UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA SEKOLAH PASCASARJANA
UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP 2017/2018
Mata Kuliah
: Landasan Pedagogik
Program Studi/Jenjang
: Pendidikan Bahasa Indonesia/S2
Hari, Tanggal
: 01 April 2018
Dosen
: Dr. Ocih Setiasih, M.Pd.
Nama Mahasiswa
: Maulinnisaa Tiur R. N.
NIM
: 1706529
Soal-soal 1. Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang otonom, Pedagogik memiliki landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi. Di samping itu Pedagogik juga tidak terlepas dari kontribusi disiplin ilmu pengetahuan lainnya, seperti Psikologi, Sosiologi, Antrofologi Budaya, dan Sejarah.
a. Jelaskan landasan ontologi, landasan epistemologi, serta landasan aksiologi Pedagogik. b. Jelaskan sumbangan dari disiplin ilmu pengetahuan lain (psikologi, sosiologi, antrofologi,
dan sejarah) terhadap Pedagogik, Pedagogik, dengan mengutip teori, konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang tepat dari keempat disiplin ilmu tersebut dijadikan landasan Pedagogik. c. Jelaskan pula pentingnya kajian masa depan ( futurology) futurology) dalam Pedagogik
2. Pedagogik tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia.
a. Kemukakan alasannya! b. Sekaitan dengan pernyataan di atas, jelaskan bahwa manusia adalah sebagai: (a) mahluk pendidikan, (b) dunia manusia adalah dunia terbuka, (c) manusia adalah makhluk yang belum selesai, (d) manusia adalah mahluk yang mampu bereksistensi, dan (e) manusia adalah mahluk religius c. Bagaimana implikasi dari asumsi tentang hakikat manusia sebagaimana dinyatakan di atas dalam kaitannya dengan konsep pendidikan sebagai “humanisasi”?
3. Pendidikan hendaknya berlandaskan pada nilai-nilai agama, artinya pendidikan menjadi sarana agar anak didik semakin mengenal Penciptanya. Penciptanya.
a. Jelaskan bagaimana pendidikan yang mencerminkan keyakinan keyakinan dan ajaran tentang tentang nilai-nilai agama dengan mengemukakan: Tujuan pendidikan, materi kurikulum, proses pembelajaran, serta sistem evaluasi yang digunakan. (saudara dapat mengaitkannya dengan bidang Ilmu Pendidikan Fisika) b. Bagaimana pandangan saudara terhadap multikulturalisme dalam pendidikan?. Jelaskan penerapan pendidikan multikultural dalam pendidikandi pendidikandi Indonesia .
4. Terdapat banyak tokoh pendidikan di Indonesia dan dunia.
a. Jelaskan pemikiran dan konsep utama pendidikan menurut tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro, Moh. Syafei, Al. Gazali dan John Dewey. b. Lakukan perbandingan terhadap pemikiran tokoh-tokoh tersebut dengan mengemukakan kesamaan dan perbedaan konsepnya. (Jelaskan dalam bentuk matrik/baris kolom) c. Jelaskan kontribusi pemikiran tokoh-tokoh pendidikan tersebut bagi Sistem Pendidikan Nasional Indonesia saat ini, sertakan alasannya?
Bismillahirohmanirrohim Jawaban 1. Pada dasarnya sosok pendidikan yang dapat kita kenali dalam kehidupan manusia dapat dibesakan dalam dua macam, yaitu (1) praktek pendidikan dan (2) ilmu pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan. a. Oleh karena itu, ditinjau dari segi sosok atau bentuk tampilan pendidikan, filsafat pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) Filsafat praktek pendidikan dan (2) Filsafat ilmu pendidikan. Filsafat praktek pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi : (1) filsafat proses pendidikan (biasanya (bias anya hanya han ya disebut filsafat pendidikan) dan (2) filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaiman seharusnya kegiatan pendidikan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat proses pendidikan biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu (1) apakah sebenarnya pendidikan itu; (2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya; dan (3) dengan cara apakah tujuan pendidikan dapat dicapai. (Henderson; 1959 : 237) (Mudyahardjo, Redja, Filsafat Ilmu Pendidikan :5).
Seperti yang disebutkan di atas bahwa berbicara mengenai filsafat pendidikan tidak terlepas dari tiga masalah pokok tersebut. Ketiga hal tersebut tidak jauh bedanya dengan arti sebenarnya dari tiga landasan yang menjadi ciri spesifik dari setiap jenis pengetahuan, yaitu apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi). Ketiga landasan ini saling berkaitan, ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. sehingga apabila kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana sebaiknya kita mengembangkan landasan epistemologi yang sesuai bagi suatu ilmu atau permasalahan dalam sebuah ilmu? Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi
pengetahuan
pada
dasarnya
adalah
bagaimana
mendapatkan
pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Demikian juga halnya dengan masalah yang dihadapi epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan membahas suatu ilmu atau permasalahan yang dihadapi ilmu tersebut. (Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 106) Dapat disimpulkan bahwa landasan ontologi adalah menjawab beberapa pertanyaan seperti: a)
Objek apa yang ditelaah ilmu?
b)
Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut?
c)
Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Sedangkan dalam landasan epistermologi adalah menjawab beberapa pertanyaan seperti: a) Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? b) Bagaimana prosedurnya? c) Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? d) Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? e) Apakah kriterianya? f) Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Kemudian yang terakhir adalah landasan aksiologi adalah filsafat pengetahuan menjawab beberapa pertanyaan seperti: a) Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? b) Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? c) Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? d) Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional? (Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 34) b. Konsep-konsep ilmiah pendidikan memperluas khazanah pengetahuan tentang tingkah laku manusia sebagai individu atau pribadi, sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk susila. Hal ini mengandung arti bahwa konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan oleh ilmu pendidikan memberikan sumbangan yang tidak kecil terhadap perkembangan ilmu-ilmu tingkah laku dan atau ilmu-ilmu soial. Secara teoritis, rentang lingkup dan wawasan ilmu-ilmu tingkah laku dan atau ilmu-ilmu sosial diperluas dan diperkaya oleh konsep-konsep ilmiah pendidikan. Masuknya pendidikan sebagai objek penyelidikan. Ilmu-ilmu tingkah laku dan atau ilmu-ilmu sosial
menyebabkan
perubahan-perubahan
yang
berarti
dalam
penyelidikan-
penyelidikan yang dilakukan dalam cabang-cabang ilmu yang menjadi komponenkomponen ilmu tingkah laku dan atau ilmu-ilmu sosial. Dalam setiap cabang ilmu tersebut, pendidikan menjadi salah satu objek penelitiannya. Dengan demikian lahir dan berkembanglah sub-cabang : psikologi pendidikan dan psikologi sosial pendidikan dalam komponen psikologi; antropologi pendidikan dan etnografi pendidikan dalam komponen antropologi; sosiologi pendidikan, ekologi pendidikan dan pendidikan kependudukan dala komponen sosiologi; ekonomi pendidikan dalam kompponen ekonomi, dan sebagainya. (Mudyahardjo, Redja, Filsafat Ilmu Pendidikan :189) Menurut penulis, bahwa sumbangan dari keempat disiplin ilmu terhadap pedagogig yaitu psikologi membantu mempelajari proses mental dan kelakuan manusia, sosiologi yaitu membantu mempelajari struktur organisasi sosial manusia, antropologi membantu mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat (Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 94), dan sejarah membantu mempelajari sesuatu berdasarkan empiris yang ada. c. Pentingnya kajian masa depan ( futurology) dalam Pedagogik.
Dapat kita artikan kajian tentang masa depan atau futurology merupakan sebuah gajian untuk memperkirakan masa depan seperti apa. Bagaimana masa depan terjadi dengan perkembangan global saat ini. Pendidikan sebagai wadah bisa juga alat untuk mencetak generasi muda dalam mempersiapkan masa yang akan datang. Masa di mana anak-anak kita sekarang yang akan menghadapi yang akan terjadi kemudian. Seperti yang dikatakan Buchori dalam Wibowo : 2007 mengemukakan bahwa “pendidikan yang baik selalu bersikap antisipatoris, yaitu mempersiapkan generasi muda untuk jenis kehidupan di masa datang, bukan untuk kehidupan masa kini”. Hal ini merupakan sesuatu yang mutlak bagi peran dan fungsi pendidikan yang bersifat investatif, yakni keuntungan atau manfaatnya dapat dirasakan setelah jangka waktu tertentu dan berkelanjutan sepanjang hidup seseorang. Berkenaan dengan itu sudah seharusnya kebijakan perencanaan dan implementasi program pendidikan benar-benar mempertimbangkan berbagai kemungkinan masa depan yang semakin kompleks, cepat berubah, dan sulit diramalkan melalui kajian futurology. (dikutip
dari
http://novianaputriss.blogspot.co.id/2017/11/kajian-masa-depan-
futurology.html) 2. Pedagogik tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia, a. Maksud pernyataan di atas adalah manusia dalam proses pendidikan adalah inti utama. Ini dapat dipahami dengan mudah, dari kenyataan bahwa pendidikan, terutama berkepentingan mengarahkan manusi kepada tujuan-tujuan tertentu. Seorang pendidik akan terbantu dalam profesinya, jika ia memahami dan memiliki gagasan yang jelas tentang fitrah dasar manusia. Praktek-praktek pendidikan bakal mengalami kegagalan kecuali dibangun atas konsep yang jelas mengenai
fitrah
manusia.
Karena
nyata
hasil-hasil
pendidikan
banyak
dipengaruhi konsep pendidik tentang fitrah manusia, maka dalam yang akan dibahas mengenai analisis fitrah manusia. Dimulai dengan pembahasan manusia dalam konsep khalifah. Manusia, sebagai khalifah Allah, adalah makhluk yang memiliki watak dasar pembawaan (fitrah) yang baik. Konsep Qurani mengenai fitrah baik ini. Akan diilustrasikan dan selanjutnya akan dibandingka dengan beberapa konsep lain yang menganggap manusia bukan lahir dengan pembawaan dasar baik. Harmoni antara fitrah dan kebutuhan-kebutuha ragawi ditegaskan dalam hubungan dengan ruh. Pada akhirnya nanti, kita membahas kehendak
bebas manusia yang memungkinkan dirinya mendapatkan pendidikan. (Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut Al-Quran serta implementasinya : 67) Manusia di dunia ini, menurut Al-Quran memiliki kedudukan istimewa. Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi. Al-Quran menyatakan “Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para malaikat; “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…” (Q.S. Al-Baqarah :30). Di samping itu, di dalam Al-Quran banyak ayat mempergunakan kata Fathir untuk menyebut Dzat Pencipta. Kata-kata Fathir dalam ayat-ayat ini diasosiasikan dengan langit dan bumi. Juga beberapa kali dalam Al-Quran muncul verba fathara. Dalam sebagian ayat-ayat ini, langit dan bumi menjadi obyek kata fathara tersebut. Sedang dalam sebagian yang lain, manusialah yang menjadi obyek kata tersebut. Dari ayat-ayat ini, takada yang dapat dikaitkan dengan sifat fitrah lantaran kata fathara hanya dipergunakan menunjuk arti “menciptakan”. Tetapi dalam salah satu dari ayat-ayat tersebut, muncul kat fitrah berkaitan dengan agama (Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut Al-Quran serta implementasinya : 77) Di dalam buku Umar Tirtarahardja dalam Pengantar Pendidikan, disebutkan bahwa sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu
peserta
didik
untuk
menumbuhkembangkan
potensi-potensi
kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Ibarat biji manga bagaimanapun wujudnya jika ditanam dengan baik, pasti menjadi pohon manga dan bukannya menjadi pohon jambu. Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat tujuan, jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Manusia memiliki ciri khas yang secara prinsipiil berbeda dari hewan. Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu (integrated) dari apa yang disebut sifat hakikat manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidik terhadap sifat hakikat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta memberikan acuan baginya dalam bersikap, menyusun strategi, metode dan teknik, serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi transaksional yang patologis dan berakibat merugikan subjek didik.
Alasan kedua mengapa gambaran yang benar dan jelas tentang manusia itu perlu dimiliki oleh pendidik adalah karena adanya perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini, lebih-lebih pada masa mendatang. Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipiil membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Wujud sifat manusia yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaitu kemampuan menyadari
diri,
kemampuan
bereksistensi,
pemilikan
kata
hati,
moral,
kemampuan bertanggung jawab, rasa kebebasan, kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak, dan kemampuan menghayati kebahagiaan. b. Sekaitan dengan pernyataan di atas, manusia adalah sebagai a) Makhluk pendidikan maksudnya adalah manusia dilahirkan di dunia sebagai makhluk tidak berdaya, pendidikan di mulai pada saat manusia itu sendiri mulai mempelajari bagaimana guna fisik yang ada pada dirinya.
Akan
tetapi
berbicara
mengenai
aplikasinya,
manusia
mendapatkan pendidikan pada saat manusia itu sudah bisa hidup sendiri. Pendidikan pun terbatas, manusia yang sudah beranjak dewasa perlu juga mendapatkan pendidikan untuk memperkuat kehidupan sehari hingga akhir hayatnya. Untuk itu karena hingga akhir hayat, manusia harus terus berpendidikan, manusia membutuhkan pendidikan selalu. Manusia pun yang menyalurkan pendidikan, tidak hanya menerima pendidikan, manusia juga tempat menyalurkan pendidikan itu sendiri. Dari pernyataan di atas, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa manusia merupakan makhluk pendidikan. b) Dunia manusia adalah dunia terbuka adalah yang dimaksud manusia untuk melanjutkan kehidupannya, selalu dihadapkan oelh pilihan-pilihan, untuk itu manusia pun diberikan tanggung jawab setelah menentukan pilihannya tersebut. Dunia manusia adalah dunia yang terbuka, berarti manusia hidup di dunia yang memberikan banyak pilihan untuk mewujudkan
eksistensinya,
mewujudkannya,
untuk
ia
harus
merencanakan
mewujudkannya,
dihadapkan dengan pilihan-pilihan tersebut.
manusia
sesuatu
dan
kembali
lagi
c) Manusia adalah manusia yang belum selesai, maksudnya adalah kaitan dengan pernyataan sebelumnya bahwa dunia manusia adalah dunia yang terbuka, karena manusia selalu dihadapkan banyak rencana, pilihan, dan tanggung jawab dari pilihannya tersebut. Maka dari itu manusia dikatakan manusia yang belum selesai. Hingga akhir hayatnya manusia akan dihadapkan “menciptakan rencana dan mewujudkannya”. Untuk itu lah manusia dikatakan makhluk yang belum selesai. d) Manusia adalah makhluk yang mampu bereksistensi, maksudnya adalah manusia diciptakan memang bukan atas kehendaknya sendiri, bukan juga akan kapasitas sebagai manusia, manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa manusia harus melanjutkan keberadaannya. Keberadaan di sini bukan berarti menciptakan kembali sosok manusia seperti Tuhan Yang Maha
Esa,
akan
tetapi
manusia
harus
merencakan,
berjuang,
mewujudkannya menjadi seperti apa dirinya. Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat dan menjadi. Masalahnya, manusia itu berkesistensi untuk menjadi siapa? Eksistensi manusia tiada lain adalah untuk menjadi manusia. To be a man is to become a man , demikian Karl Jaspers menyatakannya. Itulah tugas diembannya. Jadi hakikatnya, manusia harus menjadi manusia ideal (manusia yang diharapkan, dicita-citakan, atau menjadi manusia yang seharusnya). Dari mana idealisme (keharusan, cita-cita/harapan) itu muncul? Idealisme itu bersumber dari Tuhan yang diketahui melalaui ajaran agama yang diturunkanNya, bersumber dari sesame dan budayanya, bahkan dari diri manusia itu sendiri. Adapun manusia ideal yang dimaksud adalah manusia yang telah mampu mewujudkan berbagai potensiya secara optimal, sehingga beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya, mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya, berkepribadian, bermasyarakat, dan berbudaya. e) Manusia adalah makluk religius, maksudnya adalah manusia diciptakan tidak serta merta di dunia ini, ia dibekali akal, pikiran, dan hawa nafsu. Itu yang menjadikan ia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Selain hakikat manusia sebagai khalifah, manusia pun dijadikan makhluk
berakal, maka dari itu manusia akan menjadi ingin tahu, dari segala hal hingga tercipta dirinya. Dari situlah manusia sebagai makhluk religius muncul, apabila manusia berakal ia akan mencari jati dirinya sebagai makhluk yang tidak serta merta diciptakan di dunia, akan tetapi ada Sesuatu yang menciptakan dirinya. Manusia karena diberikan hawa nafsu, hawa nafsu untuk bersedih dan tidak berdaya. Manusia secara tidak langsung akan mencari pegangan, pun ia sedang hidup berkeluarga apalagi saat hidup sendiri. Manusia akan mencari pegangan itu. Secara manusia berakal ia akan berpegang kepada Yang Menciptakan dirinya, maka
dari
itu
muncul
kepercayaan-kepercayaan
di
bumi
ini.
Kepercayaan-kepercayaan itu yang menjadikan manusia sebagai makhluk religius, ia akan percaya kepada Tuhan sebagai Penciptanya, ia akan mentaati segala aturanNya dan laranganNya, agar diri manusia itu tidak bersedih dan merasa hancur, ia akan memiliki pemikiran, saat ia jatuh akan ada Tuhan Yang Menolongnya, ia juga menjamin dirinya sebagai manusia yang religius, bahwa di masa akan datang kepercayaannya yang akan membantu manusia menjalani kehidupannya. c. Implikasi dari asumsi tentang hakikat manusia sebagaimana dinyatakan di atas dalam kaitannya dengan konsep pendidikan sebagai “humanisasi”. Menurut driyarka dalam mariani (2013) pedagogik adalah humanisasi yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasam menjadi lebih manusiawi. Humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apa bila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Muta’alimin (2009) menyatakan bahwa humanisasi berarti proses membawa dn mengarahkan para peserta didik ke arah pendewasaan diri hingga punya mentalias sangat manusiawi. Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Secara singkat, pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada
perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Pernyataan-pernyataan dari tokoh di atas menyebutkan bahwa manusia menjadikan dirinya manusia, salah satunya dengan proses pendidikan, bagaimana pendidikan membantu manusia menjadi dirinya, mengetahui jati dirinya, untuk apa dia hidup, akan menjadi seperti apa dia di dunia. Pendidikan seperti yang sudah diuraikan di poin-poin sebelumnya bahwa terjadi saat manusia bisa hidup sendiri, bagaimana pendidikan menuntun manusia akan menjadi apa kelak, dengan ilmu yang didapati dari proses pendidikan, manusia menjadi makhluk yang menjadikan dirinya seperti Penciptanya Inginkan.
3. Pendidikan hendaknya berlandaskan pada nilai-nilai agama, artinya pendidikan menjadi sarana agar anak didik semakin mengenal Penciptanya. a. Jelaskan
bagaimana pendidikan yang mencerminkan keyakinan dan ajaran
tentang nilai-nilai agama dengan mengemukakan: Tujuan pendidikan, materi kurikulum, proses pembelajaran, serta sistem evaluasi yang digunakan. (saudara dapat mengaitkannya dengan bidang Ilmu Pendidikan Fisika) Tujuan pendidikan yang mencerminkan keyakinan dan ajaran agama adalah Prinsip kurikulum dalam pendidikan Islam menghendaki adanya keterkaitan antara kurikulum dengan sumber pokok agama Islam, yaitu Al-Quran dan hadis di mana pun dan kapan pun pendidikan itu berlangsung (Arifin dalam Nuryanti, 2008, hlm. 335). 1. Tujuan Pendidikan Khusus dalam konteks sosio-budaya multikultural Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, beriman kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Suci, Maha Luhur dan Maha Kuasa, dan juga beriman kepada Nabi, Al-Quran dan hari akhir, sekurangnya terdapat teori pendidikan islami dan meliputi konsep “tarbiyah, ta’lim, tahdzib, dan ta’dib” (Dahlan dalam Rasyidin, 2016, hlm. 19). a. Tarbiyyah. Kalimattarbiyyah berasal dari kata dasar ‘rabba’ (mengasuh, memelihara atau memimpin). Ia juga merujuk kepada proses perkembangan
potensi individu, mengasuh atau mendidik untuk menuju kepada satu keadaan yang selesai dan matang. b.
Ta’lim.
Kalimat ta’lim berasal dari konotasi ‘alima (mengetahui,memberitahu,
melihat, mencerap, menganggap). Ia merujuk kepada prosesmenyampaikan atau menerima ilmu pengetahuan yang kebiasaannya didapatkan melalui latihan, arahan, tunjuk ajar atau lain-lain bentukpengajaran c.
Ta’dib berasal
dari kalimat aduba (memperhalusi, berdisiplin danberbudaya). Ia
merujuk kepada proses pembinaan watak dan pengajaranasas-asas penting untuk hidup bermasyarakat, termasuk memahamidan menerima prinsip yang paling asas sekali, yaitu keadilan. (Halsted2004; al-Attas 1979 dalam Stapa,Yusuf dan Shaharudin, 2012) d. Tahdzib. Adalah upaya memurnikan, yaitu agar tiap orang/diri pribadi tetap dalam fitrahnya menjadi terdidik dan terus merawat dan membina akhlak termasuk koreksi diri/akhlak masing-masing. Ini berarti bahwa dunia pendidikan pada akhirnya, dan sebelum atau sewaktu melakukan pendidikan, setiap orang juga dituntut mendidik diri sendiri (Rasyidin, 2016, hlm. 23).
Berdasarkan
pemahaman
tentang
diartikulasikan dengan terma tarbiyah,
pendidikan
ta’dib
dan
Islam
ta’lim ,
di
atas,
yang
maka dapat diambil
generalisasi sementara bahwa ketiga terma tersebut memangmengisyaratkan pendidikan. Akan tetapi,apabila dilakukan analisis secara mendalam, paling tidak dapat dikatakan bahwa
ta’dib lebih
banyak bermuatan penanaman nilai, moral dan
akhlak danta’lim lebih mengarah kepada aktivitas doktrinasi ilmu pengetahuan dan keterampilan (Muhajir, 2011, hlm. 248). Sedangkan yang paling relevan dengan ilmu pedagogik ialah tarbiyah, atau pendidikan anak dan keguruan. Dalam konsep tarbiyah diutamakan pendidikan (mendidik) dalam arti mikro meliputi pendidikan dan mendidik anak-anak. Dalam arti luas (makro), ‘pendidikan sebagai tarbiyah juga berlaku sepanjang hayat pada orang tua terhadap anakanaknya yang panjang usia. Maka dari itu, tarbiyah (mendidik) secara mahamakro juga dicontohkan oleh Allah Swt. terhadap semua manusia, jin, bahkan seluruh ciptaan- Nya, yaitu semesta alam (‘alamiin) (Rasyidin, 2016, hlm. 21). Ditinjau dari pendidikan anak (secara teoretis dan filosofis), tujuan umum pendidikan Islam ialah tercapainya wujud kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan tiada akhir, kecuali sampai akhir hayat. Adapun pendidikan
anak secara tarbiyah-pedagogis bertujuan dalam rangka tercapainya kedewasaan dalam arti balagha asyuddun (sebelum anak-anak/remaja mencapai tahap kedewasaan tertentu) sebagai persayaratan utama sebelum dan dalam rangka menjalani kehidupan manusia sejak dewasa kelak sebagai hamba Allah yang beriman yang harus berikhtiar terus demi memenuhi kewajibannya sebagai khalifah (manajer) di muka bumi sepanjang hayatnya (Rasyidin, 2016, hlm. 22).
2. Perspektif Religi Terhadap Kurikulum Pendidikan Secara harfiah, kata "kurikulum" berasal dari bahasa Latin yaitu “a little racecourse” (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan oleh raga), yang kemudian dialihkan ke dalam pengertian pend idikan menjadi “circle of intructurtio”, yaitu suatu lingkungan pengajaran, di mana guru dan murid terlibat di dalamnya (Horne dalam Nuryanti, 2008, hlm. 331). Dalam kamus Lisân al‘Arab, kita menemukan kata “manhaj” (kurikulum) yang bermakna "jalan yang terang", atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai kehidupannya (Al-Misrî dalam Nuryanti, 2008, hlm. 331). Dalam pendidikan, kurikulum dimaksudkan sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan anak didik untuk mengembangkan
pengetahuan
dan
keterampilan
mereka.
Menurut
Nugiyantorodalam Nuryanti (2008, hlm. 331), kurikulum berasal dari bahasa Yunani, “curare” yang berarti berlari. Istilah tersebut erat hubungannya dengan kata curier atau kurir yang berarti penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Menurut istilah, kurikulum adalah suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan tertentu (Darajat, dalam Nuryanti, 2008, hlm. 331). Menurut Jalaluddin & Usmandalam Nuryanti (2008, 331), kurikulum adalah seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai sengan tujuan yang akan dicapai. Nasution dalam Nuryanti (2008, 331) berpendapat bahwa kurikulum bukanlah sekedar memuat sejumlah mata pelajaran , tetapi juga termasuk di dalamnya segala usaha sekolah untuk mencapai yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Sedangkan menurut Al-Damardasi dalam Nuryanti (2008, hlm.331), kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, budaya, olah raga, seni yang
disediakan oleh sekolah bagi murid-muridnya di dalam atau di luar sekolah dengan maksud menolongnya sesuai dengan tujuan pendidikan. Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kurikulumtersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kurikulum tidak hanya memuat sejumlah mata pelajaran di sekolah, tetapi juga mencakup sejumlah pengalaman yang diperoleh, baik di sekolah maupun di luar sekolah seperti halnya di lingkungan masyarakat. Secara umum, kurikulum tersusun dengan berbagai aspek utama yang menjadi cirinya yang meliputi: (1) tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum itu; (2) pengetahuan (knowledge), ilmu-ilmu, data-data, aktivitasaktivitas dan pengalaman-pengalaman yang menjadi sumber terbentuknya kurikulum tersebut; (3) metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti oleh murid untuk mendorong mereka ke arah yang dikehendaki oleh tujuan yang dikehendaki; dan (4) metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil proses pendidikan yang dirancang dalam kurikulum (Jalaluddin & Usman dalam Nuryanti, 2008, hlm. 332). Al-Shaybânî mengatakan bahwa kurikulum pendidikkan Islam seharusnya mempunyai ciri-ciri, yaitu: (1) menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak. Agama dan akhlak seharusnya diambil dari Al-Quran dan hadis serta contohcontoh dari tokoh terdahulu yangsaleh; (2) memperhatikan pengembangan yang menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu jasmani, akal dan rohani; dan (3) memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, akal dan rohani manusia, keseimbangan itu tentulah bersifat relatif karena tidak dapat diukur secara objektif; dan (4) memperhatikan juga seni halus, yaitu ukir, pahat, tulis-indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu juga memperhatikan pendidikan juga pendidikan jasmani, latihan militer, tehnik, keterampilan dan bahasa asing sekalipun semuanya ini diberikan kepada perseorangan secara aktif berdasarkan bakat, minat dan kebutuhan; dan (5) mempertimbangkan perbedaan perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia karena perbedaan tempat dan perbedaan zaman, kurikulum dirancang sesuai dengan kebudayaan (Al-Shaybânî dalam Nuryanti, 2008, hlm. 332). Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa empat aspek utama kurikulum, yaitu (1) tujuan pendidikan, (2) materi yang akan diberikan, (3) metode dan cara mengajarkannya, dan (4) penilaian, dapat dikaitkan dengan filsafat pendidikan Islam sehingga aspekaspek kurikulum tersebut harus mengandung nilai-nilai Islam
yang bersumber dari Alquran dan hadis serta memperhatikan semua sisi kepribadian manusia yaitu jasmani, akal dan rohani dan perbedaan individu tentang bakat dan minat para siswa. Menurut Al-Shaybânî, prinsip-prinsip kurikulum ituialah (1) berorientasi pada Islam, termasuk ajaran dan nilai-nilainya; (2) menyeluruh (universal), baik dalam tujuan maupun kandungannya; (3) berkeseimbangan antara tujuan dan kandungan
kurikulum;
(4)
memiliki
keterkaitan
antara
bakat,
minat,
kemampuankemampuan,dan kebutuhan siswa serta alam sekitar fisik dan sosial di mana para siswa hidup; (5) mengantisipasi perbedaan-perbedaan individu siswa tentang bakat, minat, kemampuan-kemampuan, kebutuhan-kebutuhan, dan masalah-masalahnya; (6) mengantisipasi perkembangan dan perubahan seiring dengan tuntunan yang ada dengan tidak mengabaikan nilai-nilai agama; dan (7) menhubungkan mata pelajaran, pengalaman, dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum dengan kebutuhan anak didik, masyarakat, dan tuntunan zaman tempat anak didik berada. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa (1) kurikulum merupakan cakupan sejumlah mata pelajaran yang harus dilalui pendidik, dan anak didik sesuai dengan tujuannya untuk mencapai tingkat tertentu, yaitu untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka di mana usaha itu dilakukan, baik di dalam maupun di luar kelas; (2) filsafat pendidikan Islam berperan sebagai penentu tujuan umum pendidikan, memberikan arah bagi tercapainya tujuan pendidikan Islam sehingga kurikulum mengandung nilai-nilai yang diyakini kebenarannya; dan (3) kurikulum pendidikan Islam mempunyai ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan kurikulum yang lain, karena asas, materi, dan prinsip kurikulum pendidikan Islam bersumber dari Al-Quran dan hadis. 3. Evaluasi dalam sistem pendidikan Islam Evaluasi berasal dari kata to evaluate yang berarti menilai. Nilai dalam bahasa arab di sebut al qimat. istilah nilai ini mulanya di populerkan oleh para filsuf. dalam hal ini, plato merupakan filsuf yang pertama kali mengemukakannya. Pembahasan ’’nilai’’ secara khusus di perdalam dalam diskursus filsafat, terutama pada aspek oksiologinya (Ramayulis,2008:221). Begitu penting kedudukan nilai dalam filsafat sehingga para filsuf meletakan nilai sebagai muara bagi
epistemologi dan antologi filsafat. Kata nilai menurut filsuf adalah idea of worth (Ramayulis, 2002:331). Evaluasi pendidikan dalam islam dapat diberi batasan sebagai suatu kegiatan untuk
menentukan
kemajuan
sutu
pekerjaan
dalam
proses
pendidikan
islam. (Nizar,2002:77) dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan islam pada peserta didik .sedang dalam ruang lingkup luas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan tingkat kelemahan suatu proses pendidikan islam(dengan seluruh komponen yang terlibat didalam nya) dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan . Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan berbagai keputusan kependidikan, baik yang menyaangkut perencanaan pengelolaan ,prosesdan tindak lanjut pendidikan, baik yang menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan (Depdikbud,1983/1984:1) Menurut Sumadi Suryabrata (1993: 34-48)tujuan evaluasi pendidikan dapat di kelompokan dalam tiga klasifikasi. 1.
Klasifikasi berdasarkan fungsinya ,evaluasi bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan. a.
Psikologis ;evaluasi dipakai sebagai kerangka acuan kearah mana ia harus
bergerak menuju tujuan pendidikan. b.
Didaktik/instruksiona;evaluasi
bertujuan
memotivasi
peserta
didik,
memberikan pertimbangan dalam penentuan bahan pengajaran dan mengajar, serta dalam kerangka mengadakan bimbingan-bimbingan secara khusus kepada peserta didik. c.
Administratif /manajerial;bertujuan untuk pengisian buku rapor;menentukan
indeks Prestasi, pengisian STTB,dan menngenai ketentuan kenaikan peserta didik. 2.
Klasifikasi berdasarkan keputusan pendidikan
Tujuan
evaluasi
dapat
digunakan
individual, institutional,didaktik
untuk
instruksional, dan
mengambil
keputusan
keputusan
– keputusan
penelitian. 3. a.
Klasifikasi formatif dan sumatif Evaluasi formatif diperlukan untuk mendapatkanumpan balik guna untuk
menyempurnakan perbaikan proses belajar mengajar. b.
Evaluasi sumatif berfungsi untuk mengukur keberhasilan seluruh program
pendidikan
yang
dilaksanakan
pada
akhir
pelaksanaan
proses
belajar
mengajar(akhir semster /tahun). Secara umum,ada empat fungsi evaluasi dalam pendidikan islam ; 1)
Dari segi pendidikan ,evaluasi berfungsi untuk membantu seorang pendidik
mengetahui sejauh mana hasil yang dicapaidalam pelaksanaan tugasnya. 2)
Dari segi peserta didik,evaluasi membantu peserta didik untuk dapat
mengubah atau mengubah tingkah laku nya secara sadar kearah yang lebih baik. 3)
Dari segi ahli pemikir pendidikan islam,evaluasi berfumgsi untuk membantu
para pemikir pendidikan islam mengetahui kelemahan teori-teori pendidikan islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah. 4)
Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan islam (pemerintahan
)evaluasi
berfungsi
untuk
membantu
mereka
dalam
membenahi
sistem
pengawasan dan mempertimbangankan kebijakan yang akan diterapkan dalam sistem pendidikan islam. Dari uraian di atas apabila kita kaitkan ke dalam pembelajaran Fisika di sekolah, sebagai contoh dalam pembelajaran proses terjadinya pelangi, di dalam tujuan pembeajaran, siswa dapat memahami teori pembentukan pelangi, tujuan pembelajarannya bahwa siswa di kemudian hari dapat menjelaskan bagaimana proses terjadinya pelangi, dan dapat pula memaknai langsung kejadian fenomena alam tersebut dengan pembelajaran Fisika, terdapat pula rumus-rumus Fisika sebagai proses pembentukan pelangi, dan sistem yang digunakan pengajar
biasanya meminta kepada siswa untuk menyelesaikan soal yang berkaitan dengan pelangi tersebut. Dari persoalan yang sudah dipaparkan, siswa tidak akan mudah serta merta memaknai timbulnya pelangi tanpa kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta seluruh kejadian alam yang ada di bumi. Dengan keyakinan dimiliki siswa yang tidak terlihat tersebut, secara tidak langsung pada saat ia mempelajari materi pembelajaran pelangi tersebut, ia juga memaknai dan memercayai bahwa pelangi timbul dari proses fenomena alam yang masuk akal, namun timbulnya dari kuasa Tuhan. Secara langsung pun, pembelajaran ini menumbuhkan rasa kepercayaan dan keyakinan siswa akan kuasa Tuhan dengan mempelajari satu fenomena alam yang terjadi di bumi. Untuk itu ada baiknya seluruh pembelajaran bahkan tidak hanya pelajaran Fisika, siswa perlu merefleksi diri dibantu guru dalam setiap memulai materi pembelajaran. Sehingga pada saat proses evaluasi pembelajaran pun, siswa lebih mudah menyelesaikannya (selain dari tujuan di atas).
b. Bagaimana pandangan saudara terhadap multikulturalisme dalam pendidikan?. Jelaskan penerapan pendidikan multikultural dalam pendidikan di Indonesia . Sebelum
berbicara
mengenai
penerapan
pendidikan
multicultural
dalam
pendidikan di Indonesia, ada baiknya kita mempelajari apa itu multikultural. Akar
kata
multikulturalisme
adalah
kebudayaan.
Secara
etimologis,
multikulturalusme dibentuk dari kaya multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (akiran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus dipersamakan atau, setidaktidaknya, tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat
manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. (Mahfud Choiru, Pendidikan Multikultural: 75). Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme dimaksud. Karena, dalam tataran ideal, pendidikan seharusnya bisa berperan sebagai ‘juru bicara’ bagi terciptanya fundamen kehidupan multikultural yang terbebas dari kooptasi Negara. Hal itu dapat berlangsung apabila ada perubahan paradigm dalam pendidikan, yakni dimulai dari penyeragaman menuju identitas tunggal, lalu ke arah pengakuan dan penghargaan keragaman identitas dalam kerangka penciptaan harmonisasi kehidupan. Selanjutnya harus diakui bahwa multikultulisme kebangsaan Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh segenap warga masyarakat sebagai sesuatu yang given , takdir Tuhan, dan bukan factor bentukan manusia. Memang, masyarakat telah memahami sepenuhnya bahwa setiap manusia terlahir berbeda, baik secara fisik maupun non fisik, tetapi nalar kolektif masyarakat belum bisa menerima realitas bahwa setiap individu atau kelompok tertentu memiliki sistem keyakinan, budaya, adat, agama, dan tata cara ritual yang berbeda (Mahfud Choiru, Pendidikan Multikultural: 89). Menurut Muahaemin el Ma’hady berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan
multikultural
dapat
didefiniskan
sebagai
pendidikan
tentang
keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global). Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai persektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau dengan lain kata bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atar realitas yang beragam, baik latar belakang maupun basis sosial budaya yang melingkupinya.
Pendidikan
multikultural
merupakan
respon
terhadap
perkembangan
keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntunan persamaan hak bagi setiap kelompok.
Dalam
dimensi
lain,
pendidikan
multikultural
merupakan
pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarahm prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas, pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial, dan agama (Mahfud Choiru, Pendidikan Multikultural: 175-177). . Menurut pandangan saya, pendidikan multikutural berpusat pada rasa peduli, menghargai, dan menghormati dari keanekaragaman. Dilatarbelakangi oleh masa terdahulu misalnya Perang Dunia II dimana terdapat beberapa warga Negara yang berpindah mukim karena dampak perang dunia tersebut. Terciptalah penduduk minoritas dari hal ras, bahasa, dan budaya. Itu pulalah yang terjadi di Indonesia, beragam suku dan bersumber dari beragam provinsi dengan latar belakang geografis Indonesia, menyebabkan banyak penduduk yang mendiami suatu wilayah berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Pendidikan multikultural bisa menjadi media dari pendidikan tersebut, bagaimana siswa sebagai objek juga subjek menghargai dan peduli akan perbedaan yang terjadi di sekelilingnya, terutama di wilayah pendidikan. Diharapkan dengan pendidikan multikultural, siswa maupun warga pendidikan lainnya dapat menjalankan pendidikan dengan baik walau terdapat perbedaan ras, suku, budaya, sosial bahkan dari bidang ekonomi. Pendidikan multikultural di Indonesia menurut saya sudah berjalan sedari masa turunnya presiden Soeharto, bagaimana sistem demokrasi sedang berkembang dan mencuat di Negara ini. Bagaimana kaum minoritas di suatu wilayah dapat berbagi dan menyamaratakan kedudukan dengan andil pendidikan. Hal ini diawali dari terbentuknya kepedulian dalam bidang pendidikan, baru setelah itu berjalan di masyarakat sosial. Bagaimana kebhineka tunggal ika an kita berjalan di struktur maupun sistem pendidikan, bagaimana multikulturalisme ini berjalan di segala bidang di Negara ini. Tentunya konsep pendidikan multikulturalisme ini bisa menjadi hal yang positif bagi keberjalanan sistem diIndonesia, akan tetapi ingat pula bisa menjadi dampak negatif apabila warga
atau siswanya tidak dapat menjalani keberagaman segala aspek seperti yang sudah dijelaskan di atas. 4. Terdapat banyak tokoh pendidikan di Indonesia dan dunia. a. Jelaskan pemikiran dan konsep utama pendidikan menurut tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro, Moh. Syafei, Al. Gazali dan John Dewey. 1) Ki Hajar Dewantara Dengan nama asli R. M. Suwardi Suryaningrat, Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Taman Siswa mulanya bernama “National Ondewwijs Instituut Taman Siswa” di Jogjakarta. Kemudian diubah menjadi Peguruan Kebangsaan Taman Siswa yang mulanya dibuka hanya bagian Taman Anak dan Kursus Guru saja. Banyak rintangan yang dilalui beliau dalam menjalani Taman Siswa, pada tahun 1934-1936, dikeluarkannya larangan mengajar . lebih dari 60 orang guru Taman Siswa menjadi korban dan Taman Siswa ditutup selama setahun. Adapula usaha Ki Hajar Dewantara untuk menentang pajak upah (1935). Pada tahun 1940, guru-guru dibebaskan dari pajak upah. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa Indonesia tidak sesuai dengan pendidikan kolonial, karna tidak didasarkan akan kebutuhan rakyat Indonesia. Pendidikan tersebut hanya berkepentingan untuk pihak koloni saj a. Pendidikan kolonial ini tidak dapat dilenyapkan hanya dengan pergerakan politik saja, akan tetapi harus juga dipentingkan penyebaran benih hidup merdeka di kalangan
rakyat
dengan
jalan
pengajaran
yang
disertai
pendidikan
nasional.Pendidikan nasional di sini dimaksudkan adalah suatu sistem pendidikan baru yang berdasarkan atas kebudayaan kita sendiri dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Selain itu pengajaran harus tersebar di kalangan rakyat, jangan hanya diberikan kepada lapisan yang tertinggi saja. Kekuatan bangsa tidak akan berkembang, jika hanya kaum elite saja yang terpelajar (prinsip demokrasi). 2) Moh. Syafei Pada tahun 1926 Moh. Syafei mendirikan
INS atau Indonesische
Nedherlandsche School di Kayutanam (50 km dari Padang). Bisa kita kenal dengan nama “Perguruan Ruang Pendidik INS”. Keistimewaan sekolah ini
adalah rencana pelajarannya dan metode mengajarnya mendekati rancangan Kerschensteiner dan Dewey, tidak disesuaikan dengan rencana pelajaran pelajaran sekolah kolonial. Sistem
pendidikan
Moh.
Syafei
lebih
mendekati
rancangan
Kerschensteiner dan Dewey, ia berpendapat bahwa anak-anak kita itu perlu belajar bekerja sehingga mereka pandai mempergunakan tangannya di samping menggunakan otakknya. Hendaknya kepada anak-anak itu diajarkan sesuatu pekerjaan yang sesuai dengang kemauannya bagi kehidupannya kelak. Hal
ini
merupakan
suatu
reaksi
terhadap
sekolah
kolonial
yang
mempersiapkan murid untuk menjadi buruh pada kantor-kantor pemerintah atau perusahaan-perusahaan milik asing. Dengan sekolah yang didirikan Moh. Syafei, ia ingin membentuk pemuda-pemuda Indonesia yang berani bertanggungjawab, berani berdiri sendiri, membuka perusahaan sendiri, hidup bebas, dan tidak tergantung dengan orang lain. Sesuai denga K. H. Dewantara, iapun menentang intelektualisme, yang hanya mementingkan pembentukan akal saja. (Djumhur dan Danasuparta dalam Sejarah Pendidikan, 1959, halaman 188). 3) Al Gazali Tujuan pendidikan Al-Ghazali adalah mengarahkan kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanan pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Dengan kata lain pendidikan Al-Ghazali adalah mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla. Al-Ghazali tidak membedakan antara ilmu dan ma’rifah seperti tradisi umum kaum sufi. Memang ia pernah menyebutkan bahwa secara etimologi, ada sedikit perbedaan antara keduannya. Metode pendidikan diklasifikasikan al-ghazali menjadi dua bagian. Pertama, metode khusus pendidikan Agama, metode khusus pendidikan agama ini memiliki orientasi terhadap pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan pendidikan lainnya, karena pendidikan agama menyangkut problematika intuitif dan lebih menitikberatkan kepada pembentukan personality peserta didik. Dengan demikian pendidikan akal yang kohesif pada diri peserta didik selama dalam
proses
pendidikan
akan
dapat
dikendalikan,
sehingga
bukan
hanya
mementingkan rasio, rasa, berpikir sebenar-benarnya tanpa dzikir. Tetapi peserta didik yang memiliki kepribadian yang kamil. Dengan demikian, agama bagi peserta didik menjadi pembimbing akal. Dari sinilah kemudian letak kesempurnaan hidup manusia dalam keseimbangan. Kedua, metode
khusus
pendidikan
Akhlak,
Al-ghazali
mengungkapkan:”Sebagaimana dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkan jalan kepada murid dengan satu macam saja
dari
latihan,
niscaya
membinasakan
hati
mereka.
Akan
tetapi
seyogyanyalah memperhatikan tentang penyakit murid, tentang keadaan umurnya, sifat tubuhnya dan latihan apa yang disanggupimya. Berdasarkan yang demikian itu, dibina latihan”. Dan berikutnya jika guru melihat murid yang sombong, keras kepala dan congkak maka suruhlah ia ke pasaruntuk meminta-minta. Sesungguhnya sifat bangga diri egois tidak akan hancur selain dengan sifat mandiri. Pandangan
Ghozali
tentang
kurikulum
dapat
dipahami
dari
pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelpmpok yaitu : 1) Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia dan di akhirat, misalnya ilmu sihir, nujum dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudarat dan akan meragukan terhadap kebenaran adanya tuhan. Oleh karena itu ilmu ini harus di jauhi. 2) Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Ilmu ini bila dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci, bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah. 3) Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kegoncangan iman dan ilhad (meniadakan Tuhan) seperti filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-ghazali membagi lagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok, ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu. Pertama, Ilmu yang wajib yang diketahui oleh semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah. Kedua,
Ilmu yang
hukummempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik,ilmu pertanian dan industri. 4) John Dewey Dewey mengarang beberapa buku yang bernilai, diantaranya “School and Society” dan “How we think”. Iapun telah mendirikan sebuah sekolah percobaan yang
dipergunakan
untuk
mencoba
metode
pengajarannya
dan
untuk
menghubungkan hasil-hasil studi teoritisnya dengan kegiatan-kegiatan sosial. Ia berpendapat bahwa segala seuatu harus dicoba dalam praktek. Yang tidak menghasilkan harus dibuang. Hal itu dianggapnya tidak berguna. Sekolah itu diselenggarakan secara kecil-kecilan, tapi segera dapat melebarkan sayapnya. Ia merupakan penganut oragmatismem suatu aliran yang berpendapat bahwa nilai pengetahuan manusia harus dicoba (diuji) dalam kehidupan praktis. Apakah pengetahuan itu benar atau palsu, hal itu tergantung aslinya dalam praktek. Segala sesuatu yang berguna, yang menghasilkan, adalah benar. Yang gagal dalam praktek adalah palsu, tidak benar. Proses pendidikan menurut Dewey mempunya dua sisi, osikologis dan sosiologis. Pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak dan yang minta dikembangkan. Hal itu diajarkan oleh psikologis (ahli jiwa). Kedua pendidik haru mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya, Dewey berkata : tenaga-tenaga itu harus “diabdikan” pada kehidupan sosial, jadi mempunyai tujuan sosial. Maka dari itu pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial. Metode yang dipergunakannya dinamakan Dewey metode proyek . Metode ini disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan penghidupan praktis. Metode ini ingin menghubungkan pengetahuan sekolah dengan masalah-masalah penghidupan. Menurutnya bahwa keaktifan anak di sekolah harus bermakna, artinya keaktifan yang disesuaikan dengan pekerjaan yang biasa dilakukan dalam masyarakat. Jadi
di dalamnya harus terdapat unsur kemasyarakatan. Itu selamanya merupakan sebuah pengalaman. b. Lakukan
perbandingan
terhadap
pemikiran
tokoh-tokoh
tersebut
dengan
mengemukakan kesamaan dan perbedaan konsepnya. (Jelaskan dalam bentuk matrik/baris kolom) Tokoh Pedagogik Ki
Hajar
Persamaan
Perbedaan
1. Terdapat persamaan dalam tindakan 1. Sedangkan
Dewantara
pendidikan
Moh. Syafei
pedagogik
Al Gazali
perubahan
John Dewey
pendidikan.
di
keempat
ini,
yaitu
dalam
tokoh
menginkan kemajuan
praktek,
lebih
perbedaan,
kepada
bagaimana
dengan zaman tokoh tersebut
pendidikan siswa
tidak
agama yaitu tokoh Al
Gazali,
pada
tetapi menyalurkan kemampuannya
kecerdasan
dalam
tidak
keahlian
bermasyarakat.
Bagaimana siswa ini di kehidupan
dengan
bermasyarakatnya dapat melakukan
mulia.
segala
yang
dan
tidak
hanya
ada
yang mendasari pada
hanya diasah dalam akademik akan
hal
sesuai
berkembang,
2. Persamaan keempat tokoh kecuali Al Gazali
dalam
karena masanya siswa
diimbangi akhlak Ada
pula
mengandalkan pada kecerdasan otak
dilatarbelakangi oleh
saja, karena tiap anak memiliki
zaman
keunggulan sendiri.
kemudian
penjajahan,
membangkitkan penerus
bangsa
menjadi sosok yang dapat
bekerja,
artinya
dapat
melakukan
sesuatu
untuk
bangsa,
minimal dirinya
untuk sendiri
kemudian hari.
di
c. Jelaskan kontribusi pemikiran tokoh-tokoh pendidikan tersebut bagi Sistem Pendidikan Nasional Indonesia saat ini, sertakan alasannya? Menurut saya, kontribusi tokoh-tokoh tersebut dalam pendidikan nasional di Negara Indonesia saat ini adalah hasil dan produk pendidikan itu sendiri. Bagaimana hasil nya merupakan pendidikan Indonesia yang terdapat sistem keahlian, atau dalam bahasa umumnya sekolah kejuruan, terdapat pula bidang ekstensi yang mengambil jurusan dalam ranah keahlian. Di samping itu pendidikan yang berlandaskan agama terutama agama Islam juga sekarang masih berkembang pesat, tidak kalah dengan sekolah umum yang berlandaskan pendidikan nasional, akan tetapi dapat diimbangi dengan pendidikan agama yang mengingkan terciptanya penerus bangsa yang memajukan Negara dengan berakhlak mulia, tidak hanya cerdas dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tetapi tidak lupa dengan ajaran Sang Pencipta yang menjadikan makhluk-makhluk ini pantas disebut manusia, sebagai khalifah, para pemimpin makhluk hidup lainnya. Mengapa dikatakan demikian, karena dari pemikiran dan kontribusi para tokoh di atas menjadi suntikan dan arahan tersendiri bagi pendidikan di Indonesia, karena aliran (sistem, kurikulum, batasan) pendidikan saat ini yang tercipta merupakan buah hasil dari pendidikan terdahulu yang sudah berjalan. Untuk itu sebagai pendidik ada baiknya terus melakukaan telaah dan capaian yang mempengaruhi positif bagi bangsa di kemudian hari.
Daftar Pustaka Abdullah, Abdur Rahman Shalih. 1991. Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut Al-Quran serta Implementasinya. Bandung : CV Diponegoro. Djumhur & Danasaputra. 1976. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu Ba ndung. Mahfud Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Dasar-Dasar Kependidikan. Bandung: Angkasa. Tirtahardja & Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT Rineka Cipta. http://novianaputriss.blogspot.co.id/2017/11/kajian-masa-depan-futurology.html