Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
PROSES KREATIF PENULISAN DAN PEMANGGUNGAN (BERGELUT DENGAN FAKTA DAN FIKSI)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
i
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan (Bergelut dengan Fakta dan Fiksi) Editor: Herry Mardianto Penulis: Y.B. Margantoro Tirto Suwondo P. Ari Subagyo Indra Tranggono Agus Noor Sri Harjanto Sahid Imam Budi Utomo B. Rahmanto Hamdy Salad Landung R. Simatupang Agus Prasetiya Bambang J. Prasetya Nur Iswantara Cetakan Pertama: Oktober 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan pertama kali oleh: KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH YOGYAKARTA Katalog Dalam Terbitan (KDT) Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan (Bergelut dengan Fakta dan Fiksi), Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012 (xii, 224 hlm.; 21cm) ISBN 978-979-188-192-0
ii
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Pengantar Editor
BELAJAR DARI YANG “TERCECER”
Banyak tulisan yang menarik dan “tercecer” di Balai Bahasa Yogyakarta, entah itu makalah yang termuat dalam antologi Bengkel Sastra dan Bahasa (sudah dilakukan sejak tahun 1995 dan setiap antologi memuat dua atau tiga makalah di samping puluhan karya siswa berupa esai maupun karya sastra) dan tulisan berupa makalah yang semula digunakan dalam program kegiatan Peningkatan Apresiasi Berbahasa dan Bersastra. Tulisan-tulisan “tercecer” itu ditulis oleh praktisi bahasa dan sastra sehingga jika dicermati kembali maka tulisan-tulisan tersebut jauh dari bidang “keilmuan” dan lebih dekat kepada hal-hal praktis yang berkaitan dengan proses kreatif penulisan esai/artikel, penulisan karya sastra, dan pemanggungan karya sastra. Tulisan-tulisan seperti ini tentu merupakan barang langka yang hampir-hampir tidak kita dapatkan di berbagai toko buku atau perpustakaan, terlebih buku ini hadir seperti “gado-gado” yang memuat sekaligus proses penulisan karya ilmiah populer, karya sastra, dan proses pemanggungan karya sastra. Penerbitan buku ini didasarkan pada kenyataan dst.....dst...
iii
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
iv
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Salah satu visi Balai Bahasa Provinsi DIY adalah menjadi pusat informasi yang lengkap dan menjadi pelayan prima di bidang kebahasaan dan kesastraan di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, salah satu misi yang dilakukan adalah mengembangkan bahan informasi kebahasaan dan kesastraan baik Indonesia maupun daerah (Jawa). Dengan visi dan misi yang demikian, Balai Bahasa Provinsi DIY beharap agar bahan informasi kebahasaan dan kesastraan itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam rangka pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa dan sastra di Indonesia seperti yang diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Berkenaan dengan hal itulah, seperti dilakukan pula pada tahun-tahun sebelumnya, Balai Bahasa Provinsi DIY tahun ini (2012) kembali menerbitkan sejumlah buku kebahasaan dan kesastraan. Buku-buku yang diterbitkan itu antara lain ada yang berisi kajian atau ulasan ilmiah di bidang kebahasaan dan kesastraan, ada yang berisi esai tentang cara bagaimana proses kreatif berbahasa dan bersastra, dan ada pula yang berisi karyakarya kreatif (puisi atau cerpen). Buku berjudul ………. karangan ………….. ini, salah satu di antaranya, berisi ……………. Sekali lagi, Balai Bahasa berharap agar buku ini dapat ............... dan bermanfaat bagi …………..
v
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim kerja, baik penulis, penilai, penyunting, maupun panitia penerbitan sehingga buku ini siap dipublikasikan dan dibaca oleh khalayak (masyarakat). Harapan lainnya mudah-mudahan buku ini mengisi ruang perpustakaan dan ruang pengetahuan serta pikiran kita. Yogyakarta, November 2012 Drs. Tirto Suwondo, M. Hum.
vi
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
DAFTAR ISI
PENGANTAR EDITOR : BELAJAR DARI YANG “TERCECER” ................................................................................. iii PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ..................................... v DAFTAR ISI .................................................................................. vii BAHASA JURNALISTIK .............................................................. 1 Y.B. Margantoro PROSES KREATIF PENULISAN ESAI DAN FEATURE .... 15 Tirto Suwondo MENULIS ESAI, EASY OR NOT EASY? ................................. 25 P. Ari Subagyo MENULIS ESAI ATAU ARTIKEL DI MEDIA ....................... 37 Y.B. Margantoro MENULIS CERITA PENDEK .................................................... 47 Indra Tranggono USAHA MENYUSUN CERITA ................................................. 55 Agus Noor SENI BACA CERPEN DI PENTAS ........................................... 67 Sri Harjanto Sahid KIAT SEDERHANA MENULIS CERITA ANAK .................. 79 Tirto Suwondo, Herry Mardianto, dan Imam Budi Utomo PUISI, UNSUR PEMBANGUN, DAN APRESIASINYA ..... 91 B. Rahmanto vii
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
PADA MULANYA, PUISI ADALAH KATA ........................ 123 Hamdy Salad BEBERAPA HAL TENTANG PENCIPTAAN DAN PEMANGGUNGAN PUISI ...................................................... 133 Landung R. Simatupang DASAR BERMAIN DRAMA ................................................... 141 Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya BERKENALAN DENGAN DRAMA DAN APRESIASINYA. 151 B. Rahmanto PROSES PRODUKSI PEMENTASAN LAKON ................. 165 Bambang J. Prasetya SUTRADARA DAN PENYUTRADARAAN ........................ 183 Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya MENUMBUHKEMBANGKAN POTENSI DIRI UNTUK BEREKSPRESI DRAMATIK .................................................... 195 Nur Iswantara
viii
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
BAHASA JURNALISTIK Y.B. Margantoro
Bahasa sebagai perangkat kebiasaan dimiliki setiap orang sebagai media komunikasi yang sangat kompleks. Ada kecenderungan setiap pemakai bahasa lebih sering mengikuti jalan pikirannya tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada di dalam bahasa (tata bahasa). Sebagai penutur yang selalu mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada dalam tata bahasa, berusaha menghasilkan konsep sesuai dengan struktur bahasa yang dipelajari. Bahasa pun kita kenal sebagai alat kesadaran. Apa yang kita katakan kesadaran itu sekurang-kurangnya terdiri atas tiga perangkat organ, yakni parangkat alat penginderaan, perangkat alat emosional (afektif), dan perangkat penalaran (logika). Penginderaan menangkap kenyataan-kenyataan yang ada di sekitar kita, memungkinkan manusia memperoleh pengalaman, perangkat emosional memungkinkan manusia memberi penilaian atas semua yang dialaminya, sedangkan perangkat penalaran bertugas menghubung-hubungkan bermacam hasil penginderaan (pengalaman) dan tangkapan perangkat alat manusia. Semuanya itu lalu diungkapkan dengan bahasa sebagai alat yang paling utama. Perangkat logika akan mulai bekerja bila seseorang pengamat sadar akan objek penginderaannya dan sadar secara emo1
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
sional akan nilai yang ada di balik objek-objek itu. Logika kita bisa berjalan untuk menghubung-hubungkan semua itu tanpa bantuan bahasa, tetapi pada saat kita ingin mengungkapkan semua hal itu, perangkat bahasa siap untuk menyalurkannya. Dan, karena bahasa sudah dipelajari dan dikuasai sejak kecil, semua penginderaan, perasaan, dan hasil penalaran selalu mempergunakan bahasa sebagai alat pengungkapnya. Karena emosi menyangkut sesuatu yang intern dalam tiap manusia dan kemampuan penalaran juga merupakan warisan utama bagi setipa manusia, maka yang paling penting di sini ialah kemampuan seorang penulis/wartawan mempertajam daya penginderaannya terhadap apa yang ada di sekitarnya. Ketajaman penginderaan ini bisa dilatih, antara lain dengan mengungkapkan melalui bahasa. Bahasa yang dipergunakan harus efektif, artinya harus mampu menyampaikan secara tepat apa yang dipikirkan, dan bahasa yang digunakan harus mampu “menggerakan” orangorang yang membaca/mendengar amanatnya sehingga tercipta suatu pengertian yang sama dengan apa yang dipikirkan penulis. Ini sebenarnya, dasar komunikasi. Perhatikan contoh berikut, karena susunan bahasanya tidak baik, maka fakta yang hendak dan perlu dikemukakan menjadi tidak jelas: 1. Terbungkus rapi setebal kira-kira duapuluh sentimeter, Laksamana Sudomo menyebutkan berkas perkara tersebut baru merupakan hasil pemeriksaan intelijen. 2. Ketika berusia 5 tahun, ayahnya, Wonorejo, meninggal dunia. 3. Di Tasikmalaya ada 60 orang korban meninggal, tetapi tidak melapor. Contoh lain yang menyangkut soal generalisasi, sebagai berikut: 1. Daniel orang Timtim sehari-hari makan jagung. 2. Peter orang Timtim sehari-hari makan jagung. 2
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
3.
Da Costa orang Timtim sehari-hari makan jagung dan beberapa orang lain di Timtim makan jagung. Generalisasi: Orang-orang (masyarakat) Timtim makan jagung.
Untuk generalisasi yang baik haruslah didukung oleh fakta yang meyakinkan. Jika fakta (Daniel, Peter, Da Costa dan sebagainya) tidak mencerminkan orang Timtim, generalisasi tidak bisa dibuat. Jika diperoleh kesan lebih banyak orang Timtim yang makan jagung ketimbang makan nasi atau roti sehariharinya, dapat disimpulkan kebanyakan orang-orang Timtim sehari-hari makan jagung. Dalam jurnalistik, generalisasi harus dihindari. Penulis/ wartawan hanya menguraikan fakta. Jika pun ditemui fakta sama, penulis hendaknya memerincinya, tidak menggeneralisasikannya. Contoh generalisasi yang terlalu luas – sebagi akibat salah nalar (disebut juga induksi yang salah) – orang Indonesia itu malas, dan sebagainya. Tiga Aspek Bahasa jurnalistik, termasuk di dalamnya kalimat jurnaliastik mencakup tiga aspek, yaitu penguasaan materi (isi) yang dikemukakan, kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan teknik penyajian. Ketiga aspek ini tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya (LP3Y, 1990). Dalam kehidupan sehari-hari terasa ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih, yaitu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk tata bahasa di sekolah, dan norma berdasarkan kebiasaan pemakaian. Norma yang terkhir ini belum dikodifikasi secara resmi, antara lain, yang dianut oleh kalangan media massa (wartawan) dan sastrawan muda, terutama dalam pers. Selain itu, diakui adanya posisi yang berbeda dari lingkungan guru di satu pihak, dengan lingkungan wartawan dan sastrawan di pihak lain, yang menghasilkan dua parangkat nor3
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
ma bahasa. Kita sempat melihat adanya sifat konfrontatif antara wartawan dan guru. Guru berasumsi bahwa bahasa surat kabar, bahasa yang digunakan surat kabar adalah bahasa kacau, sedangkan para wartawan menganggap para guru tidak atau kurang mau mengerti perkembangan bahasa, dan hanya terpaku pada kaidahkaidah bahasa yang sudah ketinggalan zaman. Perbedaan posisi ini perlu disadari. Bahkan, guru pada posisinya menjadi semacam “polisi” tata tertib lalu lintas bahasa, mengajarkan aturanaturan yang sudah baku. Bahasa yang tidak baku (bahasa surat kabar) dianggap tidak baku, harus ditolak karena belum tercantum dalam buku tata bahasa. Berdasarkan posisinya, wartawan dan sastrawan sering melakukan semacam “pelanggaran” tertib lalu lintas bahasa, dan ini dilakukan menurut tuntutan situasi berbahasa. Meskipun begitu, wartawan dan sastrawan tetap harus menguasai kaidahkaidah bahasa. Justru karena wartawan merasa adanya keterbatasan yang tak memungkinkannya mengemukakan perasaan dan pikiran secara efektif, wartawan terpaksa “melanggar” ketentuan resmi tata bahasa baku. Kalau para wartawan/sastrawan dianggap oleh para guru acuh tak acuh pada ketentuan tata bahasa, seenaknya saja menulis, sebaliknya wartawan/sastrawan (ada kalanya) menganggap tata bahasa terlalu mengekang daya cipta. Kelihatannya, diam-diam antara wartawan dan sastrawan terbentuk semacam persekutuan karena bekerja di ladang yang sama, yaitu dunia tulis-menulis. Namun bukan tidak ada perbedaan, antara bahasa sastrawan dan bahasa wartawan. Bahasa yang “Menjerit” Pada hakikatnya, Bahasa Indonesia Jurnalistik, sama saja dengan bahasa Indonesia pada umumnya. Hanya saja, pengembangan bahasa pers lebih mengarah pada sikap publistik, mudah
4
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
dimengerti umum. Di sisi lain, prinsip bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap dipegang teguh. Diklat Jurnalistik Bernas (1995) membagi empat unsur yang harus diperhatikan dalam merangkai Bahasa Indonesia Jurnalistik. Unsur itu tergabung dalam akronim “Menjerit”, yaitu menarik, jelas, ringkas, dan tertib. Untuk menarik pembaca, harus dipancing dengan kata-kata, kalimat yang ekspresif. Kata yang dipilih harus mencerminkan realitas. Pilihan kata akan sangat mempengaruhi minat baca. Konsekuensinya, kata yang klise dan sloganistis harus siap menghadapi kenyataan pahit, yaitu ditinggalkan pembacanya. Untuk hal ini, hindari kalimat gaya roman yang bertele-tele dan gaya undang-undang yang kaku dan kering. Kalimat jangan panjang-panjang. Kejelasan kalimat menjadi sangat penting. Hindari pengertian ganda yang membingungkan, jangan lupa akurasi, ketepatan ejaan nama, angka, jumlah, dan lainnya. Hindari kalimat majemuk. Usahakan hanya dengan sekali baca, pembaca sudah dapat dengan cepat menangkap kesan dalam sebuah berita atau tulisan. Pengolahan kalimat juga jangan terlalu panjang yang menjemukan pembaca. Hindari kata abstrak, kata umum, dan kata-kata konotatif. Saat ini arus informasi sudah begitu deras mengalir dari berbagai penjuru dunia, maka pengasuh media massa harus menampilkan berita dengan ringkas, tidak menolerir munculnya kata atau kalimat mubazir (berlebih-lebihan). Prinsip ekonomi kata berlaku di sini. Tertib berbahasa diperlukan karena dalam prinsip ini menuntut kita selalu cermat dan tepat menulis sesuatu dengan menerapkan pedoman berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena antara penulis (wartawan) dengan pembacanya tidak bersemuka (face to face), bila terjadi salah informasi tidak mungkin memberikan penjelasan. Di sinilah pentingnya kita menulis dengan bahasa Indonesia yang “menjerit”.
5
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Pisau Aneka Fungsi Editing atau penyuntingan pada dasarnya dapat diibaratkan sebagai pisau dengan aneka fungsi. Ketika harus mengiris berita, tentu situasinya berbeda dengan ketika harus mengiris feature, opini, atau fiksi. 1. Naskah fiksi (anak-anak, remaja, dewasa) tidak memiliki sistematika bab, rumus-rumus, tabel-tabel, angka-angka statistik dan nonstatistik, lampiran, daftar pustaka. Yang penting: kalimat ini enak atau tidak, apakah naskah ini dimengerti oleh pembaca atau tidak. Lihat apakah mengandung SARA atau tidak, pornografi, dan sebagainya. 2. Naskah sastra (masuk golongan fiksi, tapi tak semua fiksi dapat dikategorikan naskah sastra), dibagi jadi: prosa (novel, novelet, dan cerpen), puisi, dan drama. Hati-hati, sebab, sastra itu unik. Ada kata-kata yang sengaja ditulis oleh penulisnya, misalnya kue, kuih, kueh. Catetan Th 1946, dan bukan Catatan Th 1946. 3. Naskah buku sekolah Mengandung nilai pendidikan. Sesuai dengan kurikulum dan garis-garis besar program pengajaran. Dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah isi dan materinya. Disajikan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 4. Naskah perguruan tinggi Rambu-rambunya tidak sebanyak naskah buku sekolah. dosen mengacu pada silabus. Ada indeks. 5. Naskah musik Berisi not balok/not angka. Berisi not balok/not angka dan teks lagu. Berisi pelajaran teori musik. 6
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
6.
Naskah matematika, fisika, dan kimia Banyak berisi angka-angka, rumus-rumus, dan tabeltabel. 7. Naskah biologi Mengandung istilah-istilah bahasa Latin. 8. Naskah kamus Layout berbeda dengan buku biasa. Entri kamus diberi diskripsi. Entri kamus dimulai dengan huruf kecil. 9. Naslah ilmiah Kajian dan penyajian secara ilmiah. Skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3). 10. Naskah ilmiah popular Naskah ilmiah yang disajikan secara popular. Penyunting harus peka terhadap kata-kata ilmiah dan kata-kata popular. 11. Naskah terjemahan Tips bagi penyunting: Penyunting naskah adalah pembantu penulis naskah, bukan penulis itu sendiri. Penyunting haruslah rendah hati, meskipun lebih pintar. Ada 3 golongan penulis naskah, yakni penulis pemula, semiprofesional, profesional. Dari segi watak: penulis yang gampang, sulit, dan sulitsulit gampang. Sebaiknya konsultasi dulu dengan penulis. tahu ciri khas naskah (pembacanya). Ejaan dan tata bahasa. Terus menerus ikuti perkembangan bahasa. Penyunting makin terampil menulis dan susun indeks. Selalu akan ada kesalahan: besar atau kecil. Hati-hati soal SARA. Kuasai bahasa asing. 7
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Menulis yang baik pada hakikatnya adalah menulis ulang naskah yang belum baik, demikian saran penulis senior Slamet Soeseno. Masalahnya, penulis pemula sering tidak dapat menemukan kesalahan tulisannya atau menganggap tulisannya sudah bagus. Perbaikan daya tarik: Ada dua hal dalam persoalan ini, yakni bahan dan cara penulisan. Berhenti melucu pada saatnya yang tepat adalah ciri khas sebuah tulisan ilmiah popular. Misalnya, cerita tentang burung kakaktua yang kadang “diselonongkan” “burung” kakak saya. Tulisan humor perlu dirombak seluruh kalimat. Contoh kalimat yang lucu: “Sebetulnya sudah lama ada desas-desus bahwa kelapa bisa dibuat kopyor kalau pohonnya dipukuli sampai setengah mati. Tapi, sangat boleh jadi orang yang memukul itu yang setengah mati.” Bahasa komunikatif: Tulisan popular bisa tercipta kalau bahasa yang dipakai juga bahasa populer, yang biasa dibaca, diterima, dan dimuat dalam media massa. Bahasa popular tidak mementingkan kata-kata yang indah dan kalimat yang mengharukan, tetapi yang komunikatif (bebas dari kata pemanis dan basa-basi, serta cepat dapat ditangkap maksudnya). Caranya dengan menyederhanakan susunannya/persoalan yang dikemukakan. Ringkas, tetapi jelas. Lengkap dan teliti (misalnya, bisa menjawab pertanyaan “berapa”, dan teliti memilih/menyusun kata/kalimat). Kata kecil dan kalimat pendek. Slamet Soeseno buka kartu: berdasarkan pengalaman menulis selama tiga puluh tahun lebih, dia sampai pada tahap ke8
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
simpulan bahwa tulisan ilmiah agar bisa populer perlu diedit enam kali baru tercipta hasil kreasi yang bagus. “Tapi saya tidak terus menerus mengerjakannya di depan meja. Naskah kasar itu sering saya bawa dengan tas kampluk (semacam kantung) ke peron stasiun, lobi gedung, atau kamar tunggu dokter gigi. Sambil menunggu giliran, naskah saya koreksi dan corat-coret lagi. Kerap pula pengeditan saya lakukan pagi hari sembari menunggu kopi sebelum mandi. Saat itulah sering timbul keinginan berkelakar,” katanya tentang kebiasaan yang satu ini, sebagaimana dikutip Intisari (Agustus, 1993). Maka pada hampir semua tulisaanya ia selalu terlihat terampil menyisipkan humor yang menggelitik, tanpa meninggalkan sisi ilmiah tulisannya. Menurut Slamet Soeseno (1993), ciri khas tulisan yang disusun dengan metoda ilmiah adalah keobjektifan pandangan yang dikemukakan dan kedalaman tuturan yang disajikan. Dua hal inilah yang senantiasa diusahakan agar tulisan terasa ilmiah, walaupun ditulis dalam bentuk feature. Menulis feature ilmiah tidak akan menarik kalau tidak dengan bahasa populer. Tulisan semacam ini dikenal sebagai tulisan ilmiah populer. Istilah populer dipakai untuk menyatakan sesuatu yang akrab, menyenangkan bagi populus (rakyat) atau disukai orang kebanyakan karena menarik dan mudah dipahami. Tulisan populer bisa tercipta jika bahasa yang dipakai adalah bahasa populer, yang biasa dibaca, diterima, dan dimuat dalam media massa. Bahasa media massa dulu sering dianggap sebagai bahasa rusak yag menurunkan derajat bangsa Indonesia yang anggun. Namun, agaknya ada kesalahpahaman dari masyarakat pencinta bahasa Indonesia yang tidak mau membedakan bahasa pasar untuk bercakap-cakap dan bahasa populer untuk tulisan. Keduanya dianggap sama, padahal jelas berbeda. Ada lima hal yang perlu mendapat perhatian dalam penulisan bahasa populer, yakni:
9
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
1.
2.
3.
4.
10
Bahasa populer cepat ditangkap. Bahasa populer tidak mementingkan kata-kata yang indah dan kalimat yang mengharu rasa, tapi yang komunikatif. Artinya bahasa itu mudah menghubungkan pikiran penulis dengan pikiran pembacanya secara lancar. Untuk itu, bahasa komunikatif harus: a. Bebas kata pemanis dan basa-basi yang biasa diucapkan orang dalam percakapan dan pidato. Bahasa komunikatif harus straight to the point. b. Cepat ditangkap maksudnya. Semua hal, fakta atau poin dituturkan dengan kalimat yang hemat kata dan penuh makna. Dengan kata lain, dilakukan dulu penyederhanaan persoalan. Ringkas tapi jelas. Membuang kata-kata tertentu yang terasa hanya sebagai pemanis, berlebihan, tidak perlu, dan “sudah dengan sendirinya” berarti begitu (hingga tidak perlu ditulis lagi). Meskipun menulis secara ringkas, tetap harap diingat, jangan sampai mengorbankan kejelasan. Lengkap dan teliti. Lengkap di sini lebih berarti “dapat menjawab pertanyaan pembaca lebih lanjut”, misanya, pertanyaan: berapa? (jumlah, ukuran, umur, dan sebagainya). Sedangkan teliti tidak hanya menyangkut soal penuturan, tetapi juga soal penulisan kata, nama orang, dan sebagainya. Kata kecil dan kalimat pendek. Banyak kata kecil yang sama baiknya dengan kata besar kalau dipakai untuk mengungkapkan setiap pernyataan berurutan secara tepat. Misalnya, tinggi (dari pada setinggi gunung), dan sebagainya. Karena kalimat pendek yang berlebihan dan kalimat panjang yang melimpah tidak diinginkan, maka alinea sebuah artikel sebaiknya tersusun atas kalimat campuran pendek (8 kata), sedang (10 kata), dan panjang (16 kata) sebagai variasi. Variasi panjang pendek-
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
5.
nya kalimat akan menolong dalam memikat perhatian pembaca karena tidak monoton, tidak membuat pembaca mengantuk. Alinea beruntun yang semakin memikat. Sebuah alinea dikatakan berhasil penulisannya kalau pembaca tergerak (gagasannya) dari alinea satu ke alinea berikutnya dengan perhatian yang semakin meningkat. Ini hanya dapat dicapai kalau alinea ditulis secara berurutan, tidak acak-acakan, dan beruntun berkaitan.
Mukayat D. Brotowidjojo (1993) berpendapat, ciri-ciri karangan ilmu pengetahuan populer dapat diringkas sebagai berikut. a. Menjanjikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan aplikasi hukum alam dengan mengingat tingkat kecerdasan masyarakat umum. b. Menggunakan kata-kata sederhana, mudah diidentifikasikan (menggunakan bahasa sehari-hari) secara tepat, susunan kalimatnya memenuhi kaidah bahasa sehingga mudah dipahami oleh rata-rata pembacanya. c. Gaya bahasanya tidak selalu formal dan bahasanya sendiri selalu “personal” dan aktif objektif. d. Pernyataan-pernyataan mudah dimengerti. Gagasan-gagasan disusun secara konseptual dan prosedural. e. Karangan pengetahuan populer tidak memuat hipotesis karena berkaitan dengan cara dan tingkat berpikir masyarakat awam. f. Tidak memancing pertanyaan-pertanyaan yang bernada meragukan. Dalam karangan pengetahuan populer penulis dapat sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang mendorong pembacanya untuk berpikir tentang aplikasinya dengan tetap membiarkan fakta berbicara sendiri. g. Penyajian fakta objektif dibarengi dengan penyajian sejarah kerja ilmuwan penemunya atau deskripsi proses pengamatan
11
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
h.
i.
j.
secara sederhana, bahkan, seringkali fakta objektif itu diselipkan dalam cerita fiktif. Judul karangan pengetahuan populer harus informatif dan mudah ditangkap maksudnya serta dengan cepat menimbulkan imajinasi pembacanya. Penjelasan tentang suatu situasi didramatisasikan melalui suatu cerita. Metode penjelasan biasanya tidak langsung, terutama dalam karangan yang bukan tentang pengetahuan alam. Penulis selalu mengimbau perasaan pembacanya agar mereka seolah-olah melihat atau mengalami sendiri situasi yang ditulisnya.
Kiat Menulis 1.
2.
3. 4.
5.
12
Kiat menulis di media massa secara ringkas sebagai berikut: Mempunyai rancangan gagasan yang jelas tentang fenomena tertentu: menyangkut bidang-bidang tertentu dan atau isu yang sedang hangat. Kita memiliki data dan fakta yang cukup untuk mendukung opini kita. Dengan kata lain, ada pendapat harus ada argumentasinya. Di sini diperlukan kemampuan memilih data dan fakta yang pas bagi tulisan kita. Memiliki kemampuan menulis yang bisa dibaca atau dimengerti orang lain. Mengetahui selera media massa yang akan kita kirimi karya tulis. Media macam apa dia, beredar di mana, pembacanya siapa saja, dan sebagainya. Dengan kata lain, kita mengetahui secara persis medan yang akan kita serang. Sebelum itu semua, kita harus memiliki kejelian. Jeli mengikuti perkembangan dan jeli menangkap satu fenomena untuk diangkat sebagai karya tulis. Kalau layak muat dipenuhi, tepat waktu, dan bernasib baik maka muncullah karya tulis itu di media massa.
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Minat dan bakat menulis karya tulis populer tentu tidak dengan sendirinya muncul pada diri, civitas akademika perguruan tinggi, atau komunitas tertentu. Ketekunan untuk berlatih terus akan menumbuhkan minat bekerja keras untuk menulis.
13
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
14
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
PROSES KREATIF PENULISAN ESAI DAN FEATURE Tirto Suwondo
ESAI Esai bukanlah merupakan karangan ilmiah, bukan pula karangan sastra. Pada karangan ilmiah, subjek cenderung (bahkan harus) diabaikan dan objek diutamakan. Sebaliknya, pada karangan sastra, objek cenderung diabaikan dan subjek diutamakan. Sementara itu, pada karangan esai, subjek dan objek samasama hadir menjadi hal penting dan tidak boleh diabaikan. Karangan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi) ditulis berdasarkan kaidah penulisan ilmiah, demikian juga karangan sastra ditulis berdasarkan kaidah penulisan sastra (novel, cerpen, puisi, drama). Sementara itu, karangan esai justru ditulis tanpa kaidah apa-apa. Esai dapat ditulis dengan mengabaikan kaidah atau aturan penulisan yang baku. Itu berarti esai ya dan tidak objektif dan subjektif. Kalau karangan ilmiah bersifat positivistik, karangan sastra bersifat idealistik, sedangkan karangan esai bersifat fenomenologik. Dalam penulisan esai, penalaran yang digunakan adalah penalaran lateral, sebuah penalaran yang merupakan alternatif bagi penalaran vertikal yang logis. Dengan penalaran lateral, seseorang (penulis) dapat bermain-main dengan gagasan, objek, data, eksperimen, dan sebagainya. Penalaran lateral justru akrab dengan logika anekdot dan membuka ruang yang cukup lebar 15
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
bagi paradoks yang umumnya dihindari dalam karangan ilmiah yang bertumpu pada penalaran vertikal. Setiap esai pada hakikatnya berisi upaya untuk memberi peyakinan tentang sesuatu. Oleh karena itu, jenis karangan yang digunakan dalam esai adalah argumentatif-persuasif. Jenis karangan ini memang yang paling fleksibel dan dapat memanfaatkan jenis karangan lain untuk kepentingannya membuat peyakinan. Kenyataan menunjukkan, ada esai yang tampak formal, ada pula yang tampak tidak formal. Semua itu disebabkan oleh kepribadian dan subjektivitas penulisnya. Kalau seorang penulis yang dalam hidup sehari-harinya bersifat formal dan melihat segala sesuatu dari seginya yang formal, ketika menulis esai tentang sesuatu yang mestinya santai pun cenderung bersikap formal. Sebaliknya, seorang yang santai dan kocak, dalam menuliskan persoalan serius pun akan cenderung santai dan kocak. Contoh paling tepat untuk hal ini adalah Umar Kayam. *** Pada prinsipnya, esai tidak berbeda dengan artikel, bahkan tidak berbeda pula dengan feature. Selama ini para ahli gagal memberikan batasan yang pasti tentang masing-masing jenis karangan itu. Beberapa jenis karangan itu sering hanya disebut sebagai tulisan lengkap dalam surat kabar atau majalah. Oleh karena itu, sebagai (calon) penulis, kita tidak perlu memperdebatkan masalah itu. Hanya saja, kalau dicermati, dalam sebuah tulisan (esai, artikel, feature) memang ada elemen-elemen tertentu yang ditonjolkan yang sekaligus mengacu pada jenis tertentu. Sebagai misal, esai/artikel tentang tokoh-tokoh sukses disebut sketsa tokoh; esai/artikel yang ditulis dalam bentuk tanya-jawab disebut wawancara; esai/artikel yang diawali dengan paparan sebuah kisah disebut naratif; esai/artikel yang berisi upaya membongkar suatu peristiwa disebut penyingkapan; esai/artikel yang berisi kisah nyata (true story) disebut pengakuan; esai/artikel yang me16
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
rupakan ekspresi personal disebut kolom; esai/artikel yang berisi kritik disebut ulasan; dan lain-lain. *** Bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk menghasilkan tulisan/karangan (esai, artikel, dan lain-lain)? Dua hal ini tidak boleh diabaikan, yakni “banyak membaca” dan “tekun berlatih”. Membaca dalam hal ini tidak hanya membaca tulisan (majalah, koran, buku, dan lain-lain), tetapi juga “membaca kehidupan”. Artinya, kita senantiasa “membaca” apa yang dapat kita lihat, dengar, raba, dan sebagainya di sekitar kita. Dengan cara ini kita tentu akan tahu banyak hal, akan peka terhadap berbagai peristiwa, akan dapat memahami berbagai kejadian, akan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan sebagainya. Karena ruang memori di otak/kepala kita terbatas, terbatas pula ingatan kita. Oleh karena itu, agar memori terpancing keluar, diperlukanlah alat bantu. Alat bantu paling sederhana dan baik adalah catatan. Oleh sebab itu, (calon) penulis yang baik selalu memiliki catatan (tentang sesuatu yang dianggap penting dan menarik). Dan tentu saja catatan ini tidak boleh hilang, tetapi harus disimpan/dirawat dengan baik. Mungkin dalam jangka waktu tertentu (bulan, tahun) kita mencatat beberapa peristiwa yang sama, atau minimal berkaitan, sehingga kita dapat mengait-kaitkan peristiwa itu dan siap pula menyusun tulisan. Kalau kita telah dapat memilih dan mengaitkan peristiwaperistiwa itu, dan dengan demikian berarti kita telah mempunyai ide (gagasan) yang akan kita sampaikan kepada orang lain, langkah berikutnya adalah menentukan tujuan (untuk apa, siapa) dan memilih jenis bentuk karangan apa (artikel, esai, feature, atau bahkan cerpen atau puisi). Kalau kita ingin menulis bentuk artikel (opini) dan ingin artikel itu dimuat di KR, misalnya, hal yang tidak boleh dilupakan adalah pelajari dan bacalah artikel-artikel (opini) yang telah dimuat di KR. Dari situ kita dapat belajar dan memahami bagaimana corak, gaya, panjang-pendek artikelartikel tersebut sehingga artikel yang kita tulis berpeluang untuk 17
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
dimuat di KR. Hal ini juga sekaligus berarti kita memahami bagaimana selera redaksi. Mengapa hal ini harus dilakukan? Sebab, selera setiap media massa berbeda-beda. Hanya saja, yang sering menjadi kendala adalah ketika kita sudah duduk di depan mesin ketik atau komputer. Ide di kepala sudah mendesak-desak minta ditulis, tetapi lead pada paragraf pertama terus-menerus gagal ditulis. Karena itu, buatlah kerangka (outline). Tentang judul, boleh ditulis di awal atau di akhir; namun yang paling baik adalah ditulis di awal baru kemudian direvisi di akhir. Sebab, judul akan mengendalikan arah dan fokus. Tetapi, terkadang, ketika sedang menulis, ide-ide pelengkap muncul mendadak, sehingga judul seringkali harus diubah atau diganti. Setelah menentukan judul (sementara), kerangka yang kita susun mula-mula berupa gagasan-gagasan besar yang mendukung judul. Gagasan-gagasan itu kita tuangkan dalam bentuk kalimat-kalimat. Jika perlu kalimat-kalimat yang berisi gagasangagasan besar itu kita pecah lagi menjadi beberapa gagasan yang lebih kecil, dan seterusnya, sampai kita merasa sudah cukup lengkap dan kuat untuk menyampaikan/mendukung ide tulisan. Bagi penulis yang sudah jadi, kerangka tetap penting artinya, walaupun seringkali mereka tidak menuangkannya dalam bentuk kalimat-kalimat, tetapi tertata dalam pikiran. Hal terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah, setelah jadi, tulisan jangan langsung dikirim ke media sesuai keinginan kita, tetapi bacalah dulu atau bahkan simpan dulu (masa inkubasi) baru dibaca lagi besok atau lusa. Pada saat membaca tulisan itu, janganlah kita merasa bertindak sebagai penulis, tetapi sebagai pembaca (tulisan orang lain). Baca dan kritiklah tulisan itu. Dengan cara begitu kita akan dapat melihat celah-celah di mana kekurangan dan kelemahannya. Lalu, edit-lah, revisi-lah, dan kalau perlu tulis ulang. Dan akan lebih baik kalau tulisan hasil revisian itu disodorkan kepada orang lain untuk dibaca dan dikritik. 18
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Nah, selamat berkarya (menulis artikel, esai, feature, kolom, berita, advertorial, dan atau apa saja). Jangan bosan. Pembosan sangat dibenci Tuhan. —— FEATURE Pengertian Karangan lengkap nonfiksi (bukan berita) dalam media massa yang tidak tentu panjangnya, dipaparkan secara hidup sebagai pengungkapan daya kreativitas, kadang-kadang dengan sentuhan subjektivitas penulis terhadap peristiwa, situasi, aspek kehidupan, dengan tekanan pada daya pikat menusiawi (human interest) untuk mencapai tujuan memberi informasi, menghibur, mendidik, dan meyakinkan pembaca. Teknik Penulisan Feature 1.
Gaya Tuturan Cerita Kalau penulisan berita (harus taat asas pada aturan 5W + 1H dalam teras berita atau lead), penulisan feature tidak demikian. Penulis feature dapat bertindak bebas, dapat menulis seperti menulis cerita, yang terpenting feature yang ditulis menarik perhatian dan memberikan sesuatu (nilai lebih) pada pembaca. Penulis feature adalah penutur cerita yang mampu menggunakan imajinasi dan kreativitasnya untuk membangkitkan rasa ingin tahu pembaca, untuk mencengangkan, untuk menjawab keragu-raguan, atau untuk membuat pembaca haru, tertawa, bahkan menangis. 2.
Sebelum Menulis Sebelum menulis, penulis feature hendaknya memperhatikan keadaan sekeliling (di mana dan kapan pun), mengetahui apakah ada sesuatu yang lain, yang lucu, yang unik, yang tidak biasa, yang dramatis, yang layak diketahui pembaca. Salah satu cara untuk memperoleh bahan karangan, selain observasi langsung, bisa dilakukan dengan wawancara (wawancara pribadi, wawan19
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
cara berita, wawancara jalanan, wawancara telepon, wawancara tertulis, dan lain-lain). Langkah-langkah penting dalam berwawancara: (1) memperkenalkan diri, menjelaskan maksud wawancara, (2) mengetahui kegemaran/hobi untuk memulai pembicaraan menuju wawancara, (3) tidak berdebat, tetapi berusaha memperoleh informasi, (4) mencatat dengan cermat nama, jabatan, atribut, dan pernyataan-pernyataannya, (5) cepat menyesuaikan diri terhadap situasi baru yang berkembang jika yang terjadi lain dari rencana semula, misalnya cepat menyusun pertanyaan baru di luar pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya, (6) menyatakan terima kasih, menanyakan apakah ada pesan, tambahan, dll, dan (7) kalau perlu membacakan hasil wawancara dan meminta paraf persetujuan, lebih-lebih jika itu menyangkut masalah yang peka yang akan berdampak luas jika diterbitkan. Dalam wawancara, jangan lupa melontarkan pertanyaan peluru yang jawabannya mungkin sangat berguna bagi lead berita atau penutup feature. Setelah bahan memadai, langkah berikutnya merumuskan kalimat tema (pokok tuturan) sekaligus angle-(segi, sudut pandang)-nya dan ini yang membatasi dan mengendalikan tulisan agar tidak terlalu luas atau terlalu sempit. Misalnya: perawat (terlalu luas), sedangkan perasaan perawat gadis di rumah sakit bersalin (lebih pas). Dan karangan sudah baik jika memenuhi syarat kesatuan, rincian, keaslian. 3.
Saat Mulai Menulis Saat inilah yang paling sulit. Bahan sudah terkumpul, kalimat tema sudah dirumuskan, tetapi terkadang sangat sulit menulis paragraf awal (teras) yang mampu menarik perhatian pembaca. Sebab, teras haruslah mampu membangkitkan minat, perhatian, dan rasa ingin tahu pembaca, yang ditulis secara ringkas. Setelah teras berhasil dirumuskan dan ditulis, disusul tubuh karangan yang berupa rincian yang dituturkan mengikuti alur aturan tuturan yang tertib, masuk akal, dengan gaya cerita menurut 20
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
selera (piramida terbalik, kronologis, dll), barulah ditutup dengan penutup yang juga harus menarik. Judul (Title) Feature Harus menggugah perhatian. Harus kreatif, original. Teras Feature Teras (sebagai jiwa-raga karangan) terwujud dalam paragraf pertama. Paragraf pertama ini mengemban fungsi sebagai gagasan sentral. Fungsi gagasan sentral adalah untuk mengendalikan isi tulisan dan mewajibkan penulis membatasi tulisannya. Harus menarik perhatian. Beberapa unsur yang menarik perhatian dan diinginkan pembaca biasanya berkaitan dengan kebaruan, kedekatan, cuatan, keanehan, dan lain-lain. Bentuk teras ada bermacam-macam, misalnya ringkasan, narasi, deskripsi, kutipan, pertanyaan, sapaan akrab, dan lain-lain. Tubuh Feature Kalau teras diibaratkan sebagai jiwa-raga karangan, tubuh diibaratkan “stelan baju dan aksesori” yang memantulkan keadaan sang jiwa-raga. Stelan harus pas dengan raga, warna disesuaikan dengan keadaan jiwa. Pas dengan raga dan sesuai dengan jiwa berarti hubungan antara teras dan tubuh ibarat rupa dan bayang-bayang. Jelasnya, setelah teras dirumuskan sesuai dengan pokok cerita/tema yang diinginkan, tubuh ditulis sejalan dengan arahan yang tersirat dalam teras. Setiap keterangan/informasi mengenai pokok cerita ditulis seperti menyusun batu bata menjadi tembok. Beberapa pola paragraf yang dapat digunakan untuk menjaga ketertiban susunan karangan adalah tematik (setiap paragraf memberikan penegasan kembali kepada apa yang 21
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
telah diutarakan dalam teras), spiral (setiap paragraf merinci apa yang ditulis dalam paragraf sebelumnya, ibarat spiral menggulir ke bawah), dan blok (setiap paragraf berisi bahan yang seolah berdiri sendiri, tetapi akhirnya menyulam satu cerita yang bulat). Pola rinciannya ada dua, yakni kronologis (alamiah, berdasarkan urutan ruang dan waktu) dan logis (dari yang kurang penting ke yang terpenting, dari yang umum ke khusus, atau sebaliknya). Dalam hal ini ungkapan “peralihan” menjadi kunci perekat hubungan antarparagraf.
Penutup Feature Setidaknya ada empat jenis penutup, yakni ringkasan (mengacu kembali ke teras), klimaks (menimbulkan kejutan, kenangan, kengerian, dll), tanpa akhir (mengajukan pertanyaan tanpa jawaban), dan penyengat (pernyataan yang di luar dugaan pembaca). Purnatulis Setelah feature selesai ditulis, penulis harus mengecek kembali dengan beberapa pertanyaan berikut. Apakah peristiwa, pendapat, dan masalah itu menarik untuk dibaca? Apakah karangan sudah terfokus pada pokok tulisan dan tidak menyimpang jauh? Apakah aturan 5W + 1H sudah terpenuhi? Apakah penulisan nama orang, jabatan, kedudukan, dll sudah tepat? Apakah rincian sudah memadai? Apakah kata-kata yang digunakan mudah dipahami? Apakah ungkapan mampu memberikan sentuhan emosional?
22
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Apakah fakta akurat? Apakah contoh yang diberikan konkret? Apakah daya pikat sudah diberi tekanan? Apakah teras, peralihan, tubuh, dan penutup sudah terstruktur dengan baik?
Catatan: tulisan ini disarikan dari berbagai buku sumber.
23
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
24
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
MENULIS ESAI, EASY OR NOT EASY? P. Ari Subagyo
Pendahuluan “Mengarang itu gampang!” tulis Arswendo Atmowiloto. Ungkapan itu pula yang menjadi judul bukunya — sampai sebelas tahun lalu sudah sepuluh kali cetak ulang — Menulis itu Gampang (Gramedia Pustaka Utama, 2001). Secara umum, buku ini memandu pembacanya untuk menjadi penulis, khususnya penulis sastra. Bagi seorang penulis profesional kelas kakap seperti Arswendo, boleh jadi menulis memang gampang. Pekerjaan menulis segampang bernafas dan semudah mengunyah. Mengarang memang bisa dilakukan oleh siapa pun: anakanak, remaja, orang muda, orang tua, bahkan pensiunan; pria maupun wanita. Menurut Arswendo, menulis seperti naik sepeda atau berenang, sekali menguasai akan bisa seterusnya. Tak akan lupa atau menjadi tidak bisa. Yang diperlukan hanyalah mengenal unsur-unsur dalam mengarang: ide atau ilham, cara menyusun, menggambarkan tokoh. Selebihnya latihan. Rasanya, asal bukan buta huruf total, semua orang bisa mengarang. Bagi Arswendo yang sudah puluhan tahun menjadi penulis, mengarang memang sungguh gampang. Namun, pada kenyataannya, mengarang tidak selalu gampang, terutama bagi para pemula. Masalahnya, bagaimana agar mengarang itu gampang? Artikel ini secara singkat memberikan 25
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
panduan, terutama untuk menulis esai. Pembahasan mencakup perihal (1) hakikat menulis, (2) pentingnya latihan dan praktik, (3) pengertian dan ciri-ciri esai, dan (4) tahap-tahap menulis. Hakikat Menulis Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa di samping berbicara, menyimak, dan membaca. Menulis termasuk keterampilan berbahasa yang bersifat aktifproduktif, tertulis, dan tidak langsung. Menulis dan tiga keterampilan berbahasa lainnya itu saling berkaitan. Keterampilan yang satu dapat memengaruhi keterampilan yang lain. Suparno dan Mohamad Yunus (Keterampilan Dasar Menulis, 2011:1.6) menggambarkan saling hubungan empat keterampilan berbahasa tersebut dalam tabel berikut ini: Keterampilan Berbahasa
Lisan dan Langsung
Tertulis dan Tidak Langsung
Aktif Reseptif (menerima pesan)
Menyimak
Membaca
Aktif Produktif (menyampaikan pesan)
Berbicara
Menulis
Menulis dikatakan aktif-produktif karena menulis bersifat menyampaikan pesan. Adapun menulis dikatakan tertulis dan tidak langsung karena komunikasi terjadi secara tertulis (dengan tulisan) dan tidak langsung (penulis dan pembaca tidak berhadaphadapan langsung, tetapi terpisahkan oleh ruang dan waktu). Menulis kait-mengait dengan tiga keterampilan berbahasa yang lain. Menyimak dapat menopang keterampilan menulis, misalnya ketika penulis memerlukan informasi dari sumber-sumber lisan (tak tercetak), seperti radio, televisi, ceramah, pidato, diskusi, debat, wawancara, ataupun obrolan. Menulis berkaitan dengan membaca sebab seseorang yang membaca tidak hanya memeroleh informasi dari sumber-sumber tertulis (buku, artikel, makalah, dan sebagainya), tetapi ia juga bisa belajar memilih topik, mengemukakan ide, menata gagasan, memilih dan meng26
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
gunakan gaya penulisan, dan sebagainya, dari tulisan-tulisan yang dibacanya. Menulis berhubungan dengan berbicara sebab keduanya sama-sama keterampilan aktif produktif. Keterampilan menulis dan berbicara menuntut kemampuan memilih topik, menentukan tujuan dan sasaran, mencari data dan informasi, menerapkan cara penyampaian, dan memilih corak teks yang sesuai (narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, atau persuasi). Hal penting yang juga harus disadari adalah bahwa menulis merupakan kegiatan mengemukakan pemikiran. Artinya, menulis hanya dapat dilakukan dengan berpikir. Menulis adalah berpikir. Otaklah yang lebih banyak bekerja daripada tangan dan bagian tubuh lainnya. Tangan dan bagian tubuh yang lain lebih mengerjakan hal-hal teknis, dan otaklah konseptor utamanya. Maka, menulis menuntut ketenangan, konsentrasi, dan mood (perasaan tanpa beban) supaya otak dapat bekerja tanpa gangguan. Tempat dan suasana menjadi faktor pendukung utama. Namun, tempat dan suasana saja tidaklah cukup. Jika seseorang sedang tidak tenang, pikiran kacau, atau perasaan gerah dan gundah, bisa dipastikan ia tidak mampu menulis. Tentu saja minat, hasrat, atau gairah juga harus bernyala dalam diri seseorang. Tanpa adanya minat, hasrat, dan gairah, akan sia-sialah gagasan atau pemikiran yang telah tumbuh dalam benak kita. Tulisan pun tidak pernah akan terwujud. Pentingnya Latihan dan Praktik Arswendo menekankan pentingnya latihan. Agar terampil menulis, kita memang harus banyak berlatih. Resep keberhasilan menulis sebenarnya sederhana, yaitu 3L: latihan, latihan, dan latihan. Semakin banyak minum “vitamin 3L”, semakin cepat dan gampang kita menulis. Tidak ada cara lain. Di dalamnya termasuk jatuh-bangun dan berkucur peluh karena proses trial and error: terus-menerus mencoba dan mencoba demi mengatasi kesalahan. Salah tidak apa-apa, sebab itu menjadi bagian yang wajar dan tak terpisahkan dari proses belajar. 27
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Andrias Harefa, seorang penulis beken buku-buku motivasi, juga menekankan pentingnya latihan dengan istilah praktik. Lewat buku Agar Menulis/Mengarang Bisa Gampang (Gramedia Pustaka Utama, 2002), ia menyebut perlunya keyakinan dan sikap dasar (beliefs and basic attitude) bahwa bagi kita pun bisa menulismengarang dengan gampang. Di atas bangunan keyakinan dan sikap dasar itu, kita perlu menambahkan secara bertahap dan kontinyu pengetahuan dan wawasan di seputar tulis-menulis maupun ide-ide pokok sesuai dengan minat dan ambisi kita masing-masing. Selebihnya adalah praktik, praktik, dan praktik. Menurut Andrias Harefa, belajar menulis harus didasari “kesadaran atas suatu ketidakmampuan” (conscious-incompetent), dalam hal ini kita sadar bahwa kita tidak mampu menulis. Ketidakmampuan wajib disadari dan diakui dengan jujur dan rendah hati. Namun, dengan terus berpraktik, kita akan berkembang menuju tahap “sadar bahwa kita mampu” (conscious-competent). Ketidakmampuan kita ubah menjadi kemampuan. Jika tidak lelah berpraktik, akhirnya kita akan mencapai tahap “tak sadar tapi kompeten” (unconscious-competent). Pada tahap inilah kita akan mengalami (bukan sekadar mengetahui) bahwa menulis dan mengarang memang gampang. Inilah tahap seseorang menjadi penulis profesional: menulis dan mengarang segampang menggerakkan kaki dan tangan. Satu hal yang sangat tidak diharapkan oleh Andrias Harefa adalah kita berada pada keadaan “tidak sadar bahwa kita tidak/ belum mampu” (unconscious-incompetent). Mengapa? Karena keadaan itu membuat kita tidak bisa dan tidak pernah belajar. Kita tidak tahu kelemahan atau keterbatasan diri sendiri. Atau kita malas dan takut mengetahui kelemahan dan keterbatasan itu sehingga kita tidak mampu mengembangkan diri dalam segi apa pun, termasuk dalam menulis.
28
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Pengertian dan Ciri-ciri Esai Esai merupakan naturalisasi (penulisan dengan tata tulis bahasa Indonesia) kata bahasa Inggris essay. Pengertian esai menurut Longman Dictionary of Contemporary English (2001:464) adalah “a short piece of writing giving someone’s ideas about politics, society, etc.”. Esai merupakan jenis tulisan untuk mengemukakan gagasan tentang persoalan sosial, politik, dan sebagainya. Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:381), esai adalah “karangan yang membahas suatu masalah secara sepintas-lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya”. Esai memiliki tiga ciri. Pertama, esai berdasarkan masalah, peristiwa, atau keadaan yang faktual dan aktual terjadi dalam masyarakat. Jadi, esai bukan tulisan fiktif (rekaan). Esai memang bisa berupa harapan imajinatif, tetapi tetap berdasarkan fakta aktual yang secara eksplisit (tersurat) dikemukakan dalam esai. Kedua, esai bercorak argumentatif. Maksudnya, esai ditulis dengan tujuan untuk mengemukakan opini (pendapat, usulan, rekomendasi, kritik, atau sikap verbal) secara argumentatif sehingga mampu memengaruhi pikiran dan sikap pembaca. Untuk memperkuat argumentasi, diperlukan data, teori, pendapat ahli, dan/atau analisis yang bernalar (logis). Ketiga, esai bersifat ilmiah popular. Di satu sisi, esai berciri ilmiah sehingga cara berpikir dan penulisannya mematuhi kaidah-kaidah ilmiah. Di sisi lain, esai ditujukan untuk pembaca umum, tidak terbatas pada kalangan keilmuan tertentu. Oleh sebab itu, pembahasaannya (pilihan kata, pengalimatan, dan sebagainya) diupayakan mudah dipahami masyarakat umum (popular). Ciri terakhir ini berkaitan dengan media pemuatan esai, yakni surat kabar umum (harian atau majalah) atau buku popular. Tahap-tahap Menulis Esai Selain sebagai “kerja otak”, menulis — termasuk menulis esai — pun merupakan sebuah proses. Sebagai sebuah proses, menulis berisi serangkaian kegiatan yang dapat diibaratkan 29
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
sebagai membangun rumah. Membangun sebuah rumah memerlukan tahap-tahap yang tertata rapi. Misalnya, merancang bangunan, memilih corak arsitekturnya, membeli bahan-bahan yang sesuai, membuat pondasi, merangkai kerangka, menembok dan menempatkan kusen, memasang atap, merangkai jaringan listrik, menyemen tembok, memasang ubin lantai, mengecat, dan sebagainya. Menulis perjalanan juga demikian. Ada tiga fase yang perlu dilewati, yaitu tahap prapenulisan, penulisan, dan pascapenulisan.
Tahap Prapenulisan
Tahap prapenulisan merupakan fase persiapan sebelum seseorang menulis. Sebagaimana kegiatan lain apa pun juga, menulis pun perlu persiapan. Persiapan yang baik menjamin 50% keberhasilan. Persiapan yang mantap akan membuat tulisan yang dihasilkan juga mantap. Tahap prapenulisan meliputi, pertama, pemilihan/penentuan topik (pokok pembicaraan). Topik dikatakan baik jika (i) problematis atau bermasalah, (ii) cakupannya pas, dalam arti tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit, (iii) feasible atau layak ditulis, baik dalam kaitannya dengan kepentingan bersama maupun ketertiban umum (tidak bersifat SARA), serta (iv) relatif dikuasai oleh penulis. Topik esai dapat dipilih/ ditentukan berdasarkan kalendarium rutin tahunan (1 Januari sampai dengan 31 Desember, tingkat lokal, nasional, regional, hingga internasional), agenda atau momen insidental (tingkat lokal hingga internasional), dan isu-isu aktual yang sedang menjadi perhatian masyarakat. Kedua, perumusan masalah. Esai hanya dapat ditulis karena adanya masalah (problem based). Namun, tidak setiap masalah layak untuk ditulis. Yang layak diangkat menjadi esai hanya masalah-masalah yang menyangkut keperluan hidup orang banyak. Masyarakat perlu lebih memahami masalah itu agar tidaktimbul kebingungan yang luas. Sangat mungkin, lewat esai, penulis menawarkan kemungkinan jalan keluar atau solusi sehingga 30
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
masyarakat terbebas dari persoalan yang lebih besar. Sangat mungkin, sebuah persoalan tidak pernah disadari oleh masyarakat atau khalayak umum, maka kejelian menemukan masalah dan mengemukakannya kepada khalayak, apalagi disertai jalan keluar atau solusi, seyogianya menjadi naluri seorang penulis esai. Agar lebih jelas bagi pembaca maupun penulisnya sendiri, masalah seyogianya dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya. Jumlah masalah harus disesuaikan dengan panjang esai yang akan dibuat. Ketiga, penentuan tujuan. Menulis merupakan kegiatan yang berorientasi pada tujuan (goal-oriented activity). Seorang penulis memiliki tujuan tertentu sehingga ia menulis esai kepada masyarakat pembaca. Tujuan itu membentang dari mulai sekadar mengulas atau mengurai suatu persoalan, menolak atau mengkritik sebuah kebijakan, hingga mengusulkan kebijakan atau jalan keluar yang lebih baik. Berkaitan dengan tujuan ini, penulis esai potensial berperan sebagai opinion leader. Ia mencerahkan, memandu, dan memimpin masyarakat dengan pendapat-pendapat yang ditulisnya. Bisa juga ia menyentil atau mengingatkan para pejabat agar berbuat bijak bagi masyarakat. Keempat, penyusunan rancangan atau kerangka karangan. Langkah ini penting tidak hanya bagi penulis pemula, tetapi juga penulis yang sudah profesional sekalipun. Pada prinsipnya, rancangan/kerangka karangan merupakan sekumpulan pokokpokok pikiran yang terkait dengan topik dan permasalahan. Pokok-pokok pikiran itu tidak sekadar didaftar atau diinventaris, tetapi diurutkan dari awal (bagian pembuka), tengah (bagian pembahasan), hingga akhir (bagian penutup). Pokok-pokok itu dapat ditulis dengan model kata/frasa pokok atau model kalimat pokok. Rancangan/kerangka karangan memiliki fungsi praktis bagi penulis, yaitu menjadi pola untuk dikembangkan menjadi karangan utuh, ibarat kerangka bangunan yang diisi batu-bata dan/atau bahan-bahan lain oleh para tukang.
31
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Kelima, pencarian bahan-bahan rujukan. “Rujukan” ialah berbagai data, informasi, teori, pendapat ahli, dan sebagainya untuk dasar atau penguat argumentasi. Selain itu, adanya rujukan sekaligus juga menunjukkan ciri ilmiah sebuah esai. Namun, karena esai tergolong karangan ilmiah popular, tata cara penulisan rujukan tidak seketat dalam karangan ilmiah “murni”. Sebagai contoh, esai tidak menuntut adanya daftar pustaka (bibliografi) maka nama pengarang dan judul buku rujukan disatukan dalam teks (seperti dalam artikel ini). Penulis tertentu yang kapasitas kepakarannya telah diakui secara luas, misalnya seorang prosefor yang sudah lama diakui sebagai esais, kadang tidak dituntut mencantumkan rujukan. Mengapa? Sebab pendapat/opininya dihargai setara dengan rujukan yang dikemukakan ahli-ahli lain, atau pendapat/opini beserta analisis/kajian sang profesor diakui sebagai rujukan itu sendiri.
Tahap Penulisan
Tahap penulisan merupakan kelanjutan tahap prapenulisan. Tiga kegiatan yang lazim dilakukan dalam tahap ini adalah, pertama, pengembangan rancangan/kerangka karangan. Telah dipaparkan dalam Tahap Prapenulisan (catatan keempat), rancangan/kerangka karangan ibarat kerangka bangunan yang lalu diisi dengan batu-bata dan/atau bahan-bahan lain. Pokok-pokok pikiran dalam rancangan/kerangka karangan esai juga demikian, yakni dikembangkan dengan “batu-bata” berwujud kalimat-kalimat yang variatif dan tertata dengan urutan yang tepat. Adapun “bahan-bahan lain” berupa penghubung antar-kalimat serta katakata yang dipilih dan ditempatkan secara cermat. Semua unsur itu membentuk paragraf dan karangan utuh yang kohesif (padu makna) dan koheren (padu bentuk). Kedua, pencarian rujukan tambahan sesuai dengan keperluan. Pada tahap pra-penulisan memang telah dilakukan pencarian rujukan. Namun, bisa jadi rujukan itu masih kurang atau ada rujukan baru yang lebih relevan, maka pada tahap penulisan masih terbuka kemungkinan untuk menambahkan rujukan-rujukan yang 32
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
sesuai dengan keperluan. Langkah ini ditempuh untuk menambah kekuatan argumentasi dan kadar keilmiahan sebuah esai. Rujukan berupa data, informasi, teori, pendapat ahli, dan sebagainya yang diperoleh dari sumber-sumber buku, artikel jurnal, artikel/berita media massa, laporan penelitian, laporan resmi sebuah instansi, makalah, hasil diskusi, dan opini masyarakat. Ketiga, pemilihan gaya penulisan. Gaya penulisan ibarat ornamen pada bangunan yang membuat bangunan indah dipandang. Atau, kalau dalam tradisi kuliner, gaya penulisan ibarat “bumbu” dan “cara penyajian” yang membuat masakan nikmat dilihat dan disantap. Gaya penulisan setidaknya berupa pemilihan kata, penciptaan variasi kalimat, penggunaan gaya bahasa, dan pembentukan persesuaian bunyi (semacam persajakan) pada bagian-bagian tertentu sehingga esai menjadi enak dibaca. Sebuah esai dikatakan “enak dibaca” jika pembacanya tidak merasa lelah saat membaca, tetapi justru dapat menikmati. Dengan demikian, pembaca dapat menangkap isi/pesan dengan mudah dan bahkan memeroleh kenikmatan dan hiburan. Pemilihan gaya penulisan membuat sebuah esai memenuhi kriteria dulce et utile (menghibur dan memberi manfaat). Berikut ini contoh penulisan yang mengabaikan dan yang menghiraukan gaya penulisan. Contoh yang menghiraukan gaya penulisan terasa lebih enak dibaca. No.
Mengabaikan Gaya Penulisan
Menghiraukan Gaya Penulisan
1
Berawal dari hasutan kata-kata, lalu amarah massa terbakar. Nalar menjadi kacau, budi hilang. Yang tinggal hanya kemarahan yang bernyala-nyala.
Bermula dari hasutan kata-kata, lalu terbakarlah amarah massa. Nalar menjadi pudar, budi tersungkur mati. Yang tinggal hanya gelegak emosi.
2
Komputer dan internet telah menyebabkan umat manusia memasuki cyberspace dan cyberculture. Internet menimbulkan lifestyle baru, membuka karier yang tidak terbayangkan sebelumnya, menuntut aturan-aturan yang belum ada sebelumnya, menampilkan persoalan baru, dan menimbulkan perubahan dalam kekuasaan.
Komputer dan internet telah membawa umat manusia memasuki cyberspace (jagat maya) beserta cyberculture (budaya maya). Internet menetaskan lifestyle baru, membuka karier baru, menuntut aturan baru, menampilkan isu-isu baru, dan membentuk dinamika kekuasaan baru.
Tahap Pascapenulisan
Titik terakhir bukanlah tanda penulisan esai berakhir. Masih ada tahap pasca-penulisan. Ada dua kegiatan yang disarankan pada tahap ini. 33
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Pertama, pembacaan ulang seluruh karangan. Pembacaan ulang bermanfaat dalam memeriksa kembali tulisan untuk menemukan kekurangan atau kesalahan yang perlu dibenahi. Dalam fase ini, kita sebagai penulis menempatkan diri sebagai pembaca. Kita seolah-olah membaca tulisan orang lain. Kita tidak boleh berorientasi pada diri sendiri; atau asal gagasannya terungkap sebagai karangan, tanpa peduli bagaimana orang lain gampang atau sulit memahaminya. Penulis yang baik justru berorientasi pada orang lain sehingga berusaha sedemikian rupa untuk membuat orang lain tertarik dan mudah memahami karangannya. Dengan membaca ulang, kita dapat menilai tulisan kita sendiri secara objektif. Kita mengambil jarak dari tulisan kita, lalu menimbangnya apa adanya. Kedua, penyuntingan (editing) bagian-bagian yang perlu diperbaiki atau belum pas. Langkah ini merupakan lanjutan sekaligus konsekuensi dari langkah membaca ulang. Kekurangan dan kesalahan yang telah kita temukan perlu diperbaiki. Langkah ini lazim disebut penyuntingan (editing). Kekurangan atau kesalahan itu bisa berupa hanya kesalahan ketik pada satu atau dua huruf sehingga editing-nya sekadar membetulkan sesuai huruf yang semestinya. Namun, kesalahan dapat pula berupa kesalahan konsep atau kesalahan susunan pikiran/gagasan. Jika demikian, kita harus memikirkan kembali konsep yang benar dan menata ulang pikiran/gagasan agar lebih bernalar. Penyuntingan juga merupakan upaya penulis untuk berorientasi pada pembaca. Apalagi jika esai yang kita tulis akan dikirim ke redaksi media massa. Batasan jumlah kata atau halaman mau tidak mau mewajibkan kita melakukan editing agar esai kita memenuhi ketentuan yang berlaku di media massa yang akan kita tuju. Bagaimana pun, redaksi surat kabar lebih memilih esai yang tidak banyak kesalahan.
34
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Penutup Pada akhirnya, menulis esai itu gampang atau sulit? Menulis esai is easy or not easy? Jawabnya tergantung kita masing-masing. Memahami secara teoretis bagaimana menulis esai sangat penting dilakukan. Namun, pengetahuan teoretis saja tidaklah cukup. Kita perlu banyak latihan, latihan, dan latihan. Tidak kalah penting tentu saja semangat dan gairah sehingga latihan terus-menerus tidak membuat kita mudah lelah dan putus asa. Menulis esai dapat dilakukan oleh siapa pun, termasuk kita.
35
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
36
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
MENULIS ESAI ATAU ARTIKEL DI MEDIA Y.B. Margantoro
“Membaca (dan atau menulis) merupakan alat pokok untuk hidup lebih baik.” – Mortimer J. Adler, dalam A. Widyamartaya dan V. Sudiati (2004). KOMUNIKASI ada sejak manusia ada. Artinya, sejak manusia lahir di dunia, dia sudah berkomunikasi dengan lingkungan terdekatnya. Salah satu “bentuk komunikasi” khas bayi adalah menangis atau menggerak-gerakan bagian tubuhnya untuk menyampaikan “pesan”. Karena hobinya menangis, maka untuk mengekspresikan kegembiraan atau kesedihannya, boleh jadi dia pilih menangis, selain tentu saja boleh juga tertawa. Seiring dengan bertambahnya usia, lingkungan yang mendukung dan teknologi komu-nikasi yang tersedia, manusia melakukan komunikasi kepada orang lain secara lebih baik. Komunikasi antarindividu dalam bentangan ruang dan waktu yang jauh sekalipun bisa dilakukan dengan baik berkat teknologi. Demikian juga untuk komunikasi massa, ada dukungan sarana prasarana yang memungkinkan untuk itu. Untuk (ber)komunikasi massa, pada dasarnya dibutuhkan adanya komunikator, komunikan, pesan, media, dan dampak. Komunikator adalah orang yang menyampaikan pesan kepada komunikan, komunikan adalah orang yang menerima pesan dari 37
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
komunikator, pesan adalah informasi yang diperoleh komunikan dari komunikator, media adalah alat bantu untuk menyampaikan pesan itu, yakni media massa, dan dampak adalah akibat dari terjadinya komunikasi massa melalui media massa. Berkomunikasi bisa secara lisan dan tertulis, disamping bisa juga dalam bentuk yang lain. Komunikasi tertulis artinya menyampaikan ide, gagasan, argumentasi secara tertulis. Tanpa dimaksud mengecilkan arti komunikasi lisan, komunikasi tertulis membutuhkan lebih banyak syarat agar komunikan dapat memahami pesan yang disampaikan. Sebuah pepatah mengatakan : “Segalanya akan musnah, kecuali perkataan yang tertulis”. Meski secara teknologis sekarang ada alat yang bisa merekam komunikasi lisan, namun komunikasi tertulis tetap memiliki keunggulan. Kalau pepatah itu disepakati, maka kalau pesan yang disampaikan kepada orang lain ingin monumental, menulislah! Dan menulis di media massa, terutama koran harian, akan sangat membantu tersebarnya secara luas pesan atau ide yang kita sampaikan. Sebelum “berani” menulis di media massa, berlatihlah menulis di buku agenda, kemudian menulis di media sekolah/kampus/internal/korporat/komunitas, menulis di lomba karya tulis, sampai akhirnya dapat menulis di koran umum maupun buku. Ada tiga rumpun tulisan di media, khususnya media cetak, yakni fakta, opini dan fiksi. Pada kesempatan ini, penulis akan fokus ke rumpun opini yang terdiri dari tajuk rencana, karikatur atau kartun editorial, pojok, artikel, esai, kolom, news analysis, surat pembaca, dan resensi buku. Kecuali karikatur dan pojok, aneka tulisan dalam rumpun opini memiliki unsur-unsur kesamaan, yakni adanya penyampaian fakta dan data, permasalahan, pembahasan serta simpulan dan saran. Memang porsi dan cara penyampaiannya berbeda, demikian pula orientasi penulisan dan “taste”-nya…. Tanpa bermaksud mengecilkan arti tulisan lain di rumpun opini, tulisan esai sebenarnya memiliki “tingkat kesulitan” tersendiri karena 38
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
selain harus mampu memaparkan fakta dan data, permasalahan dan pembahasan, cara penulisannya pun harus memiliki “taste” yang berbeda dengan artikel. Analoginya, kalau artikel itu ibarat “berita” di rumpun fakta, maka esai ibarat “feature” di rumpun fakta. Tidak ada “larangan” bagi siapa saja untuk langsung menulis bentuk esai ketika memilih menyampaian gagasan dengan dukungan referensi dan baru ke bentuk tulisan lain atau bahkan tetap fokus ke esai. Namun disarankan lebih baik memulai dari bentuk yang sederhana terlebih dulu, yakni surat pembaca. Setelah itu meningkat ke artikel dan kemudian news analysis. Langkah selanjutnya bolehlah “menjajal” esai dan kalau diberi kesempatan oleh redaktur media dapat juga menulis kolom. Bagaimana dengan tajuk rencana dan pojok? Kedua bentuk tulisan ini merupakan “otoritas” pihak media, dalam hal ini karya pemimpin redaksi, redaktur senior dan atau redaktur pelaksana. Masyarakat umum dapat memanfaatkan tajuk dan pojok sebagai bacaan lepas atau referensi untuk menulis artikel. Sebaliknya, tajuk dan pojok juga dapat memperoleh inspirasi dari artikel atau berita. Sedangkan untuk resensi buku juga dapat dipilih sebagai “alternatif lain” dari penulisan di rumpun opini. Penulis esai khususnya dan artikel umumnya dianjurkan juga menulis resensi buku (dan akhirnya akan mampu menulis buku) agar memperoleh kesempatan untuk membaca (banyak) buku. Apalagi kalau buku yang dibaca dan diresensi adalah buku fiksi, pengalaman empiris, biografi, sejarah, kepemimpinan atau sosial kemasyarakatan, karena akan cukup membantu dalam penulisan esai. Widyamartaya dan V. Sudiati (2004) mengemukakan bermacam-macam jeniskarangan yang dapat ditulis, tetapi semuanya termasuk dalam satu di antara dua jenis tulisan, yakni prosa atau puisi. Menurut apa yang menjadi pokok utama pembicaraan atau maksud pokok penulisan, ada yang tergolong karangan pengetahuan (berupa risalah, misalnya, kalau tidak terlalu pan39
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
jang), dan ada yang tergolong karangan kesastraan (berupa esai, misalnya, termasuk sejarah, biografi, lukisan, ulasan, kisah, dan ajakan). Ada tiga macam esai yakni esai cerita, esai lukisan dan esai ulasan. Dalam kesempatan ini lebih ditekankan kepada esai ulasan. Esai itu apa? Secara mudahnya boleh dipandang sebagai usaha untuk melahirkan pandangan mengenai suatu topik dengan bentuk serta dengan cara penuturan yang sebaik-baiknya. Hal yang terpenting dalam esai bukan apa yang dibicarakan, melainkan bagaimana cara membicarakannya. Esai ulasan adalah esai yang hendak membentangkan, menguraikan atau memantulkan pendapat dan perasaan tentang suatu hal dalam bidang kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, politik, filsafat, dan sebagainya. Dalam bahasa Inggris, esai ulasan disebut “reflective essay”. Secara singkat dapat dikatakan, esai ulasan merupakan praktek memandang dan merenungkan hal apa saja. Dengan menulis esai ulasan, kita diuji dalam hal kemampuan berpikir dan melukiskan, menata gagasan-gagasan, dan menimba dari pengalaman, imajinasi dan pengetahuan umum kita. Untuk memudahkan mengenal dunia tulis menulis di koran, di sini dijelaskan secara sederhana dengan rumus berita: 5 W + 1 H, yakni apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana. Artikel (dan Esai) itu Apa? Artikel (dan esai) itu sebuah karya tulis opini atau pendapat. Dalam tulisan artikel ada muatan pemaparan permasalahan, fakta dan data, kemudian dilakukan tanggapan atau pembahasan, dan diakhiri dengan simpulan dan saran. Kronologi sederhananya adalah: pendahuluan, permasalahan, pembahasan, simpulan dan saran. Apakah setiap artikel harus memakai urutan seperti itu? Jelas tidak. Anda boleh berkreasi sendiri, menulis dengan urutan yang lain. Hal yang penting, pembaca paham atas ide atau gagasan Anda, paham atas permasalahan yang ada 40
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
atau sedang terjadi, dan syukur-syukur ada solusi atau jalan keluar yang disampaikan. AS Haris Sumadiria (2005) berpendapat, karakteristik artikel adalah: ditulis dengan atas nama (by line story); mengandung gagasan aktual atau kontroversial; menyangkut kepentingan sebagian besar khalayak pembaca; ditulis secara referensial dengan visi intelektual; disajikan dalam bahasa sederhana, jelas, menarik, hidup, segar, populer dan komunikatif; singkat dan tuntas; orisinal. Syarat artikel layak kirim adalah : (1) topik yang diangkat aktual dan atau kontroversial, (2) tesis yang diajukan orisinal serta mengandung gagasan baru dan segar, (3) materi yang dibahas menyangkut kepentingan masyarakat luas, (4) topik atau pokok bahasan yang dikupas diyakini tidak bertentangan dengan aspek etis, sosiologis, yuridis dan ideologis, (5) ditulis dengan bahasa baku yang benar dan baik, lincah dan segar, mudah dicerna dan ringan dibaca (komunikatif), (6) mencerminkan visi dan sikap penulis sebagai seorang intelektual atau cendekiawan, (7) referensial, (8) singkat, utuh dan tuntas, (9) memenuhi kebutuhan sekaligus bisa mengikuti selera dan kebijakan redaksional media massa, dan (10) memenuhi kualifikasi teknis-administratif media massa bersangkutan. Cara mengirim artikel: naskah dimasukkan ke dalam amplop, ditulis nama media yang dikirim dan si pengirim, pada sudut kiri amplop ditulis “artikel opini”, dilengkapi surat pengantar dan jati diri penulis (plus nomor rekening bank dan nomor HP/telepon yang bisa dihubungi), dan atau dilengkapi CD. Selain itu juga dapat dikirim melalui e-mail media tersebut. Siapa yang Boleh Menulis Artikel (dan Esai)? Siapa saja yang mau dan mampu! Artinya, kalau memang memiliki ide dan gagasan, cukup bahan referensi atau pustaka untuk mendukung ide itu, dan mampu menuliskannya secara baik, benar, dan menarik, kenapa tidak dicoba? 41
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Unsur siapa yang lain di sini adalah secara teknik (menulis artikel) menguasai, sikap mentalnya bagus (tidak mudah patah semangat kalau tulisannya ditolak), memiliki kebiasaan membaca, intelektual, atau pengamat sosial. Selain itu, unsur siapa juga menyangkut media yang akan dikirimi tulisan, dan tentu saja juga sasaran pembaca media tersebut. Kapan Menulis Artikel (dan Esai)? Soal waktu, memang bisa sekarang, kapan-kapan, pas punya ide menarik, pas ingin sekali menulis, pas ada tulisan yang layak ditanggapi (polemik), atau pas ada momentum (peristiwa) tertentu. Namun pada dasarnya, menunda melakukan sesuatu — termasuk menulis — sebenarnya kurang bagus. Sebaiknya, lakukanlah sesuatu (dalam hal ini menulis) dengan segera dan terus menerus sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Dengan sudah terbiasa menulis, maka akan lebih lancar, lebih baik, dan lebih termotivasi. Dimana Menulis Artikel (dan Esai)? Di media massa, khususnya koran harian, adalah salah satu media menulis yang baik. Maksudnya, baik dari segi profesionalisme pengelolaan media, baik dari segi penyebaran informasinya, dan boleh jadi baik juga dari segi honorariumnya. Mulailah menulis di koran lokal, kemudian koran nasional, syukur-syukur nantinya bisa menulis di koran internasional. Untuk menulis di media massa, sebaiknya mulailah dari hal-hal yang sederhana, kemudian meningkat ke bentuk tulisan yang lebih sulit. Untuk karya artikel atau opini, mulailah menulis surat pembaca. Kemudian meningkat ke artikel pendek, artikel panjang, kolom, esai, resensi buku. Mengapa Menulis Artikel (dan Esai)? Ya mengapa harus menulis artikel kalau Anda lebih suka menulis fiksi atau fakta misalnya? Pada dasarnya, setiap topik 42
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
yang sama bisa ditulis dalam tiga bentuk yang berbeda. Misalnya, topik “Pers Sekolah” seperti buletin, koran selembar, atau majalah dinding dapat ditulis dalam bentuk fakta, opini, maupun fiksi. Tinggal bagaimana awal dan pengembangannya. Dengan menulis fakta, jelas harus melakukan pengamatan tentang keberadaan pers kampus setempat, lalu melakukan wawancara dengan narasumber yang berwenang dan pas untuk topik itu, melakukan riset pustaka, dan menuliskannya dengan rumus “MENJERIT” yakni menarik, jelas, ringkas, dan tertib. Untuk tulisan opini atau artikel harus membaca referensi atau bahan pustaka dulu, kemudian menganalisis, dan menuliskannya secara baik, benar, dan menarik. Sedangkan untuk tulisan fiksi, tinggal bagaimana kekuatan imajinasi kita dalam mengolah ide dan kemudian menuliskannya. Dengan kemauan, kemampuan, dan kebiasaan menulis artikel atau opini, kita akan terbantu sisi kekayaan pengetahuan, wawasan, sikap kritis, kepekaan sosial terhadap masalah-masalah di sekitar kita atau yang lebih luas lagi. Manfaat lainnya adalah kita belajar sabar kalau tulisan kita belum dimuat, selalu rendah hati untuk terus belajar, tidak sombong kalau kita semakin dikenal, memperoleh honorarium atau penghasilan tambahan, semakin gemar membaca, semakin banyak teman, dan sebagainya. Bagaimana Menulis Artikel (dan Esai)? 1)
Paling tidak ada tiga langkah untuk menulis artikel, yakni: Mulailah dengan gemar membaca. Bacaan apa saja, asalkan baik dan bermanfaat, bacalah! Pengertian membaca di sini bukan hanya membaca teks buku, koran, majalah, dan sebagainya, tapi juga “membaca” fenomena atau trend di sekitar kita, atau di masyarakat luas. Dari sana akan muncul ide untuk ditulis. Ide atau gagasan lain yang dapat kita peroleh yakni melalui tulisan orang lain yang kemudian kita tanggapi. Namanya polemik. Kemudian bisa juga mem43
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
2)
3)
bahas topik momentum, misalnya, Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, Hari Pahlawan 10 November, dan sebagainya. Bisa juga melontarkan ide atau gagasan baru. Menulislah dengan kalimat yang pendek, mudah dimengerti, dan menarik. Menulislah dengan awal dan akhir tulisan yang menarik. Menulislah dengan fakta dan data kuat. Menulislah dengan pembahasan yang baik, dan solusi yang pas. Pilihlah kata dan kalimat yang menarik, serta paragraf yang konsisten. Ketiklah tulisan Anda dengan rapi, spasi ganda, mulai 1 halaman sampai 3,5 atau 4 halaman kuarto, dan kemudian kirimkan ke media massa yang Anda pilih.
Mau strategi yang lain? Kita simak pendapat AS Haris Sumadiria (2005) sebagai berikut: a) Persiapan menulis artikel: Tahap persiapan, tahap pelaksanaan penulisan, tahap perbaikan materi penulisan (penyuntingan); cari ide yang menarik (sumber ide artikel, menyeleksi dan menetapkan ide); tetapkan topik secara spesifik; pilih judul provokatif (provokatif, singkat dan padat, relevan, fungsional, informal, representatif, merujuk pada bahasa baku); rumuskan tesis secara ringkas (ringkas dan jelas, mencerminkan topik, mengandung kebaruan); buatlah kerangka sederhana; pilih referensi yang relevan. b) Pelaksanaan menulis artikel: mengenal intro; mengembangkan bahasan artikel (penjelasan, contoh, perbandingan, kutipan, statistik, penegasan); tiga prinsip komposisi artikel (kesatuan, pertautan, titik berat); enam urutan organisasi pesan (deduktif, induktif, kronologis, logis, spasial, topikal); menutup artikel.
44
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Jadi, kalau Anda mau berbagi ide dengan orang lain, mau belajar mengolah gagasan secara tertulis, mau dikenal banyak orang, mau terima honor uang, mau berbuat sesuatu demi kemajuan kita bersama: menulislah! Sebuah pepatah mengatakan : Kalau ingin mengenal dunia membacalah, kalau ingin dikenal dunia menulislah. Maka menulislah mulai sekarang, jangan ditunda lagi!
45
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
46
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
MENULIS CERITA PENDEK Indra Tranggono
Dalam workshop penulisan cerpen di Yogyakarta tahun 1980an, cerpenis Umar Kayam (alm.) cukup kesulitan menjawab pertanyaan tentang “bagaimana menulis cerpen”. Ia hanya menjawab, “Pokoknya terus nulis…nulis dan nulis”. Umar Kayam menambahkan, “Seorang penulis cerpen yang baik harus memiliki ingatan yang tajam tentang berbagai pengalaman yang berkaitan dengan dirinya (pengalaman individual) dan pengalaman dengan orang lain atau masyarakat (pengalaman sosial)”. Sepotong dua potong ucapan Umar Kayam itu, sepitas memang “terlalu sederhana, bahkan sepele”. Namun, jika dicermati, ada keseriusan yang perlu direnungkan, yakni (1) tidak ada teori yang baku atau standar dalam penulisan cerpen selain praktik langsung, dan (2) seorang penulis cerpen pada dasarnya adalah seorang pengamat lingkungan, pengamat sosial, atau pengamat kehidupan yang baik. Artinya, dalam menulis cerpen, orang perlu melakukan apa yang disebut riset (penelitian), baik riset sosial yang berkaitan dengan dunia pengalaman berinteraksi dengan masyarakat maupun riset pustaka (membaca buku, media massa, literatur, dan sebagainya). Kenapa riset itu harus dilakukan? Karena tidak ada cerpen yang lahir dari ruang kosong, artinya sekadar khayalan, meskipun sifat cerpen adalah fiktif. Artinya, kehidupan ini sendiri meru47
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
pakan bahan baku yang bisa diolah untuk menciptakan cerpen. Sebab, pada dasarnya, cerpen merupakan hasil penafsiran atas nilai-nilai kehidupan yang diungkapkan lewat bahasa dan simbol secara indah. Kata “indah” ini bukan berarti sesuatu yang diindah-indahkan, melainkan “keindahan yang lahir dari pergulatan tematik, pergulatan bahasa, dan pergulatan simbolik”. Pergulatan tematik artinya penulis melakukan penjelajahan ke jagat tema sehingga menemukan tema yang menarik dan segar. Menarik artinya memberikan sudut pandang yang lain dari yang biasa dikenali sehingga memberikan keunikan. Segar maksudnya adalah cara penceritaan yang efektif dan efisien dalam bahasa, tajam, dinamis, dan komunikatif. Proses Penciptaan Cerpen Setiap penulis cerpen memiliki caranya sendiri dalam proses penulisan cerpen. Namun, yang saya kenali, proses penciptaan cerpen menyangkut beberapa hal: Pertama, menentukan tema dasar. Yang dimaksudkan tema dasar adalah “gagasan awal” yang melandasi penulisan cerita. Anda mau mengisahkan apa dalam cerpen Anda? Ide dasar itu bisa kita rumuskan dalam sebuah kalimat. Misalnya saja, “Kemuliaan seorang guru miskin dalam menghadapi godaan korupsi”. Kedua, personifikasi tema dasar atau mewujudkan tema dasar ke dalam tokoh sekaligus karakternya yang hendak kita ceritakan. Tentu di sini harus ada tokoh sentral yang mengemban tema, misalnya Kamil, seorang guru matematika yang dikenal punya semangat pengabdian yang tinggi. Kemudian, agar cerita mengalir, kita perlu juga menciptakan tokoh-tokoh lain yang berpotensi menimbulkan konflik pada diri Kamil. Misalnya, Pak Joni, kepala sekolah yang doyan suap, Pak Brono, konglomerat sekaligus orang tua salah satu murid Kamil (Cindy) yang kaya, memanjakan anak, gemar kolusi dan korupsi, dan seterusnya. Ratri, istri Kamil yang gampang tergoda materi di tengah hidupnya yang miskin. Kemudian Cindy, siswa kelas dua SMU Ha48
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
rapan Bangsa yang malas, suka pacaran, gemar inex dan sabusabu, ingin sukses tetapi tak mau kerja keras, dan seterusnya. Ketiga, menentukan persoalan. Persoalan apa yang bisa berpotensi menimbulkan konflik. Misalnya saja, keinginan Pak Brono untuk menyuap Kamil agar mau membocorkan soal-soal ujian matematika dengan imbalan uang sepuluh juta rupiah demi kenaikan kelas anaknya (Cindy). Keempat, membuat sinopsis sebagai acuan penceritaan. Namun, dalam praktiknya, tidak selalu sinopsis itu menjadi patokan cerita. Bisa saja, cerita berkembang dalam penulisan. Misalnya, sinopsis itu berbunyi begini: Kamil, guru matematika dikenal jujur dan punya semangat pengabdian yang tinggi. Menjelang ulangan umum kenaikan kelas, di rumahnya, ia didatangi oleh Pak Brono yang bermaksud “membeli” soal-soal ulangan matematika. Pak Brono mengajukan imbalan yang sangat besar, misalnya Rp10 juta kepada Kamil secara tunai. Soal-soal ujian itu dibeli untuk Cindy anaknya yang memang “pembenci matematika”, agar bisa naik kelas. Kamil bimbang. Ia terombang-ambing antara menerima atau menolak tawaran yang sangat menggiurkan itu. Di tengah kebimbangan itu, Pak Brono justru mendesaknya dengan berbagai rayuan. Kamil panik. Dan Kamil akhirnya tak bisa menentukan sikapnya. Akhirnya ia minta waktu untuk “pikir-pikir”. Sepulang Pak Brono, Ratri, istri Kamil, mengeluh soal keuangan (bayar kontrakan rumah, bayar sekolah tiga anak, beli susu dan sembako lainnya, dan seterusnya). Kamil pusing melihat istrinya yang marah karena Kamil tidak tegas dalam menyikapi tawaran Pak Brono. Ratri mendesak suaminya agar mau menerima tawaran itu. Tapi Kamil tak memberikan jawaban pasti. Ia ingin konsultasi dengan Pak Joni, kepala sekolah. Di ruang kepala sekolah, dalam pertemuan berdua dengan Pak Joni, Kamil mengalami kesulitan untuk mengatakan persoalan yang sesungguhnya. Ia takut Pak Joni tersinggung dan marah. Namun akhirnya ia nekad mengatakan persoalan yang sesungguhnya. Di luar dugaan, bukannya Pak Joni marah, tapi malah “menganjurkan”. Menurut Pak Joni, tak ada salahnya kita berbaik hati pada orang lain dengan “membocorkan” soal ulangan. Bukankah kita ini sudah terlalu lama
49
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
jujur? Tentu saja, bicara begitu Pak Joni ada maunya. Ia minta bagian separoh. Jawaban Pak Joni membuat hati Kamil makin risau. Bagaimana mungkin, Pak Joni yang dulu dikenal sebagai orang jujur kini berubah? Tapi, di sisi lain, mengingat kebutuhan keluarganya yang tinggi, Kamil pun punya pikiran lain: menerima tawaran Pak Brono. Pada waktu yang dijanjikan, Pak Brono datang menagih kesanggupan Kamil. Kamil cemas. Bingung. Juga tergoda melihat segepok uang yang dibawa Pak Bronto. Terjadi pertarungan batin dalam diri Kamil, antara menolak dan menerima tawaran yang sangat menggiurkan itu. Berulang kali, istrinya memanggil Kamil ke dalam kamar, dan mendesak agar Kamil menerima tawaran itu. Di benaknya, muncul pula wajah Pak Joni yang “mendukung” Kamil untuk “menjual” soal. Dalam pertarungan itu Kamil akhirnya memutuskan: menolak tawaran Pak Brono. Ini membikin Pak Brono marah dan merasa diremehkan. Namun, Kamil hanya punya satu jawaban: “saya tidak bisa!”. Istri Kamil pun marah dan menganggap Kamil bodoh. Namun, Kamil tetap dalam pendiriannya.
Kelima, membuat treatmen atau urutan adegan yang membentuk alur cerita. Adegan yang dimaksud adalah peristiwa yang terjadi dalam setting waktu, setting tempat, setting persoalan, yang melibatkan para tokoh. Sinopsis—sebut saja judulnya Guru Kamil—bisa dibagi dalam beberapa adegan. ADEGAN 1: Pertemuan antara Kamil dan Cindy di ruang kantor sekolah, siang, sesudah jam pelajaran. Mendekati ulangan umum kenaikan kelas, Cindy dipanggil Kamil karena ia tak pernah menggarap PR matematika. Kamil akan memberikan sanksi kepada Cindy— tidak boleh mengikuti pelajaran matematika—jika gadis manja itu tidak mau menggarap PR. Cindy takut juga dan berjanji untuk mengerjakan PR. Sebelum meninggalkan ruangan, Cindy bertanya di mana rumah Kamil. Tanpa curiga Kamil memberikan alamatnya.
50
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
ADEGAN 2: Setelah Cindy pergi, Kamil keluar ruangan. Di ruang guru, Kamil berpapasan dengan Pak Joni. Pak Joni mengungkapkan kebanggaannya atas semangat pengabdian Kamil. Kamil pun pamit pulang. ADEGAN 3: Di rumah, sore hari, Kamil sedang sibuk membaca koran. Ratri, istrinya datang membawa kopi panas. Kamil langsung minum kopi itu. Ia merasakan kopi itu pahit. Istrinya bilang tidak hanya gula yang habis, tapi juga beras, susu, minyak goreng, dan lain-lain. Malah pemilik rumah menagih uang kontrakan. Sri, Atun, Arum (anak-anak Kamil) harus bayar sekolah, dan seterusnya. Kamil panik. Di tengah kepanikan itu, muncul Pak Brono yang turun dari BMW seri 7. Perkenalan berlangsung hangat. Pak Brono memberikan oleh-oleh sekaleng biskuit dan beberapa kaleng susu. Bukan main gembiranya hati Ratri. Pak Brono memohonkan maaf atas kelalaian Cindy yang tidak pernah menggarap PR. Ia meminta banyak permakluman Kamil atas diri Cindy. Misalnya, Cindy terlalu sibuk di luar jam sekolah karena mengikuti berbagai kursus (piano, renang, modelling, dan lain-lain), yang sesungguhnya merupakan alasan yang dicari-cari Pak Brono untuk membela anaknya. Mendengar anaknya yang tidak masuk akal itu, Kamil menganjurkan Pak Brono untuk memindah Cindy ke sekolah yang lebih tepat. Namun, hal ini buru-buru ditukas Pak Brono bahwa anaknya tetap ingin lulus dari SMU Harapan Bangsa, sebuah sekolah favorit. Tanpa ragu dan malu (orang materialistis dan egois biasanya tidak tahu malu), Pak Brono menawarkan kerja sama. Ia minta Kamil membocorkan soal-soal ujian matematika dengan imbalan Rp10 juta. Kamil panik. Berbagai godaan muncul namun disusul dengan kebimbangan untuk menerima tawaran menggiurkan itu. Kamil tak bisa memutuskan. 51
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Pak Brono pamit, dengan meninggalkan seamplop uang di meja. Namun, hal itu buru-buru ditolak Kamil. Ada percekcokan setelah Pak Brono pulang. Istri Kamil marah-marah karena suaminya menolak uang dan tidak tegas menerima tawaran “kerja sama” Pak Brono. ADEGAN 4: Di ruang kepala sekolah, siang, seusai bubaran sekolah, Kamil menemui Pak Joni untuk konsultasi. Di luar dugaan, ternyata Pak Joni justru “menganjurkan” Kamil untuk menerima tawaran Pak Joni. Dengan catatan ia minta separoh bagian. Pak Joni beralasan bahwa sudah lama orang macam dia dan Kamil selalu jujur, namun nasibnya tak pernah ada enaknya. Kamil bimbang. Ia pun pulang. ADEGAN 5: Di rumah Kamil, kembali berlangsung pertemuan antara Pak Brono dan Kamil. Pak Brono minta ketegasan Kamil mengenai “jual-beli” soal matematika. Terjadi ketegangan pada diri Kamil. Di satu sisi ia ingin menolak tawaran itu. Tindakan itu tak hanya menciderai komitmen/dedikasi sebagai guru, namun juga melanggar nilai, etika, moral, dan hukum (tentu saja kalimat konsep dan gagah ini tidak dihadirkan begitu saja dan mentah, melainkan dihadirkan lewat simbol-simbol atau peristiwa). Namun, kemudian, kebimbangan kembali menyergap Kamil: untuk apa mempertahankan moral jika hidup sengsara? Bayangan wajah istrinya, wajah Pak Joni, wajah-wajah anak-anaknya yang butuh uang untuk membayar sekolah, berkelebat dalam benak Kamil, susul-menyusul mendesak Kamil untuk menerima tawaran itu. Kepala Kamil terasa berat. Dada Kamil terasa sesak. Kamil mendadak pingsan. Pak Brono dan Ratri, istri Kamil, cemas, bingung, dan memberikan pertolongan sebiasanya. Beberapa menit kemudian, Kamil sadar dan mengucap bahwa ia menolak tawaran Pak Brono untuk membocorkan soal. 52
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Kerangka cerpen Guru Kamil di atas mengandung alur yang linear, lurus. Jika kita menggambarkan struktur cerita itu, kita akan menemukan empat bagian seperti berikut ini. Bagian pertama (adegan 1-2) merupakan pemaparan persoalan. Bagian kedua (adegan 3-4) merupakan penggentingan atau penggawatan menuju konflik. Di sini persoalan semakin kompleks. Bagian ketiga (adegan 5) merupakan puncak konflik, sekaligus peleraian atau penyelesaikan konflik. Tentu saja, bentuk cerpen tidak harus alfabetis macam di atas. Cara bercerita berurutan merupakan cara paling sederhana yang bisa dilakukan, termasuk dalam belajar menulis cerpen. Jika sudah terbiasa dan menguasai keterampilan teknik, seorang penulis bisa saja “mengacak” urutan itu. Misalnya, ia menulis dari tengah (adegan 3 dan 4) kemudian bergerak ke awal (adegan 1 dan 2) dan menuju bagian akhir (adegan 5). Tentu saja, untuk mencapai itu, seorang penulis harus mampu menggunakan teknik penceritaan kilas balik, dari sudut pandang tokoh utama sekaligus pusat penceritaan. Selain itu, dalam mengungkap cerita, penulis bisa bertindak sebagai narator, orang yang bercerita atau sebagai pelaku langsung yang menjadi tokoh sentral yang lazim menggunakan tokoh “aku” atau “saya”. Semua cara bisa diambil, tergantung dari pencapaian estetik yang hendak diraih.
53
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
54
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
USAHA MENYUSUN CERITA Agus Noor
APAKAH yang dimaksud dengan cerpen? Pertanyaan semacam itu kadang sangat krusial dalam pengenalan maupun pengajaran sastra. Meski dalam proses kreatif bersastra atau menulis karya sastra, pertanyaan itu kadang diabaikan. Cerpen adalah akronim dari cerita pendek. Dinamakan cerita pendek karena sruktur cerita dan bentuk formal cerita itu memang (biasanya) pendek. Kalau mau memakai format folio, rata-rata cerpen berkisar antara 6—8 halaman. Tentu bisa lebih pendek, bisa juga lebih panjang. Banyak kritisi sastra mengatakan, cerita dengan panjang seperti itu biasanya bisa dihabiskan “sekali duduk” ketika menunggu bus atau menanti giliran di ruang tunggu dokter, misalnya. Karenanya, cerpen sering juga dikatakan sebagai cerita yang habis dibaca sekali duduk. Tetapi, sesungguhnya bukan hanya panjang-pendeknya halaman atau cepat-lamanya waktu membaca yang menjadi penilaian apakah sebuah cerita dinamakan cerpen atau bukan, tapi juga kompleksitas persoalan yang dijabarkan (atau meminjam istilah Bakdi Soemanto: underan) dalam cerita itu. Cerpen lebih cenderung berupa cerita dengan “kesan tunggal” atau dalam istilah Eudora Welty: “Suatu yang berawal dan berjalan terus lalu berakhir dalam satu garis kurva tunggal”. Jadi meski cerita itu berformat panjang, menghabiskan berhalaman-
55
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
halaman folio, apabila stuktur cerita atau plot ceritanya terkesan tunggal, maka cerita itu bisa kita katakan sebagai sebuah cerpen. Begitulah, meski kita sudah teramat biasa menjumpai cerpen, membacanya, dan tahu namanya, tapi agak sulit merumuskannya secara pasti. Dan memang, rasanya kita tak perlu kepastian definisi bentuk sastra, apabila kita mau langsung terjun ke soal-soal teknis dan praktis penulisan. Meski, sekali lagi, bagi kepentingan pengajaran dan ilmu sastra tentulah batasan amat diperlukan agar wilayah kajian bisa dikenali dan diidentifikasi dengan lebih pasti. Tapi rasanya, untuk keperluan Bengkel Sastra ini, kita bisa sejenak atau terlebih dulu mengabaikan hal tersebut. Karena yang lebih penting adalah bagaimana kita masuk ke dalam pengalaman bersastra, yaitu pengalaman mencipta karya sastra, yang dalam hal ini adalah cerpen. Dan pengalaman semacam itu, biasanya bersifat personal. Artinya, setiap orang, individu pengarang, memiliki tahapan-tahapan tersendiri dalam menulis cerpen, yang bisa jadi agak sulit dijelaskan. Inilah kenapa, setiap mereka yang memang ingin belajar menulis sastra, meski mencoba mengenali diri sendiri melalui proses latihan menulis yang terus-menerus, sampai ia kemudian menyadari betapa ia telah lancar menulis cerita. Seperi juga orang naik sepeda, pasti, pertama ia akan kesulitan, terjatuh dan putus asa. Tetapi apabila ia terus mencoba, maka dengan sendirinya ia jadi bisa. Setelah bisa, maka ia akan “mempercanggih” teknik-teknik menjalankan sepeda: bagaiman cara menikung, menyusup di sela-sela kendaraan, melintasi bebatuan terjal, dan lain-lain. Semakin berpengalaman, semakin mahirlah ia. Begitu pun menulis cerpen. Pertama, tentu kita memang punya niat (kuat dan besar) untuk bisa menulis cerpen. Kedua, kita menjalaninya dengan sepenuh hati, dengan perasaan cinta, tidak terpaksa. Ketiga, apabila kita memang sudah mencintainya, mau memutuskan terjun ke dunia tulis-menulis, maka kita mencoba mengakrabinya, mengenalnya lebih dalam. Dalam konteks penulisan cerpen, kita bisa melakukannya melalui kegemaran membaca-baca apa saja (yang 56
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
bermutu tentu!), terlebih-lebih membaca cerpen-cerpen yang sudah ada. Keempat, bacalah cerpen-cerpen itu sekali lagi, kalau perlu berkali-kali, sebagai cara kita belajar darinya. Kita pelajari cara bercerita, cara menyusun dan menggambarkan adegan. Dialog-dialognya, dan bagaimana cara cerita itu diselesaikan. Kelima, yang paling penting, mulailah menulis. Bikin kerangka cerita atau gambaran cerita yang akan kita tulis. Atau kalau punya imajinasi yang kuat, susunlah sebuah cerita, kita bayangkan adegan, dialog, konflik dan persoalannya, kemudian cobalah tulis! Masih nggak bisa? Rasanya begitu sulit? Berkali-kali mencoba menulis tetapi masih saja kecewa? Tentu, kalau sungguh-sungguh berminat dan punya niat untuk jadi penulis, itu tak akan membuat kita putus asa. Kuncinya, coba dan coba terus, sampai kita target sendiri betapa sebuah cerita telah lahir dari tangan kita. Betapa! Kalau kamu masih putus asa, kamu bisa meniru iklan di televisi itu, tekadkan dalam hati-atau berteriaklah: “Ayo kamu pasti bisa!!!” Kalau masih saja merasa perlu sebuah jurus, ada baiknya kita mencoba cara yang “berlaku umum” dalam hal menulis cerita. Sekali lagi, ini adalah gambaran struktur cerpen pada umumnya. Biasanya terdiri dari: (1) bagian awal/pembukaan, (2) bagian tengah/ konflik, (3) bagian akhir/penyelesaian konflik. Kita bisa merancang sebuah cerita dalam tiga bagan itu. Bagaimana cerita akan kita mulai? Atau bagaimanakah kita mesti memulai sebuah cerita? Bagian awal, biasanya diperkenalkan tokoh, atau latar, persoalan yang dihadapi. Pada bagian awal ini biasanya juga sudah membayang konflik atau persoalan yang hendak dipaparkan selanjutnya. Karena itu, bagian awal diusahakan semenarik mungkin, tak usah bertele-tele. Dengan kata lain, ringkas padat, tapi tak kehilangan daya tarik. Ini penting untuk merangsang keingintahuan (curiosity) pembaca. Bagian tengah adalah pengembangan konflik yang menggiring cerita menuju klimaks, sedang pada bagian akhir adalah pemecahan atau penyelesaian dari konflik 57
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
tersebut. Kita bisa merancang cerita dengan bagan itu. Sebagai contoh, misalkan kita mencoba membuat cerita tentang Ani yang tertekan karena bapaknya ketahuan korupsi. Bagian awal: Di sekolah Ani merasa dikucilkan oleh kawan-kawanya. Tak seperti biasanya, sohibnya seakan menjaga jarak. Padahal dulu mereka begitu dekat. Ke kantin bersama atau pergi ke mall belanja sepulang sekolah. Dan biasanya, Ani yang membayari mereka semua. Tapi kini mereka mencibir. Itu karena berita di koran tentang bapaknya yang dituduh melakukan tindak korupsi. Di kelas Ani begitu tertekan. Semua mata seakan melirik dan menatap tajam padanya. Bahkan Anton, yang selama ini lembut padanya, tatapan matanya begitu tajam menghujam. Padahal selama ini Ani suka pada mata Anton yang lembut, hitam dan membuatnya selalu merasa tenang bila bertatapan. Ya, Ani, diam-diam memang memendam harapan pada cowok bermata elang itu. Tapi mata itu, kini, terasa merobek jantungnya. Bagian tengah: Karena tak tahan dengan itu semua, Ani memutuskan untuk bolos. Ia membenci kawan-kawannya itu. Ia benci pada papanya. Di rumah, ia menangis, mengurung diri dalam kamar. Tak dipedulikan ibunya yang mencoba membujuk. ia tiba-tiba membenci semua yang dimilikinya. Selama ini dia bangga sebagai anak orang kaya. Tapi kini, kekayaan itu malah menjadi beban baginya. Ia robek-robek foto Anton, yang diamdiam disimpannya. Berhari-hari ia tak mau sekolah. Ia merasa semua kawannya sudah tak menghargainya, tak ada yang mau lagi berteman dengannya. Bagian akhir: Di puncak rasa putus asanya, suatu sore, Ani tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan Cristin, kawan sekelasnya. Bagaimana ia tak kaget, karena selama ini ia begitu membenci Cristin. Ia senang meledeknya sebagai gadis udik yang miskin. Itu karena potongan rambutnya yang panjang dan dikepang, ih, sungguh kuno. Apalagi Cristin satu-satunya siswa di SMU mereka yang kalau ke sekolah naik sepeda. Padahal ia selalu diantar BMW. Ia selalu menertawakan Cristin, sengaja membuat gadis itu bahan olok-olokan, pokoknya Ani paling senang kalau ia bisa mengejek Cristin habis-habisan. Eh, bagaimana mungkin gadis itu kini 58
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
datang ke rumahnya. Apalagi Ani tak mengalami kejadian yang menimpa ayahnya, pasti ia akan menyuruh pergi Cristin. Mengusirnya. Tapi, kini, ia tiba-tiba diliputi rasa haru, begitu menyesal telah berbuat jahat pada Cristin. Apalagi begitu tahu, ternyata Cristin datang membawa catatan pelajaran, dan mempersilahkan Ani meminjam catatan itu untuk belajar karena akan diadakan ujian. Cristin seakan tak pernah mempersoalkan semua kelakuan Ani di waktu lalu. Cristin begitu tulus mengulurkan tangan persahabatan. Ani, ingin menangis, begitu terharu, tapi hanya bisa menatap Cristin menuntun sepeda keluar pagar halaman rumahnya yang besar dan mewah. Ani termangu menyaksikan bayangan Cristin yang segera hilang dari pandangan, tapi tak mungkin hilang dari dalam hatinya. Kini Ani tahu, Bagaimana mesti menghargai seorang kawan, meski tadi keangkuhannya masih juga membuatnya menahan diri untuk meminta maaf pada Cristin. Tapi kini Ani tahu apa yang mesti dilakukannya. Besok ia akan masuk sekolah, tegar menghadapi tatapan semua temannya, karena ia sudah tau mana kawan sejati. Ia akan meminta maaf pada Cristin…
Jakob Sumardjo pernah membuat skema seperti, yang saya kira ada baiknya juga kita kenali: Bagian Awal (5-10%) 1. perkenalan 2. munculnya konflik
Bagian Tengah (80-90%) 1. perkembangan 2. suspens 3. klimaks
Bagian Akhir (5-10%) 1. pemecahan konflik 2. suprise
Itu adalah contoh, bagaimana kita menyusun kerangka cerita ke dalam tiga bagan. Tentu, bagan itu hanyalah satu cara memudahkan kita mengembangkan cerita. Tak harus terlalu sesuai skema yang kita buat. Karena bisa saja, ketika kita mulai menuliskannya, di tengah cerita tiba-tiba ada ide yang menyelusup masuk dan memelencengkan struktur cerita yang telah kita buat. Itu tak apa, selama memang membuat cerita lebih baik dan kuat. Karena di situlah misterinya kita mengarang cerita: imajinasi kita berkembang sampai pada hal-hal yang tak kita duga.
59
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Memilih Adegan atau Momen Kejadian Setelah kita merancang kerangka cerita, kita bisa mulai membayangkan detail adegan cerita tersebut. Adegan-adegan itu, tentu kita seleksi, kita pilih, mana yang kira-kira mendukung suasana dan juga dramatika cerita. Kita bisa coba satu contoh. Misalkan kita mau bercerita soal Pak Karim. Seorang petani, yang sedang gelisah, berkaitan dengan rencana pembuatan lapangan golf yang akan menggusur sawahnya. Kita bisa membuat skema seperti berikut. Adegan: Pak Karim duduk termenung di lincak, pikirannya melayang dan melamun Istri Pak Karim, keluar membawa kopi.
Setting: Teras rumahnya: ada amben dari bambu, kursi yang reot, dan malam yang sepi, keresik daun, suara jangkrik, sayup-sayup terdengar lenguh lembu dll.
Suasana Sunyi, mengendap, tapi menggelisahkan terutama hati Pak Karim, yang cemas akan nasib sawahnya.
Konflik Pak Karim tak bisa menerima rencana pembikinan lapangan golf itu. Warga desa juga banyak yang menolak.
Dari “desain adegan” seperti itu, kita bisa menuliskan, misalkan seperti ini: Sudah jauh malam, tetapi Pak Karim masih saja duduk tercenung di teras rumahnya. Menghisap kretek, menerawang, seakan hendak menguak rahasia bentangan kegelapan. Sepotong bulan terapung. Sayup-sayup terdengar lenguh lembu, seperti suara orang yang mengeluh. Gelisah mengendap. Pelan Pak Karim menarik napas, seakan lenguh lembu itu muncul dari kedalaman hatinya, menggema dalam dada. “Bagaimana, Pak?” Istri Pak Karim, yang baru muncul membawa secangkir kopi bertanya, megusik. Namun Pak Karim seakan tak mendengarnya. Ia terus memandang ke kejahuan. Ia lihat daun nangka gugur, dan itu adalah nasibnya yang luruh tanpa daya. Rencana pembuatan lapangan golf itu sudah pasti. Tadi siang, Pak Lurah sudah kembali mengingatkan hal itu dalam pertemuan di Balai Desa. Para penduduk diminta menandatangani dan menerima ganti rugi. “Pembuatan lapangan golf itu untuk kepentingan desa kita juga, Bapakbapak. Ini untuk meningkatkan potensi wisata yang selama ini terbengkalai. Desa kita akan didatangi orang kota, desa kita akan terkenal, akan maju dengan pesat….” Kata-kata Pak Lurah itu kembali terngiang dalam telinga Pak Karim. Kalau itu untuk kemajuan, kenapa ganti ruginya begitu rendah? Itulah yang membuat Pak Karim tidak bisa menerima…dan seterusnya…dan seterusnya… 60
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Itu hanyalah contoh. Hal yang penting dicatat sesungguhnya adalah bagaimana kita memilih adegan atau momentum kejadian yang mendukung struktur cerita. Ini untuk menghindari cerita yang bertele-tele, karena bagaimanapun cerpen mesti “selektif” dalam mengungkap dan mengembangkan cerita. Untuk menentukan adegan atau momentum itu, kita bisa bertanya pada diri sendiri: Apakah adegan itu cukup atau relevan kuat mendukung cerita? Apakah adegan itu begitu penting untuk memperkuat struktur cerita? Pemilihan atau penggambaran adegan biasanya juga berfungsi untuk melukiskan setting sosial dan psikologi tokoh, watak, karakter, sikap tokoh-tokoh yang diceritakan. Dengan begitu, satu adegan atau momentum kejadian yang baik bisa merangkum banyak nuansa—membuat cerpen bersifat prismatis: meski pendek, bisa “menceritakan” (terbayang) keseluruhan kejadian dan sejarah tokoh yang diceritakan. Skema cerita, tentu hanyalah satu cara. Kita bisa saja meniadakan itu. Karena yang penting bukanlah skema itu, tetapi bagaimana kita mengembangkan imajinasi. Jadi kita bisa saja menuliskan semua imajinasi yang melintas di kepala. Kita tulis semuanya, yang menarik untuk kita ceritakan. Baru setelah selesai, dan kita membaca ulang, maka kita bisa menilai/mengoreksinya: mana yang kira-kira dibuang, mana yang mesti dipertahankan, mana yang dikembangkan lagi, dan mana yang kirakira kita perpadat adegannya atau mungkin narasinya. Jadi janganlah bosan-bosan menulis ulang cerita yang kita bikin. Proses editing ini perlu, di samping untuk mengupayakan cerita kita jadi lebih menarik, juga untuk mengasah “kepekaan” kita akan dramatika cerita. Pada satu saat, bisa jadi, kita tak lagi merasa perlu membuat “skema cerita”, karena skema itu telah tumbuh dengan sendirinya pada diri kita: naluri bercerita kita tumbuh dengan sendirinya. Kita sudah punya skema cerita, sudah berusaha menyusun cerita dan telah memilih adegan atau momen-momen yang “per61
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
lu” untuk mendukung struktur cerita. Ada baiknya kini kita mencoba melihat satu cerpen untuk kita pelajari. Setidaknya kita bisa melihat “sejauh mana” teoritisasi yang telah kita pahami “tampak” dalam satu cerpen. Juga, mempelajari cerpen orang lain/cerpen yang “sudah jadi” sangat diperlukan untuk mengembangkan “naluri bercerita” kita. Sebagaimana yang sudah ditekankan, membaca karya yang sudah ada, hukumnya wajib bagi seorang penulis. Untuk keperluan itu kita pilih cerpen “Lurah Mungkaruddin” karya Harris Effendi Thahar (Kompas, Minggu, 14 September 1997). Cerpen ini, kalau kita bagi menjadi tiga bagian (awal, tengah, akhir), bisa kita urai seperti ini: Adegan awal diceritakan tokoh “Saya” yang duduk di teras, membaca-baca bahan yang akan ia ceramahkan di masjid. Saat itulah muncul Samsu, tergopoh-gopoh, mengabarkan bahwa acara pengajian dibatalkan oleh Pak Lurah, tanpa alasan yang jelas. Dari bagian awal ini kita sudah mulai merasa adanya konflik antara “warga desa” dengan Pak Lurah. Itu berkaitan dengan ketidaksukaan para warga pada tabiat Pak Lurah yang, katakanlah, korup. Di bagian tengah, “saya” mengalami konflik batin. Terlebihlebih ketika ia mendapat surat dari Pak Lurah, diminta menghadap. Ayahnya menasehati untuk hati-hati. “Saya” memutuskan menemui Pak Lurah, dan ia menyerahkan diri pada Tuhan, berdoa menghadapi itu semua. Setelah sholat subuh, ‘saya” diantar oleh orang suruhan Pak Lurah naik mobil carry. Kemudian di bagian akhir, “saya” bertemu Pak Lurah. Setelah basa-basi, Pak Lurah langsung ke pokok persoalan, yang ternyata menyangkut masalah ganti rugi. Pak Lurah bermaksud meminta bayaran pada “saya” soal pembangunan jalan yang belum juga dibayar oleh ayah “saya”. Jelas itu hanyalah “omong kosong” Pak Lurah, yang membuat “saya” jadi menahan geram. Sampai ketika tak bisa menahan kesabaran lagi, “saya” akhirnya pergi meninggalkan rumah Lurah Mungkaruddin. 62
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Cerita sederhana, bukan? Apa yang membuatnya menarik? Salah satunya terletak dalam penggambaran watak tokohnya yang begitu hidup. Sosok pejabat, dalam hal ini Lurah, yang suka mungkar, mengada-ada, pintar beralasan, menjadi “potret” yang kuat. Kita seakan “disadarkan” betapa tokoh-tokoh seperti Lurah Mungkaruddin, banyak terdapat di sekeliling kita. Mari kita kutip bagaimana sosok Lurah Mungkaruddin digambarkan: “…Wajahnya yang bulat, berbadan tambun dan memakai safari cokelat, berkopiah dan bercincin akik besar-besar di kedua belah jari tangannya…..meski usianya sudah di atas enam puluhan, wajahnya tampak lebih muda dan berwibawa.” Sementara kelakuan Pak Lurah digambarkan melalui percakapan “saya” dan Samsu, seperti ini: “Siapa saja yang menjual tanahnya kepada pejabat-pejabat di kota, Kades Mungkar yang menentukan harganya per meter. Belum lagi kontribusi atau sumbangan untuk kas desa dua setengah persen,” cerita Samsu. “Kaya dia sekarang ya?” “Tidak kaya lagi, sudah konglomerat. Tuan tanah. Kemana orang desa ini akan menggadaikan kalau tidak ada dia? Satu kampung ini boleh dikata dia yang puya,” lanjut Samsu dengan suara berbisik tapi keras juga. Seakan-akan di setiap pojok kampung ada telinga Kades Mungkaruddin. Dari dialog itu, tergambar watak tokoh Pak Lurah. Secara teknis bercerita, itu memperlihatkan, betapa watak atau sosok satu tokoh bisa digambarkan melalui narasi (atau diceritakan secara langsung—seakan menghadirkan tokoh itu agar dikenal pembaca) atau dilukiskan melalui percakapan (atau penggambaran tidak langsung—yang dengan sendirinya, pembaca juga akan tahu). Atau karakter itu tidak usah diceritakan secara eksplisit, tetapi cukup melalui pilihan adegan dan pelukisan suasana hati. Seperti tokoh Samsu, yang disebut sebagai guru ngaji itu, atau tokoh “saya” sendiri. 63
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Kemudian, mari kita urai, setting tempat dalam cerpen itu. Di pembukaan cerita, “saya” duduk di beranda, sudah siap untuk memberikan ceramah agama sambil “membalik-balik buku tafsir Al Qur’an, untuk sekadar menghafal terjemahan beberapa potong ayat”. Saat itulah Samsu datang tergopoh-gopoh, mengabarkan pembatalan pengajian. Setelah agak malam, keduanya masuk ke ruang tengah, duduk sambil minum kopi di meja makan. Ayah “saya” ikut bergabung. Mereka terus ngobrol soal Pak Lurah, hingga “saya” yang sudah lama tak pulang kampung jadi mengerti duduk perkaranya. Saai itulah, muncul “anak muda” mengantar surat dari Pak Lurah yang meminta “saya” datang besok pagi. Besoknya, di masjid, setelah selesai sholat subuh, “saya” berangkat ke rumah Pak Lurah. Ada baiknya, di sini kita cermati cara pelukisan rumah itu, yang meski pun dalam satu paragraf tetapi efektif: Rumahnya kelihatan jauh beda dibanding dua puluh tahun yang lalu, jauh berubah megah. Di samping rumah itu berdiri pula sebuah bangunan yang agaknya tempat penggilingan padi karena di depannya terhampar jemuran padi dari semen yang cukup luas… Di ruang tamu yang luas dan kursi yang bergaya modern… Kalau kita coba buat skema, tempat dan suasananya kira-kira seperti ini: 1. Di beranda kira-kira menjelang isya, beranda itu diterangi lampu 20 watt. 2. Pembicaraan dilanjutkan di ruang tengah. 3. Menjelang tidur (bisa kita duga, berarti berlangsung di kamar tidur “saya”) saya mencoba merenungkan semua cerita yang didengarnya, sekaligus mengingat gambaran Pak Lurah yang samar-samar dikenalnya. 4. Di Masjid, ketika sholat subuh. 5. Di rumah Pak Lurah.
64
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Lima poin di atas, dapat kita kembangkan lebih lanjut dengan menggunakan skema adegan yang pernah kita pelajari. Artinya, kita bisa kembangkan lebih jauh, menurut gaya bercerita kita sendiri. Cara ini, sedikit banyak akan membantu kita untuk melatih memilih dan membangun sebuah adegan yang efektif mendukung struktur cerita. Sebagai cara belajar, mungkin, hal semacam itu akan melatih “kepekaan bercerita” kita.
65
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
66
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
SENI BACA CERPEN DI PENTAS Sri Harjanto Sahid
Seni pembacaan cerita pendek (cerpen) masih sangat muda usianya. Belum begitu populer. Jauh kalah populer dibandingkan dengan seni baca puisi. Meski begitu, jika sebuah pembacaan cerpen dapat dilakukan dengan baik, bisa jadi akan jauh lebih menarik dibandingkan sebuah pembacaan puisi. Hal itu terjadi karena bahasa cerpen umumnya lebih cair, komunikatif, dan gampang dipahami sehingga pembacanya pun lebih bebas berekspresi. Di sisi lain, pendengarnya pun dapat lebih santai tanpa susah-susah memberikan penafsiran sebagaimana kalau mendengarkan pembacaan puisi. Alangkah sulitnya menuliskan sebuah uraian mengenai seni pembacaan cerpen yang baik, jauh lebih sulit dari pada menulis puluhan cerpen. Di mana referensinya bisa dicari? Sudah adakah orang yang menuliskan tentang masalah ini dengan cukup layak dan dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya? Betapa sukar mendapatkan keterangan yang memadai dari berbagai pihak untuk menyusun sebuah uraian yang cukup layak mengenai seni pembacaan cerpen. Akhirnya, lebih nyaman kalau saya hanya memaparkan pengalaman saya sendiri selaku pembaca cerpen. Tentu saja pengalaman saya sangat terbatas sehingga apa yang saya uraikan akan sangat banyak kekurangannya. Sifatnya pun sangat subjektif 67
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
dan mungkin kurang bisa dipercaya serta kurang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena itu, paparan ini janganlah dianggap sebagai sebuah metode, apalagi sebagai suatu rumusan. Tulisan ini hanya sebagai masukan ringan saja, boleh dipercaya, boleh tidak. Pentingnya Keaktoran Hal pertama yang harus disadari, sebuah pembacaan cerpen di depan publik merupakan peristiwa teater. Nuansanya tentu saja berbeda dengan pertunjukkan drama. Tepatnya, pembacaan cerpen adalah peristiwa teater yang bernuansa sastra. Jadi, nuansa sastra inilah yang harus tetap dipertahankan keberadaannya, bukannya disingkirkan atau dikorbankan demi suksesnya pertunjukan semata-mata. Seorang pembaca cerpen tidak boleh menggagahi cerpen yang sedang dibacakannya, sehingga hanya penampilan dirinyalah yang menarik, sebaliknya makna cerpen menjadi kabur. Akting memang sangat diperlukan tapi pembacaan cerpen bukanlah pertunjukkan akting. Sehebat apa pun akting yang dilakukan, semata-mata tujuannya hanyalah untuk mendukung sampainya makna cerpen, bukan untuk mengejar munculnya efek-efek teateral yang tak ada kaitannya dengan makna cerpen. Semua unsur pendukung itu digunakan hanya secukupnya saja, jangan berlebihan dan jangan berkekurangan. Jika berlebihan akan menenggelamkan makna cerpen. Jika berkekurangan, pertunjukan jadi kurang daya tariknya dan makna cerpen otomatis kurang terkomunikasikan. Pembacaan cerpen bisa dilakukan secara sendirian atau berkelompok. Wawasan mengenai seni panggung mutlak diperlukan mengingat pembacaan cerpen sudah menjadi peristiwa panggung. Tentu saja wawasan panggung semata tidak cukup jika tidak dilengkapi dengan wawasan sastra yang memadai. Tidak semua orang panggung yang hebat bisa memanggungkan cerpen dengan baik dan tidak semua cerpenis handal bisa mengangkat cerpennya ke panggung dengan baik. Orang panggung memerlu68
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
kan wawasan sastra dan cerpenis memerlukan wawasan seni panggung. Kita ingat, ada banyak penyair yang mencoba beraksi di atas panggung membacakan sajak-sajaknya, tapi penampilannya memilukan hati dan pantas dikasihani. Dia tampak seperti tengah menyembelih harga dirinya sendiri, tentu saja ini garagara dia tidak melengkapi dirinya dengan wawasan seni panggung sebelum beraksi di atas panggung. Perihal keaktoran tak sedikit pun dipahami dan dimilikinya. Sebaliknya, sering terlihat para aktor dan awak panggung menghina puisi di panggung lewat aksinya yang megah dan gagah. Kalimat-kalimat puisi disampaikannya tapi maknanya tidak dibunyikan. Puisi hanya diperalat untuk melahirkan serentetan action. Keaktoran sangat diperlukan oleh pembaca cerpen karena keaktoran merupakan alat untuk memperagakan diri. Alat komunikasi dan alat mengekspresikan segala sesuatu yang terkandung di dalam cerpen. Dengan keaktoranlah seorang pembaca cerpen “membunyikan” kalimat-kalimat yang sudah disusun oleh pengarang cerpen menjadi bangunan cerita. Keaktoran meliputi penguasaan jasmani dan rohani, teknik pemeranan, membangun watak, totalitas penampilan diri dan sebagainya. Keaktoran merupakan jembatan utama untuk menghubungkan penonton dengan cerpen yang tengah diekspresikan oleh seorang pembaca cerpen. Tanpa didukung keaktoran yang mencukupi, seorang pembaca cerpen tidak akan didengarkan dan tidak akan “terlihat”. Keaktoranlah yang akan membuat sebuah acara pembacaan cerpen (bahkan) enak dinikmati oleh orang tuli dan orang buta. Orang tuli merasa sudah cukup melihat penampilan tubuh yang ekspresif dan berdaya tarik kuat, sedangkan orang buta bisa puas mendengarkan musikalitas, variasi dan ekspresi pengucapan kalimat yang enak penyampaiannya. Memilih Cerpen Tidak semua cerpen yang bagus sebagai karya sastra akan menjadi enak jika dibacakan di atas panggung. Bahkan tidak 69
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
sedikit cerpen yang luar biasa bagusnya sebagai karya sastra menjadi sangat menyebalkan manakala dipanggungkan: tidak enak diucapkan oleh lidah pembaca cerpen dan tidak enak didengarkan oleh telinga penonton. Cerpen tersebut hanya enak dibaca saja secara diam-diam dalam hati dan bukan dibacakan untuk didengarkan. Sama halnya dengan puisi dan naskah drama. Banyak puisi yang bagus sebagai puisi, tapi alangkah sukarnya dibacakan oleh seorang pembaca puisi yang handal sekali pun. Puisi tersebut bila nekat dibacakan akan menjadi porak-poranda nuansanya. Iramanya dan ritmenya jadi patah-patah, maknanya tak mau berbunyi sebagaimana adanya. Akhirnya sang pembaca hanya mengucapkan sederetan kalimat kosong belaka, sedangkan muatannya tak berhasil dimunculkan. Sebaliknya, ada puisi yang sangat gagal sebagai puisi tapi ketika dibacakan di atas panggung mendapat tepukan meriah dan enak dinikmati penonton. Apakah puisi bagus yang tak enak dibacakan itu kurang komplit sebagai puisi? Sama sekali tidak. Memang ada puisi yang bagus sebagai karya sastra, enak dibaca dalam hati sekaligus enak dibacakan dan didengarkan. Meskipun begitu bukan berarti puisi seperti ini yang paling berhasil sebagai puisi. Naskah drama juga begitu. Banyak naskah drama yang ditulis para pengarang Indonesia sebelum tahun 1960-an sangat bagus sebagai karya sastra, akan tetapi benar-benar menyulitkan para aktor dan sutradara untuk mengangkatnya ke atas panggung. Hanya enak dibaca di dalam kamar saja. Ini lebih diakibatkan oleh tiadanya pemahaman yang memadai dari para pengarang terhadap karakter dasar seni panggung. Mereka lebih berasyik-masyuk dengan pengolahan kesustraannya saja, tapi kemungkinan pemanggungannya tidak dipikirkan. Kalau dalam perpuisian ada istilah puisi kamar dan puisi auditorium, maka dalam cerpen pun istilah itu layak pula diterapkan. Kata “kamar” menunjukkan bahwa karya tersebut hanya
70
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
enak dinikmati sendirian di dalam kamar atau lebih tepat dibaca di dalam hati. Sedang kata “auditorium” menunjukkan bahwa karya tersebut sangat enak dibacakan atau diperdengarkan di depan publik, menjadi semakin lengkap dan semakin kaya akan kemungkinan. Tentu saja “puisi kamar” masih mungkin dibacakan di depan publik jika jumlahnya hanya satu-dua buah saja. Pernah terjadi ada penyair goblok yang nekad membacakan berpuluh-puluh “puisi kamar” karyanya di depan publik; akibatnya para penonton seperti disiksa habis-habisan, apalagi pada dasarnya penyair tersebut kurang becus membacakan puisi di atas panggung. Namun anehnya, dia tetap enjoy meski para penonton sudah seperti diguyur air panas. Lalu apakah “cerpen kamar” masih mungkin dibacakan di atas panggung dengan jumlah penonton yang besar? Mungkin saja jika cerpennya benarbenar pendek, misalkan sepertiga halaman folio, dan tentunya ini termasuk cerpen eksperimental. Jika “cerpen kamar” agak panjang sebagaimana cerpen konvensional yang biasa dijumpai di media massa, bisakah dibacakan di depan publik? Ya, tetap boleh-boleh saja kalau tujuannya memang ingin membuat para penonton terhina habis-habisan hati nuraninya. Jadi, problem pertama seorang pembaca cerpen adalah memilih cerpen yang memungkinkannya bisa meraih sukses di atas panggung. Cerpen yang dijadikan pilihan sebaiknya adalah cerpen yang enak ditafsirkan, dihayati, diucapkan, dan enak ditampilkan. Enak ditafsirkan artinya modal wawasan pembaca memang cukup untuk mendekati dan memahami cerpen itu. Meski cerpennya kaliber kakap kualitasnya, tapi kalau jangkauan pembaca belum cukup untuk menyentuh cerpen itu maka siasialah upaya pendekatannya. Akhirnya tak mungkin melangkah ke tahapan lebih lanjut, yaitu menghayati cerpen yang akan dibacakan. Oleh sebab itu, kesadaran untuk berkaca diri, mengukur kemampuan diri sendiri, sangat layak dimiliki. Tak sedikit orang panggung yang lebih terpukau oleh nama besar pengarangnya
71
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
dan mitos karyanya, lalu mengangkatnya ke panggung hanya untuk gagah-gagahan. Padahal dia sesungguhnya kurang mampu menafsirkan dengan baik karya tersebut. Enak dihayati artinya setelah tahapan penafsirannya dibereskan dengan baik, karya yang bersangkutan nyaman untuk dirasa-rasakan, diimajinasikan dan dinalurikan, asyik “disetubuhi”, intensitas penghayatan mengalir lancar dan tidak terputus-putus. Ini bisa terjadi bila problem-problem di dalam cerpen itu bersinggungan erat dengan pengalaman batin dan pengalaman berpikir pembacanya. Kalau pacaran atau sekadar jatuh cinta saja belum pernah, lalu bagaimana bisa mengekspresikan keindahan cinta yang terkandung dalam cerpen secara tepat? Palingpaling ya ngawur, atau asal-asalan saja. Enak diucapkan artinya kata dan kalimat yang dipilih dan disusun pengarangnya terasa nyaman di lidah. Tidak membuat lidah pembaca cerpen gampang keseleo atau cepat merasa kelu. Susunan bunyi, ritme, irama dan tata bahasanya tidak rumit sehingga gampang diucapkan sekaligus memiliki kekuatan teateral, lentur dan komunikatif bila diruangkan. Sekali diucapkan, penonton bisa langsung menangkap maksudnya. Pada tataran ini perlu disadari bahwa mendengarkan berbeda dengan membaca. Mendengarkan orang ngomong di panggung bila kurang jelas maksudnya maka tidak mungkin penonton meminta mengulanginya. Berbeda kalau membaca sendirian, jika ada kalimat yang agak sukar ditangkap maksudnya, masih dapat diulangi berkali-kali secara perlahan. Kalimat yang tersusun indah bila tidak memiliki daya komunikasi tinggi manakala diucapkan oleh seorang aktor, maka kurang memenuhi syarat sebagai bahasa panggung. Di sinilah kuncinya, bahasa karya untuk pementasan sangat berbeda dengan bahasa buku bacaan. Bila bahasa yang digunakan cerpenis punya karakter kuat sebagai bahasa panggung, maka cerpen itu layak dipilih untuk dipentaskan. Memang, yang paling enak bila seorang pembaca cerpen dapat menulis cerpen sendiri. 72
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Enak ditampilkan artinya cerpen tersebut memberikan peluang besar bagi pembaca cerpen untuk tampil sekreatif mungkin. Ada keleluasaan berakting dan berekspresi yang ditawarkan. Bangunannya sedemikian rupa sehingga pembaca cerpen dapat mengembangkan permainan dan daya tarik artistiknya dari detik ke detik. Makin lama makin menarik, makin berkembang dan makin memancing rasa penasaran penonton untuk mengikuti arus cerita menuju klimaks dan selesaian. Kemungkinan, daya tarik ini terdapat juga pada segi audio maupun visualisasinya. Cerpen yang dibacakan kaya akan kemungkinan panggung, inspiratif bagi pemanggung sekaligus bagi penonton. Bukankah sebuah pertunjukan pada akhirnya merupakan sebuah upacara bersama? Ketepatan seorang pembaca cerpen memilih cerpen yang akan dibacakan di atas panggung merupakan separuh dari keberhasilannya. Kemelesetan memilih berarti kegagalan sudah dikantongi sebelum pertunjukan dilakukan. Karenanya, kesadaran mengenai diri sendiri mutlak perlu. Sampai seberapa jauh batas-batas kemampuan yang dimiliki. Di sudut-sudut mana saja kekuatan dan kelemahan digenggam. Jika sudah diketahui letaknya, kekuatan yang dimiliki harus dieksploitir semaksimal mungkin untuk mencapai keutuhan penampilan. Sedangkan kelemahannya kalau bisa diolah menjadi kekuatan dan kalau tidak bisa dicari cara bagaimana menyembunyikannya agar tidak mencuat ke permukaan. Membacakan Cerpen yang Baik Pengertian atas pembacaan cerpen yang baik sebenarnya sederhana saja, yaitu membacakan cerpen dengan cara-cara tertentu sehingga apa yang dibacakan bisa dipahami dan diyakini oleh orang-orang yang mendengarkan dan menyaksikan. Komunikasi antara publik dengan sang pembaca seyogianya terjalin akrab dan penuh pengertian. Caranya? Ya, sekomunikatif mungkin dalam penampilan. Tujuannya agar mampu dimengerti dan 73
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
meyakinkan serta terdengar jelas tentunya. Untuk itu, pembaca cerpen harus terlebih dulu memahami dan meyakini apa-apa yang mau disampaikannya. Kalimat demi kalimat, alinea demi alinea, lalu bangunan cerpen secara menyeluruh, baru kemudian publiklah yang akan merasa mengerti dan meyakini. Sebesar apa keyakinan pembaca cerpen maka sebesar itu pulalah keyakinan publik terhadap dirinya. Bila pembaca cerpen hanya berpura-pura menyampaikan cerita maka publik pun hanya berpurapura menerima cerita. Tentu saja untuk dapat menyampaikan cerpen dengan baik dituntut adanya bermacam-macam persiapan. Agar mampu memahami cerpen maka pikiran harus diasah dan diisi dengan wawasan luas. Untuk bisa meyakini maka imajinasi, intuisi, emosi dan naluri harus dipertajam kepekaannya melalui latihan olah rasa dan olah jiwa yang disiplin. Supaya terdengar maka pernapasan dan vokal perlu digembleng kekuatannya meliputi volume, nada, tempo, irama, intonasi, artikulasi, diksi dan sebagainya. Dan agar bisa tampil menawan maka seluruh badan dan anggota badan perlu dibina melalui sistem latihan olah tubuh tertentu sehingga akan menjadi artistik setiap kemungkinan gerakannya. Jadi, yang dilakukan lebih dahulu memahami dan meyakini, kemudian barulah mengucapkan dan menyampaikan. Isi cerpen dikuasai, berikutnya bentuk pengekspresiannya dicari. Pembaca cerpen menyiapkan dulu “alat-alat dalam”-nya, kemudian “alatalat luar”-nya. Penguasaan yang baik terhadap kedua alat-alat tersebut akan mengantar pada peristiwa pembacaan cerpen yang baik. Keseimbangan dalam penguasaan kedua alat itu harus dijaga. Jika berat sebelah, hasilnya pasti timpang. Persoalan yang dimaksud dengan menguasai “alat-alat dalam” adalah kepintaran dalam menafsirkan dan menghayati cerpen. Artinya perangkat untuk mengurai dan menganalisis cerpen telah dipegang dan didayagunakan dengan baik. Sedang menguasai “alat-alat luar” ada-
74
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
lah menyangkut kecanggihan tubuh menyampaikan isi cerpen, menyangkut penguasaan teknik pembacaan dan teknik akting. Menguasai “alat-alat dalam” tanpa menguasai “alat-alat luar” belum cukup untuk menjadi seorang pembaca cerpen. Buktinya para kritikus yang hanya pintar mengurai dan menafsirnafsirkan isi cerpen belum tentu bisa membacakan cerpen dengan baik. Sebaliknya menguasai “alat-alat luar” tanpa ditunjang penguasaan “alat-alat dalam” maka pembacaan cerpen yang dilakukan hanyalah peragaan fisik semata tanpa ada aktivitas rohani. Kosong tanpa isi, tanpa bobot, kering kerontang, tak ada makna yang dihidupkan. Hanya baris-baris kalimat hampa yang digaungkan. Mungkin ucapan-ucapan dan action-nya terasa enak didengar dan dilihat karena disangga oleh teknik akting yang prima, tapi semuanya hanyalah pertunjukan pucat-pasi tanpa jiwa, ibarat polah tingkah robot belaka. Sungguh tidak sulit membuat sebuah pertunjukan yang sekadar memukau dan enak dilihat tetapi membuat penonton menjadi dungu. Sekali lagi, demonstrasi teknik tanpa penjiwaan yang hidup hanya akan menampilkan permainan yang kering; tak bisa lagi disebut sebagai kerja kesenian, tapi cuma kerajinan tangan. Kesenian selalu melibatkan nyawa atau roh, sedangkan kerajinan tangan hanya mengandalkan ketrampilan, kerja rutin mengulang-ulang tanpa kreativitas, dan keahlian fisik belaka. Sebaliknya, penjiwaan yang dahsyat tanpa ditunjang teknik yang mapan hanya akan menghasilkan pertunjukan liar, tanpa kontrol dan tanpa kendali artistik dalam usaha penciptaan. Akibatnya faktor kebetulan banyak berbicara dalam penentuan hasil akhir. Untung-untungan sifatnya. Bisakah ini disebut sebuah penciptaan seni yang ideal? Kalau seorang cerpenis telah berjuang keras menyeleksi sisisisi kehidupan, memeras makna dan direkam dalam sususnan kalimat yang dipungutnya dari khazanah bahasa secara selektif, maka apakah tugas pembaca cerpen? Tak lain membunyikan dan menghidupkan apa-apa yang sudah dikerjakan cerpenis tersebut.
75
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Oleh sebab itu, alat-alat untuk kepentingan tersebut harus sudah dijinakkan oleh pembaca cerpen. Dimiliki sepenuhnya untuk dikemudikan sesuka hati, seperti apa yang diinginkan dan dimaui. Teknik dan “alat-alat luar” senantiasa harus siap menerima instruksi “alat-alat dalam” untuk memberikan bentuk sebagaimana yang diinspirasikan. Dalam upayanya membunyikan dan menghidupkan cerpen ke dalam kenyataan panggung, seorang cerpenis perlu memiliki kemampuan menguraikan dan menghidupkan kalimat. Kata-kata tertentu yang terkandung dalam kalimat dipilih untuk diberi tekanan tertentu dalam pengucapannya. Pertimbangan pilihannya berdasarkan penyelidikan atas jiwa kalimat. Dengan begini akan tersadari betapa beragamnya kemungkinan yang terkandung dalam sebuah kalimat. Sedangkan agar pengucapan menjadi hidup, menarik dan bernyawa, maka diperlukan keahlian mengemudikan suara dalam menciptakan variasi-variasi. Bagaimana memainkan lemah-kerasnya suara, cepat-lambatnya dan kendor-kencangnya pengucapan, tinggi-rendahnya nada, kesemuanya itu dimainkan dengan titik tekan berbeda-beda secara bergantian dan secara berkesinambungan. Ada pula yang disebut teknik modulasi, yakni teknik mengubah-ubah volume suara untuk penyesuaian dengan kondisi dan situasi di mana pembacaan cerpen dilakukan. Akhirnya, penguasaan terhadap berbagai macam warna dan karakter suara, sebagaimana seorang dalang wayang kulit, perlu dimiliki. Ini berkaitan dengan upaya menghidupkan tokoh-tokoh. Sebab setiap tokoh menggenggam keunikan sendiri-sendiri sehingga perlu dihidupkan dengan cara sendiri-sendiri pula. Berikutnya, yang sangat vital berkaitan dengan kekuatan menghimpun konsentrasi sewaktu tampil dalam pembacaan cerpen. Setelah segala masalah yang berkaitan dengan teknik penampilan diketahui, dikenali dan dikuasai, pembaca cerpen memfokuskan segenap perhatiannya untuk berkonsentrasi sepenuh-penuhnya tampil di panggung. Derajat konsentrasinya 76
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
sebanding dengan derajat perhatian publik kepadanya. Jika kuat konsentrasinya maka kuat pula perhatian publik kepadanya. Begitu pula jika lemah konsentrasinya maka lemah pula perhatian publik kepadanya. Penonton tak mungkin menjadi “greng”, terharu, terpesona dan yakin apabila di dalam diri si pembaca cerpen tak ada “greng”, keterharuan, daya pesona dan keyakinan diri sangat diperlukan. Karena itu, “bermainlah” tapi jangan membuat dirimu “bermain”. Beraktinglah tapi jangan membuat dirimu berakting. Bacakanlah cerpen tapi jangan membuat dirimu seperti membacakan cerpen. Di dalam pembacaan cerpen atau puisi, tak ada pola-pola tertentu yang harus dianut, baik dalam gaya pengucapan maupun teknik tampilnya. Setiap karya memiliki jiwanya sendiri. Oleh sebab itu setiap karya menghendaki pola pengucapan dan pola tampilannya sendiri-sendiri pula. Bila pembaca cerpen, pembaca puisi, deklamator dan aktor sudah mengurung dirinya di dalam satu pola penampilan yang disukainya, maka berakhirlah riwayat kreativitasnya. Terkubur di dalam lubang gelap yang digalinya sendiri.
77
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
78
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
KIAT SEDERHANA MENULIS CERITA ANAK Imam Budi Utomo
Pengantar Secara etimologis, kata fiksi yang dalam bahasa Inggris disebut fiction diturunkan dari bahasa Latin fictio yang berarti “membentuk; membuat; mengadakan; menciptakan” (Tarigan, 1993:20). Dengan demikian, cerita fiksi adalah cerita yang dibentuk, dibuat, diadakan, atau diciptakan (oleh pengarang atau sastrawan). Lawan dari fiksi adalah nonfiksi. Jika fiksi merupakan realitas, nonfiksi bersifat aktualitas. Aktualitas adalah apa-apa yang benar terjadi, sedangkan realitas adalah apa-apa yang dapat atau mungkin terjadi dan belum tentu terjadi (Tarigan, 1993:122). Karena fiksi “diciptakan” oleh pengarang, hal itu berarti bahwa fiksi merupakan suatu karya batin. Artinya, seorang penulis fiksi dalam menjalankan aktivitasnya lebih banyak menggunakan kekuatan dan kemampuan mental-spiritual. Sebagai karya batin, tulisan fiksi hendaknya tetap setia kepada tugasnya untuk memberi manfaat kepada umat manusia, yakni membangun, memperbaiki, dan menyempurnakan dengan memasukkan unsur informasi, edukasi, dan rekreasi (hiburan) sebagai satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, para penulis fiksi hidup dalam dunia olah batin yang senantiasa aktif, selalu memperkaya pengetahuan dan pengalaman, menjernihkan rohani agar dapat
79
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
menyampaikan kebenaran, dan mengasah kepekaan terhadap setiap peristiwa di sekitarnya (Titik, 2003:22—24). Dalam ilmu kesusastraan, salah satu jenis fiksi adalah prosa, baik cerita pendek, novellet, maupun novel (roman). Jika dikaitkan dengan cerita anak, penulisan cerita anak dapat mengambil salah satu dari ketiga bentuk prosa tersebut. Pengertian dan Jenis Cerita Anak Cerita anak adalah cerita yang ditujukan untuk anak-anak (usia hingga 15 tahun), bukan cerita tentang anak (Hardjana, 2006:2). Ciri esensial cerita anak adalah penggunaan pandangan anak atau kacamata anak dalam menghadirkan cerita atau dunia imajiner (Anderson et al. dalam Sumardi, 2003:136). Dengan demikian, dalam cerita anak bukan saja dunia atau kehidupan anak-anak yang boleh diceritakan, melainkan juga dunia remaja atau orang tua. Selain kehidupan manusia, kehidupan hewan dan tumbuhan pun dapat dikisahkan dalam cerita anak. Adapun syaratnya adalah cerita tersebut—baik dalam bentuk cerita pendek maupun cerita panjang (novel)—disajikan dengan tolok ukur dan kaca mata anak-anak. Di samping itu, dalam cerita anak juga mengandung nilai personal dan pendidikan (Huck et al. dalam Sumardi, 2003:137). Menurut van Horne (dalam Sumardi, 2003:32), jenis cerita anak terbagi dalam lima kelompok berikut. 1. Fantasi atau karangan khayal, yakni cerita yang benarbenar dongeng khayal yang tidak berdasar kenyataan. 2. Fitsi realistis, yakni cerita khayal yang mengandung unsur kenyataan. 3. Biografi atau riwayat hidup, yaitu cerita tentang orangorang terkenal untuk dijadikan sebagai suri teladan. 4. Cerita rakyat, yaitu cerita yang beredar secara lisan dalam masyarakat yang menyangkut tradisi dan kepercayaan masyarakat.
80
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
5.
Cerita agama, yaitu cerita yang berkaitan dengan ajaran keagamaan, termasuk cerita tentang nabi dan orang-orang suci.
Unsur dalam Cerita (Fiksi) Unsur pembangun cerita anak sesungguhnya tidak berbeda dengan unsur pembangun prosa pada umumnya, yakni tema, tokoh/penokohan, plot/alur, latar/ setting, dan gaya bahasa. Unsur-unsur tersebut harus dipahami dengan baik oleh pengarang agar karangannya juga berhasil dengan baik. Berikut disajikan secara singkat penjelasan unsur pembangun cerita anak (lihat Hardjana, 2006:17—25). a. Tema Tema adalah pokok pikiran, gagasan, atau ide dasar yang mendasari sebuah cerita. Beberapa tema yang dianggap tradisional yang sering ditampilkan untuk cerita anak, antara lain, adalah kebaikan mengalahkan kejahatan, dalam keadaan susah manusia baru mengingat Tuhan, dan cinta tanah air. Tema tersebut dapat dipecah menjadi topik-topik yang lebih kecil. Misalnya, Tema cinta tanah air dapat diwujudkan dalam berbagai cara dan peristiwa: pahlawan yang rela gugur di medan perang, guru yang ikhlas ditempatkan di daerah terpencil, dll. b.
Tokoh/Penokohan Tokoh/penokohan adalah gambaran fisik, watak, kebiasaan, dan sifat para tokoh cerita. Watak tokoh dapat dilukiskan dengan berbagai cara, antara lain (1) menyebut langsung watak atau kebiasaan tokoh cerita, (2) melukiskan suasana kehidupan si tokoh, atau (3) memberi gambaran watak si tokoh melalui tokoh-tokoh lain.
81
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
c.
Plot/Alur Plot atau alur adalah jalinan peristiwa yang memperlihatkan kepaduan (koherensi) yang diwujudkan oleh sebab-akibat atau kausalitas. Perhatikan contoh berikut. Pak X meninggal dunia. Seminggu kemudian Bu X juga meninggal dunia. Contoh di atas merupakan cerita, tetapi tidak ada plot atau alurnya. Agar menjadi sebuah alur cerita (ada hubungan kausalitasnya), pernyataan tersebut dapat dibuat seperti berikut. Pak X meninggal dunia. Seminggu kemudian Bu X juga meninggal dunia karena sakit-sakitan akibat memikirkan almarhum suaminya. Pada prinsipnya sebuah cerita harus bergerak dari suatu permulaan melalui pertengahan menuju suatu akhir, seperti tampak pada pola berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan). Generating circumstances (peristiwa mulai bertaut dan bergerak). Rising action (keadaan atau suasana mulai memuncak/ tegang). Climax (peristiwa mencapai puncak ketegangan). Denoument (peristiwa mereda, pengarang memberi solusi pemecahannya).
Bagi pengarang modern (terutama prosa remaja dan dewasa), urutan alur yang runtut itu dianggap tidak menarik. Pengarang cerita anak pun dapat saja membuka cerita dengan sebuah peristiwa perkelahian di halaman sekolah atau seorang anak yang berteriak-teriak di dalam kelas. Setelah itu, pengarang baru menarik ke belakang berupa sorot balik (flash back) mengapa peristiwa tersebut dapat terjadi, dan seterusnya.
82
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
d.
Latar/Setting Latar atau setting adalah waktu dan tempat terjadinya peristiwa di dalam sebuah cerita. Berkaitan dengan pemilihan latar tertentu, pengarang harus jeli dalam membuat suatu cerita. Misalnya, peristiwa yang mengambil latar di suatu kantor polsek (kepolisian sektor) di kecamatan terpencil, tidak mungkin sang kapolsek berpangkat kompol. e.
Gaya Gaya atau style adalah cara khas seorang pengarang dalam menyajikan cerita. Setiap pengarang memiliki cara khas atau gaya sendiri, meskipun ada pula pengarang (pemula) yang meniru gaya orang lain. Namun, jika sang pengarang tersebut sudah sering mengarang, secara tidak sadar ia akan dapat menemukan ciri khasnya. Biasanya, anak-anak lebih tertarik dengan isi cerita daripada masalah gaya. Oleh karena itu, pengarang cerita anak sebaiknya menggunakan gaya yang tidak terlalu menggurui dan kalimatnya mudah dimengerti. Mencari Bahan dan Mengembangkan Cerita Kita sering kesulitan mencari bahan sebuah cerita. Padahal, bahan cerita itu sesungguhnya dapat dengan mudah ditemukan, antara lain dari pengalaman hidup kita sendiri atau orang lain, keadaan lingkungan sekitar, buku/koran, dan radio atau televisi. Bahan yang sudah kita peroleh kalau kita tulis apa adanya belumlah cukup untuk menjadi sebuah cerita fiksi. Bahan mentah tersebut dapat dikatakan sebagai “titik api” yang harus diolah (direka-reka, dimunculkan permasalahan, ditentukan tokohtokohnya, dst.) dengan menggunakan daya imajinasi. Setelah itu, akan tampak kerangka cerita yang kemudian disajikan menjadi sebuah cerita yang utuh. Berikut adalah contoh tentang bagaimana kita dapat menemukan bahan cerita secara tidak sengaja. 83
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Pada siang yang terik Anda sedang menunggu putri Anda yang akan pulang sekolah. Kebetulan putri Anda bersekolah di lingkungan Masjid Syuhada’. Pada saat menunggu, Anda melihat seorang kakek renta yang cacat menuruni tangga masjid. Sosok sang kakek tersebut sangat mengharukan Anda. Nah, bahan cerita tersebut sesungguhnya baru merupakan “titik api” atau rangsangan. Anda pun perlu mengolahnya lebih lanjut dengan membuat kerangka cerita. Salah satu kerangka cerita yang dapat dihasilkan adalah sebagai berikut. 1.
2. 3. 4.
5.
Fitri, murid kelas 3 SD Masjid Syuhada’, sudah satu minggu tampak murung, pendiam, dan terlihat menanti kedatangan seseorang. Beberapa temannya heran melihat perubahan pada diri Fitri yang sebelumnya merupakan anak periang. Teman-temannya akhirnya menanyakan kepada Fitri tentang keadaan tersebut. Fitri pun bercerita tentang kakek tua yang ternyata adalah seorang pejuang. Kakek itu pun telah memberi Fitri kenangkenangan berupa kalung emas. Kini, kakek itu telah menghilang entah ke mana. Teman-temannya pun terharu mendengar cerita Fitri.
Setelah Anda membuat kerangka cerita tersebut (atau mungkin yang lain), Anda dapat menuliskannya menjadi cerita pendek yang lengkap. Ingat, dalam cerita tersebut harus mengandung amanat yang memberi pesan atau ajaran yang berguna. Untuk anak usia SMP, amanat boleh diimplisitkan. Adapun hasil lengkapnya, antara lain, dapat dilihat pada contoh cerita berjudul “Sang Pejuang” berikut. SANG PEJUANG Imam Budi Utomo Sudah hampir satu minggu Fitri menjadi anak pendiam. Tampaknya ada sesuatu yang membuatnya murung. Padahal, murid kelas 3 SD Masjid Syuhada’ itu biasanya selalu bergembira bermain84
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
main bersama teman-temannya di taman sekolah. Rana, Ella, dan Ova juga heran melihat perubahan pada diri Fitri. Siang itu empat sahabat sedang menunggu jemputan pulang. Rana, Ella, dan Ova asyik bermain ayunan dan plosotan. Sementara itu, Fitri hanya duduk di pagar taman sekolah, tidak jauh dari temantemannya. Sesekali matanya yang indah mencari-cari seseorang di sekitar halaman sekolah. “Rana, lihatlah. Kenapa ya Fitri sekarang? Tampaknya ia lebih suka melamun?” tanya Ova heran. “Yaaa, mungkin saja ia sedang menunggu dijemput ayahnya,” jawab Rana enteng. “Aku yakin bukan itu sebabnya. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan Fitri menjadi pendiam seperti itu. Biasanya Fitri kan yang paling lincah,” kata Ella. “Bagaimana kalau kita tanya Fitri?” Usul Ova kepada temantemannya. “Setuju.” Rana dan Ella menjawab berbarengan. Rana, Ella, dan Ova berjalan mendekati Fitri. “Eh, Fit,” kata Ella kepada Fitri, “kenapa sih kamu kok selalu murung? Biasanya kamu ini yang paling lincah.” “Kamu dimarahi Ibukmu, ya?” goda Rana. “Bukan. Fitri pasti habis berkelahi sama kakak-kakaknya.” Ova pun berusaha menggodanya. Fitri hanya tersenyum mendengar omongan teman-temannya. Tampak ia menarik nafas panjang. Terasa ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. “Bukan itu masalahnya, teman-teman.” “Kalau bukan itu, lalu apa? Ceritakanlah, Fit. Mungkin aku dan teman-teman dapat membantumu.” Ella berkata sambil menggandeng lengan Fitri. “Begini teman-teman. Aku sebenarnya sedang menunggu kakek tua.” “Kakek tua? Siapakah dia?” Tanya teman-temannya hampir bersamaan. “Aku tidak tahu namanya. Tapi beliau adalah pejuang,” jawab Fitri bersemangat.
85
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
“Pejuang? Pejuang apaan sih? Eh, Fit, tolong dong ceritakan tentang kakek pejuang itu,” rengek Rana minta diceritakan tentang kakek tua yang membuat Fitri murung. “Iya, Fit. Pasti ceritamu seru, deh!” kata Ova. Ella hanya mengangguk mengiyakan. Ketiga temannya segera duduk di atas rumput. Mereka ingin sekali mendengar cerita tentang kakek tua. Fitri tampak bersemangat menceritakan pertemuannya dengan kakek tua. Pada suatu siang ketika teman-temannya sudah dijemput, Fitri masih menunggu jemputan ayahnya. Diperhatikannya kakek renta berjalan tertatih-tatih menuruni tangga masjid. Sementara orang-orang tidak ada yang memperhatikannya. Apalagi menegur dan bersalaman dengannya. Agaknya, kakek tua itu selesai salat Zuhur. Kasihan, kakek tua itu kaki kanannya buntung sebatas lutut. Ia berjalan disangga tongkat butut. Kakek tua itu pun lantas duduk di trotoar di pinggir jalan. Matanya jauh menerawang ke sudut-sudut jalan. Butiran-butiran air mata tampak menetes di pipinya yang keriput. Fitri heran dan kasihan melihat kakek tua yang sedang menangis. Didekatinya kakek tua itu. “Assalamu’alaikum, Kek.” Perlahan Fitri mengucapkan salam. “Wa’alaikum salam.” Kakek tua menoleh dan membalas salam Fitri. “Eh, Kek, siapakah nama Kakek? Dan mengapa Kakek menangis?” “Eeee … ooo,” si Kakek gelagapan diberondong pertanyaan Fitri. “Maaf, Kek, aku telah mengganggu Kakek,” kata Fitri pelan. Ia menyesal telah mengganggu Kakek tua. “O, tidak apa-apa, Nak. Kakek hanya sedikit terkejut. Eh, Siapakah namamu, anak manis?” Kakek tua bertanya dengan tersenyum ramah. Butiran air mata telah hilang diseka dengan baju kumalnya. “Nama saya Fitri, Kek. Fitri sedang menunggu dijemput Ayah. Kalau boleh Fitri tahu, nama Kakek siapa?” Fitri mengulangi pertanyaannya dengan sopan. Ia pun duduk di dekat kakek tua. Kakek tua hanya diam saja. Fitri pun membuka tasnya. Bekal kue dari rumah dikeluarkan dari dalam tas.
86
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
“Ini Kek ada dua potong roti. Kita bagi berdua, ya?” “Terima kasih, Nak. Makanlah sendiri. Kakek sudah kenyang.” “Ayolah, Kek. Kata Pak Guru, tidak baik menolak pemberian orang.” “Baiklah, Nak. Sungguh sangat baik budi bahasamu,” jawab Kakek sambil menerima pemberian kue dari Fitri. Sang Kakek tidak tega menolak kepolosan yang terpancar dari wajah Fitri. Mereka berdua makan kue dengan nikmatnya. Fitri juga memesan dan membayar dua teh botol dingin. Mereka berdua tampak akrab menikmati segarnya teh botol dingin di siang hari yang panas. “Maaf, Kek. Kenapa sih Kakek tadi menangis?” tanya Fitri setelah keduanya selesai makan roti dan minum teh. “Kakek hanya terkenang masa lalu Kakek di jalan ini. Ketika Kakek bersama teman-teman bertempur melawan penjajah.” “Wah, ceritanya tentu seru dong, Kek. Boleh Fitri mendengar cerita Kakek?” tanya Fitri dengan bersemangat. “Dengan senang hati, Nak. Dulu, di tempat ini terjadi pertempuran yang sangat sengit. Pertempuran antara tentara penjajah melawan kami, para pejuang. Banyak teman-teman Kakek yang gugur. Ahmad Jazuli, Sabirin, Dewa Nyoman Oka, Sunaryo, Sajiyono, Supadi, Serma Taruna Ramli, dan lain-lain. Ya, mereka semua telah rela gugur sebagai syuhada’ untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Alhamdulillah, Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan usia panjang kepada Kakek. Hanya saja, Kakek harus kehilangan sebelah kaki kanan ini yang terkena tembakan lawan,” kata kakek tua dengan mata berkaca-kaca. Fitri mendengarkan dengan sungguh-sungguh cerita kakek tua. Meskipun masih kecil dan belum mengerti tentang arti pertempuran atau kemerdekaan, ia ikut merasa terharu dengan cerita kakek tua. Tanpa sengaja Fitri melihat kaki kakek yang buntung sebelah. “Tapi Kakek merasa berbahagia, Nak. Kakek mendapat kesempatan untuk ikut membela Ibu Pertiwi. Kakek juga bangga melihat Masjid Syuhada’ ini yang dibangun dengan megah untuk menghormati teman-teman seperjuangan Kakek yang telah gugur mendahului kita,” kata kakek tua sambil memandang kubah Masjid Syuhada’.
87
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
“Kisah Kakek sungguh hebat. Berarti Kakek ini pahlawan, ya?” tanya Fitri dengan polosnya. Ia ikut tersenyum ketika kakek tua itu tersenyum. “Pahlawan? Bukan, Kakek bukan pahlawan, Nak. Sebutan itu terlalu tinggi buat Kakek. Kakek hanyalah sekadar melaksanakan perintah agama kita, agama Islam, untuk mempertahankan bangsa dan negara Indonesia. Kakek ikhlas lahir dan batin. Bukankah cinta tanah air itu sebagian dari iman, Nak?” “Betul, Kek. Pak Guru juga menerangkan seperti itu. Tapi, Kakek kan telah berjuang. Berarti Kakek ini pejuang.” “Terserah apa yang dikatakan orang, Nak. Kakek sudah cukup puas dapat melihat kemajuan bangsa ini. Kakek bangga melihat anakanak seperti Nak Fitri. Anak-anak salihah yang mau menghargai jasa para pahlawannya. Kakek bangga … Nak.” Kakek tua kembali terdiam. Dipandanginya wajah Fitri dengan lembut. Sambil tersenyum dikeluarkannya sesuatu dari balik saku celananya. Seuntai kalung emas diberikan kepada Fitri. “Ini sekadar kenang-kenangan dari Kakek. Pakailah, Nak.” Kakek tua berkata sambil menyerahkan kalung itu kepada Fitri. “Jangan, Kek. Kalung itu kan milik Kakek. Kakek nanti tidak punya apa-apa lagi.” “Tadi Nak Fitri yang bilang, tidak baik menolak pemberian orang. Nah, terimalah ini, Nak.” Dengan berat hati Fitri menerima pemberian kakek tua. Kalung itu dikenakannya di lehernya yang kecil. Pas. Kakek tua tersenyum melihat kalung emas telah melilit di leher Fitri. Ia merasa anak perempuannya yang meninggal puluhan tahun silam kini kembali tersenyum manis kepadanya. “Terima kasih, Kek. Fitri tidak bisa memberi apa-apa kepada Kakek. Eh, Kakek mau ke mana?” Fitri bertanya heran melihat kakek tua itu berdiri perlahan-lahan. “Kakek mau meneruskan perjalanan. Insya Allah kita dapat berjumpa kembali, Nak. Pesan Kakek, belajarlah yang rajin sehingga berguna bagi agama dan bangsa. Jangan pula lupa salat, berbakti kepada orang tua dan gurumu.” Kakek tua banyak memberikan petuah kepada Fitri.
88
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Dengan tertatih-tatih kakek tua berjalan ke selatan. Hilang di balik tikungan. Fitri hanya dapat menatap haru kepergian kakek tua. “Demikianlah teman-teman ceritaku tentang ... Kakek.” Fitri berkata pelan dengan nada suara bergetar. Ia rindu untuk kembali bertemu dengan kakek tua. Ia ingin kembali mendengar berbagai cerita menarik dari kakek tua. Tapi, hingga kini kakek tua itu tidak kunjung muncul. Ella, Rana, dan Ova ikut terharu mendengar kisah Fitri. Bahkan mata ketiga anak itu tampak pula berkaca-kaca. “Siapakah nama kakek tua itu, Fit? Di manakah alamat rumahnya? Apakah beliau mempunyai anak?” tanya Ella beruntun sambil menyeka air mata yang menggenang di sudut matanya. “Aku tidak tahu. Aku lupa menanyakannya kembali. Yang aku tahu, beliau adalah SANG PEJUANG,” kata Fitri sambil meraba kalung yang melilit di lehernya. Rana, Ella, dan Ova mengangguk mengiyakan. Meskipun masih anak-anak, mereka sadar bahwa kemuliaan seseorang tidak dapat diukur dari kekayaan dan ketampanan atau kecantikan.
Daftar Bacaan Hardjana HP. 2006. Cara Mudah Mengarang Cerita Anak-Anak. Jakarta: Grasindo. Sumardi. 2003. “Bagaimana Menciptakan Cerita Anak yang Unggul?” Dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Jakarta: Pinkbooks. Tarigan, Henry Guntur. 1993. Prinsip-Prinsi Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Titik WS. 2003. “Menulis”. Dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Jakarta: Pinkbooks. Zaidan, Abdul Rozak dkk. 1991. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
89
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
90
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
PUISI, UNSUR PEMBANGUN, DAN APRESIASINYA B. Rahmanto
Pengantar Lewat tulisan ini akan dipaparkan secara komprehensif pokok-pokok di sekitar apakah puisi itu, bagaimana proses kreatif kelahiran suatu puisi, unsur pokok yang membangun puisi, dan bagaimana mengapresiasikan puisi itu. Oleh karena fokus pemberian materi bengkel sastra ini lebih dititikberatkan pada lebih banyak memperkenalkan cipta sastra yang berbentuk puisi itu sendiri, dan bagaimana mengekspresikannya baik secara lisan/pemanggungan dan tulisan, serta bagaimana mengapresiasikannya, maka konsep-konsep akademis teoretis secara eksplisist akan dihindari. Rujukan-rujukan konsepsional hanya akan dihadirkan pada bagian buku acuan, sehingga bagi peserta yang berminat dapat melacaknya sendiri. Puisi Apakah puisi itu? Pertanyaan sederhana ini sebenarnya dapat dijawab dengan sangat gampang, tetapi menjadi sedemikian sulitnya apabila menghendaki suatu jawaban yang tuntas. Apalagi, puisi bukanlah sejenis kursi (artinya bernuansa benda), tetapi lebih bersifat verba, alias kata-kata. Menjawab apakah kursi saja sudah susah, apalagi mengartikan apakah kata-kata itu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ada sementara 91
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
ahli yang berucap, “Saya tahu apa itu puisi jika Anda tidak bertanya apa itu puisi, tetapi jika Anda bertanya apa itu puisi, saya tidak mengetahuinya.” Ini bukan jawaban putar lidah, tetapi memang benar-benar seperti itulah jawabnya apabila Anda ingin melacak arti puisi sejak Plato, sampai sekarang ini. Pengertian apa itu puisi selalu berkembang, bergeser, dan cenderung siapa yang menjawab, dalam kurun waktu kapan, serta apa ideologi alias keyakinan orang yang mencoba mengartikannya. Maka, marilah kita kesampingkan terlebih dahulu apa definisi puisi itu, dan mencoba melacak apa itu puisi lewat cipta sastra yang berbentuk puisi itu sendiri. Oleh karena puisi yang akan kita ‘gauli’ dari minggu ke minggu ini adalah puisi dalam sastra Indonesia, maka berikut akan dikutipkan bagaimana para penyair kita sejak bahasa Indonesia mulai dikenal, mencoba mencari jawab apakah puisi itu. Pertama-tama marilah kita tengok bagaimana penyair Sanusi Pane menuliskan apakah sajak atau puisi itu. O, ya, ada banyak bapak/ibu guru (siapa tahu juga Anda) yang tidak jerajeranya mengoreksi para siswa-siswinya kurang lebih demikian: jika yang dimaksud itu genre puisi maka harus diucapkan saNjak, bukan sajak. Sajak itu bukan jenis puisi, sajak itu artinya persamaan bunyi. Oleh karena itu, yang benar adalah membaca sanjak bukan membaca sajak. Baiklah, pendapat Guru Anda tidaklah salah. Guru Anda ini memakai acuan lama. Kata sajak berasal dari bahasa Arab saj’ yang artinya bunyi-bunyi yang seragam pada setiap akhir ayat atau suku ayatnya. Dari sinilah berawal mengapa sajak diartikan sebagai persamaan bunyi. Sementara itu dalam perkembangan berikutnya, kata sajak dan sanjak terus bersaing, dan kata sajak-lah yang kerap muncul, dan menenggelamkan kata sanjak itu, sehingga kita sekarang berkecenderungan mengucapkan membaca sajak-sajak dan bukan membacakan sanjak-sanjak. Melihat hal semacam itu, komisi istilah mencarikan jalan keluar dengan alih kata rima untuk persamaan bunyi atau sajak itu. Dengan demikian istilah sajak bersi92
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
nonim dengan sanjak, alias juga benar jika itu dimaksudkan sebagai mebaca sanjak-sanjak. Marilah kita kembali pada apakah puisi atau sajak itu menurut Sanusi Pane dengan menyimak karyanya seperti berikut ini. SAJAK O, bukannya dalam kata yang rancak, Kata yang pelik kebagusan sajak. O, pujangga, buang segala kata, Yang ‘kan cuma mempermainkan mata, Dan hanya dibaca sepintas lalu, Karena tak keluar dari sukmamu. Seperti matahari mencintai bumi, Memberi sinar selama-lamanya, Tidak meminta sesuatu kembali, Harus cintamu senantiasa. (Dari Madah Kelana) Bagi Sanusi Pane, sajak atau katakanlah puisi itu, bukanlah ‘kata yang rancak’ artinya kata-katanya elok, bagus, dan indah. Kata ‘rancak’ itu sendiri biasanya berpasangan dengan ‘di labuh’, menjadi rancak di labuh yang artinya senang berpakaian yang elok-elok tetapi kantongnya kosong (Moeliono, 1988: 725). Dengan kata lain Sanusi Pane ingin mengatakan bahwa puisi/sajak itu bukanlah untaian kata-kata nan elok tapi kosong. Dan juga bukan dalam kata-kata yang pelik, rumit. Rangkaian kata-kata seperti itu hanya akan mempermainkan mata, dan dibaca sepintas lalu. Maka Sanusi berkata garang: O, pujangga , buang segala kata rancak dan pelik itu. Kata-kata semacam itu biasanya ‘tak keluar dari sukmamu’.
93
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Kalau begitu, sajak itu lalu seperti apa? Katanya, ‘sajak itu seperti matahari yang mencintai bumi, yang memberikan sinar pada bumi selama-lamanya, dan tidak memintanya kembali’. Benar-benar metafor alias suatu perbandingan yang pas. Mencintai dengan legowo, tanpa pamrih. Itulah puisi. Dan dalam sajaknya yang lain, yang juga diberinya tajuk “Sajak”, Sanusi melanjutkan pendapatnya tentang sajak seperti di bawah ini. SAJAK Di mana harga karangan sajak, Bukan dalam maksud isinya, Dalam bentuk, kata nan rancak, Dicari timbang dengan pilihnya. Tanya pertama keluar di hati, Setelah sajak dibaca tamat, Sehingga makna tersebut sakti, Mengikat diri di dalam hikmat. Rasa pujangga waktu menyusun, Kata yang datang berduyun-duyun, Dari dalam, bukan dicari. Harus kembali dalam membaca, Sebagai bayang di muka kaca, Harus berguncang hati nurani. (Dari Madah Kelana) Pada bait pertama, kembali Sanusi Pane menegaskan bahwa sajak bukanlah sekadar kata-kata nan rancak, dan juga bukan sekadar ‘apa maksud isinya’. Bagi Sanusi Pane lahirnya sebuah puisi bukanlah ‘dicari-cari’, tetapi ‘dari dalam’, artinya benarbenar dari dalam lubuk hatinya. Kata-kata yang dirangkainya 94
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
menjadi sajak, bukan diburu-dicari-cari, tetapi berduyun-duyun dari dalam menggejolak ingin muncrat, sehingga jika Anda membaca sajak itu sama persis situasinya ‘sebagai bayang di muka kaca’. Dan ... ‘harus dapat mengguncang hati nurani’. Itulah sajak. Luar biasa bukan?! Itulah arti sajak menurut penyair Sanusi Pane. Hal senada juga didendangkan oleh penyair Roestam Effendi lewat sajak berjudul “Bukan Beta Bijak Berperi”. Katanya antara lain: Bukan beta bijak berperi/ pandai menggubah madahan syair/ Bukan beta budak Negeri/ mesti menurut undangan mair (mair = mati, maut)// Sarat saraf saya mungkiri/ untaian rangkaian seloka lama/ Beta buang beta singkiri/ sebab laguku menurut sukma// .... Kembali pada pembicaraan awal dalam bagian ini, ada sementara orang yang gemar memberikan ciri-ciri visual bahwa sesuatu disebut puisi jika ditulis dengan aturan-aturan larik dan bunyi (maksudnya banyaknya larik dalam setiap baitnya, banyaknya kata dalam setiap lariknya, juga banyaknya suku kata dalam setiap lariknya, dan seterusnya). Pengertian seperti ini pun kini menjadi tumbang jika kita membaca puisi-puisi penyair masa kini seperti: karya-karya Afrizal Malna dan Sapardi Djoko Damono. Berikut ini dikutipkan salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono. Sajak 2 Telaga dan sungai kulipat dan kusimpan kembali dalam urat nadiku. Hutan pun gundul. Demikianlah maka kawanan kijang itu tak mau lagi tinggal dalam sajaksajakku sebab kata-kata di dalamnya berwujud anak panah yang dilepas oleh Rama. Demikianlah maka burung-burung tak betah lagi dalam sarang di sela-sela kalimat-kalimatku sebab sudah begitu rapat tak ada lagi tersisa ruang. Tinggal beberapa orang pemburu yang terpisah dari anjing mereka menyusur jejak 95
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
darah, membalikkan dan menggeser setiap huruf katakataku, mencari binatang korban yang terluka pembuluh darahnya itu. (Dari Mata Pisau, 50) Dengan begitu menjadi tidak mudah untuk mengartikan apakah puisi itu. Hal itu mengingat sebagai suatu karya seni pada hakikatnya puisi selalu mengalami perubahan konsepsi estetiknya dari zaman ke zaman. Namun tokh jika disikapi dengan cukup serius, ada satu hal yang tinggal tetap dalam puisi, yaitu menyatakan sesuatu secara tidak langsung (Riffaterre, 1978). Proses Kreatif Setelah kita mengetahui apakah puisi itu, ada baiknya kita mengetahui pula bagaimana proses kelahiran puisi itu, alias bagaimana proses kreatif seorang penyair dalam melahirkan puisipuisinya. Sebagai langkah awal akan dikutipkan sebuah sajak karya J.E. Tatengkeng yang men-share-kan pengalamannya berpuisi seperti ini. PERASAAN SENI Bagaikan banjir gulung-gemulung, Bagaikan topan seru-menderu, Demikian Rasa, Datang semasa. Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung, Memenuhi sukma, menawan tubuh. Serasa manis sejuknya embun, Selagu merdu dersiknya angin, Demikian Rasa, Datang semasa, 96
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Membisik, mengajak aku berpantun, Mendayung jiwa ke tempat diingin. Jika Kau datang sekuat raksasa, Atau Kau menjelma secantik juwita, Kusedia hati, Akan berbakti, Dalam tubuh Kau berkuasa, Dalam dada Kau bertakhta! (Dari Rindu Dendam) Tentu, tak segawat ini proses kreatif itu. Akan tetapi, bagi Tatengkeng yang terkenal sebagai penyair romantik, jelas sahsah saja mengatakan bahwa perasaan seni ini datangnya tak terpikirkan, tidak diperkirakan atau direkayasakan, tetapi ... wus-wus-wus begitu saja, bagaikan air bah atau topan yang melanda dahsyat, yang mengalir-menimbun-mendesak-mengepung-menawan tubuh. Bagi Tatengkeng, penyair Pujangga Baru yang lahir di Sangihe sembilan puluh empat tahun yang lalu, dan mulai berkiprah sebagai penyair pada tahun 1930-an; perasaan seni itu bisa datang ‘sekuat raksasa’; atau ‘menjelma secantik juita’; atau dapat juga senyaman ‘sejuknya embun’ dan ‘semerdu dersiknya (desir, bunyi suara yang semilir) angin’. Dan luar biasanya, bagi Tatengkeng, rasa seni dirasakannya sebagai ‘berkuasa dalam tubuh’ dan ‘bertakhta dalam dada’. Jika sudah begitu, tak ada kata lain kecuali ‘kusedia hati akan berbakti’. Itulah perasaan seni pabila sedang mengobsesi seorang penyair. Khusus tentang proses kreatif ini ada sebuah buku antologi berjudul The Creative Process yang disusun oleh Prof. Brewster Ghiselin yang memuat bagaimana proses kreatif seni berlangsung. Berikut akan disarikan beberapa di antaranya yang ada kaitannya dengan proses penciptaan karya seni, khususnya puisi.
97
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Menurut pengakuan penyair-penyair besar di dunia (sebut misalnya: Blake, William Wordsworth, Coleridge, Shelley, Keats, T.S. Eliot, Tagore, Kahlil Gibran, dan sebagainya) keinginan seseorang untuk menjadi penyair, dan oleh karenanya lalu mempelajari habis-habisan teknik menulis puisi sampai hafal di luar kepala; bukanlah jaminan. Diperlukan semacam panggilan dengan tanda-tanda kurang lebih seperti ini: merasa tertarik untuk membaca puisi, terpesona terhadap puisi/sajak yang baik, hafal di luar kepala, dan tidak “kebelet” untuk segera mempublikasikan sajak-sajaknya di koran-koran dan menjadi populer. Apabila Anda sudah merasa “tergila-gila” dengan puisi, maka, pertama, teruslah membaca puisi karya penyair-penyair besar (untuk penyair Indonesia misalnya karya-karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Taufiq Ismail, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bakhri, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, Gunawan Mohammad, Afrizal Malna, dan sebagainya); kedua, baca juga esai dan kritik puisi terhadap karya-karya mereka itu; ketiga, ikut aktif mengikuti acara lomba baca puisi atau pembacaan puisi para penyair tertentu yang biasanya diikuti dengan berdiskusi; keempat, bila ada kesempatan ikutilah loka karya atau kegiatan lain yang berkaitan dengan puisi; dan kelima, bukalah mata-telinga pada kehidupan di sekeliling Anda karena di sanalah terdapat sumber ilham yang tidak kunjung kering. Selain panggilan, orang kadang mempersoalkan dengan apa yang disebut sebagai memiliki bakat menjadi penyair, alias memang dari sononya telah dilahirkan sebagai penyair. Misalnya (dengan contoh lain seperti pengakuan pelukis Wara Anindyah terhadap putra pertamanya yang juga pelukis yang bernama Wiku Pulangsih yang sekarang baru berumur 11 tahun lewat bukunya berjudul Melukis Mengolah Sukma). Menurut pengakuan ibunya, pada saat Wiku berumur 8 atau 10 bulan sering melihat ibunya membuat sketsa dengan spidol. Melihat warna yang tergores pada kertas, Wiku cilik itu senang sekali. Lalu dia meminta 98
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
spidol itu dan mencoret-coretkannya sendiri. Ibunya kaget. Wiku seperti selalu berusaha membuat hal-hal baru dan tidak pernah mengulang-ulang. Aneh. Coret-moret si buyung selalu dalam komposisi yang seimbang dengan irama kuat, dan ada suatu kekuatan yang muncul. Coretan Wiku kecil itu didokumentasikan Sang Bapak sampai sejumlah lebih dari 15.000 lembar (hlm. 4950). Bukan main. Itulah bakat. Lalu bagaimana dengan proses kreatif kepenyairan itu? Apakah semua penyair berpengalaman seperti Tatengkeng? Bisa jadi ya, bisa juga tidak. Hanya, menurut Prof. Brewester Ghiselin, proses kreatif adalah peristiwa yang sepenuhnya disadari oleh sang penyair. Dalam proses kreatif, sang penyair adalah subjek yang melakukan pengendalian terhadap perbuatannya. Ini mutlak diperlukan. Dengan pengendalian ini maka semua kegiatan dan bahan yang dipergunakan dapat diarahkan pada tujuan yang ingin dicapainya. Bagi penyair, dibutuhkan kesabaran dan keterbukaan dalam mengelola luapan tenaga kreativitas yang mengalir dari dalam bawah sadarnya. Pada saat luapan bawah sadar tersebut menggelegak, kesadaran sebagai subjek harus terus bekerja untuk mengendalikan dan mengarahkan pada tujuan yang sudah ditetapkan. Nah dengan memimjam teori psiko-analisis Sigmund Freud, kesadaran itu diwakili oleh rasio, sedangkan bawah sadar/ketaksadaran terutama diwakili oleh emosi dan imajinasi. Seorang penyair, tiba-tiba saja (kadang disebut sebagai ilham) merasakan gerakan emosi dan imajinasi yang muncul dari alam bawah sadarnya yang belum berbentuk dan bermakna; pada saat itulah rasio sang penyair akan mengendalikan emosi dan imajinasinya dalam wujud kata-kata yang apabila ditulis akan melahirkan sebuah tuturan yang bermakna (misalnya puisi). Perlu ditambahkan, dalam mengendalikan emosi dan imajinasi bukan berarti mengalahkannya, tetapi terbatas pada menyeimbangkannya, sehingga puisi yang lahir tak terlalu kering atau sebaliknya terlalu sentimentalistis. 99
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Nah, bekerja keras untuk menyeimbangkan emosi dan pikiran/rasio itulah hal yang penting dalam proses kreatif. Salah satu wujud utamanya yang tampak adalah lewat proses revisi demi revisi sampai sajak yang dibuatnya dirasakannya sudah benar-benar pas. Konon, kelemahan seorang penyair muda terletak dalam hal kurangnya menyeimbangkan antara rasio dengan emosi+imajinasi ini. Salah satu akibatnya ialah dominannya aspek emosi dan imajinasi dalam sajak-sajaknya sehingga terperosok pada sentimentalitas yang berlebihan. Rasio pun dibutuhkan dalam penulisan sajak. Tentu, rasio dalam penulisan sajak sangat berbeda dengan yang biasa dilakukan dalam penulisan ilmiah, filsafat, atau dalam penggunaan rasio dalam kehidupan sehari-hari. Rasio dalam penulisan puisi terutama dimanfaatkan untuk memilih kata, menyusun lambang/metafor, dan imaji yang tepat dan setepat-tepatnya, sehingga puisi tidak menjadi gelap dan kering seperti ini. Seribu kunang-kunang merangkak di kegelapan Diombang-ambingkan dari angin ke angin ............................. Atau kutipan di bawah ini Antara dua batang mawar Antara dua jiwa Yang hijau berkilauan dihanguskan rindu Bulan lebur di dalamnya Meriak danau. Begitu biru ............................. Dua larik dari sajak yang pertama kedengarannya enak dibaca: seribu kunang-kunang merangkak di kegelapan/ diombangambingkan dari angin ke angin/. Kita akan tersenyum kok ada ku-
100
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
nang-kunang merangkak dan diombang-ambingkan angin. Lalu apa manfaat sayap kunang-kunang itu? Dari larik itu kita bisa melihat bahwa imaji pun membutuhkan logika. Sementara itu, kutipan puisi kedua kayaknya ditulis remaja yang sedang jatuh cinta. Antara dua batang mawar/antara dua jiwa/yang hijau berkilauan dihanguskan rindu/. Baiklah, dua batang mawar, bisa juga diterima, tetapi agaknya kata batang terlalu besar untuk mawar yang perdu itu. Mengapa bukan tangkai misalnya. Lalu ... dua batang mawar yang hijau berkilauan dihanguskan rindu/ Agak aneh juga imaji penyair kita ini. Mosok, sudah hangus, masih hijau berkilauan! Betapapun hebatnya mawar jika hangus mestinya warnanya tak lagi biru, apalagi masih berkilauan. Itulah yang dimaksudkan bahwa rasio dapat dipergunakan sebagai penyeimbang dalam berpuisi. Sebagai perbandingan perhatikan pencitraan dan perbandingan dalam sajak karya Sutardji Calcoum Bakhri seperti di bawah ini. SOLITUDE yang paling mawar yang paling duri yang paling sayap yang paling bumi yang paling pisau yang paling risau yang paling nancap yang paling dekat samping yang paling Kau! (Diambil dari kumpulan sajak O, hlm. 37)
101
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Unsur Pembangun Puisi Apabila kita memasuki sebuah rumah, pada awalnya kita akan melewati pintunya, menapaki lantainya, membuka jendelanya, melihat langit-langitnya, cat temboknya, meja-meja, kursikursi, tempat tidur, lampu-lampu, hiasan dindingnya, genting, dan sebagainya. Dengan begitu, adanya rumah sebenarnya terdiri dari unsur-unsur yang membangunnya seperti misalnya unsur-unsur: tembok, pintu, jendela, lantai, genting, dan isi yang ada di dalamnya. Unsur-unsur seperti itu tidak dapat berdiri sendiri untuk dapat disebut sebagai sebuah struktur yang bernama rumah. Unsur-unsur tersebut saling membutuhkan, saling berkaitan agar dapat membentuk bangunan yang disebut sebagai rumah. Begitu juga suatu karya sastra. Karya sastra yang berbentuk prosa cerita, puisi, dan drama sebenarnya mirip seperti bangunan sebuah rumah yang terdiri dari unsur-unsur pembangunnya yang saling berelasi membentuk sebuah struktur yang terdiri dari susunan unsur-unsur yang bersistem. Antara unsur-unsurnya terdapat hubungan timbal balik, dan saling menentukan. Struktur sebuah karya sastra merupakan kesatuan yang bulat, dan otonom. Maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur-unsur lainnya yang terkandung dalam struktur tersebut. Itu artinya, untuk menangkap makna sebuah karya sastra, misalnya sebuah puisi, dibutuhkan suatu pembacaan yang bulat, tidak hanya mencomot larik, bait, atau bagian-bagian tertentu saja. Namun, harus dibaca secara keseluruhan agar kita dapat menangkap maknanya secara utuh. Nah, unsur-unsur apa sajakah yang membangun bangunan struktur yang disebut puisi itu? Seperti halnya manusia, puisi memiliki tubuh dan jiwa/roh. Hubungan tubuh dan jiwa ini bersifat organik. Artinya, seperti halnya manusia, sebuah puisi yang hanya terdiri dari tubuh saja, maka puisi itu akan “mati”; sebaliknya jika tanpa tubuh maka akan menjadi sulit untuk dilacak.
102
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Unsur tubuh dalam puisi adalah unsur yang kasat mata, yang dapat dilihat secara visual; sedangkan unsur jiwa adalah unsur yang tak kasat mata, tetapi dapat kita rasakan sebagai ada. Dalam teori puisi, unsur tubuh (bentuk visualnya) dapat dirinci menjadi: diksi, citraan, kata-kata konkret, majas/lambang/kias/ rima dan irama. Unsur jiwa terdiri dari: rasa, nada, amanat/tujuan, dan temanya. Untuk mempertegas konsep bahwa setiap sajak sebenarnya terdiri atas unsur tubuh yang secara garis besar diwakili dalam bentuk bahasa, dan unsur jiwa dalam wujud tersirat, di bawah ini dikutipkan 3 buah sajak yang berasal dari tiga generasi kepenyairan Indonesia modern, masing-masing berjudul “Derai-Derai Cemara” karya Chairil Anwar; “Bilung Grundelan” karya Linus Suryadi; dan “Sajak Transmigran II” karya F. Rahardi. DERAI-DERAI CEMARA cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam aku sekarang orangnya bisa tahan sudah beberapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini. hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah (Diambil dari Tonggak I , hlm. 303)
103
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
BILUNG GRUNDELAN Wadhuh nasib awak dadi wong cilik Dapat dhapukan apa pun tetap kojur Ke sini digencet. Ke sana dipepet Tak ada yang enak kecuali tidur Ngalor ngidul harus pakai seragam Alhamdulilah! Negeri pacak baris Dasi kupu-kupu jatah pembagian Warga Alengka ngantor serba necis Tidak rapi di batin ya rapi di badan Hem batik kathok famatek, lumayan Pakaian seragam kecemplung comberan Astaqfirullah! Togog congklang Dasar sial, nyengklak sepeda kejeglong Beras kupon 6 bulan di gudang tumpah Lha bagaimana, ayam saja ogah nothol Ini karyawan dapat bagian. Wah susah! (Dikutip dari Tonggak III, hlm. 200)
SAJAK TRANSMIGRAN II dia selalu singkong dan terus-menerus singkong hari ini singkong tadi malam singkong besok mungkin singkong besoknya lagi juga singkong di rumah sepotong singkong 104
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
di ladang seikat singkong di pasar segerobak singkong di rumah tetangga sepiring singkong enam bulan lagi tetap singkong setahun lagi tetap singkong duapuluh tahun makin singkong dan lima puluh tahun kemudian transmigran beruban sakit-sakitan mati lalu dikubur di ladang singkong (Dikutip dari Soempah WTS, 15) Dari ketiga sajak tersebut di atas, apabila kita baca dengan teliti akan nyata adanya unsur tubuh dan jiwanya. Sajak (1) misalnya, jika kita telusuri dari bagaimana Chairil Anwar memilih kata, memilih kata yang menampilkan imaji (citraan tertentu), memilih kata yang konkret, memilih kata kias/lambang, dan bangunan rima serta irama yang dibangunnya sungguh tampak jelas. Begitu juga sajak (2), dan sajak (3). Akan tetapi sebelum kita menelusuri lebih lanjut unsur pembangun ketiga puisi tersebut di atas, perlu dikenali terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan diksi; citraan; kata-kata konkret; bahasa kias/lambang; rima dan irama itu. Diksi Diksi adalah pemilihan kata yang dilakukan penyair dengan secermat-cermatnya untuk menyampaikan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya agar terjelma ekspresi jiwanya seperti yang dikehendakinya secara maksimal sehingga pembaca pun akan merasakan hal yang sama. Oleh karena itu ada banyak penyair yang mengubah, mengganti berulang kali kata yang dipilihnya sampai dirasakan pas betul untuk menda105
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
patkan kepadatan dan intensitas ekspresinya dengan mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya. Salah satu contoh klasik adalah sajak “Derai-derai Cemara” tersebut di atas. Larik yang berbunyi: Hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dari cinta sekolah rendah/ (dalam kumpulan sajak Kerikil Tajam); tetapi diubah menjadi: hidup hanya menunda kekalahan/ tambah jauh dari cinta sekolah rendah/ (dalam kumpulan sajak berjudul Deru Campur Debu) . Pilihan kata terasing (berarti menunjukkan rasa keterpencilan); sementara kata jauh menunjukkan adanya jarak. Larik tambah jauh dari cinta sekolah rendah jelas lebih pas dalam kaitan cita-cita sekolah rendah (cita-cita masa kanak-kanak yang biasanya membayangkan kehidupan yang lebih gemilang di kelak kemudian hari); ternyata kini dialami Chairil Anwar dewasa pada kenyataannya tidaklah demikian. Itulah hebatnya diksi! Dalam pada itu sajak “Bilung Grundelan” karya almarhum Linus Suryadi menjadi menarik untuk didiskusikan dalam hal diksinya. Mengapa Linus memasang kata dhapukan yang artinya peran, terutama di dunia teater dan kata kojur yang artinya celaka dalam “dapat dhapukan apa pun tetap kojur”. Begitu juga kata ngalor ngidul (artinya ke utara dan ke selatan, ke sana ke mari) dalam “Ngalor ngidul harus pakai seragam”; pacak baris (artinya baris berbaris) dalam “... Negeri pacak baris”; kathok (yang artinya celana) dalam “Hem batik kathok famatek, lumayan”; nyengklak (yang artinya melompat naik), dan kejeglong ( artinya masuk lubang) dalam “Dasar sial, nyengklak sepeda kejeglong”; serta nothol (artinya mematuk) dalam larik “Lha bagaimana, ayam saja ogah nothol”. Barangkali guru bahasa Indonesia akan marah-marah membaca sajak Linus itu karena menggunakan kata-kata yang jelas sangat tidak baku! Kemarahan itu dapat dimaklumi sepanjang sang guru belum banyak bacaannya di seputar puisi (maaf). Pemilihan kata Jawa dalam puisi tersebut memang disengaja penyairnya, sebab Linus ingin melukiskan dengan secermat dan 106
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
setepat-tepatnya dengan memanfaatkan bahasa dan budaya Jawa untuk menyampaikan makna dan pengalaman orang Jawa di Indonesia. Persoalannya memang apakah kata-kata Jawa dalam sajak itu akan hilang bayangan maknanya jika diganti dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Hal semacam juga dapat dilacak dalam puisi karya Darmanto Yatman berjudul “Bla Bla” dalam kumpulan sajaknya yang bertajuk Ki Blakasuta Bla Bla yang bahkan memasukkan kata-kata asing. Di bawah ini dikutipkan bait pertama dari sajak tersebut. ................................................. kayak rayap orang-orang london ngerubung liang-liang subway pating kruntel madhumani, mombasa, guillermo, sontoloyo dan mereka terus juga nyeloteh: yes sir bla bla! no sir bla bla! orang-orang london terus juga gemrenggeng rambut-rambut pirang, kepala-kepala botak, kribo-kribo sari, sweater, jacket, jumper berdesak-desakan bla bla! terus juga mereka merayapi pintu-pintu, escalator-escalator, tangga-tangga dengan sepatu booty, levin, bally, cardin bla bla! .............................................................. (Dikutip dari Ki Blakasuta Bla Bla, 13) Citraan Citraan (imagery) alias gambaran angan-angan/pikiran; sedangkan citra (image) adalah sebuah efek dalam gambaran angan atau pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang 107
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
dihasilkan oleh ungkapan penyair terhadap sebuah objek yang dapat ditangkap oleh indra penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, penciuman, bahkan juga pemikiran dan gerakan. Perhatikan bagaimana Linus Suryadi membangun citraan dengan imaji/citra penglihatan seperti ini: ..................................... Ngalor ngidul harus pakai seragam ..................................... Hem batik kathok famatek, lumayan ...................................... Pakaian seragam kecemplung comberan ....................................... Dasar sial, nyengklak sepeda kejeglong ...................................... Atau juga bagaimana Chairil Anwar memanfaatkan sekaligus imaji lihat-dengar-pemikiran-dan gerak dalam sajak berjudul “Derai-Derai Cemara” seperti ini://cemara menderai sampai jauh/terasa hari jadi akan malam/ada beberapa dahan di tingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam// ............. / hidup hanya menunda kekalahan/tambah jauh dari cinta sekolah rendah/dan tahu/ ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya/ kita menyerah//. Relasi antara pemilihan katacitraan-kata konkret-rima-iramanya dalam larik cemara menderai sampai jauh/terasa hari jadi akan malam/ ada beberapa dahan di tingkap merapuh/ dipukul angin yang terpendam// sungguh mengagumkan. Suku kata cemara menderai, dari sudut pemilihan kata dapat kita pertanyakan mengapa Chairil memilih kata menderai (yang sekaligus mengandung citraan-lambang-dan rima) untuk direlasikan dengan cemara? Jika kita membuka kamus, kata menderai diartikan sebagai jatuh berguguran tak beraturan. Luar biasa. Lewat larik pertama saja pembaca dapat mencitrakan/mengimajikan
108
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
sekaligus. Citra lihat-dengar yang begitu dominan dalam sajak itu mampu menimbulkan suasana khusus yang mengharukan. Hanya memang, citra membutuhkan konvensi agar dapat ikut dibayangkan oleh pembaca pada saat ia membayangkan apa yang menjadi gambaran si penyair pada saat ia menuliskan puisinya, yaitu gambaran angan jangan berada di luar jangkauan pengalaman kita sebagai manusia, seperti misalnya ‘hitam seperti rongga tenggorokan serigala’. Dalam jagat puisi Indonesia modern, penyair yang memperoleh julukan sebagai penyair imagis, penyair yang secara suntuk memanfaatkan citra lihat-dengar-cium-gerak secara serentak adalah Sapardi Djoko Damono. Berikut dikutipkan contohnya. AIR SELOKAN “Air yang diselokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung – ia hampir muntah karena bau sengit itu. Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir; campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati. * Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri menuding sesuatu, “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu – alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali. (Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas, hlm. 18)
109
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Kata-kata Konkret Kita mengenal istilah kata umum, kata khusus, denotasi, dan konotasi. Kata ‘membawa’ misalnya, jelas bernilai rasa umum. Akan tetapi, ‘menggendong si upik’; ‘menggenggam uang’; ’menggotong mayat’; atau ‘menggandeng pacar’, jelas juga berarti membawa. Bedanya, yang belakangan itu lebih dapat dicitrakan, dibayangkan dengan jelas oleh pembaca, sedangkan ‘membawa’ sangat sulit untuk dicitrakan dengan tepat. Demikian juga kata ‘sunyi’ secara denotatif berarti (1) tidak ada bunyi atau suara apa pun; (2) tidak ada orang, kosong; (3) tidak banyak transaksi, tidak banyak pembeli; (4) bebas, lepas, terhindar dari kesalahan. Nah, bagi seorang penyair dia harus menentukan kata sunyi dalam arti yang mana, itu artinya secara denotatif berarti sunyi, tetapi secara konotatif mungkin dimaksudkan sebagai yang nomor (1) penyair dapat menggunakan kata hening atau senyap, misalnya dalam larik ‘berdiri aku di senja senyap’. Penyair-penyair tertentu, misalnya Rendra, Sitor Situmorang, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calcoum Bahri, Afrizal Malna, atau Dorothea Rosa Herliany sangat piawai dalam memilih kata-kata yang secara denotatif (berarti arti yang ditunjuk atau arti yang terdapat dalam kamus) sekaligus memancarkan asosiasi-asosiasi yang muncul dari arti denotatifnya (konotasinya), seperti misalnya Ia makan nasi dan isi hati pada mulut terkunyah duka .......................................... Ruang diributi jerit dada Sambal tomat pada mata ..................................... (Rendra, “Di Meja Makan” dalam Balada Orang-orang Tercinta, 34)
110
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Atau larik Darmanto Yt yang berbunyi: /kayak rayap/ orangorang london ngerubung liang-liang subway/pating kruntel madhumani/, mombasa/, guillermo/, sontoloyo/; atau Chairil Anwar ketika berucap: /cemara menderai sampai jauh/terasa hari akan jadi malam/ada beberapa dahan di tingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam. Juga dalam larik: /.... Sepi menekan-mendesak/Lurus kaku pohonan/Tak bergerak/Sampai ke puncak./ Sepi memagut/ Tak satu kuasa melepas-renggut/ ..../ Tambah ini menanti jadi mencekik/ ........../ dan sebagainya. Bahasa Kias/Majas/Simbol Sampai di sini sebenarnya kita bisa melihat betapa “serakahnya” penyair itu. Untuk mengungkapkan sesuatu dengan tepat dan dirasakan pas dengan apa yang dimaksud ia harus berusaha dengan sangat keras untuk memilih kata (diksi) setepat-tepatnya dengan mempertimbangkan pula segi citraannya, kata khusus/ konkret lengkap dengan denotasi-konotasinya. Dan apabila dengan pilihan semacam itu masih dirasakan belum cukup, penyair masih berusaha pula dengan memilih kata yang mengandung perbandingan/kias/majas atau simbol tertentu dan ditambah lagi yang disusun dalam rima dan irama tertentu pula. Luar biasa “serakahnya”. Atau luar biasa njlimet-nya? Lihat penggalan beberapa bait sajak-sajak berikut ini. HAMPA kepada Sri Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memagut Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti Sepi. 111
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencengkung punda Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan menanti. (Chairil Anwar, Deru Campur Debu, hlm. 8) BLUES UNTUK BONNIE Kota Boston lusuh dan layu kerna angin santer, udara jelek, dan malam larut yang celaka. Di dalam cafe itu seorang penyanyi Negro tua bergitar dan bernyanyi. Hampir-hampir tanpa penonton. Cuma tujuh pasang laki dan wanita berdusta dan bercintaan di dalam gelap mengepulkan asap rokok kelabu, seperti tungku-tungku yang menjengkelkan. .............................................. Orang-orang berhenti bicara Dalam cafe tak ada suara. Kecuali angin menggetarkan kaca jendela. Georgia. Dengan mata terpejam si Negro menegur sepi. Dan sepi menjawab dengan sebuah tendangan jitu tepat di perutnya Maka dengan blingsatan ia bertingkah bagai gorilla. 112
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Gorrila tua yang bongkok meraung-raung. Sembari jari-jari galak di gitarnya mencakar dan mencakar menggaruki rasa gatal di sukmanya. Georgia. Tak ada lagi tamu baru. Udara di luar jekut. Anginnya tambah santer. Dan di hotel menunggu ranjang yang dingin. Srenta dilihat muka majikan cafe jadi kecut lantaran malam yang bangkrut Negro itu menengadah. Lehernya tegang. Matanya kering dan merah menatap ke surga. ......................... Bagaikan ikan hitam ia menggelepar dalam jala. Jumpalitan dan sia-sia. Marah terhina dan sia-sia. ........................................... (Rendra, Blues untuk Bonnie, hlm. 14-15) Dari dua sajak tersebut di atas, menjadi sangat jelas betapa kata dipilih oleh Chairil Anwar dan juga Rendra dengan pertimbangan sangat ketat dan suntuk dari segi diksi-citra-kata konkrit/denotasi/konotasi, dan pigura bahasa dalam bentuk majas 113
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
atau simbol. Pada sajak Rendra contoh di atas, misalnya: /Kota Boston lusuh dan layu/kerna angin santer/udara jelek/dan malam larut yang celaka/. Larik “Kota Boston lusuh dan layu”, benar-benar diperhitungkan dari sudut diksi-citra-konotasi- dan majas personifikasi kota Boston layu. Dalam bayangan kita sebagai pembaca, kota Boston di AS itu bukan hanya lusuh, kumuh, tapi juga layu alias tak bergairah lagi. Rendra masih merasa belum cukup. Ia juga mendeskripsikan angin, udara, dan tengah malam yang celaka. Malam yang celaka ini dilukiskan dengan sangat konkret lewat suasana cafe yang sepi pengunjung, tapi penuh kepulan asap rokok kelabu, seperti tungku-tungku yang menjengkelkan. Hanya ada tujuh pasang tamu yang sedang tenggelam dalam dansa dan dihibur oleh penyanyi Negro yang sudah tua. Bagaimana penyanyi Negro itu beraksi dilukiskan oleh Rendra dengan sangat pas lewat diksi-citra-konotasi-dan majas perbandingan dan metafora seperti di bawah ini. .......................................... Maka dengan blingsatan/ ia bertingkah bagai gorilla/ Gorrila tua yang bongkok/meraung-raung/ Sembari jari-jari galak di gitarnya/ mencakar dan mencakar/menggaruki rasa gatal di sukmanya/Bagaikan ikan hitam/ia menggelepar dalam jala/ Jumpalitan/dan sia-sia. ...................................... Rima dan Irama Rima adalah persamaan bunyi, yang dapat berbentuk assonansi, aliterasi, resonansi, rima berangkai, rima berselang, rima sempurna/tak sempurna, dan sebagainya, seperti dalam sajak Chairil Anwar dan Rendra yang berbunyi: menekan-mendesak/ tak bergerak/memagut/melepas renggut// segala menanti/menanti/menanti/sepi//. Atau dalam larik-larik puisi Rendra yang berbunyi: 114
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
..................................... Orang-orang berhenti bicara Dalam cafe tak ada suara. Kecuali angin menggetarkan kaca jendela .................................................. Sementara irama adalah tinggi rendahnya suara, panjang pendeknya suara, cepat lambatnya suara akan dibicarakan dalam membaca sajak khususnya deklamasi. Unsur Jiwa/Roh Puisi Seperti telah disebutkan di depan unsur jiwa ini terdiri dari: rasa (feeling), nada (tone), amanat/tujuan (intention), dan pokok persoalan/tema (sense). Unsur rasa dan nada berkaitan erat. Sajak “Bilung Grundelan” karya Linus Suryadi, dan “Sajak Transmigran II” karya F. Rahardi, misalnya, sangat jelas rasa dan nadanya. Bagaimana Linus dan Rahardi menyikapi objek puisinya sangatlah mirip. Kesebalan campur ketrenyuhan yang dirasakan Linus terhadap “nasib” atau lebih tepat “dipernasib” oleh struktur kekuasaan negara yang otoriter terhadap pegawai negeri rendahan, menyebabkan nada sajak “Bilung Grundelan” menjadi getir, mengenaskan campur menyebalkan. Begitu juga “Sajak Transmigran II”, kesebalan-kejengkelan-sekaligus kemarahan bisa jadi mengawali proses kelahiran sajak ini. Oleh karena itu, nada yang sampai kepada pembaca pun (lebih-lebih apabila dideklamasikan) kata singkong yang diulang-ulang akan menyebabkan kita tersentak dengan meninggalkan kesan kegetiran yang mengiris. Itulah hebatnya feeling dan tone yang benar-benar dimanfaatkan oleh penyair. Dari seorang penyair yang sama, misalnya Chairil Anwar, lewat sajak berjudul “Derai-Derai Cemara” dan sajak berjudul “Hampa”, nada yang sampai di telinga pendengar dalam pembacaan puisi jelas berbeda. Lewat “Derai-Derai Cemara” kita akan merasakan ketegaran, kedewasan sikap sese115
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
orang; sementara lewat “Hampa” pembaca akan merasakan nada yang menyesakkan-memilukan di antara geliat seseorang yang sedang stres berat. Itu semua jelas sebagai akibat dari rasa apa yang dialami Chairil Anwar pada saat melahirkan kedua puisi itu. Dengan demikian, salah satu unsur yang paling penting dalam membaca puisi adalah kepiawaian kita menangkap rasa dan nada sajak yang sedang kita baca. Jika kita salah menangkap rasa dan nadanya, maka akan berakibat fatal; sajak akan menjadi rusak dan bahkan salah kita tangkap makna atau rokhnya. Amanat dan Tema Betapapun sederhana atau singkatnya sebuah puisi, dipastikan mengandung unsur amanat dan tema. Berikut dikutipkan tiga buah sajak pendek. (1) MEDITASI Tuhan, kau hanya kabar dari keluh. (Abdul Hadi W.M., Meditasi, hlm. 29)
(2) SUNYI Katak kecil melompat dalam kolam tua Plup! (Haiku dari Jepang) (3) TUAN Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang ke luar. (Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas, hlm. 25)
116
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Dari ketiga contoh sajak pendek tersebut di atas, sajak (1) karya Abdul Hadi W.M. paling mudah dilacak apa makna sajak itu, apa pula tema, dan amanatnya. Bukan hanya Abdul Hadi W.M. kita pun sering berbuat hal yang sama: dalam meditasi atau berdoa dalam kekhusukan, kita biasanya cenderung lebih banyak mengadukan kesusahan-kerepotan-kemalangan yang kita hadapi; sementara itu, dalam hal yang sebaliknya, masihkah kita ingat pada Tuhan? Maka, lewat tema bahwa kita berkecenderungan hanya ingat Tuhan jika sedang menderita, amanatnya sangat jelas: sindiran atau gugatan pada kita semua agar selalu ingat bahwa dalam situasi apapun kita harus selalu ingat dan bersujud kepada-Nya. Sajak (2) lebih mudah dilacak apa pokok persoalan/tema dan amanat puisi itu. Kesunyian yang tampil dalam sajak itu bukan hanya kesunyian dalam ruang dan waktu tetapi juga kesunyian dalam rasa. Bahwa kesunyian yang amat sangat secara alami tampak pada prasa “katak kecil” alias precil yang secara wadhak bukan main kecilnya itu “melompat dalam kolam tua” dan berbunyi “plup!” sampai terdengar ... apalagi jika bukan kesunyian yang benar-benar sepi. Sedangkan sajak (3) yang berjudul “Tuan” karya Sapardi Djoko Damono, mirip dengan sajak (1) juga menyindir pada kita, bahwa kita sebagai manusia kadang tahu bahwa; Tuan, Tuhan, bukan?, tetapi tunggu sebentar/ saya sedang ke luar//. Kita mendengar suara adzan pukul enam sore misalnya, atau bunyi lonceng gereja pukul enam pagi, kadang tidak kita perhatikan karena kita sedang sibuk (sedang ke luar), dan kita tahu bahwa suara itu adalah ajakan untuk bersembahyang, tetapi tidak jarang kita berkilah tunggu sebentar saya sedang repot, dan seterusnya. Dengan demikian, hampir dapat dikatakan bahwa tak ada sajak yang tidak mengandung tema dan pesan, betapa pun singkatnya sajak itu. Tema, pesan, rasa, dan nada sebuah sajak tidak lain adalah unsur dalam alias rokhnya puisi. Kita dapat terkesiap menangkap pesan sajak-sajak Chairil Anwar misalnya dalam 117
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
sajak “Hampa”, “Aku”, “Selamat Tinggal”; tetapi juga dapat menerima pesan kepasrahan pada sajak-sajaknya seperti: “Doa”, “Senja di Pelabuhan Kecil”, dan “Derai-Derai Cemara”. Apresiasi Puisi Terlebih dahulu perlu dipertegas kembali apa arti apresiasi itu. Jika kita membuka kamus Webster’s New World Dictionary (1991: 67), akan dijumpai kata appreciate, appreciated (v) yang berasal dari kata appretiatus (Latin), dan kata appreciation (n). Kata appreciate , ternyata sangat luas artinya (ada 5 arti). Satu di antaranya berkaitan dengan seni, kata itu diartikan sebagai to think well of; understand and enjoy. Kata appreciate bersinonim dengan value, dan prize. Appreciate menunjukkan bahwa seseorang dapat menilai sesuatu atau menikmati sesuatu, seperti misalnya He appreciates good music, Ia menghargai/menikmati musik yang baik. Sedangkan kata benda appreciation , juga mengandung banyak arti. Dua di antaranya berbunyi (1) the act of appreciating, specifically proper estimation or enjoyment of art; (2) a judgment or evaluation. “Proper estimation of art” alias penghargaan dengan tepat terhadap karya seni. Dengan demikian “apresiasi puisi” dapat diartikan sebagai cara melakukan penghargaan/penilaian yang tepat terhadap puisi. Cara yang tidak dapat ditawar lagi agar kita dapat menghayati dan memahami puisi dengan tepat, apalagi jika bukan melakukan kontak langsung dengan puisi (alias membaca puisi itu sendiri). Ada banyak cara untuk memahami, menghayati, dan menghargai puisi. Berikut akan dipaparkan cara memahami, menghayati, dan menghargai puisi yang sudah umum dilakukan, yaitu dengan cara membaca puisi itu secara langsung dan berulangulang. Dalam membaca puisi, perlu diperhatikan pemenggalan baris-barisnya, dan perlu diketahui pula bahwa dalam setiap puisi, antara judul, baris-barisnya/larik-lariknya yang mebentuk bait, dan bait-bait yang mengumpul dalam sebuah puisi, terdapat kesatuan/pertalian makna yang utuh dan kompak. 118
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Lewat pembacaan yang setia pada pemenggalan yang benar, jika di antara penggalan-penggalan itu disisipkan kata penghubung yang tepat pula maka seluruh bait itu akan dapat dibaca, istilahnya diparafrasekan sehingga arti lugas puisi itu dapat tampil. Sebagai contoh berikut akan dikutipkan sajak karya Chairil Anwar berjudul “Doa.” Tuhanku/(meski) dalam termangu/ (tetapi) aku masih menyebut nama-Mu/Biar susah sungguh mengingat Kau/ (yang ) penuh seluruh/ caya-Mu (terasa) panas/(dan) suci/(yang kini dirasakan) tinggal (seperti) kerdip lilin/ di kelam sunyi// Tuhanku/ aku (merasa seperti) hilang bentuk/ (dan) remuk// Tuhanku/ aku (merasa seperti) mengembara/ di negeri asing// Tuhanku/ di pintu-Mu/ aku mengetuk/ aku/ tidak bisa berpaling// Dengan pemenggalan larik seperti itu, secara denotatif dapat ditangkap apa kira-kira maksud Chairil Anwar. Untuk mencari apa kita-kira maknanya, dengan berbekal prinsip diksi, citraan, denotasi-konotasi, metafora/pelambangan, dapat diurai makna utuh sajak itu lewat mencoba mencari apa arti di balik pilihan kata/frase yang digarisbawahi seperti tersebut di atas. Si aku lirik dalam sajak itu berucap bahwa meskipun dalam keadaan “termangu”, artinya dalam keadaan ragu-ragu, kasarannya di antara percaya atau tidak, tetapi “masih menyebut nama-Mu”, artinya masih kadang-kadang bersembahyang /berdoa. Bukankah dalam berdoa kita pasti tidak lupa menyebut nama Tuhan? Pengertian ‘kadang-kadang’ ternyata diperkuat lagi dengan larik “biar susah sungguh”. Itu artinya keragu-raguan si aku lirik benar-benar sudah “gawat”. Akan tetapi, si aku lirik masih merasakan “caya-Mu” yang “panas” dan “suci”, meskipun (lagi-lagi si aku lirik terus terang mengungkapkan bahwa caya yang panas suci itu tinggal dirasakan sebagai kerdip lilin di kelam sunyi). Hiiii.... apabila ada hembusan angin kecil saja ... apa jadinya!
119
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Dalam situasi yang seperti itu (tentu saja dalam keraguraguan itu), aku lirik merasa seperti tak lagi berwujud, tak bisa berbuat apa-apa, bahkan terasa “remuk” dan seperti “mengembara di negeri asing”. Artinya: terpencil, sendiri, tak tahu arah, tak tahu harus berbuat apa, tak bisa berkomunikasi dengan orang lain (bukankah jika Anda berada di negeri asing dan tidak menguasai bahasa mereka, Anda akan merasa dikucilkan, dan bingung?). Beruntunglah si aku lirik akhirnya dengan jujur mengatakan: Tuhanku/di pintu-Mu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling//. Singkat kata, walaupun dalam keraguan yang luar biasa, si aku lirik menyadari bahwa tak ada cara lain kecuali mengetuk “pintu” Tuhan, sujud, menyembah pada-Nya (‘aku tak bisa berpaling’). Penutup Demikianlah seluruh proses yang harus dilalui jika kita ingin memahami, menikmati, dan menghayati puisi. Memang seperti yang tertera dalam bagaimana mengapresiasikan sebuah puisi, langkah awal dan terpenting adalah langsung menggeluti puisi, langsung membaca puisi secara benar dan berulang-ulang agar pada akhirnya memperoleh titik terang ke arah pemahaman dan penghayatan karya sastra yang berbentuk puisi. Tentu saja, pada saat kita membaca puisi tertentu secara berulang-ulang, disadari atau tidak, ada banyak unsur yang berulang dan menggoda untuk dilacak bagi pembaca yang mulai merasakan sentuhan rasa dan nadanya lewat pilihan kata, citraan yang tergambar di angan, perbandingan/metafora, rima dan irama yang diulangulang dan berkesan indah dibaca dan didengar. Itulah sebabnya makalah yang sangat global ini mencoba mengajak bagaimana memahami, menikmati, dan menghayati puisi lewat mengenal apakah puisi itu, bagaimana proses kreatifnya, unsur apa saja yang mebangunnya, dan bagaimana mengapresiasikannya. Mereka yang berminat untuk mendalaminya lebih lanjut, berikut disertakan daftar bacaan, baik yang berupa 120
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
teori ataupun buku-buku puisi yang dapat dibaca dan dipergunakan sebagai sumber pemahaman lebih lanjut. Daftar Bacaan Anindyah, Wara. 2001. Melukis Mengolah Sukma. Yogyakarta: Seruni. Anwar, Chairil. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangunan. ————— . 1978. Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus. Jakarta: Dian Rakyat. Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar Harapan. Damono, Sapardi Djoko. 1983. Perahu Kertas. Jakarta: Balai Pustaka. ————— .1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus. Darmanto, Jt. 1980. Ki Blaka Suta Bla Bla. Semarang: Karya Aksara. Effendi, S. 1973. Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende: Nusa Indah. Ghiselin, Brewster (ed). 1961.The Creative Process. New York: The New American Library. Jassin, HB. 1963. Pudjangga Baru Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung. Moeliono, Anton (penyelia). 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Neufeldt, Victoria & David B. Guralnik.(ed). 1986. Webster’s New World Dictionary of American English. New York: Prentice Hall General Reference. Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rahardi, F. 1983. Soempah WTS. Jakarta: Penerbit Puisi Indonesia. Rendra, W.S. 1976. Blues untuk Bonnie. Jakarta: Pustaka Jaya. Richards, I.A. 1970. Principles of Literary Criticism. London: Cox & Wyman Ltd. Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press. 121
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Saini, KM. 1993. Puisi dan Beberapa Masalahnya. Bandung: Penerbit ITB. Suryadi, Linus.(ed). 1987. Tonggak I. Jakarta: Gramedia. —————————— . 1988. Tonggak III. Jakarta: Gramedia.
122
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
PADA MULANYA, PUISI ADALAH KATA Hamdy Salad
Pada mulanya, puisi adalah kata. Susunan kata-kata. Sejumlah baris kalimat yang di jajar ke bawah, dan dinyatakan oleh penulisnya atau orang yang membacanya sebagai puisi. Dengan begitu, kita boleh beranggapan bahwa puisi dapat ditulis oleh semua orang. Setiap orang yang pernah sekolah atau terbebas dari B-2 (buta huruf dan buta tulis) dapat menuang dan merangkai kata-kata, kemudian menyebutnya: puisi. Anto yang sedang jatuh cinta, atau Ani yang sedang bersedih karena ditinggal kekasih, dengan mudah dapat menulis atau menjajar kata-kata dalam buku diary, dan hasilnya boleh juga diberi nama puisi. Akan tetapi, ketika kita mulai berpikir bahwa puisi merupakan bentuk ekspresi seni yang diwujudkan melalui kata-kata, dan dicipta berdasarkan konvensi, aturan, konsep atau kriteriakriteria tertentu, maka kita pun akan percaya, bahkan juga meyakini: tidak semua orang dapat menulis puisi dan tidak semua orang yang mampu menulis puisi dapat dinamai penyair. Iwan yang selalu berdandan seperti seniman yang mengerti tentang apa dan bagaimana puisi itu mesti ditulis, mungkin saja telah menghabiskan waktunya untuk melahirkan sejumlah puisi puluhan atau ratusan puisi sebagai ekspresi seni, namun tidak semua orang seperti Iwan dapat disebut sebagai penyair. Sebagaimana juga yang terjadi dalam bidang seni yang lain: tidak semua orang 123
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
yang bisa bernyanyi disebut penyanyi, dan tidak semua orang yang bisa melukis disebut pelukis. Melalui dua alinea di atas, setidaknya dapat diambil pengertian bahwa puisi adalah ekspresi seni yang terbentuk dari susunan kata-kata. Tetapi, tidak semua susunan kata-kata dapat disebut puisi. Begitu juga sebaliknya, tidak semua orang yang dapat menulis puisi disebut penyair, dan tidak semua orang yang disebut penyair selalu menulis puisi. Namun, ketika seseorang telah diakui eksistensinya, dikenal dan dinobatkan oleh masyarakat luas sebagai penyair, maka status itu akan melekat dan abadi pada dirinya, walau mungkin saja, ia sudah tidak lagi dapat menulis puisi sampai ajal menjemputnya. Karena itu, meskipun banyak teori dan buku, pelatihan dan pendidikan yang mengajarkan metode, kiat dan cara-cara untuk menciptakannya, puisi dan penyair masih saja menjadi misteri. Menjadi bagian dari manifestasi budaya manusia yang tidak mudah dikembangkan, dibentuk, dan diciptakan seperti yang tercatat dalam sejarah kesusastraan. Itulah sebabnya, dari generasi ke generasi, masih saja ada yang berminat untuk dapat menulis puisi, dan masih juga ada orang yang terus berjuang untuk menjadi penyair sampai mati. Seperti garam di air laut, puisi dan penyair memang sulit untuk dipisahkan. Namun demikian, dalam kehidupan seharihari dalam kenyataan budaya yang ada, puisi dan penyair telah berubah menjadi dua dunia yang berbeda. Puisi dapat berkembang menjadi pelajaran atau mata kuliah dan diakui sebagai ilmu pengetahuan dengan berbagai teori yang melingkupi; sementara penyair selalu berada dalam rumah atau di jalanan dan dianggap sebagai menuai berandalan. Dengan demikian, makna puisi dan proses-proses penciptaannya dapat dipelajari dan diajarkan oleh siapa saja, sedangkan makna proses-proses kepenyairan tidak mungkin dapat dipelajari dan diajarkan kecuali oleh penyair sendiri.
124
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Sebagai ilmu pengetahuan, puisi memiliki definisi yang beragam. Ada yang mengatakan bahwa puisi adalah susunan kata yang indah dan bermakna. Ada juga yang berpendapat, puisi adalah susunan kata-kata yang terikat oleh konvensi, oleh aturan dan unsur-unsur bunyi. Sementara yang lain menganggap, puisi merupakan susunan kata yang indah dan dirangkai dalam bentuk yang indah. Puisi sering juga disebut sebagai pernyataan jiwa, emosi dan pengalaman yang diungkapkan melalui katakata terpilih padat dan singkat. Puisi juga berarti susunan kata yang ke luar dari percampuran antara perasaan dan pikiran. Namun ada juga yang mendefinisikan sebagai rekaman peristiwa yang paling berkesan dalam kehidupan dan dinyatakan dalam susunan kata yang hemat dan tepat. Dari beragam definisi di atas, setidaknya dapat ditemukan beberapa unsur pokok atau konvensi yang menyebabkan susunan atau rangkaian kata-kata itu boleh disebut puisi. Yakni, unsur penulisan (padat, singkat dan tepat), unsur keindahan (irama, bunyi dan nada), unsur perasaan (emosi, kesan dan pengalaman), unsur pikiran (logika, penggambaran atau penafsiran terhadap peristiwa), serta unsur makna (arti, pesan atau amanat). Konvensikonvensi termaksud, meskipun belum sepenuhnya dapat menjangkau semua bentuk, aliran, gaya dan seluk beluk pemahaman tentang puisi, namun kiranya sudah memenuhi syarat untuk menyatakan bahwa, setiap susunan kata-kata atau baris kalimat yang memiliki unsur-unsur tersebut dapat dianggap sebagai ekspresi seni yang bernama puisi. Dalam perkembangan sastra Indonesia terkini, puisi sering juga disebut sajak atau syair. Ketiganya merupakan istilah yang dapat dipakai secara bergantian, dan sama sekali tidak mengandung perbedaan. Belum ada seorang pakar yang berusaha membedakan ketiga istilah tersebut, kecuali mengelompokkan sebagai salah satu jenis ekspresi seni dalam bidang kesusastraan, disamping prosa (roman, novel, cerita pendek) dan sastra lakon (naskah drama). 125
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Sebagai ekspresi seni, puisi dapat ditulis atau dicipta melalui cara-cara tertentu. Cara-cara itu, biasanya disebut proses kreatif, atau tahap-tahap yang mesti dilalui dalam penciptaan (penulisan) puisi. Proses kreatif, dalam penciptaan puisi (juga kesenian yang lain), pada dasarnya tidak mengikat. Artinya, proses kreatif itu bisa berbeda antara orang (seniman) yang satu dengan orang lainnya. Akan tetapi, sebagaimana yang sering diceritakan oleh para penyair, proses penciptaan puisi secara umum dapat dikelompokkan menjadi empat tahap; yaitu pencerapan, pengendapan, penulisan dan perbaikan. Pertama, tahap pencerapan; menunjuk pada proses atau kegiatan sehari-hari untuk mengumpulkan informasi sebanyakbanyaknya melalui membaca, melihat, merasakan terhadap berbagai peristiwa, kejadian dan pengalaman yang bersifat individual (dalam kehidupannya sendiri), sosial (di tengah masyarakat), maupun universal (kemanusiaan dan ketuhanan). Kedua, tahap pengendapan; berarti memilih atau menyaring informasi (masalah, tema, ide, gagasan) yang menarik dari tahap pertama, kemudian memikirkan, merenungkan, dan menafsirkan sesuai dengan konteks, tujuan dan pengetahuan yang dimiliki. Dengan begitu, segala informasi yang diperoleh tidak langsung diterima, tetapi harus diolah dan dikaitkan, dibentuk dan dikembangkan seluas mungkin. Ketiga, penulisan; merupakan proses yang paling genting dan rumit. Pada tahap ini, seluruh energi kreatif (kemampuan dan daya cipta), intuisi dan imajinasi (kepekaan rasa dan kecerdasan pikir), pengalaman dan pengetahuan, berbaur menjadi satu untuk mencari dan menemukan kata-kata atau kalimat yang tepat, singkat dan padat, indah dan mengesankan, dan dianggap telah mewakili informasi dan hasil permenungan yang diperoleh dari tahap/kegiatan sebelumnya. Sampai kaa-kata itu menjadi tersusun dan bermakna, terbentuk dan terbaca sebagai puisi. Keempat, perbaikan; tahap ini dapat juga disebut membaca ulang terhadap puisi yang telah dilahirkan. Di sini, ketelitian 126
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
dan kejelian seseorang untuk mengoreksi seluruh rangkaian kata, kalimat, baris dan bait, sangat dibutuhkan. Kemudian mengubah, mengganti, atau menyusun kembali setiap kata atau kalimat yang tidak/kurang tepat agar seluruh susunan kata-kata saling terkait, saling berhubungan, saling mendukung dengan membiaskan gaya bahasa, deskripsi atau penggambaran yang bersifat unik (simbolik, metaforik), berkesan, utuh dan mendalam. Oleh karena itu, bisa jadi, proses revisi atau perbaikan memakan waktu yang lebih lama dari penulisannya. Jika puisi tersebut telah dianggap “menjadi”; tidak lagi dapat diubah atau diperbaiki. Tahap-tahap proses penciptaan puisi di atas, tidak mungkn dapat dipahami secara sempurna, kecuali dengan berlatih dan terus berlatih. Maka, jika engkau ingin mencipta puisi, ambillah kertas dan pena; menulis dan menulislah! Sampai jarimu terluka! Hingga pada suatu waktu, bukan engkau yang menulis puisi, tetapi puisi itu sendirilah yang menulis dalam dirimu, melalui jari-jarimu. Dan ketika engkau mulai tergerak untuk membacakan puisipuisimu di depan kelas, di atas panggung, di radio; atau menempelnya di Mading, mengirim ke koran dan majalah; atau caracara lain yang memungkinkan orang banyak dapat membaca puisi-puisimu, pada saat itulah engkau telah memulai proses kehidupan baru: proses kepenyairan! Apresiasi Puisi: Dari Deklamasi hingga Instalasi Sebagaimana jenis kesenian yang lain, puisi dapat diapresiasikan atau dipahami dan dikembangkan sesuai dengan unsurunsur yang dimiliki. Salah satu unsur puisi yang tidak dapat dilenyapkan ialah pembaca. Artinya, suatu ekspresi dapat disebut puisi jika ada oang lain yang membacanya. Seseorang yang menyusun kata-kata dan kemudian disimpan dalam laci, adakah orang lain yang tahu bahwa yang disimpan dalam laci itu bernama puisi? Oleh karena itu, apa yang disebut puisi, haruslah 127
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
terwujud dalam bentuk teks (susunan kata-kata yang tertulis di atas kertas atau media lainnya) dan dapat dibaca orang lain. Dalam dunia modern, teks puisi dapat terwujud di atas lembaran kertas, dalam buku, koran, internet, dan media lainnya yang memungkinkan untuk menjalin hubungan dengan pembaca. Namun demikian, dalam sejarah perkembangan seni dan kebudayaan terkini, teks puisi dapat ditransformasi atau diolah dan dibentuk unsur-unsur komunikasinya melalui media manusia (deklamasi dan pembacaan puisi; poetry reading), media suara (pita kaset, radio dan compac disk), media bunyi (nada, melodi, nyanyian, lagu; vokal group, akapela; musikalisasi puisi), media tubuh (gerak dan tarian, pantomime), media campuran atau audio-visual (film, opera, drama, happening art; teatrikalisasi puisi), maupun melalui media benda-benda (instalasi). Di Indonesia, transformasi teks puisi dari media kertas menuju media manusia di atas pentas, yang pada awalnya disebut “deklamasi”, telah dikenal sejak Kasim Mansyur dan Bahrun Rangkuti membacakan karya-karya puisinya pada tahun 50-an. Hal ini terus berlanjut ketika jurnal acara “Pertemuan Sastrawan atau Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia I” berlangsung pada tahun 1964 dengan menyediakan tempat bagi para penyair untuk berdeklamasi: WS. Rendra dan Dedy Sutomo hadir membacakan karya-karya puisi mereka dengan cara yang lebih fasih. Selanjutnya, ketika Rendra pulang dari Amerika, unsur-unsur deklamasi dikembangkan dan diubah istilahnya menjadi “poetry reading” atau “pembacaan puisi”. Dalam pertemuanpertemuan sastrawan Indonesia berikutnya (tahun 1970-an), pertunjukan seni deklamasi dan poetry reading menjadi menu acara yang selalu ditunggu. Di samping Rendra, munculah Sutardji Caulzum Bachri yang membacakan puisi-puisinya dengan cara unik dan menarik. Sementara Chairul Umam (sebagai aktor) dan Hamsad Rangkuti (sebagai cerpenis) turut ambil bagian di dalamnya dengan mempertunjukkan kesungguhan dalam ikhtiar “pembaca cerpen” (cerita pendek). 128
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Selama Orde Baru berkuasa, utamanya pada dekade 70-an sampai awal 90-an, aksi-aksi pembacaan puisi dan cerpen menjadi primadona dalam pertumbuhan kebudayaan modern di Indonesia. Dalam pertumbuhan itu, lahirlah suatu tradisi budaya yang disebut “lomba baca puisi”. Dalam perkembangannya terkini, deklamasi telah dianggap sebagai bentuk kesenian yang mapan, memiliki konvensi, gaya dan intonasi tersendiri dengan cara menghafal (menirukan cara yang diwariskan oleh generasi sebelumnya). Sedangkan poetry reading atau pembacaan puisi, merupakan jenis kesenian yang bebas, tanpa terikat oleh konvensi, dan dapat dikembangkan sesuai dengan keperluan. Namun demikian, seni baca puisi tidak mungkin dapat dilaksanakan secara memadai (memenuhi syarat-syarat pertunjukan) tanpa diimbangi dengan penguasaan terhadap teori, metode, dan teknik yang mendasari. Teori berkaitan dengan sistem pengetahuan dan apresiasi puisi; metode berkaitan dengan konsep dasar seni pertunjukan, sedangkan teknik berkaitan dengan cara-cara pembacaan dan penampilan di atas panggung. Untuk mendekati dan memahami ketiga hal di atas, seorang pembaca puisi (disebut deklamator, sering juga disebut aktor) harus memiliki kesanggupan melakukan proses-proses kreatif (pelatihan dan pendalaman) yang berhubungan dengan dunia keaktoran (dasar-dasar seni teater). Proses kreatif itu dapat ditempuh melalui: Pendalaman P-4 (penafsiran, penghayatan, pembacaan dan penampilan). Penafsiran; merupakan proses kreatif untuk mendalami teks puisi. Artinya, seorang pembaca puisi harus mempunyai kemampuan untuk mengerti dan memahami ide dan gagasan atau tema pokok dari sebuah teks puisi. Kemudian berusaha menyimpulkan maknanya (isi, pesan, atau amanat). Kemampuan menafsir ini dapat dilatih melalui kegiatan apresiasi puisi; membaca buku-buku teori, sejarah, dan kritik sastra, maupun karyakarya sastra pada umumnya, khususnya puisi. 129
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Penghayatan; merenungkan kembali hasil tafsir atau makna yang diperoleh dari sebuah teks puisi dan menghayati secara sungguh-sungguh, sehingga makna puisi tersebut betul-betul merasuk ke dalam tubuh dan jiwa, seolah mengalami betul peristiwanya, merasakan kebahagiaan atau kesedihan, kesyahduan, kebencian, dan lain sebagainya. Untuk menumbuhkan penghayatan yang lebih tinggi, diperlukan latihan-latihan: olah imajinasi (mengembangkan daya pikir dan daya khayal), olah panca indra (mempertajam kepekaan alat-alat pengindraan), olah sukma (mempertajam kepekaan rasa, intuisi dan kalbu), serta meditasi (merenungkan berbagai masalah tentang kehidupan) dan konsentrasi (memusatkan imajinasi dan pikiran pada tujuan atau masalah pokok). Pembacaan; adalah cara-cara melafalkan huruf dan katakata melalui kakuatan lisan (ekspresi verbal), sehingga teks dan makna puisi dapat didengar, dirasakan, dinikmati dan sekaligus mampu menjalin hubungan yang akrab dengan audiens atau penonton. Untuk keperluan ini, seorang pembaca puisi dituntut berlatih agar menguasai: pernafasan (memperoleh sumber energi dalam tubuh) dan vokal (mengolah kekuatan pita suara untuk menemukan nada dasar, tempo, irama, intonasi dan diksi, serta efek-efek bunyi yang dapat dikeluarkan dari mulut), serta latihan-latihan lain yang mendukung, seperti mengenali tanda baca (tata bahasa), berbicara tanpa suara, berbisik, menangis, tertawa, menirukan suara binatang, dan lain sebagainya. Penampilan; merupakan ekspresi nonverbal (isyarat dan gerak) yang membantu untuk menyampaikan makna puisi secara afektif dan terukur. Penampilan sering disamakan dengan akting. Akan tetapi, berbeda dengan akting dalam teater, penampilan dalam pembacaan puisi tidak memerlukan properti atau alatalat pendukung. Agar penampilan dapat memikat dan enak dilihat, diperlukan latihan: pembebasan diri (menumbuhkan kepercayaan dalam diri sehingga tidak canggung, grogi, gemetar dan lain-lain), olah tubuh (menguasai gerak-gerik anggota tubuh dari 130
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
rambut sampai ujung kaki dengan cara latihan gerak, senam, pencak silat, tari, dan lain sebagainya), olah kreativitas (mencari dan menemukan ide-ide baru), dan menguasai atau mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan panggung; seperti moving (cara berjalan, berpindah dan bergerak), bloking (menempatkan posisi), dan setting (penata benda-benda, hiasan atu alat-alat). Di samping pendalaman P-4, seorang pembaca puisi atau yang berkeinginan untuk menjadi pembaca puisi yang baik, diperlukan wawasan dan pengalaman-pengalaman dalam kesenian atau keterlibatan dalam keikutsertaan dalam berbagai aktivitas seni dan budaya yang memungkinkan dengan cara menonton, mengamati, mengevaluasi pertunjukkan seni dan lain sebaghinya. Aktivitas pembacaan puisi bukanlah sekedar kegiatan seremonial dalam rangka perlombaan atau perpisahan, tetapi menjadi bagian dari akspresi kesusastraan, menjadi keutamaan dari proses-proses kreatif untuk mengembangkan kesenian dan kebudayaan.
131
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
132
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
BEBERAPA HAL TENTANG PENCIPTAAN DAN PEMANGGUNGAN PUISI Landung R. Simatupang
Pada tataran pertama, urusan saya ketika menulis sajak adalah dengan diri saya sendiri. Saya dan diri saya sendiri berhadapan, “satu lawan satu”. Kalau toh ada pengalaman batin tertentu yang hendak saya wujudkan (gagahnya: “saya abadikan”) dalam sajak, itu pertama-tama adalah untuk saya sendiri. Saya membuat, berbuat, untuk diri sendiri. Seperti kalau saya makan. Tangan bekerja, bibir bekerja, rahang bawah bekerja, lidah bekerja, kelenjar liur bekerja, dan seterusnya. Memang bagi saya makan dan menulis sajak sungguh sangat mirip: memberi masukan dan menerima masukan sekaligus. Mengenyangkan dan dikenyangkan, menyehatkan dan disehatkan sekaligus, terhadap dan oleh diri sendiri. Terus terang, pada tataran pertamna, saya tidak peduli apakah sajak saya dibaca orang lain apa tidak (ketika saya pertama kali menulis “sajak-sajak” sekitar usia 12—13 tahun, sajak-sajak itu sangat saya rahasiakan). Barangkali seperti seseorang yang menulis buku harian, diary. Bahkan sampai sekarang pun saya sama sekali tidak peduli apakah sajak saya akan dimuat di koran atau majalah kalau dikirimkan, begitu juga apakah saya akan disebut “penyair” atau tidak. Pada tataran berikutnya, saya mungkin mempunyai hasrat selanjutnya. Saya merindukan hubungan, saya pingin mengungkapkan keberadaan saya sebagai 133
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
bagian dalam kebersamaan manusia, masyarakat, maupun komunitas. Saya berpikir dan merasa—entah secara jelas maupun samar-samar—bahwa pengalaman apa pun, pemikiran apa pun, perasaan apa pun yang saya coba ungkapkan sebagai sajak pasti ada kaitannya dengan manusia-manusia lain di luar diri saya. Lalu saya berupaya mempublikasikan sajak-sajak itu lewat pembacaan atau lewat media tulis/cetak. Menurut pengalaman saya, benih proses penulisan sajak adalah kegiatan berhadap-hadapan dengan diri sendiri, satu lawan satu, telanjang, dan dalam suasana jujur, didorong semangat mengenyangkan dan sekaligus dikenyangkan. Dengan ungkapan “suasana jujur” itu yang juga saya maksudkan ialah terkandung kerelaan untuk “sampai ke mana-mana” dalam menanyai, mengusut diri sendiri dengan segala pengalaman, pengetahuan, perasaan, kepicikan, kejahatan, harapan, impian-impian maupun segala persoalan yang ada di dalamnya. Itulah sebabnya sajak dapat menjadi sebentuk kesaksian mendalam tentang pengalaman hidup seorang manusia. Pada taraf petama, kesaksian itu bermanfaat untuk diri si penyajak sendiri: dengan melahirkan pengalaman batin itu sebenarnya si penyajak sedang menyosok dirinya sendiri, “mendefinisikan” keberadaannya dalam kaitan dengan suatu pengalaman. Ia menegaskan kepada diri sendiri sikapnya terhadap segi-segi kehidupan tertentu. Meskipun begitu puisi atau sajak tidak terutama lahir karena dorongan upaya untuk menyarikan pengalaman pikir dan rasa secara kering dan “berjarak” dengan segi inderawi. Saya rasa begitu pula halnya dengan karya lukis, pahat, dan patung, tari, musik, dan lain-lain. Semuanya adalah ungkapan yang dimaksudkan untuk menjadi setara dengan pengalaman itu sebagai suatu kebulatan. Karya seni tidak hanya berurusan dengan, misalnya, penyampaian informasi tentang “buah pikiran” yang hanya berhubungan dengan pengertian yang “kering”. Unsur yang amat penting dalam kreasi puisi adalah usaha “pengabadian” keseluruhan segi pengalaman, sehingga ketika 134
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
dihadapkan kepada “orang lain” (pada tataran pertama “orang lain” itu adalah diri sendiri selaku pembaca tulisan sendiri) maka ia mengandung kekuatan untuk menularkan suasana batin dan mengimbau pengalaman inderawi. Sama dengan tujuan senimanseniman lain, penyair ingin membuat karya untuk dialami oleh pembacanya yang pada tataran pertama diwakili oleh dirinya sendiri. Ini membawa akibat berupa sikap dan strategi tertentu dalam pemanfaatan bahasa sebagai sarana komunikasi dan ekspresi. Selanjutnya kita kenal istilah “bahasa kesusastraan” atau “bahasa puitis”, dan sebagainya. Dalam hubungan dengan maksud untuk “menularkan” itu, jika dikontraskan dengan bahasa dalam wacana ilmiah, lebih-lebih eksakta, bahasa dalam puisi memberikan pementingan pada pengimbauan dan penularan pengalaman inderawi yang merupakan bagian sangat penting dari arti suatu gubahan puitis. Asosiasi rangsangan inderawi dan pengekspresian pengalaman inderawi itu demikian menyatu dengan “buah pikiran” yang hendak disampaikan penyairnya. Dengan demikian, seseorang yang membaca puisi terkadang merasa sedang bersentuhan dengan “pikiran yang merasa” atau “perasaan yang berpikir”, “perasaan yang mengetahui” dan “pengetahuan yang merasa”. Untuk mulai mendekati proses penciptaan puisi, pertama marilah kita segarkan kesadaran mengenai perangkat penginderaan. Kita segarkan kesadaran bahwa kegiatan indera-mengindera: melihat, mendengar, meraba, mengecap, mencium, adalah unsur sangat penting yang membentuk kehidupan. Meskipun perangkat dan kegiatan penginderaan demikian penting, orang mungkin sudah sangat terbiasa mengabstraksikan pengalaman inderawinya sehingga sekadar menjadi pengetahuan yang kering. Ia terbiasa membuat kesimpulan-kesimpulan serba rasional mengenai “arti” benda-benda, tempat, orang, dan peristiwa. Barangkali ia telah begitu hanyut-larut dalam kerutinan kehidupan sehari-hari sehingga cenderung berpikir serba praktis dan fungsional dalam menanggapi hal-hal yang oleh indera disampaikan 135
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
kepada otaknya. Melihat ayam kampung atau ikan air tawar, misalnya, ia segera berpikir tentang kemungkinan beternak ayam atau bertani sebagai usaha sambilan. Melihat bukit di pinggir laut, ia langsung berpikir untuk membeli tanah di situ, membangun pondok penginapan: penghasilan bertambah, mungkin bisa jadi kaya seperti tetangga sebelah. Warna-warni bulu ayam yang mengkilap-kilap dalam cahaya matahari, yang disampaikan oleh alat pengindera, seperti ia tolak begitu saja, disisihkan sebagai sesuatu yang “tidak ada gunanya”. Adapun momen puitik, titik awal dalam rangkaian proses penulisan sajak—dan juga penciptaan lukisan, penggubahan komposisi musik, cerita pendek, dan karya-karya seni lain—adalah saat ketika tanggapan kita yang “hapalan” terhadap ihwal-ihwal di sekitar tiba-tiba seperti disela dan digantikan oleh jenis tanggapan yang berbeda. Benda-benda yang paling sederhana, misalnya sendok dan garpu, yang dalam tanggapan sehari-hari biasanya seperti tidak pernah diperhatikan, langsung saja dipergunakan sesuai dengan manfaat dan fungsi praktisnya, dapat saja pada suatu pagi ditanggapi secara berbeda. Bayangkan suatu pagi ketika seseorang terpaksa makan sarapan seorang diri. Rumah sepi, tidak ada orang lain. Mengambil sendok yang berkilapan, mengamatinya apakah si sendok sudah bersih betul atau belum, orang itu melihat pantulan wajahnya pada cembungan sendok. Untuk sesaat yang pendek, yang sangat pendek, ia …tertegun (barangkali ada kata yang lebih tepat untuk “tertegun” ini?). Momen semacam itu tidak terduga-duga datangnya, muskil direkayasa, dan diselubungi misteri. Momen puitik itu selalu padu, tak terpisahkan dengan pengalaman inderawi. Contoh yang disampaikan di atas berkaitan dengan indera penglihatan. Tetapi telinga dengan segala suatu yang ditangkapnya, hidung dengan segala aroma yang terendus olehnya, kulit dengan segala yang teraba dan terasa, lidah dengan segala rasa yang terkecap, semuanya berpeluang untuk melahirkan momen puitik dan sekaligus menjadi bagiannya yang padu 136
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
tak terpisahkan. Dalam saat yang sangat pendek itu orang tadi tercekam, tidak berpikir apa-apa, bahkan juga tidak merasakan apa-apa. Saat itu memang sangat pendek. Orang itu segera “terjaga” kembali, cepat-cepat makan lalu cepat berangkat karena tidak ingin terlambat sampai di tempat kerja. Ia sudah kembali kepada cerapan dan tanggapan-tanggapan praktis fungsionalnya. Akan tetapi ada satu hal yang sangat penting: orang itu dapat merefleksi, merekonstruksi, memanggil kembali gema suasana pengalaman ketertegunan melihat cembungan sendok yang berkilap dengan gambar sebagian wajahnya terpantul di sana. Kemampuan inilah yang memungkinkan orang mencipta dengan bertitik tolak pada momen-momen puitik. Momen puitik dengan cerapan inderawi itulah yang menjadi bagian inti yang sering disebut “inspirasi” atau “ilham”. Selain itu ia menjadi kekayaan dalam perbendaharaan “ungkapan puitik”, misalnya dalam puisi Rendra: //… kuciumi wajahmu wangi kopi/tapi juga kuinjaki sambil pergi/sebab wajah bunda adalah bumi/ cinta dan korban tak bisa dibagi //. Seseorang yang tidak pernah tertegun, takjub oleh aroma kopi sebagai aroma itu sendiri— artinya: bau itu tidak hanya ditangkap sebagai isyarat ‘nah itu lezat, yuk kita minum, cagak lek ngoreksi ulangan umum muridmurid’ –muskil sampai pada ungkapan puitis di atas. Kita ambil contoh sajak Rendra lainnya, bagaimana mungkin penyair itu sampai mengatakan // … terbuka luka kelopak-kelopak angsoka …// kalau tidak pernah tertegun, “terkesima” oleh pengalaman inderawi menatap bunga angsoka dan luka terbuka? Paderi muda di mimbar, dalam sajak Rendra yang lain, bermata // … bersih seperti mata kelinci …/ dan tangannya //…putih halus bagai leli …//. Selain itu, jika seseorang tidak pernah tercekam oleh momen puitik yang terhantarkan dalam cerapan indera pendengar, yakni bunyi dan irama, muskil kiranya ia menulis puisi atau menemukan puisi. Unsur bunyi seperti tinggi-rendah, keras-lirih, dan “warna” (timbre) memegang peranan sangat besar dalam puisi. Demikian juga alunan dan iramanya. Dengan demikian dapat dilihat bahwa 137
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
“puisi” sebagai suatu “seni kata” ternyata menerobos hingga jauh melampaui “kata” itu sendiri. Kata “ternyata” memang bukan “hanya kata”, apalagi dalam pengertian arti harafiah yang seolah beku dan baku dalam kamus. Kata ternyata adalah bunyi dan suasana yang terhimbau oleh bunyi itu. Ia adalah gambargambar dalam pikiran yang berkaitan dalam upaya memunculkan gambar-gambar lain, sekaligus memanggil gambar-gambar lainnya lagi. Selain itu, sebagai “pembawa gagasan atau arti”, kata ternyata juta tidak “sejinak” kelihatannya. Arti “ibu” ternyata selalu meluber hingga ke “ayah”, “anak”, “kakek”, “nenek”, “cucu”, “laki-laki”, “perempuan”, “rumah”, “kantor”, “dharma wanita”, “kota”, “desa”, “KB”, atau “kepadatan penduduk”. Keterbukaan untuk merenungkan soal “keajaiban” kata itu adalah unsur sangat penting dalam berpuisi. Pada akhirnya gilirannya semua berkaitan dengan keterbukaan untuk membangun tradisi bertanya jawab dengan diri sendiri. Bertanya dengan diri sendiri tersebut mengacu pada persoalan menyelenggarakan keheningan dan mengalamai bahwa keheningan itu ternyata merupakan laporan yang bertumpuk-tumpuk sangat banyak. Keheningan ternyata juga dapat berisi keributan, maupun kesemrawutan, tetapi juga harmoni maupun irama. Keterbukaan dan kepekaan-kepekaan itulah yang terlibat dalam seni pembacaan, penyuaraan, pemanggungan puisi, cerpen, maupun karya susastra lain. Dalam berolah sastra orang mengacu pada tiga segi pokok, yakni tafsir, penjiwaan atau penghayatan, dan teknik penyampaian. Ketiganya tidak saling terpisah melainkan saling berhubungan dan saling menyiratkan. Pada segi tafsir atau interpretasi, pembaca sajak atau deklamator menggunakan segenap pengetahuan, kecerdasan, dan juga imajinasi untuk mencerna dan memahami suatu sajak. Hanya setelah seorang pembaca sajak “mengetahui” maksud, buah-buah pikiran, dan kandungan pengalaman batin yang ingin dikemukakan (atau diimbaukan) oleh penyair barulah terbuka peluang baginya untuk menyuarakan sajak dengan patut. Maka dapat diduga bah138
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
wa syarat awal untuk menjadi pembaca sajak yang baik, mencakup keluasan pengetahuan dan kegemaran untuk menggunakan pikiran maupun kecerdasan. Keluasan pengetahuan dan ketajaman pikiran itu kemudian diarahkan dan diabdikan untuk menjalin komunikasi dengan penyair melalui sajak yang ditulis si penyair. Akan tetapi, sajak tidak hanya perlu ditafsir dan dipahami seperti karya-karya seni lain (lukis, lari, musik, pementasan teater), puisi adalah sesuatu untuk dialami dan dihayati secara pribadi. Tentu saja penghayatan atau penjiwaan ini berkaitan erat dengan tafsir tadi. Bagaimana kita bisa menghayati kalau kita tidak mengaktifkan otak untuk berusaha mencerap dunia pikiran penyair yang tersirat dalam karyanya? Ungkapan lain yang biasa digunakan adalah pembaca puisi harus menjiwai puisi yang dibacakannya. Bahkan secara ekstrim: pembaca puisi harus mampu menciptakan puisinya sendiri dari dan dalam sajak yang dibawakannya. Dalam masalah penghayatan ini yang dituntut dari seorang pembaca sajak adalah menangkap suasana suatu sajak secara utuh dan tidak terpenggal-penggal. Selain itu, pembaca sajak mutlak memiliki kerelaan untuk berbagi rasa dengan penyair yang menulis sajak yang dibacakannya. Artinya, membaca sajak bukanlah kegiatan memperalat suatu puisi untuk melampiaskan emosiemosi pembaca sajak sendiri. Dengan demikian, jelas bahwa membaca puisi bukanlah pertama-tama adu keras suara, adu ngotot, atau adu gaya aneh-aneh. Menyuarakan dan memanggungkan puisi sebenarnya adalah kerja menggunakan kecerdasan, kerja mengolah kepekaan batin, dan kerja pengakraban terhadap pengalaman kemanusiaan kita sendiri yang diimbaukan oleh karya sastra, khususnya puisi. Setelah ada “isi”, yaitu tafsir dan penghayatan setelah kita berhasil “menciptakan puisi” kita sendiri berdasarkan dan dalam sajak yang hendak kita bawakan, barulah kita berhadapan dengan tugas penyampaian tafsir dan penghayatan itu (“puisi kita sendiri”) kepada publik. Di sini barulah kita hadapi soal-soal yang menyangkut teknik penyampaian.
139
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
140
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
DASAR BERMAIN DRAMA Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya
Bakat seni seseorang tidak dapat diajarkan, ia lahir dan ada merupakan sebuah fitrah. Tetapi teknik untuk mengutarakan diri dapat dipelajari dan diajarkan. Teknik Bermain Bermain drama atau berperan di atas pentas, pada dasarnya adalah memberi bentuk lahir pada watak dan emosi aktor, baik dengan laku atau dengan ucapan. Ada tiga bagian watak yang harus muncul dan terlihat oleh penonton, yakni watak tubuh, watak pikiran, watak emosi. Menciptakan sebuah peran berarti menciptakan hidup sukma manusia diatas pentas. Untuk itulah latihan dasar bermain perlu diadakan. Teknik bermain merupakan unsur penting yang perlu dilakukan oleh seorang aktor/calon aktor. Ada beberapa teknik dasar yang dapat dilatih sebagai pegangan bagi seorang calon aktor, antara lain: teknik muncul, teknik memberi isi, teknik timing, dan teknik takaran dalam pentas. Teknik muncul adalah teknik bagaimana seorang aktor/ pemeran muncul pada saat pertama kali di atas panggung pada saat layar dibuka atau pada saat ia muncul ketika para pemeran lain telah berada di atas panggung, atau muncul pada bagian akhir membutuhkan suatu teknik tertentu. Teknik muncul ini 141
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
sangatlah penting artinya sebab diperlukan untuk memberikan kesan pertama pada penonton. Teknik umum yang dipakai adalah teknik jedah yaitu memberi jedah beberapa kejap setelah ia muncul pertama kali. Pada saat jedah itulah saatnya penonton mengamati dan mencerna karakternya. Teknik memberi isi pada prinsipnya adalah memberi roh pada kalimat-kalimat dalam suatu naskah sehingga hidup. Hal ini berhubungan dengan tekanan dinamik, tekanan nada, dan tekanan tempo. Teknik timing artinya ketepatan hubungan antara gerakan jasmani yang berlangsung dalam sekejap dengan kata yang diucapkan; gerakan dilakukan sebelum mengucapkan dialog, gerakan dilakukan bersamaan dengan ucapan dialog, gerakan dilakukan setelah dialog diucapkan. Teknik takaran dalam pentas adalah cara menafsirkan emosi dan gerak yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Dalam memainkan drama tragedi tentu saja takaran emosi yang dihadirkan berbeda dengan ketika memainkan drama komedi. Bukan hanya pada takaran emosi namun juga takaran volume suara/ vokal seorang aktor harus disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Bermain di atas panggung teater procenium berbeda pula dengan teater arena, berbeda dengan bermain di televisi, berbeda dengan di radio. Ekspresi Lisan Setelah ekspresi tubuh dan mimik (muka) yang juga tidak kalah penting perlu dipelajari adalah ekspresi lesan/ucapan/ suara. Suara selain digunakan utuk menyampaikan kata-kata sebagai satu cara untuk berkomunikasi atau menyampaikan informasi merupakan bagian utama dari mekanisme ekspresi. Tanpa kita sadari sejak manusia lahir telah memiliki kemampuan mengekspresikan keinginan dengan suara tangisan, ekspresi suara adalah sikap naluri.
142
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Perasaan atau reaksi yang kita miliki menimbulkan energi dari dalam diri yang selanjutnya mengalir keluar mencapai dunia luar dalam bentuk yang bermacam-macam: kata-kata, bunyi, gerak, postur, dan infleksi (perubahan nada suara). Kemampuan mengartikulasikan kata-kata adalah kemampuan yang dipelajari. Seringkali seorang aktor ketika berperan terlalu patuh terhadap teks atau kata-kata secara verbal (mengucapkan kata-kata) yang ditemuinya dalam naskah tanpa mau menambahkan sedikit bunyi-bunyi nonverbal (bunyi-bunyi yang digunakan termasuk infleksi dan penekanan yang mempengaruhi arti emosional dari kata-kata yang diucapkan) yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja hal ini sangat disayangkan, sebab bunyi suara adalah salah satu tipe gestur penting yang paling dalam mengekspresikan kepribadian dan sangat universal pengungkapannya. Hal ini nantinya berhubungan dengan kemampuan seorang aktor dalam ’membaca’ naskah karena penulis naskah akan memberikan gestur-gestur verbal dalam bentuk kata-kata dalam naskah. Di sinilah tugas aktor menyelidiki aspek-aspek nonverbal dari gestur karakter yang dimainkannya, gestur fisik, postur, infleksi, dan sebagainya. Kata-kata yang diucapkan membawa informasi yang akan disampaikan melalui nadanya. Nada orang marah tentu berbeda dengan nada sindiran, berbeda pula dengan nada permohonan dan seterusnya, masih banyak lagi contoh yang menunjukkkan bagaimana suara mengkomunikasikan sikap. Sering tanpa kita sadari bila berada dalam situasi di mana kita tidak dapat menyampaikan maksud atau perasaan yang sebenarnya pada saat itu secara sadar atau tidak mengekspresikannya melalui helaan napas, mengambil napas. Bahkan pada orang-orang yang temperamental masih ditambahkan dengan ekspresi fisik berupa menepak meja, berkacak pinggang, menarik kerak baju lawannya, dan sebagainya. Stefanus Djawanai (2001:57) mengemukakan bahwa bila seseorang dalam keadaan marah maka yang dapat diamati adalah 143
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
ketika orang tersebut mengucapkan kata-kata dengan suara dapat dikategorikan berdasarkan titi nada, kualitas suara, volume suara, kontur pengucapan, dan tempo. Selanjutnya dijabarkan menjadi: Titi nada Kualitas suara Volume Kontur Tempo
: rendah atau tinggi : bisik atau lantang : lembut atau keras : inti titi nada pada akhir atau inti titi nada pada awal : lambat atau cepat.
Dalam pementasan teater sekarang ini memang bisa saja menggunakan alat-alat elektronik (microphone, dan sebagainya) untuk membantu agar suara pemeran menjadi lebih keras sehingga sampai ke penonton yang duduk paling belakang, namun tidak ada salahnya untuk menjadi seorang aktor teater perlu juga latihan vokal yang akan mendukung kemampuan ekspresinya. Dan tempat yang paling ideal untuk melatih vokal agar suara kita terdengar bisa dilakukan di tanah lapang yang luas. Beberapa latihan vokal: 1. Senam mulut Caranya adalah dengan bersiul atau menggerak-gerakkan bibir ke kanan dan ke kiri, atas bawah, buka tutup secara berulang-ulang, hal ini berguna untuk melatih kelenturan mulut kita. Bisa juga latihan berbicara dengan mengatupkan gigi. 2. Latihan pernapasan Latihan pernapasan ini dimaksudkan supaya napas kita tidak tersendat-sendat dalam mengucapkan kalimat-kalimat yang panjang. Tujuan dari belajar pernapasan adalah untuk meningkatkan kesatuan organik antara aksi, emosi, napas, dan suara. Caranya adalah menarik napas sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya, simpan dalam perut kemudian ucapkan 144
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
3.
4.
5.
6.
sekeras-kerasnya abjad A sampai Z paling sedikit 2 kali dengan jelas pengucapannya. Melatih kejelasan ucapan (artikulasi) dan plastisitas suara dengan membaca puisi, karena bahasa tertulis yang disampaikan naskah hanyalah representasi dari bahasa lisan yang divisikan oleh oleh si penulis naskah. Menjiwai ceritera dan mengungkapkannya secara menarik dengan membaca puisi, membawakan peran berbagai macam tokoh (bisa dengan latihan monolog). Latihan irama (kepekaan terhadap irama dramatik) dengan cara menyanyi. Agar sebuah lakon tetap memikat dari awal hingga akhir, Permainan haruslah mempergunakan irama. Irama haruslah dipahami sebagai suatu perubahan secara teratur dan beralasan. Perubahan secara berturut-turut, merangsang perhatian penonton menuju tujuan akhir. Latihan dinamika (intonasi) dan progresi (teknik pengembangan suara) dengan cara berpidato, membaca puisi, menyanyi seriosa, dan sebagainya.
Teknik dinamika suara (intonasi): 1. Tekanan dinamik: tekanan keras dalam pengucapan, menekan kata yang dianggap paling penting lebih keras dari pada kata-kata yang lain; menyebutkan sesuatu secara berturutturut dalam satu kalimat; mengucapkan dengan keras katakata yang berlawanan. 2. Tekanan nada: tekanan tinggi redahnya nada dalam pengucapan satu kata dalam sebuah kalimat. 3. Tekanan tempo: tekanan lambat dan cepatnya mengucapkan sebuah kata dalam kalimat. Teknik pengembangan suara (progresi): 1. Menaikkan volume suara (dari perlahan menjadi semakin keras).
145
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
2. 3. 4.
Menaikkan tinggi nada suara (dari nada rendah ke nada tinggi). Menaikkan kecepatan tempo suara (dari tempo lambat menjadi semakin cepat). Menurunkan atau mengurangi volume, tinggi nada dan kecepatan tempo suara.
Latihan dinamika dan progresi ini bisa dilakukan dengan berpidato, menyanyi, membaca puisi, atau memainkan peran dalam situasi konflik. Tujuan studi tentang suara adalah untuk membuatnya menjadi instrumen yang lentur yang dapat merespon dengan segera tuntutan karakter dan gaya naskah.
Gambar Alat Pendukung Vokal Masih banyak lagi latihan-latihan yang dibutuhkan oleh seorang calon aktor untuk meningkatkan kemampuan ekspresinya seperti meditasi untuk keseimbangan tubuh, pikiran, dan perasaan. 146
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Konsentrasi atau Pemusatan Pikiran Aktor adalah seseorang yang “mematikan dirinya” untuk kemudian menjadi orang lain, yaitu perannya. Untuk bisa melupakan dirinya dan menjadi orang lain itulah pertama-tama ia harus memusatkan pikiran dan mengkonsentrasikan diri pada peran yang akan dimainkannya. Dalam konsentrasi ia harus bisa menundukan dan memerintah seluruh panca indra, urat syaraf, seluruh anggota tubuh dan suara serta vokalnya. Tiga bagian yang umum untuk dilatih : 1. Olah Tubuh Untuk bisa menjadi aktor yang lentur dan luwes dalam penampilannya, indah gerakannya dan nikmat untuk dilihat oleh penonton di atas panggung, maka diperlukan latihan olah tubuh minimal satu setengah jam sehari selama dua tahun. Latihan olah tubuh ini antara lain : Senam irama, senam klasik, menari klasik (ballet), pencak silat, berbagi latihan pernafasan, bernyanyi, baca puisi, pantomime, bersiul dan sebagainya. 2. Latihan Sukma Seorang aktor setidaknya adalah seorang yang telah memiliki beragam pengalaman tentang kehidupan, ia seharusnya telah mengalami dan mengarungi berbagai peristiwa kehidupan, namun tentunya ini merupakan suatu yang mustahil. Maka untuk bisa mengalami semuanya tadi meski hanya dalam khayalan perlu melakukan berbagai latihan sukma, yang antara lain : Penguasaan panca indra, penumbuhan ingatan perasaan, latihan imajinasi, melatih emosi, mensugesti diri, melakukan observasi secara visual, latihan penciptaan berbagai peran watak dalam pengandaian, dll. (biasanya latihan ini dilakukan pada persiapan latihan dasar atau preparation.
147
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
3.
Memperluas Wawasan Seorang aktor harus bisa menguasai intelgensinya sendiri, dan juga bisa menjadi intelgensia peran yang akan diperankan. Ia bisa menjadi seoarng yang bodoh atau pintar, menjadi orang gila atau seorang genius. Untuk itulah maka sorang aktor harus memiliki wawasan tentang kesenian dan kebudayaan secara umum, serta pengetahuan umum yang memadai. Ia harus mengenal tokoh-tokoh dunia teater baik dari dalam maupun luar negeri, mengerti tentang kesusastraan dan tokoh-tokohnya, mengerti tentang dunia seni rupa serta aliranalirannya, belajar tentang filsafat, psikologi, Fisionomi, biologi, anatomi, hukum, ilmu komunikasi, tentang musik, seni tari, dan lain-lain.
Ingatan Emosi Aktor harus bisa mengingat segala ingatan emosi yang terpendam didalam file-file kehidupannya yang telah silam. Semuanya akan berguna dalam/untuk menolong aktingnya, dan nantinya akan bisa berkembang sesuai dengan kematangan hidupnya. Laku Dramatis Jika sudah bisa menggali emosi barulah kita wujudklan dalam Laku dramatis. Yaitu perbuatan yang sifatnya ekspresif dari emosi. Ini merupakan instrumen dalam teater, seperti warna dalam lukisan, bentuk dalam patung, dan nada dalam musik. Pembangunan Watak Aktor harus mengenal betul gambaran peran yang akan dimainkannya. Untuk itu ia harus : a. Menelaah struktur peran (bagaimana intelgensinya, karakternya, masa silamnya, dan lain sebagainya). b. Memberi identifikasi peran. Menyelidiki setiap detail peran secara teliti, kemudian memberi tanda, cap, atau simbol yang harus bisa ditangkap oleh penonton. 148
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
c.
d.
Mencari hubungan emosi dengan peran itu. Bagaimana hubungan naskah dengan emosinya, mengapa peran itu melakukan tindakan itu, dan sebagainya. Penguasaan teknik. Penguasaan teknik-teknik bermain drama, seperti teknik muncul, teknik memberi isi, teknik pengembangan, teknik membina puncak-puncak, teknik timing, dan lain-lain.
Observasi/Pengamatan Seorang aktor adalah seorang observator kehidupan. Ia harus selalu memperhatikan kehidupan orang-orang di sekitarnya, bagaimana kebiasaannya, bagaimana orang itu melakukan aktivitasnya, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan, hobinya, ciriciri fisik, psikisnya, serta lain sebagainya. Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, seorang aktor harus memperkaya dirinya dengan meningkatkan intelgensinya dengan belajar ilmu-ilmu lain seperti : Ilmu Antropologi, Sosiologi, Biologi, Filsafat, Budaya, Agama, Politik, Ekonomi, dan masih banyak lagi yang lainnya. Daftar Bacaan Harymawan, RMA. (1993), Dramaturgi, Cetakan ke-2, PT. Rosdakarya, Bandung. Purwaraharja, Lephen. ed. (2000), Ideologi Teater Modern Kita, Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta. Sahid, Nur. (2004), Semiotika Teater, Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sitorus, Eka D. (2002), The Art of Acting Seni Peran untuk Teater, Film & TV, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sumardjo, Jakob. (1992), Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
149
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Sumjati, As. ed. (2001), Manusia dan dinamika Budaya dari Kekerasan sampai Baratayuda, Fakultas Sastra UGM bekerjasama dengan BIGRAF Publishing, Yogyakarta. Yudiaryani. (2002), Panggung Teater Dunia Perkembangan dan Perubahan Konvensi, Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.
150
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
BERKENALAN DENGAN DRAMA DAN APRESIASINYA B. Rahmanto
Pengantar Dalam suatu penelitian yang pernah dilakukan oleh FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto terhadap beberapa orang guru SD di Purwokerto, diperoleh hasil yang cukup mengejutkan. Betapa tidak, dari kuesioner yang telah diisi oleh 42 orang guru SD berkaitan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, materi sastra khususnya materi drama, 17 orang (39%) menyatakan tidak menyukai mengajar materi drama; 18 orang (42%) belum atau tidak mengajarkan materi drama; dan hanya 7 orang (19%) mengaku senang mengajar drama. Celakanya, dari 7 orang (19%) yang sudah mau mengajarkan materi drama itu, mengaku mengajarkan drama dengan cara seadanya, dengan alasan tidak menguasai teknik bermain drama. Masya Allah, apa jadinya jika situasi seperti ini juga melanda sekolah menengah umum di Daerah Istimewa Yogyakarta? Oleh karena itu, kegiatan rutin Bengkel Sastra Indonesia 2003 yang kali ini dikhususkan pada materi drama, bukan hanya patut didukung tetapi juga tepat. Diduga, apabila dilakukan penelitian yang sama terhadap guru-guru SMU di DIY, hasilnya kurang lebih sama. Akan tetapi, dapat dikemukakan terlebih dahulu bahwa kegiatan bengkel sastra tidak menekankan perha-
151
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
tian pada teori-teori drama sebagaimana diajarkan di sekolahsekolah, tetapi terlebih pada praktik atau pelatihan apresiasi dan ekspresi drama, baik lisan maupun tulis (Suwondo, dkk., 2003: 3). Lewat makalah ini penulis akan mengajak para peserta pelatihan Bengkel Sastra Indonesia untuk mengenali terlebih dulu dasar-dasar teori drama, jenis-jenis drama dan perkembangan drama di Indonesia, dan teori apresiasi teks drama, sebagai dasar untuk penciptaan drama (ekspresi tulis), dan ekspresi lisan bermain drama atau pementasannya. Dasar-Dasar Teori Drama (Peristilahan: Drama dan Teater) Kalau membuka kamus Webster’s New Dictionary (1989:413 dan 1386) kita akan menjumpai kata “drama” dan kata “theater”. Drama diartikan sebagai a literary composition that tell a story, usually of human conflict, by means of dialogue and action, to be performed by actors atau ‘suatu karangan yang mengisahkan suatu cerita yang mengandung konflik yang disajikan dalam bentuk dialog atau laga, dan dipertunjukkan oleh para aktor di atas pentas’ ; sedangkan kata “theater”’ diartikan sebagai a place where plays, operas, films, etc. are presented, atau ‘suatu tempat di mana drama, opera, film, dan sebagainya dipertunjukkan’. Oleh karena itu, jika Anda diajak teman untuk bermain teater, tunggu dulu ... pada awalnya ini jelas kesalahkaprahan yang telah cukup lama kita lakukan. Walaupun dalam perkembangan selanjutnya istilah “teater” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:909) memiliki dua macam arti: pertama, ‘gedung atau ruangan tempat pertunjukkan film, sandiwara’, dan sebagainya; kedua, ‘pementasan drama sebagai suatu profesi; sandiwara’. Jadi, kita bukan mengajak “bermain teater”, tetapi lebih “bermain drama”, dan “menonton teater.” Unsur-Unsur Teks Drama: Alur, Karakter, dan Dialog Perlu dibedakan terlebih dulu antara cerita (story) dan alur (plot). Sesuatu disebut cerita apabila hanya memerlukan kata 152
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
“dan” atau “lalu/kemudian” seperti: “Romeo bunuh diri dan/ lalu/kemudian Juliet melakukan hal yang sama”. Dalam drama tentu ini tidak menarik. Drama membutuhkan adanya konflik, baik fisik ataupun batin. Maka, dalam drama dibutuhkan plot bukan sekadar story. Artinya, “Romeo bunuh diri karena mengira bahwa Juliet telah meninggal”. Kata “karena” inilah yang menghubungkan kedua peristiwa “Romeo bunuh diri” dan “mengira bahwa Juliet telah meninggal.” Kata ‘karena’ menjelaskan bahwa yang pertama disebabkan oleh peristiwa kedua. Faktor karena/ mengapa inilah yang sangat menghidupkan teks drama, baik lewat konflik batin maupun fisik. Dalam drama tradisional (khususnya Aristoteles), lakon haruslah bergerak maju dari suatu beginning (permulaan), melalui middle (pertengahan), dan menuju pada ending (akhir). Dalam teks drama disebut sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi. Eksposisi adalah bagian awal yang memberikan informasi kepada penonton yang diperlukan tentang peristiwa sebelumnya atau memperkenalkan siapa saja tokoh-tokohnya yang akan dikembangkan dalam bagian utama dari lakon, dan memberikan suatu indikasi mengenai resolusi. Komplikasi berisi konflik-konflik dan pengembangannya. Gangguan-gangguan, halangan-halangan dalam mencapai tujuan, atau kekeliruan-kekeliruan yang dialami tokoh utamanya. Dalam komplikasi inilah dapat diketahui bagaimana watak tokoh utama (yang menyangkut protagonis dan antagonisnya). Resolusi adalah bagian klimaks (turning point) drama. Resolusi haruslah berlangsung secara logis dan memiliki kaitan yang wajar dengan apa-apa yang terjadi sebelumnya. Akhir drama bisa happy-end atau unhappy-end. Karakter merupakan sumber konflik dan percakapan antartokoh. Dalam sebuah drama harus ada tokoh yang kontra dengan tokoh lain. Jika dalam drama karakter tokohnya sama, maka tidak akan terjadi lakuan. Drama baru akan muncul kalau ada karakter yang saling berbenturan.
153
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Dalam setiap teks drama, dialog merupakan salah satu unsur vital. Oleh karena itu, ada dua syarat pokok yang tidak boleh diabaikan, yaitu (1) dialog harus wajar, menarik, mencerminkan pikiran dan perasaan tokoh yang ikut berperan; (2) dialog harus jelas, terang, menuju sasaran, alamiah, dan tidak dibuat-buat. Unsur-Unsur Pementasan dalam Bermain Drama Dalam pentas drama ada banyak unsur yang perlu dikenal, yaitu naskah drama, sutradara, pemeran, panggung, perlengkapan panggung (cahaya, bunyi atau sound effect, pakaian, rias), dan penonton. Berikut secara ringkas akan dipaparkan satu-persatu. Naskah Drama Adalah bahan pokok pementasan. Bisa ditulis sendiri, atau dipilih dari karangan pengarang drama yang sudah dikenal, misalnya karya Asrul Sani (Mahkamah), Rendra (Orang-Orang di Tikungan Jalan), Kirdjomuljo (Penggali Intan), Putu Wijaya (Aduh), Mottinggo Boesye (Malam Jahanam), Utuy Tatang Sontani (Bunga Rumah Makan), Arifin C. Noer (Mega-Mega), Iwan Simatupang (Petang di Taman), B. Sularto (Domba-Domba Revolusi), dan masih banyak lagi. Secara garis besar naskah drama dapat berbentuk tragedi (tentang kesedihan dan kemalangan, misalnya DombaDomba Revolusi karya B. Sularto) dan komedi (tentang lelucon dan tingkah laku konyol, misalnya Demit karya Heru Kesawa Murti), serta disajikan secara realis (mendekati kenyataan sebenarnya dalam pementasan, baik dalam bahasa, pakaian, dan tata panggungnya, misalnya Penggali Intan karya Kirdjomuljo atau Citra karya Usmar Ismail), dan secara simbolik (dalam pementasannya tidak perlu mirip apa yang sebenarnya terjadi dalam realita, biasanya dibuat puitis, dibumbui musik-koor-tarian, dan panggung kosong tanpa hiasan yang melukiskan suatu realitas, misalnya drama karya Putu Wijaya seperti Aduh, Bila Malam Bertambah Malam dan karya Arifin C. Noer seperti Mega-Mega, KapaiKapai, Sumur Tanpa Dasar, dan sebagainya). Naskah yang telah 154
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
dipilih harus dicerna atau diolah; bahkan mungkin diubah, ditambah atau dikurangi disinkronkan dengan tujuan pementasan, tafsiran sutradara, situasi pentas, kerabat kerja, peralatan, dan penonton yang dibayangkannya. Sutradara Setelah naskah, faktor sutradara memegang peranan yang penting. Sutradara inilah yang bertugas mengkoordinasikan lalu lintas pementasan agar pementasannya berhasil. Ia bertugas membuat/mencari naskah drama, mencari pemeran, kerabat kerja, penyandang dana (produser), dan dapat menyikapi calon penonton. Untuk menjadi seorang sutradara, secara teoretis (Padmadarmaya, 1980) sutradara diharapkan memiliki pengetahuan di bidang (1) kultural (pengetahuan luas di seputar permasalahan kebudayaan); (2) artistik (cita rasa, peka, terbuka, dan kreatif); (3) teatral (pengetahuan tentang pementasan); (4) literer (pengetahuan tentang sastra dan drama pada khususnya); (5) pedagogi (ilmu pendidikan); dan (6) kepemimpinan dan kepribadian (mampu memimpin, sehat jasmani dan rohani). Apabila keenam pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang sutradara belum terpenuhi, tampaknya untuk belajar menjadi sutradara yang akan menyutradarai pementasan drama, dapat mengikuti saran Prof. Munandar (Semiawan, 1984) di sekitar bagaimana memupuk iklim kreatif seperti: (1) bersikaplah terbuka terhadap minat dan gagasan orang lain atau teman; (2) berilah waktu kepada mereka untuk memikirkan dan mengembangkan gagasan kreatif; (3) ciptakanlah suasana saling menghargai, saling menerima, sehingga memungkinkan untuk dapat bekerja sama dengan baik; (4) doronglah kegiatan berpikir divergen, artinya menekankan keterbukaan dengan alternatif, dan menjadi narasumber yang dapat mengarahkan; (5) ciptakan suasana hangat dan berikan kebebasan berpikir yang bersifat eksploratif, penyelidikan; (6) berilah kesempatan kepada mereka untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan; (7) usahakan 155
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
agar semuanya terlibat, dukunglah gagasan pemecahan persoalan yang datang dari mereka, jika masih belum tepat, usahakan ketepatan pemecahan secara bersama-sama; dan (8) bersikap positif terhadap kegagalan, bantulah mereka untuk menyadari kesalahan/kelemahan, dan usahakan peningkatan upaya dalam suasana yang menunjang dan mendukung. Kedelapan saran ini jelas sangat erat kaitannya dalam bidang penyutradaraan. Pemeran Ini faktor selanjutnya yang mendukung pementasan. Pemeran inilah yang harus menafsirkan perwatakan tokoh yang diperankannya. Memang sutradara yang menentukan, tetapi tanpa kepiawaian dalam mewujudkan pemeranannya, konsep peran yang telah digariskan sutradara berdasarkan naskah, hasilnya akan sia-sia belaka. Oleh karena itu, pemeran juga dituntut untuk (1) menguasai teknik berperan; (2) menguasai peran tokoh yang akan dibawakan; (3) akrab dengan panggung pementasan; (4) dapat menjalin hubungan akrab dengan pemeran lain dan tidak canggung dengan segala macam peralatan panggung seperti: set, kostum, lampu, musik, dan sebagainya; serta (5) sehat jasmani dan rohani (Padmadarmaya, 1980). Panggung Ada berbagai macam variasi panggung, seperti panggung sandiwara Yunani, panggung Inggris abad Pertengahan, panggung Elizabethan, panggung modern yang diperlengkapi dengan video, tv, dan film. Secara garis besar variasi panggung dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, panggung yang dipergunakan sebagai pertunjukan sepenuhnya, sehingga semua penonton dapat mengamati pementasan secara keseluruhan dari luar panggung. Kedua, panggung berbentuk arena, sehingga memungkinkan pemain berada di sekitar penonton.
156
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Cahaya Cahaya (lighting) diperlukan untuk memperjelas penglihatan penonton terhadap mimik pemeran sehingga tercapai atau dapat mendukung penciptaan suasana sedih, murung, atau gembira, dan dapat mendukung keartistikan set yang dibangun di panggung. Bunyi (Sound Effect) Bunyi ini memegang peran penting. Bunyi dapat diusahakan secara langsung (orkestra, band, gamelan, dan sebagainya), tetapi juga dapat lewat perekaman yang jauh hari sudah harus disiapkan oleh awak pentas yang bertanggung jawab mengurusinya. Pakaian/Kostum (Costume) Merupakan pakaian yang dikenakan pemain untuk membantu pemeran dalam menampilkan perwatakan tokoh yang diperankannya. Dengan melihat kostum yang dikenakan, para penonton secara langsung dapat menerka profesi tokoh yang ditampilkan di panggung (dokter, perawat, tentara, petani, dan sebagainya); kedudukannya (rakyat jelata, punggawa, atau raja); dan sifat sang tokoh (trendi, ceroboh, atau teliti dan cermat). Rias Berkat rias yang baik, seorang gadis berumur 18 tahun dapat berubah wajah seakan-akan menjadi seorang nenek-nenek. Dapat juga wajah tampan “dipermak” menjadi tokoh yang tampak kejam dan jelek. Semua itu diusahakan untuk lebih membantu para pemeran dalam membawakan perwatakan tokoh sesuai dengan yang diinginkan naskah dan tafsiran sutradara. Penonton Dalam setiap pementasan, faktor penonton perlu dipikirkan juga. Jika drama yang dipentaskan untuk para siswa sekolah sendiri, faktor penonton tidak begitu merisaukan. Apabila terjadi 157
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
kekeliruan, mereka akan memaafkan, memaklumi, dan jika pun mengkritik nadanya akan lebih bersahabat. Akan tetapi, dalam pementasan untuk umum, hal seperti tersebut tidak akan terjadi. Karena itu, jauh sebelum pementasan sutradara harus mengadakan survei perihal calon penonton. Jika penonton “ganas”, awak pentas harus diberi tahu agar lebih siap dan tidak mengecewakan penonton. Apresiasi Bermain Drama Apabila kita menonton drama dan diminta untuk membuat apresiasinya, apa saja yang harus kita perhatikan? Seperti kita ketahui istilah apresiasi dapat diartikan sebagai penghargaan terhadap karya sastra (termasuk drama) yang didasarkan pada penghayatan dan pemahaman. Cara yang tidak dapat ditawar lagi agar kita dapat menghayati dan memahami karya sastra dengan tepat, apalagi jika bukan melakukan kontak langsung dengan karya sastra (alias membaca karya sastra itu sendiri). Dalam hal drama, seorang apresiator dibutuhkan untuk membaca teks drama dan menonton pementasannya. Berikut akan dipaparkan apa saja yang harus diapresiasi jika kita menonton pementasan drama. Secara umum bermain peran atau bermain drama sebenarnya adalah usaha untuk “menciptakan kembali” kehidupan nyata dengan memanfaatkan unsur bahasa, gerak, posisi, isyarat, dan ekspresi wajah. Khusus dalam hal bahasa, bahasa drama mengandung aneka macam pengucapan lisan yang penting, seperti: lagu kalimat, lafal, volume suara, dan tekanan (Rahmanto, 2001:70). Tujuan utama dalam bermain drama adalah untuk memahami bagaimana suatu tokoh harus diperankan sebaik-baiknya dalam suatu pementasan. Untuk mempelajari pementasan, memang tidaklah mudah, apalagi bagi mereka yang belum mengenal seluk-beluk pentas drama. Di bawah ini akan disarikan hal-hal pokok yang perlu diapresiasi apabila kita menonton pementasan drama. 158
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Teknik Ucapan. Ada kata-kata mutiara di Mesir kuno yang terukir di sebuah makam, bunyinya “Belajarlah seni berbicara, maka Anda akan menguasai keadaan!” Nah, bagi pemain drama, teknik pengucapan yang jelas bukan hanya sangat penting dan vital, tetapi sungguh merupakan unsur paling utama dalam hal menyampaikan pesan drama yang diperankannya. Karena itu, bagi para calon pemain, teknik ucapan inilah yang harus selalu dilatihkan, karena ucapan ini yang akan diperhatikan penonton yang serius (apresiator). Pendeknya, ucapan harus cukup jelas, mengandung ekspresi perasaan, dapat menggambarkan isi pikiran, dan dalam melantunkan suara harus bersikap bebas, spontan, dan sejati. Teknik Memberi Isi. Yang dimaksud adalah cara untuk menonjolkan emosi dan pikiran di balik dialog-dialog yang diucapkan dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam bermain drama. Teknik menonjolkan perasaan dan pikiran ini dapat dilakukan dengan pengucapan dan dengan menggerakkan badan serta anggota badan. Teknik menonjolkan perasaan lewat ucapan dilakukan dengan memberikan tekanan pada isi kalimat: pertama tekanan dinamik, kedua tekanan nada, dan ketiga dengan tekanan tempo. Tekanan dinamik ialah tekanan keras dalam pengucapan (biasanya menekankan dengan lebih keras pada kata yang dianggap penting). Tekanan dinamik sangat pas dipergunakan untuk menonjolkan isi pikiran. Perhatikan contoh seperti berikut ini. “Saya pergi pada jam DELAPAN.” (artinya: bukan jam sembilan). “Saya PERGI pada jam delapan.” (artinya bukannya tinggal). “SAYA pergi pada jam delapan.” (artinya, bukannya dia) “Saya setuju pada pendapatmu, tetapi CARA mempraktikkannya yang saya tentang”.
159
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Tekanan nada adalah tekanan tinggi rendahnya nada dalam pengucapan satu kata dalam sebuah kalimat. Misalnya, “Bajumu bagus.” (bisa berarti bajunya memang bagus; bisa sekadar basabasi; tetapi juga bisa untuk menjilat alias memuji secara berlebihan). Atau contoh yang paling mudah kata, “Edan” (bisa berarti pujian atau makian). Tekanan tempo ialah tekanan lambat dan cepatnya kita mengucapkan sebuah kata dalam kalimat, misalnya, “Saya MUAK sekali mendengar kata-katanya.” Sedangkan teknik menonjolkan lewat gerak ialah gerakan anggota badan seperti lambaian tangan, genggaman telapak tangan, tunjukkan jari, mengangkat bahu, dan sebagainya. Misalnya, kata “Hallo”; “Hai”, dan sebagainya. Teknik Timing. Teknik timing berarti teknik untuk menentukan ketepatan hubungan antara gerakan jasmani yang berlangsung sekejap dengan kata atau kalimat yang diucapkan. Misalnya contoh dialog “Aku cinta padamu.” Dialog “Aku cinta padamu” bisa dilakukan dengan memeluk dulu baru “Aku cinta padamu,” atau “Aku cinta padamu” baru memeluk; memeluk sambil mengucapkan, “Aku cinta padamu.” Maka, ucapan aku cinta padamu akan lebih memperoleh tekanan daripada kalimat itu diucapkan tanpa dengan melakukan gerakan. Demikian pula dialog “Aku tak sudi kau hina” (lalu menggebrak meja). Akan tetapi, kalau timing ini dipakai berlebihlebihan, efeknya akan terlalu menekan emosi para pemain sehingga melelahkan untuk ditonton. Tempo Permainan. Tempo adalah cepat dan lambatnya permainan. Jika tempo permainannya lamban, pementasan akan membosankan. Sebaliknya, tempo bermain yang terlalu cepat akan berkesan kering dan tidak memberikan ruang imajinasi dan perenungan. Maka, dibutuhkan teknik memberi jeda yang tepat. Jeda dipergunakan untuk menekankan ucapan atau perbuatan yang dapat mengesankan penonton. Akan tetapi, jangan
160
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
terlalu banyak jeda, artinya jangan terlalu banyak yang ingin ditonjolkan, sebab akan menjadi sangat lamban yang ujungujungnya juga membosankan. Sikap Badan. Banyak pemain yang di luar pentas mampu bergerak dengan sangat luwes, tetapi karena ditonton oleh orang banyak, ia menjadi serba kikuk alias demam panggung. Dalam keadaan serba kikuk itu, ia justru malah menjadi banyak tingkah: menggaruk kepala, meraba dagu, membetulkan leher baju, mengelus-elus salah satu punggung telapak tangannya, yang kesemuanya itu tanpa alasan. Padahal, dalam setiap permainan, semua gerakan harus ada alasannya. Di samping itu, pemain harus memusatkan perhatian pada permainan perannya, menghayati setiap ucapan, dan benar-benar mendengarkan serta menanggapi ucapan yang sedang diucapkan oleh lawan mainnya. Menanggapi dan Mendengar. Mendengar dan kemudian menanggapi ucapan pemain lain dalam bermain drama kedudukannya demikian penting, sehingga dari caranya seorang pemain itu mendengarkan saja, akan dapat dibedakan apakah ia seorang pemain sambilan ataukah pemain yang sudah profesional. Seorang pemain sambilan akan kelihatan berhenti bermain apabila temannya sedang mengucapkan dialognya. Atau ia akan kelihatan “terlalu” memperhatikan bahwa ia sedang mendengarkan, sehingga setiap kata yang diucapkan pemain lain, ia lalu mengangguk-anggukkan kepala atau sembari mulutnya memberi komentar … cek, cek, cek, cek. Tanggapan yang wajar dan terasa tepat ialah tanggapan yang “spontan” keluar dari penghayatan akan peran dan cerita. Dalam teknik bermain drama ada tiga macam jenis tanggapan, yaitu tanggapan pada cerita, lingkungan, dan temannya bermain. Kunci agar pemain dapat memberi tanggapan dengan benar ialah adanya penghayatan yang mendalam terhadap peran, cerita, dan lingkungan cerita dipentaskan.
161
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Terlalu Banyak Penjelasan. Yang kadang sangat mengganggu adalah apa yang disebut over-acting dan obvious-acting alias berlebih-lebihan. Dalam permainannya terlalu banyak bumbu-bumbu tambahan. Sedikit bumbu, makanan bisa menjadi sedap, tetapi terlalu banyak bumbu akan membuat orang ingin muntah. Dalam permainan bumbu-bumbu yang dapat menyebabkan over-acting misalnya: hiasan panggung yang berlebihan, permainan yang penuh dengan pengulangan-pengulangan yang bertujuan untuk lebih menjelaskan, ini akan berakibat membosankan penonton. Penutup Demikianlah pokok-pokok di sekitar drama dan bermain drama. Tentu saja masih banyak teknik bermain yang perlu dipelajari (seperti teknik muncul, teknik memberi isi, teknik pengembangan, teknik membina puncak-puncak, dan takaran dalam pemeranan) apabila ingin bermain drama dengan baik. Akan tetapi, dengan mempelajari beberapa teknik bermain seperti yang sudah disebutkan di atas, jika hal-hal tersebut ditekuni dengan benar, maka kita akan dapat mementaskan drama dengan baik. Daftar Bacaan Arifin, Max. 1980. Teater, sebuah Perkenalan Dasar. Ende: Nusa Indah. Boleslavsky, Richards. 1960. Enam Pelajaran Pertama bagi Calon Aktor (terj. Asrul Sani). Jakarta: Jaya Sakti. Dewan Kesenian Jakarta. 1980. Pertemuan Teater 1980. Jakarta: DKJ. Neufeldt, Victoria & David B. Guralnik. 1989. Webster’s New World Dictionary of American English. New York: Prentice Hall General Reference.
162
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Rahmanto, B. 2001. Metode Pengajaran Sastra (cetakan ke-7). Yogyakarta: Kanisius. Rendra. 1976. Tentang Bermain Drama: Catatan Elementer bagi Calon Pemain. Jakarta: Pustaka Jaya. Semiawan, Conny, dkk. 1984. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta: Gramedia. Suwondo, Tirto, dkk. 2003. Desain/Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Bengkel Sastra Indonesia 2003 (Drama). Yogyakarta: Bagian Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah DIY. Tambayong, Japi. 1981. Dasar-Dramatisasi. Bandung: Pustaka Prima.
163
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
164
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
PROSES PRODUKSI PEMENTASAN LAKON Bambang J. Prasetya
Persiapan Naskah Dalam mempersiapkan naskah yang akan dipentaskan, kelompok biasanya memilih naskah karya orang lain atau menulis naskah sendiri. Apabila harus memilih naskah oang lain, harus dipertimbangkan hal-hal berikut: (1) naskah aktual untuk dipentaskan, minimal mempersoalkan masalah yang dekat dengan masyarakat; (2) naskah mampu dipentaskan oleh kelompok, baik menyangkut materi pemain maupun persoalan non artistik lainnya; dan (3) bentuk (form) yang kemungkinan bisa dicapai dari naskah tersebut. Ketiga pertimbangan tersebut merupakan dasar untuk menentukan naskah yang akan dipentaskan. Berbeda bila naskah ditulis sendiri atau bersama-sama rekan yang lain. Proses pemilihan naskah biasanya berdasarkan pada moment yang menarik pada saat naskah tersebut dipentaskan. Setiap naskah yang ditulis merupakan refleksi dari peristiwa yang terjadi di masyarakat, maka pementasan naskahnya disesuaikan dengan persoalan yang sedang hangat di masyarakat. Terkecuali dalam rencana pementasan tersebut belum ada fenomena masyarakat yang perlu disodorkan sehingga masih memungkinkan naskah lama.
165
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Kebersamaan merupakan unsur terpenting bagi proses penciptaan. Mulai persiapan naskah sudah dibangun kebersamaan di kelompok, baik mengenai penentuan naskah yang akan dipentaskan maupun proses penulisannya. Dalam penulisan naskah bersama, tata cara yang dilakukan adalah menentukan ide awal. Ide tersebut bisa datang dari rekan-rekan yang akan terlibat dalam penulisan naskah. Bila kesepakatan sudah diperoleh, kemudian dilakukan diskusi untuk saling mengisi dalam mewujudkan naskah. Pada tahapan pemilihan naskah, pemain sudah mulai diikutsertakan, setidaknya terlibat dalam proses pengembangan ide pementasan nantinya. Pengenalan Naskah yang telah selesai dibuat bersama tersebut akan dipelajari oleh sutradara. Selain sutradara, beberapa anggota yang sanggup untuk terlibat pementasan, mulai masuk dalam proses pengenalan ini. Pada dasarnya pengenalan ini merupakan tahapan penyatuan motivasi dari masing-masing anggota, sehingga pengenalan tersebut mampu menyatukan suatu semangat kreativitas. Bagi sutradara, penyatuan semangat kreatif ini sangat besar pengaruhnya terhadap kelancaran pengembangan ide-ide yang dimiliki. Kebersamaan yang dicapai dalam proses pengenalan tersebut bermanfaat sebagai media untuk memahami masing-masing individu. Dengan mengetahui latar belakang anggota yang terlibat dalam pementasan, sutradara menjadi mudah menyampaikan gagasannya agar diterima oleh anggota. Untuk itu perlu diadakan pendekatan-pendekatan yang sifatnya pribadi. Upaya pendekatan pribadi tersebut dilakukan dengan banyak cara, tergantung dari latar belakang, minat, dan kegemaran dari masingmasing anggota. Selain untuk mengakrabkan hubungan antara sutradara dan pendukung, pendekatan pribadi juga merupakan upaya penjajagan kemampuan dasar anggota. Apa bila anggota mempunyai 166
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
kekurangan dalam bidang tertentu yang berkaitan dengan proses pementasan, harus diberikan pengarahan untuk menutupi kekurangan tersebut. Seperti misalnya salah satu anggota yang kurang dalam olah vokal atau teknik bermain, maka kemampuannya akan terus ditingkatkan atau anggota tersebut diberi peran bukan sebagai tokoh yang menonjol. Dengan demikian, pendekatan pribadi ini sangat efektif untuk mengangkat kekurangan para pemain. Analisis Naskah Analisis naskah yang dilakukan berkaitan dengan usaha mengembangkan tokoh-tokoh naskah ke dalam wujud visual. Jadi, dalam analisis naskah, sutradara mencoba mencari kemungkinan lain dari tokoh-tokoh yang hidup lewat dialog supaya menjadi hidup secara nyata. Untuk itu, perlu diciptakan karakter yang bisa mengembangkan karakter yang semula tersirat dalam naskah. Untuk mengembangkan karakter tokoh, harus dipahami terlebih dahulu mengenai tokohnya. Tokoh dapat dipahami lewat (1) status sosial apakah tokoh tersebut seorang camat, lurah, petani, penganggur, dan sebagainya, (2) usia, (3) konflik, yaitu mengenai persoalan-persoalan yang terjadi antartokoh, dan (4) fisik, apakah tokoh yang bersangkutan mempunyai kelainan tubuh atau tidak. Dari keempat hal tersebut, sutradara kemudian mengembangkannya menjadi lebih spesifik. Seperti halnya karakter umum seorang raja yang harus berwibawa dan gagah, belum menjamin tokoh tersebut mempunyai saat “dimainkan” memiliki kekuatan dalam panggung sehingga perlu dikembangkan menjadi tokoh yang mempunyai ciri khas tertentu. Analisis naskah yang menekankan pada segi pengembangan tokoh ini hanya untuk naskah-naskah karya bersama. Setiap orang yang sudah bersedia mendukung pementasan, sejak awal sudah mengetahui seluk-beluk naskah yang akan dimainkan, seperti persoalan-persoalan yang akan diungkap, latar belakang 167
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
cerita, dan tokoh-tokoh yang ada—secara garis besar sudah diketahui pula. Oleh sebab itu, sutradara tidak perlu membuat analisis secara mendetail, tetapi cukup pemahaman bersama sejak awal pembuatan. Berbeda dengan analisis naskah karya orang lain yang menuntut seorang sutradara harus memahami naskah tersebut dengan lebih detail. Dalam proses pemahaman naskah karya orang lain, dapat diidentifikasikan berbagai persoalan lewat (1) momentum yang ada pada naskah, (2) tokoh-tokoh dalam naskah, (3) latar belakang cerita, dan (4) gagasan atau pesan yang ingin disampaikan penulis lewat naskahnya. Membuat Program non-Artistik/Artistik Tahapan ini merupakan proses persiapan penyutradaraan. Diperlukan persiapan pemikiran dan tenaga tersendiri. Untuk itu, seorang sutradara perlu menyiapkan pikiran dan tenaga agar mampu menghasilkan karya teater yang maksimal. Karena ide atau gagasan sering muncul kapan saja dan di mana saja, tidak terbatas pada waktu dan tempat. Untuk itu, sutradara harus siap apabila sewaktu-waktu ide tersebut muncul. Program non-artistik merupakan usaha penyesuaian antara kebutuhan berlatih dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Hal ini perlu diprogramkan sedemikan rupa sehingga tidak saling merugikan. Untuk itu, saat jadwal berlatih bersama merupakan waktu yang penting artinya, walaupun di luar jam latihan setiap pendukung berproses sendiri secara pribadi. Sedangkan program artistik merupakan tahapan persiapan artistik yang telah dihasilkan secara pribadi. Persiapan artistik ini biasanya berupa ide atau konsep-konsep garapan yang telah tersusun di luar jam latihan dan akan diaplikasikan ketika sedang berlatih. Pemilihan Pemain Pemilihan pemain (casting) merupakan tahapan penyesuaian antara tokoh naskah dengan pemeran. Dalam penyesuaian tersebut seorang sutradara dituntut mampu menyesuaikan antara 168
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
pemain dengan tokoh. Casting pemain tidak lebih dari proses pembagian peran kepada pemain yang ada, jadi agar pembagian tersebut memenuhi target maksimal perlu diadakan pengamatan terhadap kemampuan pemain. Pengamatan itu meliputi kemampuan artistik, teknis permainan, dan nonteknis. Dari tiga bagian tersebut, dijabarkan dalam subbagian yang lebih detail, yaitu: 1) Mengamati kemampuan penempatan proporsi, yaitu kemampuan seseorang atau pemain dalam menempatkan dirinya sesuai proporsinya, sehingga dapat menciptakan suatu keseimbangan. Kemampuan seperti ini bisa dilihat dari cara berbicara, beradaptasi dengan lingkungan, dan menguasai suatu suasana atau keadaan. 2) Mengamati kemampuan verbal, yaitu kemampuan dalam menyampaikan sesuatu dengan pengucapan dan tata bahasa yang baik, serta kapasitas daya pikirnya. Tahapan ini bisa dilihat dengan mengamati seseorang dalam menjalin komunikasi atau menyampaikan kemauannya dengan jelas, serta daya ingat dan pikir pemain dalam memahami dialog. 3) Mengamati kemampuan eksplorasi, yaitu kemampaun seorang pemain dalam mendekati tokoh yang diperankan. Usaha tersebut bisa berupa percobaan-percobaan atau penjajakan segala kemungkinan dari tokoh, sehingga karakter tokoh mampu hidup dalam dirinya. Seorang pemain yang tidak mempunyai daya eksplorasi akan kesulitan dalam menemukan karakter tokoh yang diperankan, meskipun pencarian karakter tokoh juga dibantu oleh sutradara. 4) Mengamati kemampuan ekspresi, yaitu kemampuan seorang pemain mengungkapkan emosi dan pikirannya lewat tubuhnya. Kemampuan-kemampuan tersebut bisa dilihat saat latihan dasar pemeranan. Dari kemampuan yang sudah diketahui tersebut dapat dibuat casting yang minimal sesuai dengan tokoh yang ada dalam naskah. Casting yang dilakukan bukan merupakan sesuatu yang 169
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
sudah pasti, karena apabila di tengah proses latihan salah satu pemain ada yang kurang pas, dapat dilakukan perubahan pemain. Reading Play Membaca naskah (reading play) lakon perlu dilakukan karena untuk mengetahui cerita tersebut sudah terangkat atau belum. Apabila naskah belum terangkat secara audio akan lebih mudah memperbaiki terlebih dahulu; dibandingkan apabila memperbaikinya setelah memasuki tahapan lainnya. Oleh karena itu, beberapa target yang harus tercapai dalam latihan membaca naskah lakon adalah: 1) Tahapan Struktur Bahasa, yaitu target yang harus dicapai oleh pemain dalam menghidupkan teks lakon menjadi dialog yang hidup. Kalimat-kalimat yang ada pada teks lakon terlebih dahulu diucapkan secara tepat dengan penggunaan tanda baca yang benar. 2) Tahapan Watak, merupakan tahap kelanjutan dari tahapan struktur bahasa. Pada tahapan ini pemain mulai diarahkan untuk menghidupkan karakter tokoh, yang secara detail telah dijelaskan pada awal latihan naskah. Untuk membantu memunculkan watak dalam dialog, selain analisis naskah, didukung pula dengan proses eksplorasi. 3) Tahapan Suasana Dramatik, diusahakan muncul di setiap adegan yang ada dalam naskah. Untuk mencapai suasana dramatik tersebut, antarpemain harus mampu menjalin suatu dialog yang wajar, sehingga dapat menghasilkan suatu suasana kehidupan. Tentu saja tahapan ini mudah diwujudkan apabila dua tahap sebelumnya sudah terbentuk, dengan demikian sutradara tinggal membuat variasi dialog, seperti jeda, besar-kecil volume suara dan tempo pengucapan dialog. 4) Tahapan Keterlibatan Emosi, adalah tahap terakhir reading play. Pada tahap ini pemain harus terlibat emosinya untuk 170
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
mengisi peranannya, sehingga tokoh naskah mempunyai daya hidup dalam diri pemain, meskipun itu dilakukan masih dalam tahapan reading play. Keempat target tersebut tidak harus diterapkan secara berurutan, tetapi lebih bersifat fungsional dengan menyesuaikan kemampuan pemain yang ada. Hal ini mengingat setiap pemain mempunyai kemampuan dasar yang berbeda-beda. Pada pemain senior, target tersebut lebih longgar lagi karena biasanya emosi dan pencapaian suasana dramatik akan muncul dengan sendirinya setelah memasuki latihan. Berbeda dengan pemain baru, keempat target tersebut harus ditekankan sejak awal. Penciptaan Pengadeganan Penciptaan pengadeganan merupakan transformasi naskah ke dalam bentuk visual. Penciptaan tersebut akan melewati beberapa tahapan kerja, antara lain penciptaan awal (introduction), penentuan iringan, penentuan posisi/komposisi/pola gerak/perencanaan artistik. Keempat bagian ini penggunaannya lebih banyak disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi personal pendukung yang ada, sehingga kelancaran sistem kerja yang telah dibuat juga dipengaruhi oleh rekan kerja (seluruh pendukung). Agar jelas tahapan penciptaan pengadeganan, di bawah ini diuraikan mengenai bagan-bagan sesuai pola kerja. Penciptaan Awal Menonton pertunjukan teater memerlukan konsentrasi yang khusus agar dapat memahami cerita yang disampaikan lewat laku pemain. Untuk menciptakan suasana yang dapat membantu konsentrasi penonton, perlu dibuat suatu adegan khusus sehingga bisa menggiring perhatian penonton pada pertunjukan yang sedang berlangsung. Hal ini perlu dilakukan mengingat setiap penonton yang memasuki gedung pertunjukan belum siap untuk menikmati pertunjukan. 171
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Suatu adegan atau suasana tertentu yang dapat membantu menggiring konsentrasi penonton pada pertunjukkan disebut tune awal atau introduction tune awal, bisa berupa adegan tambahan yang tidak mempunyai kaitan dengan cerita yang akan dimainkan, tetapi bisa juga bagian dari naskah. Selain adegan, tune awal bisa dibangun dengan musik, bau-bauan, tata lampu, dan sebagainya, yang mampu membantu penonton mempersiapkan diri untuk menyaksikan pertunjukan yang sebenarnya. Biasanya tune awal dipergunakan di awal pertunjukan, meskipun bentuk dari tune awal tersebut berbeda-beda, karena disesuaikan dengan naskah yang dimainkan. Sebagai contoh, dalam pentas naskah Griya Prabhes (Rabindranath Tagore), dimainkan oleh kelompok keseratus, digunakan tune awal (introduction) tarian India, yang tidak mempunyai kaitan dengan naskah dan bisa disebut adegan pertunjukan yang lepas. Sementara dalam pentas teater Dinasti, tune awal lebih banyak diciptakan dengan musik yang menghentak, ditambah bau-bauan yang bisa berupa kemenyan atau bunga. Penciptaan tune awal ini, biasanya tergantung dari ide yang ada dan kemampuan personal pendukung. Apabila ide dan personal telah siap, tune awal diciptakan sejak awal memasuki latihan pengadegan. Tetapi jika personal pendukung belum siap, tune awal dilatih setelah penciptaan adegan selesai, meskipun sebelumnya seluruh pendukung sudah tahu konsep tune awal yang akan dipakai. Penentuan Iringan Pada tahapan ini yang dilakukan adalah menyesuaikan konsep musik yang dipakai sebagai iringan. Dalam penentuan tersebut, sutradara lebih banyak memberikan kebebasan kepada penata iringan untuk membuat warna musik yang akan dipakai. Penekanan adegan yang perlu diisi dengan musik diberikan kepada penata iringan, selebihnya pengembangan musik tersebut terserah ilustrator. 172
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Dalam memberikan penekanan-penekanan pada adegan yang harus diisi, selalu dipertimbangkan faktor fungsi yang bisa dicapai musik. Fungsi iringan, apabila musik dibutuhkan untuk mengiringi suatu adegan, supaya tercipta suatu keselarasan irama adegan dengan irama musik. Pada adegan-adegan semacam ini, fungsi musik menjadi penuh dengan segala instrumennya. Seperti dalam pementasan Griya Prabhes, ketika musik berfungsi penuh mengiringi penari, atau dalam pementasan Patung Kekasih, saat musik mengiringi pemain masuk ke panggung. Pada adegan tersebut bila tanpa diiringi musik adegan akan tampak kosong karena tidak ada dialog dan acting yang mampu mengisi kekosongan. Musik tidak hanya berfungsi pada adegan yang dirasa kosong, tetapi juga difungsikan untuk membangun suasana agar lebih menyentuh emosi penonton maupun pemain. Bila ada ketidakcocokan (bagi pemain), berarti harus ada proses kerja sama lagi yang bisa membangun suasana yang diinginkan. Semakin pemain dapat menghayati perannya, maka penonton pasti akan tersentuh emosinya. Pada situasi semacam ini, musik lebih berperan sebagai ilustrasi, dengan tetap memberikan prioritas pada pemain untuk melakukan segala aktivitas dalam membangun suasana. Selain berfungsi sebagi iringan dan ilustrasi, musik berguna juga untuk memberikan surprise bagi penonton. Bila pertunjukan yang dibangun sejak awal sudah terasa menjemukan, fungsi musik sangat tepat untuk menyegarkan suasana. Hal ini biasanya diletakkan pada pergantian adegan, terutama pada adegan yang mempunyai tenggang waktu cukup lama. Fungsi-fungsi musik tersebut akan bisa dijalankan sesuai porsinya apabila personal pendukung musik memungkinkan untuk melakukan. Oleh karena itu, penata musik dibebaskan untuk menentukan pendukungnya dan jenis musik yang akan dipakai. Hal ini untuk menghindari proses kebersamaan yang lambat yang bisa mengakibatkan macetnya kreativitas.
173
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Penentuan Posisi, Komposisi, Pola Gerak Penentuan posisi, komposisi, dan pola gerak merupakan bagian terpenting dari visualisasi naskah. Visualisasi tersebut tidak hanya sekedar mentransformasikan dari teks menjadi sesuatu yang nyata hidup tetapi juga harus memberikan daya hidup pada bentuk visual. Dengan mengolah tiga hal tersebut, diharapkan sutradara mampu menghasilkan suatu pengadeganan yang menggambarkan kehidupan dengan wajar. Untuk itu, setiap posisi harus diimbangi dengan komposisi dan pola gerak sehingga bisa tercipta keseimbangan antarpemain dan ruang. Menentukan posisi, komposisi, dan pola gerak harus didasarkan pada naskah. Setiap naskah sudah menggambarkan pengadeganan yang akan diciptakan sutradara. Hal ini bisa dilihat dari alur cerita dan setiap bagian-bagian adegannya. Berangkat dari keterangan naskah, sebuah visualisasi bisa diciptakan. Perhatikan misalnya adegan pertama naskah Griya Prabhes, yang terjadi di ruang tengah antara ibu dan menantu, membicarakan masalah ayah yang sedang sakit. Dari keterangan yang ada pada naskah bisa diciptakan adegan yang sesuai suasana cerita. Sutradara hanya menentukan masuknya pemain yang kemudian menempati posisi panggung tertentu, dengan pola gerak yang disesuaikan emosi tokoh pada saat adegan itu berlangsung. Emosi tokoh pada setiap adegan bisa berganti-ganti, meskipun karakternya tidak berubah, seperti tokoh ibu dalam adegan pertama—ia sangat penyabar ketika menasihati menantunya, tetapi kemudian emosi tersebut berubah pada adegan berikutnya. Hal ini harus diperhatikan dalam menyusun pola gerak. Penciptaan posisi, komposisi, dan pola gerak tidak bisa lepas dari tata artistik. Hal ini menyangkut kesatuan ruang permainan yang tersedia bagi pemain. Selain dekorasi, pilihan panggung juga menjadi faktor penentu sebuah komposisi dan posisi. Saat menggunakan panggung proscinium, misalnya, posisi dan komposisi harus disesuaikan dengan pandangan penonton, sedang-
174
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
kan dalam panggung berbentuk arena terbuka lebih memberikan keleluasaan karena penonton bisa menikmati dari segala arah. Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam penciptan pengadeganan di panggung, meskipun pelaksanaannya disesuaikan dengan urutan. Pertama, ditentukan posisi terlebih dahulu. Posisi ini merupakan kedudukan pemain di dalam panggung. Apabila pemainnya sendiri, penyesuaiannya lebih banyak pada kondisi panggung yang ada dan momen pemain. Momen pemain sangat penting artinya karena akan mempermudah menentukan posisi. Bila pemain merupakan pembawa cerita atau seseorang yang akan mengenalkan sebuah kejadian pada penonton, seperti dalam Patung Kekasih, pematung muda pada adegan pertama bertugas mengenalkan kejadian. Posisi pemain tersebut harus kuat dan mampu menarik perhatian penonton. Untuk itu, bisa ditempuh dengan menempatkan pemain pada posisi yang lebih dekat dengan penonton. Kedua, setelah posisi pemain sesuai proporsinya, maka langkah berikutnya adalah pengaturan komposisi. Pengaturan komposisi dilakukan apa bila pemain lebih dari satu, sehingga perlu diatur agar menciptakan keseimbangan ruang dan saling menguntungkan posisi antarpemain. Keseimbangan ruang adalah komposisi pemain agar bisa mengisi area permainan yang tersedia di panggung. Jika ruang permainan yang tersedia tidak begitu luas, maka posisi pemain dalam membentuk suatu komposisi diusahakan berdekatan. Demikian sebaliknya, apabila ruang yang tersedia cukup luas (setting yang digunakan sedikit), maka posisi pemain dalam menciptakan komposisi bisa dengan jarak yang lebar. Komposisi pemain dengan ruang tersebut diciptakan tanpa harus merugikan posisi antarpemain. Pemain yang berada di panggung harus mampu menggambarkan adegan sesuai naskah, semua pemain bisa terlihat oleh penonoton, tidak saling menutupi. Oleh karena itu, dalam menciptakan komposisi antarpemain, sutradara lebih menyukai bentuk simetris, pemain satu dengan lainnya bila sedang berdialog berada dalam satu garis 175
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
kiri dan kanan. Jarang sekali pemain yang sedang berdialog berada pada posisi simetris depan belakang karena posisi semacam ini tidak menguntungkan pemain yang berada di belakang, ia akan tertutup oleh pemain di depannya. Selain itu, posisi semacam ini tidak memungkinkan pemain saling memperhatikan. Apabila posisi depan belakang harus diciptakan untuk variasi, biasanya pemain ditempatkan dalam posisi diagonal depan belakang, sehingga pemain depan bila ingin merespon lawan bicaranya di belakang tidak seluruhnya membelakangi penonton dan ekspresi wajah tetap terlihat. Bila posisi dan komposisi suatu adegan sudah tercipta bentuknya, tahapan selanjutnya adalah mengisi pola gerak. Pola gerak yang dimaksudkan ialah bagaimana seorang pemain memberi variasi pada posisinya dengan bergerak (movement). Halini dilakukan agar pementasan tidak terlihat statis dan peran yang dibawakan pelaku bisa hidup. Dalam membentuk pola gerak ini biasanya sutradara memberi kebebasan pada pemain sesuai dengan pemahaman peran yang dibawakan. Pengarahan-pengarahan diberikan sebatas komposisi dan area permainan. Area permainan merupakan pembagian panggung sesuai dengan adegan yang telah dibuat antara penata artistik dan sutradara. Jadi, setiap adegan, pemain mempunyai batas area yang tidak boleh dilewati karena dipersiapkan untuk adegan berikutnya. Pola yang dilakukan pemain harus mencerminkan peran dan suasana adegan. Peran dokter yang berusia tua tidak akan mempunyai pola gerak yang dinamik dan cepat. Pada suasana yang genting, pola gerak yang biasanya lamban dan tidak banyak variasi, bisa berubah sesuai emosi tokohnya. Oleh karena itu, dalam pembangunan pola gerak lebih banyak ditekankan pada pembangunan peran. Sedangkan teknis bergerak lebih banyak ditekankan pada motif dan tujuan movement yang dilakukan pemain. Meskipun begitu, motif bisa saja dihilangkan jika pemain bergerak bertujuan mengatur komposisi. Setiap pemain yang sudah menemukan karakter tokoh yang akan dimainkan, pasti 176
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
menghasilkan pola gerak yang enak, baik dari segi komposisi maupun posisinya. Untuk mendapatkan suatu kesan yang wajar dan tidak tampak dipaksakan, dalam posisi, komposisi, dan pola gerak harus selalu diaplikasikan konsep garapannya sesuai dengan kemampuan pemain. Artinya, setiap pemain bisa merasa tidak klop dengan konsep yang diterapkan dalam pembentukan posisi, komposisi, dan pola gerak. Apabila ada ketidakcocokan di antara pemain dalam melakukan visualisasi adegan ini, alternatif lainnya adalah mencari penggantinya. Apabila pemain merasa terpaksa melakukan pengadeganan sesuai dengan komando sutradara, hal ini akan mematikan emosi pemain. Bila hal semacam itu berlangsung pada setiap adegan, pertunjukan tersebut tidak hidup dan hampa. Sutradara bisa mencipta apa yang diinginkan tetapi pemain kehilangan daya hidup dan kreativitasnya. Untuk menjadikan posisi, komposisi, dan pola gerak tersebut mampu menggambarkan adegan seluruh naskah dengan runtut, tidak terpotong-potong dalam pengadeganannya, serta menjadi pertunjukan yang menarik maka harus diperhatikan bagian-bagian lain yang bisa mendukung kerja penyutradaraan:
Awal Kemunculan
Awal kemunculan (entrance) merupakan faktor yang sangat penting karena merupakan kesan pertama yang bisa dilihat oleh penonton. Apabila awal kemunculan tidak tepat, kesan pertama penonton juga tidak enak. Oleh karena itu, harus selalu diperhatikan kemunculan awal supaya bisa tepat dengan waktu dan suasana adegan. Apalagi untuk adegan pertama, sangat mempengaruhi suasana penonton. Apabila entrance pertama kali pemain tidak bisa menyedot perhatian penonton, bisa dikatakan adegan pertama tersebut gagal. Untuk itu, dibutuhkan emosi yang lebih tinggi lagi untuk mengembalikan suasana yang diinginkan semula. Sebagai contoh bila tune awal yang diciptakan sudah selesai, kemudian memasuki adegan pertama, pemain yang pertama kali masuk panggung harus memperhitungkan 177
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
ketepatan waktu masuknya, tidak boleh mendahului musik yang masih berbunyi atau terlalu lama sesudah musik berhenti, tetapi harus tepat musik berhenti lalu masuk. Saat masuk pun harus sudah membawa kesan yang ingin disampaikan, apakah sedih, gelisah, atau tergesa-gesa. Jika ketepatan waktu dan kesan tidak tercapai, bisa menjadi bahan tertawaan penonton. Penekanan pada entrance ini tidak hanya pada pertama saja, tetapi menyeluruh dari setiap kemunculan pemain, meskipun setiap kemunculan awal tersebut mempunyai kadar kesan yang berbeda. Kesan yang paling besar dirasakan penonton ada pada kemunculan pemain pertama dan adegan pertama. Selebihnya entrance tersebut, kadar kesan yang ditimbulkan lebih rendah dibandingkan yang pertama tadi, meskipun pada adegan-adegan tengah bisa menimbulkan kesan yang khusus pula. Hal ini disebabkan kemunculan pertama di awal permainan yang merupakan pemain yang pertama kali bisa dilihat penonton sudah terbiasa dengan keluar masuknya pemain, kecuali untuk adegan yang ingin ditonjolkan kesan awalnya. Untuk menimbulkan kesan khusus pada entrance di adegan tengah atau menonjolkan kesan khusus pada suatu kemunculan awal, selalu diberikan sesuatu yang lain dari entrance awal tersebut, mungkin dengan musik, cara pemain masuk panggung yang berbeda dari lainnya, atau membantu kemunculan tersebut sehingga dapat menonjolkan dengan memberikan respon dari pemain lainnya. Berkaitan dengan kemunculan (entrance), faktor keluar pemain (exit) juga merupakan suatu hal yang harus diperhatikan pula. Keluarnya (exit) pemain juga sama hal dengan entrance, harus mempunyai bobot kesan yang ditinggalkan. Selain itu keluarnya pemain harus pula merupakan kebalikan dari pemunculan awal, tetapi dalam hal ini lebih banyak ditentukan oleh konsep artistik dan sutradara yang mendasarinya. Maksudnya apabila panggung kiri dianggap sebagai pintu masuk, kembalinya harus lewat panggung kiri. Demikian pula bila panggung kanan 178
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
dianggap sebagai ruangan dalam, maka ketika seorang pemain yang harus keluar dari dalam rumah harus lewat panggung sebelah kanan. Apabila pemain tersebut ingin pergi dari rumah, dengan sendirinya lewat panggung kiri.
Progresi Dramatik
Adegan-adegan yang telah divisualkan harus mempunyai progresi dramatik. Setiap naskah yang baik pasti mempunyai pembagian adegan dan struktur dramatik, meskipun tidak secara jelas tertulis. Oleh karena itu, seorang sutradara dituntut untuk membuat penafsiran tentang progresi dramatik yang akan digarap dalam visualisasi. Progresi dramatik inilah yang akan menentukan berhasil dan tidaknya sebuah pertunjukan yang diminati penonton. Dalam pengertian progresi dramatik sangat membantu penonton dalam mengikuti alur cerita sebuah pertunjukan. Penyusunan progresi dramatik dimulai dari setiap pengadeganan yang ada di dalam naskah. Penyusunan progresi pada setiap adegan, pada akhirnya akan membentuk suatu progresi dramatik keseluruhan naskah. Oleh karena itu, sebelum menciptakan progresi dramatik per adegan, seorang sutradara harus mengetahui terlebih dahulu struktur dramatik dari naskah yang akan dimainkan, minimal mengenai bagian introduksi (pemaparan), pengembangan (komplikasi), klimaks dan penyelesaian (resolusi). Hal tersebut harus dipahami sejak awal ketika proses analisis naskah. Apabila progresi dramatik naskah sudah diketahui, akan memudahkan proses pembentukan progresi dramatik per adegan. Sebagaimana telah ditulis dalam penciptaan posisi, komposisi, dan pola gerak, selalu dimulai dari adegan pertama, maka dalam pengisian progresi dramatik ini juga berawal pada adegan pertama, dan harus dikaitkan pada struktur naskahnya. Jadi, adegan-adegan yang ada pada bagian introduksi (pemaparan) progresi dramatiknya tidak boleh lebih tinggi dari adegan yang berada di bagian tersebut, progresi dramatiknya diusahakan tidak melebihi bagian klimaks. Untuk itu, bila penciptaan pro179
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
gresi dramatik pada pengadeganan awal, adegan selanjutnya diusahakan lebih tinggi lagi, sampai maksimal pada adegan klimaks. Dalam penyusunan progresi dramatik adegan dan lakon biasanya dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Hal ini disebabkan progresi dramatik tersebut sering terjadi tidak berurutan, pada adegan yang seharusnya rendah ternyata aplikasi pemainnya justru menghasilkan yang tinggi. Untuk itu pegangan yang sering dilakukan adalah melihat kemampuan pemain membangun klimaksnya. Apabila sudah diketahui tinggi progresi dramatik yang bisa dihasilkan pemain di bagian klimaks akan memudahkan penyusunan bagian lainnya, karena sudah mengetahui kemampuan maksimal pemain. Selebihnya penyusunan progresi dramatik tinggal menyesuaikan dengan kemampun maksimal pemain sehingga adegan-adegan bisa menyusun progresi dramatik yag semakin naik sampai batas tertinggi di klimaks. Setelah progresi dramatik seluruh lakon diketahui dan ditentukan bagian-bagian strukturnya, selanjutnya adalah pengisian progresi dramatik per adegan dengan lebih banyak pengembangan dari penciptaan posisi, komposisi, pola gerak, dan entrance. Hal tersebut akan mampu membangun progresi dramatik karena dalam penyusunan tersebut mencakup pula pengembangan emosi pemain. Pengembangan yang sifatnya membantu progresi dramatik tersebut, diperlukan detail-detail penggarapan yang menekankan pada transisi adegan, momentum adegan dan pengolahan tahapan dramatik. Transisi adegan merupakan faktor yang menentukan pementasan menjadi satu kesatuan utuh. Agar adegan dalam lakon mampu tervisualisasikan secara utuh, harus diatur berdasar pada proses sebab-akibat. Dalam pengertian, adegan pertama selalu berakibat pada adegan berikutnya, demikian seterusnya, sehingga setiap adegan tersebut kait-mengait. Supaya kaitan per adegan terdebut halus, klu atau kata-kata kunci dimanfaatkan secara tepat temponya, sehingga pemain mampu mengarahkan pe180
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
nonton untuk memasuki adegan berikutnya. Untuk membantu transisi agar berkesinambungan bisa dibantu dengan musik dan pengaturan lampu. Ada dua cara yang sering digunakan untuk mengatur transisi adegan. Pertama dengan pergantian adegan secara halus tanpa ada pemutusan adegan, sehingga pengadeganan tersebut tampak berjalan terus, meskipun sudah ada pergantian suasana. Transisi ini sering disebut fade out/fade in. Biasanya transisi semacam itu dipergunakan untuk pergantian adegan yang masih dalam satu kurun waktu dan tempat kejadian. Kedua menggunakan cut to cut (istilah film), yaitu pergantian adegan secara tiba-tiba, dengan pemutusan adegan. Cara ini dipergunakan apabila perpindahan adegan tersebut berbeda tempat dan waktu kejadiannya. Selain pengaturan transisi, penonjolan suatu momentum dapat pula membantu terciptanya progresi dramatik yang lebih detail. Hal ini disebabkan karena suatu adegan terkadang mempunyai beberapa momentum yang sangat mempengaruhi suatu adegan. Sebagai contoh, sebuah kejadian pamit seorang suami pada istrinya, adalah momen biasa yang tidak perlu ditonjolkan, tetapi karena setelah pamit ada momentum lain yang mengharuskan suami ketemu dengan orang lain, sehingga terjadi perdebatan, maka momen pamit tadi perlu ditonjolkan agar membantu progresi dramatik adegan dengan adanya pergantian suasana yang kontras. Tidak banyak berbeda dengan momentum adegan, pengolahan tahapan dramatik juga merupakan usaha sutradara dalam membangun detail progresi dramatik. Secara teknis sering dilakukan dengan memberikan penekanan pada jarak antarpemain. Jauh dekat jarak pemain mempunyai kekuatan dramatik yang berbeda dan menunjukkan keterkaitan emosi tokoh. Sebagai contoh, bila seseorang sedang pacaran dengan tempat duduk yang berjauhan, berarti hubungan mereka belum begitu rekat atau sedang renggang. Demikian juga apabila ada adegan perteng181
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
karan, semakin dekat jarak pemain akan menunjukkan tingginya kadar emosi yang muncul, dengan demikian nilai dramatiknya akan lebih besar. Agar progresi dramatik mampu tercipta dengan baik, proses mendekatnya kedua pemain yang sedang konflik tidak harus dengan tiba-tiba, tetapi melewati tahapan-tahapan yang bisa menunjukkan naiknya kadar emosi pemain. Sebagai contoh lain, apabila ada dua orang yang sedang bertengkar kemudian masuk pemain lain yang mengetahui peretengkaran, pemain tersebut tidak langsung memisah dengan berada di tengah-tengah kedua orang yang bertengkar, tetapi justru mendekati pelan-pelan, meskipun secara rasio harusnya pemain tersebut langsung memisah. Hal ini untuk mencapai tahapan progresi dramatik dan mempermainkan keinginan penonton untuk mengetahui adegan selanjutnya.
182
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
SUTRADARA DAN PENYUTRADARAAN Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya
Sutradara Pertunjukan teater merupakan satu kesatuan yang diciptakan oleh pemain (aktor), pengarang (naskah/cerita), sutradara (dibantu tim artistik dan tim produksi), tempat pertunjukan dan penonton. Menghadapi sebuah naskah drama seorang sutradara akan berpikir bagaimana memainkannya di atas panggung agar hidup dan terjadi komunikasi dengan penotonnya. Usaha untuk menghidupkan sebuah naskah drama berarti suatu usaha yang mengacu pada bentuk yang artistiK. Nilai artistik sebuah pementasan drama dapat diukur dan dinilai dari sejauh mana pementasan itu mampu menampilkan atau mewujudkan bentuknya. Pengertian sutradara adalah orang yang bekerja berdasarkan konsep dan mampu mengorganisasi produksi, juga dapat menjalin kerjasama dan komunikasi yang baik dalam hubungannya dengan sekelompok aktor. perancang artistiK, dan juga teknisi untuk menghasilkan sebuah pementasan drama. Untuk menjadi sutradara sebaiknya lebih dulu menguasai teknik-teknik acting atau menjadi seorang pemeran. Seorang sutradara dituntut mengetahui tentang: 1. Aspek kultural, mengetahui masalah-masalah yang berhubungan dengan kebudayaan, juga pengetahuan umum.
183
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
2.
3.
4.
Aspek artistik, menguasai masalah kesenian pada umumnya, mempunyai cita rasa, kepekaan, keterbukaan. Ia harus bisa mengembangkan kreativitas dan originalitas dengan cara; imajinasi, kemauan, dan perasaan. Aspek literer, menguasai masalah kesusasteraan pada umumnya dan pengetahuan tentang drama pada khususnya. Aspek teateral, yakni pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pentas atau panggung.
Langkah yang harus dikerjakan oleh seorang sutradara adalah membuat konsep sebagai penuangan ide atau gagasan yang nantinya dipakai sebagai dasar dalam melakukan kegiatannya sebagai sutradara. Langkah-langkah tersebut antara lain: 1. Melakukan penafsiran terhadap naskah meliputi; tema, plot, dan penokohan. 2. Memilih para pemain (casting). 3. Melakukan kerjasama dengan pengarang naskah, penata pentas, dan lain-lain dalam merencanakan pementasan. 4. Melatih atau memimpin latihan para pemain. 5. Menjadi koordinator dalam keseluruhan pementasan. Penyutradaraan Pementasan teater di atas panggung pertunjukan merupakan hasil kerja sutradara dalam proses transformasi dari struktur naskah menjadi tekstur panggung. Di sinilah sutradara mencipta, mengatur dan menyatukan komposisi visual, irama, tempo, serta tata bunyi. Menurut Kernoddle melalui Yudiaryani (2002:354-355), ada tiga langkah perancangan produksi teater yaitu klasifikasi, analisis, dan kualitas teknik dan materi pementasan. Berikut ini perancangan perencanaan produksi teater:
184
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
(a) Klasifikasi panggung yang menjadi alat kontrol secara menyeluruh meliputi jenis naskah, hubungan teater dan penonton, konvensi, gaya. (b) Analisis panggung yang membangun struktur dan tekstur panggung; struktur meliputi plot, penokohan, tema, sedang tekstur meliputi dialog, suasana, spektakel, dan (c) Pemilihan materi dan teknik pemanggungan yang ditujukan. Pemilihan materi dan teknik pemanggungan meliputi: (i) Bagi sutradara pada pilihan materi meliputi akting, ruang, waktu, garis, warna, cahaya; pada pilihan teknik meliputi komposisi, gambar atau sketsa, movement, dramatisasi pantomimik, irama. (ii) Bagi aktor pada pilihan materi meliputi tubuh, suara, pikiran, perasaan; pada pilihan teknik meliputi membaca dialog, movement, dramatisasi pantomimik, irama, gestur. (iii) Bagi perancang artistik pada pilihan materi meliputi ruang, garis, bentuk, warna, gerakan; pada pilihan teknik meliputi dimulai dari realisme, bergerak ke arah akting, mendalami kualitas suasana dan atmosfer, skeneri sebagai pencetus gagasan. Plot atau Alur Plot atau alur cerita adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab akibat. Artinya peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan terjadinya peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya, hingga pada dasarnya peristiwa terakhir ditentukan terjadinya oleh peristiwa pertama. Plot atau alur di samping mempunyai fungsi untuk mengungkapkan buah pikiran pengarang dan menarik perhatian penonton atau pembaca juga mengungkapkan dan mengembangkan watak-watak tokoh cerita. 185
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Unsur-Unsur Plot: 1. Ketegangan (suspense), plot yang baik akan menimbulkan ketegangan pada diri pembaca atau penonton melalui kemampuannya untuk menumbuhkan dan memelihara rasa ingin tahu dan kepenasaran penonton dari awal sampai akhir. 2. Dadakan (surprise), dalam membaca atau menonton cerita yang baik, pembaca atau penonton akan selalu mendugaduga mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Pengarang yang baik akan menyusun ceritanya sedemikian rupa hingga dugaan-dugaan pembaca atau penontonnya selalu keliru dan peritiwa membelok ke arah lain yang tidak disangkasangka dan bahkan mengagetkan. 3. Ironi dramatik (dramatic irony), dapat berbentuk pernyataanpernyataan atau perbuatan-perbuatan tokoh cerita yang seakan-akan meramalkan apa yang akan terjadi kemudian. Sudah barang tentu ironi dramatik diciptakan begitu rupa oleh pengarang agar tidak mengganggu ketegangan dan hilangnya unsur dadakan. Sebaliknya ironi dramatik justru untuk mendukung kedua unsur tersebut. Strutur Dramatik Aristoteles (384-322 SM) Di dalam cerita-cerita konvensional, struktur dramatik yang dipergunakan adalah struktur dramatik Aristoteles. Disebut demikian, karena struktur dramatik ini disimpulkan Aristoteles dari karya-karya Sophocles (495-406 SM). Struktur adalah suatu kesatuan dari bagian-bagian yang kalau satu diantara bagiannya diubah atau dirusak, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. Struktur dramatik Aristoteles terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling menunjang dan oleh karena itu tidak dapat dipisah-pisahkan tanpa merusak struktur itu secara keseluruhan. Adapun bagian-bagian itu adalah eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, dan konklusi.
186
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Eksposisi adalah bagian awal atau pembukaan dari suatu karya sastra drama. Sesuai dengan kedudukannya, eksposisi berfaal sebagai pembuka yang memberikan penjelasan atau keterangan mengenai berbagai hal yang diperlukan uantuk dapat memahami peristiwa-peristiwa berikutnya dalam cerita. Keteranganketerangan itu dapat mengenai tokoh-tokoh cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu ketika cerita terjadi, dan sebagainya. Komplikasi atau gawatan merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan dari padanya. Di dalam bagian ini salah seorang tokoh cerita mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi hasil dari prakarsa itu tidak pasti. Dengan demikian timbullah gawatan atau komplikasi. Pada bagian ini konflik terjadi baik yang timbul dari diri tokoh sendiri maupun dari seseorang di luar dirinya. Klimaks, pada bagian ini pihak-pihak yang berlawanan atau bertentangan, saling berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir yang menentukan. Di sinilah nasib para tokoh cerita ditentukan. Resolusi, semua masalah yang ditimbulkan oleh tokohtokoh cerita terpecahkan. Konklusi, nasib tokoh-tokoh dalam cerita sudah pasti. Berikut adalah Gambar Dramatik Action (A) Aristoteles (B) Gustav Freytag
187
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Penokohan Tokoh cerita adalah orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa atau sebagian dari peristiwaperistiwa yang digambarkan dalam plot atau alur cerita. Sifat dan kedudukan tokoh cerita di dalam naskah drama beraneka ragam. Ada yang bersifat penting dan digolongkan kepada tokoh penting atau mayor dan ada pula yang tidak terlalu penting dan digolongkan kepada tokoh pembantu atau minor. Ada yang berkedudukan sebagai protagonis, yaitu tokoh yang pertama-tama berprakarsa dan dengan demikian berperan sebagai penggerak cerita. Karena perannya itu protagonis adalah tokoh yang pertama-tama menghadapi masalah dan terlibat dalam kesukaran-kesukaran. Biasanya kepadanya pula pembaca atau penonton berempati. Yang dimaksud berempati ialah menempatkan diri pada kedudukan seseorang, hingga dapat memikirkan masalah-masalah orang itu dan mengalami perasan-perasaannya. Lawan protagonis adalah antagonis, merupakan tokoh penghalang bagi tokoh protagonis. Tokoh lain yang kedudukannya penting pula dalam cerita adalah kepercayaan (confidant). Tokoh ini menjadi kepercayaan protagonis dan atau antagonis. Kepada tokoh ini protagonis dan antagonis dapat mengungkapkan isi hatinya di pentas, oleh karena itu memberi peluang besar kepada pembaca atau penonton untuk mengenal watak dan niat tokohtokoh dengan lebih baik. Watak para tokoh bukan saja merupakan pendorong terjadinya peristiwa akan tetapi juga merupakan unsur yang menyebabkan gawatan masalah yang timbul dalam cerita. Dapat dikatakan watak seorang tokoh biasanya menjadi penggerak cerita. Bahasa Unsur drama yang lain dan sangat penting adalah bahasa. Percakapan yang dilakukan tokoh-tokoh dalam cerita menggunakan bahasa. Dengan bahasa pula untuk menjelaskan bagian-bagian plot yang tidak dipertunjukan di atas pentas. Bahasa juga 188
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
menjelaskan latar belakang dan suasana cerita. Melalui bahasa yang diucapkan oleh para tokoh atau petunjuk pengarang maka pembaca atau penonton mengetahui tentang tempat, waktu atau zaman dan keadaan di mana cerita terjadi. Dengan melalui bahasa maka dapat diketahui suatu cerita terjadi di Inggris, pada abad pertengahan dalam masa perang. Dari pilihan bahasa yang dilakukan seorang pengarang dapat juga diketahui suasana murung, sedih, riang, bersemangat, dan sebagainya. Juga dapat diketahui watak tokoh cerita itu jahat, baik, kasar, dan sebagainya tau dapat pula diketahui latar belakang sosial, pekerjaan, pangkat, dan dari lingkungan apa dia datang dari dialog yang dipergunakannya. Perancangan Elemen-elemen Pendukung Pentas Elemen-elemen pendukung pentas antara lain skeneri, tata busana, tata rias, tata lampu, tata bunyi, mise en scene atau spektakel, properti, dan tim produksi. a. Skeneri Skeneri merupakan segala anasir yang ada di atas panggung dan memungkinkan memberikan perwatakan yang terdapat dalam suatu lakon. Skeneri dimaksudkan untuk mendukung gerak dan laku pemeran sehingga penonton diberikan ruang seluasnya untuk menafsir menurut interpretasinya. b. Tata Busana Pengertian tata busana dalam teater yakni segala sandangan dan perlengkapannya (accessories) yang dikenakan pemeran di atas panggung, meliputi semua pakaian, sepatu, penutup kepala, dan perlengkapannya baik yang kelihatan maupun yang tidak oleh penonton (Harymawan, 1993:127). Dalam merencanakan tata busana atau kostum harus disesuaikan dan diselaraskan dengan skeneri, tata lampu, kesesuaian atau pas di tubuh pemeran (tidak mengganggu gerak pemeran).
189
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
c.
d.
e.
f.
190
Tata Rias Pengertian tata rias dalam seni teater yakni merubah yang alamiah (nature) menjadi yang berbudaya (culture) dengan maksud mendapatkan daya guna yang tepat (Harymawan, 1993:135). Tata rias dalam sebuah pementasan teater biasanya dihadirkan untuk memperjelas karakter peran dan memperkuat watak toloh. Pada karya ini tata rias yang ditampilkan adalah rias semi fantasi yakni gabungan antara rias tradisi, rias modern dan rias karakter yang disesuaikan. Tata Lampu Esensi tata lampu atau pencahayaan dalam teater untuk akting adalah menerangi seluruh wajah. Tubuh aktor dan lingkungan sekitar panggung harus mendapat pencahayaan secara efektif, hal ini agar wajah aktor dengan jarak penonton tetap terlihat. Rancangan tata lampu untuk teater dibedakan menjadi 3 tipe area yaitu: (1) acting areas (area akting yang dimaksud di mana akting penting ditempatkan atau di mana aktor membuat garis), (2) traffic areas (area lalu lintas, di mana aktor bergerak antara area akting, tetapi bukan saat melakukan akting atau dialog penting), (3) scenery areas (area skeneri, tempat yang tidak pernah dimasuki aktor tetapi pencahayaan diperlukan agar penonton dapat melihat skeneri, furniture, property, dan lain sebagainya (Bunn, 1993:30-34). Tata Bunyi Seni teater bersifat auditif visual artinya bisa didengar dan bisa dilihat (Harymawan, 1993:159). Bunyi atau suara dalam seni teater merupakan bunyi yang dihasilkan dari suara pemeran (pengucapan dialog), efek bunyi yang dihasilkan dari benda-benda (seperti; bunyi pintu, bunyi detak jam dinding, bunyi kapal terbang, dan lain sebagainya), dan musik. Properti Properti atau perlengkapan pentas adalah segala macam peralatan yang digunakan di atas panggung yang kehadir-
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
g.
h.
annya sengaja diperlukan untuk melengkapi pentas dan membatu gerak dan laku pemeran Spektakel atau Mise en Scene Mise en scene ialah segala perubahan yang terjadi pada daerah permainan yang disebabkan oleh perpindahan pemain atau peralatan” (Harymawan,1993:68). Penyusunan atau penempatan mise en scene yang tepat akan memberikan sentuhan artistik secara total sebuah pertunjukan. “Spektakel muncul melalui gabungan antara warna warni seting, perubahan tata cahaya, dan gemerlap kostum” (Yudiaryani, 2002:368). Tim produksi dan Tim Artistik Hal yang tidak kalah penting perlu diperhatikan dalam penggarapan seni pertunjukan adalah mengenai manajemen produksi. Pembentukan tim produksi dimaksudkan untuk pengelolaan tenaga, biaya, waktu dan gedung pertunjukan. Maka setelah terbentuk susunan kepanitian produksi yang dipimpin oleh seorang pimpinan produksi dibuatlah rencana anggaran biaya. Pembiayaan atau dana produksi diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut: (1) bidang produksi, untuk membiayai sewa gedung pertunjukan, pengadaan dan penataan panggung, penambahan sound dan lightings system, (2) bidang logistik, untuk membiayai akomodasi, konsumsi, dan transportasi, (3) bidang humas/publikasi, untuk keperluan realease media (koran), poster, leaflet, flyer (selebaran), dan (4) bidang sekretariat, untuk membiayai rapat-rapat, administrasi persuratan, perizinan, perjanjian, ID card, jasa komunikasi, dokumentasi, penyusunan dan penerbitan laporan.
Beberapa Istilah Drama Ada beberapa istilah drama perlu diketahui yang sering kita jumpai dalam naskah drama, antara lain:
191
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Babak Dalam naskah drama adalah bagian dari naskah drama yang merangkum semua peristiwa yang terjadi di suatu tempat pada urutan waktu tertentu. Sering kita jumpai dalam naskah drama terdapat lebih dari satu babak. Dan suatu babak biasanya dibagibagi lagi di dalam adegan-adegan. Suatu adegan ialah bagian dari babak yang batasannya ditentukan oleh perubahan peristiwa berhubung datangnya atau perginya seorang atau lebih tokoh cerita ke atas pentas. Dialog Bagian lain dalam naskah yang harus dipahami oleh seorang sutradara adalah dialog. Dari dialog yang diucapkan oleh tokohtokoh maka akan tersirat makna dan maksud yang ingin disampaikan oleh seorang pengarang tau penulis naskah drama. Prolog Bagian naskah yang ditulis pengarang pada bagian awal. Pada dasarnya prolog merupakan pengantar naskah yang dapat berisi satu atau beberapa keterangan tentang cerita yang akan disampaikan. Keterangan yang dimaksud mengenai masalah, gagasan, pesan pengarang, jalan cerita atau alur (plot), latar belakang cerita, tokoh, dan lain-lain, kesemuanya itu diharapkan dapat menolong pembaca atau penonton dalam menghayati dan memahami cerita yang disajikan. Namun perlu diketahui tidak semua naskah drama memiliki prolog, karena kedudukannya agak kurang penting dibandingkan dengan dialog dan petunjuk pengarang. Walaupun begitu ditangan pengarang-pengarang yang baik prolog bisa menjadi salah satu sarana penyampai yang berdaya guna. Oleh karena itu pengetahuan yang memadai mengenai prolog perlu dimiliki oleh mereka yang berhasrat menghayati dan menikmati karya-karya sastra drama, baik sebagai sastra maupun sebagai pementasan.
192
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Dialog Merupakan bagian dari naskah yang berupa percakapan antar tokoh. Dialog inilah yang menunjukkan sebuah karya sastra disebut sebagai sastra drama. Dalam drama dialog memiliki fungsi; (1) menyajikan informasi, mengungkap fakta, ide, dan emosi, (2) harus mewujudkan karakter, (3) memberi tekanan pada makna dan informasi, (4) menghidupkan tema naskah, (5) membantu pembentukan nada yang mengidentifikasikan naskah tersebut komedi, tragedi atau lawak, dan (6) meningkatkan tempo dan irama permainan. Selain dialog, yang kadang-kadang hadir dalam naskah drama adalah petunjuk pengarang (biasanya ditulis dalam kurung) yang memberikan penjelasan mengenai keadaan, suasana, peristiwa, perbuatan dan sifat tokoh cerita kepada para pembaca, atau awak pementasan misalnya; sutradara, pemeran, dan penata artistik. Epilog Ditempatkan pengarang di bagian belakang. Epilog biasanya berisi kesimpulan pengarang mengenai cerita, yang kadangkadang disertai nasehat atau pesan. Ada pula epilog yang disertai ucapan terimakasih pengarang dan para pemain kepada penonton yang dengan sabar telah menyaksikan pertunjukan. Solilokui (konvensi pentas) Merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seorang tokoh cerita yang diucapkannya kepada dirinya sendiri, baik pada saat ada tokoh lain maupun terutama pada saat ia seorang diri. Aside (konvensi pentas) Bagian naskah drama yang diucapkan salah seorang tokoh cerita dan ditujukan langsung kepada penonton dengan pengertian bahwa tokoh lain yang ada di pentas tidak mendengar. Kata aside yang berarti ke samping, menyarankan bahwa kata-kata tokoh itu diucapkan sambil memalingkan muka dari tokoh lain 193
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
yang ada di pentas dan secara langsung dimaksudkan agar diterima langsung oleh penonton. Daftar Bacaan Bunn, Rex. (1993), Practical Stage Lighting, Currency Press Ltd PO Box 452 Paddington NSW 2021, Australia. Djelantik, A.A.M. (2001), Estetika Sebuah Pengantar, MSPI bekerjasama dengan kuBuku, Bandung. Harymawan, RMA. (1993), Dramaturgi, Cetakan ke-2, PT. Rosdakarya, Bandung. Padmodarmaya, Pramana. (1983), Tata dan Teknik Pentas, P&K, Jakarta. Purwaraharja, Lephen. ed. (2000), Ideologi Teater Modern Kita, Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta. Sahid, Nur. (2004), Semiotika Teater, Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sumardjo, Jakob. (1992), Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Yudiaryani. (2002), Panggung Teater Dunia Perkembangan dan Perubahan Konvensi, Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.
194
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
MENUMBUHKEMBANGKAN POTENSI DIRI UNTUK BEREKSPRESI DRAMATIK Nur Iswantara
Prolog Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang baik sudah selayaknya tetap memakai bahasa Indonesia sebagai sarana berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis dalam kancah pergaulan nasional. Dengan berbahasa Indonesia semakin memberikan arti keindonesiaan dalam wawasan kebudayaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penggunaan bahasa Indonesia dalam NKRI semestinya harus diperjuangkan secara terusmenerus baik dalam lingkup berbangsa, bermasyarakat, keluarga, maupun sekolah. Ingat sebuah peribahasa, Bahasa Menunjukkan Bangsa adalah peribahasa yang masih sangat relevan dengan situasi NKRI yang tetap setia menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi keluarga bangsa ini. Sejak Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28 Oktober 1928, Bahasa Indonesia ditempatkan sebagai alat berbahasa yang satu bagi bangsa Indonesia. Demikian pula sejak UUD 1945 disepakati sebagai landasan bernegara, maka Bahasa Indonesia pun resmi sebagai bahasa nasional. Melalui asumsi-asumsi tersebut kiranya peribahasa yang indah itu secara nyata dapat dipergunakan untuk memahami segala aktivitas yang menyangkut bahasa Indonesia maupun bahasabahasa yang lain dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. 195
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Jika selama ini sudah ada ketetapan resmi sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia tidak diragukan lagi keberadaannya sebagai sarana komunikasi bagi bangsa Indonesia. Jika menyadari bahwa bangsa Indonesia memiliki kurang lebih 13.000 pulau dengan sekitar 3000 bahasa daerah, kita akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi apabila tidak ada bahasa Indonesia. Betapa susah orang Jawa berkomunikasi dengan orang Irian, orang Sulawesi dengan orang Aceh, dan sebagainya. Menghadapi berbagai gejala seperti itu, kiranya para “bapak bangsa” pendiri negeri ini begitu tepat memposisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Ajakan berbahasa dengan keindonesiaan ini merupakan pemahaman untuk memberikan wacana budaya dalam arti seluasluasnya. Pengalaman saya ketika dalam lingkup kecil bertemu dengan kawan-kawan dari luar Jawa sering terjadi kesalahpahaman, yakni sewaktu berkomunikasi memakai bahasa daerah. Suatu ketika dalam acara resmi, saya sedang ngobrol dengan teman dari etnis Makassar memakai bahasa Indonesia, datanglah teman lain yang sesama etnis Makassar. Keduanya pun ngobrol sehingga saya tidak dapat memahami bahasa mereka. Secara logika dan etika, emosi saya tersinggung, meskipun itu tak saya tampakkan, hanya memandang mereka disertai senyum bersahabat. Berbahasa Estetik dengan Drama Selama ini pemahaman bahasa sering diartikan dengan sempit, suatu contoh penggunaan bahasa Indonesia untuk suatu penulisan harus dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Padahal dalam menulis dapat saja mengabaikan EYD, apalagi kalau menulis karya fiksi. Untuk itu dimungkinkan dalam berbahasa kita tumbuh bebas sesuai dengan kehendak berbudaya si manusia itu. Jika bahasa Indonesia dipahami dengan sempit maka akan mengalami kemandegan secara estetik. Jika dalam situasi formal, 196
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
kita memang dituntut untuk berbahasa dengan baik dan benar serta ber-EYD. Akan tetapi pada kancah seni budaya, kebebasan berbahasa secara estetis menjadi kebutuhan yang tak dapat ditolak lagi. Seni musik memiliki bahasa musikal, seni tari tidak lepas dari bahasa gerak, seni pantomim penuh dengan bahasa isyarat, seni lukis memiliki bahasa rupa, seni sastra lekat dengan bahasa keindahan, seni drama memiliki kekhasan dramatik, seni teater menampung bahasa teatral, bahkan dalam dunia senam muncul bahasa tubuh dan lain sebagainya. Berbagai sebutan bahasa sering muncul dalam aktivitas seni budaya. Untuk itu pemahaman bahasa dalam memaknai seni budaya dapat secara verbal dan non-verbal. Bahasa verbal meliputi bahasa yang dipergunakan untuk dialog para tokoh (dapat bahasa Indonesia atau yang lainnya). Sedangkan bahasa non-verbal meliputi berbagai aspek memvisualkan yang bukan verbal. Sebuah karya seni drama/teater memungkinkan berbagai aspek seni ada di dalamnya demi pencapaian bahasa dramatik/teatral yang dikehendaki. Seni drama/teater merupakan berbagai luluhan seni (sintetic art), dengan demikian memang membutuhkan kepiawaian dalam menciptanya. Artinya bagaimana si dramawan/teaterawan mampu berbahasa dramatik/teatral tergantung pada kemampuannya memanfaatkan alat ucap yang dimiliki— apakah sang dramawan/teaterawan memahami betul naskah lakon yang mau dipertunjukan, yang didalamnya ada nilai struktur: tema, plot, karakter, setting. Kemudian apakah dia juga memahami tekstur: dialog, mood, spectacel. Dimana struktur dan tektur ini diolah oleh dramawan/tetaerawan menjadi pertunjukan seni drama/teater yang dapat diapresiasi penonton. Di sisi lain, seorang penggarap teater atau sutradara harus mampu mengkoordinasi personal-personal: aktor, skenografer, penata artistik, penata cahaya, penata musik, penata rias, penata busana, dan lain sebagainya. Dia bertanggung jawab terhadap terciptanya karya seni drama/teater yang berkualitas. Di samping itu, ia harus dapat bekerja sama dengan tim produksi yang akan 197
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
menghadirkan penonton demi keberhasilan pertunjukan itu sendiri. Teori Drama Hal dasar yang melekat pada siswa sebagai calon penulis naskah drama berkaitan dengan sumber potensi utama. Siswa sebagai sosok manusia memiliki sumber potensi, yakni pribadi yang sehat (badaniah, jiwaiah, intelektual), pengalaman ekspresi dramatik, imajinasi, memori, pengamatan kehidupan, menulis, kepekaan panca indra, merupakan modal berkreasi yang dapat dikembangkan demi mengaktualitasasikan potensinya secara proporsional. Harymawan dalam bukunya Dramaturgi (1993) mengetengahkan bahwa ilmiah teater menciptakan dua daerah pokok subyek, yaitu teatrologi dan dramatologi atau dramaturgi. Teatrologi menyelidiki aspek-aspek pergelaran teater sehubungan dengan aktor, pentas, dan penonton. Sedangkan dramaturgi bidang penyelidikannya meliputi sebuah ketentuan yang dapat digelarkan sebagai suatu hasil seni yang diperuntukkan bagi pertunjukan teater. Dramaturgi merupakan ajaran tentang masalah hukum dan konvensi drama. Formula dramaturgi meliput 4M: mengkhayalkan (M1); menuliskan (M2); memainkan M3), dan menyaksikan (M4) merupakan formula yang sangat penting. Untuk keperluan penulisan naskah drama maka yang banyak dibahas pada M1 berkaitan dengan pertama kali manusia/ pengarang mengkhayalkan kisah: ada inspirasi-inspirasi, ideide (idea); M2 menempatkan pengarang saat menyusun kisah yang sama (the same idea) untuk kedua kalinya, pengarang menulis kisah (story). Secara teoritis dramaturgi pun menjadi bekal calon penulis naskah drama. Ada dua sisi pembahasan yakni, Sisi I, Drama dan Konflik Kemanusiaan. Pembahasan itu meliputi: Pertama, Hukum Drama, drama adalah konflik kemanusiaan yang selalu menguasai perhatian dan minat publik. Konflik adalah dasar drama (the law of drama) menurut Ferdinand Brunetiere (via Hary198
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
mawan, 1993:9) sehingga lakon harus menghidupkan pernyataan kehendak manusia menghadapi dua kekuatan yang saling beroposisi, yakni antara protagonis dan antagonis. Protagonis, peran yang membawakan ide prinsipiil, sedangkan antagonis merupakan peran yang melawan pembawa ide prinsipiil; pertentangan keduanya melahirkan dramatic action. Kedua, Tabiat manusia sebagai sumber penulisan drama. Tabiat manusia harus dipelajari oleh pengarang, aktor-aktris, dan sutradara. Hal ini mengingatkan bahwa inti drama adalah masalah kemanusiaan sehingga harus tetap memiliki dasar yang wajar. Ketiga, Motif sebagai dasar action, pemahaman action menjadi penting karena dalam ber-action harus ada alasan karena action merupakan hasil akhir tabiat manusia. Adapun sumber-sumber motif meliputi: human drives (elansitas, spirit, aktivitas); situasi fisik dan sosial; interaksi sosial dan character pattern atau pola watak: intelegensi; hubungan dengan dunia luar; hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Keempat, sumber motif saling mempengaruhi dan terjalin menjadi satu motivational complex yang berpengaruh pada setiap lagu dan aktivitas manusiaan. Dengan demikian, terjadinya konflik protagonis dengan antagonis yang melahirkan pertentangan secara oposisional sangat ditopang oleh motif dalam melahirkan action. Untuk itu, drama memang didasarkan atas human conflict. Sisi II, Drama dan Pengarang. Sisi ini memiliki berbagai muatan: Kesatu, bahan-bahan seorang pengarang terdiri dari (1) subyek, atau tema merupakan ide pokok drama atau lakon, (2) karakter, berguna untuk mengembangkan konflik, penggarang memanfaatkan watak manusia sebagai bahan. Perlu diingat bahwa konflik hidup adalah hukum drama, (3) situasi, drama atau lakon merupakan rentetan situasi. Situasi yang akan berkembang selama action terjadi. Kedua, alat pengarang berupa dialog. Dialog menggambarkan watak-watak sehingga latar belakang perwatakan dapat diketahui. Dialog lebih memberikan porsi yang besar dan bermakna 199
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
pada action (laku), sebab action lebih jelas-keras dibandingkan kata-kata dialog sehingga ada pemahaman to see is to believe. Ketiga, proses inspirasi merangsang daya cipta (M1 dan M2). M1 sebagai proses mengkhayalkan, menempatkan inspirasi. Proses ini dapat timbul karena pikiran kita menemukan suatu gagasan yang merangsang daya cipta; perhatian kita tertuju pada suatu peristiwa, baik yang disaksikan sendiri maupun yang didengar atau dibaca; perhatian kita terikat pada kehidupan seseorang. Hal ini berlanjut pada M2 dimana menuliskan sebagai tanggung jawab pengarang maka daya cipta akan kita hidupkan ke dalam sebuah cerita, maka terciptalah gambaran cerita yang masih mentah belum teratur sehingga proses kristalisasi kita harus berhasil merumuskan hakikat (intisari) cerita, dan kita mendapat rumus intisari cerita (premise). Keempat, proses mengarang dilakukan melalui tahapan (1) seleksi, pengarang memilih situasi yang harus membangun keseluruhan drama. Banyak drama (lakon, play) menempatkan situasi menjadi kunci action (laku); (2) re-arrangement, pengarang mengatur/menyusun kembali kekalutan hidup menjadi pola yang bermakna; (3) intensifikasi, kisah diceritakan, kesan digambarkan, suasana hati diciptakan oleh pengarang demi mengintensifkan-meningkatkan komunikasi dalam proses kreatif penciptaan naskah drama dengan anasir-anasir artistik sesuai perencananya. Kelima, memahami konstruksi dramatik, berawal dari ide klasik Aristoteles yang terpapar dalam Poetics (Richard Levin, 1967) mengetengahkan perihal teori, analisis, hukum puisi dan drama. Di sana diutarakan teori tentang komedi (suka cerita), tragedi (duka cerita), hukum komposisi drama (terdiri dari awal, tengah, dan akhir) dan pengetahuan trilogi Aristoteles (meliputi kesatuan tempat, waktu, dan kejadian). Selain pengetahuan tersebut, dalam menyusun drama perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini: (1) dramatic plot, minimal mengenali pola dramatik plot klasik-Aristoteles: Protasis permulaan, dijelaskan peran 200
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
dan motif lakon; Epitasio jalinan kejadian; Catastasis puncak laku, peristiwa mencapai titik kulminasi; Catastrophe penutupan. Juga pola dramatik modern-Gustav Freytag: Exposition pelukisan; Complication dengan munculnya kerumitan-komplikasi diwujudkan jalinan kejadian; Climax puncak laku, peristiwa mencapai titik kulminasi; Resolution penguraian, mulai tergambar rahasia motif; Conclusion kesimpulan; Catastrophe bencana; Denouement, penyelesaian yang baik (happy ending); dari tahapan tersebut ditariklah sebuah kesimpulan dan habislah ceritanya; (2) dramatic tension, menurut Brander Mathews (1852-1929) garis action menunjukkan ketegangan (tension) jika digambarkan dalam sebuah piramidal. Jika seorang penulis naskah drama membuat cerita dalam tiga babak, maka kenaikan ketegangan agak mendekati garis lurus dari piramida itu. Babak I penulis dapat mengetengahkan exposition dan rising action dalam kurva melengkung menaik. Pada babak II dimulai dari akhir babak I yang diturunkan sedikit untuk menuju ketegangan pada babak II dimana complication bergerak ke climax. Perlu dipahami penulis bahwa setiap akhir babak penurunan dilakukan guna memberi waktu (time) kepada penonton untuk mendapatkan kembali orientasi atas lakon. Pada babak III kenaikan ketegangan menurun sebab resolution merambat turun menunju conclusion dari lakon itu. Akan tetapi dapat saja penulis tidak melakukan perubahan penurunan melainkan mengakhiri di titik puncak dan lakon pun selesai; (3) trilogi Aristoteles yang meliputi: (i) kesatuan waktu, peristiwa harus terjadi berturut-turut selama 24 jam tanpa suatu selingan; (ii) kesatauan tempat, peristiwa seluruhnya terlaksana dalam satu tempat saja; (iii) kesatuan kejadian, membatasi rentetan peristiwa yang berjalan erat, tidak menyimpang dari pokoknya, ini sering disebut kesatuan ide; (4) memahami tiga unsur prinsip drama, yakni: (i) unsur kesatuan, penulis harus memperhatikan trilogy Aristoteles tentang kesatuan tempat, waktu, dan kejadian; (ii) unsur penghematan, mengingat keterbatasan waktu, harus diusahakan menuangkan problem-problem pokok dan pen201
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
ting saja; (iii) unsur keharusan psikis, dalam fungsi psikis dalam dramaturgi klasik biasa dikenali adanya: Protagonis, peran utama (pahlawan, pria/wanita) yang menjadi pusat cerita, pembawa ide prinsipiil; Antagonis, peran lawan, penentang pembawa ide prinsipiil, sering menjadi musuh yang menyebabkan konflik; dan Tritagonis, peran penengah, bertugas mendamaikan atau menjadi pengantara protagonis dan antagonis; peran pembantu, peran yang secara tidak langsung terlibat dalam konflik, tetapi diperlukan guna peneyelesaian cerita; (5) pemahaman drama modern— drama modern mendobrak hukum-hukum Aristoteles. Drama modern yang baik, menempatkan kegentingan (spanning) untuk memikat penonton dalam waktu sesingkat mungkin. Ada dua macam kegentingan: (i) kegentingan karena hasrat ingin tahu bagaimana akhir cerita; dan (ii) kegentingan identifikasi karena penonton mengidentifikasi-kan/mengintegrasikan diri secara emosional dengan peran. Selebihnya, ada dua emosi yang membangkitkan kegentingan, yakni: (i) emosi pelengkap, berupa emosi yang mengenakkan. Menempatkan kesenangan-kesenangan yang kita peroleh waktu menonton, kegembiraan-kegembiraan itu memperkaya hidup kita; (ii) emosi penyelamatan, emosi yang tidak enak waktu menikmati hasil seni, misalnya penonton mengidentifikasikan diri dengan tokoh yang menderita, meskipun dia sendiri tidak ingin terlibat dalam penderitaan, palingpaling hanya menyaksikan saja. (6) konstruksi cerita drama harus diperhatikan secara teliti. Pada porsi ini komposisi tiga bahan pokok untuk cerita drama harus dikuasai. Cerita drama digubah dengan tiga bahan pokok: premise—karakter—plot. Bahan pertama, premise, ialah rumusan intisari cerita sebagai landasan ideal dalam menentukan arah tujuan cerita. Ditinjau dari pelaksanaan, premise merupakan landasan pola bangunan lakon. Istilah lain dari premise yang biasa digunakan adalah theme, thesis, root, idea, central idea, goal, aim, dreiving, force, subject, purpuse, plan, basic emotion, malahan ada yang menyebut plot. Istilah premise lebih
202
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
memuat kompleksitas anasir-anasir yang telah disebut dalam istilah lainnya. Ada beberapa pernyataan pemahaman premise yang memakai istilah tersebut secara berbeda. Brande Mattews berpendapat a play needs to have theme; Ferdinand Brunetiere mengatakan a goal in the play to start with; dan John Howard Lawson menyampaikan the root-idea is the beginning of the process. Dari beberapa pernyataan tersebut maka premise sangat penting. Premise akan menunjukkan Anda jalan, demikian pendapat Profesor George Pierce Baker. Tidak ada cerita drama yang baik tanpa premise. Beberapa contoh premise: nafsu angkara murka membinasakan diri sendiri (dalam naskah drama Macbeth karya William Shakespeare), siapa menggali lubang untuk orang lain akan terjerumus ke dalamnya (dalam Tartuffe atau Akal Bulus Scapin karya Moliere), tak ada keserasian dalam pernikahan mendorong perceraian (dalam naskah drama A Doll’s House karya Henrik Ibsen), ambisi angkara murka membinasakan diri sendiri (dalam naskah drama Api karya Usmar Ismail), perjuangan mempertahankan martabat bangsa dan membangkitkan semangat juang yang penuh sikap keperwiraan diperlukan pengorbanan jiwa, raga dan cinta (dalam naskah drama Genderang Bharatayuda karya Sri Murtono). Dalam sebuah proses kreatif, premise dapat saja serupa dengan cerita yang sudah ada, misalnya Rara Mendut Pranacitra, Jayaprana Layonsari, Sampek Ingtai, Tristan Isolde, ceritanya memiliki premise serupa dengan Rome Juliet-nya William Shakespeare. Untuk itu, sebagai penulis tidak perlu takut dituduh plagiat jika pilihan premise-nya serupa. Hal yang penting bagaimana melakukan kreativitas berdasarkan ekpresi dramatik dengan arahan premise tersebut. Bahan kedua, charakter, biasa juga disebut tokoh, merupakan bahan yang paling aktif dalam menggerakkan jalan cerita. Charakter adalah tokoh yang hidup, bukan mati; ia adalah boneka di tangan penulis. Character ini seakan berdarag-daging, berpribadi, berwatak, bahkan memiliki sifat-sifat karakteristik tiga 203
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
dimensional. Sifat tiga dimensi itu meliputi dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Dimensi fisiologis berupa ciri-ciri badani seperti: usia – tingkat kedewasaan, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan lain sebagainya. Dimensi Sosiologis adalah latar belakang kemasyarakatan tokoh, seperti: status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat; pendidikan; kehidupan pribadi; pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideologi; aktivitas sosial, organisasi,hobi, bangsa, suku, keturunan. Dimensi psikologis adalah latar belakang kejiwaan seperti: mentalitas, ukuran moral/membedakan anatara yang baik dan tidak baik; temperamen, keinginan, perasaan pribadi, sikap dan kelakukan; intelligence quotient (IQ), tingkat kecerdasan, kecakapan, keahlian khusus dalam bidang tertentu. Andai ketiga dimensi tersebut diabaikan, maka sifat tokoh akan mengalami ketimpangan bahkan cenderung menjadi tokoh yang tidak hidup. Sebagai contoh dalam naskah drama Api karya Usmar Ismail digambarkan tokoh Hendrapati sebagai berikut: Usianya 48 tahun, tubuh tinggi kurus; ia seorang apoteker, pernah mengenyam pendidikan sekolah tinggi di Rotterdam tapi tidak lulus; tingkat hidup kaya, kehidupan pribadi/keluarga penuh pertentangan, bukan keturunan bangsawan, beristri memiliki dua anak yang sudah dewasa; watak dan standar moral rendah, rasa rendah dirinya selalu dibawa dalam setiap tingkah laku; kepandaiannya tanggung, kecakapannya setengah-setengah, tetapi kemauannya keras. Ingin termasyur, terhormat, mau menang sendiri, tak kenal kasihan dan materialistis. Bahan ketiga berupa Plot, merupakan alur atau rangka cerita, biasanya ada susunan empat bagian yang meliputi : Protasis: permulaan, dijelaskan peran dan motif lakon; Epitasio: jalinan kejadian; Catastasis: puncak laku, peristiwa mencapai titik kulminasi; Catastrophe: penutupan. Secara pokok dapat dipahami dalam plot setidaknya tergambar persoalan : konflik krisis klimaks penyelesaian terjalin secara utuh. 204
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Seorang penulis naskah drama dituntut mengetahui naskah dan lakon? Naskah (script) adalah bentuk atau rencana tertulis dari cerita drama. Lakon (play) adalah hasil perwujudan dari naskah yang dimainkan. Dalam tradisi musik, ada partitur, score yang juga merupakan bentuk atau rencana tertulis dari musik. Lantas partitur, score ini dimainkan sehingga terwujudlah nadanada yang sangat musikal dalam ruang dan waktu tertentu. Naskah drama berjudul Romeo Juliet karya William Shakespare tetap tidak berubah, aslinya hanya satu yang ditulis pujangga Inggris itu. Sedang yang banyak beredar adalah copyannya saja. Kemudian lakon drama Rome Juliet hanya terwujud pada saat dipertunjukkan di atas pentas. Sebelum dan sesudah saat memainkannya tidak ada lakon Romeo Juliet yang ada adalah naskah drama Romeo Juliet. Lakon Romeo Juliet yang berkali-kali dimainkan selalu berubah-ubah kondsisi kualitas artsitiknya. Hal itu tergantung pada siapa dan dimana memainkannya. Sedangkan yang namanya naskah drama Romeo Juliet tetap saja adanya. Ekspresi Tulis (Penciptaan) Drama Siswa sebagai sosok manusia memiliki sumber potensi, yakni pribadi yang sehat (badaniah, jiwaiah, intelektual), pengalaman ekspresi dramatik, imajinasi, memori, pengamatan kehidupan, kemampuan menulis, kepekaan panca indra dibongkar untuk menemukan kejernihan pikiran dan ketajaman perasaan untuk melakukan pekerjaan kreatif (- pekerjaan yang dilakukan sekali saja dalam momentum; - manusia yang menghidupi daya kreatif seluruh tindak tanduknya memancarkan kepribadian yang kuat guna menghasilkan karya seni; - keuntungan lahiriah dikesampingkan dahulu) naskah drama yang diidamkan. Secara aplikatif dan teknis dirancang sebagai berikut: Pertama, menemukan ide atau gagasan yang menarik untuk dijadikan bahan mencipta drama. Kedua, menarik tema sesuai ide atau gagasan sehingga ditemukan sebuah statemen lengkap untuk dikembangkan menjadi karya drama. Ketiga, mendiskripsikan 205
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
pengalaman ekspresi dramatik dalam bentuk peristiwa: (a) mendiskripsikan peristiwa besar yang pernah dialami pada masa lampau, baik peristiwa yang menyenangkan maupun menyedihkan; (b) mendiskripsikan peristiwa tersebut di atas dengan detail. Dalam pendiskripsian ini diharapkan ada lima kenangan terpilih yang setiap nomor dijabarkan menjadi satu rangkaian alinea. Pada tahap awal ini, penulis (dalam bekerja) sudah membayangkan terciptanya naskah drama yang nantinya akan dipentaskan. Untuk itu bayangan pementasan perlu diingat: ada kerja sutradara, aktor, penata artistik. Artinya, kerja pementasan adalah kerja kolektif, ini sudah terbayang dari awal oleh penulis naskah drama. Keempat, mencipta latar cerita (setting) satu lingkungan. Penggambaran setting dengan memenuhi syarat (a) ringkas dan esensial, dan (b) tepat dan bermakna. Dalam mencipta setting perlu dilakukan penjelajahan lingkungan dengan pengamatan. Dilaksanakan dengan mengamati sejumlah tempat, yakni tempat yang bernuansa ramai – sibuk dan tempat yang bernuansa sepi. Tahap ini memusatkan perhatian pada setting fisikal secara detail kemudian memperbanyak latihan mencipta adegan-adegan. Bahkan dalam mencipta latar cerita (setting) dapat dengan dua lingkungan. Pada tahapan ini upaya penciptaan dan penggambaran dua lingkungan yang berbeda dalam sebuah pernyataan setting dijalankan. Utamanya, setting masa kini dan setting massa lampau yang diingat. Penggambarannya dengan ringkas, tajam, segar, hidup dan penuh suasana dramatik. Kelima, mencipta tokoh. Suatu tantangan seorang calon penulis naskah drama, harus menciptakan tokoh-tokoh tiga dimensional yang hidup. Calon penulis naskah drama harus mencipta dan mendiskripsikan tokoh masa kini dan tokoh masa lampau penuh daya hidup yang tumbuh dari penulisnya sendiri. Kemudian menempatkan tokoh dalam setting. Dalam menempatkan tokoh harus dilakukan secara putar balik, tokoh masa kini ditempatkan ke setting masa lampau dan tokoh masa lampau di206
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
tempatkan ke setting masa kini. Dengan cara ini didapatkan pengalaman silang sehingga dalam menempatkan tokoh telah memiliki pertimbangan bagaimana sang tokoh itu. Apakah tokoh berkata dan berlaku yang pada akhirnya akan terlahirkan tokoh secara wajar dalam penceritaan drama. Keenam, mencipta dialog. Dialog sebagai wujud tampilan peran yang berbicara di atas pentas sangat penting. Drama tidak dapat ingkar dari dialog sebab elemen ini membedakan dengan karya seni seperti puisi, cerpen, dan roman. Untuk itu, penulis naskah drama melalui dialog antar-tokohnya menampilkan karakter, tokoh harus dapat ber-kata dan ber-laku. Dalam dialog minimal ada aspek: perbendaharaan kata, jenis kata, frasa, kalimat, irama, tekanan, jeda, dan tempo dalam sebuah pola vokal para tokoh. Dialog seyogianya memuat hal-hal literer, filosofis, dan estetis sehingga mempengaruhi struktur dan tekstur keindahan naskah drama. Ketujuh, merangkai/membuat naskah drama, dilakukan dengan membuat deskripsi naratif mulai setting, tokoh, konflik-konflik dari adegan per adegan yang isinya kejadian dramatik. Draf kasar naskah drama menjadi ancangan penting kemudian disempurnakan menjadi naskah drama yang sempurna sesuai kehendak penulis. Sangat perlu dipahami bahwa dalam mencipta naskah drama kali ini lebih mencipta naskah drama pendek atau satu babak. Pada pembelajaran mencipta karya seni drama ini diusahakan masuk ke dalam proses kreatif yang menarik. Setidaknya tutor/pembimbing sewaktu berhadapan langsung dengan siswasiswi, peserta didik yang sudah belajar di bangku sekolahan cukup lama dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia diharapkan memiliki antusiasme yang tinggi dalam mengikuti pelatihan mencipta drama. Hal ini membantu dalam membongkar potensi para calon penulis drama.
207
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Ekspresi Lisan (Bermain) Drama Bagaimana menyiapkan pentas? Pada galibnya sebuah pementasan yang diselenggarakan oleh siswa SLTA tidak berdiri sendiri. Pementasan itu merupakan bagian dari acara-acara lain di bawah kegiatan yang biasanya disebut Pentas Seni. Pada Pentas Seni biasanya dipentaskan juga band, folksong, tari tradisional, tari kreasi baru (modern), pantomim, di samping pidato sambutan yang panjang lebar. Sudah barang tentu, untuk keperluan itu dibutuhkan panitia yang ditugasi mengurus Pentas Seni itu. Pementasan drama, dengan sendirinya, hanya akan mendapat perhatian kecil saja dari panitia. Maka sebelum guru memutuskan untuk memasukkan pementasan drama sebagai salah satu dari sekian banyak mata acara Pentas Seni, sebuah pertanyaan perlu dijawab terlebih dahulu: Apakah pementasan drama akan dimanfaatkankan sebagai kesempatan berlatih secara serius atau tidak? Ataukah pementasan drama itu disiapkan karena Pentas Seni tidak lengkap jika tidak ada pementasan drama? Jawaban atas pertanyaan inilah yang nantinya akan menentukan langkah-langkah kerja yang harus ditempuh. Jika jawabannya memberi kesempatan siswa berlatih dengan serius maka diperlukan panitia khusus untuk ini. Mengapa? Pada dasarnya, sebuah pementasan drama dapat dilihat sebagai kegiatan kolektif. Kolektivitas ini dapat diamati minimal menjadi dua bagian. Pertama, kelompok artistik seperti pemain, kelompok ini tugasnya hanya bermain, memainkan peran di panggung. Tugas ini cukup berat. Bukan saja mereka harus datang latihan pada waktu-waktu yang sudah ditentukan tapi juga menghafalkan dialog. Mereka itulah yang tampil, yang dilihat, dan secara tidak langsung bahkan dinilai. Sukses mereka di panggung akan sangat menentukan-kegiatan pentas berikutnya; kegagalan mereka sangat mungkin mematikan kegiatan pentas di sekolah. Perlu disadari, jika guru bahasa Indonesia tidak atau kurang tertarik kepada seni pentas, dan tidak ada guru-guru lainnya yang tertarik kegiatan itu, maka sekolah biasanya mendatangkan 208
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
pelatih (guru honorer). Kegiatan pementasan drama yang biasanya hanya berkedudukan ekstra kurikuler, dengan guru honorer, posisinya sangat lemah. Ada kalanya, beberapa guru bahkan memandang kegiatan itu dengan sinis: hanya membuang waktu saja. Maka dapatlah dibayangkan, jika permainan drama yang tidak berhasil akan membesarkan sinisme dan bahkan antipati. Oleh karena itu, membebaskan pemain dan tugas-tugas lainnya dalam kaitannya dengan Pentas Seni sangat penting. Kedua adalah kelompok produksi yang ditugaskan menyiapkan keperluan pementasan, mengelola administrasi latihan dan mendatangkan penonton. Bagian ini mengurusi peralatan pentas, perlengkapan panggung (sett, dekor, artistik), perlengkapan pemain (properti seperti buku, kaca mata, tongkat, arloji saku, dan sebagainya), tata busana (kostum), dan tata rias. Dengan dibentuknya kelompok kedua ini, pemain akan dibebaskan dari tugas-tugas mencari ini dan itu, yang bisa membuang tenaga dan mengalihkan perhatian. Sebaliknya, dengan adanya kelompok kedua, mereka yang tergabung dalam kelompok ini dapat lebih suntuk memusatkan perhatian belajar manajemen pementasan, yang pada satu sisi merupakan tulang punggung berhasilnya pementasan. Karena tugas mereka khusus untuk pementasan drama, mereka dapat diminta datang pada saat latihan. Dengan demikian mereka juga belajar memahami apa yang kelak terjadi di pentas, sehingga kesigapan mereka dibangun sejak awal. Dengan dibentuknya dua kelompok ini, maka sejak awal dapat dihindari kerja srabutan: seorang yang tugasnya lebih banyak, tetapi sulit dilacak jika terjadi keteledoran. Untuk itu, situasi saling menyalahkan dihindarkan jauh-jauh. Untuk pemain perlu melakukan latihan dasar. Konon dalam latihan dasar ada yang diberi nama begitu dahsyat, misalnya olah sukma, olah jiwa, yang pelaksanaannya kurang begitu jelas. Latihan-latihan dengan nama yang dahsyat itu pada dasarnya untuk menyiapkan pemain agar selalu memiliki kesigapan dan mudah disutradarai. Sejauh latihan dasar itu sesuai dengan 209
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
kondisi siswa dan sekolahnya, tidak ada jeleknya dilaksanakan. Latihan dasar biasanya meliputi: 1. Pernapasan. Perlu disadari bahwa kegiatan bernapas adalah proses menarik udara ke dalam paru-paru dan mengeluarkannya. Proses ini memungkinkan pergantian oksigen, yakni udara segar dan yang dari dalam darah. Darah menyerap oksigen dari udara melalui kegiatan hemoglobin di dalam sel-sel darah yang hidup dan membawanya ke seluruh tubuh manusia. Sesudah kegiatan menyerap oksigen berhenti, darah menyerap karbon dioksida yang dikeluarkan oleh jaringan-jaringan dan membawanya ke paru-paru untuk dihembuskan ke luar. Penguasaan pernapasan ini akan menjaga stabilnya suara, sekaligus memberikan kemungkinan kepada pemain untuk membuat suaranya lentur, sesuai dengan tuntutan perannya. Pernapasan berkaitan erat dengan kesantaian. Biasanya, apabila siswa diminta berlatih pernapasan, mereka segera menegangkan urat-urat leher dan bahu. Ini akan mengganggu suara. Dengan latihan pemapasan teratur, ketegangan dapat dihindari; pada gilirannya, akting yang wajar dan bernas dapat dicapai. Untuk melatihnya, siswa diminta tidur telentang dan membayangkan bahwa dia berada di atas awan, tempat tidur busa atau mandi dengan air hangat. Mereka diminta menggerakkan anggota badan pelan-pelan sehingga merasakan segalanya mengalir lembut. Semakin kuat bayangan mereka sedang tidur diatas awan, semakin terasa bahwa mereka mengalir dan mengambang dan pengalaman santai-tenteram akan dialami. 2.
210
Olah Vokal: Suara, Diksi dan Cakapan. Suara dan cakapan adalah dua hal pokok yang harus digarap dengan suntuk, karena keduanya sangat menentukan suksesnya pementasan. Apa yang harus dicapai dalam latihan suara dan cakapan atau lazim disebut vokal adalah menyiapkan bagaimana dialog ucap. Perlu diingat bahwa dalam pementasan, berbeda dengan naskah tertulis, apa yang sudah diucapkan
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
tidak dapat diulangi. Karena itu, vokal harus menarik dan jelas, dijaga supaya tetap menarik dengan tujuan tetap memikat penonton mengikuti jalannya cerita: dijaga ucapannya yang jelas itu agar menarik dan juga dipahami. Pada dasarnya, bahasa Indonesia tidak mempunyai tekanan suku kata yang dapat mengubah arti. Hanya untuk menciptakan irama, seperti dalam berdeklamasi yang dilakukan Sri Murtono (almarhum, seniman dan pendiri ASDRAFI) terkadang suku pertama setiap kata mendapat tekanan yang lebih keras. Namun dalam dialog drama, terlebih drama realistik, tekanan itu tidak tampak, setiap suku kata dalam setiap kata mendapat tekanan yang sama. Siswa perlu dilatih mengucapkan vokal a, i, u, e, o dengan mulut terbuka penuh. Mungkin dalam percakapan sehari-hari ini tidak perlu; akan tetapi dalam pentas, hal-hal ini perlu diproyeksikan karena suara diharapkan dapat sampai pada penonton di deretan tempat duduk paling belakang. Biasanya vokal yang mantap juga berhubungan dengan rasa percaya diri pemain. Rasa percaya diri ini tumbuh jika pemain yakin dengan apa yang dilakukan. Keyakinan diri ini erat berkait dengan pemahaman dan penghayatan perannya dan penguasaan seluruh jalan kisah drama. Dengan kata lain, dia tidak hanya paham betul dengan adegan dimana dia muncul, tetapi juga adegan-adegan yang mengawali dan yang mengikuti, walaupun di sana dia tidak hadir. Ada kalanya seorang pemain mampu mengucapkan kata dengan jelas, atau “las-lasan”, tetapi toh dialog yang diucapkan tidak merangsang pengertian. Jika ini terjadi, maka persoalannya pada apa yang lazim disebut phrasing teh-nique atau teknik mengucapkan dialog. Kalimat atau dialog yang panjang harus dipenggal-penggal lebih dahulu, sesuai dengan satuan-satuan pikiran yang dikandungnya. Satu hal lagi yang masih berhubungan dengan latihan vokal ialah perlunya dipahami adanya nada ucapan. Kata “gila” dapat berarti umpatan keras, pujian, kekaguman, 211
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
jika diucapkan dengan nada yang berbeda-beda. Ini artinya nada ucapan tidak hanya berfungsi untuk menciptakan dinamika, tetapi juga menciptakan makna. Pada saat pemain mengucapkan dialog, kata-kata ternyata tidak diucapkan datar, tetapi terkandung di dalamnya lagu kalimat. Lagu kalimat itu menyarankan pertanyaan, perintah, kekaguman, kemarahan, kebencian, kegembiraan, dan sebagainya. Di samping itu, lagu kalimat juga menyarankan dialek tertentu, misalnya dialek Jawa seperti terdengar dari lagu kalimat yang diucapkan pemeran dalam drama seri “Losmen”, Dalam film Naga Bonar terdengar lagu kalimat yang menyarankan dialek Batak. Film lainnya yang peristiwanya dilukiskan terjadi di Jakarta, dialognya diucapkan dengan lagu kalimat yang menyarankan dialek Jakarta. Berbagai macam lagu kalimat yang menyarankan dialek kedaerahan itu kiranya perlu diajarkan dan dilatihkan untuk meluaskan cakrawala pandangan siswa, sekaligus memperkaya penghayatannya terhadap berbagai peran yang menunjukkan asal tempat tokoh yang dimainkan dalam hubungannya dengan perwatakan. 3.
212
Olah Tubuh: Mimik, Plastisitas, dan Gerakan. Salah satu masalah akting bagi pemula, seperti dikatakan oleh Arifin C. Noer adalah problema tangan. Bowskill dalam bukunya Stage and Stagecraft menyebutnya, “Apa yang akan kulakukan dengan kedua tanganku?” Pertanyaan dapat dilanjutkan dengan, “Apa yang harus aku lakukan dengan kakiku?” Tubuh dan gerakannya dipersoalkan karena terkadang seorang pemain berdiri, bahkan berjalan, dan bergerak dari kursi ke meja tampak kaku. Tidak hanya itu, tubuh sebenarnya juga alat bicara. Gerakan tertentu dapat menunjukkan kejemuan, kegembiraan, duka, kejengkelan, dan lain sebagainya. Bahkan, gerakan tertentu menyarankan perwatakan; tua, penggelisah, tidak sabar. Agar tubuh dan gerakannya tidak hanya bermakna tetapi juga memikat, perlu disadari perlunya
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
irama. Bagaimana seorang gadis yang masuk ke panggung, berhenti sedetik dan melihat ke kiri dan kanan, menghampiri meja, mengambil secarik kertas, membaca tulisan pada kertas itu, lantas tersenyum. Dari contoh ini tampak bahwa gerakan tubuh sebenarnya “frasa” atau bahkan “kalimat”. Irama gerakan itu menegaskan makna dan membuatnya indah dilihat penonton. Oleh karena itu, jika di panggung disajikan adegan seorang lelaki mengetik, yang dilakukan bukan asal mengetik. Ketukan ketikan yang menimbulkan bunyi tik-tik-tik-trrrr, tik-tik-tik-tik-trrrr, dapat disiapkan sehingga berirama. Hal yang sama juga dapat dikerjakan untuk adegan seorang siswa yang tengah minum teh. Mengangkat gelas, menempelkan ke bibir, meneguk, meletakkannya kembali di meja; mengangkat lagi, dan seterusnya. 4.
Kepekaan dan Kesadaran Indera. Di depan sudah disebutkan, sebuah perbuatan atau laku di panggung dapat bernas dan berbobot jika dilandasi alasan. Persoalannya ialah bagaimana menciptakan alasan itu. Rupanya, alasan ini tidak hanya merupakan konsep atau apa yang dipikirkan, tetapi juga sesuatu yang dialami, setidaknya secara batin. Pengalaman itu dapat terjadi karena kita mengaktifkan indera kita: pendengaran, penciuman, perabaan, pencecapan, dan penglihatan. Karena kita mendengar seseorang mengatakan kurang baik tentang kita atau sahabat kita, maka kita marah. Karena para raksasa di hutan itu mencium bau manusia, maka bermunculanlah mereka dari persembunyiannya dan mencegat Arjuna yang tengah berjalan menembus hutan menuju pertapaan Wukirretawu. Demikianlah seterusnya, indera menangkap objek rangsangan dan melahirkan tanggapan. Tanggapan yang muncul dari dalam diri itu menjadi alasan suatu perbuatan. Sebelum tanggapan dalam perbuatan nyata terwujud, reaksi batin terhadap rangsangan itu menjadi pengalaman batin pemain. Pergolakan itu harus dihayatinya sehingga menjadi dorongan yang kuat dan alasan yang man213
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
tap ketika Arjuna pada akhirnya melaksanakan perang melawan raksasa. Karena di panggung ada benda, suara, dan cahaya yang dapat dilihat, diraba, didengar, dibaui, dan bahkan dicecap (misalnya makanan atau minuman), maka rangsangan untuk menciptakan motif atau alasan itu tersedia di panggung. Persoalannya: bagaimana rangsangan dari luar yang ditangkap indera dapat merangsang tanggapan yang kemudian menjadi alasan perbuatan dalam hubungannya dengan alur drama itu? Pada dasarnya, seseorang memiliki dalam dirinya harapan, kecemasan, dan ambisi. Ketiga hal ini yang akan menafsirkan rangsangan dari luar itu. Jika kita mendengar suara aum, maka bukan aumnya persis yang menguasai benak kita, tetapi asosiasi yang muncul darinya: singa, harimau, atau yang semacam itu. Jika kita pernah mengalami ketakutan yang hebat karena melihat harimau lepas dari kandangnya, di suatu sore di kebun binatang, bayangan itu juga akan muncul. Akan tetapi, jika kita seorang penjinak binatang buas, maka aum itu akan bermakna lain; aum akan merangsang ambisinya untuk menjinakkan binatang itu, menerbitkan harapannya untuk menunjukkan kehebatannya sebagai penjinak binatang. Demikian jelas bahwa rangsangan itu netral adanya; makna yang timbul sebenarnya berupa hubungan antara rangsangan lewat indera dan pengalaman orang sebelumnya. Dalam hubungannya dengan tugas penyutradaraan, bunyi aum harus dihubungkan dengan peran yang harus dibawakan; demikian pula warna gelas, taplak meja, lampu, pakaian, ledakan senjata api, lilin, dan lain sebagainya. Dalam hubungannya dengan indera ini, gerakan tertentu mungkin akan membuat seorang pemain—karena pada dasarnya ada cacat—menjadi pusing, misalnya gerakan berputar yang cepat, melompat, berdiri dengan cepat karena terperanjat atau marah, dan lainnya lagi. Kesigapan batin memang pada akhirnya harus pula didukung oleh physical fitness dalam 214
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
arti yang luas. Jika pengalaman batin telah terjadi dalam diri dan bahkan mulai dirasakan menjadi alasan perbuatan tertentu, tetapi fisik tidak mendukung untuk melakukannya, maka gagallah permainannya. Namun demikian, ada baiknya guru waspada akan hal-hal yang bisa merugikan siswa kelak. Untuk menajamkan indera penglihatan, siswa dapat dilatih melihat kontur atau garis pinggir suatu benda. Tuangkanlah air setetes ke taplak meja, maka akan tampak ada kontur yang memberikan penegasan bagian yang basah itu. Indera pendengaran dapat dilatih mendengarkan suara paling lemah di tengah suara-suara keras. Ini memerlukan konsentrasi. Mungkin dengan bantuan mata tertutup dan pemusatan kepada suara terlemah itu, maka yang paling sayup terdengar jelas. Indera pencecapan juga dapat dilatih dengan mencecap makanan dengan mata tertutup, atau menjilat kulit sendiri. Pada saat makan makanan itu, indera pengimbuan juga diaktifkan, demikian pula indera perabaan, sehingga ketika menikmati makanan, bukan hanya rasa asin, gurih, manis yang masuk ke dalam otak, tetapi juga bau makanan dan juga kasar-halusnya, keras-lembutnya, basah-keringnya, dan seterusnya. 5.
Improvisasi. Istilah ini dikenal dan menjadi populer setelah Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra mengenalkannya sebagai salah satu metode latihan pada awal tahun 1970an. Pengertian improvisasi adalah, pertama, menciptakan, memainkan, menyajikan sesuatu tanpa persiapan; kedua, menampilkan sesuatu dengan mendadak; dan ketiga, melakukan sesuatu dengan begitu saja (offhand). Tujuan latihkan improvisasi adalah merangsang spontanitas. Namun, spontanitas itu harus serasi dengan tuntutan seluruh sajian pementasan dan tetap dapat dipertanggungjawabkan. Tampak sekarang bahwa sebagai metode latihan untuk merangsang spontanitas, dalam kaitannya dengan tindakan spontan, tetap dapat dipertanggungjawabkan, improvisasi mem215
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
berikan kemungkinan menciptakan akting yang wajar dan tidak dibuat-buat. Latihan-latihan dapat dikerjakan dengan memberikan kesempatan siswa berdiri atau duduk di depan cermin, dan meminta mereka menanggapi bayangan mereka sendiri di cermin itu. Bagaimana mereka menanggapi dengan gerakan ketika mereka diminta menutup mata dan meraba wajahnya sendiri. Jika latihan improvisasi berhasil, maka siswa akan mampu menciptakan akting wajar, kuat mengesankan. Mungkin ini akan menarik kaum pendidik untuk mengembangkannya sebagai metode pengembangan watak yang positif. Demikianlah lima masalah dasar yang dapat dilatihkan guru kepada siswa dalam rangka menyiapkan pementasan sederhana. Pementasan Drama Drama tidak sempurna jika tidak dipentaskan. Pada dasarnya, naskah drama adalah karya sastra. Sebagai karya sastra, naskah drama adalah karya seni dengan media bahasa kata. Mementaskan drama berdasarkan naskah drama berarti memindahkan karya seni dari media bahasa kata ke dalam media bahasa panggung, tentu ini melalui tahapan-tahapan tertentu: Pemilihan Naskah Drama. Memilih naskah drama bukan soal yang gampang. Ada banyak contoh yang menunjukkan sebuah naskah dipilih karena satu sekolah pernah mementaskan naskah itu dengan sukses. Guru tergoda untuk melakukan hal yang sama. Akan tetapi, jika ini merupakan landasan dalam pemilihan naskah, perlu diperhitungkan apakah sekolah itu memiliki kondisi yang sama dengan sekolah yang telah sukses mementaskan naskah itu. Maksudnya, apakah sekolah itu mempunyai potensi, misalnya pemain-pemain yang sama kuat, waktu latihan yang tersedia, dukungan seluruh staf guru, kepala sekolah, tempat latihan, dan sebagainya yang sangat mempengaruhi gairah siswa dalam berlatih. Dengan kata lain, sewaktu memilih naskah tentulah sudah dapat dibayangkan kesulitan dalam me216
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
nguasai naskah itu: mungkin dialognya panjang-panjang, persoalannya terlalu rumit, perwatakannya terlalu kompleks, perkembangan alurnya berbelit-belit, dan temanya kurang jelas bagi ukuran pelajar SLTA. Semuanya ini relatif adanya dan sangat tergantung dari kondisi sekolah. Karena itu perlu diperhitungkan sejak awal untuk menghindari peribahasa besar pasak daripada tiang atau gegedhen jagak kurang empyak. Menentukan Pemain. Sesudah naskah ditentukan dengan memperhitungkan kondisi tersebut di atas, tahapan mencari calon-calon pemain dapat dimulai. Ada baiknya dipasang poster untuk merangsang calon-calon pemain berdatangan. Semakin banyak calon, semakin banyak kemungkinan guru untuk memilih pemain yang tepat. Biasanya, lebih-lebih jika memang belum pernah punya pengalaman, siswa-siswa SLTA malu-malu. Rasa malu itu biasanya tampak sekali pada waktu mereka diminta membaca dialog dalam seleksi. Mulut mereka rasanya sulit dibuka, walaupun timbre suaranya memadai untuk peran yang akan dibawakan. Jika dengan berbagai rangsangan, seorang calon pemain sukar “membuka mulut”, walaupun cantik atau ganteng sekalipun, sebaiknya ditinggalkan dahulu dan dicari calon yang lain. Soalnya, untuk melatihnya akan memerlukan tenaga ekstra. Ini juga berkaitan dengan waktu latihan, kesibukan guru, ada tidaknya ruang, dan kesediaan calon pemain itu sendiri. Baru sesudah masalah suara ini cukup memuaskan, postur tubuh dan wajah diperhitungkan. Jangan lupa, di panggung, kedua hal ini dapat ditutup oleh permainan yang bagus, kecuali oleh perwatakan secara eksplisit disebut. Sebagai contoh, dalam dialog dikatakan bahwa Unang adalah pemuda jangkung; Evi disebut tokoh lain sebagai gadis cantik; Didik dan Ochi dibicarakan sebagai berhidung mancung, ganteng, dan sebagainya. Untuk itu, pemilihan pemain berdasarkan modal dasar: suara dan pertimbangan fisik lainnya dalam rangka perannya. Masih ada hal lain yang perlu dipertimbangkan: apakah calon pemain itu sudah mempunyai kegiatan lain di luar pentas yang dapat 217
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
dibayangkan pada suatu waktu akan mengganggu latihan. Di samping itu, apakah calon pemain itu bukan siswa yang lemah dalam pelajaran, sehingga jika dia menurun nilainya dalam ulangan atau tidak naik kelas, maka kegiatan drama bisa menjadi kambing hitam. Pendek kata, memilih pemain harus cermat, dan guru harus tahu betul keadaan calon-calon pemain itu. Jika kita menyaksikan sebuah pementasan drama, maka kita melihat seorang atau lebih melakukan perbuatan. Seorang dara berjalan dari kursi ke meja, mengambil pisau, memegangi pisau itu. Lalu berjalan lagi ke panggung-depan (front stage), dan tepat pada tempat tertentu spot light menyala menerangi si dara itu. Lantas terdengar musik keras-keras ketika sang dara tersebut mengamati pisau. Kita melihat perbuatan, laku, atau akting (acting). Pada dasarnya, siswi putri yang memerankan dara itu hanya melakukan perbuatan seperti yang ditulis pada naskah (biasanya ditulis dalam kurung atau dengan huruf kapital atau dicetak miring), ternyata tidaklah cukup. Perbuatan atau laku atau akting itu harus hidup. Artinya, dara itu harus mempunyai alasan mengapa dia melakukan perbuatan seperti itu. Alasan itu tidak tampak pada naskah. Dia harus digali dari naskah pada setiap gerakan, dialog, yang dibayangkan akan dilakukan di panggung. Ada beberapa jenis alasan, tetapi yang paling banyak menuntut perhatian ada dua. Pertama, alasan yang langsung menjadi motif perbuatan. Misalnya, seorang gadis berjalan mendekati seorang ibu yang tengah menyayur dan membawa pisau. Dara itu melakukan perbuatan itu karena si ibu berteriak meminta pisau. Maka alasan dara itu sekadar membawakan pisau, tak kurang dan tak lebih. Ada alasan lain yang tidak langsung menjadi motif perbuatan. Walaupun si ibu tidak meminta pisau, dara itu membawakannya pisau. Alasannya, dara ingin membantu ibu menyayur. Biasanya akting seperti ini lebih dramatik, kadang menarik, mengesankan, karena ada nuansa lucu tetapi mengharukan. Ada nuansa tipu muslihat kecil-kecil, romantika kecil-kecil, yang jika
218
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
ternyata diketahui dara dengan pisaunya itu akan menimbulkan dramatika yang besar dan mengguncangkan. Jelasnya, alasan mendorong perbuatan. Kemudian perbuatan itu menjadi alasan untuk peristiwa berikutnya yang lebih besar. Persoalan pokok memindahkan gagasan atau ide dari naskah drama ke pentas letaknya di sini: menciptakan alasan-alasan itu. Jadi, alasan itulah yang menghidupkan akting, sehingga akting bernas dan berbobot, sekaligus menyatukan seluruh pentas menjadi satu kebulatan yang bermakna. Soal lain yang menyangkut pemindahan ide dari naskah ke pentas adalah menentukan pilihan tafsir dari sekian banyak kemungkinan. Pertama, apakah sebuah pentas akan disajikan serealistik mungkin, dengan menghalalkan bisik-bisik, jika naskahnya menuntut begitu. Akan tetapi walaupun bisik-bisik bentuk-wujud aktingnya, bisik-bisik itu toh harus terdengar oleh penonton. Adakah mikrofon yang sangat peka tersedia, yang bisa diselipkan di busana dan tanpa kabel? Bagaimana dengan tata riasnya, peralatan panggung, peralatan pemain, pencahayaan, dan lainnya lagi? Konsistensi atau tepatasas sikap harus terwujud di pentas. Sekali pilihan dijatuhkan (realistik, misalnya) maka seluruh wujud pentas adalah dunia yang realistik itu. Ini artinya, kecermatan sangat dibutuhkan untuk menyajikan yang detil. Akan tetapi, panggung juga bisa disajikan bagaikan sebuah lukisan. Pelukis Yayat Surya misalnya. tidak menggambarkan rumah yang utuh dan detil, tetapi cukup garis yang patah-patah tetapi menyarankan bayangan rumah. Hal demikian dapat pula dilakukan di pentas. Untuk menyajikan suasana antik cukup disajikan satu meja antik dengan kursi sejumlah yang dibutuhkan dan dengan latar belakang kosong. Pilihan kedua ini akan menampilkan suasana lebih puitik; yang pertama, yang realistikdetail itu, akan lebih menyajikan suasana prosaik: serba jelas, tanpa nuansa-nuansa. Kedua, sebagai karya sastra, naskah drama menawarkan kemungkinan tekanan. Hamlet, karya Shakespeare
219
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
yang sudah diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo, bisa disajikan dengan tekanan seorang pemuda cerdas di tengah kebrengsekan moral bangsanya; atau seorang pemuda yang banyak merancang dan terlalu sibuk berteori dan kurang praktis; atau seorang yang mencoba menggenggam nasibnya di tangannya sendiri. Pilihan tekanan ini akan membawa konsekuensi penafsiran peran dan bagaimana mengembangkannya dalam rangka alurnya. Kemantapan tafsir ini akan sangat membantu suksesnya pentas, karena pemain tahu benar apa yang dilakukannya, juga penata cahaya, tata rias, penata artistik, dan lainnya lagi. Sekali sutradara melangkah tidak jelas, seluruh pentas tidak akan jelas pula! Ketiga, sutradara dapat memilih: setia kepada naskah atau memandang naskah sebagai bahan mentah untuk pementasan. Jika kedua yang dipilih, sutradara bisa merancang pentas lucu walaupun dia menggarap Hamlet, yang setiap orang tahu itu naskah tragedi. Hamlet disajikan sebagai tokoh tolol, yang tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah musuh-musuhnya, yang sebenarnya keluarganya sendiri. Monolog yang terkenal “berbuat atau tak berbuat itulah soalnya” dapat disajikan dengan “sok filsafat” sehingga Hamlet tampak sebagai pahlawan yang konyol. Tafsir seperti ini muncul akhir-akhir ini sebagai trend atau kecenderungan kesenian yang “antihero”; maksudnya, jika banyak orang yang terkagum kepada pahlawan, pada tafsir ini apa yang dimaksud pahlawan itu dipertanyakan kembali. Apa yang dimaksud dengan penyutradaraan di Indonesia, pada umumnya tidak pernah berpadanan dengan kata directing dalam bahasa Inggris. Jika seorang guru menyutradarai, sebenarnya dia tidak hanya menyutradarai tapi Juga mengajari bagaimana caranya main. Menyutradarai dalam arti yang sebenarnya hanyalah mungkin jika yang dihadapi pemain-pemain yang berpengalaman; mereka bahkan untuk pertama kalinya naik pentas. Karena itu, menyutradarai sebenarnya juga suatu proses belajar dalam bentuknya yang lain. Pada kesempatan ini, banyak kemungkinan akan ditemukan bibit-bibit calon pemain yang baik, 220
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
bahkan perancang tata rupa seperti cahaya, busana, dekor, penanggung jawab panggung, atau perancang tata pentas. Pada tahap awal menyutradarai siswa-siswa itu, tentulah latihan dasar harus diberikan: teknik vokal (mengucapkaan kata yang jelas dan tidak perlu keras) dan teknik phrasing (memotong-motong kalimat panjang dalam mengucapkannya sehingga apa yang dikandung dalam kalimat itu menjadi eksplisit). Kedua, kebersamaan, yaitu menyadarkan calon pemain bahwa sukses pementasan bukan karena kehebatan seorang aktor atau aktris yang sangat dahsyat. Kebersamaan juga berarti bahwa seorang pemain yang tampil menjadi bagian dari jagat panggung itu; ia menjadi bagian dari kursi-meja, lampu, gelas; alat-alat lain yang tersedia di panggung. Pemain harus menghubungkan diri secara batiniah dengan benda-benda itu, yang diwujudkan, misalnya dengan menyentuhnya, walaupun tidak disebutkan pada naskah. Dia harus merespons pemain-pemain lain, walaupun pemain itu tidak langsung berbicara kepadanya. Jika seorang pemain tidak memberi tanggapan terhadap pemain lain yang masuk panggung, dia harus mempunyai alasan mengapa demikian. Dengan cara ini, sikapnya yang acuh bermakna: mungkin benci, mungkin muak, mungkin memancing perhatian, atau yang lain. Persoalan yang sukar adalah: jika ada dua pemain yang tengah dalam dialog dan ada beberapa pemain yang lain di panggung, tetapi tidak berdialog. Bagaimana pemain yang diam itu dijaga agar tetap berada dalam satu kesatuan utuh jagat adegan itu. Jika tidak, dan dialog dua pemain itu cukup panjang dan serius dalam arti membicarakan masalah pokok drama itu, pemain yang diam akan menjadi dunia sendiri yang tidak integral, tidak menyatu. Di samping itu, pemain yang tidak berdialog akan sangat tersiksa dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pemandangan seperti ini sangat menjengkelkan penonton. Pada titik ini penyutradaraan pementasan itu gagal. Hal yang juga cukup sukar adalah menjaga keseimbangan. Ada pemain yang berbakat hebat dalam menghafal dialog dan mudah 221
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
disutradarai; tapi ada pula pemain yang sulit menghafal, sukmanya agak bebal, kurang lentur, dan sukar menjiwai peran. Kesadaran dirinya begitu kuat dipertahankan dan tidak untuk menghidupkan perannya. Di panggung, pemain yang model kedua ini akan dimakan oleh yang pertama. Jika mereka merupakan pasangan, maka yang kedua harus digarap lebih dahulu secara khusus, atau diganti kalau perlu. Dalam hubungan menjaga keseimbangan ini, pemain yang mudah menghafal ditugasi pula untuk memancing dialog yang harus diucapkan lawan bicaranya yang lupa. Karena itu, perlu ditekankan pada saat latihan, mana kata kunci yang kelak menjadi pelatuk lancarnya dialog. Suksesnya pemain yang mudah menghafal tergantung dari lawan bicaranya, dia tidak dapat berhasil sendirian. Masih dalam hal kebersamaan kesadaran akan saat-tepat sangat penting. Misalnya, saat mana pemain harus muncul. Terlambat muncul akan mengurangi dramatikanya dan mengganggu irama, apalagi jika adegan itu hampir menuju puncak. Untuk menumbuhkan kesadaran ini, kesigapan atau readness sangat perlu ditumbuhkan. Salah satu cara, siswa dilatih tidak banyak bergurau walaupun tidak sedang main: di samping itu mereka diminta selalu stand by walaupun saat munculnya di panggung masih cukup lama. Konsentrasi memang memerlukan “ancang-ancang” dan tidak timbul mendadak. Saat tepat ternyata bukan hanya penting bagi pemain, tetapi juga bagi penanggung jawab ilustrasi musik dan lighting man. Memang, mereka bisa saja menyimak dialog pada naskah untuk mengetahui kapan musik harus mengumandang dan kapan spot light harus menyala. Akan tetapi, cara seperti ini terlalu mengambil risiko. Oleh karena itu, kelompok kedua ini perlu diikutsertakan dalam latihan, setidaknya menjelang penyempurnaan. Dengan cara ini, mereka dapat belajar mengikuti irama permainan, dan irama itu akan menggema serta dalam batinnya. Dengan demikian, kebersamaan di sini adalah kebersamaan seluruh anggota pelaksana pementasan; sebab mereka itulah yang menciptakan jagat panggung pada waktu pementasan 222
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
berlangsung. Ini artinya, keseimbangan yang harus dijaga sutradara bukan hanya antarpemain, tetapi juga antara pelaksana tata pentas, kostum, pencahayaan, ilustrasi musik, permainan, dan peralatan lainnya. Pendeknya, sutradara mengontrol semuanya. Untuk melaksanakan penyutradaraan terkadang guru banyak mengalami kesulitan, terutama siswa yang pada umumnya belum punya pengalaman. Sejauh diketahui, seorang guru yang ditugasi menyiapkan pementasan biasanya juga memberi pelajaran drama, sebagai pelajaran ekstrakurikuler, seminggu dua jam. Pada kesempatan itu, di samping guru dapat mengenalkan jagat panggung, misalnya jenis-jenis pentas: arena, tapal kuda, dan sebagainya. Tentu saja, petunjuk ini masih jauh dari memuaskan. Oleh karena itu dianjurkan guru dan siswa juga membaca bukubuku yang lain yang dapat membantu tugasnya menemukan dan mengembangkan bakat siswa serta membuka kesempatan mereka mengapresiasikan diri. Epilog Pementasan drama yang dimainkan oleh generasi muda, termasuk siswa SLTA, dewasa ini mulai menunjukkan gejala menggembirakan. Maksudnya tentu bukan untuk menghina kesenian itu, tetapi satu usaha menyajikan tafsir baru terhadap khazanah sastra drama dalam rangka lebih memberikan apresiasi di tengah perubahan sosial dan nilai-nilai budaya. Suatu misi yang terpuji. Demikianlah sesungguhnya seorang guru atau sutradara memiliki cukup kemerdekaan untuk berbuat terhadap naskah drama. Hanya, jika sebuah pementasan sekolah ditujukan untuk merangsang kreativitas, menempuh kebebasan tafsir seperti di atas, maka sebelum pementasan dimulai perlu adanya penjelasan ala kadarnya sehingga penonton disiapkan terlebih dahulu. Ini perlu untuk menanggulangi dugaan yang tidak diinginkan. Misalnya, menghindari tuduhan bahwa pementasan drama sekadar untuk berbuat yang aneh-aneh.
223
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Bukankah mendidik siswa selalu mempunyai alasan bagi setiap langkah dan ini sangat penting di tengah kehidupan yang kompleks dan adanya ketidakpuasan oleh ini dan itu? Salah satu cara mengatasi ketidakpuasan siswa mungkin dengan mengajak mereka memberdayakan potensi diri untuk menumbuhkembangkan ekspresi dramatik guna merenungi arti hidup yang lebih humanis.
224