BAB II KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS
2.1 Kualitas Audit Terdapat beberapa pengertian audit yang diberikan oleh beberapa ahli di bidang akuntansi, antara lain: Arens dan Loebbeeke (2006:15) : Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the dagree of correspondance between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent independent person. Kemundian menurut Mulyadi (2002:43): Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomis, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan
serta
penyampaian
hasil-hasil
kepada
pemakai
yang
berkepentingan. Berdasarkan pengertian mengenai audit tersebut dapat kita simpulkan bahwasanya audit merupakan proses sistematik yang dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten dalam melakukan pemeriksaan dan memberikan opini terhadap kewajaran dari laporan audit tersebut. Hasil pemeriksaan tersebut haruslah memiliki kualitas yang baik sehingga menunjukan bahwa pelaksanaan pemeriksaan tersebut sudah mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
Tidak mudah untuk menggambarkan untuk menggambarkan dan mengukur suatu kualitas audit yang dihasilkan secara objektif hal ini dikarenakan kualitas audit ini merupakan suatu konsep yang komplek dan sulit untuk dipahami, hal ini yang menyebabkan sering sekali terdapat kesalahan dalam menentukan sifat dan kualitasnya. Suatu kualitas audit dijelaskan sebagai probabilitas atau kemungkinan dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya dengan pengetahuan dan keahlian auditor (De Angelo, 1981 dalam Efendy,2010). Deis dan Giroux (1992) dalam Efendy (2010) melakukan penelitian tentang empat hal yang dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas audit yaitu (1) lama waktu (tenure) auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan, semakin lama seorang auditor telah melakukan audit pada klien yang sama maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin rendah; (2) jumlah klien, semakin banya jumlah klien maka kualitas audit akan semakin baik karena auditor dengan jumlah klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya; (3) kesehatan keuangan klien, semakin sehat kondisi keuangan klien maka akan ada kecenderungan klien tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti standar; dan (4) review oleh pihak ketiga, kualitas audit akan meningkat jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan direview oleh pihak ketiga.
Tidak mudah untuk menggambarkan untuk menggambarkan dan mengukur suatu kualitas audit yang dihasilkan secara objektif hal ini dikarenakan kualitas audit ini merupakan suatu konsep yang komplek dan sulit untuk dipahami, hal ini yang menyebabkan sering sekali terdapat kesalahan dalam menentukan sifat dan kualitasnya. Suatu kualitas audit dijelaskan sebagai probabilitas atau kemungkinan dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya dengan pengetahuan dan keahlian auditor (De Angelo, 1981 dalam Efendy,2010). Deis dan Giroux (1992) dalam Efendy (2010) melakukan penelitian tentang empat hal yang dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas audit yaitu (1) lama waktu (tenure) auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan, semakin lama seorang auditor telah melakukan audit pada klien yang sama maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin rendah; (2) jumlah klien, semakin banya jumlah klien maka kualitas audit akan semakin baik karena auditor dengan jumlah klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya; (3) kesehatan keuangan klien, semakin sehat kondisi keuangan klien maka akan ada kecenderungan klien tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti standar; dan (4) review oleh pihak ketiga, kualitas audit akan meningkat jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan direview oleh pihak ketiga.
Menurut marxen (1990) dalam Efendy (2010), buruknya kualitas audit
disebabkan
oleh
beberapa
perilaku
disfungsional,
yaitu:
Underreporting of time, premature sign off, alternatif/repalcement of audit procedure. procedure. Underreporting of time menyebabkan keputusan personel yang kurang baik, menutupi kebutuhan revisi anggaran, dan menghasilkan time pressure pressure untuk audit dimasa datang yang tidak diketahui. Sama halnya Sosuktisno (2003) dalam haslinda (2010) yang menjelaskan Premature sign-off (PMSO)
merupakan
suatu
keadaan
menunjukan
auditor
menghentikan satu atau beberapa langkah audit yang diperlukan dalam prosedur
audit
tampa
menggantikan
dengan
langkah
yang
lain.
Sedangkan altering/replacing of audit procedure procedure adalah penggantian prosedur audit yang seharusnya telah ditetapkan dalam standar auditing. Kualitas audit adalah kemungkinan auditor menentukan dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien, begitu juga halnya kualitas audit yang ada didalam sektor swasta dijelaskan bahwa kualitas audit yang baik jika pelaksanaan audit yang dilakukan oleh auditor sesuai dengan ketentuan ataupun standar auditing yang telah berlaku, sehingga dapat disimpulkan kualitas audit atau hasil pemeriksaan disini adalah kualitas dari kerja seorang auditor yang ditunjukan dengan laporan hasil pemeriksaan yang dapat diandalkan dan sesuai dengan peraturan yang ada dimana dalam sektor publik sesuai dengan SKPN ataupun peraturan lainnya mengenai audit pemerintahan itu sendiri. Kualitas audit ini juga berhubungan dengan seberapa baik
sebuah pekerjaan diselesaikan dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan, untuk auditor, kualitas kerja dilihat dari kualitas audit yang dihasilkan yang dinilai dari seberapa banyak auditor memberikan respon yang benar dari setiap pekerjaan audit yang diselesaikan (Tan dan Alison dalam
Mardisari,
2007).
Pada
sektor
publik
khususnya
instansi
pemerintahan, kualitas audit diartikan sebagai probabilitas seorang auditor atau pemeriksa dapat menemukan dan melaporkan suatu penyelewengan yang terjadi pada suatu instansi pemerintahan (baik pusat maupun daerah). Probabilitas dari temuan dan penyelewengan tergantung pada kemampuan teknikal pemeriksa dan probabilitas pelaporan kesalahan tergantung pada independensi pemeriksa dan kompetensi pemeriksa tersebut untuk mengungkapkan penyelewengan, dalam meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan itu maka diperlukannya banyak pelatihanpelatihan bagi aparat pemeriksa itu sendiri (Djamil, 2008). Prinsip-prinsip dasar dalam pernyataan standar audit (PSA) No. 1170 menjelaskan, bahwa aparat pengawasan Internal Pemerintahan (APIP) harus mengembangkan program dan mengendalikan kualitas audit, pernyataan ini mensyaratkan program pengembangan kualitas mencakup seluruh aspek kegiatan audit APIP. Program tersebut dirancang untuk mendukung kegiatan audit APIP, memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan operasi organisasi serta memberikan jaminan bahwa kegiatan audit dilingkungan APIP sejalan dengan standar audit dan kode etik.
2.2 Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui
mata
dan
telinga.
Dalam
wikipedia
dijelaskan
pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum dilihat atau dirasakan sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dalam diri seseorang, diantaranya pendidikan, informasi/media massa, sosial budaya dan ekonomi, lingkungan, pengalaman, usia, (Anonimous, 2011). Menurut Ishak (2011: 8) pengetahuan adalah suatu fakta atau kondisi mengetahui sesuatu dengan baik yang didapat lewat pengalaman dan pelatihan. Definisi pengetahuan dalam ruang lingkup audit menurut Sucipto (2007:7) adalah kemampuan penguasaan auditor atau akuntan pemeriksa terhadap medan audit (penganalisaan terhadap laporan keuangan perusahaan). Sedangkan menurut Raharjo (1998) dalam Sucipto
(2007:
7)
pengetahuan
pemeriksaan atau audit adalah:
auditor
yang
berkaitan
dengan
1. Pengetahuan tentang penguasaan teknis dan seluk-beluk kewajiban audit. 2. Pengetahuan jenis-jenis dokumen dalam operasi perusahaan dan alur dokumen dalam operasi perusahaan. 3. Pengetahuan atas
berbagai indikasi
terjadinya
kekeliruan dan
kecurangan dan kemampuan auditor untuk menguasai sisi psikologis. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.Per/05/M.Pan/03/2008 tanggal 31 Maret 2008 menyatakan auditor harus mempunyai pengetahuan, keterampilan dan kompetensi lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Pimpinan aparat pengawas intern pemerintah harus yakin bahwa latar belakang pendidikan dan kompetensi teknis dari aparat pengawas intern pemerintah harus memadai untuk pekerjaan pemeriksaan yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu, pimpinan aparat pengawas intern pemerintah wajib menciptakan kriteria yang memadai tentang pendidikan dan pengalaman dalam mengisi posisi di lingkungan aparat pengawas intern pemerintah. Aparat pengawas intern pemerintah harus mempunyai tingkat pendidikan formal minimal Strata Satu (S-1) atau yang setara. Agar tercipta kinerja audit yang baik maka aparat pengawas intern pemerintah harus mempunyai kriteria tertentu dari pemeriksa (auditor) yang diper lukan untuk merencanakan pemeriksaan (audit), mengidentifikasi kebutuhan profesional pemeriksa (auditor) dan untuk mengembangkan teknik dan
metodologi pemeriksaan (audit) agar sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi unit yang dilayani oleh aparat pengawas intern pemerintah. Sebagaimana
peraturan
yang
Aparatur
Negara
Pendayagunaan
dikeluarkan tentang
Menteri
Standar
Audit
Negara Aparat
Pengawas Intern Pemerintah Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008 yang menyatakan bahwa latar belakang pendidikan pemeriksa bagi Aparat Pengawas Intern Pemerintah harus mempunyai pendidikan formal minimal adalah strata satu atau yang setara. Dengan latar belakang pendidikan sarjana, diharapkan memiliki daya nalar dan logika berfikir yang lebih baik. Pengetahuan teknis harus dimiliki oleh pemeriksa menurut Lubis (2009) dalam Giu (2011: 14) adalah auditing, akuntansi, administrasi pemerintahan dan komunikasi. Disamping wajib memiliki pengetahuan tentang standar audit, metodologi, kebijakan, prosedur dan praktik-praktik audit, pemeriksa harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang lingkungan pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit yang dilayani oleh aparat pengawas intern pemerintah, dalam hal pemeriksa melakukan audit terhadap sistem keuangan, catatan akuntansi dan laporan keuangan, maka pemeriksa wajib mempunyai keahlian atau mendapatkan pelatihan di bidang akuntansi sektor publik dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait dengan akuntabilitas audit. Aparat pengawas intern pemerintah
pada
dasarnya
berfungsi
melakukan
audit di
bidang
pemerintahan, sehingga pemeriksa harus memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Selanjutnya menurut Batubara (2009: 16) auditor (pemeriksa) juga harus memiliki pengetahuan yang memadai di bidang hukum dan pengetahuan lain yang diperlukan untuk mengidentifikasi indikasi adanya kecurangan (fraud ). Pimpinan aparat pengawas intern pemerintah dan auditor (pemeriksa) wajib memiliki keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain dan mampu berkomunikasi secara efektif, terutama dengan objek pemeriksaan (audit). Mereka wajib memiliki kemampuan dalam berkomunikasi secara lisan dan tulisan, sehingga mereka dapat dengan jelas dan efektif menyampaikan hal-hal seperti tujuan kegiatan, kesimpulan, rekomendasi dan lain sebagainya. Secara umum ada 5 (lima) pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor menurut Kusharyanti (2003) dalam Giu (2011: 13) yaitu: (1) Pengetahuan pengauditan umum, (2) Pengetahuan area fungsional, (3) Pengetahuan mengenai isu-isu akuntansi yang paling baru, (4) Pengetahuan mengenai industri khusus, (5) Pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah. Pengetahuan pengauditan umum seperti risiko audit, prosedur audit dan lain-lain kebanyakan diperoleh diperguruan tinggi, sebagian dari pelatihan dan pengalaman. Untuk area fungsional seperti perpajakan dan pengauditan dengan komputer sebagian didapatkan dari pendidikan formal perguruan tinggi, sebagian besar dari pelatihan dan pengalaman. Demikian juga dengan isu akuntansi, auditor biasa mendapatkannya dari pelatihan profesional yang diselenggarakan secara berkelanjutan. Pengetahuan mengenai industri
khusus dan hal-hal umum kebanyakan diperoleh dari pelatihan dan pengalaman. Adapun
faktor-faktor
yang
diperkirakan
mempengaruhi
perkembangan pengetahuan akuntan pemeriksa menurut Sularso dan Na’im (1999) dalam Sucipto (2007: 8) antara lain: 1. Pengalaman audit, 2. Diskusi mengenai audit dengan rekan sekerja, 3. Pengawasan
dan
review pekerjaan
oleh
akuntan
pemeriksa
pengawas, 4. Program pelatihan, 5. Tindak lanjut perencanaan audit, dan 6. Penggunaan pedoman audit. Di samping faktor-faktor tersebut, menurut Libby dan Luft (1993) yang dikutip oleh Thomas, Davis dan Seaman (1998) dalam Sucipto (2007: 8), partisipasi dalam Continuing Professional Education (CPE) atau pendidikan profesi berkelanjutan (PPL) juga dapat meningkatkan tingkat pengetahuan seorang auditor dalam menjalankan tugas pengauditannya. Dalam penelitian tersebut ternyata Continuing Professional Education (CPE) atau pendidikan profesi berkelanjutan (PPL) ternyata terbukti dapat meningkatkan pengetahuan seorang auditor yang kemudian berdampak pada keahlian dan performance audit tersebut. Dalam penelitian ini pengetahuan diukur melalui beberapa indikator yaitu pengetahuan
akuntansi
dan
auditing,
pengetahuan
standar
pemeriksaan,
dan
pengetahuan yang diperoleh dari jenjang pendidikan. Bonner dan Lewis (1990) dalam Herawaty dan Susanto (2009) mengungkapkan bahwa pengetahuan akuntan publik bisa diperoleh dari berbagai pelatihan formal maupun dari pengalaman khusus, berupa kegiatan seminar, lokakarya serta pengarahan dari auditor senior kepada auditor yuniornya. Pengetahuan juga bisa diperoleh dari f rekuensi seorang akuntan publik melakukan pekerjaan dalam proses audit laporan keuangan. Selanjutnya, Herawati dan Susanto (2009) menyatakan bahwa seseorang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya akan memberikan hasil yang lebih baik daripada mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai akan tugasnya. Mereka juga menambahkan bahwa seorang akuntan publik yang memiliki banyak pengetahuan tentang kekeliruan akan lebih ahli dalam melaksanakan tugasnya terutama yang berhubungan dengan pengungkapan kekeliruan. Dalam penelitian ini pengetahuan diproksikan pada tiga dimensi yaitu pengetahuan akuntansi dan auditing, pengetahuan standar pemeriksaan dan pengetahuan yang diperoleh dari jenjang pendidikan. 1) Pengetahuan Akuntansi dan Auditing Pengetahuan sangat penting untuk dimiliki oleh semua aparat pengawas intern pemerintah terlebih diantaranya pengetahuan di bidang akuntansi
dan
auditing.
Pengetahuan
akuntansi
dan
auditing
ini
merupakan dasar penting yang mutlak dimiliki oleh aparat pengawas intern pemerintah sebagai pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan. Menurut Arens dan Loebbecke (1997: 3) akuntansi adalah proses pencatatan,
pengelompokan
dan
pengikhtisaran
kejadian-kejadian
ekonomi dalam bentuk yang teratur dan logis dengan tujuan menyajikan informasi keuangan yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan. Fungsi akuntansi bagi badan usaha dan masyarakat adalah menyajikan informasi kuantitatif tertentu yang dapat digunakan oleh pimpinan entitas ekonomi maupun pihak lainnya untuk mengambil keputusan. Agar penyajian tepat, seorang akuntan harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai prinsip-prinsip dan aturan-aturan dalam penyusunan informasi akuntansi. Sedangkan auditing menurut Arens dan Loebbecke (1997: 1), adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten. Selanjutnya Agoes (2004: 3) mendefinisikan auditing sebagai suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatancatatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk
dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Dalam auditing, data akuntansi yang menjadi pokok adalah menentukan apakah informasi yang tercatat telah mencerminkan dengan benar kejadian ekonomi pada periode akuntansi. Oleh karena kriterianya adalah aturan-aturan akuntansi, maka seorang auditor harus memahami aturan-aturan dimaksud dengan baik. Dalam audit laporan keuangan, aturan-aturan yang dimaksud adalah prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Di samping pemahaman mengenai akuntansi, auditor juga harus memiliki keahlian dalam mengumpulkan dan menafsirkan bahan bukti audit. Pengetahuan akuntansi dan auditing yang dimiliki seorang aparat pengawas intern pemerintah minimal harus mengetahui pemahaman akuntansi dan auditing yang baik, pemahaman dalam bidang auditing, pengetahuan praktik akuntansi serta pengetahuan praktik auditing. Dalam penelitian ini pengetahuan akuntansi dan auditing diukur dengan menggunakan indikator yang digunakan Ishak (2011) yaitu pemahaman tentang
akuntansi
dan
auditing,
pemahaman
di
bidang auditing,
pengetahuan dan pengalaman praktik akuntansi, dan pengetahuan dan pengalaman praktik auditing.
2) Pengetahuan Standar Pemeriksaan Menurut PSA No. 01 (SA Seksi 150) dalam Agoes (2004: 30) standar auditing berbeda dengan prosedur auditing. Prosedur berkaitan dengan tindakan yang harus dilaksanakan, sedangkan standar berkenaan dengan kriteria atau ukuran mutu kinerja tindakan tersebut dan berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan prosedur tersebut. Jadi, berlainan dengan prosedur auditing, standar auditing mencakup mutu professional ( professional qualities) auditor independen dan pertimbangan ( judgement ) yang digunakan dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporan audit. Standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) terdiri dari sepuluh standar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu: a. Standar Umum 1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. 2. Dalam
semua
hal
yang
berhubungan
dengan
perikatan,
independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. 3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
b. Standar Pekerjaan Lapangan 1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. 2. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. 3. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. c. Standar Pelaporan 1. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. 2. Laporan auditor harus menunjukkan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. 3. Pengungkapan
informatif
dalam
laporan
keuangan
harus
dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor. 4. Laporan auditor
harus memuat
suatu pernyataan
pendapat
mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan.
Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk
yang
jelas
mengenai
sifat
pekerjaan
audit
yang
dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor, (IAI, 2001: 150.1 dan 150.2 dalam Agoes 2004: 3031). Dalam melakukan pemeriksaan auditor harus mengetahui dan memahami standar pemeriksaan agar dapat menghasilkan audit yang berkualitas. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan bahwa audit yang dilakukan auditor dikatakan berkualitas jika memenuhi standar auditing dan standar pengendalian mutu. Dalam penelitian ini pengetahuan standar pemeriksaan yang diperlukan diukur dengan menggunakan beberapa indikator yaitu keahlian dan pelatihan teknis yang memadai, independensi dalam sikap mental, penggunaan kemahiran professional dengan cermat dan seksama, rencana pemeriksaan, telaah terhadap sistem pengendalian intern, pengumpulan bukti kompeten yang cukup, pernyataan tentang kesesuaian laporan keuangan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, pernyataan mengenai ketidakkonsistenan penerapan prinsip yang berlaku umum.
3) Pengetahuan Yang Diperoleh Dari Jenjang Pendidikan Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008 tanggal 31 Maret tentang standar audit Aparat Pengawas Intern Pemerintah latar belakang pendidikan pemeriksa adalah auditor APIP harus mempunyai pendidikan formal minimal adalah Strata Satu (S-1) atau yang setara. Untuk itu diperlukan teknik dan metodologi pemeriksaan melalui pelatihan dan pelatihan yang diperlukan harus dievaluasi secara periodik. Dalam standar umum pertama menegaskan bahwa betapapun tingginya kemampuan seseorang dalam bidang-bidang lain, termasuk dalam bidang bisnis dan keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang dimaksudkan dalam standar umum pertama, jika tidak memiliki pendidikan
serta
pengalaman
memadai
dalam
bidang
auditing.
Pendidikan formal auditor independen dan pengalaman profesionalnya saling melengkapi satu sama lain. Pendidikan formal diperoleh melalui perguruan tinggi, yaitu fakultas ekonomi jurusan akuntansi negeri (PTN) atau swasta (PTS) ditambah ujian UNA Dasar dan UNA Profesi. Karena untuk menjadi seorang Partner KAP, yang berhak menandatangani audit report seseorang harus mempunyai nomor register negara akuntan (registered accountant ) dan mulai tahun 1998 harus mempunyai predikat Bersertifikat Akuntan Publik (BAP). Di bawah jenjang partner, ada audit manager, supervisor, senior, asisten yang tidak harus seorang akuntan beregister (registered
accountant ) namun harus pernah mempelajari akuntansi, perpajakan dan auditing. Selain itu seorang auditor harus mengikuti pendidikan berprofesi berkelanjutan (continuing professional education) baik yang diadakan di KAP sendiri, oleh IAI atau di seminar dan lokakarya. Dalam setahun seorang Partner KAP harus mengumpulkan antara 30-40 SKP. Seorang auditor harus selalu mengikuti perkembangan-perkembangan yang berkaitan
dengan
profesinya
dan
peraturan-peraturan
pemerintah
termasuk perpajakan, (Agoes, 2004: 32). 2.3 Indepedensi Independensi merupakan standar umum nomor dua dari tiga standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang menyatakan bahwa dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. Keberadaan akuntan publik sebagai suatu profesi tidak dapat dipisahkan dari karakteristik independensinya. Akuntan publik selalu dianggap orang yang harus independen. Tanpa adanya independensi, akuntan public tidak berarti apa-apa. Masyarakat tidak percaya akan hasil auditan akuntan public sehingga masyarakat tidak akan meminta jasa pengauditan dari akuntan publik. Masyarakat akan meminta pihak lain yang dianggap independen untuk menggantikan fungsi akuntan publik. Atau dengan kata lain, keberadaan akuntan publik ditentukan oleh independensinya. Keeratan hubungan akuntan publik dengan independensi ini dapat ditinjau dari
posisi penting kata independensi dalam berbagai literatur pengauditan. Dalam beberapa definisi pengauditan yang dikemukakan oleh pakar pengauditan terkandung makna independensi, baik secara tersurat maupun tersirat. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dengan Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah pada Standar Umum Kedua (PSA APIP No.2100) menyatakan bahwa dalam semua hal yang berkaitan dengan audit APIP harus independensi dan para auditornya harus obyektif dalam pelaksanaan tugasnya, dalam standar ini menyatakan bahwa independensi APIP serta objektivitas auditor diperlukan agar kredibilitas hasil pekerjaan APIP meningkat. Penilaian independensi dan objektivitas mencakup dua komponen berikut, yaitu: 1. Status APIP dalam organisasi, dan 2. Kebijakan untuk menjaga objektivitas auditor terhadap objek audit, Sedangkan menurut Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2007, bahwa standar umum kedua dari Standar Pemeriksa Keuangan Negara, menyatakan dalam semua hal yang berkaintan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya. Pernyataan standar umum
kedua ini menyatakan,
organisasi pemeriksa dan para pemeriksanya bertanggungjawab utuk dapat mempertahankan independensinya sedemikian rupa, sehingga
pendapat,
simpulan,
pertimbangan
atau
rekomendasi
dari
hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak memihak kepada pihak manapun. Definisi independensi dalam the CPA Handbook menurut E.B Wilcox yang dijelaskan dalam Mayangsari (2003) adalah suatu standar auditing yang penting karena opini akuntan independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen, jika akuntan tersebut tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun. Kode Etik Akuntan tahun 1994 menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam pelaksanaan tugasnya, yang bertentangan dengan prisnsip integritas dan objektifitas. Penelitian yang dialakukan oleh Lavin (1976) dijelaskan dalam Renaldo (2010), dalam Elvira (28: 2012) menunjukan bahwa pembuatan pembukuan perusahaan atau pelaksanaan fungsi pengolahan data oleh auditor tidak akan berpengaruh terhadap teknik-teknik yang digunakan auditor untuk mengaudit, selain itu penggunaan komputer klien untuk hubungan bisnis dianggap juga tidak merusak independensi auditor. Kata
independensi
merupakan
terjemahan
dari
kata
“independence” yang berasal dari bahasa inggris, dalam kamus Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Corrent English terdapat dari kata “independence” yang artinya “dalam keadaan independen”. Adapun entri kata “independence” bermakna “tidak tergantung atau dikendalikan oleh
orang lain atau benda, tidak mendasarkan diri pada orang lain, bertindak atau berfikir sesuai dengan kehendak hati, bebas dari pengendalian orang lain”. Makna independensi dalam pengertian umum ini tidak jauh berbeda dengna makna independensi yang dipergunakan secara khusus dalam literatur pengauditan (Hutami, 2010) dalam Elvira (28: 2012). Arens,
et
al .
(2000)
mendefinisikan
independensi
dalam
pengauditan sebagai penggunaan cara pandang yang tidak biasa dalam pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit. Sedangkan Mulyadi (1992) dalam Elvira (29:2012) menjelaskan independensi sebagai “keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak, tidak tergantung pada orang lain” dan akuntan publik yang independen haruslah akuntan publik yang tidak terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang barasal dari luar dari akuntan dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam pemeriksaan (Hutami,2010). Menurut Messier, et al . (2005) dalam Efendy (2010), independensi merupakan suatu istilah yang sering digunakan oleh profesi auditor. Independensi menghindarkan hubungan yang mungkin mengganggu objektifitas auditor. BPKP (1998) mengertikan objektifitas sebagai bebasnya seseorang dari pengaruh pandangan subyektif pihak-pihak lain yang berkepentingan sehingga dapat mengemukakan pendapat apa adanya.
Dalam buku Standar Profesi Akuntan Publik 1999 seksi 220 PSA No. 04 alinea 2, dijelaskan bahwa: “Independensi itu berarti tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum(dibedakan dalam hal berpraktik sebagai auditor intern). Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun, sebab bilamana tidak demikian halnya, bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis yang ia miliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak yang
justru
paling
penting
untuk
mempertahankan
kebebasan
pendapatnya.” Menurut
Taylor
(1997),
dalam
Susiana
(2007)
ada
dua
aspek
independensi, yaitu: 1. Independensi sikap mental. Independensi sikap mental ditentukan oleh pikiran akuntan publik untuk bertindak dan bersikap independen. 2. Independensi Penampilan. Independensi penampilan ditentukan oleh kesan masyarakat terhadap independensi akuntan publik. Selain independensi sikap mental dan independensi penampilan, Mautz (1961) dalam Trisnaningsih (2007) mengemukakan bahwa independensi ( practitioner
akuntan
publik
independence)
juga
dan
meliputi
independensi
independensi
profesi
praktisi
( profession
independence). Independensi praktisi berhubungan dengan kemampuan praktisi secara individual untuk mempertahankan sikap yang wajar atau tidak memihak dalam perencanaan program, pelaksanaan pekerjaan verifikasi, dan penyusunan laporan hasil pemeriksaan. Independensi ini
mencakup tiga dimensi, yaitu independensi penyusunan program, independensi investigatif, dan independensi pelaporan. Independensi profesi berhubungan dengan kesan masyarakat terhadap profesi akuntan publik. Dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa setiap anggota harus mempertahankan integritas, objektivitas dan independensi dalam melaksanakan tugasnya. Seorang auditor yang mempertahankan integritas, akan bertindak jujur dan tegas dalam mempertimbangkan fakta, terlepas dari kepentingan pribadi. Auditor yang mempertahankan objektivitas, akan bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan dan permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadinya. Auditor yang menegakkan independensinya, tidak akan terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri auditor
dalam
mempertimbangkan
fakta
yang
dijumpainya
dalam
pemeriksaan. Di samping itu dengan adanya kode etik, masyarakat akan dapat menilai sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya. 1.4 Standar Umum Profesional Internal Auditor Standar Audit Aparat Pengawasa Internal Pemerintah (SA-APIP) merupakan Standar Audit Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah yang disusun oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Standar ini meluputi standar-standar yang terkait dengan karakteristik organisasi dan para individu yang melakukan pengawasan
audit kinerja dan audit investigatif. Sistematika standar umum dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut: a) Visi, Misi Tujuan, kewenangan dan Tanggung Jawab APIP Setiap APIP terntunya harus memiliki visi, misi dan tujuan yang searah dengan visi, misi, dan tujuan pemerintah serta instansi induknya. Kemudian kewenangan dan tanggung jawab APIP harus diberdayakan secara optimal agar APIP dapat melaksanakan tugasnya secara independen dan objektif. Visi pengawasan intern pemerintah adalah terwujudnya Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang profesional dan mampu mendorong penerapan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik. Misi Pengawasan Intern Pemerintah adalah melaksanakan pengawasan intern berdasarkan kode etik dan standar pengawasan yang diakui bersama dalam rangka memberikan jaminan bagi terwujudnya penyelenggaraan pemerintah yang efektif, efisien, dan taat terhadap peraturan perundang-undangan serta terlindungnya kekayaan negara dari setiap upaya penyimpangan (Ulum ,2009). Tujuan penyusunan Kebijakan Pengawasan Nasional APIP tahun 2006 adalah: a. Menetapkan arah Kebijakan Pengawasan Intern Pemerintah dalam Tahun 2006
b. Meningkatkan
efektivitas
dan
efisiensi
pengawasan
intern
pemerintah melalui sinergi pengawasan fungsional yang dilakukkan melalui APIP. c. Menjadi dasar penyusunan Kebijakan Pengawasan Tahunan dan Program Kerja Pengawasan Tahunan masing-masing APIP. b) Independensi dan Objektifitas Dalam semua hal yang berkaitan dengan audit, APIP harus independen dan para auditornya harus objektif dalam pelaksanaan tugasnya. Keindependensian dan obyektivitas tersebut dapat dicapai melalui status APIP dalam organisasi dan penciptaan kebijakan untuk menjaga obyektivitas auditor terhadap auditee. Independensi pada dasarnya merupakan state of mind atau sesuatu yang dirasakan oleh masing-masing menurut apa yang diyakini sedang berlangsung. c) Keahlian Auditor harus mempunyai pengetahuan, keterampilan dan kompetensi
lainnya
yang
diperlukan
untuk
melaksanakan
tanggungjawabnya. Agar tercipta kinerja audit yang baik, maka APIP harus memiliki kriteria tertentu dari setiap auditor yang diperlukan untuk merancanakan audit, mengidentifikasi kebutuhan
profesional
auditor dan untuk mengembangkan teknik dan metodologi audit. d) Kecermatan Profesional Auditor harus menggunakan keahlian profesionalnya dengan cermat dan seksama (due professional care) dan secara hati-hati
(prudent) dalam setiap penugasan. Penggunaan keahlian secara cermat dan seksama (due profesional care) mewajibkan auditor untuk melaksanakan tugasnya secara serius, teliti, dan menggunakan seluruh kemampuan dengan pertimbangan profesionalnya dalam melaksanakan tugas audit. e) Kepatuhan terhadap kode etik Auditor harus mematuhi kode etik yang ditetapkan. Auditor tidak saja harus menggunakan seluruh kemampuan dan kecermatannya tetapi juga dituntut untuk mematuhi kode etik yang ditetapkan, dengan demikian kompetensi dan etika harus dipenuhi secara kebersamaan untuk memperoleh hasil audit yang bisa dipertanggungjawabkan. 2.5 Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) Aparat
Pengawas
Intern
Pemerintah
(APIP)
atau
Pejabat
Fungsional Auditor (PFA) adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pengawasan pada instansi pemerintah. Jabatan Fungsional Auditor (JFA) merupakan jabatan fungsional yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang PNS dalam suatu satuan organisasi pengawasan instansi pemerintah/Aparat Pengawasan Instansi Pemerintah (APIP) yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. Jabatan Fungsional Auditor (JFA) dibentuk dengan
tujuan
untuk
menjamin
pembinaan
profesi
dan
karier,
kepangkatan dan jabatan bagi PNS yang melaksanakan pengawasan pada instansi pemerintah dalam rangka mendukung peningkatan kinerja instansi pemerintah, (Inspektorat Jenderal Kementrian Pertanian RI, 2009). Aparat
pengawas
intern
pemerintah
yang
terdapat
dalam
lingkungan BPKP, inspektorat jenderal departemen, unit pengawasan LPND, dan inspektorat provinsi, kabupaten, dan kota dalam menjalankan tugas auditnya wajib menaati kode etik yang berkaitan dengan statusnya sebagai pegawai negeri dan standar audit sebagaimana diatur dalam peraturan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
No.Per/04/M.PAN/03/2008 dan No.Per/05/M.PAN/03/2008 tanggal 31 Maret 2008 oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Kode etik aparat pengawas intern pemerintah ditetapkan oleh peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/04/M.PAN/03/2008 tanggal 31 Maret 2008 dilandasi oleh ketentuan hukum sebagai berikut: 1. Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. 2. Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara. 3. Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara.
4. Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 5. Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang rencana pembangunan jangka menengah. 6. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 tentang kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja Kementerian Negara RI sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006. 7. Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan
pemberantasan korupsi. 8. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/03.1/M.PAN/03/2007 tentang kebijakan pengawasan nasional aparat pengawasan intern pemerintah tahun 2007-2009. Agar tercipta kinerja audit yang baik maka aparat pengawas intern pemerintah harus mempunyai tingkat pendidikan formal minimal strata satu (S-1) atau yang setara. Selain itu, harus mempunyai kriteria tertentu yang
diperlukan
untuk
pengembangan
pemeriksaan, sebagaimana peraturan
teknik
dan
metodologi
yang telah dikeluarkan oleh
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tentang standar audit aparat pengawas
intern
pemerintah
nomor:
PER/05/M.PAN/03/2008
yang
menyatakan bahwa latar belakang pemeriksa bagi aparat pengawas int ern pemerintah harus mempunyai pendidikan formal minimal adalah strata
satu atau yang setara. Dengan latar belakang pendidikan sarjana diharapkan memiliki daya nalar dan logika berpikir yang lebih baik. 2.6 Pengertian Inspektorat Daerah Sejalan dengan UU No. 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah dijelaskan pada pasal 2 ayat 11 bahwa unsur pengawasan daerah adalah badan pengawasan daerah yang selajutnya disebut Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten, dan Inspektorat Kota. Hal ini sejalan dengan UU No.32 tentang pemerintah daerah paragraf 9 mengenai pertanggung jawaban pelaksanaan APBD; maka dalam Pasal 184 ayat (1) disebutkan bahwa Kepala Daerah menyampaikan rancangan perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Namun demikian, dalam rangka pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah, maka akan senantiasa diadakan kegiatan pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Pengawasan sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan pasal 222 UU tentang pemerintah daerah maka telah diatur bahwa: 1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.
2. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Sebagaimana dimaksud untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh gubernur. 3. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa dikoordinasikan oleh bupati/walikota. 4. Bupati dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan seibagaimana dimaksud dapat melimpahkannya kepada camat. Atas dasar ketentuan diataslah maka aparat pengawasan intern pemerintah disuatu daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) dilakukan oleh badan pengawasan daerah (BAWASDA) dulunya tapi dengan adanya peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 sehingga nama BAWASDA berganti dengan Inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah masing-masing.
2.7 Kerangka Pemikiran
Pengetahuan
Kualitas Audit
Independensi
Gambar 1: Kerangka Berpikir Sumber: Data Olahan 2013
Mengamati kerangka pemikiran di atas maka dapat diambil gambaran bahwa terdapat dua variabel independen (X 1, X2) dan satu variabel
dependen
(Y)
dimana
variabel
independen
adalah
X 1,
menunjukkan pengetahuan, variabel X2 menunjukkan pengalaman, sedangkan Y menunjukkan kualitas audit. Ketiga variabel tersebut mempunyai hubungan causal atau sebab akibat. Variabel independen secara bersama-sama atau serempak mempengaruhi variabel dependen, sedangkan secara parsial variabel X 1 mempengaruhi Y dan variabel X2 mempengaruhi Y.