TUGAS ANTROPOLOGI
"BOOK REVIEW"
Judul : Analisis Gender dan Transformasi Sosial
Pengarang : DR. Mansour Fakih
Penerbit : Pustaka Pelajar-Jakarta
Tebal : 186 halaman
Manusia adalah agen sosial yang diciptakan dengan berbagai perbedaan dan selalu mengalami mobilisasi. Mobilisasi bisa dikatakan sebagai pergerakan yang dilakukan dengan tujuan tertentu. Melalui pergerakan yang dilakukan manusia sebagai agen sosial dapat melakukan sebuah transformasi atau perubahan dari keadaan mereka sebelumnya, entah perubahan bersifat progresif maupun regresif dalam lingkup vertikal maupun transformasi yang dilakukan untuk memperjuangkan kesetaraan dalam lingkup horizontal.
Berbicara mengenai transformasi, transformasi ini dapat dilakukan berbagai kalangan tanpa memandang apa jenis kelamin, pekerjaan atau status dan lain-lain. Dengan buku "Analisis Gender dan Transformasi Sosial" penulis mecoba memaparkan hal-hal dengan mengaitkannya pada analisis gender. Analisis gender jika dipelajari secara mendalam sebenarnya adalah hal yang begitu penting karena menyangkut hak-hak asasi manusia, khususnya perempuan. Perempuan selama ini dianggap sebagai kaum yang dipandang sebelah mata oleh sistem sosial yang sudah kita anut sejak lama tanpa mempertanyakan adakah kaum yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan.
Penulis mencoba memulainya dengan konsep "pembangunan". Pembangunan dijadikan sebagai semboyan dan wajib dilaksanakan oleh negara demokrasi seperti Indonesia. Melalui buku ini dipaparkan apa maksud, asal mula "pembanguan" dan dampaknya dengan analisis gender. Pemaparan konsep pembangunan ini disajikan secara detail dengan Sketsa Teori-Teori Pembanguan. Selain teori, ada juga penjelasan tentang pembanguan secara historis dan penjelasan inilah yang membuat penulis melek akan konsep pembangunan.
Dari buku ini dijelaskan pada mulanya pembangunan atau developmentalism dikembangkan dalam rangka membendung banjir semangat antikapitalisme bagi berjuta rakyat di Dunia Ketiga. Dunia ketiga yang dimaksud adalah negara yang secara garis besar pernah dijajah oleh negara dari Dunia Pertama, negara yang menganut paham Kapitalis Barat. Gagasan pembangunan dimulai tepatnya tanggal 20 Januari 1949 saat Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman mengumumkan kebijakan pemerintahannya. Sejak saat itu istilah "pembanguan" dan "keterbelakangan" atau dalam bahasa Inggris underdevelopment resmi menjadi kosakata dan doktrin kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Maksud lain doktrin ini adalah dalam rangka perang dingin karena saat itu Uni Soviet muncul sebagai bangsa super power yang baru. Asumsinya untuk membendung paham sosialis yang hendak disebarkan oleh Uni Soviet ke Dunia Ketiga. Parahnya, doktrin developmentalism ini sudah diterima secara mentah-mentah atau taken for granted hingga sekarang dan doktrin ini dilakukan tanpa menggunakan Analisis Gender, sehingga salah satu pihak yakni perempuan merasa dirugikan. Contoh kerugian yang dirasakan oleh kaum perempuan yaitu dalam bidang pertanian, perubahan produksi pertanian untuk diperjualbelikan secara tunai (cash-cropping), suatu pendekatan yang masih saja dilakukan hingga kini, didominasi oleh kaum laki-laki.
Lalu, apa hubungannya perempuan dengan pembangunan? Dalam buku ini menjelaskan tentang WID atau Women In Development. WID atau Women In Development merupakan sebuah gagasan yang dianggap satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib dan status berjuta-juta perempuan di negara Dunia Ketiga. Namun dalam perjalanannya kurang lebih sepuluh tahun kemudian, WID menuai banyak kritik yang dipelopori aliran feminisme. Women In Development dianggap bagian dari Agenda Dunia Pertama untuk mendominasi Dunia Ketiga. Konsep WID sendiri dianggap membawa bias feminis liberal, kelas menengah kulit putih, yang dianggap tidak memiliki kepentingan pembebasan kaum perempuan. Women In Development, yang merupakan arus utama developmentalism, lebih menghasilkan penjinakkan dan pengekangan perempuan Dunia Ketiga daripada membebaskannya. Ada pernyataan lain yang mengatakan bahwa Women In Development merupakan strategi dan diskursus developmentalismuntuk melestarikan dominasi dan penindasan perempuan di Dunia Ketiga, melalui upaya penjinakan (cooptation) dan pengekangan (regulation) perempuan, dengan asumsi menghindari upaya emansipasi. Oleh karena itu WID atau Women In Development diragukan mampu memacu proses transformasi.
Sebelumnya mendalami Analisis Gender, kita harus mengetahui apa yang sebenarnya yang disebut "gender". Gender adalah semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat satu ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain. Padahal jika kita mengerti apa itu yang disebut "gender" dan memandang sesuatu dengan analisis gender, semangat pluralisme ini dapat diwujudkan. Buku ini memberi contoh teori yang tidak menggunakan analisis gender seperti, Critical Theory dari penganut mazhab Frankfurt yang terasa kurang mendasar jika dikatakan sebagai sebuah teori karena tidak ada pertanyaan tentang gender dalam kritikannya. Selain itu dikatakan kurang mendasar sebagai sebuah teori karena hanya memusatkan perhatian kepada perkembangan akhir masyarakat kapitalisme dan dominasi epistemologi politikisme.
Isi dalam buku ini sangat menarik bahkan sangat berguna menambah wawasan pembaca tentang apa itu gender, apa hakikat pembangunan, apa dampak laten pembangunan jika dikaitkan dengan analisis gender, dan masih banyak lagi. Penyampaian penulis buku ini cukup mudah dimengerti walaupun sarat akan bahasa yang baku. Selain itu penjelasan tentang apa arti gender sering disajikan menyebar, dalam arti di setiap bab ada pengertian gender. Sebagai contoh pada Bagian Pertama, pengertian Gender adalah semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat satu ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain. Sedangkan di Bagian Kedua, pengertian Gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.
Sisi kelemahan dari buku ini yaitu penyampaian mengenai suatu fenomena seringkali diulang-ulang, terkesan tidak ada fenomena konkret lain yang bisa dianalisa menggunakan perspektif gender.
Analisis gender yang ditulis dalam buku ini juga banyak yang dikaitkan dengan berbagai Perspektif Sosiologi. Contoh perspektif sosiologi yang digunakan adalah perspektif Teori Konflik. Teori Konflik dari Karl Marx pada dasarnya menjelaskan adanya ketidakadilan yang dilakukan kaum borjuis terhadap kaum prolentar. Konsep "ketidakadilan" ini dapat dikaitkan dengan ketidakadilan gender yang sering menjadi akar dalam sebuah konflik. Berbagai perwujudan ketidakadilan ini antara lain, marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan, subordinasi pada salah satu jenis kelamin yang pada umumnya terhadap kaum perempuan, pelabelan negatif atau stereotipe terhadap jenis kelamin tertentu dan akibat dari stereotipe tersebut adalah diskriminasi dan ketidakadilan lainnya, violence terhadap jenis kelamin tertentu dan pada umumnya terhadap perempuan, dan yang terakhir karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menaggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Semakin lama sistem yang disebut kodrat ini makin "diterima" dan tidak dapat dirasakan ada sesuatu yang salah.
Analisis Gender tidak akan lepas dengan suatu konsep yang bernama "Feminisme". Dalam buku ini memaparkan bahwa sebagian besar orang telah salah kaprah, menganggap bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki dalam upaya melawan pranata sosial yang sudah ada. Padahal dalam buku ini feminisme itu sendiri adalah aliran pemikiran dan gerakan yang terdiri dari berbagai ideologi. Walaupun feminisme datang dari ideologi yang berbeda-beda, umumnya mereka mempunyai kesamaan kepedulian yaitu memperjuangkan nasib kaum perempuan. Feminisme sering diakui sebagai gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut.
Menurut tulisan Fakih, feminisme dapat dilihat melalui dua paradigma. Pertama, Paradigma Fungsionalisme dalam Feminisme. Dijelaskan bahwa aliran fungsionalisme ini sering disebut paradigma yang mainstream atau bisa dikatakan menjadi arus utama dalam Ilmu sosial. Aliarn ini dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parson. Mereka meyakini bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik sampai keluarga) dan masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan (eqilibrium) dan harmoni. Pengaruh fungsionalisme dapat ditemukan dalam pemikiran Feminisme Liberal. Asumsi dasar dari feminisme liberal berangkat dari pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Aliran ini datang sebagai kritik kepada teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai-nilai moral, serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama mendiskriminasi kaum perempuan. Salah satu pengaruh feminisme liberal ini diambil dari teori modernisasi dan program yang mendunia, yang dikenal WID atau Women In Development.
Yang kedua yaitu Paradigma Konflik dalam Feminisme. Salah satu pemikiran teori konflik ini adalah Feminisme Radikal. Feminisme radikal muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, khususnya dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi. Penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, sehingga dalam melakukan analisis tentang penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki, mereka manganggap bahwa aksi itu berakar pada jenis kelamin dan ideologi patriarkinya.
Jadi, penindasan terhadap kaum perempuan hakikatnya bersifat struktural dan penyelesaiannya dapat dilakukan bila ada transformasi atau perubahan dari struktur kelas. Dalam buku ini Engels mengatakan bahwa revolusi buka jaminan. Persamaan bagi laki-laki dan perempuan dirasa tidak cukup karena kaum perempuan tetap dirugikan dengan adanya tanggung jawab domestik mereka. Maka perempuan akan mencapai keadilan sejati jika urusan rumah tangga diubah bentuk menjadi industri sosial, serta urusan menjaga dan mendidik anak menjadi urusan publik.
Dari sekian penjelasan yang disampaikan oleh DR. Mansour Fakih, penulis merasa terkesan dengan pemaparan yang telah disampaikan dan membuat penulis mengerti bahwa selama ini sebagian besar orang telah salah kaprah dalam mengartikan pembanguan yang selama ini dijalankan tanpa melihat dari perspektif gender, sehingga ketidakadilan kerap muncul. Maka buku ini juga dapat memotivasi kaum yang tertindas seperti kaum perempuan untuk selalu memperjuangkan haknya demi mewujudkan sebuah kesetaraan, dalam hal ini kesetaraan gender.