A. SISTEM KEPERCAYAAN RELIGI MANDAILING
BAHASA Mandailing adalah suatu masyarakat hukum adat yang merupakan wadah kemasyarakatan atau suku yang mendiami wilayah Mandailing. Orang Mandailing atau disebut juga suku Mandailing adalah orang yang berasal atau secara turun temurun berasal dari daerah Mandailing, terlepas dia berada di wilayah Mandailing atapun di perantauan. Falsafah yang terkenal dari Mandailing yaitu “Hombar do Adat dohot Ibadat” yang artinya Adat dan Ibadah tidak dapat dipisahkan (maknanya: Adat tidak boleh bertentangan dengan Agama Islam). Adapun Bahasa yang digunakan oleh suku Mandailing adalah seperti Bahasa Andung, Bahasa Adat, Bahasa Parkapur, Bahasa na Biaso, dan Bahasa Bura adalah bahasa yang dipergunakan sebagai bahasa ibu di Mandailing. KESENIAN Adapun Kesenian dari adat suku Mandailing berupa seni tari tor-tor (bersifat magis) tari serampang dua belas ( bersifat hiburan). Dan adapun alat musik tradisional suku mandailing berupa Gordang Sambilan yang merupakan salah satu warisan budaya bangsa Mandailing dan tidak ada duanya dalam budaya etnis lainnya di Indonesia. dan Malaysia. Gordang Sambilan diakui oleh ahli/pakar etnomusikologi sebagai satu ensembel muzik yang teristimewa di dunia. Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu,Gordang Sambilan merupakan musik adat sakral (kudus) yang terpenting. Gordang Sambilan dipandang sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium atau shaman yang di namakan Sibaso.
B. SISTEM EKONOMI MANDAILING
Dahulu, sebagian besar orang Batak hidup dari bercocok tanam pada sawah-sawah, tegalan dan huma (ladang). Yang ditanam adalah padi, palawija, sayuran dan buah-buahan. Padi hanya dapat panen sekali dalam setahun, karena irigasinya belum teratur dan kontinyu. Dalam peladangan orang masih sering membuka hutan dan membakar sisa-sisa kayu dan rantingnya. Sebagian juga ada yang menanam kopi.
Pada sistem peladangan, huta (kuta)-lah yang memegang hak ulayat tanah dan hanya warga huta atau kuta itu yang berhak memekai tanah terse but, tetapi tidak berhak menjualnya tanpa persetujuan huta.
Golongan para pendiri kuta disebut merga taneh. Mereka memiliki tanah yang paling luas, sedangkan golongan lainnya hanya memiliki tanah sekedar cukup untuk hidup. Cara pengerjaannya masih tradisional, begitu pula alat-alatnya (bajak, cangkul, garu dan tongkat tugal).
Di sepanjang tepi danau Toba banyak penduduk yang mencari ikan menopang hidupnya, dengan peralatan yang sederhana pula.
Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam yang disebut raron (Karo) atau marsiurupan (Toba). Peternakan juga dilakukan, tetapi hanya bersifat sambilan saja. Jenis ternaknya : kerbau, sapi, kuda, kambing dan ternak unggas. Orang Batak banyak yang merantau ke luar daerah, terutama Jawa.
C. SISTEM KEKERABATAN SUKU MANDAILING
Berdasarkan hubungan kekeluargaan yang bersifat genealogis dikenal pula tiga jenis sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan yaitu: 1.
Berdasarkan garis keturunan kebapakan (Patrilineal) dimana secara turun temurun bahwa turunan dari pihak bapak menjadi satu kelompok (clan), di mandailing disebut dengan marga (marga bapak).
2.
Berdasarkan garis keturunan ibu (Matrilineal) dimana keturunan dari pihak ibu mulai dari nenek moyang menjadi satu kelompok mar ga (clan). Dikenal umpamanya di Minangkabau (marga ibu).
3.
Berdasarkan garis keturunan bapak dan ibu (parental) dimana keturunan dari pihak bapak dan ibu bersama-sama dianggap sebagai satu kelompok (clan) dan pada kelompok ini tidak dikenal istilah marga contohnya adalah sistem kekerabatan pada suku Melayu.
4.
Kelompok patrilineal dan matrilineal biasanya memakai sistem perkawinan yang eksogam sedangkan kelompok parental memakan sistem yang endogam misalnya suku Aceh. Masyarakat Mandailing menganut sistem kekerabatan unilateral yang patrilineal. Pada sistem kekerabatan yang demikian peranan keluarga batih kurang berfungsi dan yang memegang peranan adalah Dalihan Na Tolu .[3] Meskipun kekerabatannya berbentuk Patriakal tapi perempuan berhak memilih dahulu pasangannya sendiri. Pada umumnya perempuan batak suka pasangan yang berdagang atau pemilik modal karena mereka suka berpergian. Orang Mandailing mengelompokkan diri ke dalam tiga kelompok kekerabatan. Menurut adat-istiadat, ketiga kelompok kekerabatan itu masing-masing berkedudukan sebagai mora (kelompok pemberi anak gadis), anak boru (kelompok penerima anak gadis), dan kahanggi (kelompok kekerabatan yang se-marga), di mana ketiga kelompok kekerabatan tersebut terikat erat satu sama lain berdasarkan hubungan fungsional dalam satu sistem sosial yang dinamakan Dalihan Na Tolu, yang artinya “tumpuan yang tiga” atau “tiga tumpuan”. Dengan
menggunakan sistem sosial Dalian Natolu itulah orang Mandailing mengatur dan melaksanakan berbagai aktivitas sosial-budayanya. Dalam bahasa batak hanya anak laki-laki yang disebut anak sedangkan anak perempuan disebut boru. Lelaki langsung memakai marga sesudah nama kecilnya tapi perempuan dengan sebutan boro contoh laki-laki bernama Asal Siahaan beristrikan Lis yang kemudaian dipanggil Lis boru batubara. Dalam bahasa batak, ama adalah ayah dan ina adalah ibu yang kemudaian menjadi amang dan inang dalam bahasa pemnaggilan. Kakak dipanggil abang dan adik dipanggil anngi. Saudara laki-laki menyapa saudara perempuan dengan istilah ito (iboto) begitupun sebaliknya. Dalam sistem patrilineal, ada belasan marga seperti Lubis Singasoro, Lubis Singengu, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, rambe, Dalimunthe atau Nai Monte, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang dan Hutasuhut. Namun ada dua marga yang paling berkuasa yaitu marga Lubis dan Nasution. Bentuk perkawinan yang terjadi dalam masyarakat mandailing adalah eksogam. Eksogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang berbeda. Eksogamai sendiri dapat dibagi menjadi dua yaitu Eksogami connobium asymetris yang terjadi bila dua atau lebih lingkungan bertindak sebagai pemebrri atau penerima gadis seperti pada perkawinan suku batak dan ambon. Kedua adlah eksogami connobium symetris yaitu perkawinan yang terjadi bila apabila pada dua atau lebih lingkungan saling tukar-menukar jodoh bagi para pemuda. Eksogami melingkupi heterogami dan homogami. Heterogami adalah perkawinan antar kelas sosial yang berbeda seperti misalnya anak bangsawan menikah dengan anak petani. Homogami adalah perkawinan antara kelas golongan sosial yang sama contohnya pernikahan antara anak saudagar.
D. SISTEM KESENIAN SUKU MANDAILING
Adapun Kesenian dari adat suku Mandailing berupa seni tari tor-tor (bersifat magis) tari serampang dua belas ( bersifat hiburan). Dan adapun alat musik tradisional suku mandailing berupa Gordang Sambilan yang merupakan salah satu warisan budaya bangsa Mandailing dan tidak ada duanya dalam budaya etnis lainnya di Indonesia. dan Malaysia. Gordang Sambilan diakui oleh ahli/pakar etnomusikologi sebagai satu ensembel muzik yang teristimewa di dunia. Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu,Gordang Sambilan merupakan musik
adat sakral (kudus) yang terpenting. Gordang Sambilan dipandang sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium atau shaman yang di namakan Sibaso.
SISTEM BANGUNAN SUKU MANDAILING
Horas ma di hita saluhutna. Kita masih membahas tentang Rumah Adat. Kali ini, Batak Network mengajak Anda sekalian untuk melihat dan memperhatikan Rumah Adat Mandailing Sumatera Utara. Seperti apa Rumah Adat Mandailing Sumatera Utara tsb, mari kita simak lebih lanjut di bawah ini.
SENI TARI MANDAILING SARAMA DATU
Dalam
upacara
ritual
seperti paturun
sibaso (marsibaso)
atau
disebut
juga pasusur
begu,
tarian sarama diiringi oleh ensambel musik Gordang Sambilan, sedangkan penarinya satu orang yang dinamakan Sibaso, adalah tokoh Shaman dalam religi lama orang Mandailing yang disebut Si Pelebegu. Di
masa
lalu,
upacara
ritual paturun
sibaso diselenggarakan
manakala
pada
suatu huta atau banua terjadi musibah besar seperti mewabahnya penyakit kolera, dan musim kemarau atau sebaliknya musim penghujan yang berkepanjangan sehingga mengganggu aktivitas pertanian penduduk setempat, yang pada akhirnya akan menimbulkan kelaparan karena habisnya persediaan padi (beras) sebagai makanan pokok mereka Untuk mengatasi bala na godang (bencana besar) tersebut, mereka meminta pertolongan begu, yaitu roh-roh leluhur, melalui perantaraan sibaso karena menurut keyakinan mereka dahulu hanya sibaso inilah yang dapat berkomunikasi dengan begu. Upacara ritual paturun sibasodahulu dilaksanakan di alaman bolak (halaman luas) dari Bagas Godang (istana raja), yang dihadiri oleh Raja , Namora Natoras, Si Tuan Najaji (penduduk setempat), dan seorang tokoh supranatural bernama Datu yang sangat besar peranannya, terutama untuk memimpin pelaksanaan upacara-upacara ritual. Ketika itu, datu dipandang sebagai “gudang ilmu” karena ia memiliki berbagai macam kearifan tradisional (traditional wisdom) yang sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan hidup komunitas huta atau banua.
SISTEM MUSIK MANDAILING
Uyup Uyup Durami
KESUSASTRAAN MANDAILING
Tahun 1840, kontrolir Belanda pertama berdiri di Natal. Awalnya berfungsi untuk mengontrol perkebunan kopi yang berkembang di kawasan Mandailing dan Angkola. Kemudian di Panyabungan berdiri sekolah percontohan untuk pendidikan guru, Kweekschol, yang dikelola Willem Iskander. Sekolah ini didirikan untuk masyarakat Mandailing yang didominasi Islam setelah Perang Paderi 1816-1837. Pada saat yang sama di kawasan Sipirok sudah berkembang misionaris Jerman yang menguasai 10% populasi masyarakat. Reformasi Agraria di Eropah Tahun 1870 mendorong pengembangan investasi perkebunan karet dan tembakau di Deli. Selain itu, Politik Etis menyebabkan tumbuhnya pendidikan untuk kalangan pribumi yang didalamnya tentu membutuhkan bahan bacaan. Hal itu juga menuntut intensifikasi pengelolaan sekolah-sekolah inlander. Momentum ini sekaligus mendorong diterbitkannya bahan bacaan part ikelir untuk buruh perkebunan. Penting juga untuk memahami peranan H.N. Van der Tuuk’s yang menyusun Tata Bahasa Batak (18641867).[1][1] untuk kebutuhan silabus buku teks di sekolah. Tata bahasa ini menjadi acuan dalam penulisan sastra daerah di kawasan Tapanuli bagian selatan ketika itu.
Tahun 1870-an berdiri sebuah sekolah guru di Padang Sidimpuan yang menjadi pusat pendidikan dan pusat administrasi pemerintahan. Budaya dan Bahasa Lokal mulai dipelajari di sekolah ini. Tahun 1914, Ch Van Ophuysen mengembangkan studi bahasa lokal di kawasan ini.
SILSILAH MARGA Si RAJA HASIBUAN;
Marga sebagai identitas diri khususnya bagi masyarakat suku batak, merupakan salah satu identitas dalam membina kekompakan serta solidaritas sesama anggota marga sebagai keturunan dari satu leluhur, sehingga keutuhan marga – marga itu dalam kehidupan sistem ” Dalihan Na Tolu ” akan tetap abadi dan lestari sepanjang masa. Dimana fungsi marga itu adalah sebagai landasan pokok yang menganut ketertiban dalam masyarakat suku batak mengenai seluruh jenis hubungan seperti adat dalam pergaulan sehari-hari, dalam adat Dalihan Na Tolu dan sebagainya. Dalam silsilah masyarakat suku batak ( dalam struktur tarombo) bahwa si Raja Hasibuan adalah keturunan dari si Raja Sobu, si Raja Sobu yang hidup pada abad XV atau sekitar tahun 1455 adalah keturunan ke V dari si Raja Batak, ayahnya bernama Tuan Sorbadibanua yang memiliki dua orang istri yang pertama bernama Nai Anting Malela dan memiliki anak lima orang dan istrinya yang ke dua bernama si Baru Basopaet ( Putri Mojopahit) PUTRI Raja Majapahit adek kandung dari Raden Widjaya dan memiliki anak tigaorang.Si Raja Sobu memiliki dua orang anak putra yang bernama Raja Tinandang atau lebih dikenal dengan bernama Toga Sitompul dan si Raja Hasibuan. Di masa kecilnya, Toga Sitompul dan si Raja Hasibuan tinggal bersama orang tuanya di Desa Lobu Galagala yang terletak di kaki Gunung Dolok Tolong ( Kabupaten Toba S amosir saat ini ) dan setelah beranjak dewasa si Raja Hasibuan pergi merantau ke Desa Sigaol – Uluan dan menetap disana yang pada akhirnya menjadi bonapasogit marga Hasibuan, dan iapun mangalap boruni rajai boru Simatupang dari Muara. Si Raja Hasibuan memiliki lima anak (putra) dan lima boru (putri), anak pertama bernama Raja Marjalo dan tinggal di Sigaol – Uluan dan tetap memakai marga Hasibuan, namun setelah berumah tangga Raja Marjalo membuat atau membuka perkampungan baru yang bernama Hariaramarjalo di Lumban Bao Sigaol saat ini, Hariara (pohon Ara) marjalo (namanya) dan membuat pertanda dengan menanam pohon Hariara (Ara) yang sampai saat ini masih berdiri kokoh, dan disampingnya telah dibangun Monumen si Raja Hasibuan yang sudah diresmikan pada tahun 2002 lalu. Anak ke dua adalah bernama Guru Mangaloksa, pergi merantau ke daerah Silindung dan menetap disana di kampung Marsaitbosi dan menikah dengan marga boru (putri) Pasaribu. Keturunan Guru Mangaloksa telah memakai nama/marga baru yaitu Marga Hutagalung, Marga Hutabarat, Hutatoruan dan Marga Panggabean. Kemudian keturunan marga Hutatoruan menjadi marga Hutapea dan marga Lumbantobing, sementara keturunan marga Panggabean ada yang memakai marga Simorangkir dan keturunan dari Guru Mangaloksa ini dikemudian hari di kenal dengan sebuatan ” SI OPAT PUSORAN “. Menurut cer ita, bahwa sebahagian keturunan Guru Mangaloksa yang merantau ke Tapanuli Selatan Sipirok tetap memaki marga Hasibuan, begitu juga dengan marga Hasibuan dan marga Lumbantobing yang bermukin di Laguboti. Anak ketiga dari si Raja Hasibuan adalah Guru Hinobaan, pergi merantau ke Bar us/Sibolga atau Asahan tetap memakai marga Hasibuan. Anak ke empat adalah bernama Guru Maniti dan ini dikabarkan pergi merantau ke daerah Aceh ( Nangro Aceh Darussalam saat ini) kemungkinan keturunan inilah yang mengaku batak sampulu pitu (17) ? yang bermukin di kabupaten Alas saat ini, dan hingga saat ini Parsadaan Pomparan ni Raja Hasibuan dimanapun berada masih menanti kembalinya keturunan anak yang hilang ini. Anak kelima adalah Guru Marjalang, pergi merantau ke Padang Bolak/Sibuhuon Tapanuli Selatan tetap memakai marga Hasibuan. Sedangkan ke lima boru (putri) si Raja Hasibuan adalah bernama si Boru Turasi marhamulion/marhuta (kawin) dengan marga Sitorus Pane di Lumban Lobu, si Bor u Tumandi marhamulion/marhuta (kawin) ke marga Panjaitan di Sitorang, si Baru Taripar Laut marhamulion/marhuta (kawin) dengan marga Simanjuntak di Sitandohan Balige, si Boru Sande Balige ke marga Siahaan di Hinalang Balige dan si Boru Patar Nauli ke marga Siringoringo di Muara, dan ket ika diadakan perayaan Monumen si Raja Hasibuan di Lumban Bao Hariaramarjalo tahun 2002 lalu semua perwakilan dari si Raja Hasibuan dan boru hadir bersama rombongan masing – masing, kecuali keturunan dari Guru Maniti yang tidak hadir.