REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK PENYAKIT MEMBRAN HIALIN
Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik KSM Ilmu Kesehatan Anak di RSD dr. Soebandi Jember
Oleh Laras Prasasti NIM 132011101034
Pembimbing dr. H. Ahmad Nuri, Sp. A dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp. A dr. Saraswati Dewi, Sp. A dr. Lukman Oktadianto, Sp. A dr. M. Ali Shodikin, M. Kes, Sp. A
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2017
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 ................................................................................. 2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. ........................................................... 2 2.1 Pembentukan Paru dan Surfaktan ............................................................ ......................................................... 3 2.2 Surfaktan dan Kolapsnya Alveolus .......................................................... ......................................................................... 4 2.4 Penyakit Membran Hialin ..........................................................................
2.3.1
..................................................................................... ........ 4 Epidemiologi .............................................................................
2.3.2
Etiologi dan Patofisiologi Patofisiologi ............................................................... 5
2.3.3
............................................................................ ........ 7 Manifestasi Manifestasi Klinis ....................................................................
2.3.4
........................................................................................... 9 Diagnosis ............................................................................................
2.3.5
......................................................................... ...... 12 Diagnosis Banding ...................................................................
2.3.6
.................................................................................... 13 Tatalaksana .....................................................................................
2.3.7
............................................................. 15 Langkah preventif PMH ..............................................................
2.3.8
Pemantauan .................................................................................... 16
2.3.9
Komplikasi ...................................................................................... 17
......................................................................................... ............................... 17 2.3.10 Prognosis .......................................................... ........................................................................................................ ........................................... 19 BAB 3. PENUTUP............................................................. .................................................................................................. ............................... 20 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012, angka kematian neonatus di Indonesia adalah 19/1000 kelahiran hidup, dengan penyebab utama kematian adalah asfiksia (SDKI, 2012). Penyakit membran hialin (PMH) merupakan salah satu penyebab gangguan pernapasan yang sering dijumpai pada bayi prematur dan menjadi salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Menurut penelitian RSUP dr.Sardjito selama tahun 2007-2011 proporsi kematian neonatus dengan PMH adalah 52% (Anggraeni et al ., 2013). PMH banyak terjadi pada neonatus dengan usia kehamilan 32 minggu dan berat badan lahir 1.200 gram (Locci et al ., 2014). Defisiensi surfaktan pada pulmo akan menyebabkan tingginya tegangan permukaan alveolar sehingga pada saat akhir ekspirasi akan terjadi kolaps alveolar. Kolaps alveolar akan mengakibatkan buruknya oksigenasi, hiperkarbia dan asidosis respiratorik. Asidosis ini menyebabkan vasokonstriksi yang merusak integritas endotel dan epitel paru menghasilkan kebocoran eksudat yang kemudian membentuk suatu membran hialin (Locci et al ., 2014). PMH disebut juga respiratory distress syndrome tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya pernapasan cuping hidung, tipe pernapasan dispnea/takipnea, retraksi dada, dan sianosis yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan (Locci et al ., 2014). Komplikasi jangka panjang yang ditimbulkan PMH antara lain bronchpulmonary displasia dan retinopathy of prematurity yang sering muncul pada neonatus dengan berat kurang dari 1.500 gram dan atau neonatus yang menggunakan alat bantu pernapasan selama enam hari (Locci et al ., 2014). Kurang lebih 30% dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh PMH atau komplikasinya, sehingga pengenalan dini dan tatalaksana yang adekuat sangat diperlukan.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembentukan Paru dan Surfaktan
Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3-4 minggu dengan terbentuknya trakea dari esofagus. Pada minggu ke-24 terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2-3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli. Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tetapi belum mencapai permukaan paru dan muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan (Sadler, 2014). Komponen
utama
surfaktan
adalah
dipalmitylphosphatidylcholine
(lecithin) 80%, phosphatidylglycerol 7%, phosphatidylethanolamine 3%, apoprotein ( surfactant protein A, B, C, D) dan kolesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II. Protein merupakan 10% dari surfaktan, fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan (Sadler, 2014). Surfaktan disintesis dari prekursor di retikulum endoplasma dan dikirim ke aparatus Golgi melalui badan multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam badan lamelar, yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan. Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid surfaktan disusun menjadi struktur kompleks yang disebut mielin tubular. Mielin tubular menciptakan fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan cairan dan udara di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian surfaktan dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-vesikel kecil, melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom dan ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar untuk didaur ulang. Beberapa surfaktan juga
3
dibawa oleh makrofag alveolar. Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli membutuhkan beberapa jam. Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan kembali 10 kali sebelum didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom dan dimodifikasi secara ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan multivesikular. Protein surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke alveolus (Rahajoe, 2008). Surfaktan berfungsi mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi (Rahajoe, 2008).
2.2
Surfaktan dan Kolapsnya Alveolus
Surfaktan adalah suatu agen yang bekerja aktif di dalam air, yaitu menurunkan tegangan permukaan air. Surfaktan disekresi oleh sel epitel alveolar tipe II yang merupakan 10% dari seluruh sel permukaan alveolus. Sel ini memiliki granula-granula yang berisi inklusi lipid. Surfaktan adalah campuran majemuk dari beberapa fosfolipid, protein, dan ion. Komponen yang paling penting adalah fosfolipid dipalmtoylphosphatidylcholine, apoprotein surfaktan, dan ion kalsium (Rahajoe, 2008). Jika jalan keluar udara dari alveolus tertutup, tegangan permukaan dalam alveolus akan cenderung menyebabkan kolapsnya alveolus dengan cara menimbulkan tekanan positif yang akan mendorong udara keluar. Semakin kecil ukuran alveolus, semakin besar tekanan yang ditimbulkan oleh tegangan permukaan. Hal ini penting diketahui untuk memahami mengapa bayi prematur yang kecil cenderung mengalami kolaps paru. Hal ini menyebabkan suatu kondisi yang disebut sindrom gawat napas neonatus. Keadaan ini sangat fatal jika tidak diatasi dengan tindakan tertentu, misalnya pemberian bantuan pernapasan dengan tekanan positif secara kontinyu (Rahajoe, 2008).
4
2.4 Penyakit Membran Hialin
PMH disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas (pernafasan cuping hidung, grunting , tipe pernapasan dispnea/takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan akibat kurangnya surfaktan (Hermasen dan Loren, 2007).
2.3.1 Epidemiologi Data mengenai penyebab angka kematian bayi yang tinggi dengan PMH di negara berkembang sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan Fidanovski et al. menunjukkan bahwa faktor risiko kematian bayi dengan PMH yang menggunakan ventilasi mekanik adalah air-leak syndrome, berat badan lahir ≤1,5 kg, dan bronchopulmonary dysplasia (Fidanovski et al ., 2005). Penelitian lain yang serupa menunjukkan bahwa usia kehamilan <30 minggu, presentasi bokong dan skor APGAR 5 menit ≤7 merupakan faktor risiko kematian bayi PMH (Nichpanit, 2005). Insidensi PMH pada bayi prematur sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari satu fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang dipercepat. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan yang menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stres pada fetus seperti ibu dengan hipertensi dan drug abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik (Liu et al ., 2014). Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. Insidensinya berkurang
5
pada pemberian steroid/thyrotropin releasing hormon pada ibu (Anadkat et al ., 2012).
2.3.2 Etiologi dan Patofisiologi PMH disebabkan oleh penurunan fungsi dan pengurangan jumlah surfaktan. Surfaktan sendiri merupakan kompleks lipoprotein yang terdiri dari fosfolipid seperti lechitin, fosfatidil gliserol, kolesterol, dan apoprotein yang disintesis oleh sel epitelial alveolar tipe II dan sel Clara yang semakin banyak jumlahnya seiring dengan umur kehamilan yang bertambah. Komponenkomponen ini selanjutnya disimpan di dalam sel alveolar tipe II yang akan dilepaskan ke dalam alveoli untuk mengurangi tegangan permukaan dan mencegah kolaps paru sehingga membantu mempertahankan stabilitas alveolar. Kadar surfaktan matur muncul sesudah umur kehamilan 35 minggu. Namun, jika bayi terlahir dalam keadaan prematur, maka fungsi ini tidak dapat berjalan dengan baik. Adanya imaturitas paru pada bayi prematur dan jumlah surfaktan yang dihasilkan dan dilepaskan tidak mencukupi kebutuhan saat lahir menyebabkan tegangan permukaan yang tinggi antara perbatasan gas alveolus dengan dinding alveolus sehingga paru sulit untuk mengembang. Pada keadaan ini, bayi berupaya melakukan usaha ventilasi imatur dengan tetap tidak terisi gas di antara upaya pernapasan sehingga bayi menjadi semakin berat untuk bernapas dan terjadi hipoventilasi (Hessler et al ., 1985). Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan pada bayi prematur yang mempunyai unit saluran pernapasan yang masih kecil dan dinding dada lemah dapat menimbulkan atelektasis, hipoksia, hingga menyebabkan gagal napas. Penyakit membran hialin disebabkan oleh adanya atelektasis dari tiga faktor yang saling berhubungan; a) tegangan permukaan yang tinggi akibat fungsi surfaktan yang tidak optimal dan defisiensi jumlah sintesis atau pelepasan surfaktan b) fungsi unit pernapasan yang masih kecil, dan c) dinding dada bayi yang masih lemah (Hessler et al ., 1985).
6
Gambar 2.1 Patogenesis gagal napas (Sumber: Locci et al ., 2014)
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, terjadi kelemahan compliance dinding dada, dan otot-otot pernafasan sehingga terjadi kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun.
7
Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia. Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan. Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan karakteristik PMH. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi prematur mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi (Hessler et al ., 1985).
Gambar 2.2 Pembentukan membran hialin (Sumber: Locci et al ., 2014)
2.3.3 Manifestasi Klinis Terdapat dua bentuk manifestasi klinis PMH: bentuk akut dan kronis. Pada bentuk akut gejala klinis mulai kelihatan pada beberapa jam setelah bayi lahir, terutama dispnea dan takipnea (pernapasan lebih 60x/menit), retraksi dinding dada dan merintih, seterusnya meningkat dalam 48 – 72 jam pertama, keadaan ini akan tetap bertahan sampai kira-kira satu minggu, kemudian menurun dan hilang. Pada bentuk kronis kesulitan bernapas baru dijumpai setelah 24 – 36
8
jam kelahiran, ditandai dengan sesak nafas, sianosis dan apnea. Gejala ini terlihat jelas pada hari ke 4 – 7 dan menetap dalam 2 – 3 minggu (Locci et al ., 2014). Pada kedua bentuk gambaran ini atelektasis merupakan bentuk patologi utama paru. Dengan adanya atelektasis paru, terjadilah penurunan volume dada, secara fisik terlihat adanya konkafitas yang nyata di daerah aksila, daya regang rongga dada menurun, sehingga pada saat inspirasi terlihat jelas adanya retraksi di daerah interkostal dan supraternal. Pada saat ekspirasi dibutuhkan tenaga yang lebih besar, karena pengembangan paru yang tidak merata, udara terperangkap di bagian distal, sedangkan jalan udara tertutup karena kolaps, sehingga tekanan ekspirasi yang besar ini menyebabkan bising ekspirasi yang khas yakni merintih (Locci et al ., 2014). Pada pemeriksaan terlihat bayi mengalami dispnea dan takipnea. Secara klinis gejala lain yang dapat diamati adanya bradikardi, hipotensi, hipotermi, tonus otot menurun dan apnea. Terjadinya sianosis karena menurunnya oksigen yang diambil oleh paru dengan atelektasis. Dengan berkurangnya oksigen maka terjadi asidosis yang mengakibatkan meningkatnya frekuensi pernapasan. Menurunnya perfusi jaringan menyebabkan kulit dan selaput lendir berwarna pucat. Pada keadaan berat terjadi apnea yang berakibat fatal (Behrman et al ., 1998). Tanda dari PMH muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60x/menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat (Locci et al ., 2014). Pada bayi dengan PMH ditemukan takipnea, grunting , retraksi intercostal dan subcostal, dan pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dispnea. Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah
9
dan suhu tubuh akan turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya penyakit. Apnea dan pernafasan iregular muncul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera. Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 – 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik. Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular. Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (PMH berat) (Locci et al ., 2014).
2.3.4 Diagnosis
a. Anamnesis Pada anamnesis harus dicari faktor risiko meliputi: usia kehamilan yang preterm, ibu diabetes melitus, kehamilan kembar, seksio cesar, partus presipitatus setelah perdarahan antepartum, asfiksia pada masa perinatal dan adanya riwayat sebelumnya ibu yang melahirkan bayi dengan PMH (Gomella et al ., 2004).
b. Pemeriksaan Fisik Bayi kurang bulan berdasarkan New Ballard Score disertai sianosis pada udara kamar, napas cuping hidung, takipnea, merintih dan retraksi dinding dada yang dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan dan bisa menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama (Gomella et al ., 2004). Terkadang ditemukan
10
hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru. Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi, adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA (IDAI, 2009).
c. Pemeriksaan Penunjang -
Laboratorium Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, HCT dan gambaran darah
tepi tidak menunjukan tanda-tanda infeksi. Analisis gas darah awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi. -
Echocardiografi Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah
dan derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural jantung. -
Tes kocok ( shake test ) Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil
melalui nasogastrik tube pada neonatus sebanyak 0,5 ml. Lalu tambahkan 0,5 ml alkohol 96 %, dicampur di dalam tabung 4 ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan didiamkan selama 15 menit. Pembacaan: a. Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi PMH b. +1: gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi PMH c. +2: gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung d. +3: gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung pada dua deret e. +4: gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan neonatus matur. -
Amniosentesis Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan
terjadinya PMH, antara lain mengukur konsentrasi lechitin dari cairan amnion dengan melakukan amniosentesis (pemeriksaan antenatal). Rasio lechitin spingomielin.
11
-
Radiologi Gambaran radiologis
menunjukkan kekeruhan granular halus (atelaktasis
difus) di kedua bidang paru dan bronkogram udara (bronkus berisi udara tampak nyata terhadap paru yang atelektasis). Paru yang buram akan susah untuk membedakan antara batas paru dan siluet jantung pada penyakit berat15 disebut “whiteout ” yakni tekstur kekeruhan paru “reticulogranular ”, penurunan ekspansi paru, penipisan pembuluh paru yang normal, udara bronkogram hingga padat, konsolidasi paru simetris bilateral. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, menurut kriteria Bomsel terdapat 4 stadium PMH yaitu: 1) Stadium I : terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronkogram udara 2) Stadium II: bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran air bronkogram udara lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru 3) Stadium III: kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opak dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronkogram udara lebih luas; batas jantung kabur 4) Stadium IV: kolaps seluruh lapangan paru (white lung )
12
-
Tes Apung Paru Tes apung paru-paru (docimacia pulmonum hydrostatica), dikerjakan untuk
mengetahui apakah bayi yang diperiksa pernah hidup. Untuk melakukan test ini syaratnya mayat harus segar. Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu kesatuan, pangkal dari esofagus dan trakhea boleh diikat. Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air. Bila terapung, lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan. Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan masing-masing lobus, kanan terdapat 5 lobus, kiri 2 lobus. Apungkan semua lobus tersebut, catat mana yang tenggelam, mana yang terapung. Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong dengan ukuran 5mm x 5mm, dari tempat yang terpisah dan perifer. Apungkan ke-25 potongan kecil-kecil tersebut. Bila terapung, letakan potongan tersebut pada 2 karton, dan lakukan penginjakan dengan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam air. Bila terapung berarti tes apung positif, paru-paru mengandung udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup. Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan parsial, bayi tetap pernah dilahirkan hidup.
2.3.5
Diagnosis Banding
a. Pneumonia Neonatal Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan dengan HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik dengan HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy coat . Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya neutropenia (Effendi dan Indrasanto, 2008). b. Transient Tachypnea of The Newborn Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan ringan. Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS – hipoaerasi). Densitas retikulogranular bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi, sementara
13
pada RDS gambaran opak menetap minimal 3 – 4 hari (Effendi dan Indrasanto, 2008). c. Sindroma Aspirasi Mekonium Pada sindroma aspirasi mekonium terlihat adanya air trapping , gambaran opak noduler kasar difus, serta area emfisema fokal. Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada RDS. Paru-paru biasanya hiperaerasi (Effendi dan Indrasanto, 2008).
2.3.6
Tatalaksana
a. Medikamentosa -
Jaga jalan napas tetap bersih dan terbuka
-
Terapi oksigen sesuai kondisi: nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50-70 mmHg. Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg pada konsentrasi oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan CPAP ( Nasal Continous Positive Airway Pressure) terindikasi. Penggunaan NCPAP sedini mungkin untuk stabilisasi bayi BBLSR sejak di ruang persalinan juga direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli. Pada pemakaian nasal prong perlu lebih hati-hati karena pemakaian yang terlalu ketat dapat merusak septum nasi. Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan PMH berat atau komplikasi yang menimbulkan apneu persisten (IDAI, 2009). Indikasi rasional untuk penggunaan ventilator adalah: 1. pH darah arteri <7,2 2. pCO2 darah arteri 60 mmHg atau lebih 3. pO2 darah arteri 50 mmHg atau kurang padakonsentrasi oksigen 70100% dan tekanan CPAP 6-10 cmH2O atau 4. Apneu persisten 5. Jaga kehangatan 6. Pemberian infus cairan intravena dengan dosis rumatan 7. Pemberian nutrisi bertahap, diutamakan ASI.
14
-
Antibiotik: diberikan antibiotik dengan spektrum luas, biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kg intravena tiap 12 jam dan gentamisin, untuk berat lahir <2 kg dosis 3mg/kgBB per hari. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotik dihentikan (IDAI, 2009).
-
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan parsial O2 diharapkan antara 50-70 mmHg, paCO2 diperbolehkan antara 4560 mmHg ( permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap di atas 7,25 dengan saturasi oksigen antara 88-92% (IDAI, 2009).
b. Manajemen Khusus Pemberian surfaktan dilakukan bila memenuhi persyaratan, obat tersedia, dan lebih disukai bila tersedia fasilitas NICU (IDAI, 2009). Syarat pemberian surfaktan adalah: -
diberikan oleh dokter yang memiliki kualifikasi resustitasi neonatal dan tata laksana respiratorik serta mampu memberi perawatan pada bayi hingga setelah satu jam pertama stabilisasi
-
tersedia staf (perawat atau terapis respiratorik) yang berpengalaman dalam tata aksana ventilasi bayi berat lahir rendah
-
peralatan pemantauan (radiologi, analisis gas darah, dan pulse oximetry) harus tersedia
-
terdapat protookol pemberian surfaktan yang disetujui oleh institusi bersangkutan.
c. Surfaktan Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti mengalami PMH, diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui pipa endotrakea setiap 6-12 jam untuk total 2-4 dosis tergantung jenis preparat yang dipergunakan. Survanta (bovine survactant ) diberikan dengan dosis total 4 ml/kgBB intratrakea (masingmasing 1ml/kgBB untuk lapangan paru depan kiri dan kanan serta paru belakang kiri dan kanan), terbagi dalam beberapa kali biasanya 4 kali (masing-masing ¼ dosis total atau 1 ml/kg). Dosis total 4 ml/kgBB dapat diberikan dalam jangka
15
waktu 48 jam pertama kehidupan dengan interval minimal 6 jam antar pemberian. Bayi tidak perlu dimiringkan ke kanan atau ke kiri setelah pemberian surfaktan, karena surfaktan akan menyebar sendiri melalui pipa endotrakeal. Selama pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh viskositas obat. Efek samping dapat berupa perdarahan dan infeksi paru (IDAI, 2009).
2.3.7
Langkah preventif PMH
-
Mencegah persalinan prematur
-
Pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada ibu dengan ancaman persalinan prematur. Pemberian dexamethasone atau betamethasone pada ibu hamil 48 – 72 hari sebelum melahirkan fetus berusia 32 minggu kehamilan atau kurang menurunkan insidensi, mortalitas dan morbiditas PMH. Kortikosteroid dapat diberikan secara intramuskular pada wanita hamil yang kadar lecithin pada cairan amnionnya menunjukan imaturitas paru-paru, dan bagi yang direncanakan akan melahirkan 1 minggu kemudian, atau persalinan akan ditunda 48 jam atau lebih. Steroid berikatan dengan reseptor spesifik di sel paru-paru dan merangsang produksi phosphatydilcholine oleh sel pneumosit tipe II. Proses ini membutuhkan waktu, karena itulah efektifitas steroid berkurang bila diberikan kurang dari 24 jam sebelum melahirkan. Efektifitasnya juga berkurang bila diberikan pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, dan efeknya hilang pada 7-10 hari setelah pemberian. Keuntungan terbesar didapatkan bila interval pemberian dengan kelahiran lebih dari 48 jam namun kurang dari 7 hari. Pemberian steroid tidak mempengaruhi insidensi penyakit paru kronis namun menurunkan kejadian perdarahan intracranial sehingga menurunkan insidensi cerebral palsy di kemudian hari. Semua wanita dengan usia kehamilan 23 – 34 minggu yang diperkirakan berisiko akan melahirkan dalam 7 hari, diberikan kortikosteroid. Dapat diberikan bethametasone 12 mg IM diulang setelah 24 jam (total dosis 24 mg selama 24 – 48 jam diperbolehkan). Dapat juga diberikan
16
dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam untuk 4 dosis. Terapi tidak disarankan untuk diulang dalam jangka waktu 7 hari. Kontraindikasi pemberian steroid adalah
ibu
dengan
tirotoksikosis,
kardiomiopati,
infeksi
aktif
atau
chorioamnionitis. Bahan – bahan lain yang dapat mempercepat pematangan paru adalah hormon tiroid, epidermal growth factor , dan cyclic adenosine monophosphate. Bahan – bahan tersebut dapat memacu sintesis surfaktan, namun penggunaannya sangat jarang (Fujiwara et al ., 1980). -
Mengelola ibu DM dengan baik
2.3.8
Pemantauan
Terapi -
Efektifitas terapi dipantau dengan memperhatikan perubahan gejala klinis yang terjadi.
-
Setelah BKB/BBLR melewati masa krisis yaitu kebutuhan oksigen sudah terpenuhi dengan oksigen ruangan/atmosfer, suhu tubuh bayi sudah stabil di luar inkubator, bayi dapat minum sendiri/menetek, ibu dapat erawat dan mengenali tanda-tanda sakit pada bayi dan tidak ada komplikasi atau penyulit maka bayi dapat berobat jalan.
-
Pada BBLR, ibu diajarkan untuk melakukan perawatan metode kanguru.
-
Rekomendasi pemeriksaan Retinopathy of Prematurity (ROP): a.bayi dengan BBL <1.500g atau usia gestasi <34 minggu b. pemeriksaanpada usia 4 minggu atau pada usia koreksi 32-33 minggu
Tumbuh Kembang -
Bayi yang menderita gangguan napas dan berhasil hidup tanpa komplikasi maka proses tumbuh kembang anak selanjutnya tidak mengalami gangguan.
-
Apabila timbul komplikasi (hipoksia serebri, gagal ginjal, keracunan O2, komplikasi cerebral palsy) maka tumbuh kembang anak tersebut akan mengalami gangguan dari yang ringan sampai yang berat termasuk gangguan penglihatan, sehingga diperlukan pemantauan berkala pada masa balita.
17
2.3.9
Komplikasi
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD) Oksigen bersifat toksik bagi paru-paru, terutama bila diberikan dengan respirator tekanan positif, menyebabkan terjadinya BPD. Selain itu, BPD juga dapat disebabkan oleh robeknya alveoli akibat tekanan, volutrauma, saponifikasi hipokapnea, atelektasis akibat absorpsi, dan terjadinya inflamasi. Beberapa bayi yang mendapat bentuan nafas berupa intermittent positive – pressure secara berkepanjangan dengan konsentrasi oksigen yang ditingkatkan, menunjukkan perburukan paru pada gambaran rontgen. Distres nafas menet ap ditandai hipoksia, hiperkarbia, ketergantungan pada oksigen, dan terjadinya gagal jantung kanan. Gambaran rontgen berubah, sebelumnya menunjukan gambaran opak hampir menyeluruh disertai air bronchogram dan emfisema interstitial, menjadi area lusen bulat kecil berselang – seling dengan area dengan densitas yang iregular, seperti gambaran spons (Northway et al ., 1967). b. Retinopathy of Prematurity (ROP) Bayi dengan RDS dan PaO2 > 100 mmHg memiliki resiko terkena ROP, maka monitor PaO2 harus dilakukan secara ketat dan dipertahankan antara 50-70 mmHg. Pulse oximetry tidak membantu mencegah ROP pada bayi sangat kecil karena kurva disosiasi oksigen-hemoglobin hampir rata. Bila ROP berlanjut, terapi laser atau cryotherapy dilakukan untuk mencegah terlepasnya retina dan kebutaan (Locci et al ., 2014).
2.3.10 Prognosis Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir berisiko tinggi dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat PMH dan penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada kemampuan dan pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai, dan kurangnya komplikasi seperti asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital. Terapi surfaktan telah mengurangi mortalitas 40%. Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke ICU menurun dengan pasti, 75 % dari bayi dengan
18
berat <2.500 gr bertahan. Meski 85 – 90% bayi yang selamat setelah medapat bantuan respirasi dengan ventilator adalah normal, penampakan luar lebih baik pada yang berat badannya > 1.500 gr, sekitar 80 % dari yang beratnya (Anggraini et al ., 2013).
19
BAB 3. PENUTUP
Penyakit membran hialin (PMH) merupakan salah satu penyebab gangguan pernapasan yang sering dijumpai pada bayi prematur dan menjadi salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Defisiensi surfaktan pada pulmo akan menyebabkan tingginya tegangan permukaan alveolar sehingga pada saat akhir ekspirasi akan terjadi kolaps alveolar. Kolaps alveolar akan mengakibatkan buruknya oksigenasi, hiperkarbia dan asidosis
respiratorik. Asidosis ini
menyebabkan vasokonstriksi yang merusak integritas endotel dan epitel paru menghasilkan kebocoran eksudat yang kemudian membentuk suatu membran hialin. PMH disebut juga respiratory distress syndrome tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya pernapasan cuping hidung, tipe pernapasan dispnea/takipnea, retraksi dada, dan sianosis yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan. Komplikasi jangka panjang yang ditimbulkan PMH antara lain bronchpulmonary displasia dan retinopathy of prematurity. Terapi surfaktan telah mengurangi mortalitas 40%. Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke ICU menurun dengan pasti, 75 % dari bayi dengan berat <2.500 gr bertahan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Anadkat, J.S., M. W. Kuzniewicz, B. P. Chaudhari, F. S. Cole, dan A. Hamvas. 2012. Increased Risk for Respiratory Distress Among White, Male, Late Preterm and Term Infants. Journal of Perinatology. 32:780-785. Anggraini, A., Sumadiono, dan S. Wandita. 2013. Faktor Risiko Kematian Neonatus Dengan Penyakit Membran Hialin. Sari Pediatri. 15:75-80. Behrman, R.E., R. M. Kliegman, dan A. M. Arvin. 2007. Janin dan Bayi Neonatus. Edisi 18. Jakarta: EGC. Effendi, S.H., dan E. Indrasanto. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Fidanovski D., V. Milev, A. Sajkovski, A. Hristovski, L. Kojiv, dan M. Kimovska. 2005. Mortality Risk Factors in Premature Infants With Respiratory Distress Syndrome Treated by Mechanical Ventilation. Srp Arh Celok Lek . 133:29-35. Fujiwara, T., S. Chida, Y. Watabe, H. Maeta, T. Morita, dan T. Abe. 1980. Artificial Surfactant Therapy in Hyaline-Membrane Disease. The Lancet . 315(8159): 55-59. Hermansen, C.L., dan K. N. Lorah. 2007. Respiratory Distress In The Newborn. American Family Physician. 76: 987-994. Hessler, J.R., G. Mantilla, B. V. Kirkpatrick, W. H. Donnelly, S. Cassin, dan D. V. Eitzman. 1985. Asphyxia and hyaline membrane disease in neonatal monkeys. Am J Perinatol . 2(2):101-107. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid I. Liu, J., N. Yang, dan Y. Liu. 2014. High Risk Factors Of Respiratory Distress Syndrome In Term Neonates: A Retrospective Case Control Study. Balkan Medical Journal . 31:64-68. Locci, G., Fanos, V., Gerosa, C., & Faa, G. (2014). Hyaline membrane disease (HMD): the role of the perinatal pathologist. Journal of Pediatric and Neonatal Individualized Medicine. 3(2). Nichpanit, S. 2005. Risk Factors for Death Among Newborns with Respiratory Distress Syndrome at Kalasin Hospital. Srinagarind Med J. 20: 255-261.
21
Northway, W. H., R. C. Rosan, dan D. Y. Porter. 1967. Pulmonary Disease Following Respirator Therapy of Hyaline-membrane Disease: Bronchopulmonary Dysplasia. New England Journal of Medicine. 276(7): 357-368. Rahajoe, N. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak . Edisi Ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Sadler, T. W. 2014. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi Ke-12. Jakarta: EGC