MONITORING GUNUNG API Monitoring keaktifan gunung api merupakan serangkaian kegiatan oengukuran, analisa, dan interpretasi data gunung api dengan tujuan untuk dapat memprediksi terjadinya eupsi gunung api. (USGS Hazard Program : www.usgs.gov). Monitoring gunung api dilakukan disemua tubuh gunung api, dari kaki gunung api sampai puncak gunung api. Kegiatan monitoring ini juga dilakukan secara kontinyu, baik dalam jangka waktu 1 bulan sekali, atau satu semester, atau bahkan satu tahun, tergantung tingkat keaktifan dari gunung api itu sendiri. Monitoring gunung api mutlak dibutuhkan untuk mengantisipasi adanya peningkatan aktifitas gunung api. Posisi geologi indonesia yang dikelilingi oleh banyak gunung api, maka sudah barang tentu Pemerintah Indonesia harus menyediakan adanya monitoring yang memadai disetiap gunung api aktif di wilayah Indonesia, sebagai salah satu langkah dini dari mitigasi bencana gunung meletus. Monitorng gunung api dapat dilakukan dengan beberapa disiplin ilmu, diantaranya: 1. Geologi; monitoring gunung api menggunakan disiplin ilmu geologi menitik beratkan kepada kondisi geologis disekitar gunung api, meliputi deformasi yang terjadi di sekitar gunung api, dan juga endapan-endapan gunung api tersebut sebagai salah satu data interpretasi interpretasi aktifitas gunung api sebelumnya sebagai acuan pada periode saat ini. 2. Petrologi; dengan menganalisa batuan vulkanik secara menditail, baik fisika dan kimianya meliputi mineralogi dan potensi kandungan gas. 3. Geofisika; monitoring metode geofisika terdapat beberapa metode, yaitu gravitasi, seismik, magnetik, suhu, self potensial, dan EM. Dimana objek yang menjadi perhatian pada monitoring ini adalah posisi kantung magma beserta pergerakan magma, aktifitas hidrothermal yang berkaitan erat dengan tingkat eksplosifitas letusanm dan kestabilan bangunan gunung api. a. Monitoring Metode Gravitasi Monitoring aktivitas gunungapi dengan menggunakan metode gravitasi yang akan ditinjau dalam tulisan ini adalah monitoring episodik, bukan kontinu. Pengukuran
dilakukan pada beberapa titik tetap mulai dari bawah gunungapi sampai dengan puncak gunungapi. Jumlah titik bervariasi antara sepuluh sampai tigapuluh titik untuk tiap gunungapi. Perulangan pengukuran dilakukan dalam setiap bulan, 3 bulan, semester atau 1 tahun sekali. Tujuan utama dari monitoring ini adalah bukan untuk melakukan prediksi waktu letusannya, tetapi lebih diutamakan berkaitan dengan massa magma yang berubah, antara lain: Perpindahan magma dari satu tempat ke tempat lain. Perkiraaan penambahan massa dalam rentang waktu pengukuran untuk
memperkirakan potensi volume material yang akan dikeluarkan. Analisis terhadap perubahan densitas magma. Untuk dapat melakukan monitoring dengan hasil yang baik, seringkali
pengambilan data dilakukan tidak hanya dengan 1 gravitymeter, tetapi bias sampai dengan 4 gravitymeter sekaligus. Gravitymeter LaCoste & Romberg model D lebih baik digunakan untuk mendapatkan akurasi data yang baik. Monitoring mikrogravitasi melibatkan pengukuran variasi perubahan gravitasi terhadap waktu pada jaringan stasiun pengukuran yang tetap. Mikrogravitasi menjadi sebuah alat yang tepat untuk memetakan massa bawah permukaan yang berhubungan dengan aktivitas vulkanik. Saat ini telah banyak dilakukan monitoring gravitasi pada beberapa daerah vulkanik aktif di Amerika Tengah, Islandia, Itali, dan Jepang dan telah didapatkan data yang berharga yaitu data distribusi massa bersama dengan data aktivitas erupsi. Di Indonesia beberapa gunungapi juga telah dilakukan monitoring gravitasi ini, salah satunya di gunung Merapi, Jawa Tengah. Pada beberapa kasus monitoring gunung api menggunakan metode gravitasi mikro ternyata terdapat perbedaan karakteristik pada tiap gunung api. Pada gunung api tipe Basaltik cenderung mengalami deformasi elastik pada saat aktivitas erupsi terjadi sehingga tidak mengalami perubahan densitas yang signifikan. Kemudian pada gunung api tipe berstruktur 2 kaldera terjadi deformasi dan perubahan distribusi massa yang hampir mendekati hipotesa monitoring mikrogravitasi namun tidak cukup besar untuk mendeteksi aktivitas vulkaniknya. Di lain pihak beberapa data pada tipe gunung api andesitik stratovolkano terjadi perubahan distribusi massa yang cukup signifikan dan dapat dikaitkan dengan aktifitas vulkanik yang terjadi pada gunung api tersebut. Data gravitasi mikro biasanya dilakukan dengan membandingkan perbedaan nilai gravitasi
pada stasiun pengukuran yang tetap dengan sederetan pengukuran yang dilakukan secara periodik dapat dalam orde hari, bulan, atau bahkan tahun. b. Monitoring Metode Magnetik Dalam memonitoring gunung api menggunakan metode magnetik biasanya bisa dilakukan secara kontinyu ataupun secara periodik. Monitoring secara kontinu pada dasarnya hampir sama dengan monitoring secara periodik, yang membedakanya hanyalah waktu pengambilan datanya. Untuk monitoring secara kontinyu koordinat dari titik-titik magnetik pada gunung api ditentukan secara real–time dan terus menerus dengan sistem yang disusun secara otomatis. Agar metode ini dapat dilakukan maka diperlukan komunikasi data antara titik-titik magnetik pada gunung api dan stasiun pengamat. Dalam melakukan monitoring magnetik digunung api biasanya minimal kita harus membutuhkan dua alata magnetometer untuk melakukan pengukuran. Salah satu alat diletekan ditempat yang relative jauh dari aktivitas gunung api, sebagai basenya, dan alat yang lainya diletakan disekitar gunung api untuk memonitoring aktivitas gunung api tersebut. Dengan demikian kita akan memiliki minimal satu data hasil pengukuran magnetik digunung api dan satu data yang yang tanpa pengaruh aktivitas gunung api, sehingga dari kedua data tersebut kita bisa membandingkan antara keduanya. Sehingga ketika terjadi perubahan nilai magnetik akan ketahuan. Pengamatan magnetic juga dilakukan untuk mengamati nilai intensitas magnet di atas gunung api, apabila magma mulai naik ke atas permukaan maka nilai intensitas magnet di atas gunung api akan rendah karena pengaruh panas magma. Magma yang naik ke atas permukaan akan memiliki nilai susceptibilitas yang rendah dibandingkan dengan batuan vulkanik pembentuk gunung api. Hasil akhir dari pengukuran Geomagnet juga untuk memodelkan volume daripada dapur magma. Meningkatnya aktivitas gunung api dicirikan dengan naiknya temperatur yang berasal dari magma menuju permukaan. Batuan bawah permukaan gunung api akan mengalami perubahan magnetisasinya ketika temperatur yang melewatinya mengalami perubahan. Bahan magnetik akan berkurang magnetisasinya jika temperatur naik, dengan demikian perubahan sifat magneti batuan di daerah gunung api aktif akan memberikan informasi tentang aktivitas gunung api tersebut. Semakin meningkatnya aktivitas maka temperaturnya akan semakin tinggi dan hal ini menyebabkan sifat magneti batuannya akan cenderung kearah diamagnetik.
Perubahan sifat magnetic batuan diukur melalui survey magnetic secara berkala. Pengamatan magnetik dilakukan untuk mengamati nilai intensitas magnet di atas gunung api, apabila magma mulai naik ke atas permukaan maka nilai intensitas magnet di atas gunung api akan rendah karena pengaruh panas magma. Magma yang naik ke atas permukaan akan memiliki nilai susceptibilitas yang rendah dibandingkan dengan batuan vulkanik pembentuk gunungapi. Dalam istilah vulkanologi, kemagnetan gunung api dapat disebut sebagai vulkanomagnetik. Perubahan sifat kemagnetan ini disebabkan aktifitas Gunung Api tersebut, antara lain: 1.
Proses Thermomagnetik; merupakan serangkaian proses demagnetisasi dan remagnetisasi akibat adanya kenaikan suhu hingga mencapai suhu Currie yakni >5800C. Saat suatu benda bermagnet dipanasi hingga mencapai suhu Currie, benda tersebut akan mengalami demagnetisasi atau kehilangan sifat magnetisnya. Namun, saat suhu kembali turun benda tersebut akan termagnetisasi kembali atau mengalami remagnetisasi. Sifat magnetisasi ini dalam hubungannya dengan aktifitas Gunung Api adalah pada proses naiknya magma. Pada saat tersebut bagian atas Gunung Api akan memanas sehingga medan magnetnya akan menurun dan begitu pula sebaliknya. Proses tersebut telah dibuktikan berdasakan pada percobaan laboratorium yakni melalui penngukuran suseptibilitas magnet batuan Andesitik dari Gunung Popocatepetl Stratovolcano di Mexico dengan hasil sebagai berikut.
2. Efek Piezomagnetik; merupakan sifat magnetisme yang disebabkan oleh adanya tekanan yang dikenakan pada suatu batuan sehingga menimbulkan sifat magnet. Piezomagnetik adalah perubahan sifat kemagnetan yang diakibatkan oleh tekanan non- hidrostatis (deviatorik). Dalam pembahasan ini efek dari tekanan hidrostatis
yang kecil diabaikan Efek ini ditemukan berdasarkan pada percobaan laboratorium dimana suatu batuan saat diberi tekanan akan mengalami perubahan nilai Intensitas Magnet per unit volume sebesar tekanan yang mengenainya. Bila I merupakan intensitas magnet, σ merupakan besarnya tekanan yang dikenakan pada batuan, dan K merupakan konstanta sensitifitas benda terhadap tekanan, maka besar perubahan intensitas magnet dapat dinyatakan sebagai berikut.
Karena kenaikan Intensitas Magnet maka akan meningkatkan nilai induksi magnetik sehingga meningkatkan nilai medan magnet sebagai berikut.
3. Fenomena Elektrokinetik; magnetisme yang disebabkan oleh pergerakan fluida magmatis. Saat bergerak, fluida magmatis akan melalui dua medium yakni medium padat dan setengah padat, sehingga akan terjadi transfer ion yang menyebabkan terbentuknya medan listrik yang juga akan menghasilkan medan magnet. c. Monitoring Sumber Gempa Dinamika aktivitas gunungapi salah satunya dapat dipandang sebagai variasi pada parameter sumber gempa gunungapi. Dilain pihak seismogram merupakan rekaman perjalaran sumber gelombang ke permukaan pada suatu tempat. Secara prinsip dapat dikatakan seismogram itu merupakan konvolusi fungsi sumber gelombang dengan fungsi Green persamaan elastodinamik. Dengan mengetahui Hal -75- fungsi Green dan seismogram (data) maka karakteristik sumber gempa dapat ditentukan. d. Monitoring Deformasi dengan GPS GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit milik Amerika Serikat. Nama formal dari sistem satelit militer ini adalah NAVSTAR GPS, kependekan dari NAVigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning System. Sistem yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca ini, didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi yang teliti, dan juga informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia. Prinsip dari metode pemantauan aktivitas gunung berapi dengan metode Survei GPS pada dasarnya relatif mudah, yaitu pemantauan terhadap perubahan koordinat dari beberapa titik yang mewakili gunung tersebut secara periodik.
Pada metode ini, beberapa alat penerima sinyal (receiver) GPS ditempatkan pada beberapa titik pantau yang ditempatkan pada punggung dan puncak gunung yang akan dipantau, serta pada suatu stasion referensi yang dianggap sebagai titik stabil. Koordinat dari titik-titik pantau tersebut kemudian ditentukan secara teliti dengan GPS, relatif terhadap stasion referensi, dengan menggunakan metode penentuan posisi diferensial menggunakan data pengamatan fase. Selanjutnya dengan mempelajari perubahan koordinat 4 titik-titik pantau tersebut, baik terhadap stasion referensi maupun di antara sesama titik pantau secara periodik, maka karakteristik deformasi dan magmatik gunung berapi yang bersangkutan dapat dipelajari dan dianalisa, seperti yang diilustrasikan pada Gambar berikut.
Dalam konteks studi deformasi gunungapi dengan metode survei GPS, ada beberapa keunggulan dan keuntungan dari GPS yang perlu dicatat, yaitu antara lain: GPS dapat mencakup suatu kawasan yang relatif luas tanpa memerlukan saling keterlihatan antar titik-titik pengamatan. Dengan karakteristik seperti
ini, GPS dapat memantau sekaligus beberapa gunungapi yang berdekatan. GPS memberikan nilai vektor koordinat serta pergerakan titik (dari minimum dua kala pengamatan) dalam tiga dimensi (dua komponen horisontal dan satu komponen vertikal), sehingga dapat informasi deformasi yang lebih baik dibandingkan metodemetode terestris yang umumnya memberikan informasi deformasi dalam satu atau
dua dimensi. GPS memberikan nilai vektor pergerakan titik dalam suatu sistem koordinat referensi yang tunggal dan stabil baik secara spasial maupun temporal. Dengan itu maka GPS
dapat digunakan untuk memantau deformasi gunung atau gunung-gunungapi dalam
kawasan yang luas secara konsisten dari waktu ke waktu. GPS dapat memberikan nilai vektor pergerakan dengan tingkat presisi
sampai
beberapa mm, dengan konsistensi yang tinggi baik secara spasial maupun temporal. Dengan tingkat presisi yang tinggi dan konsisten ini maka diharapkan besarnya
pergerakan titik yang kecil sekalipun akan dapat terdeteksi dengan baik. GPS dapat dimanfaatkan secara kontinyu tanpa tergantung waktu (siang maupun malam), dalam segala kondisi cuaca. Dengan karakteristik semacam ini maka pelaksanaan survei GPS untuk studi deformasi gunungapi dapat dilaksanakan secara
efektif dan fleksibel. e. Pengamatan Seismisitas Pengamatan seismisitas gunung api pertama sekali diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an melalui publikasi Aki et.al pada tahun 1977. Ketika sebuah gunung api akan meletus maka akan ada aktifitas seismisitas berupa tremor/getaran-getaran kecil/gempa vulkanik yang biasanya dirasakan oleh masyarakat yang dekat dengan gunung api. Aktifitas seismisitas ini meningkat karena peningkatan aktifitas dan tekanan di dapur magma. Peningkatan ini menyebabkan terjadinya rekahan-rekahan yang menjadi sumber gempa vulkanik. Sebelum pengamatan seismisitas ini bisa dilakukan, hal pertama yang harus dilakukan adalah pemasangan seismometer di sekitar gunung api yang akan diamati. Untuk pengamatan lebih akurat, harus dipasang lebih dari satu seismometer di setiap gunung api. Di Indonesia, dari 129 gunung api aktif saat ini sudah dilakukan pengamatan sebanyak
69
gunung
api
sisanya
mudah-mudahan
bisa
disegera
dilakukan
pengamatan (PVMBG). Pengamatan seismisitas akan menyelamatkan banyak jiwa seperti ketika gunung api Pinatubo di Philipina erupsi pada tahun 1991. f. Pengamatan Gas dan Thermal Selain peningkatan seismisitas, peningkatan gas dan thermal (suhu) juga terjadi apabila sebuah gunung api akan erupsi. Beberapa gas keluar ketika gunung api mau dan sedang erupsi antara lain; Karbonmonoksida (CO), Karbondioksida (CO2), Hidrogen
Sulfide (H2S), Sulfurdioksida (S02), dan Nitrogen (NO2). Peningkatan suhu juga bisa teramati dari mulai mengeringnya sungai dan danau serta perpohonan yang mulai mati di sekitar gunung api. Pengukuran untuk gas dan thermal bisa dilakukan secara langsung, namun pengukuran secara langsung sangat berisiko bagi pengukur. Solusi lain adalah dengan cara memasang alat pengukuran gas dan thermal di lapangan fumaroel dan datanya terekam secara terus-menerus dan bisa dikirim secara automatis ke pusat pengamatan. Untuk saat ini pengukuran kandungan gas juga sudah bisa dilakukan melalui pesawat terbang seperti gambar (USGS) disamping tulisan ini. g. Pengamatan Citra Satelit Salah satu tujuan utama penginderaan jauh dalam bidang pemetaan adalah untuk mengetahui atau mendapatkan gambar suatu obyek tanpa harus ‘mendatangi’ obyek tersebut secara langsung. Metode ini terkait dengan sensor yang bisa mengamati suatu obyek, yang analoginya adalah kamera foto. Jika kamera atau sensor ini terletak di pesawat udara, maka hasilnya adalah foto udara; jika terletak di satelit atau pesawat luar angkasa, maka hasilnya adalah citra satelit. Sensor merekam semua pantulan radiasi yang dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi. Radiasi yang umum adalah dari pantulan sinar matahari (gelombang cahaya) yang direkam oleh sensor dan diterjemahkan dalam warna yang berbeda tergantung panjang gelombangnya. Metode ini dikelompokkan menjadi penginderaan jauh pasif, karena sensor hanya menerima pantulan panjang gelombang cahaya. Kelemahannya adalah sangat tergantung kepada sinar matahari, artinya tidak berfungsi di malam hari, dan tidak dapat menembus awan. Aplikasi remote sensing bisa digunakan dalam pemetaan topografi, pembuatan model permukaan (digital elevation model), pemetaan arus laut, pekerjaan hidrologi, aktivitas terkait dengan seismik, kegiatan terkait dengan deformasi permukaan (penurunan atau kenaikan permukaan tanah), gunung api, perubahan daerah pesisir serta aplikasi kehutanan.
ANALISIS SPEKTRAL GUNUNG SLAMET
Salah satu metode geofisika yang digunakan dalam pemantauan kegiatan gunungapi adalah metode seismik, Metode ini dilakukan dengan cara memantau kegiatan seismik atau kegempaan gunungapi secara menerus; baik sebelum letusan, pada saat letusan, maupun setelah letusan. Dalam penelitian ini, estimasi spektral dilakukan pada data rekaman seismogram dari Gunung Slamet pada bulan Mei 1996, yang menggunakan seismometer tipe L4-C Mark Product dengan frekuensi natural 1 Hz. Sehingga diperoleh gambaran secara umum mengenai tingkat kegiatan dari Gunung Slamet tersebut. Selain itu juga ditentukan kedalaman hiposenter untuk mengetahui tingkat penyebaran sunber gempabumi gunungapi yang diakibatkan oleh Gunung Slamet Berdasarkan klasifikasi kegempaan yang dibuat oleh Minakami (1974), kegiatan seismik atau kegempaan Gunung Slamet termasuk dalam gempa gunungapi tipe B. Hal ini dicirikan dengan frekuensi spektrum berkisar 4–7 Hz, durasi gempa pendek, ts–tp sulit terbaca Gempa gunungapi Tipe B Sumber gempa gunungapi tipe ini terdapat pada kedalaman kurang dari 1 km dari kawah yang sedang aktif. Oleh karena itu gempa yang tercatatmempunyai gerakan awal yang cukup jelas, tapi waktu tiba gelombang S tidak dapat dilihat secara jelas Untuk mengamati aktivitas Gunung Slamet, dibangun stasiun-stasiun pencatat gempa disekitar Gunung Slamet etrsebut : 1. Stasiun GUC Berada pada ketinggian 1338 m di atas permukaan laut, berjarak mendatar 370 m dari Gunung Slamet. Posisi geografi stasiun GUC 7º 12' 13" Lintang Selatan dan 109º 10' 13" Bujur Timur.
2. Stasiun DKL Posisi geografi stasiun DKL 7º 10' 52" Lintang Selatan dan 109º 11' 41" Bujur Timur. Berada pada ketinggian 1170 m di atas permukaan laut, berjarak mendatar 860 m dari Gunung Slamet. 3. Stasiun CKT Berjarak mendatar 670 m dari Gunung Slamet. Berada pada ketinggian 1310 m di atas permukaan laut, Posisi geografi stasiun CKT 7º 13' 08" Lintang Selatan dan 109º 16' 14" Bujur Timur. Pada pengolahan data untuk menentukan spektral, data yang digunakan adalah seluruh rekaman (termasuk coda yang ikut terekam). Hal ini menyebabkan hasil spektral yang diperoleh kemungkinan lebih mewakili coda dari pada body wave-nya itu sendiri. Untuk itu perlu dilakukan pemilahan data (coda dan body wave) yang lebih akurat untuk mendapatkan hasil spektral yang lebih bagus. Dalam penentuan kedalaman hiposenter, pengolahan yang dilakukan adalah penentuan kedalaman relatif hiposenter, bukan harga mutlaknya. Akan tetapi hanya untuk mengetahui distribusi penyebaran dari kedalaman hiposenter tersebut. Dari hasil pengolahan data estimasi spektral diperoleh bahwa spektral gempa untuk Gunung Slamet untuk masing-masing stasiun pencatat gempa relatif tidak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa pada frekuensi tersebut memang terjadi getaran gempa yang disebabkan oleh sumber Gunung Slamet tersebut yang relatif tetap. Secara umum gempa Gunung Slamet mempunyai frekuensi antara 4,0 Hz sampai dengan 5,8 Hz. Stasiun GUC mempunyai harga spektral yang relatif lebih besar dibandingkan dengan dua stasiun yang lainnya, karena letak stasiun GUC yang relatif lebih dekat dengan Gunung Slamet dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya tersebut. Dari hasil perhitungan kedalaman hiposenter diperoleh bahwa adanya semacam pendangkalan sumber gempa, meskipun tidak secara langsung.