I.
Definisi Penyakit membran hialin (PMH) merupakan salah satu penyebab gangguan pernafasan
yang sering dijumpai pada bayi prematur.1 Gangguan nafas ini merupakan sindrom yang terdiri dari satu atau lebih gejala sebagai berikut: pernafasan cepat > 60 kali/menit, retraksi dinding dada, merintih dengan atau tanpa sianosis pada udara kamar. 2 Menurut European Consensus Guidelines on the Management of Neonatal Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants - 2010 Update, sindrom gawat nafas ini biasanya terjadi 4 jam setelah kelahiran dan memburuk sampai dengan 24 - 48 jam kehidupan, yang mana gejala akan membaik 1 - 2 hari berikutnya, umumnya timbul berbarengan dengan peningkatan diuresis. 3,4 Menurut buku Pedoman Pelayanan Medis IDAI, gejala gawat nafas pada PMH memburuk dalam 48 – 96 jam.2 PMH ditemukan pada ± 50% bayi yang lahir dengan berat lahir 500 - 1500 gram (< 34 minggu usia gestasi). Insidens PMH berbanding terbalik dengan masa gestasi.2
II. Epidemiologi Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Di US, HMD terjadi pada sekitar 40.000 bayi per tahun. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau komplikasinya. (9),(8) HMD pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. (9) Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami HMD.
(9)
Pada ibu
diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik. (4) Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih.
(9)
Pada
laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. (4) Insidensinya berkurang pada pemberian steroid/thyrotropin releasing hormon pada ibu. (4)
III. Etiologi Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Kelainan yang terjadi dianggap karena faktor pertumbuhan atau karena pematangan paru yang belum
sempurna.1 Penyakit ini biasanya mengenai bayi prematur,dan dapat ditemukan bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu yang menderita diabetes mellitus, hipotiroidisme, toksemia gravidarum, hipotensi, seksio sesaria, dan perdarahan antepartum.1,3 Kelainan ini merupakan penyebab utama kematian bayi prematur (50- 70%).1 Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol, phosphatydilserin, phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin. (4) Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan. (9)
IV. Patofisiologi Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini. Pembentukan substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru, merupakan salah satu teori yang banyak dianut. Surfaktan ialah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22 – 24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke-35.
Gambar 1. Timeline Pembentukan surfaktan pada fetus3 Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat stabil alveoli dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan mengurangi tegangan. Dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC) merupakan komposisi utama dalam surfaktan yang mengurangi surface tension. Surfaktan memiliki 4 surfactant-associated proteins yaitu SP A, SP - B, SP – C, dan SP – D. Surfaktan disintesis oleh sel alveolar tipe II dengan proses
multi-step dan mensekresi lamellar bodies, yang memiliki kandungan fosfolipid yang tinggi. Lamellar bodies ini berikutnya diubah menjadi lattice structure yang dinamakan tubular myelin. Penyebaran dan adsorpi dari surfaktan merupakan karakteristik yang penting dalam pembentukan monolayer yang stabil dalam alveolus. 5
Gambar 2. Fisiologi pembentukan surfaktan5 Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil pada akhir ekspirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membrane hialin menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolism anaerobic dengan penimbunan asam laktat dan asan organic lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.1 Bagan 1. Patofisiologi PMH
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang terdiri dari: atelektasis hipoksia asidosis transudasi penurunan aliran darah paru hambatan pembentukan substansi surfaktan atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.1 Imaturitas dari paru janin dapat dilihat dari analisa cairan amnion, dari rasio lecithin – sphingomyelin (L/S ratio <2:1), phosphatidylglycerol, atau lamellar bodies.4
V. Manifestasi Klinik Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi premature dengan berat badan 1000- 2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6 – 8 jam pertama setelah lahiran dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24 – 72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.1 Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnu atau hiperpnu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun, retraksi suprasternal, retraksi interkostal dan ‘expiratory grunting’. Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan pada penderita PMH berat), hipotensi, kardiomegali, ‘pitting edema’ terutama di daerah dorsal tangan/ kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala
sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi.1 Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm dengan PMH adalah Silverman – Anderson score untuk mengevaluasi derajat keberatan dari gangguan nafas.6
Gambar 3. Gejala klinis PMH10
Gambar 4. Scoring system Silverman – Anderson6
VI. Pemeriksaan Penunjang Gambaran radiologis Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto Rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika, dan lain-lain.1 Foto toraks posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial
Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit membran hialin. Gambaran yang khas berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan ground glass appearance, disertai dengan gambaran bronkus di bagian perifer paru (air bronchogram).2 Terdapat 4 stadium: o Stadium 1: pola retikulogranular(ground glass appearance) o Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram o Stadium 3: stadium 2 + batas jantung-paru kabur o Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance
Gambar 5 dan 6. PMH dengan gambaran ground glass appearance (kiri) dan air bronchogram (kanan)
Gambar 7 dan 8. PMH dengan gambaran batas jantung-paru kabur (kiri) dan white lung appearance (kanan)
Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan interval sesuai indikasi. Pada pasien dapat ditemukan pneumotoraks sekunder karena pemakaian ventilator, atau terjadi bronchopulmonary Displasia (BPD) setelah pemakaian ventilator jangka lama. Gambaran laboratorium Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya ialah: Pemeriksaan darah Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%, prognosis lebih buruk. Kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi
normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan berkurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru. pH darah menurun dan deficit basa meningkat akibat adanya asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh. Bila fasilitas tersedia dapat dilakukan pemeriksaan analisis gas darah yang biasanya memberi hasil: hipoksia, asidosis metabolik, respiratorik atau kombinasi, dan saturasi oksigen yang tidak normal.1,2 Uji Kematangan paru Tes tersebut diklasifikasikan sebagai tes biokimia dan biofisika Tes biokimia (Rasio lecithin – sphingomyelin) Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion. Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk kehamilan normal adalah < 0.5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2.8 Dengan rasio 1.5 – 1.9, ada kemungkinan bahwa 50% bayi dapat berlanjut ke PMH. <1.5 resiko meningkat sampai 73%. 11 Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini.8
Gambar 9. Grafik perbandingan L/S dengan usia gestasi 3
Tes biofisika (Shake test) Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil.8 Pada janin, cairan paru biasanya ditelan sehingga aspirasi dari cairan lambung dalam 30 menit setelah lahir sebagian besar terdiri dari cairan paru yang ditelan atau cairan amnion. Oleh karena itu, aspirasi dari cairan lambung dapat digunakan untuk evaluasi apabila surfaktan terdapat pada paru – paru janin sewaktu lahir.12
Dengan mengocok cairan aspirat lambung 0.5 cc, NaCl 0.9% 0.5 cc dan alkohol 1 cc lalu dikocok dengan keras dan didiamkan selama 15 menit. Dengan mengocok cairan amnion dengan alkohol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Pada alkohol dengan konsentrasi 47.5%, stable bubble yang dibentuk oleh karena pengocokan akan menetap oleh karena adanya lechitin. At an ethanol concentration of 47.5 percent, stable bubbles that form after shaking are due to amniotic fluid lecithin.8 Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion : alkohol)/ hasil positive gelembung (+), maka merupakan indikasi maturitas paru janin.8
Gambar 10. Cara melakukan Shake test8
Gambar 11. Hubungan hasil shake test dengan insidiens terjadinya PMH 13
Pemeriksaan fungsi paru Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik. Frekuensi pernafasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperlihatkan pula perubahan pada fungsi paru lainnya seperti tidal volume menurun, lung compliance berkurang, functional residual capacity merendah disertai vital capacity yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.1 Tes apung paru Tes apung paru-paru (docimacia pulmonum hydrostatica), dikerjakan untuk mengetahui apakah bayi yang diperiksa pernah hidup. Untuk melakukan test ini syaratnya mayat harus segar. (1) Keluarkan alat-alat dalm rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu kesatuan, pangkal dari esofagus dan trakhea boleh diikat. Apungkan seluruh alatalat tersebut pada bak yang berisi air. Bila terapung, lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan. Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan masing-masing lobus, kanan terdapat 5 lobus, kiri 2 lobus. Apungkan semua lobus tersebut, catat mana yang tenggelam, mana yang terapung. Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong dengan ukuran 5mm x 5mm, dari tempat yang terpisah dan perifer. Apungkan ke-25 potongan kecil-kecil tersebut. Bila terapung, letakan potongan
tersebut pada 2 karton, dan lakukan penginjakan dengan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam air. Bila terapung berarti tes apung positif, paruparu mengandung udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup. Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi tetap pernah dilahirkan hidup. (1) Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.1 Echocardiografi Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural jantung. (8) Gambaran patologi/ histopatologi Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran hialin di dalam alveolus atau duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang mengalami emfisema. Membrane hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang nekrotik.1 Amniosentesis Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya HMD, antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan amnion dengan melakukan amniosentesis (pemeriksaan antenatal). Rasio lesitin-spingomielin <>(2)
VII. Diagnosis Anamnesis Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu DM Riwayat persalinan yang mengaalami asfiksia perinatal (gawat janin) Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membrane hialin.2 Pemeriksaan fisik Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan. Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala: o Takipnea (frekuensi nafas >60x/menit) o Grunting atau nafas merintih o Retraksi dinding dada o Kadang dijumpai sianosis (pada udara ruangan) Perhatikan tanda prematuritas Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru
Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi,
adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam2
Diagnosis dari PMH dapat dikonfirmasi dengan foto Rontgen toraks dengan gambaran khas/klasik yaitu ground glass appearance dan air bronchograms. Menurut Vermont Oxford Neonatal Network definisi dari PMH selain gambaran khas dari Rontgen Toraks memerlukan bahwa si bayi mempunyai PaO 2<50 mmHg pada udara ruangan, cyanosis sentral pada udara ruangan atau keadaan dimana si bayi memerlukan suplimentasi oksigen tambahan untuk mempertahankan PaO 2 >50 mmHg.3,4
Gejala klinis Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu (>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam pertama kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus inspiratoir. (2) Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score (derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti ada distress nafas, namun ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24 jam. (2),(12)
Tabel 2.1 Silverman score (3)
Grade
Gerakan dada Dada
bawah Retraksi
PCH
Grunting
atas
(retraksi ICS)
epigastrium
0
Sinkron
-
-
-
-
1
Tertinggal
ringan
ringan
minimal
Terdengar pada
pada inspirasi 2
See-saw
stetoskop jelas
jelas
jelas
Terdengar tanpa stetoskop
Gambaran Rontgen
Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari parenkim dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal,
gambaran yang tipikal muncul dalam 6-12 hari. (9) Laboratorium Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan
hipoksemia progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi. (9),(2) VIII.
Diagnosis Banding
1. Transient Tachypnoea of the newborn (TTNB) Peningkatan kadar epinefrin pada fetus pada saat partus umumnya mengurangi produksi cairan paru dan mengaktivasi channel natrium yang menimbulkan terjadinya reabsorbsi. Gagalnya untuk membersihkan paru dari cairan paru ini menyebabkan terjadinya TTN. Faktor risiko terjadi TTN termasuk kelahiran preterm, kelahiran dengan sectio caesaria, dan bayi dengan jenis kelamin laki-laki. TTN juga dihubungkan dengan maternal asma. Pada gejala awal, TTN sulit untuk dibedakan dengan penyakit membran hialin. Diagnosis TTN hanya dapat ditegakkan dengan foto rontgen paru yaitu adanya opasitas paru yang berbentuk “streaky”, ditemukannya cairan pada fisura transversalis, dan biasanya disertai dengan kardiomegali. TTN terjadi pada 5/1000 bayi cukup bulan. Gejala TTN ialah adanya takipnea yang parah (RR sampai dengan 100x/min) dan terjadinya hiperinflasi, tetapi jarang disertai dengan grunting. TTN merupakan diagnosis eksklusi, dimana
diagnosis sindrom gawat nafas, sepsis dan gagal jantung sudah disingkirkan. 3
Gambar 12. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan pada fisura transversalis dan hiperekspansi paru.3
2. Meconium aspiration syndrome Aspirasi mekoneum jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Penegakkan diagnosis aspirasi mekoneum dapat dilakukan dengan kombinasi foto rontgen dengan gambaran bercak – bercak konsolidasi dan aspirasi abnormal yang didapatkan dengan intubasi trakea.3 3. Pneumotoraks Kekurangan surfaktan yang relatif pada bayi yang lahir dengan usia gestasi 32 – 34 minggu menghasilkan paru – paru yang kurang compliance, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks dan pneumomediastinum. Pneumotoraks yang kecil umumnya dapat sembuh secara spontan. Selama ini, oksigen 100% digunakan sebagai penanganan pneumotoraks yang kecil, akan tetapi efektivitasnya belum terbukti dan dengan risiko terjadinya toksisitas oksigen, maka penanganan ini sudah tidak lagi dilakukan. Penanganan yang sedang berkembang ialah penggunaan kateterisasi pigtail yang dimasukan dengan tehnik Seldinger. Keuntungan tindakan ini ialah tindakannya yang cepat dan mudah, serta sedikitnya skar yang ditimbulkan dibandingkan dengan traditional chest tubes.3
Gambar 13 dan 14. Pneumotoraks pada paru sisi kanan dan penggunaan kateter pigtail.3
Tabel
1.
Penyebab
sindrom
gawat
nafas
pada
bayi
kurang
bulan 3
Tabel
2.
Diagnosis
banding
paling
umum
dari
Penyakit
Membran
Hialin 14
IX. Pencegahan Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini ialah pertumbuhan paru yang belum sempurna. Karena itu salah satu cara untuk menghindarkaan penyakit ini ialah mencegah kelahiran bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturitas paru
dapat dikatakan sempurna apabila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik. Gluck (1971) memperkenalkan cara untuk mengetahui maturitas paru dengan menghtung perbandingan antara lesitin dan sfingomielin dalam cairan amnion. Bila perbandingan lesitin/ sfingomielin sama atau lebih dari 2, bayi yang akan lahir tidak akan menderita penyakit membrane hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari 2 berarti paru bayi belum matang dan akan mengalami penyakit membrane hialin.1 Mencegah kelahiran prematur Yang terpenting adalah mencegah prematuritas, seperti menghindari operasi caesar
yang tidak perlu, penganan yang baik dari kehamilan dan persalinan yang berisiko tinggi, prediksi dan terapi intra uterin dari imaturitas paru-paru. (9) Menurut Goldenberg, hal-hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kelahiran prematur adalah, ibu yang merokok, abnormalitas ductus Mulerian, ibu yang bekerja terlalu keras selama kehamilan. Pemberian preparat Fe mencegah ibu mengalami anemia, hal ini ternyata dapat mengurangi angka kelahiran prematur. Pada 10 % wanita hamil yang menjalani apus vagina pada kehamilan 24 – 27 minggu, ditemukan fibronektin yang merupakan penanda terjadinya infeksi. Infeksi dapat menimbulkan kelahiran yang prematur, oleh karena itu sedang dilakukan penelitian apakah aman bila ibu hamil dengan infeksi diberikan terapi metronidazol. (5) Pada saat menentukan waktu untuk induksi persalinan atau operasi caesar, perkiraan lingkar kepala fetus dengan USG dan penentuan konsentrasi lecithin pada cairan amnion dengan rasio lecithin : sphingomyelin, menurunkan kemungkinan lahirnya bayi prematur. Pemantauan intrauterin antenatal dan intrapartum menurunkan kemungkinan terjadinya asfiksia, yang dikaitkan dengan meningkatnya insidensi dan beratnya HMD. (9) Cervical cerclage Wanita yang pernah mengalami keguguran pada trimester kedua > 3x, atau kelahiran prematur tanpa alasan yang jelas, mungkin mengalami inkompetensi servik. Bila ditemukan servik berdilatasi dengan membran (ketuban) uth dan tanpa tanda-tanda infeksi, harus dipertimbangkan untuk segera melakukan cervical cerclage. Dapat dilakukan ultrasound untuk menentukan panjang servik, sehingga dapat memprediksi kelahiran prematur, dan melakukan cervical
cerclage untuk mencegahnya. (5) Antibiotik untuk ibu Pemberian antibiotik untuk preterm prelabour rupture of the membrane (ketuban pecah sebelum waktu), dapat mengurangi insidensi kelahiran premature, infeksi neonatus dan perdarahan periventrikular, namun tidak berpengaruh terhadap
kematian perinatal, dan efeknya terhadap insidensi RDS masih dipertanyakan. Keuntungan pemberian antibiotik lebih banyak dari efek buruknya. Karena itu dapat diberikan eritromisin 500 mg qds ditambah amoxicillin / clavulanic acid (Augmentin) 375 mg qds untuk 7 hari. Apabila organisme penyebab diperkirakan
Mycoplasma hominis, dapat diberikan klindamisin 150 mg qds selama 7 hari. (5) Tokolitik Pemberian ritrodine memperlambat persalinan selama 24 jam namun tidak mengurangi resiko RDS atau kematian perinatal. Penggunaannya dibatasi dalam waktu singkat untuk mempersiapkan kelahiran prematur dan memberikan sterooid antenatal. Efek sampingnya antara lain edema paru. Pemberian merupakan kontra indikasi bagi wanita dengan penyakit jantung, hipertiroid, dan diabetes. Untuk wanita-wanita tersebut dapat diberikan indometasin sebagai
tokolitik. (5) Membantu pematangan paru Menurut Gulck dan Kulovich (1973), cairan paru-paru fetus merupakan bagian yang penting dari cairan amnion. Insidensi HMD hanya 0,5 % bila rasio lecithin : sphingomyelin > 2, namun hampir 100 % bila rasionya <>(4) Clements et al (1972) menentukan ada tidaknya surfaktan pada cairan amnion dengan melakukan tes kocok. Dasar dari tes ini adalah sifat surfaktan yang membentuk buih yang stabil bila ada ethanol. Sejumlah cairan amnion diencerkan berseri dengan ethanol 95 %. Masing-masing dikocok 15 detik, diamkan 15 menit. Adanya cincin buih yang tidak terputus pada meniskus pada tiga tabung pertama atau lebih berarti positif (paru-paru matur). (4),(6) Untuk mengetahui maturitas paru, dapat juga dilakukan pemeriksaan ada tidaknya phosphatydilglycerol dari cairan amnion. Phosphatydilglycerol muncul di cairan amnion pada usia kehamilan 36 minggu. Keberadaannya menunjukan kematangan paru. (4) Tabel 2. 3 Biochemical Assays untuk kematangan paru (6)
Imatur
Matur
Lecithin/sphingomyelin
<>
>2
Konsentrasi L total
<>
> 2,5 mg/100 ml
Konsentrasi L disaturasi
<>
> 35 nM/ml
Phosphatydilglycerol
Absent
Present
Pellet pada 10.000xgr
<>
>3%
% dari phospholipids total
<>
> 10 nM/ml
Konsentrasi as. palmitat
<>
> 0,072 nM/L
As. palmitat/as. stearat
<>
> 5,0
Konsentrasi PL total
<>
> 2,8 mg / 100 ml
PL phosphorus total
<>
> 0,140 mg / 100 ml
PAPase
<>
> 0,50
Determinasi enzimatik
Surfaktan
dengan
MW- <>
> 30 % term pool
apoprotein tinggi
Tabel 2.4 Biophysical Assays untuk kematangan Paru (6)
Kompresi-dekompresi
Imatur
Matur
> 25 mN.m-1 S <>
< 20 mN.m-1 S > 0,85
permukaan cairan
Tes kocok (foam stability Negative pada 1:1 test)
Positif pada 1:2
Index Kestabilan buih
<>
> 0,47
Kecepatan aliran kapiler
<>
> 66 detik
Tes formasi globuler lipid <>
> 460 ul
pada
Polarisasi
fluoresensi
<>
> 0,340
<0,15
> 0,15
(mikroviskositas)
OD650 nm
Corticosteroid Pemberian dexamethasone atau betamethasone pada ibu hamil 48 – 72 hari sebeum melahirkan fetus berusia 32 minggu kehamilan atau kurang menurunkan insidensi, mortalitas dan morbiditas HMD. Corticosteroid dapat diberikan secara intramuskular pada wanita hamil yang kadar lecithin pada cairan amnionnya menunjukan imaturitas paru-paru, dan bagi yang direncanakan akan melahirkan 1 minggu kemudian, atau persalinan akan ditunda 48 jam atau lebih. (9) Steroid berikatan dengan reseptor spesifik di sel paru-paru dan merangsang produksi phosphatydilcholine ole sel tipe II. Proses ini membutuhkan waktu, karena itulah efektifitas steroid berkurang bila diberikan kurang dari 24 jam sebelum melahirkan. Efektifitasnya juga berkurang bila diberikan pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, dan efeknya hilang pada 7 -10 hari setelah pemberian. Keuntungan terbesar didapatkan bila interval pemberian dengan kelahiran lebih dari 48 jam namun kurang dari 7 hari. Pemberian steroid tidak mempengaruhi insidensi penyakit paru kronis namun menurunkan kejadian perdarahan intracranial sehingga menurunkan insidensi cerebral palsy di kemudian hari. (5) ,(4) Semua wanita dengan usia kehamilan 23 – 34 minggu yang diperkirakan beresiko akan melahirkan dalam 7 hari, diberikan kortikosteroid. Dapat diberikan bethametasone 12 mg IM diulang setelah 24 jam (total dosis 24 mg selama 24 – 48 jam diperbolehkan). Dapat juga diberikan dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam untuk 4 dosis. Terapi tidak disarankan untuk diulang dalam jangka waktu 7 hari.
Kontraindikasi
pemberian
steroid
adalah
ibu
dengan
tirotoksikosis,
kaediomiopati, infeksi aktif atau chorioamnionitis. Diabetes, preeklamsi, preterm prelabour rupture of the membran, dan chorioamnionitis dalam terapi bukan merupakan kontraindikasi pemberian steroid. (5),(13) Terapi glukokortikoid prenatal menurunkan deratnya RDS dan menurunkan insidensi komplikasi prematuritas yang lain seperti perdarahan intraventrikular, patent ductus arteriosus (PDA), pneumothorax, dan enterokolitis nekrotikan, tanpa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan neonatus, mekanisme atau pertumbuhan paru, ataupun insidensi infeksi. Glukokortikoid prenatal dapat
beraksi sinergis dengan terapi surfaktan eksogen posnatal. (9) Lain-lain Bahan –bahan lain yang dapat mempercepat pematangan paru adalah hormon tiroid, epidermal growth factor, dan cyclic adenosine monophosphate. Bahan – bahan tersebut dapat memacu sintesa surfaktan, namun penggunaannya sangat jarang. (4)
X. Penatalaksanaan Penatalaksanaan umum Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis sebaikbaiknya,agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya.1 Tindakan yang perlu dikerjakan ialah: 1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 – 37C) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70 – 80%).1,3 2. Pemberian oksigen harus berhati-hati. Prinsip: Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan retina (fibroplasi retrolental / retinopathy of prematurity (ROP)) dan lain-lain.1 Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya diantara 85 – 93% dan tidak melebihi 95% untuk mengurangi terjadinya ROP dan BPD.4 Terapi Oksigen sesuai dengan kondisi: - Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50 – 70 mmHg untuk distres pernafasan ringan.1,3
-
Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal Continuous Positive Airway Pressure) terindikasi.1,3 NCPAP merupakan metode ventilasi yang non-invasif.3 Penggunaan NCPAP sedini mungkin (early NCPAP) untuk stabilisasi bayi dengan berat lahir sangat rendah (1000 – 1500gram) di ruang persalinan
juga
direkomendasikan
untuk
mencegah
kolaps
alveoli. 1
Penggunaan humidified high flow nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai pengganti NCPAP sedang digalakkan di beberapa negara karena memiliki keefektivitasan yang sama dengan NCPAP serta dapat digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.3
Gambar 15 dan 16. Nasal CPAP dan HHFNC5 -
Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan HMD berat atau komplikasi yang menimbulkan apneu persisten.1 Ventilator mekanik dihubungkan erat dengan terjadinya bronchopulmonary dysplasia (BPD) dan juga meningkatkan risiko terjadinya trauma dan infeksi.3 Indikasi rasional untuk penggunaan ventilator adalah1: o pH darah arteri <7,2 o pCO2 darah arteri 60mmHg atau lebih o pO2 darah arteri 50mmHg atau kurang pada konsentrasi oksigen 70 – 100%
dan tekanan CPAP 6 – 10 cm H2O o Apneu persisten 3. Pemberian cairan, glukosa dan elektrolit sangan berguna pada bayi yang menderita penyakit membrane hialin. Prinsip: Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. 3 Cairan yang diberikan harus cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan homeostasis tubuh yang adekuat. Pada hari-hari pertama diberiksan glukosa 5 – 10 % dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan (60 – 125 ml/kgbb/ hari). Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus segera diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena. Pemeriksaan keseimbangan asam-
basa tubuh harus diperiksa secara teratur agar pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan dengan mempergunakan rumus : kebutuhan NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi. Kebutuhan basa ini sebagian dapat langsung diberikan secara intravena dan sisanya diberikan secara tetesan. Pada pemberian NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35 – 7,45. Bila fasilitas untuk pemeriksaan keseimbangan asam-basa tidak ada, NaHCO3 dapat diberikan dengan tetesan. Cairan yang dipergunakan berupa campuran larutan glukosa 5- 10% dengan NaHCO3 1,5% dalam perbandingan 4:1. Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup adekuat.1 Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan parsial O2 diharapkan antara 50 – 70 mmHg. PaCO2 diperbolehkan antara 45 – 60 mmHg (permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas 7,25 dengan saturasi oksigen antara 88 – 92%.2 4. Pemberian antibiotika Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.1 Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum luas, biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam dan gentamisin 3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika dihentikan.2 Surfaktan Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti mengalami penyakit membran hialin, diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui pipa endotrakea setiap 6 – 12 jam untuk total 2 - 4 dosis, tergantung jenis preparat yang dipergunakan.2 Pemberian surfaktan profilaksis versus surfaktan rescue Surfaktan profilaksis, atau preventif, merupakan pemberian surfaktan secara intratrakeal pada bayi dengan risiko tinggi untuk terjadinya gawat nafas setelah resusitasi dini tetapi di dalam 10 – 30 menit setelah kelahiran. Pemberian surfaktan rescue dibagi lagi menjadi 2 yaitu, rescue dini yaitu pemberian surfaktan dalam 1 – 2 jam setelah kelahiran dan rescue lambat yaitu pemberian lebih dari 2 jam setelah kelahiran. Bayi yang lahir dengan usia gestasi <30 minggu memberikan perbaikan setelah diberikan surfaktan profilaksis dan rescue. Akan tetapi, bayi prematur yang diterapi dengan surfaktan profilaksis terbukti
memiliki insidensi yang lebih rendah dalam terjadinya sindrom gawat nafas.7 Dosis
Survanta (bovine surfactant) diberikan dengan dosis total 4mL/kgbb intratrakea (masing-masing 1mL/kgbb untuk lapangan paru depan kiri dan kanan serta paru belakang kiri dan kanan), terbagi dalam beberapa kali pemberian, biasanya 4 kali (masing-masing ¼ dosis total atau 1 ml/kg). Dosis total 4ml/kgbb dapat diberikan dalam jangka waktu 48 jam pertama kehidupan dengan interval minimal 6 jam antara pemberian. Bayi tidak perlu dimiringkan ke kanan dan ke kiri setelah pemberian surfaktan, karena surfaktan akan menyebar sendiri melalui pipa endotrakeal. Selama pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh viskositas obat. Efek samping dapat berupa perdarahan dan infeksi paru.2 Tabel 3. Cara pemberian/administrasi surfaktant 8
Terdapat beberapa jenis preparat surfaktan yang dapat diberikan untuk neonates dengan sindrom gawat nafas, antara lain surfaktan sintetik (protein-free) dan natural (diambil dari paru hewan). Surfaktan natural lebih baik dari preparat sintetik dalam mengurangi pulmonary air leaks dan mortalitas. Surfaktan natural merupakan terapi pilihan di Eropa.4 Pada penelitian dengan pemilihan sampel random, didapatkan bahwa pemberian 2 dosis surfaktan memberikan hasil yang lebih baik daripada dosis tunggal dan pada studi lain mendapatkan bahwa pemberian 3 dosis dibandingkan dengan pemberian dosis
tunggal dapat menurunkan mortalitas (13% vs 21%) dan pulmonary air leaks ( 9 vs 18%). Terapi surfaktan selama lebih dari beberapa hari pertama kehidupan bayi memberikan respons langsung dan tidak terbukti adanya perbedaan pada efek jangka panjang. 4
Gambar 17. Sediaan Survanta (bovine surfactant) Tabel 4 dan 5. Preparat surfaktan dan dosis
Terapi steroid antenatal Pemberian antenatal steroid kepada para ibu dengan risiko melahirkan bayi premature terutama dengan usia gestasi 35 minggu untuk mengurangi mortalitas neonatal [relative risk (RR) 0.55; 95% confidence interval (CI) 0.43–0.72] dan penggunaan dosis tunggal antenatal steroid juga tidak dapat diasosiasikan dengan kelainan maternal yang signifikan ataupun tidak memberikan efek samping terhadap bayi. Pemberian antenatal steroid mengurangi risiko sindrom gawat nafas pada bayi, tetapi pemberiannya harus didalam interval >24 jam dan <7 hari sebelum kelahiran bayi. Antenatal steroid juga mengurangi risiko intraventricular hemorrhage (IVH) dan necrotizing enterocolitis yang sering dijumpai pada bayi prematur. Kedua betametason dan deksametason dapat digunakan untuk pematangan paru janin. Menurut Cochrane Review, deksametason lebih banyak mengurangi terjadinya IVH sehingga, deksametason merupakan obat pilihan dalam pematangan paru.4 Dosis Dosis optimal kortikosteroid, waktu pemberian dan frekuensi pemberian masih belum diketahui secara pasti. Menurut NIH Consensus Development Panel on the Effect of Corticosteroids for Fetal Maturation on Perinatal Outcomes, regimen pemberian kortikosteroid secara umum ialah 2 dosis betametason 12 mg diberikan secara intramuskular dengan jarak waktu 24 jam dan 4 dosis
deksametason 6 mg intramuskular dengan jarak waktu antar pemberian 12 jam.9 Cara pemberian Cara pemberian betametason dan deksametason yang optimal masih belum jelas. Keduanya dapat diberikan secara intramuskular. Betametason dapat diberikan secara intra-amniotically dan intravena sedangkan deksametason dapat diberikan secara oral.9
Gambar 18. Rontgen toraks pada bayi dengan RDS (kiri) Tontgen toraks 6 jam setelah pemberian surfaktan (kanan)10 Bagan 2. Algoritma untuk penanganan distres pernafasan pada bayi kurang bulan 3
XI. Komplikasi Berdasarkan waktu terjadinya, komplikasi dapat dibagi menjadi akut dan kronis. Yang tergolong akut adalah kebocoran udara, infeksi, perdarahan intrakranial, dan PDA. Sedangkan yang tergolong kronis adalah penyakit paru kronis, retinopathy of prematurity (ROP), serta kelainan neurologis. (2)
Komplikasi akibat pemasangan ETT Komplikasi yang paling serius dari intubasi trachea adalah asfiksia akibat obstruksi yang ditimbulkan pipa, henti jantung selama intubasi atau suctioning, dan kadang dapat terjadi stenosis subglottis. Komplikasi lain meliputi perdarahan dari trauma selama intubasi, pseudodivertikel pada posterior faring, extubasi yang sulit sehingga memerlukan tracheostomi, ulserasi nasal akibat tekanan pipa, penyempitan permanen rongga hidung akibat kerusakan jaringan dan scar dari iritasi atau infeksi sekitar pipa, erosi palatum, avulsi pita suara, ulkus laring, papiloma pita suara, dan edema laring, stridor atau suara serak yang persisten. (9) Untuk mengurangi terjadinya hal-hal di atas harus dilakukan observasi yang baik, menggunakan pipa endotrachel polivinil 7ang tidak mengandung logam yang bersifat toksik bagi sel. Menggunakan pipa dengan ukuran terkecil untuk mengurangi iskemia lokal dan nekrosis akibat tekanan, jangan menganti ganti pipa terlalu sering, jangan menggerkan pipa sewaktu terpasang di trakhea, jangan melakukan suction terlalu sering atau agresif, hindari infeksi dengan melakukan sterilisasi semua alat yang terpasang atau melalui pipa. (9) Komplikasi ETT (memasukkan, ekstubasi, granuloma subglotis dan stenosis) dan ventilasi mekanik (pneumotoraks, emfisema interstitial, penurunan cardiac output) dapat diminimalkan dengan intervensi dari tenaga ahli. (9)
Komplikasi akibat kateterisasi Resiko dari kateterisasi arteri umbilikalis meliputi emboli vaskular, trombosis, spasme, dan perforasi, nekrosis viscera abdominal baik akibat iskemia atau zat kimia. Infeksi, perdarahan, dan gangguan sirkulasi ke kaki yang dapat menimbulkan gangren. Meski saat necropsy insiden komplikasi trombosis berkisar 1 – 23 %, aortografi menunjukkan clot ditemukan di atau sekitar ujung kateter yang dimasukan ke arteri umbilikalis (95%). USG aorta dapat digunakan untuk mendeteksi adanya trombosis. Resiko terjadinya komplikasi yang serius dari kateterisasi umbilikal antara 2 – 5 %. (9) Kaki dapat menjadi pucat traansien selama kateterisasi arteri umbilikal. Hal tersebut terjadi akibat reflex spasme arteri. Insidensinya dikurangi dengan menggunakan
kateter berukuran kecil, terutama pada bayi yang sangat kecil. Kateter harus diangkat segera, kemudian dilakukan kateterisasi pada arteri yang lain. Spasme yang persisten setelah pengangkatan kateter dapat diringankan dengan nitrogliserin topikal pada daerah di atas arteri femoralis. Atau dengan menghangankan kaki yang bersebrangan. Pengambilan darah dari arteri radialis juga dapat menimbulkan spasme atau trombosis, diberikan terapi yang sama. Spasme intermiten yang berat dapat diterapi dengan nitrogliserin topikal atau infus lokal dengan tolazolin (Priscolin) 1 – 2 mg diinjeksikan intraarteri selama 5 menit. Bila secara tidak sengaja menempatkan kateter pada arteri yang kecil, dapat terjadi blok total atau spasme vaskular lokal, dapat terjadi gangren pada organ atau area yang diperdarahi. Untuk mencegahnya, kateter harus dipindahkan bila darah tidak dapat melaluinya. (9) Perdarahan yang serius pada pemindahan kateter jarang terjadi. Trombus dapat terbentuk pada arteri atau kateter, insidensinya berkurang dengan menggunakan kateter yang berujung lunak dengan lubang hanya pada ujungnya, membilas kateter dengan larutan saline ditambah heparan dalam jumlah kecil. Atau dengan infus continuous dengan larutan yang mengandung 1 – 10 unit heparin. Resiko terbentuknya trombus dengan emungkinan oklusi vaskuler dapat dikurangi dengan memindahkan kateter bila ada tanda –tanda terjadinya trombosis, seperti tekanan nadi yang menyempit, dan hilangnya dicrotic notch. Hipertensi renovaskular dapat muncul beberapa hari sampai beberapa minggu setelah kateterisasi arteri umbilikalis pada sejumlah kecil neonatus. (9) Kateterisasi vena umbilikalis memeliki resiko yang sama dengan arteri, ditambah kemungkinan terjadinya hipertensi portal dari trombosis vena porta. (9)
1. Komplikasi akut Patent Ductus Arteriosus Hemorrhagic Pulmonary Edema Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE) Kebocoran Udara Infeksi Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler Necrotizing Enterocolitis (NEC) Apnea Anemia Persistent Pulmonary Hipertension (PPHN) / Persistent Fetal Circulation 2. Komplikasi Kronik Bronchopulmonary Dysplasia (BPD) Retinopathy of prematurity (ROP) Gangguan neurologis
XII. Prognosis Penyakit membrane hialin prognosisnya tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya penyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita penyakit ini sukar ditentukan. Mortalitas diperkirakan antara 20 – 40%. Beberapa penyelidik lain melaporkan bahwa dengan perawatan yang baik, bayi yang hidup masih mempunyai kepandaian dan keadaan neurologis yang sama dibandingkan dengan bayi premature lain yang masa gestasinya sama pula. Kelainan pada paru dan saraf mungkin disebabkan karena penyakitnya sendiri yang berat atau kurang sempurnanya perawatan, di antaranya karena pemberian kadar O2 tinggi secara terus-menerus. Kelainan paru sebagai dysplasia bronkopulmoner umumnya disebabkan tekanan positif yang terus menerus. Komplikasi lain yang mungkin terjadi pada waktu perawatan ialah kelainan pada retina (fibroplasi retrolental) sebagai akibat pemberian O2 yang tidak semestinya. Pneumotoraks walaupun jarang terjadi dapat disebabkan oleh komplikasi pengobatan dengan ‘continuous negative external pressure’ (CNP) dan tindakan bantuan pernafasan dengan respirator lain.
Daftar Pustaka 1. Latief Abdul dr., Napitupulu Partogi M dr., Pudjiadi Antonius dr., Ghazali Vinci Muhammad dr, Putra Tulus Sukman dr, “Penyakit Membran hialin”, buku Ilmu Kesehatan Anak jilid 3 FKUI hal. 1083 – 1087 2. Pudjiadi Antonius dr., Hegar Badriul dr, Handryastuti Setyo dr, Idris Salamia Nikmah dr, Gandaputra Ellen P dr, Harmoniati Eva Devita dr, “Penyakit Membran Hialin”, buku Pedoman Pelayanan Medis IDAI jilid 1 hal.238 – 242 3. Miall Lawrence, Wallis Sam, “The management of respiratory distress in the moderately preterm newborn infant”, Neonatal Intensive Care Unit, Leeds Teaching Hospitals NHS Trust, Leeds, UK. Dipublikasi pada tanggal 28 Februari 2011.
4. Sweet David G, Carnielli Virgilio, Greisen Gorm, dkk, “European Consensus Guidelines on the Management of Neonatal Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants – 2010 Update”. Dipublikasi pada tanggal 10 Juni 2010. 5. Oommen P. Mathew, “Chapter 10: Respiratory Distress Syndrome: Impact of Surfactant Therapy and Antenatal Steroid”, buku Innovations in Neonatal-perinatal Medicine Innovative Technologies and Therapies That Have Fundamentally Changed the Way We Deliver Care for the Fetus and the Neonate. Dipublikasi tahun 2011. 6. Surg Cdr SS Mathai, Col. U Raju, Col. M Kanitkar, Management of Respiratory Distress in the Newborn. Dipublikasi tahun 2006. 7. William A. Engle, MD, and the Committee on Fetus and Newborn,”Clinical report: Surfactant-Replacement Therapy for Respiratory Distress in the Preterm and Term Neonate”. Dipublikasi tahun 2007. 8. Nur .A, Risa Etika, Sylviati M.Damanik , Fatimah Indarso., Agus Harianto. PEMBERIAN SURFAKTAN PADA BAYI PREMATUR DENGAN RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME, SMF Ilmu Kesehatan Anak FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo. Dipublikasi pada tahun 2006. 9. Brownfoot FC, Crowther CA, Middleton P, ”The Cochrane Collaboration: Different corticosteroids and regimens for accelerating fetal lung maturation for women at risk of preterm birth (Review)”. Dipublikasi tahun 2008. 10. Geoffrey A. Agrons, MD, Sherry E. Courtney, MD, J. Thomas Stocker, COL, MC, USA, Richard I. Markowitz, MD. From the Archives of the AFIP Lung Disease in Premature Neonates: Radiologic-Pathologic Correlation, dipublikasikan 2005. 11. Dr. Ashraf Fawzy Nabhan Assistant Professor of Obstetrics & Gynecology Ain Shams University, Cairo, Egypt Assessment of Fetal Lung Maturity. Dipublikasi tahun 2005. 12. Dr D H Greenfield, Ms H H Louw, Prof G B Theron, Prof H A van Coeverden de Groot, Prof D L Woods, Gastric aspirate shake test, International Association for Maternal and Neonatal Health (IAMANEH), ditinjau tanggal 8 Februari 2012. Dapat ditinaju di : http://www.gfmer.ch/PEP/NCM_Contents.htm 13. KEITH TANSWELL, ELIZABETH SHERWIN, AND BARRY T. SMITH Single-step gastric aspirate shake test,from the Neonatal Intensive Care Unit, Kingston General Hospital, Division of Neonatology, Queens University, Kingston, Ontario, Canada. Dipublikasi 1976. 14. CHRISTIAN L. HERMANSEN, MD, and KEVIN N. LORAH, MD, Lancaster General Hospital, Lancaster, Pennsylvania,Respiratory Distress in the Newborn, American Academy of Family Physicians, ditinjau tanggal 8 Februari 2012. Dapat di tinjau di : http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p987.html