperti ketika para
aktor film atau aktor sinetron yang melakoni perannya. Peran antagonis yang
dilakoni sang aktor ketika di film itu akan hanya menjadi perannya di film.
Dia akan memainkan peran yang berbeda di realitas sosial nyata. Begitu juga
dengan individu yang menjadikan media sosial sebagai panggung sandiwara
untuk memainkan peran yang mereka kehendaki.
Dalam penelitian ini, penulis mengambil responden yang berperan
humoris di twitter tetapi dalam kehidupan nyata mereka menjadi sosok
pendiam dan kaku ketika berinteraksi. Hal ini terlihat dari tweet-tweet
yang ditulis di akun twitternya masing-masing. Remaja mempresentasikan diri
sebagai individu yang humoris ketika di twitter (front stage). Dari tweet
yang dikicaukannya terlihat pantun-pantun lucu dan gombalan untuk para
wanita. Dan memang terbukti, mereka mempunyai followers yang banyak. Bagi
individu yang sering berkecimpung di dunia twitter sudah mengetahui bahwa
tidak gampang mencari followers twitter. Mereka dengan menghadirkan tweet-
tweet yang lucu dan menarik membuat para penonton terlihat asik untuk
selalu mengikuti kegiatannya di twitter. Si pemilik akun twitter menulis
tweet dalam satu hari sekitar 15 tweet yang isinya adalah kata-kata humor
dan pantun untuk gombalan. Para followers terhanyut dalam peran yang
diperankan oleh si pemilik akun twitter. Penonton yang melihat aksi mereka
termanipulasi oleh peran yang dimainkan dengan sempurna oleh si pemilik
akun. Bagi followersnya yang melihat peran yang dimainkan tentu berfikir
bahwa si pemilik akun adalah pribadi yang gaul, humoris, keren, dan asik.
Hal itu sah-sah aja apabila penonton menilainya dengan pribadi yang seperti
itu. Nilai-nilai kepribadian yang disematkan oleh penonton ke dirinya
adalah hasil refleksi dari tweet yang dikicaukannya melalui twitter.
Alasan mereka melakoni perannya di twitter adalah bermacam-macam.
Berdasarkan hasil wawancara mereka mengaku karena tuntutan pekerjaan, ada
juga yang memang mengidolakan seorang publik figur sehingga ia mencoba
memainkan peran yang sama seperti figur idolanya tersebut melalui twitter.
Remaja yang mengidolakan publik figur mempresentasikan dirinya dengan
sering menunggah (upload) foto bersama idolanya. Remaja tersebut
mengidolakan seorang vocalis band ternama Indonesia. Foto yang ia dapatkan
adalah ketika band tersebut mengadakan konser di daerah Jakarta dan ia
selalu datang untuk menontonnya dan meminta foto. Menurut pengakuannya,
official band tersebut sudah mengenalnya sebagai fans dari band tersebut.
Kontak seluler official band tersebut pun tersimpan di handphone remaja
tersebut. Terlihat sudah dekat hubungan mereka. Melalui akun twitternya dia
sering berbagi video dan foto bersama vocalis dan bandnya. Di akun
twitternya sering muncul pertanyaan oleh para followersnya terkait jadwal
konser band tersebut.
Dari paparan diatas terlihat bagaimana setiap remaja tersebut
memainkan perannya ketika berada di atas panggung. Peran yang mereka lakoni
mendapat sambutan yang baik oleh penonton sesuai yang dikehendaki oleh sang
aktor.
Hal tersebut terlihat sangat kontras ketika melihat realitas sosial
nyata dari aktor-aktor tersebut. Realitas yang sesungguhnya bertolak
belakang dengan peran yang dimainkan di panggung. Aktor yang berperan
sebagai pribadi humoris, keren, asik di twitter adalah sosok pendiam di
kehidupan nyatanya. Penulis sempat bertanya kepada teman-teman di
lingkungannya, hasil wawancara mengatakan remaja tersebut jarang bermain di
lingkungannya. Kami mengenalnya sebagai sosok yang pendiam, tidak pernah
kami mendengar kata-kata seperti yang dikicaukan di twitter. Sampai-sampai
ada salah satu temannya yang "nyeletuk" mungkin dia pakai buku gombal atau
punya buku tentang humor.
Berdasarkan wawancara dengan orang tua remaja tersebut bahwa orang
tuanya tidak mengetahui bahwa anaknya mempunyai akun twitter. Orang tuanya
mengatakan remaja tersebut memang sosok yang pendiam, jarang bermain
bersama teman-teman di lingkungannya. Dia lebih suka menyendiri dirumah
dengan laptop dan handphone. Kalau diajak bepergian juga dia jarang mau
ikutan. Melihat sosoknya yang pendiam penulis sempat bertanya kepada remaja
tersebut jika salah seorang followers kamu ingin bertemu apakah kamu mau?
Dengan wajah yang kaku dan bingung dia menjawab untuk sekarang belum mau
ketemu. Alasannya adalah takut. Takut terlihat kaku ketika bertemu.
Dari fenomena tersebut terlihat bahwa pemandangan yang kontras antara
front stage dan back stage yang dijalani oleh si remaja. Di atas panggung
remaja tersebut melakoni perannya dengan sangat baik sebagai pribadi
humoris, keren, asik dan gaul. Terbukti dengan followersnya yang mencapai
hampir 5000 followers itu. Penonton menyukai peran yang dimainkan oleh si
remaja, dan remaja berhasil memanipulasi penonton dengan peran yang
dimainkan.
Kesimpulan
Presentasi diri melalui media sosial memberikan kesempatan yang luas
bagi pengguna. Ketidakhadiran elemen-elemen nonverbal dalam komunikasi
melalui media sosial tidak membuat komunikasi berjalan timpang. Akan
tetapi, pengguna mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan diri dengan
cara yang lebih inventif. Pengguna bisa memaksimalkan elemen-elemen
aplikasi di dalam media sosial untuk memanfaatkan strategi-strategi
presentasi diri yang ada.
Media sosial yang ada membuat fase perkenalan dan pertemanan menjadi
semakin dinamis. Begitu pula dengan karakteristik media sosial yang mampu
membuat presentasi diri berjalan semakin dinamis dan kontinu. Disamping
itu, presentasi diri juga bisa dimaknai sebagai upaya revitalisasi atau
eksperimen terhadap identitas pengguna.
DAFTAR PUSTAKA
Bortree, Denise S. (2005). Presentation of Self on the Web: an ethnographic
study of teenage
girls' weblogs. Education, Communication & Information, Vol 5.
No.1, (March 2005): 25-39
Boyer, L., Brunner, B.R., Charles, T., and Coleman, P. (2006). Managing
Impessions in a
virtual environment: Is ethnic diversity a self-presentation
strategy for colleges and universities? Journal of Computer-
mediated communication, 12(1): 1-15
Goffman, Erving. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Garden
City, N.Y.: Doubleday, 1959.
George Ritzer dan Douglas J.Goodman. 2008. Teori Sosiologi dari Teori
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern.
Penerjemah Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Turkle, Sherry. (1997). Construction and Reconstructions of Self in Virtual
Reality: Playing in the MUDs, in culture of internet, ed. Sara
Kiesler. Mahwah, NJ: Erlbaum