POLITIK HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
MAKALAH Tugas Mata Kuliah Perancangan Perda
Oleh : Riska Kurnianingrum 126010100111003
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara teoretikal, fungsi pembentukan hukum pada dasarnya merupakan fungsi melaksanakan perintah undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Pembentukan hukum oleh hakim dalam rangka memutuskan perkara yang sedang diperiksanya, termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan baik oleh badan eksekutif secara tersendiri maupun bersama-sama dengan badan legislatif, tidak lain sebenarnya fungsi melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undangundang. Pembentukan hukum dalam prinsip pembagian kekuasaan (division of powers principle) merupakan fungsi ketatanegaraan/pemerintahan yang dijalankan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk membentuk hukum, baik hukum yang tertulis (geschreven recht) maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht). Dalam konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers), fungsi ini menjadi otoritas badan legislatif saja, badan-badan kekuasaan lain tidak memiliki fungsi tersebut. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (division of powers), fungsi ini dijalankan baik oleh badan legislatif, ekskutif maupun yudikatif. Etimologis kata politik berasal dari bahasa Yunani polis yang dapat berarti kota atau negara-kota. Dari kata polis ini kemudiIan diturunkankata-kata lain seperti ”polites” (warganegara) dan ”politikos” nama sifat yang berarti kewarganegaraan (civic), dan ”politike techne” untuk kemahiran politik serta ”politike episteme” untuk ilmu politik. Kemudian orang Romawi mengambil oper perkataan Yunani itu dan menamakan pengetahuan tentang negara (pemerintah) ”ars politica”, artinya kemahiran (kunst) tentang masalah-masalah kenegaraan.1 Menurut Prof. Sudarto ”Politik Hukum” adalah kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturanperaturan
yang
dikehendaki,
yang
diperkirakan
bisa
digunakan
untuk
mengekspresikan apa yang dicita-citakan. Pembentukan undang-undang merupakan 1
F. Isjwara, S.H.L.L.M. Pengantar Ilmu Politik, Putra Abardin, Bandung: 1999, hal 21.
proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh yang luas, karena itu (undang-undang) akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang oleh penguasa digunakan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan sesuai dengan yang dicitia-citakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Undang-undang mempunyai dua fungsi, yaitu: 1. Fungsi untuk mengekspresikan nilai, dan 2. Fungsi instrumental. Berpijak pada kedua fungsi hukum di atas, maka dapat dikatakan bahwa hukum bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan. Ini berarti, apabila kita mau membicarakan ”Politik hukum Indonesia”, maka mau tidak mau kita harus memahami terlebih dahulu ”apa yang menjadi citacita dari bangsa Indonesia merdeka”. Cita-cita inilah yang harus diwujudkan melalui sarana undang-undang (hukum). Dengan mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, maka dapat ditentukan ”sistem hukum” yang bagaimana yang dapat mendorong terciptanya sistem hukum yang mampu menjadi sarana untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.2 Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perundang-undangan memang bentuk pengaturan legal dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Namun peraturan hukum formal tak pernah netral, karena ada politik hukum di belakangnya. Hukum formal itu lahir, hidup, dan juga bisa mati, dalam dinamika budaya hukum. politik hukum menjadi sangat terasa, karena pemerintah pusat sangat berperan dalam penyusunannya, sementara sebagai pemerintah pusat juga menjadi pihak dalam tarik ulur posisi otonomi daerah. Dengan demikian suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud aplikatif politik hukum sebisa mungkin bersifat netral dan tidak memihak. Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan 2
Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH,MH, Politik Hukum, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan Undip, Semarang: 2007, hal 13.
pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (politic body).3 Sedangkan pemahaman atau definisi dari politik hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.4 M. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik hukum meliputi: Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.5 Sebagaimana telah disebutkan, bahwa politik peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.6 Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-
3
HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II ,LP3ES, Jakarta, 2001, hal. 5. Mahfud MD menyebutkan bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersanginan. Lebih jauh Mahfud MD mengemukakan bahwa hubungan kausalitas antara hukum dan politik yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum determinan atas politik yaitu kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua; politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga; politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya 4 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II ,LP3ES, Jaklarta, 2001, hal. 9 5 Ibid. Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985. 6 Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1
undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.7 Abdul Wahid Masru mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan (beleids/policy) yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai dengan penegakannya (implementasinya).8 Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, dimana dapat kita melihat gambaran mengenai politik perundang-undangan yang sedang dijalankan oleh pemerintah/negara? Untuk melihat perkembangan politik perundang-undangan yang berlaku pada masa tertentu secara substansial dan sederhana sebenarnya dapat dilihat dari: 1. produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada masa itu yang secara mudah dan spesifik lagi biasanya tergambar pada konsiderans menimbang dan penjelasan umum (bila ada) dari suatu peraturan perundangundangan yang dibentuk; dan 2. kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara pada saat itu yang merupakan garis pokok arah pembentukan hukum, seperti GBHN pada masa pemerintahan orde baru atau Prolegnas dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang berlaku pada saat ini Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk mengkaji hubungan negara hukum dan pembentukan hukum, politik hukum dalam pembentukan peraturan perundangundangan nasional B. Rumusan Masalah 7 8
Ibid, hal. 2 Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2004.
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah : 1. Bagaimana hubungan Negara hokum dengan pembentukan hokum, politik dengan hukum, dan politik hukum dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia? 2. Apa saja upaya yang akan ditempuh dalam merealisasikan apa yang menjadi pembenahan sistem politik hukum oleh pemerintah? 3. Bagaimana peranan politik hukum dalam pembentukan Peraturan Perundangundangan di Indonesia? .
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Korelasi Hukum Dengan Ilmu Pengetahuan Non Hukum Masuk dalam disiplin ilmu apakah hukum itu sebenarnya? Ini merupakan
pertanyaan dasar jika kita berbicara tentang hukum dan ilmu lain diluar hukum. Apakah hukum itu berdiri sendiri dengan ciri khasnya? Tetapi mengapa hukum selalu dapat dikaitkan dengan disiplin ilmu lainnya? Perkembangan ilmu hukum selalu diikuti pertanyaan-pertanyaan diatas. Apa hukum tetap pada porsinya sebagai ilmu murni sebagaimana tertuang dalam teori hukum murni Hans Kelsen? Sedangkan perkembangan jaman menuntut hukum bisa berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain, jika tidak, maka hukum akan gagal mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Hukum harus mengikuti perkembangan masyarakat dan juga perkembangan ilmu pengetahuan agar hukum bisa tetap eksis dalam mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Hukum ada untuk masyarakat bukan sebaliknya, sehingga masyarakat dapat mentaati hukum. Hukum tidak dapat dilihat hanya dengan menggunakan kacamata kuda tapi harus dilihat secara luas karena hukum tidak hanya ilmu rasional sebagaimana yang berkembang dalam era modern tapi hukum dapat juga dilihat dari segi ilmu lain, sehingga hukum tidak hanya bersifat rasional tetapi juga metafisik dan metayuridik. Aspek–aspek lain seperti masyarakat, sejarah, politik, ekonomi, teknologi juga dapat dimasukkan dalam objek kajian ilmu hukum. Sebagaimana ungkapan Scholten (dalam Mahendra putra kurnia) : ‘ bahan positif ini, yakni undang-undang, vonis-vonis dan sebagainya, ditentukan secara histories dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa histories, ia juga merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan. Dalam pengolahan undang-undang oleh ilmu hokum, bahan terberi ini tidak kehilangan karakter historical dan sosialnya. Sebaliknya, justru karakter historical dan kemasyarakatan bahan hukum itu menyebabkan pengolahan bahan hukum itu tidak sepenuhnya terolah. Ilu hokum sensiri mempertahankan unsure
historical dan social bahan olahannya.’ Berdasarkan ungkapan Scholten tersebut dapat ditafsirkan bahwa hukum tidak hanya memuat unsur hukum logika rasional saja melainkan juga memasukkan unsur-
unsur lainnya sebagai materi muatannya. Ilmu hukum merupakan hukum positif tapi tidak hanya berkutat pada peraturan semata. Hukum harus tetap memperhatikan aspek-aspek non hukum lainnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kajian ilmu hukum positif. Hal serupa juga diungkapkan oleh Mauwissen dalam sistematika pengembanan hukum, menjelaskan jenis-jenis ilmu hukum yang pada intinya juga memberikan peluang masuknya ilmu pengetahuan lain kedalam ilmu hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu hukum terbuka dan integrative dengan ilmu yang lain. B.
POLITIK HUKUM Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli :9 1. Satjipto Rahardjo Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai
tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Satjipto Rahardjo memdefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan social dan hukum tertentu dalam masyarakat. Didalam studi politik hukun. Menurut Satjipto Rahardjo muncul beberapa pertanyaan mendasar, yaitu:10 1. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada? 2.
Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut?
3. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hokum itu perlu diubah?
9
http://balianzahab.wordpress.com/politik hukum/Apa Politik Hukum Itu… « Makalah, Berita, Paparan dan Diskusi Masalah Hukum 'Law Education'.htm , diakses tanggal 27 Juni 2012 pukul 20.42 wib 10 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Rajawali Pres, Jakarta, 2011, Hal.14
4. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-carauntuk mencapai tujuan tersebut dengan baik? Jadi yang di katakan politik hukum bila dilihat dari asal katanya mengandung arti sebagai kegiatan yang berdasarkan kekuasaaan dalam Negara berupa pengembilan keputusan, membuat kebijakan, melakukan pembagian hokum berkenaan dengan masyarakat, lembaga-lembaga, proses-proses dalam kehidupan Negara. Kegiatan tersebut menyangkut tujuan hukum dan melaksanakan tujuan hokum dalam suatu Negara. 2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hokum dan penerapannya. Definisi politik hukum yang dikemukakan oleh padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk, di dalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono memperjelas politik hokum adalah kebijakan penyelegaraan Negara tentang apa yang dijadikan kreteria untuk menghukumkan suatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum 3. L. J. Van Apeldorn Politik hukum sebagai politik perundang – undangan . Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja. 4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai. 5. Moh. Mahfud MD.
Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut : a)
Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b)
Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland
sehingga politik hukum adalah legal policy atas garis (kebijakan) resmi tentang hokum yang akan diberlakukan baik dengan perbuatan hokum baru maupun dengan pengantian hokum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara. Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum merupakan salah satu cabang atau bagian dari ilmu hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas :11 1.
Dogmatika Hukum Memberikan penjelasan mengenai isi ( in houd ) hukum , makna ketentuan –
ketentuan hukum , dan menyusunnya sesuai dengan asas – asas dalam suatu sistem hukum. 2.
Sejarah Hukum Mempelajari susunan hukum yang lama yang mempunyai pengaruh dan
peranan terhadap pembentukan hukum sekarang. Sejarah Hukum mempunyai arti penting apabila kita ingin memperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku sekarang 3.
Perbandingan Hukum Mengadakan perbandingan hukum yang berlaku diberbagai negara , meneliti
kesamaan, dan perbedaanya 4.
Politik Hukum Politik Hukum bertugas untuk meneliti perubahan – perubahan mana yang
perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan baru didalam kehidupan masyarakat 11
Soeharjo dalam http://balianzahab.wordpress.com/politik hukum/Apa Politik Hukum Itu… « Makalah, Berita, Paparan dan Diskusi Masalah Hukum 'Law Education'.htm , diakses tanggal 27 Juni 2012 pukul 20.42 wib
5.
Ilmu Hukum Umum Tidak mempelajari suatu tertib hukum tertentu , tetapi melihat hukum itu
sebagai suatu hal sendiri, lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Ilmu Hukum umum berusaha untuk menentukan dasar- dasar pengertian perihal hukum , kewajiban hukum , person atau orang yang mampu bertindak dalam hukum, objek hukum dan hubungan hukum. Tanpa pengertian dasar ini tidak mungkin ada hukum dan ilmu hokum Berdasarkan atas posisi ilmu politik hukum dalam dunia ilmu pengetahuan seperti yang telah diuraikan , maka objek ilmu politik hukum adalah “ HUKUM “. Hukum Nasional tradisional Mengandung “ Ide ”, “ asas ”, “ nilai “, sumber hukum ketika semua itu dijadikan satu maka disebut kegiatan Politik Hukum Nasional. I. Ruang Gerak Politik Hukum Suatu Negara Adanya Politik Hukum menunjukkan eksistensi hukum negara tertentu , bergitu pula sebaliknya, eksistensi hukum menunjukkan eksistensi Politik Hukum dari negara tertentu. II. Poltik Hukum Kekuasaan Dan Warga Masyarakat Politik Hukum mengejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama para warga masyarakat . Di lain pihak Politik Hukum juga erat bahkan hampir menyatu dengan penggunaan kekuasaaan didalam kenyataan. Untuk mengatur negara , bangsa dan rakyat. Politik Hukum terwujud dalam seluruh jenis peraturan perundang – undangan negara. III. Lembaga – Lembaga Yang Berwenang Montesquieu mengutarakan Trias Politica tentang kekuasaan negara yang terdiri atas 3 ( tiga ) pusat kekuasaan dalam lembaga negara, antara lain : a)
Eksekutif
b)
Legislatif
c)
Yudikatif
Yang berfungsi sebagai centra – centra kekuasaaan negara yang masing – masing harus dipisahkan. Dalam kaitanya dengan Politik Hukum yang tidak lain tidak bukan
adalah penyusunan tertib hukum negara . Maka ketiga lembaga tersebut yang berwenang melakukannya. Ada pemahaman yang baru mengenai ruang gerak bahwa Politik Hukum itu sendiri itu dinamis. Bersama dengan laju perkembangan jaman , maka ruang gerak Politik Hukum tidak hanya sebatas negara sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas negara hingga ke tingkat Internasional. Menurut pendapatnya Sunaryati Hartono , Politik Hukum tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang terdapat di negara kita dan di lain pihk. Sebagai salah satu anggota masyarakat dunia ,maka Politik Hukum Indonesia tidak terlepas pula dari Realita dan politik Hukum Internasional.12 Kalau kita kaji antara Politik Hukum dan Asas-Asas Hukum maka akan terlihat konsep sebagai berikut :
Politik Hukum di negara manapun juga termasuk di Indonesia tidak bisa lepas dari asas Hukum.
diantara asas”itu terhadap asas yang dijadikan sumber tertib hukum bagi suatu negara.
Asas hukum yang dijadikan sumber tertib Hukum/dasar Negara di sebut : Grund Norm
Di Indonesia yang dijadikan dasar negara adalah Pancasila
Asas hukum yang dijadikan dasar negara ini merupakan hasil proses pemikiran yang digali dari pengalaman Bangsa Indonesia sendiri; bukan diambil dari hasil perenungan belaka; bukan hal yang serta merta masuk kedalam pemikiran masyarakat Indonesia tetapi ada yang bersifat Nasional 1. ada yang lebih khusus lagi seperti : kehidupan agama,suku,profesi, dll. 2. ada yang merupakan hasil pengaruh dari sejarah dan lingkungan masyarakat dunia.
IV. Kerangka Landasan Politik Hukum Di Indonesia Negara RI lahir dan berdiri tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Hatta atas nama bangsa 12
Op.cit.
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut merupakan detik penjebolan tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional ( Tatanan Hukum Nasional ). V. Munculnya Politik Hukum Di Indonesia Muncul pada tanggal 17 Agustus 1945 ,yaitu saat dikumandangkannya Proklamasi, bukan tanggal 18 Agustus 1945 saat mulai berlakunya konstitusi / hukum dasar negara RI. VI. Sifat Politik Hukum Menurut Bagir Manan , seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus dalam bukunya yang berjudul “ Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara ” bahwa Politik Hukum terdiri dari13 1. Politik Hukum yang bersifat tetap ( permanen ) Berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakkan hukum. Bagi bangsa Indonesia , Politik Hukum tetap antara lain : i.
Terdapat satu sistem hukum yaitu Sistem Hukum Nasional. Setelah 17 Agustus 1945, maka politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional , artinya telah terjadi unifikasi hukum ( berlakunya satu sistem hukum diseluruh wilayah Indonesia ). Sistem Hukum nasional tersebut terdiri dari: 1. Hukum Islam ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya) 2. Hukum Adat ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya ) 3. Hukum Barat (yang dimasukkan adalah sistematikanya)
ii.
Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
iii.
Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan pada suku , ras , dan agama. Kalaupun ada perbedaan , semata – mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka keasatuan dan persatuan bangsa.
iv. 13
Ibid.
Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan hukum , sehingga masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam pembentukan hukum . v.
Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
vi.
Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat.
vii.
Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum ( keadilan sosial bagi seluruh rakyat ) terwujudnya masyarakat yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan hukum dan konstitusi. 2. Politik Hukum yang bersifat temporer. Dimaksudkan sebagai kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu
sesuai dengan kebutuhan. C. HUKUM SEBAGAI ALAT Moh. Mahfud MD bahwa politik hukum itu merupakan “legal Policy” tentang hokum yang diberlakukan atau tidak diberlakukan utuk mencapai tujuan Negara. Disini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara. Terkait dengan ini Suyaryati Hartono perna mengemukakan tentang “hukum sebagai alat” sehingga secara praktis politik hukum politik hukum juga merupakan sebagai alat atau sarana dan langka yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sestem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan Negara.14 Politik hokum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat periodic. Yang bersifat permanen misalnya berlakunya prinsip pengujian yudisial, ekonomi, kerakyatan, keseimbangan atara kepastian hokum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan kolinial dengan hukm nasional, penguasan sumber daya alam oleh Negara, kemerdekaan kekuasan kehakiman, dan sebagainya. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat di dalam UUD sekaligus berlakunya sebagai Politik hokum.15 14 15
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta, 2011, Hal.2. Ibid. Hal. 3
Menurut Bagir Manan, Politik Hukum ada yang bersifat permanen (tetap) ada yang bersifat temporer. Politik Hukum yang tetap adalah yang berkaitan dengan sifat hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijakan pembentukan dan penegakan hukum.sedangkan Hukum temporer adalah kebijakan yang di tetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan termasuk kategori ini Misalnya penentuan Prioritas pembentukan pereturan daerah, pembaharuan undang-undang yang menunjang pembangunan nasiaonal dan sebagainya.16 D. HUKUM SEBAGAI PRODUK POLITIK Asumsi dasar yang diperngunakan kajian ini adalah hukum merupakan produk politik sehingga kerakter isi setiap produk hukum akan dangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau komfigurasi politik yang melahirkannya. Asusumsi ini dipilih berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hokum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapa dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi. Meski dari sudut “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun kajian ini lebih melihat sudut “das sein” atau empiric bahwah hukumlah yang
dalam
kenyataannya
di
tentukan
oleh
komfirgurasi
politik
yang
melatarbelakaginya. Fungi instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa bila dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya. Bahlkan, fenomena itu dapat dilihat dari pertumbuhan pranata hukum, nilai dan prosedur, perundangan-undangan dan birokrasi penegakan hukum yang bukuan hanya mencerminkan hukum sebagai kondisi dan proses pembangunan melainkan juga menjadi penopang tangguh struktur politik, ekonomi, social.17 Hukum diberi fungsi utama sebagai instrumen program pembagunan karena hukum sebenarnya bukan tujuan utam. Dengan demikian, dapat dipahami jika terjadi kecenrungan bahwa hukum dinuat dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat 16 17
Zudan Arif Fakrulloh, Ilmu Lembaga Dan Pranata Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, Hal. 121 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum.., Op.cit. Hal.64
mewujutkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dengan demikian, sebagai produk politik, hukum dapat dijadikan alat justifikasi bagi visi politik pengusaha. Dalam kenyataannya, kegiatan legeslatif (pembuatan undang-undang) memang lebih banyak memuat keputusan-keputusan politik ketimpangan menjalankan pekerjaan-pekerjaan hukum yang sesungguhnya sehingga lembaga legeslatif lebih dekat dengan politik dari pada hukum.18 Secara teoritis hubungan hukum dengan politik memag dapat di bedakan atas tiga macam hubungan. Pertama sebagai das sollen, hukum diterima atas politik karena setiap agenda politik harus tunduk pada aturan aturan. Kedua das sein, politik determinan atas hukum karena dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehigga hukum apa pun yang ada di depan kita lain merupakan kristalisasi dari kehendak politik yang saling bersaingan. Ketiga, politik dan hokum berhubungan secara interdeterminan karana politik tampa hukum akan zalim sedangkan hukum tampa pengawalan politik akan lumpuh. Hukum dalam konteks ini diartikan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legeslatif.19
18
Ibid. Hal.65 Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal. 69-70 19
BAB III POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Negara Hukum dan Pembentukan Hukum20 Pembentukan hukum dalam prinsip pembagian kekuasaan (division of powers principle) merupakan fungsi ketatanegaraan/pemerintahan yang dijalankan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk membentuk hukum, baik hukum yang tertulis (geschreven recht) maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht). Dalam konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers), fungsi ini menjadi otoritas badan legislatif saja, badan-badan kekuasaan lain tidak memiliki fungsi tersebut. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (division of powers), fungsi ini dijalankan baik oleh badan legislatif, ekskutif maupun yudikatif. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu bagian dari kegiatan pembentukan hukum. Menurut sifat hukum yang dibentuk, pembentukan hukum itu dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) pembentukan hukum yang tertulis, berupa traktat, yurisprudensi, dan peraturan perundang-undangan; dan (2) pembentukan hukum yang tidak tertulis, berupa, hukum adat dan hukum kebiasaan. Dengan demikian, maka pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari pembentukan hukum yang tertulis. Dikatakan demikian, karena pembentukan hukum yang tertulis itu tidak hanya berupa pembentukan peraturan perundang-undangan saja, akan tetapi juga mencakup pembentukan traktat dan yurisprudensi. Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi yang dapat dimiliki oleh setiap badan atau pejabat negara/pemerintahan. Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 20
Delfina Gusman, Politik Hukum dan Modifikasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan Nasional, 25 Mei 2013.
(1)
fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang daya ikat dan daya berlakunya ke dalam (internal pembentuk peraturan perundang-undangan); dan
(2)
fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang daya ikat dan daya berlakunya ke dalam (internal pembentuk peraturan perundang-undangan) dan keluar (masyarakat/komunitas sasaran di luar pembentuk peraturan perundangundangan).
B. Hubungan politik hokum dengan hokum dan politik hokum dengan peraturan perundang-undangan Beberapa literatur mengungkapkan bahwa hukum dianggap sebagai tujuan dari politik. Adalah maksud dari politik agar ide-ide hukum atau rechtsidee seperti kebebasan, keadilan, kepastian, dan sebagainya ditempatkan dalam hukum positif dan pelaksanaan sebagian atau secara keseluruhan, dari ide hukum itu merupakan tujuan dari proses politik. Kedua, bahwa hukum sekaligus merupakan alat dari politik. Dalam hal ini politik mempergunakan hukum positif (peraturan perundangundangan) untuk mencapai tujuannya dalam arti merealisasikan ide-ide hukum tersebut. Dengan demikian, dengan peraturan yang ada atau hukum positif, politik dapat mengarahkan dan membentuk masyarakat kepada tujuan tertentu. Dalam hal ini, kita ingat sebutan bahwa hukum adalah alat rekayasa sosial atau a tool of social engineering. politik dan hukum mempunyai peranan serta tugas yang sama yaitu memecahkan masalah kemasyarakatan di mana politik adalah aspek dinamis dan hukum merupakan aspek yang statis. Dari apa yang diuraikan itu, menjadi jelas bahwa hubungan antara politik dan hukum adalah dasar dari politik hukum dengan ketentuan bahwa pelaksanaan pengembangan
politik
hukum
tidak
bisa
dipisahkan
dengan
pelaksanaan
pengembangan politik secara keseluruhan. Atau, dapat dikatakan, prinsip dasar yang dipergunakan sebagai ketentuan pengembangan politik akan juga berlaku bagi pelaksanaan politik hukum yang diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan
Peraturan Perundang-undangan (legislation) merupakan bagaian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Ia muncul tidak tiba-tiba. Namun, dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu. Mengingat harus ada konsitensi dan korelasi antara apa yang ditetapkan sebagai politik hukum dengan yang ingin dicapai sebagai tujuan. politik hukum dapat dibedakan dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan Perundang-undangan. politik hukum dengan dimensi alasan dasar seperti ini menurut Hikmahanto sebagai “kebijakan dasar” atau dalam bahasa inggris disebut “basic policy”. Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan Perundang-undangan, yang kemudian disebut sebagai “Kebijakan Pemberlakuan” atau yang dalam bahasa inggris disebut sebagai “enactment policy”. Melalui “kebijakan Pemberlakuan” inilah dapat dilakukan pengidentifikasian beragam kebijakan pemberlakuan undang-undang di Indonesia Pembenahan sistem politik hukum dalam lima tahun mendatang mempunyai sasaran terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif termasuk tidak diskriminatif terhadap perempuan atau bias gender); terjaminnya konsistensi seluruh peraturan Perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi; dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan. Arahan kebijakan adalah untuk memperbaiki susbtansi (materi) hukum , struktur (kelembagaan) hukum, dan kultur (budaya) hukum sebagaimana pendapat Lawrence M. Friedman seorang ahli hukum tentang Sistem hukum . Pembenahan sistem dan politik hukum pada tahun 2007 diarahkan kepada kebijakan untuk mendorong penyelenggaraan penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi serta terjaminnya konsistensi peraturan Perundangundangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan diatasnya.
Upaya yang akan ditempuh dalam merealisasikan apa yang menjadi pembenahan sistem politik hukum oleh pemerintah terangkum dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 meliputi : 1. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan
Perundang-undangan
untuk
mewujudkan
tertib
Perundang-
undangan; dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional ; 2. Melakukan pembenahan sruktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan ; menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; memperkuat kearifan lokal dan hukum adapt untuk memperkaya
sistem
hukum
dan
peraturan
melalui
pemberdayaan
yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan hukum nasional; 3. Meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan Perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi dan menaati hukum serta penegakan supremasi hukum . Dengan demikian pembenahan pada politik hukum akan memberikan pembenahan pula pada pembenahan peraturan perundang-undangan C. Politik hukum pebentukan peraturan perundang-undangan nasional Pembentukan peraturan perundang-undangan secara ideal dilandasi paling tidak oleh 3 (tiga) hal, yaitu: (1) Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik; (2) Politik hukum (peraturan perundang-undangan) nasional yang baik; dan (3) Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai.
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep politik hukum berada dalam ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai yang berasal dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam konsep politik hukum tidak hanya memiliki satu konfigurasi saja, melainkan lebih. Ada konfigurasi politik, ada konfigurasi sosio-kultural, ada konfigurasi sosial-ekonomi, ada konfigurasi hukum dan sebagainya. Konfigurasi-konfigurasi dalam pembentukan peraturan perundangundangan ini secara teoretikal akan menghasilkan 3 (tiga) klasifikasi dasar hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat, yaitu :21 (1)
hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai pelayan kekuasaan represif (law or legislation as the servant of repressive power);
(2)
hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (law or legislation as a differentiated institution capable of taming repression and protecting its own integrity);
(3)
hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (law or legislation as a facilitator or response to social needs an aspirations). Politik
hukum
(peraturan
perundang-undangan)
nasional
merupakan
kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan/lembaga negara atau pemerintahan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baik. Politik hukum nasional dalam arti ini secara konstitusional dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar. Pasal 1 UUD 1945 memberikan landasan bagi konsep politik hukum (peraturan
Perundang-undangan)
nasional
di
Indonesia
yang
hendak
diimplementasikan. Pasal 1 UUD 1945 itu dirumuskan sebagai berikut : (1) 21
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk republik.
Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978, hlm. 14
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan rumusan Pasal 1 UUD 1945 itu, maka konsep politik hukum (peraturan Perundang-undangan) nasional kita paling tidak dilandasi oleh 3 (tiga) prinsip yang fundamental sebagai berikut: (1) Prinsip negara hukum (welfare state); (2) Prinsip negara kesatuan (unitary state) dengan bentuk pemerintah republik; dan (3) Prinsip demokrasi (democracy). Prinsip negara hukum yang dianut dalam konsep politik hukum (peraturan Perundang-undangan) nasional kita adalah prinsip welfare state. Prinsip ini dapat ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat. ‘Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu …’ Prinsip welfare state dalam Pembukaan UUD 1945 itu mengisyaratkan agar dalam pembentukan politik perundang-undangan nasional berorientasi pada tujuan untuk: (1)
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
(2)
memajukan kesejahteraan umum;
(3)
mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
(4)
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Prinsip negara kesatuan (unitary state) mengisyaratkan agar setiap pembentukan politik perundang-undangan nasional, bingkai dan limitasinya adalah negara kesatuan, dengan bentuk pemerintahannya republik. Ini artinya, bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk harus dalam rangka mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk negara kita menurut UUD 1945 adalah negara kesatuan (bukan federal), sedangkan bentuk pemerintahan
negara kita adalah republik (bukan monarchi). Maka pembentukan dan materi peraturan perundang-undangan baik di Pusat maupun Daerah tidak boleh lepas dari kedua hal tersebut. Selanjutnya prinsip demokrasi (democracy) mengisyaratkan agar setiap pembentukan politik perundang-undangan nasional, senantiasa melibatkan peran serta rakyat. Rakyat harus diberikan ruang secara demokratis untuk terlibat pada setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai pada tahap rancangan hingga pasca pengundangan. Pelibatan rakyat dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan tidak saja mencerminkan prinsip demokrasi telah dianut dalam konsep politik hukum nasional itu, akan tetapi juga memberikan indikasi terbentuknya
penyelenggaraan
pemerintahan
yang
terbuka
dan
responsif
(partisipatif), serta mengarahkan bagi terbentuknya produk hukum (peraturan perundang-undangan) yang demokratik. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan lingkup atau lingkungan kuasa hukum, yang menurut Logemann dapat dibedakan menjadi 4 (empat) hal, yaitu:22 a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebeid atau territorial sphere). Berlakunya aturan hukum (peraturan perundang-undangan) di batasi oleh ruang atau tempat. Apakah sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah negara atau hanya berlaku untuk suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui, ’daerah kekuasaan” berlakunya suatu undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu hanya diberlakukan untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu Perda hanya berlaku untuk suatu wilayah daerah tertentu. b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebeid atau material sphere). Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian maka persoalan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup 22
Delfina Gusman, Politik Hukum dan Modifikasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan Nasional, 25 Mei 2013
materi yang diatur, apakah persoalannya adalah persoalan publik atau privat, persoalan perdata atau pidana, dan sebagainya. Materi tersebut menunjukkan lingkup masalah atau persoalan yang diatur. c. Lingkungan kuasa orang (personengebied) Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau segolongan orang atau penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subjek atau orang tertentu dalam peraturan perundang-undangan tersebut maka hal itu memperlihatkan adanya pembatasan mengenai orangnya. Undang-Undang tentang Pegawai Negeri, Undang-Undang tentang Tenaga Kerja, Undang-Undang tentang Peradilan Militer, dan sebagainya, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut hanya diberlakukan bagi kelompok orang yang diidentifikasi dalam peraturan perundangundangan itu. d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere) Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundang-undangan berlaku, apakah berlaku untuk suatu masa tertentu atau untuk masa tidak tertentu, apakah mulai berlaku sejak ditetapkan berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya suatu peraturan hukum ditentukan oleh waktu. D. Konflik Hukum UU Nomor 12 Tahun 2011 Peraturan perundang-undangan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan pengertian ini, maka yang disebut dengan peraturan perundang-undangan bentuknya pasti tertulis. Ia dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat secara umum. Jadi berdasarkan rumusan ketentuan ini, pembentuk peraturan perundangundangan itu ada 2 (dua), yaitu : (1) lembaga negara; dan (2) pejabat yang berwenang. Jika pengertian ’pejabat yang berwenang’ dapat diartikan sebagai pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki kewenangan yang sah untuk
membentuk suatu peraturan perundang-undangan, maka pertanyaan hukumnya kemudian adalah siapa yang dimaksud dengan lembaga negara itu? Sebelum UUD 1945 diamandemen, lembaga-lembaga negara kita menurut Sri Soemantri M., terdiri dari : Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden (dan Wakil Presiden), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA).23 Setelah adanya perubahan (amandemen), UUD 1945 kita menurut Jimly Asshiddiqie mengenal beberapa lembaga negara, yaitu : MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, serta lembaga tambahan lain yang bersifat independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).24 Dengan demikian, apabila kita menggunakan pendapat Jimly Asshiddiqie untuk menjawab pertanyaan : siapakah yang dimaksud dengan lembaga negara yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan itu, maka jawabannya adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, serta lembaga tambahan lain yang bersifat independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah bahwa hanya lembaga negara saja yang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia? Jawabannya jelas tidak. Di luar lembaga negara, seperti lembaga pemerintahan daerah juga memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang lazim kita kenal dengan Peraturan Daerah (Perda). Di tingkat Desa, ternyata juga ada lembaga pemerintahan desa yang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan, yang lazim disebut dengan Peraturan Desa.
23
Sri Soemantri M., Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawab Presiden Pasca Perubahan UUD 1945, makalah pada Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD1945, BPHN Departemen Kehakiman bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan kanwil Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, Surabaya 9 Juni 2004, hlm. 6. 24 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH-UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 12
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan, bahwa rumusan pengertian peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 itu kurang tepat. Pengertian peraturan perundang-undangan itu seharusnya juga mencakup lembaga pemerintahan, baik pusat maupun daerah, di samping lembaga negara sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia. E. Kebijakan Politik Hukum Nasional Sebelum telah diuraikan mengenai politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan berikut konflik yang muncul dari peraturan pembentukan perundang-undangan, sekarang kita akan membahas mengenai politik perundangundangan nasional, sebelum lebih jauh membahas politik perundang-undangan, maka terlebih dahulu perlu kita memahami politik hukum sebagai induk dari politik perundang-undangan. Oleh karena itu, perlu disinggung secara garis besar mengenai arah kebijakan politik hukum nasional yang sedang dilaksanakan pada saat ini. Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu: 1. supremasi hukum; 2. kesetaraan di hadapan hukum; dan 3. penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa
diarahan
pada
upaya
mengatasi
berbagai
permasalahan
dalam
penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. 1. Substansi Hukum (Legal Substance)
Pembenahan substansi hukum merupakan upaya menata kembali materi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki perundang-undangan dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional. Hal ini yang akan dibahas selanjutnya karena materi ini merupakan bagian dari politik perundang-undangan. 2. Struktur Hukum (Legal Structure) Pembenahan terhadap struktur hukum lebih difokuskan pada penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional. Dalam kaitannya dengan pembenahan struktur hukum ini, langkah-langkah yang diterapkan adalah: a.
Menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada sistem hukum dan kepastian hukum. Kurangnya independensi lembaga penegak hukum yang terjadi selama kurun waktu silam membawa dampak besar dalam sistem hukum. Intervensi berbagai kekuasaan lain terhadap kekuasaan yudikatif telah mengakibatkan terjadinya partialitas dalam berbagai putusan, walaupun hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip impartialitas dalam sistem peradilan telah mengakibatkan degradasi kepercayaan masyarakat kepada sistem hukum maupun hilangnya kepastian hukum.
b.
Penyelenggaraan proses hukum secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabilitas).
Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana lembaga tersebut harus bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawabannya, sehingga memberikan kesan proses hukum tidak transparan. Hal ini juga berkaitan dengan “budaya” para penegak hukum dan masyarakatnya, sebagai contoh kurangnya informasi mengenai alur atau proses beracara di pengadilan sehingga hal tersebut sering dipakai oleh oknum yang memanfaatkan hal tersebut untuk menguntungkan dirinya sendiri. Kurangnya bahkan sulitnya akses masyarakat dalam melakukan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan
peradilan
membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektif di dalam proses peradilan sebagaimana dikenal dengan istilah mafia peradilan yang sampai saat ini tiada kunjung dapat teratasi, oleh kerena itu sangat diperlukan penetapan langkah-langkah prioritas dalam pembenahan lembaga peradilan. c. Pembenahan dan peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum. Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari mulai para peneliti hukum, perancang peraturan perundangundangan sampai tingkat pelaksana dan penegak hukum masih perlu peningkatan, termasuk dalam hal memahami dan berperilaku responsif gender. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang hukum juga tidak terlepas dari belum mantapnya sistem pendidikan hukum yang ada. Selain itu telah menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi maupun kebijakan pengembangan sumber daya manusia di bidang hukum yang diterapkan banyak menyimpang yang akhirnya tidak menghasilkan SDM yang berkualitas. Hal ini pula yang memberikan berpengaruh besar terhadap memudarnya
supremasi hukum serta semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada. 3. Budaya Hukum (Legal Culture) Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kembali budaya hukum yang sepertinya “semakin hari semakin memudar” (terdegradasi). Apatisme dan menurunnya tingkat appresiasi masyarakat pada hukum dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para pelaku kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat bahkan di depan aparat penegak hukum merupakan gambaran nyata semakin menipisnya budaya hukum masyarakat. Sehingga konsep dan makna hukum sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan individu dan sosial hampir sudah kehilangan bentuknya yang berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum ”yang tercipta” melalui proses pembenaran perilaku salah dan menyimpang bahkan hukum sepetinya hanya merupakan instrumen pembenar bagi ”perilaku salah”, seperti sweeping yang dilakukan oleh kelompok masa, oknum aparat yang membacking orang atau kelompok tertentu, dan lain sebagainya. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap hak, kewajibannya, dan hukum sangat berkaitan dengan (antara lain) tingkat pendidikan dan proses sosialisasi terhadap hukum itu sendiri. Di lain pihak kualitas, profesionalisme, dan kesadaran aparat penegak hukum juga merupakan hal mutlak yang harus dibenahi. Walaupun tingkat pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai, namun dengan kemampuan dan profesionalisme dalam melakukan pendekatan dan penyuluhan hukum oleh para praktisi dan aparatur ke dalam masyarakat, sehingga pesan yang disampaikan kepada masyarakat dapat diterima secara baik dan dapat diterapkan apabila masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan hak dan kewajibannya serta bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan sesuai dengan jalur hukum yang benar dan tidak menyimpang.
Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah ditetapkan sasaran politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender); terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan. Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program pembangunan politik hukum, antara lain dengan melakukan: 1. program perencanaan hukum; 2. Program pembentukan hukum; 3. program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya; 4. program peningkatan kualitas profesi hukum; dan 5. program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia. F. Politik Perundang-undangan Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundangundangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan pemerintah atau negara? Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan adalah hanya negara atau Pemerintah.25 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundangundangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat 25
Hal ini disebut sebagai “asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” yang terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam proses pembentukannya sangat mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara atau Pemerintah dengan kata lain masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundangundangan, baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan kepentingan umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan dalam penyusunannya. Keikutsertaan tersebut dapat dalam bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan/memberikan masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menilai, memberikan pendapat atas berbagai kebijaksanaan negara atau Pemerintah di bidang perundang-undangan. Dalam praktek, pengikutsertaan dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian ilmiah, penelitian, berpartisipasi dalam forum-forum diskusi atau duduk dalam kepanitiaan untuk mempersiapkan suatu rancangan peraturan perundang-undangan. Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana partisipasi yang dilakukan melalui pranata "dengar pendapat" atau "public hearing". Berbagai sarana untuk berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas bukan saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi dari berbagai golongan kepentingan (interest groups) atau masyarakat pada umumnya. Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan perundang-undangan yang dilaksanakan. Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundangundangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam masyarakat
Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang responsive. Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD juga menyatakan: Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada umumnya. 26 Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundangundangan dapat diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.27 Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998, konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat pada hukum konservatif antara lain: 1. Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) karena didominasi oleh lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh 26
M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif, Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996, hlm 1 27 Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round Table Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005
negara. Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat sangat sumir. 2. Isinya bersifat positivist-instrumentalistik (tidak aspiratif) dalam arti lebih mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat (instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan oleh pemegang kekuasaan yang dominan. 3. Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah ditafsir secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara. 4. Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku. 5. Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam sebagai pelaku yang harus dihukum.28 Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto memberikan pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai makna: Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivisinstrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Sedangkan produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap
28
M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan Hukum Kita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004, hal 3-5
tuntutan-tuntutan
kelompok-kelompok
sosial
atau
individu-individu
dalam
masyarakat.29 Dari pengalaman sejarah hukum30 tersebut seharusnya perlu dirancang suatu skenario politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman konsep sistem hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan perundang-undangan
secara
komprehensif
dan
aspiratif.
Penyusunan
atau
pembentukan peraturan perundang-undangan yang aspiratif tersebut merupakan rangkaian dari langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam program pembangunan hukum nasional yang dilaksanakan untuk mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. G. Langkah Strategis Politik Perundang-undangan Nasional Sehubungan dengan politik pembangunan hukum dan politik peraturan perundang-undangan nasional, paling tidak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan dua langkah strategis, yaitu dengan menetapkan Program Legislasi Nasional 2010-2014 dan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. 1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. Dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum nasional, pada tanggal 20 Januari 2010 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. Satya Arinanto dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa Peraturan Presiden tentang 29
Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik Perundangundangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR RI, tanggal 14 April 2003, hal. 8 30 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 107. Satjipto Rahardjo mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum merupakan suatu kesatuan normanorma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang memandang kebelakang kepada peraturan perundang-undangan yang ada dan memandang kedepan untuk mengatur kembali
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini dapat dikatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah ada dalam Era Orde Lama dan Orde Baru. 31 Bila dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan substansi hukum, maka dapat dikatakan bahwa politik hukum atau politik peraturan perundangundangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundangundangan
dan
implementasi
undang-undang
yang
terhambat
peraturan
pelaksanaannya. Berdasarkan adanya permasalahan tersebut, maka politik hukum nasional akan diarah pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Untuk itu dalam rangka mengimplementasikan politik pembangunan hukum nasional32 maka dengan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tersebut ditetapkan suatu landasan politik perundang-undangan nasional yang sejak tahun 2005 telah menetapkan kebijakan untuk memperbaiki substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundangundangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundangundangan. Peninjauan dan penataan kembali peraturan pundang-undangan tersebut adalah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melakukan peninjauan dan penataan peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya melakukan kegiatan pengharmonisasian berbagai rancangan peraturan perundang-undangan dengan rancangan peraturan perundang-undangan yang lain maupun terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada, juga melakukan pengharmonisasi peraturan 31
Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18 Maret 2006, hal. 14 – 16. Alasan menyebut sama dengan GBHN dalam era Orde Lama dan Orde Baru, karena sebagai akibat proses perubahan UD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR, maka semenjak tahun 2004, MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum yang berupa GBHN 32 Satya Arinanto, Op.Cit., hal. 25
perundang-undangan yang sudah ada dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Hal ini dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, inkonsistensi, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (disharmonis) dapat ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan atau revisi. Politik perundang-undangan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi dari seluruh pelaku pembangunan khususnya di bidang hukum dalam menghadapi berbagai isu strategis dan global yang secara cepat perlu diantipasi agar penegakan dan kepastian hukum tetap berjalan secara berkesinambungan yang diharapkan akan dihasilkan kebijakan/materi hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta mempunyai daya laku yang efektif dalam masyarakat dan dapat menjadi sarana untuk mewujudkan perubahan-perubahan di bidang sosial kemasyarakatan33. Oleh karena itu, sasaran politik perundang-undangan nasional saat ini harus mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap dan juga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014. Acuan tersebut sangat penting karena politik peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur penting dalam rangka pembangunan hukum nasional secara keseluruhan yang merupakan suatu proses yang dinamis, mengalami perubahan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat dan politik yang tidak terlepas dari: a.
keadaan masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa;
b.
keadaan saat ini yang berkaitan dengan kondisi obyektif yang terjadi; serta
c.
cita-cita atau keinginan yang ingin diwujudkan di masa yang akan datang.34
33
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, jilid III, No. 4, Padjadjaran, Bandung, 1970, hal. 5-16, dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1979, hal. 161. 34 Prolegnas: instrumen perencanaan perundang-undangan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang telah ditetapkan juga telah mengarahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dilakukan melalui proses yang benar dengan memperhatikan tertib perundangundangan serta asas umum peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun pokokpokok politik perundang-undangan yang akan dilaksanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, dapat dikelompokkan antara lain meliputi kegiatan: a. Penegakkan dan Kepastian Hukum yang meliputi antara lain: 1) Penguatan dan Pemantapan Hubungan Kelembagaan Antar Penegak Hukum; 2) Peningkatan Kinerja Lembaga Bidang Hukum; 3) Peningkatan Pemberantasan Korupsi; 4) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik; 5) Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Aparat Hukum; 6) Inventarisasi dan Penyelarasan Peraturan Perundang-undangan yang menghambat pembangunan; 7) Peningkatan Penghormatan, Pemajuan, dan Penegakan HAM b. Pelaksanaan berbagai pengkajian hukum dengan mendasarkan baik dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis yang terkait dengan isu hukum, hak asasi manusia dan peradilan; c. Pelaksanaan berbagai penelitian hukum untuk dapat lebih memahami kenyataan yang ada dalam masyarakat; d. Harmonisasi di bidang hukum (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis/hukum adat) terutama pertentangan antara peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dengan peraturan perundang-undangan pada tingkat daerah yang mempunyai implikasi menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat; e. Penyusunan naskah akademis rancangan undang-undang berdasarkan kebutuhan masyarakat;
f. Penyelenggaraan berbagai konsultasi publik terhadap hasil pengkajian dan penelitian sebagai bagian dari proses pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; g. Penyempurnaan dan perubahan dan pembaruan berbagai peraturan perundangundangan yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan, serta yang masih berindikasi diskriminasi dan yang tidak memenuhi prinsip kesetaraan dan keadilan; h. Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan asas hukum umum, taat prosedur serta sesuai dengan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah bagian dari manajemen dan politik pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan instrument perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis35 yang ditetapkan untuk jangka waktu panjang, menengah, dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. Prolegnas sangat diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu yang didasarkan pada cita-cita Proklamasi dan landasan konstitusional negara hukum Indonesia. Dasar hukum penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) saat ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional. Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang merupakan penjelasan secara lengkap mengenai konsep Rancangan Undang-Undang yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; 35
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1 lihat pula Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
b. sasaran yang akan diwujudkan; c. pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan.36 Penyusunan
Prolegnas
di
lingkungan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
dikoordinasikan oleh Badan Legislasi dan Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi dikoordinasikan dengan Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas. Di lingkungan pemerintah, Menteri Hukum dan HAM sebagai koordinator dalam pelaksanaan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang di lingkungan pemerintah. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang diarahkan pada perwujudan keselarasan dengan falsafah Negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam Rancangan UndangUndang tersebut. Prolegnas merupakan acuan dalam proses perencanaan penyusunan peraturan perundang-undangan sekaligus sebagai bagian dari proses persiapan pembentukan peraturan perundang-undangan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan hukum secara keseluruhan. Prolegnas dapat pula dikatakan sebagai gambaran politik perundang-undangan Indonesia yang berisi rencana pembangunan peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang terarah melalui Prolegnas diharapkan dapat mengarahkan pembangunan hukum, mewujudkan konsistensi peraturan perundang-undangan, serta menghindari adanya disharmonis peraturan perundang-undangan baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Dengan disusunnya Prolegnas diharapkan akan dihasilkannya suatu kebijakan yang sesuai 36
Ibid, Psl. 4
dengan aspirasi masyarakat yang berkeadilan, mengandung perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta mempunyai daya laku yang efektif dalam masyarakat. Selain
sebagai
instrumen
mekanisme
perencanaan
hukum
yang
menggambarkan sasaran politik hukum atau polotik perundang-undangan secara mendasar, Prolegnas juga memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang dibentuk selaras dengan tujuan pembangunan hukum nasional yang tidak dapat dilepaskan dari rumusan pencapaian tujuan negara sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: a. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; b. mencerdaskan kehidupan bangsa; memajukan kesejahteraan umum; dan c. ikut melaksanakan ketertiban dunia. Berdasarkan hal tersebut, Program Legislasi Nasional Tahun 2010–2014 yang berlaku saat ini disusun sebagai politik perundang-undangan yang merupakan implementasi dari substansi politik pembentukan hukum nasional untuk rentang waktu tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Di dalam Prolegnas dimuat rencana peraturan perundang-undangan yang akan dibuat selama kurun waktu lima tahun tersebt yang dituangkan dalam Keputusan Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 41A/DPR RI/I/2009-2010 dan Keputusan DPR RI Nomor 41B/DPR RI/I/2009-2010 terdapat sebanyak 247 (dua ratus empat puluh tujuh) RUU yang disepakati dalam Prolegnas 2010-2014 untuk disusun dan beberapa RUU Kumulatif Terbuka. Dari rencana tersebut, saat 70 RUU telah ditetapkan menjadi prioritas pembahasan pada 2010 dan kemungkinan penambahan dari 5 jenis RUU ng bersifa Kumulatif Terbuka.37 BAB III POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
37
RUU Kumulatif Terbuka: 1) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 2) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 3) RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, 4) RUU tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota , 5) RUU Kumulatif Terbuka tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang
A. UU Nomor 12 Tahun 2011 ”Versus” UU 32 Tahun 2004 Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (tentang Pemerintah Daerah) disebutkan, bahwa Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/ kota dan tugas pembantuan. 38 Selanjutnya, Pasal 146 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga menyatakan, bahwa : (1)
Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah.
(2)
Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (cetak tebal dari penulis). Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka putusan atau
peraturan-peraturan di tingkat daerah berdasarkan pejabat atau badan penyelenggara pemerintahannya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: (1)
Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Provinsi;
(2)
Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Kabupaten/Kota; dan
(3)
Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan desa.
Peraturan-peraturan atau putusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Provinsi dapat diidentifikasikan sebagai berikut : (1)
Peraturan Daerah Provinsi, yang dibentuk oleh DPRD bersama dengan Gubernur;
(2)
Peraturan Gubernur, yang dibentuk oleh Gubernur sebagai kepala daerah; dan
(3)
Keputusan Gubernur yang dibentuk oleh Gubernur sebagai kepala daerah.
Peraturan-peraturan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Kabupaten/Kota meliputi: 38
Lihat Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
(1) Peraturan Daerah Kabupaten yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten bersama dengan Bupati; (2) Peraturan Daerah Kota yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten bersama dengan Walikota; (3) Peraturan Bupati yang dibentuk oleh Bupati sebagai kepala daerah; (4) Keputusan Bupati yang dibentuk oleh Bupati sebagai kepala daerah (5) Peraturan Walikota yang dibentuk oleh Walikota sebagai kepala daerah kota; dan (6) Keputusan Walikota yang dibentuk oleh Walikota sebagai kepala daerah kota. Selanjutnya, peraturan-peraturan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan desa meliputi: (1)
Peraturan Desa yang dibentuk oleh Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa, atau nama lain;
(2)
Peraturan Kepala Desa yang dibentuk oleh Kepala Desa; dan
(3)
Keputusan Kepala Desa.
Tidak ada penjelasan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetang apa yang dimaksud dengan Keputusan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/ Walikota). Apakah keputusan ini merupakan bentuk peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking)? Berdasarkan
uraian
sebagaimana
tersebut
di
atas,
maka
dapatlah
dikemukakan, bahwa ternyata peraturan-peraturan di tingkat daerah dapat berupa Perda, dan dapat berupa Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, dan sebagainya. Pertanyaan hukumnya adalah, dimanakah letak atau kedudukan masing-masing peraturan itu dalam sistem hierarkhi menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ? Mengenai hal ini, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ternyata belum mengatur dengan memadai tetapi dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 pengaturan tentang Perda telah diatur.39 B. POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
39
Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011
Pada dasarnya berbicara tentang kebijakan politik hukum Indonesia sesungguhnya kita berbicara tentang pembanggunan hukum nasional sebagai arahan yang dapat menjangkau semua subsistem dari dari system hokum nasional yang luas. Namun, perlu dipahami terlebih dahulu tentang pengunaan yang di gunakan disini, terutama hal yang menyangkut tentang kebijakan dengan politik hukum. Kebijakan yang berorientasi pada sebuah proses politik yang dilakukan oleh institusi Negara atau daerah. Dala menetukan arah yang akan atau mau dicapai. Terkait erat dengan politik hukum sebagai manifestasi dari arah kebijakan yang akan dicapai. Politik hukum cendrung pada bukti atau bentuk dari hasil peraturan perundang-undangan. Pada umumnya berbicara tentang kebijakan/politik hukum lebih banyak berfokus pada materi hukum atau arah hukum tentang subtansi dan isi hukum apa saja yang di gariskan untuk dibuat. Politik hukum yang menyangkut rencana pembagunaan materi hukum di Indonesia pada saat ini termuat didalam program legeslasi nasional (prolegnas) dan program legeslasi daerah (prolegda)yang sebelumnya sudah terumuskan ke dalam pembagunan nasional (propenas) bidang politik hukum yang di buat sebagai arah kebijakan Negara terutama di bidang perundang undangan. Prolegnas dan prolegda adalah sala satu bagian dari pembangunan hukum adalah instrumen perencanaan program pembentukan undangundang yang di susun secara berencana, terpadu dan sistematis.40 Kedudukan Prolegnas sebagai wadah politik hukm (untuk jangka waktu tertentu) dapat dilihat pada undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundanga-undangan yang dalam pasal 16 mengaris bawahkan, “ perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Program legeslasi nasional. Sementara itu, setiap daerah, sesuai sesuai pasal 32 tersbut. Digariskan juga untuk membuat program legeslasi daerah agar tercipta konsintensi antara berbagai peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Dengan demikian, dari program legeslasi nasional dan/atau program legeslasi daerah inilah dapat terlihat setiap jenis pereturan perundang-undangan yang dibuat oleh 40
Soimin, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Negara Di Indonesia, UII Press, Yogjakarta, 2010, Hal. 18
pemerintahan untuk jangka waktu tertentu sebagai arahan dari pada kebijakan/ politik hukum nasional. Program legeslasi nasional dan/atau Program legeslasi Daerah yang merupakan cerminan dari arah politik hukum sebagai bentuk sistem hukum yang akan di bangun di dalannya itu harus konsisten dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sehingga harus diingat, bahwa menurut undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, proglam legeslasi nasional dan program legeslasi Daerah bukan hanya terkait dengan materi dan atau rencana pembentukan perundang undangan melainkan. Lebih daerah itu. Ia juga merupakan instrumen yang mencakup mekanisme perencanaan hokum agar konsisten dengan tujuan, dasar, dan cita hokum yang mendasarinya, yakni pancasila dan UUD 1945.41 Program legeslasi nasional dan Program legeslasi daerah merupakan Potret Politik hokum nasional dan daerah yang memuat rencana materi dan sekaligus merupakan instrumen (mekanisme) pembuatan hokum atau pembentukan hokum dalam bentuk kebijakan Negara dan pemerintah.42 Menurut Bagir Manan, ada dua lingkup Utama Politik Hukum, Yaitu:43 1.
Politik Pembentukan Hukum, yaitu Kebijakan yang bersangkutan dengan penciptaan, pembaharuan , dan pengembangan hukum. Politik pembentuk Hukum ini mencakup: a. Kebijakan (pembentukan) perundang-undangan b. Kebijakan (pembentukan) hukum yurisprudensi atau putusan hakim. c. Kebijaksanaan terhadap pereturan tidak tertulis lainnya.
2.
Politik penegakan Hukum, yaitu kebijakan yang bersangkutan dengan: a. Kebijakan di bidang peredilan b. Kebijakan di bidang pelayanan umum. Antara kedua aspek Politik hukum tersebut, sekedar dibedakan, tetapi tidak
dapat dipisahkan karena: 1.
41
Keberhasilan suatu pereturan daerah tergantung pada penerapannya.
Ibid Ibid. Hal. 19 43 Zudan Arif Fakrulloh, Ilmu Lembaga…Loc.cit. Hal. 121 42
2.
Putusan-putusan dalam rangka penegakan hokum merupakan instrumen control bagi ketetapan atau kekurangan suatu pereturan.
3.
Penegakan hokum merupakan dimamisator peraturan melalui putusan dalam rangka penegakan hukum. Dalam pelaksanan politik Hukum juga tidak dapat dipisahkan dari aspek
kebijaksanaan yang ada didalam negeri, misalnya aspek Realitas social, ekonomi, dan politik maupun perkebangan hukum internasional karena Indonesia merupakan bagian dari dunia internasional. Maka sebenarnya politik hukum dalam pembentukan pereturan daerah (politik perundang-undangan) dapat dibaca sebagai segala sesuatu yang berada di balik sebuah pereturan daerah antara lain berupa tujuan, fungsi, Paradigma, kehendak politik Negara, maupun ideologi hokum. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara pembentukan peraturan Perundang-undangan sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu menegenai system, asas, jenis, dan materi muatan dan persiapan pembahasan, penegasan, perhundangan, dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat. Dengan demikian, Undang-undang ini akan menjadi arah kebikjakan dan politik hokum dalam pembentukan pereturan perundang-undangan di Indonesia baik di tinggkat pusat maupun tinggkat daerah. Secara normatif, jenis dan hirarki peratuaran Perundang-undangan di Indonesia telah diamanahkan dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan daerah adala produk politik dan didesain oleh dua badan politik,
yaitu kepala daerah dan dewan perwakilan raktyat daerah, bukan badan peradilan. Setelah sah dan dimuat dalam lembaga daerah barulah menjadi bagian dari sistem
hokum. Dalam pembuatanya, peraturan Daerah harus berpijak pada prinsip-prinsip tertentu yaitu sebagai berikut:44 1.
ditetapkan oleh setelah mendapatkan persetujuan DPRD
2.
dibentuk dalam rangka penyelengaraan otonomi daerah, tugas dan merupakan penjabaran lebih lanut peraturan perundanga-undangan yang lebih tinggih dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah.
3.
Peraturan daerah tak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
4.
Peraturan daerah berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang undangan.
5.
Masyarakat berhak member masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan raperda
6. 7.
Peraturan daerah dapat memuat ketentuan pidana Peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah ditetapkan untuk melaksanakan peraturan daerah.
C. PROSES PEMBEMBENTUKAN DAERAH Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal (usul Inisiatif) dari Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) dapat juga berasal dari (Prakarsa) Dari Gubernur atau Bupati/Walikota. Atau dengan Prakarsa Lain, sebagai Produk dua otoritas Pemerintah Daerah, dalam Hal pengajuan Raperda dapat dilakukan berdasarkan Prakrsa Gubernur atau Bupati/Walikota, atau sebaliknya dapat dilakukan oleh DPRD melalui pengajuan usul inisiatif. Jadi, keduanya (Gubernur atau Bupati/Walikota maupun DPRD) punyai hak sama untuk mengajukan Raperda. Karena itu, dari manapun usul Inisiatif atau Prakarsa pengajuan Raperda itu berasal, tetep memerlukan pembahasan dan persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota dan Diundangkan oleh sekertaris daerah dalam Lembaran Daerah
44
H. Abdul Latif dan H hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal. 112-113
agar Peraturan Daerah Tersebut mempunyai Kekuatan hukum mengikat (Legal binding).45 Raperda yang berasal dari hak inisiatif DPRD dapat disampaikan oleh anggota, Komisi, gabungan komisi, atau kelengkapan DPRD yang khusus menengani bidang legeslasi. Raperda ini Kemudian diusulkan kepimpinan DPRD agar di bahas dalam rapat paripurna internal. Apa bila mendapatkan persetujuan dalam rapat paripurna internal DPRD, selanjutnya disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota dengan Surat Pengantar Pimpinan DPRD. Sebaliknya, apabila Raperda dimaksut muncul berdasarkan prakarsa Gubernur atau Bupati/Walikota, pertama-tama Raperda disiapkan oleh dinas-dinas, Badan-badan,
Kantor-Kantor,
atau
pangkal
Pemerintah
daerah
lain
yang
dikoordinasikan dengan biro/bagian Hukum dan perundang-undangan. Raperda tersebut kemudian disampaikan kepada gubernur atau Bupati/Walikota, Raperda dimaksut disampaikan kepada DPRD dengan surat pengantar Gubernur atau Bupati/Walikota. Penyebarluasan Raperda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh sekertaris DPRD. Sedangkan penyebarluasan Raperda yang berasal dari gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh sekertaris Daerah. Apabila dalam suatu masa sidang, Gubernur atau Bupati/walikota dan DPRD menyampaikan Raperda, Mengenai Materi yang sama, yang dibahas adalah Raperda yang disampaikan DPRD, sedangkan Raperda yang disampaikan gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan persidangan. Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan DPRD bersama Gubernur atau Bupati /Walikota, yang dilakukan melalui tingkat-tingkat pembahasan yang dilakukan dalam rapat komisi, rapat pansus, rapat alat kelengkapan DPRD dan rapat paripurna. Raperda dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Raperda yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. 45
I Gde Panjia Astawa Dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundangan-undanga di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008, Hal.144
Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota diasmpaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, yang dilakukan dalam jangaka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda yang telah disetujui bersama dan telah disampaikan oleh pimpinan DPRD ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Apabila Raperda dimaksud tidak ditandatangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu paling lamabat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama, Raperda tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib di undangkan dengan kalimat pengesahan yang berbunyi : Peraturan Daerah ini Dinyatakan Sah. Kalimat ini harus dibubukahkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah kedalam lembar daerah. D. Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Peratuaran daerah Pada dasarnya keikutsertan masyarakat (partisipasi) didalam proses pembentukan suatu peretuaran daerah telah di atur dan di jamin oleh pasal 53 Undang-Undang 12 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan tata tertip DPRD Provinsi, Kabupaen/Kota di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya telah ada koridor hukum yang jelas melindungi hak atas info masyarakat. Ketentuan ini juga berarti hak atas informasi masyarakat. Ketentuan ini juga berarti dalam pembentukan sebuah Peraturan daerah harus terdapat prosedur yang memungkinkan masyarakat untuk berperan aktif di dalam proses perencangan tersebut. Praktik yang terjadi selama ini dalam proses pembentukan pereturan daerah peran masyarakat masih bersifat parsial dan simbolis. Beberapa komunikasi massa yang dilakukan hanyalah pelengkap prosedur adanya Basic research (penelitian
dasar) yang melandasi perancangan Pembentukan peraturan daerah. Itu put, di lakukan hanya pada tahap perencanaan. Bahwah dapat dikatakan bahwa sudah bukan rahasia umum banyak Peraturan daerah (kalau tidak semuanya) yang terbit dengan tidak didahului proses penelitian, walaupun akhirnya “secara tiba-tiba” memiliki naskah akademik. Sementara di dalam tahap perancangan pembahasan dilakukan oleh unit kerja dinas dari pemeintah atau oleh pansus dari DPRD. Meski pada tahap ini kemungkinan melibatkan akademisi atau pakar-pakar yang berkopoten dibidangnya. Namun didalam realitasnya masyarakat umum yang berkepentingan tidak memiliki pintu masuk ikut serta didalam pembentukan peraturan daerah. Kemudian dalam terhadap pembahasan di DPRD,masyarakat yang sudah ‘terlanjur’ mewakilkan kekuasaan pada wakil rakyat di DPRD tidak mendapatkan hak suara. Siding paripurna anggota DPRD yang terhormat memang bersifat terbuka, tetapi tebal kritik protocol dan tata tertip siding. Sementara rakyat tidak puas, harus cukup puas dengan meneriaki aspirasi dan kepentingan dengan cara-cara itu-itu saja demo dan unjuk rasa yang tidak perna efektif.46 Menurut Rival G ahmad berpendapat bahwa terhadap sedikitnya 8 prinsip mengenai optimalisasi parsipasi masyarakat di dalam proses pembentukan suatu Peraturan Daerah, Yaitu:47 a.
Adanya kewajiban publikasi yang efektif
b.
Adanya kewajiban informasi dan dokumentasi yang sistematis, beban, dan accessible.
c.
Adanya jaminan prosedur dan forum yang terbuka dan efektif bagi masyarakat untuk terlibat dalam mengenai proses sejak tahap perencaan.
d.
Adanya prosedur yang menjamin public bias mengajukan Rancangan Peraturan daerah selain anggota DPRD dan pemerintah;
e.
Adanya pengaruh yang jelas mengenai dokumen dasar yang wajib tersedia dan acceeseble seperti naska akatdemik dan Raperda Peraturan Daerah
46
Hamsa Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan perundagan, Jakarta, Kencana Media Grup, 2009. Hal. 140 47 Ibid.Hal. 141
f.
Adanya jaminan jaminan bagi pilotik hokum pembentukan pereturan daerah secara partisipasi;
g.
Adanya pengaturan jangaka waktu yangmenandai untuk untuk seluru proses penyusunan, Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, dan seminasi pereturan daerah yang dilaksanakan ;
h.
Adanya pertanggungjawaban yang jelas dan memadai dari proses pembentukan yang dengan sengajah menutup uang masyarakat untuk parsipasi.
BAB IV PENUTUP KESIMPULAN Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Hubungan Negara hokum dengan pembentukan hokum dapat dilihat dari definisi Negara hukum itu sendiri, Negara hokum secara sederhana dapat diartikan bahwa Negara dalam melaksanakan kegiatan pemerintahannya melandaskan pada hokum yang dalam hal ini lebih pada peraturan perundang-undangan sebagai produk hokum, maupun dari putusan hakim. Sedangkan hubungan politik hokum dengan hokum adalah bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu politik dengan objek kajian hokum sehingga politik huku merupakan arah pandang hokum dari segi politik dan untuk membatasi ilmu politik tersebut harus ada hokum didalamnya, begitu pula dengan politik hokum pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan arah pandang dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini biasa dilakukan dengan membuat rencana pembangunan jangka menengah dan juga program legislasi nasional. Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hokum. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hokum. Selain itu Program legeslasi nasional dan Program legeslasi daerah merupakan Potret Politik hokum nasional dan daerah yang memuat rencana materi dan sekaligus merupakan instrumen (mekanisme) pembuatan hukum atau pembentukan hukum dalam bentuk kebijakan Negara dan pemerintah. Pembentukan hukum di Indonesia dari pusat ke daerah tidak lepas dari politik dan kekuasan dari para legislatornya, pembentukan politik peratuaran daerah harusnya meberikan ruang masyarakat untuk
ikut serta dalam pembentukan peraturan daerah agar masyarakat biasa menaati peraturan dan perencanaan hukum harusnya konsisten dengan tujuan, dasar dan cita hokum yang mendasarinya. politik hukum itu merupakan “legal Policy” tentang hukum yang diberlakukan atau tidak diberlakukan utuk mencapai tujuan Negara. Disini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara. Maka sebenarnya politik hukum dalam pembentukan pereturan daerah (politik perundangundangan) dapat dibaca sebagai segala sesuatu yang berada di balik sebuah pereturan daerah antara lain berupa tujuan, fungsi, Paradigma, kehendak politik Negara, maupun ideologi hukum. SARAN Setiap persoalan hukum selalu dihadapkan pada persoalan substansi hokum, struktur hokum dan budaya hokum, sehingga perlu dilakukan pembenahan mulai dari substansi hukumnya , penegak hukumnya dan juga pelibatan masyarakat dalam setiap proses pembuatan peraturan perundang-undangan dan juga sebaiknya pembentukan pereturan peraturan perundang-undangan dari pusat dan daerah harusnya memperhatikan apa yang di inginkan masyarakan dan sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia. Dan khususnya pemerintah daerah dalam pembentukan peraturan daerah hasusnya memberi kesempatan yang lebih luas masyarakatnya dalam Pembentukan peraturan daerah karena partisipasi masyarakat penting dalam pembentukan pereturan daerah sehingga pemerintah daerah dan pusat harusnya memberikan ruang kepada masyarakat dalam memberikan ide dan peraturan daerah itu sesuai dengan lingkungan masyarakat.
DAFTAR BACAAN Buku : H. Abdul Latif dan H hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 F. Isjwara, S.H.L.L.M. Pengantar Ilmu Politik, Putra Abardin, Bandung: 1999 Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH,MH, Politik Hukum, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan Undip, Semarang: 2007 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II ,LP3ES, Jakarta, 2001 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Rajawali Pres, Jakarta, 2011. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta, 2011 Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal. 69-70 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978 Hamsa Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan perundagan, Jakarta, Kencana Media Grup, 2009 I Gde Panjia Astawa Dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundanganundanga di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH-UII Press, Yogyakarta, 2004 Kurnia, Mahendra Putra, Hukum Kewilayahan Indonesia;Harmonisasi Hukum Pengembangan Kawasan Perbatasan Nkri Berbasis Tekhnologi Goo Spasial, Malang:UB Press, 2011 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000 Soimin, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Negara Di Indonesia, UII Press, Yogjakarta, 2010. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, jilid III, No. 4, Padjadjaran, Bandung, 1970 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1979 Zudan Arif Fakrulloh, Ilmu Lembaga Dan Pranata Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2011 Jurnal, Makalah : HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985 Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2004 Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994 Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round Table Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Jakarta
M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan Hukum Kita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004 M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif, Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996 Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18 Maret 2006 Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Perancangan Perundangundangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR RI, tanggal 14 April 2003 Sri Soemantri M., Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawab Presiden Pasca Perubahan UUD 1945, makalah pada Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD1945, BPHN Departemen Kehakiman bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan kanwil Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, Surabaya 9 Juni 2004 Peraturanperundang-undangan : Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 . Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 Internet : Ade Didik Irawan, Teori Negara Hukum Rechtstaat, 27 Mei 2013. Delfina Gusman, Politik Hukum dan Modifikasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nasional, 25 Mei 2013 Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi, Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia, 25 Mei 2013 http://balianzahab.wordpress.com/politik hukum/Apa Politik Hukum Itu… « Makalah, Berita, Paparan dan Diskusi Masalah Hukum 'Law Education'.htm , diakses tanggal 27 Juni 2012 pukul 20.42 wib
Riska Kurnianingrum, Lahir di Blitar, 07 Maret 1986. Penulis merupakan lulusan SMA Negeri 1 Blitar pada tahun 2004 dan Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Jember dan saat ini merupakan Mahasiswa Magister Hukum di Universitas Brawijaya.