GEOLOGI DAN PETROLOGI BATUAN GUNUNG API DAERAH MELIKAN, DAN SEKITARNYA KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No Lembar Peta 8/45 1408-314 1408-314 (Cawas), 4/15 1408-312 1408-312 (Karangmojo) SKRIPSI TIPE I Diajukan untuk memenuhi kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
Oleh :
Sofyan Samsudin 08. 10.0520
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND YOGYAKARTA 2015
i
LEMBAR PENGESAHAN GEOLOGI DAN PETROLOGI BATUAN GUNUNG API DAERAH MELIKAN DAN SEKITARNYA KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No Lembar Peta 8/45 1408-314 1408-314 (Cawas), 4/15 1408-312 1408-312 (Karangmojo) SKRIPSI TIPE I
Diajukan untuk memenuhi kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI GEOLOGI DAN PETROLOGI BATUAN GUNUNG API DAERAH MELIKAN DAN SEKITARNYA KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No Lembar Peta 8/45 1408-314 1408-314 (Cawas), 4/15 1408-312 1408-312 (Karangmojo) SKRIPSI TIPE I
Diajukan untuk memenuhi kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
iii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang perna diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetathuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang perna ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka ini.
Yogyakarta, 2015
Sofyan Samsudin
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Untuk kedua Orang Tua dan Kaka saya; terimakasih atas dukungan moril maupun do’a selama ini. Untuk teman-teman saya; semoga perjuangan yang kita lakukan sekarang tidak sia-sia dan semoga kita semua menjadi generasi penerus bangsa yang takwa terhadap Tuhan YME, mencintai Negeri ini, serta selalu bersatu dalam setiap kesusahan maupun kesenangan. Amin
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis diberikan kemudahan dan kelancaran sehingga dapat menyelesaikan Skripsi Tipe I dengan judul Geologi dan Petrologi Batuan Gunung api Daerah Melikan Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta ini tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan dan penyelesaian laporan Skripsi Tipe I ini tidak akan dapat penulis selesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Samsudin Hi Rauf (ayah), Munira Gandahur (Ibu), Nurjana Buamona (kaka), Amirudin Buamona (kaka) dan Jubaida Buamona (kaka) Tidak ada kata-kata selain ucapan terima kasih untuk cinta, perhatian, doa, pengorbanan, nasehat, dukungan dan semua yang telah diberikan buat saya selama ini. Terima kasih karena telah hadir bersama saya baik disaat susah maupun senang, Semangat dan dorongan yang kalian berikan sungguh menjadi cambuk buat sa ya. 2. Ibu Dr. Sri Mulyaningsih, S.T., M.T. selaku dosen pembimbing I dan selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi. serta sebagai orang tua saya selama di kampus IST Akprind yang telah memberikan motifasi, bimbingan dan ilmu kegunungapian, selama kuliah sampai sekarang menempuh skripsi. 3. Bapak Arie Noor Rakhman, S .T., M. T. Selaku dosen pembimbing II yang telah membimbin, dan memberikan semangat selama di perkuliahan, seminar dan sampai sekarang menempuh skripsi 4. Sahabat pemetaan Zona Pegunungan Selatan Stiwinder, Inonk, Erwin, Karam, adik Yoli, Nur Aisah, Jose, Roby, dan teman teman Zona Kendeng Bill, Yorim, Carla, Kristo, Fali, Didik dan teman-teman seperjuangan 08 Teknik Geologi IST AKPRIND, dan semua pihak
vi
yang tidak dapat disebutkan semuanya yang selalu bersedia membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan tugas akhir ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan segala kritik , saran dan masukan yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan tugas akhir ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Yogyakarta, 2015
Sofyan Samsudin
vii
INTISARI
Daerah penelitian secara administratif terletak di daerah Melikan dan sekitarnya, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewah Yogyakarta. Secara astronomis terletak pada koordinat 07°50’00” LS 07°55’300” LS dan 110°40’00” BT - 110°45’00” BT. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keadaan geologi daerah penelitian, yang meliputi geomorfologi, stratigrafi, geologi struktur, sejarah geologi, dan geologi lingkungannya, serta petrologi batuan gunung api yang berada pada daerah tersebut. Metode yang digunakan dalam penyusunan tugas akhir adalah dengan pemetaan geologi permukaan yang meliputi beberapa tahapan, antara lain tahap persiapan, tahap pemetaan geologi permukaan, tahap analisis laboratorium, dan tahap penyusunan laporan. Geomorfologi di daerah penelitian dibagi menjadi enam subsatuan geomorfologi, yaitu: subsatuan geomorfologi dataran aluvial, tubuh sungai, perbukitan bergelombang sedang-kuat (D2), perbukitan bergelombang sedangkuat (D3) dan perbukitan bergelombang lemah-sedang (D4). Pola pengaliran berupa subdendritik, denritik, multibasinal, serta kontorted, dengan stadia daerah dewasa. Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari enam satuan batuan dari yang tua sampai muda adalah satuan breksi pumis, satuan tuff, satuan breksi polimik,breksi andesit, satuan batugamping, dan satuan endapan aluvial. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa sesar dan kekar. Di daerah penelitian terdapat terdapat sesar mendatar kiri bending, dengan arah timur barat. Sesumber geologi daerah penelitian berupa air, lahan, bahan galian (breksi pumis dan tuf dan batugamping). Bahaya geologi berupa banjir, dan tanah longsor. Hasil identifikasi morfologi, stratigrafi, serta struktur geologi membuktikan bahwa daerah penelitian merupakan daerah busur kepulauan gunung api pada masa lampau. Kegiatan vulkanisme dimulai dari fase pembentukan tubuh komposit (konstruktif ) yang penyusunnya berupa lava andesit-basaltis - lava andesit-dasitis serta material piroklastik dan koloni gamping yang hidup di sekitar lereng gunung api pada saat itu. setelah itu mengalami fase penghancuran tubuh ( destruktif ) menghasilkan breksi polimik (campuran fragmen batuan sebelumnya), tuf, serta breksi pumis. Selanjutnya kontrol eksogen seperti pelapukan dan erosi berperan dan menghasilkan bentang alam seperti yang terlihat saat i ni.
viii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... iii PRAKATA .......................................................................................................... vi INTISARI ............................................................................................................ .vi DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xviii BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
I.1. Latar belakang......................................................................................... 1 I.2. Maksud dan tujuan .................................................................................. 1 I.3. Letak, luas dan kesampaian daerah .........................................................2 I.4. Permasalahan...........................................................................................4 I.4.1 Pemetaan geologi ...........................................................................4 I.4.2 Analisis batuan gunung api ............................................................5 I.5. Metode penelitian ....................................................................................5 I.5.1 Tahap persiapan .............................................................................5 I.5.2 Penilitian lapangan ......................................................................... 6 I.5.3 Analisis laboratorium dan studio ...................................................9 I.5.4 Pembuatan peta dan laporan ..........................................................9 I.6. Alat dan bahan .......................................................................................10 I.7. Penelitian terdahulu ...............................................................................11
ix
BAB II. GEOMORFOLOGI .............................................................................. 13
II.1 Geomorfologi Regional ...................................................................... 13 II.2 Geomorfologi Daerah Penelitian ........................................................ 15 II.2.1 Sub satuan geomorfologi dataran aluvial .................................. 17 II.2.2 Sub satuan geomorfologi tubuh sungai ..................................... 18 II.2.3 . Satuan geomorfik asal denudasional (D2) ............................... 19 II.2.4 Satuan geomorfik asal denudasional (D3)……………………..20 II.2.5 Satuan geomorfik asal denudasional (D4) ............................... 21 II.3. Pola pengaliran sungai ........................................................................ 22 II.3.1 Pola pengaliran daerah penelitian ..................................................... 25 II.4. Stadia daerah penelitian ...................................................................... 28 BAB III. STRATIGRAFI ...................................................................................31
III.1. Stratigrafi Regional............................................................................ 31 III.1.1. Batuan metamorf ..................................................................... 31 III.1.2. Formasi Wungkal-Gamping.................................................... 32 III.1.3. Formasi Kebo-Butak ............................................................... 32 III.1.4. Formasi Semilir ....................................................................... 32 III.1.5. Formasi Nglanggran ................................................................ 33 III.1.6. Formasi Mambipitu ................................................................. 33 III.1.7. Formasi Oyo ............................................................................ 34 III.1.8. Formasi Wonosari .................................................................. 35 III.1.9. Formasi Kpek .......................................................................... 35 III.1.10. Endapan Aluvium ................................................................. 35 III.2 Stratigrafi daerah penelitian................................................................ 37 III.2.1. Satuan breksi pumis ................................................................... 40 III.2.1.1. Dasar penamaan ................................................................... 40
x
III.2.1.2. Penyebaran dan ketebalan .................................................... 40 III.2.1.3. Ciri litologi ........................................................................... 41 III.2.1.4. Umur dan hubungan stratigrafi ............................................ 42 III.2.2. Satuan tuf .................................................................................. 42 III.2.2.1 Dasar penamaan .................................................................... 42 III.2.2.2 Penyebaran dan ketebalan ..................................................... 43 III.2.2.3 Ciri litologi ............................................................................ 43 III.2.2.4 Umur dan hubungan stratigrafi ............................................. 44 III.2.3 Satuan breksi polimik.................................................................. 45 III.2.3.1 Dasar penamaan .................................................................... 45 III.2.3.2 Penyebaran dan ketebalan ..................................................... 45 III.2.3.3 Ciri Litologi........................................................................... 45 III.2.3.4 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 46 III.2.4 Satuan Breksi Andesit ................................................................. 46 III.2.4.1 Dasar penamaan .................................................................... 46 III.2.4.2 Penyebaran dan Ketebalan .................................................... 47 III.2.4.3 Ciri Litologi........................................................................... 47 III.2.4.4 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 48 III.2.5 Satuan Batugampig klastik .......................................................... 48 III.2.5.1 Dasar Penamaan .................................................................... 48 III.2.5.2 Penyebaran dan Ketebalan .................................................... 49 III.2.5.3 Ciri Litologi........................................................................... 49 III.2.5.4 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 50 III.2.6 Endapan Aluvial ......................................................................... 51 III.2.6.1 Penyebaran dan Ketebalan .................................................... 51 III.2.6.2 Ciri Litologi........................................................................... 51
xi
III.2.6.3 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 52 BAB. IV STRUKTUR GEOLOGI ..................................................................... 53
IV.1 Struktur Geologi Regional.................................................................. 53 IV.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian .................................................. 56 IV.2.1. Struktur kekar.......................................................................... 56 IV.2.2. Struktur sesar ........................................................................... 57 IV.2.2.1 Sesar mendatar kiri Bendung ............................................ 58 IV. 2.3. Struktur antiklin Ngampon ...................................................... 59 IV.3 Genesa Pembentukan Struktur Geologi Daerah Penelitian ................ 59 BAB V. SEJARAH GEOLOGI .......................................................................... 61
V.I Sejarah Geologi Daerah Penelitian....................................................... 61 V.I.1. Kala Miosen Awal – Miosen Akhir ....................................... 61 V.I.2 Kala Miosen Tengah-Miosen Akhir ....................................... 63 V.I.3. Kala Pliosen Akhir ................................................................. 63 BAB VI. GEOLOGI LINGKUNGAN ............................................................... 65
VI.1. Potensi Sumber Daya Alam .............................................................. 65 VI.1.1. Air ....................................................................................... 65 VI.1.2. Bahan galian......................................................................... 66 VI.1.2.1. Breksi pumis dan tuf.................................................. 67 VI.1.2.1. Batugamping ............................................................. 68 VI.1.3. Sumber daya lahan ............................................................... 68 VI.2 Bencana Alam .................................................................................... 70 BAB VII. PETROLOGI BATUAN GUNUNG API…………………………..71
VII.1 Latar Belakang .................................................................................. 71 VII.2 Dasar Teori ........................................................................................ 73 VII.2.1 Pengertian gunung api ........................................................... 73
xii
VII.2.2 Volkanisme dan batuan gunung api ...................................... 74 VII.2.2.1 Lava koheren ............................................................... .76 VII.2.2.2 Batuan klastika gunung api.......................................... .77 VII.2.2.3 Jenis endapan piroklastik................. ………………....82 VII.2.2.4 Identifikasi fasies gunung api berdasarkan stratigrafi gunung api.........................................………………...83 VII.3 Metode Pendekatan ......................................................................... .85 VII.4 Petrologi Batuan Gunung Api ......................................................... .86 VII.4.1 Analisis profil dan litofasies pada LP 44 .............................. 87 VII.4.1.1 Analisis profil satuan breksi polimik ........................... 87 VII.4.1.2 Breksi pumis ................................................................ 88 VII.4.1.3 Tuf kasar ...................................................................... 90 VII.4.1.4 Tuf halus ...................................................................... 93 VII.4.1.5 Breksi polimik .............................................................. 94 VII.4.1.6 Mekanisme pengendapan ............................................. 97 VII.4.2 Analisis profil dan litofasies pada LP 62 .............................. 99 VII.4.2.1 Analisis profil .............................................................. 99 VII.4.2.2 Breksi pumis…………………………………………101 VII.4.2.3 Tuf lapilli…………………………………………….103 VII.4.2.4 Tuf halus……………………………………………..105 VII.4.2.4 Mekanisme pengendapan…………………..………..107 VII.4.3 Analisis profil dan litofasies pada LP 35………………….108 VII.4.3.1 Analisis profil………………………………………..108 VII.4.3.2 Tuf halus……………………………………………..110 VII.4.3.3 Tuf kasar……………………………………………..111 VII.4.3.4 Breksi pumis…………………………………………113
xiii
VII.4.3.4 Mekanisme pengendapan……………………………116
BAB VIII. KESIMPULAN …………………………………………………...118 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ANALISIS PETROGRAFI ANALISIS PALEONTOLOGI LAMPIRAN LEPAS PETA LINTASAN PETA GEOLOGI PETA GEOMORFOLOGI
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.
Peta indeks lokasi daerah penelitian dan letaknya dari Kota Yogyakarta, kotak warna hitam adalah daerah penelitian (Modifikasi dari peta RBI,2013) .................................................
4
Peta topografi daerah penelitian (Modifikasi dari peta RBI,2014)....................................................................................
6
Gambar 1.3.
Bagian alir penelitian (Penulis 2013) ..........................................
11
Gambar 2.1.
Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Bemmelen, 1949) .......................................................................
15
Subsatuan gemorfik dataran aluvial, foto di ambil pada desa Watusigar 173 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan ensah kamera menghadap ke Tenggara (foto penulis 2013) ....
18
Morfologi tubuh sungai dengan pola tapal kuda (meander) garis hijau menunjukan arah aliran berkelok-kelok sebagai pencirisungai tapal kuda Foto berada pada kali Oyo dusun Radusari dengan kondisi cuaca cerah dan lensa kamera menghadap ke timur laut (foto penulis 2013) ..........................
19
Perbukitan bergelombang sedang-kuat (D2) foto di ambil pada desa Bulurejo dengan arah kamera menghadap ke ketenggara ..
20
Perbukitan bergelombang sedang-kuat, terdiri dari litologi batugambing klastik dan tuf (D3) foto di ambil pada desa Tapansari cuaca cerah, dan arah lensa kamera menghadap ke selatan (foto penulis 2013) ..........................................................
21
Perbukitan bergelombang lemah-sedang (D4) tersusun dari litologi tuf dan napal,foto di ambil pada dusun Bendungan, dengan cuaca cerah dan arah lensa kamera menghadap ke Timurlaut (foto penulis 2013) .....................................................
22
Gambar 2.7.
Klasifikasi pola aliran (Howard, 1967). ...................................
23
Gambar 2.8.
Kenampakan pola aliran pada daerah penelitian (penulis, 2013) ..........................................................................................
27
Gambar 1.2.
Gamba2.2.
Gambar 2.3.
Gambar 2.4.
Gambar 2.5.
Gambar 2.6.
xv
Gambar 2.9.
Sungai dengan stadia muda, dimana menunjukan aliran yang deras dan penampang “V” dan tidak ada proses sedimentasi, cuaca cerah dan arah lensa menghadap ke selatan. (foto penulis, 2013). ...........................................................................
28
Penampang sungai stadia dewasa. Pola lembah huruf “U” pada kali Oyo lensah kamera menghadap ke barat laut. (foto penulis, 2013) ............................................................................
29
Gambar 3.1.
Stratigrafi Pegunungan selatan menurut Surono, dkk., (1992)..
36
Gambar 3.2.
Letak formasi di daerah penelitian dan posisi litostratigrafi berdasarkan peta regional Surakarta-Giritontro oleh Surono, dkk (1992) .................................................................................
37
Gambar 3.3.
Stratigrafi daerah penelitian. (penulis 2013) ............................
39
Gambar 3.4.
Gambar 3.4. Kenampakan singkapan pada satuan breksi pumis di LP 35 berada di Dusun Sorodadi, Kecamatan Ponjong, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini sebagian besar tertutup oleh rumput. Kedudukan batuan (N95 E/18) dan arah lensah kamera menghadap ke barat-dayat. (foto penulis, 2013). ......................
41
Ciri fisik Breksi Pumis di lapangan pada LP 42 di dusun jeruken (foto penulis, 2013) ......................................................
42
Tuf dengan struktur berlapis, Foto diambil pada LP 33 dengan arah lensah kamera mnghadap ke barat. (foto penulis, 2013) ..
44
Satuan breksi polimik dan hubungannya di lapangan dengan anggota litologi yang lainnya. Foto diambil pada LP 44 dengan arah kamera menghadap ke barat (foto penulis, 2013)
46
Foto Inset litologi breksi Andesit yang masih kelihatan fresh singkapan Breksi Andesit ini berada pada LP 136. Cuaca cerah, (foto penulis 2013. (foto penulis, 2013)..........................
48
gambar 2.10.
Gambar 3.5.
Gambar 3.6.
Gambar 3.7.
Gambar 3.8.
xvi
Gambar 3.9.
Kenampakan kontak di lapangan antara satuan Tuf dan satuan Batugamping klastik, dimana kenampakan kontak antara satuan tersebut terdapat basalt konglomerat di (tengah) yang mencirikan bahwa kedua satuan ini tidak selaras foto ini di ambil pada LP 110 di desa bejono (foto penulis, 2013 .............
49
Gambar 3.10. Ciri fisik batugamping klastik di lapangan, dengan (kondisi Fres) foto diatas menunjukan batugamping berada di bagian bawah sedangkan soil berada di atas dengan kedudukan N 95’ E/10’ pada LP 24 Desa Watusigar (foto penulis,2013) ............
50
Gambar 3.11. Klasifikasi lingkungan batimetri, gabungan dari Tipsword, dkk (1966) dan Ingle (1980) .............................................................
51
Gambar 3.12. Endapan Aluvial. Foto diambil pada LP 132. dengan arah kamera menghadap ke tenggara, foto penulis, 2013) ................
52
Gambar 3.13. Satuan endapan Aluvial pada LP 131 timurlaut, besar terdiri dari atas pasir, kerikil. Bongkah dan lempung (foto penulis, 2013) .........................................................................................
52
Gambar 4.1.
Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya (modifikasi dari Pulunggono dan Martodjojo, 1994 dalam Prasetyadi, 2007) ......................................................................
53
Pola struktur geologi regional daerah penelitian (Surono, dkk., 1992) ..........................................................................................
55
Gambar 4.3. Kenampakan struktur kekar gerus pada satuan breksi pumis. Foto diambil Pada LP 103, di Desa Bendung, lensa kamera menghadap ke barat (foto penulis, 2013) .................................
56
Gambar 4.2.
Gambar 4.4.
Gambar 4.5.
Sesar mendatar kiri Bendung pada singkapan breksi dan tuf, pada satuan tuf di temukan bidang sesar yang menjadi bukti bahwa pada daerah Bendung berkembang sesar mendatar kiri, arah lensah kamera menghadap ke barat laut (penulis,2013) .....
58
Antiklin Ngampon pada singkapan tuf, di satuan tuf, di dapatkan antiklin dengan arah umum barat-timur di interprestasikan bahwa ini merupakan struktur lipatan yang terjadi di daerah penelitian dikarenakan adanya proses kompresi, lensa kamera menghadap barat (foto penulis 2013)
59
xvii
Gambar 4.6.
Pola struktur pada daerah vulkanik beserta struktur penyertanya (Penulis 2013) ......................................................
57
Gambar. 5.1. 1) Kala Miosen Bawah aktivitas vulkanisme mengalami evolusi, magma basal menjadi andesit basalt, andesit – dasit. 2) Kala Miosen Tengah Terjadi ledakan sangat eksplosif ditandai dengan kemunculan breksi pumis yang melimpah, setelah itu aktivitas vulkanisme berhenti & digantikan dengan pengendapan sedimen laut. 3) Kala Pliosen Akhir fase tektonik berupa pengangkatan. ..................................................
64
Gambar 6.1.
Gambar 6.2.
Gambar 6.3.
Gambar 6.4.
Gambar 6.5.
Gambar 6.6.
Gambar 6.7.
Gambar 7.1.
Gambar 7.2.
Kali Oyo sebagai salah satu sumber daya air daerah penelitian. Kamera menghadap ke barat (foto penulis, 2013) ....................
66
Tempat penambangan breksi pumis pada desa Surodadi. Pada LP 45 (foto penulis 2013) .........................................................
67
Tempat penambangan breksi pumis pada desa Surodadi. Pada LP 35 (foto penulis 2013) .........................................................
67
Penambangan batugamping yang dilakukan oleh warga setempat. Lensa kamera menghadap ke Barat-daya (foto penulis, 2013) ...........................................................................
68
Perkebunan kayu putih pada geomorfik bergelombang sedang di desa Kedongdowo kecamatan Karangmojo, di bagian barat daya daerah penelitian (foto penulis 2013) ...............................
69
Daerah persawaan yang berada di dataran renda (alluvial), di desa Randusari, kecamatan Ngawen berada di bagian tengah daerah penelitian (foto penulis 2013) .......................................
69
Tanah longsor yang terjadi pada Dusun Melikan. Arah foto menghadap ke tenggara (foto penulis 2013) .............................
70
Peta Geologi Regional daerah penelitian. ( modifikasi dari Surono,dkk., 1992) ...................................................................
72
(a) Model Letusan gunung api, dan (b) fasies endapannya yang menghasilkan breksi koignimbrit beserta batuan piroklastika kaya batuapung (Wright,1981, dalam Bronto,2009) .............................................................................
81
xviii
Gambar 7.3.
Skema penampang kerucut gunung api komposit. A. Kerucut gunung api yang masih utuh, B. Kerucut gunung api yang sudah tererosi pada tingkat dewasa dan C. Kerucut gunung api yang sudah tererosi lanjut ( Williams & MacBirney ,1978 dalam Bronto, 2003) .................................................................
81
Karakteristik gunung api komposit (Lockwood and Hazlet,2010) .............................................................................
82
Gambar 7.5.
Jenis-jenis endapan piroklastik (Colin and Bruce, 2000) .........
83
Gambar 7.6.
Pembagian fasies gunung api menjadi fasies sentral, fasies poksimal, fasies medial dan fasies distal beserta komposisi batuan penyusun nya Bogie & Mackenzie, 1998) .....................
Gambar 7.4.
Gambar 7.7.
85
Foto singkapan Breksi Polimik pada LP 44 cuaca cerah dan arah kamera menghadap ke barat (foto penulis 2013) ..............
88
Kenampakan breksi pumis di Dusun Jirak, fragmen batuan didominasi oleh pumis sedang bahan litik hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik foto (foto penulis 2013) ...................
89
Singkapan tuf kasar dengan struktur berlapis di LP 44 (foto penulis 2013) .............................................................................
91
Gambar 7.10. Kenampakan tuf halus dengan struktur berlapis pada LP 44 (foto penulis 2013).....................................................................
93
Gambar 7.11. Foto di atas merupakan singkapan breksi polimik di LP 44. Fragmen batuan di dominasi oleh batuan beku berupa andesit dan basalt, sedangkan fragmen pumis dan asesoris hanya 10% tertanam dalam masa dasar tuf-lapili pumis, lensa kamera menghadap ke barat-laut (foto penulis 2013). ...........................
95
Gambar 7.12. Jenis dan ciri endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis perlapisan pada LP 44, (modifikasi dari Fisher dan Schminke, 1984) ..........................................................................................
99
Gambar 7.8.
Gambar 7.9.
xix
Gambar 7.13. Kenampakan singkapan pada LP 44 berada di Dusun Kepek, Kecamatan Semin, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh tuf halus, kemudian lapisan tuf lapili dan paling bawah berupa breksi pumis. Singkapan ini berada di sungai dengan aliran sungai (N 85). Kedudukan batuan (N93 E/19) dan arah lensah kamera menghadap ke barat. (foto penulis, 2013) .........
100
Gambar 7.14. Foto singkapan breksi pumis pada LP 62, di mana fragmen batuan didominasi oleh pumis, (foto penulis 2013) ..................
101
Gambar 7.15. Singkapan tuf lapilli dengan struktur berlapis-gradasi berada di LP 62, Desa Kepek, kecamatan Semin (foto penulis 2013 ). .
103
Gambar 7.16. Singkapan tuf halus pada LP 62 (foto penulis, 2013)................
106
Gambar 7.17. Jenis dan ciri endapan piroklastik, kotak merah adadlah jenis perlapisan pada LP 62, (modifikasi dari Fisher dan Schminke, 1984) ..........................................................................................
108
Gambar 7.18. Kenampakan singkapan pada LP 35 berada di Dusun Sorodadi, Kecamatan Ponjong, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini berada di gunung Panggung, foto di atas menunjukan tekstur pada singkapan ini berupa penghalusan ke bawah dengan kedudukan batuan (N105 E/8) dan arah lensah kamera menghadap ke barat-daya. (foto penulis, 2013). .......................
109
Gambar 7.19. Kenampakan megaskopis tuf halus. Foto diambil pada LP 35 (foto penulis, 2013)....................................................................
110
Gambar 7.20. Kenampakan megaskopis tuf kasar dengan struktur berlapis pada LP 35, Desa Sorodadi, Kecamatan Ponjong. Foto di atas ini menunjukan tekstur pada bagian luar nampak berlubanglubang, foto penulis (2013 ) ........................................................
112
Gambar 7.21. Foto di atas menunjukan kenampakan fragmen pumis yang didominan, pada LP 35, cuaca cerah, (foto penulis, 2013) ......
114
xx
Gambar 7.19. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis perlapisan pada LP 35, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984) ................................................................
xxi
103
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
Klasifikasi lereng (Zuidam, 1983) ..................................................... 16
Tabel 7.1.
Klasifikasi Nama Endapan dan Batuan Piroklastik, modifikasi menurut Fisher & Schmincke (1984) ................................................. 80
Tabel 7.2.
Kolom profil LP 44 Dusun Jirak (tanpa skala) .................................. 87
Tabel 7.3.
Kolom Profil LP 62 Desa Semin (tanpa skala) .................................. 100
Tabel 7.4.
Kolom profil LP 35 (tanpa skala) ....................................................... 109
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
A. Lampiran Terikat
Lampiran I : Analisis Petrografi Lampiran II : Analisis Paleontologi
B. Lampiran Lepas
Peta Lintasan Peta Geomorfologi Peta Geologi
xxiii
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang kaya akan gunungapi, namun ternyata ilmu tentang gunungapi di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negaranegara lain yang bahkan tidak memiliki gunung api sekalipun. Kutipan di atas merupakan pemikiran awal yang melatar belakangi penulis untuk mengambil judul “Geologi dan Petrologi Batuan Gunung api ” dimana yang penulis akan pelajari batuan gunung api tapi bukanlah gunung api yang muda seperti kutipan di atas, melainkan gunungapi yang berumur Tersier (purba) dan telah tererosi lanjut dan kemungkinan besar bentang alamnya tidak kelihatan lagi seperti gunung api masa sekarang, bahkan litologi maupun strukturnya mungkin tidak “insitu” dan beraturan lagi seperti keadaan semula. Namun dengan adanya literatur yang cukup mendukung penulis, dan keinginan tahuan yang tinggi dari yang belum penulis ketahui, walaupun dengan bekal “ the present is the key to the past” penulis memberanikan diri untuk mengambil judul ini.
I.2 Maksud dan Tujuan Maksud dari pemetaan geologi di daerah Melikan dan sekitarnya,Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewah Yogyakarta, adalah untuk memenuhi persyaratan kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta.
1
2
Tujuan pemetaan geologi ini adalah untuk mengetahui dan memetakan daerah penelitian, sehingga diperoleh data geologi yang meliputi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, geologi lingkungan, dan memberikan informasi tentang keadaan geologi khususnya petrologi batuan gunung api di daerah tersebut.
I.3
Letak, Luas dan Kesampaian Daerah
Lokasi daerah penelitian kurang lebih 65 kilometer dari Kota Yogyakarta (Gambar 1.1), secara administrasi daerah penelitian berlokasi di beberapa desa,
antara lain Desa Bendung, Desa Kalitekuk, Desa Watusigar Desa Jatiayu dan Desa Melikan. Selain itu, daerah penelitian termasuk dalam empat kecamatan, yakni Kecamatan Ngawen, Kecamatan Semin. Kecamatan Krangmojo dan Kecamatan Ponjong Yang terletak di Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografi daerah penelitian terletak pada koordinat 07 50 00 - 07 55 00 LS dan 110 40 00 - 110 45 00 BT Luas daerah penelitian adalah 9 x 9 km atau jika di bentangkan memanjang sama dengan 81 km 2. Skala yang digunakan yaitu skala semi detail dengan besaran 1:25.000 yang artinya 1 cm di peta topografi sama dengan 250 meter di lapangan. Daerah penelitian termasuk dalam Peta Rupa Bumi Indonesia Digital skala 1: 25.000 Lembar 1408-314 Cawas dan Lembar 1408-312 Karangmojo. Batas administratif daerah penelitian, daerah utara berbatasan dengan Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten, daerah selatan berbatasan dengan Desa Umbulrejo Kecamatan Ponjong, barat berbatasan dengan Kecamatan Nglipar, dan bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan Manyaran.
3
Akses jalan menuju lokasi penelitian dari Kota Yogyakarta relatif mudah diakses, karena untuk menuju ke daerah penelitian dapat ditempuh dengan mengunakan sepeda motor, mobil serta bus. Perjalanan dari Yogyakarta ke daerah penelitian kurang lebih 1,5 jam, melalui jalan Jogja - Wonosari, kemudian sampai di persimpangan arah ke Nglipar, kearah timur hingga sampai di Kecamatan Semin, atau dapat juga melalui jalan lain yaitu dari Yogyakarta, ke arah jalan Solo - Klaten, Setelah sampai di daerah Srowot kemudian menuju Kecamatan Wedi – Kecamatan Bayat dan dilanjutkan kearah selatan menuju Kecamatan Ngawen dan dilanjutkan ke timur menuju Kecamatan Semin. Namun, beberapa akses jalan di lokasi penelitian tidak dapat dilalui dengan kendaraan, karena tidak semua jalan beraspal, sehingga untuk melakukan pengamatan lapangan dilakukan dengan berjalan kaki dan mengendarai sepeda motor apabila jalan memungkinkan untuk dilalui. Jalan di daerah penelitian didominasi oleh jalan aspal, semen dan jalan setapak. Akses jalan yang menghubungkan antara kecamatan satu dengan lainnya adalah jalan beraspal. Jalan yang menghubungkan antar kecamatan yang satu dengan yang lain relative mudah diakses, dapat dilalui oleh mobil, truk dan bus namun ada beberapa lokasi yang hanya dapat dilalui oleh sepeda motor. Selama penelitian di lapangan, basecamp (pangkalan kerja) berada di Desa Gendangan Tiga, Kecamatan Karangmojo terletak 1 kmdari kota Kecamatan Karangmojo, mengingat akses yang mudah dijangkau sehingga lokasi basecamp yang dipilih adalah di Desa Gendangan Tiga.
4
Gambar 1.1. Peta indeks lokasi daerah penelitian dan letaknya dari Kota Yogyakarta, kotak warna merah menunjukan letak daerah penelitian (Modifikasi dari peta RBI,2013) .
I.4. Permasalahan
Permasalahan dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu permasalahan dalam pemetaan geologi dan permasalahan petrologi batuan gunung api di daerah penelitian.
I.4.1. Pemetaan geologi
Permasalahan
yang
harus
diantaranya adalah : a. Geomorfologi b. Litologi dan stratigrafi
diselesaikan
dalam
pemetaan
geologi
5
c. Struktur geologi d. Sejarah geologi 1. Geologi lingkungan, meliputi potensi sumber daya alam dan potensi bencana.
I.4.2. Analisis batuan gunung api
Permasalahan yang harus diselesaikan dalam petrologi batuan gunung api diantaranya adalah : a. anlisis profil b. analisis litofasies c. Mekanisme pengendapan
I.5 Metode Penelitian
Tahap penelitian dibagi atas 4 bagian besar, yaitu tahap persiapan, penelitian lapangan, penelitian laboratorium, dan pembuatan peta dan laporan akhir. Tahap-tahap tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya dan susunannya saling melengkapi.
I.5.1 Tahap Persiapan
Persiapan awal dilakukan untuk mempersiapkan semua kebutuhan yang akan menjadi bekal sebelum melakukan penelitian, diantaranya studi geologi regional daerah penelitian, interpretasi peta topografi, interprestasi kondisi geomorfologi daerah telitian, interprestasi jalan dan perencanaan lintasan, persiapan alat yang nantinya di gunakan di lapangan, persiapan biaya yang di butuhkan dan rencana waktu lamanya penelitian. Dengan persiapan awal
6
diharapkan penelitian ini dapat lebih mudah didalam melaksanakan pemetaan geologi secara cepat dan tepat.
I.5.2 Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dibagi menjadi enam urutan pelaksanaan, yaitu perencanaan lintasan, jalur jalan atau sungai, kemudian di lanjutkan dengan
7
pemetaan detail, pembuatan lintasan stratigrafi terukur, interpolasi batas satuan batuan dan pembuatan sayatan geologi. 1. Perencanaan lintasan Perencanaan ini dilakukan dengan mengadakan pengenalan medan (recognize) recognize) sambil mencari segala singkapan yang dapat digunakan dalam penelitian lebih lanjut. Tujuan lain dari recognize recognize yaitu untuk memilih jalur penampang stratigrafi terukur (measuring (measuring section) section) dengan singkapan yang baik dan dengan jalur yang tidak terlalu berbahaya. Persyaratan dalam merencanakan stratigrafi terukur yaitu: a. Struktur sedimen harus dapat terlihat dan terekam dengan jelas b. Batas-batas litologi terlihat dengan sangat baik c. Satuan batuan secara umum dapat diketahui 2. Jalur jalan atau jalur sungai Lintasan tersebut dapat melalui jalur jalan yang telah tersedia dan apabila memungkinkan untuk melalui jalur sungai, maka hal itu akan lebih baik dilakukan karena singkapan yang terdapat di sungai merupakan singkapan hasil dari pengelupasan soil oleh oleh air. Tahap ini disertai dengan pengeplotan jalur yang akan digunakan untuk stratigrafi terukur. 3. Penampang stratigrafi terukur (measuring (measuring section) Pembuatan stratigrafi terukur bertujuan untuk mengetahui susunan setiap batuan, ketebalan masing-masing satuan batuan, urutan batuan, lokasi kontak antar satuan batuan, penentuan proses
8
sedimentasi, interpretasi sejarah geologi, penentuan lingkungan pengendapan, dan membantu dalam memecahkan masalah-masalah geologi. 4. Pemetaan detail Pelaksanaan pemetaan detil dilakukan dengan pencarian data litologi, struktur geologi, mataair dan pengeplotan lokasi pada peta topografi. Pencarian data tersebut disertai dengan pengeplotan data litologi, dan pengambilan sampel batuan yang akan dianalisis di laboratorium sesuai kebutuhan, pengambilan foto penampakan struktur geologi, struktur sedimen, litologi, bentang alam, bahan bahan galian, sesumber, bencana alam, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian. 5. Interpolasi batas satuan batuan Dari hasil pemetaan detil, dengan pengeplotan data pada setiap stasiun pengamatan dan lokasi pengamatan, selanjutnya dibuat interpolasi batas satuan batuan dengan menghubungkan setiap titik yang
mempunyai
ciri-ciri
satuan
batuan
yang
sama
dengan
berpedoman pada stratigrafi terukur yang telah dibuat dan atau dengan menggunakan metode three point problem. problem. Selain pembuatan peta geologi, dibuat juga peta geomorfologi berdasarkan data bentangalam yang digabungkan dengan data yang terdapat pada peta geologi. 6. Pembuatan sayatan geologi
9
Pembuatan
sayatan
geologi
bertujuan
untuk
membuat
interpretasi lapisan batuan serta struktur geologi yang terdapat pada permukaan dan bawah permukaan. Selain itu, sayatan juga bertujuan untuk mengetahui urutan batuan dari tua ke muda
dan ketebalan
lapisan batuan, sehingga dapat dibuat legenda pada peta geologi dan secara geologi yang tercermin pada sayatan geologi dapat mendukung penjelasan lebih baik.
I.5.3. Analisis Laboratorium dan Studio
Penelitian laboratorium dilakukan selama dan setelah penelitian lapangan selesai. Penelitian ini berupa analisis paleontologi, analisis petrografi. Analisis paleontologi dilakukan untuk mengetahui kandungan fosil, menentukan j enis fosil dan nama fosil sehingga dapat dipakai untuk menentukan umur dan lingkungan pengendapan masing-masing satuan batuan. Analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui tekstur batuan, struktur batuan, dan mineral-mineral penyusunnya. Hasil analisis petrografi dapat dipakai sebagai data pendukung untuk selanjutnya dilakukan penginterpretasian terhadap batuan vulkanik yang ada di daerah penelitian.
I.5.4. Pembuatan Peta dan Laporan Akhir
Penyusunan laporan ini berdasarkan atas data lapangan dan data laboratorium. Draft laporan tersebut disajikan dalam bentuk peta lintasan dan lokasi pengamatan, peta geomorfologi, dan peta geologi, serta dalam bentuk uraian disertai dengan hasil pembahasan studi khusus yang diambil.
10
I.6 Alat dan Bahan
Peralatan yang akan digunakan selama mengadakan penelitian di lapangan adalah: 1. Peta topografi skala 1 : 25.000 2. Kompas geologi tipe Brunton sistem azimut 0°-360° 3. Palu geologi batuan sedimen merk Estwing 4. Loupe dengan pembesaran 10x dan 20x 5. Larutan HCI 0,1 N 6. Kamera digital 7. Pita ukur 50 m 8. Alat tulis 9. Kantong sampel batuan Peralatan yang digunakan dalam analisis laboratorium terdiri dari: 1. Mikroskop binokuler fosil dengan pembesaran 10x dan 20x untuk determinasi 2. Mikroskop polarisasi batuan merk Olympus dengan pembesaran 40x untuk determinasi 3. Mesh ukuran 40, 60, 80, 100, 150, dan 200 serta kuas cat, untuk mengayak fosil Proses penelitian geologi ini secara garis besar dari pra-penelitian hingga pembuatan laporan dapat dilihat pada bagan berikut:
11
Gambar 1.3. Bagan alir penelitian (Penulis, 2013)
I.7
Peneliti Terdahulu
Daerah penelitian termasuk dalam fisiografi zona pegunungan selatan (Bemmelen, 1949), dimana daerah tersebut telah menjadi bagian dari penelitian oleh banyak ahli diantaranya: 1.
Bemmelen (1949), mengelompokan wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur kedalam lima zona dari selatan ke utara: Zona Pegunungan
12
Selatan, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, dan Zona Rembang. 2.
Surono, dkk., (1992), menyusun Peta Geologi Lembar Surakarta dan Giritontro, Jawa, sekal 1:100.000. Daerah penelitian stratigrafi masuk dalam formasi Semilir, formasi Ngalanggrang, formasi Oyo dan formasih Wonosari
3.
Bronto, dkk., (1998), membahas sebagian wilayah Pegunungan Selatan di Kali Ngalang, Kali Putat dan Jentir sebagai batuan longsoran tubuh gunungapi Tersier.
4.
Lokier, (1999), membahas perkembangan sedimentasi volkaniklastik primer dan sekunder di wilayah Pegunungan Selatan
5.
Bronto, dkk., (2009), menentukan Waduk Parangjoho dan Songputri sebagai alternatif sumber erupsi Formasi Semilir di daerah Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
6.
Hartono, (2009), Melakukan penelitian tentang analisis stratigrafi awal kegiatan gunung api Gajahdangak di daerah Bulu, Sukoharjo; implikasinya terhadap stratigrafi batuan gunung api di Pegunungan Selatan, Jawa Tengah.
7.
Hartono, (2008), melakukan penelitian gumuk gunung api purba bawah laut di Tawangsari-Jomboran, Sukoharjo-Wonogiri, Jawa Tengah.
BAB II GEOMORFOLOGI
Geomorfologi adalah salah satu cabang ilmu kebumian yang mempelajari tentang klasifikasi relief bumi, pemerian, dan cara terjadinya untuk mengetahui genesa pembentukannya. Relief bumi itu sendiri adalah ketidakteraturan permukaan bumi, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Studi geomorfologi suatu daerah umumnya mempunyai dua tujuan utama, antara lain yang pertama adalah mengelompokkan secara sistematik pemerian bentang alam dalam suatu skema pengelompokan terhadap suatu nama yang diberikan berdasarkan konsep tertentu. Kedua, mengetahui penyimpangan yang terjadi dari pengelompokan guna membuktikan adanya suatu perubahan dalam lingkungan bentang alam yang normal, untuk suatu tujuan dan sasaran yang ingin dicapai studi geomorfologi tersebut. II.1. Geomorfologi Regional
Daerah penelitian termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan di bagian selatan Daerah Istimewa Yogyakarta yang disebut sebagai Pegunungan Selatan Jawa Timur Bagian Barat, secara regional daerah ini dibagian barat dibatasi oleh Pantai Parangtriris di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan di bagian timur dibatasi oleh Teluk Pacitan di Jawa Timur. Menurut Bemmelen (1949), Pegunungan Selatan termasuk ke dalam satuan fisiografi regional di bagian selatan Pulau Jawa, cakupan wilayah Pegunungan Selatan ini mulai dari Pantai Selatan di Propinsi Jawa Barat hingga bagian selatan pulau-pulau utama di Nusa Tenggara 13
14
( Lesser Sunda). Zona Pegunungan Selatan secara umum merupakan suatu blok yang relatif miring ke arah selatan-tenggara dengan topografi yang relatif terjal dan dengan pola aliran meranting, serta disusun oleh dua kelompok batuan, yaitu batuan vulkanik dan batuan karbonat yang tercermin dari litologinya. Menurut Husein dan Srijono (2007), secara fisiografi Pegunungan Selatan diduga mulai terangkat pada Plistosen Tengah, menghasilkan lajur-lajur pegunungan dengan penyusun utama batuan vulkanik berumur Oligosen-Miosen, yang membatasi bagian utara dan barat kawasan tersebut terhadap Zona Depresi Solo dan Cekungan Yogyakarta. Di bagian selatan Pegunungan Selatan, proses pengangkatan tersebut menghasilkan topografi karst Gunung Sewu. Menurut Bemmelen (1949), secara fisiografi dan berdasarkan kesamaan morfologi serta tektoniknya, daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah dibagi menjadi tujuh zona. Berturut-turut dari utara ke selatan adalah sebagai berikut (Gambar 2.1) : 1. Zona Komplek Muria 2. Zona Dataran Aluvium Jawa Utara 3. Zona Rembang Madura 4. Zona Depresi Randublatung 5. Zona Kendeng 6. Zona Solo 7. Zona Pegunungan Selatan
15
Gambar 2.1. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Bemmelen, 1949)
II.2 Geomorfologi Daerah Penelitian
Pembagian satuan geomorfologi pada daerah penelitian didasarkan pada topografi, litologi, dan fasies gunung api serta proses-proses lain yang berpengaruh membentuk geomorfologi pada daerah penelitian . Klasifikasi geomorfologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi dari klasifikasi Zuidam (1983) dengan modifikasi seperlunya sesuai dengan kondisi morfologi pada daerah penelitian. Berdasarkan klasifikasi Zuidam (1983), aspekaspek geomorfologi yang berpengaruh dalam faktor pemerian morfologi adalah: 1. Morfologi, yaitu faktor relief secara umum yang meliputi aspek: a. Morfografi, yaitu aspek yang bersifat pemerian pada suatu daerah, seperti bukit, punggungan, lembah dan dataran.
16
b. Morfometri, yaitu aspek penggolongan kenampakan geomorfik yang didasarkan pada segi kuantitatif, dengan melihat ketinggian dan kemiringan lereng. Tabel 2.1. Klasifikasi lereng (Zuidam, 1983)
No. 1 2 3 4 5 6 7
Relief Datar atau hampi datar Miring landai Miring Curam menengah Curam Sangat curam Amat sangat curam
Kemiringan Lereng (%) 0-2 2-7 7 -15 15 - 30 30 - 70 70 - 140 > 140
Kemiringan Lereng ( °) 0–2 2–4 4-8 8 – 16 16 – 35 35 – 55 > 55
2. Morfogenesa, yaitu proses geomorfologi yang menyebabkan terjadinya perubahan bentuk lahan, meliputi aspek : a. Morfostruktur aktif, mencakup gaya-gaya endogen atau tektonik dan vulkanisme. Bentang alam yang dapat terbentuk oleh proses-proses endogenik antara lain : pegunungan lipatan, pegunungan blok atau patahan dan gunungapi. b. Morfostruktur pasif, yaitu aspek material penyusun (litologi) dan struktur geologinya. c. Morfostruktur dinamik, yaitu aspek yang mencakup gaya-gaya eksogen; seperti proses denudasional, fluvial, pelarutan/karstifikasi, pantai, angin/eolian, dan glasial, yang disebabkan oleh faktor topografi, batuan, iklim, vegetasi, organism, dan waktu, serta kaitannya dengan umur bentuk lahan secara relatif dan absolut (morfokronologi).
17
Atas dasar-dasar klasifikasi yang telah disebutkan diatas, maka daerah penelitian dikelompokan berdasarkan aspek topografi dan litologi, dan menjadi dua bentuk asal yang terbagi ke dalam enam sub satuan geomorfologi yaitu : 1. Subsatuan geomorfologi endapan aluvial 2. Subsatuan geomorfologi dataran tubu sungai 3. Subsatuan
geomorfologi
perbukitan
breksi
andesit
dan
pumis
bergelombang sedang-kuat 4. Subsatuan geomorfologi perbukitan batugamping dan tuf bergelombang sedang-kuat 5. Subsatuan geomorfologi perbukitan tuf bergelombang lemah-sedang II.2.1 Sub satuan geomorfologi dataran aluvial ((F2)
Subsatuan geomorfik dataran aluvial yang menempati luasan (2%) dari seluruh daerah penelitian, relief berupa dataran, dengan kelerengan datar/hampir datar (0-2%) , mempunyai kisaran elevasi antara 162,5 - 163,5 meter dari permukaan laut. Satuan geomorfik ini tersusun dari material lepas hasil erosi dan pelapukan dari batuan yang berukuran lempung, pasir, kerikil, hingga bongkah. Subsatuan geomorfik ini terletak di bagian Selatan daerah penelitian, dataran yang berada dekat sepanjang Sungai Oyo, dan pada bagian dataran aluvial ini umumnya digunakan warga sebagai lahan pertanian, sawah, dan pemukiman.
18
Gambar 2.2. Subsatuan geomorfik dataran aluvial Foto diambil pada Desa Watusigar, 173 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke tenggara. (foto penulis, 2013)
II.2.2 Sub satuan geomorfologi tubuh sungai (F1)
Subsatuan geomorfologi tubuh sungai adalah satuan jenis morfologi yang erat hubungannya dengan aliran sungai. Sedangkan pengertian sungai di sini tidak termasuk di dalamnya alur-alur yang mengalir di lereng bukit dan gunung (ephemeral stream). Morfologi fluvial hanya mungkin dijumpai pada suatu daerah berstadia erosi dewasa-tua atau telah mengalami peremajaan. Subsatuan geomorfologi tubuh sungai menempati ± 1% luas daerah penelitian, meliputi sepanjang aliran Kali Oyo yang melalui subsatuan geomorfologi dataran di daerah penelitian (Gambar 5), dalam subsatuan ini termasuk juga chanel bar, point bar, dan dataran limpah banjir. Tubuh sungai ini berair sepanjang tahun dan sangat berperan dalam proses sedimentasi di daerah tersebut. Bentuk topografi hampir rata (nearly flat ) dan mempunyai bentuk
19
lembah dominan “U”. mengalir dari arah timur ke barat. Bentuk tubuh sungai relatif berkelok-kelok, mempunyai ketinggian ± 159 meter dari permukaan air laut.
Gambar 2.3 Subsatuan geomorfologi tubuh sungai.dengan pola tapal kuda ( meander), arah garis hijau menunjukan aliran sungai berkelok-kelok Foto diambil dari Kali Oyo, Dusun Randusari Bawuran, lensa kamera menghadap ke Timur (foto penulis 2013)
II.2.3 Subsatuan perbukitan breksi andesit dan pumis bergelombang sedangkuat (D2)
Subsatuan geomorfik perbukitan breksi andesit dan pumis bergelombang sedang-kuat (D2).Subsatuan geomorfik ini dicirikan oleh topografi perbukitan bergelombang sedang-kuat dengan kemiringan lereng 15°-35°, tersusun dari breksi andesit, breksi pumis, tuf dan breksi polimik. Subsatuan geomorfik ini menempati ± 23% dari total luas daerah penelitian, sebaran subsatuan ini di bagian selatan daerah penelitian mulai dari Desa Ngadiloko sampeai dengan
20
daerah Melikan, seangkan pada bagian utara-barat laut, subsatuan ini hanya menempati 2% dari lokasi daerah penelitian yang berada pada Desa Duren.
Gambar 2.4. Subsatuan perbukitan bergelombang sedang-kuat (atas) dan dataran aluvial (bawah). Foto diambil pada Desa Bulurejo, 173 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke Tenggara. (foto penulis, 2013).
II.2.4 Subsatuan perbukitan batugamping dan tuf bergelombang sedangkuat (D3)
Subsatuan geomorfik ini dicirikan oleh topografi perbukitan ber gelombang sedang-kuat (D3) dengan kemiringan lereng 8°-16°, terdiri dari batuan Tuf, Peckstone, dan breksi polimik. Subsatuan ini menempati ± 43% dari total luas daerah penelitian,sebaran supsatuan ini pada daearh penelitian bagian selatan barat daya yang meliputi daerah, Jatiayu, Prebutan dan Kedonglowo, sedangkan pada bagian utara-barat laut yang meliputi daerah Desa Bendung, Beji dan Sumberejo.
21
Gambar 2.5. Subsatuan geomorfik perbukitan bergelombang sedang-kuat Foto diambil pada Desa Tapansari, 173 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke selatan. (foto penulis 2013).
II.2.5 Subsatuan perbukitan batugamping dan tuf bergelombang lemahsedang (D4)
Subsatuan geomorfik ini menempati ± 8 % dari total luas daerah penelitian, dengan penyebaran yang terletak pada bagian timur-laut daerah penelitian, dicirikan oleh topografi perbukitan bergelombang lemah-sedang (D4) dengan kemiringan lereng (4°-8°). Pada peta topografi subsatuan ini dicirikan oleh kenampakan pola kontur yang renggang dan tersusun dari batugamping, tuf dan material lepas berupa krikil-lempung, seabaran subsatuan ini pada bagian utara daerah penelitian yang meliputi daerah Desa Kemejing, Bulurejo dan sampai dengan Dusun Banaran bagian timur laut daerah penelitian.
22
Gambar 2.6. Subsatuan perbukitan bergelombang lemah-sedang Foto diambil pada Desa Bendung 183 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke timur laut. (foto penulis 2013).
II.3. Pola Pengaliran Sungai
Menurut Howard (1967), pola pengaliran didefinisikan sebagai suatu kumpulan dari alur-alur sungai pada suatu daerah tanpa mempedulikan apakah alur-alur tersebut merupakan alur yang permanen ( permanent stream). Menurut Zuidam (1983), perkembangan pola pengaliran pada suatu daerah dipengaruhi oleh kelerengan, jenis batuan dasar, kerapatan vegetasi, serta iklim di daerah yang bersangkutan. Dalam proses geologi maupun pembentukan morfologi, air memegang peranan yang sangat penting karena mempunyai kemampuan sebagai agen atau media dalam proses pelapukan, erosi, transportasi dan proses sedimentasi. Dalam hal ini proses erosi oleh air tersebut yang pada umumnya dominan melalui tubuh sungai, akan menyebabkan sungai bertambah lebar, dalam, dan panjang, sehingga
23
membentuk pola sungai ( stream pattern) dan selanjutnya membentuk pola pengaliran (drainage pattern). Howard (1967), membuat klasifikasi pola pengaliran menjadi 2 macam, yaitu: 1. Pola dasar (basic pattern): merupakan sebuah pola aliran yang mempunyai karakteristik yang khas yang dapat secara jelas dapat dibedakan dengan pola aliran lainnya. Pola dasar ini umumnya berasal dari perkembangan pola dasar yang lain dan kebanyakan dikontrol oleh struktur re gional (Gambar 2.8). 2. Pola ubahan (modified basic pattern): merupakan sebuah pola pengaliran yang berbeda dari bentuk pola dasar dalam beberapa aspek regional. Pola ubahan biasanya merupakan ubahan dari salah satu pola dasar (Gambar 2.9).
Gambar 2.7. Klasifikasi pola aliran sungai yang telah mengalami perubahan (modified basic pattern) (Howard, 1967).
24
Beberapa pola aliran dasar yang mengacu pada pola pengaliran dasar dan ubahan dari Howard (1967), sebagai berikut: 1.
Dendritik , berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur,maupun dikontrol oleh struktur baik lipatan maupun sesar. Contoh: pada batuan beku atau lapisan horisontal.
2.
Paralel , pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis. Contoh: Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antikli n.
3.
Trellis, menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan daerah pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan kekar.
4.
Rectangular , pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai yang membentuk sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor kekar-kekar yang saling berpotongan dan juga sesar.
5.
Radial , pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari satu titik pusat, biasanya mencirikan daerah gunungapi atau kubah.
25
6.
Annular , bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah yang tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock , bertipe subsekuen, cabangnya dapat obsekuen atau resekuen.
7.
Multibasinal, pola yang terbentuk oleh banyaknya cekungan-cekungan atau danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada daerah rawa atau karst topografi.
8.
Contorted , merupakan pola yang berbentuk tidak beraturan, kadang terlihat ada pola trellis. Biasanya berkembang di daerah metamorf yang bertekstur kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki resistensi yang sama.
II.3.1 Pola pengaliran daerah penelitian
Dalam pembahasan mengenai pola pengaliran di daerah penelitian, pendekatan yang digunakan adalah analisis peta topografi dan pengamatan lapangan. Berdasarkan sifat alirannya, aliran sungai induk bersifat permanen, yaitu mengalirannya sepanjang tahun. Sedang dan sifat mengalir pada anak-anak sungai ada yang yang bersifat permanen dan periodik, yaitu ada aliran air pada musim hujan saja. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan serta interpretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pendekatan model pengaliran menurut klasifikasi dari Howard (1967), maka daerah penelitian (Gambar 2.8) termasuk dalam pola sebagai berikut
26
a) Subdendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-cabang
sungai berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-s b) udut yang agak tumpul, merupakan pola ubahan dari pola aliran denritik,
pola ini terbentuk pada satuan batuan relatif lunak, atau dengan batuan dasar yang keras. Diantaranya breksi polimik, dan tuf, pola aliran ini hanya di temukan di daerah dataran tinggi yang di identifikasi berdasarkan pengamatan peta topografi. c) Subparalel , pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada
daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis. Contoh: Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.
27
28
II.4. Stadia Daerah Penelitian
Sungai di daerah penelitian digolongkan dalam sungai berstadia muda dewasa, hingga tua. Sungai stadia muda
(Gambar 2.10) dicirikan dengan
kemampuan mengikis alur secara vertikal dengan penampang sungai berbentuk “V”, erosi vertikal yang dominan ditunjukan oleh banyaknya singkapan batuan dasar, sungai sempit dalam, aliran cepat, serta tidak dijumpai adanya dataran banjir. Sungai dengan stadia muda ini di daerah penelitian dijumpai pada sungaisungai kecil di daerah penelitian.
Gambar 2.9. Sungai dengan stadia muda dimana menunjukan aliran yang deras dan penampang “V” dan tidak ada proses sedimentasi, cuaca cerah dan arah lensa kamera menghadap ke selatan
Sungai stadia dewasa dapat terlihat pada Sungai Oyo (gambar 12) dengan penampang sungai berbentuk “U” dijumpai adanya dataran banjir yang lebar, tedapat endapan tengah sungai ( point bar ) dan tepi sungai (chanel bar ).
29
. Gambar 2.12. Penampang sungai stadia dewasa dengan pola lembah huruf ”U” pada Kali Oyo, kamera menghadap ke barat laut
II.5. Morfogenesa
Morfogenesa pada daerah penelitian dipengaruhi oleh jenis litologi, struktur geologi yang dibentuk oleh proses endogenik-vulkanisme, dan proses eksogenik. Interaksi antara ketiga faktor ini terus berlangsung dalam
tahapan
ruang dan waktu geologi, yang pada akhirnya menghasilkan bentang alam seperti sekarang ini. Proses pembentukan morfologi daerah penelitian diawali dengan adanya dominasi proses endogenik yang sifatnya membangun, menghasilkan lingkungan geologi gunungapi. Kegiatan vulkanisme di daerah penelitian ini ditunjukkan oleh adanya satuan breksi pumis, satuan tuf dan satuan breksi polimik. Proses ini kemudian berkembang dan terus berlanjut dengan adanya tenaga endogen berupa
30
gaya kompresif sehingga menghasilkan struktur-struktur geologi, seperti kekar dan sesar yang banyak dijumpai di daerah penelitian. Perbedaan jenis litologi memberikan suatu kenampakan morfologi yang berbeda. Morfologi daerah penelitian dengan topografi tinggi tersusun oleh batuan yang memiliki tingkat resistensi tinggi pula, berupa satuan breksi andesit dan breksi pumis, sedangkan morfologi yang bertopografi rendah tersusun atas batuan-batuan yang relatif lebih kurang resisten maupun yang berasal dari hasil pelapukan batuan di sekitarnya, yaitu satuan tuf dan endapan aluvial. Namun morfologi-morfologi tersebut masih tetap dipengaruhi pula oleh bentuk bentang alam asal yang dihasilkan oleh aktivitas vulkanisme dan tektonik sebelum dan setelahnya.
BAB III STRATIGRAFI
Stratigrafi secara umum membahas tentang semua jenis batuan dalam hubungan mula jadi dan sejarah pembentukanya dalam ruang dan waktu geologi. Urutan pembahasannya meliputi unsur-unsur stratigrafi, yaitu pemerian litologi, penamaan batuan, unsur perlapisan, struktur sedimen, hubungan antara batuan yang satu dengan yang lain, penyebarannya secara vertikal dan lateral, serta dinamika pengendapan dan lingkungan pengendapannya. III.1. Stratigrafi Regional
Secara regional, daerah penelitian termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan Yogyakarta - Jawa Tengah yang merupakan bagian dari jalur Pegunungan Selatan Jawa. Satuan batuan yang tertua di daerah ini berupa batuan metamorf yang tersingkap di Pegunungan Jiwo, Bayat, dan Klaten, sedangkan batuan yang termuda adalah Endapan Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Endapan Aluvium. Untuk Pegunungan Pegunungan Selatan bagian barat, menurut Surono Surono dkk (1992), (1992), pembagian satuan batuan berumur Tersier dari tua ke muda adalah Formasi Kebo-Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari dan Formasi Kepek (Tabel 2). Urut-urutan formasi batuan di Pegunungan Selatan bagian barat adalah sebagai s ebagai berikut (Surono dkk, 1992). III.1.1. Batuan Metamorf
Merupakan batuan tertua yang berumur Kapur-Paleosen Awal terdiri dari, pilit, sekis, marmer dan kuarsit.
31
32
III.1.2. Formasi Wungkal-Gamping Wungkal-Gamping
Formasi ini berumur Eosen Tengah-Eosen Akhir, terdiri atas batupasir, napal pasiran, batulempung dan batugamping. Bagian bawahnya berupa perselingan antara batupasir dan batulanau, serta batugamping. Bagian atasnya berupa napal pasiran dan batugamping. III.1.3. Formasi Kebo-Butak
Formasi Kebo-Butak ini berumur Miosen Awal yang disusun oleh batupasir, batulempung, dan serpih. Litologi tersebut terletak di bagian bawah, sedangkan bagian atas tersusun oleh batulanau, batupasir kerikilan, dan batupasir tufan. Sebagian tempat di bagian tengahnya dijumpai retas andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit. Batuan penyusun utama formasi ini adalah endapan piroklastik yang berasal dari hasil erupsi gunungapi bawah laut. Pada formasi ini disisipi oleh sill dan lava andesitik basaltik dengan ketebalan diperkirakan 500-1000 m (Surono dkk, 1992). III.1.4. Formasi Semilir
Formasi ini berumur Miosen Awal dengan ketebalan kurang lebih 1000 m yang terletak selaras di atas Formasi Kebo-Butak. Formasi Semilir tersusun atas batuan gunungapi yang terdiri dari tuf, breksi batuapung dasitan, batupasir tufan dan serpih. Bagian bawah dari satuan ini berlapis baik, berstruktur sedimen perairan, silang siur berskala menengah dan berpermukaan erosi. Di bagian tengahnya dijumpai lignit yang berasosiasi dengan batupasir tufan gampingan dan kepingan koral pada breksi gunungapi. Di bagian atasnya ditemukan batulempung dan serpih dengan tebal lapisan sampai 15 cm dan berstruktur longsoran bawah
33
laut. Lingkungan pengendapannya berkisar dari laut dangkal yang berarus kuat hingga laut dalam yang dipengaruhi arus turbid (Surono dkk, 1992). III.1.5. Formasi Nglanggran
Formasi Nglanggran berumur Miosen Bawah bagian atas hingga Miosen Tengah bagian bawah yang terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, lava andesit basal dan tuf. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi Formasi Nglanggran umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri te rdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran butir 2-50 cm. Di bagian tengah ten gah formasi pada breksi gunungapi ditemukan batugamping koral yang membentuk lensa atau kepingan. Setempat satuan ini disisipi batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik. Struktur sedimen yang dijumpai berupa perlapisan sejajar, perlapisan bersusun, dan cetakan beban (load (load cast ) menunjukkan adanya aliran longsor (debris ( debris flow). flow). Pada bagian atasnya ditemukan permukaan erosi yang menunjukkan adanya pengaruh arus kuat pada waktu pengendapan. Adanya batugamping koral menunjukkan
lingkungan
laut.
Sehingga
secara
umum
lingkungan
pengendapannya adalah laut yang disertai longsoran bawah laut. Formasi ini terletak selaras diatas Formasi Semilir, dan ketebalannya kurang lebih 300 meter (Surono dkk, 1992). III.1.6. Formasi Sambipitu
Formasi ini berumur Miosen Tengah, tersusun atas tuf, batulanau, batupasir, dan serpih berfosil Lepidocyclina, Myogipsina, dan Cicloclypeus. Formasi ini terletak selaras di atas Formasi Nglanggran dan diendapkan pada cekungan laut yang tidak stabil pada kedalaman antara outer sublitoral sampai
34
bathyal dan terdapat pengaruh yang cukup kuat dari pengendapan arus turbidit, ketebalannya kurang lebih 1000 m. Di bagian bawah Formasi Sambipitu terdiri dari batupasir kasar, terutama batupasir sela yang tidak berlapis dan batupasir halus yang setempat diselingi serpih dan batulanau gampingan. Setempat dijumpai lensa breksi andesit klastika, lempung, dan kepingan arang kayu. Struktur sedimen yang ditemukan berupa perlapisan bersusun, perlapisan sejajar dan gelembur gelombang (current ripple), yang menunjukkan adanya arus turbid. Bagian atasnya terbentuk oleh batupasir feldspar yang berlapis baik dan bersisipan serpih, batulempung dan batulanau dengan struktur perlapisan bersusun, perlapisan sejajar, silangsiur, gelembur gelombang, longsoran, dan jejak binatang yang menunjukkan adanya longsaran bawah laut yang berkembang menjadi arus turbid. III.1.7. Formasi Oyo
Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun atas batugamping, konglomerat, tuf andesitan, dan napal tufan. Formasi Oyo umumnya berlapis, kandungan fosil Foraminifera cukup banyak, yaitu Cycloclypeus ( Katacyccloclypeus) annulatus MARTIN, dan Lepidoclyna ( Nephrolepidina) rutteni v.d. VLERK. Formasi ini dibedakan menjadi dua fasies, yaitu fasies napal yang merupakan sedimen klastik dan fasies tuf yang merupakan fasies piroklastik. Hubungan kedua fasies ini saling menjari, umur formasi ini diperkirakan Miosen Tengah dan mempunyai ketebalan kurang lebih 350 m, dengan lingkungan pengendapan laut dangkal (neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi (Surono dkk, 1992).
35
III.1.8. Formasi Wonosari
Formasi ini tersusun atas batugamping, batugamping tufan, napal, batugamping konglomeratan, batupasir tufan, dan batulanau. Batugamping yang mendominasi satuan ini berupa batugamping berlapis baik dan batugamping terumbu.
Formasi ini mengandung foram kecil dan besar yang melimpah,
diantaranya Lepidocyclina
sp, L.
sumantrensis (BRADY), Miogypsina,
Operculina, Spiroclypeus dan Orbulina universa. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah laut dangkal yang mendangkal ke arah selatan. Ketebalan formasi ini lebih dari 800 m (Surono dkk, 1992). III.1.9. Formasi Kepek
Formasi ini berumur Miosen Bawah-Pliosen bawah yang litologinya terdiri dari napal dan batugamping. Formasi ini terletak selaras diatas Formasi Wonosari dan mempunyai ketebalan diperkirakan mencapai 200 m (Surono dkk, 1992). III.1.10. Endapan Aluvium
Material penyusunnya berupa sedimen lepas yang berukuran pasirkerakalan yang terbawa oleh aliran sungai. Hal ini dibuktikan oleh adanya endapan pada tepi-tepi sungai maupun pada tubuh sungai. Membentuk morfologi aluvial, gosong sungai dan dataran limpah banjir (Surono dkk, 1992).
36
Gambar 3.1. Stratigrafi Pegunungan Selatan menurut Surono, dkk., (1992)
Stratigrafi daerah penelitian sendiri yaitu daerah Melikan dan sekitarnya terdapat enam formasi yang mengacu pada Surono, dkk (1992) termasuk ke dalam Formasi Semilir dan Nglanggrang yang merupakan formasi paling tua di daerah penelitian, Formasi Oyo dan Formasi Wonosari (gambar 3.2).
37
III.2 Stratigrafi daerah penelitian
Penyusunan
stratigrafi
daerah
penelitian
didasarkan
atas
konsep
litostratigrafi yang dikembangkan dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (SSI) tahun
38
1973 dan tahun 1996 (Martodjojo dan Djuheini, 1996). Penamaan dan pengelompokan satuan batuan mengikuti kaidah penamaan satuan litostratigrafi tidak resmi yang bersendikan ciri litologi, meliputi kombinasi jenis batuan, sifat fisik batuan, kandungan fosil, keseragaman gejala atau genesa, dan kenampakan khas pada tubuh batuan di lapangan yang dipetakan pada skala 1 : 25.000. Satuan litostratigrafi daerah penelitian didasarkan pada pengamatan fisik litologi di lapangan, analisis petrografi untuk penentuan nama batuan, analisis paleontologi untuk menentukan umur dan lingkungan pengendapannya, analisis petrografi untuk mengetahui tipe magma pada batuan vulkanik, serta studi pustaka regional daerah penelitian. Urutan stratigrafi daerah penelitian disusun secara sistematis berdasarkan data pengukuran di lapangan dan analisis dalam peta geologi, meliputi jenis dan urutan perlapisan, ketebalan, hubungan stratigrafi, umur dan lingkungan pengendapannya. Dalam menentukan umur, penulis menggunakan kesebandingan dengan stratigrafi regional daerah penelitian dari sifat-sifat fisik litologinya dan berdasarkan kandungan fosil Foraminifera planktonik, setelah diketahui nama fosilnya kemudian dicari kisaran umurnya dengan menggunakan Zonasi Blow (1969). Sedangkan untuk penentuan lingkungan pengendapan, berdasarkan hasil analisis fosil Foraminifera bentonik, dan menggunakan kisaran kedalaman menurut Bandy (1967).
39
Berdasarkan uraian diatas serta pengamatan langsung di lapangan serta analisis studio maka penulis membagi litostratigrafi daerah penelitian kedalam enam (6) satuan batuan (gambar 3.3) dari yang tua ke yang muda sebagai berikut: 1. Satuan Breksi Pumis 2. Satuan Tuf 3. Satuan Breksi Polimik 4. Satuan Breksi Andesit 5. Satuan Batugamping 6. Satuan Aluvial
Gambar 3.3. Stratigrafi daerah penelitian. (penulis 2013)
40
III.2.1. Satuan breksi pumis III.2.1.1. Dasar penamaan
Penamaan satuan breksi pumis dikarenakan batuan penyusun yang dominan berupa breksi pumis dan mempunyai ciri kenampakan litologi berwarna abu-abu - putih, bersifat masif dan sebagian perlapisan, berbutir sedang-halus, subangular-Angular , sortasi baik, kemas terbuka, fragmen pumis, matrik tuf gelas dan pumis, semen silika. Sayatan petrografi menunjukkan penyusun batuan berupa gelas (15%), lithic (30%), kuarsa (5%), opak (3%), feldspar (6%) dan tuf sebagai masa dasar (41%).Nama Petrografi: Litik Tuf (Klasifikasi Schmid, 1981) Lampiran I análisis petrografi.
III.2.1.2 Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini menempati ± 10,5 % dari total luas daerah penelitian dan tersebar pada dataran tinggi Desa Melikan, Sorodadi, dan Bukit Grudo pada bagian timur. Satuan ini mempunyai batas dengan satuan tuf, di lapangan ada kontak langsung yang di temukan antara kedua satuan ini maupun dengan satuan lainnya. Satuan ini tersusun oleh breksi pumis, tuf, breksi polimik. Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi (G-H), di dapatkan ketebalan satuan ini ± 730 meter.
41
Gambar 3.4. Kenampakan singkapan pada satuan breksi pumis di LP 35 berada di Dusun Sorodadi, Kecamatan Ponjong, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini sebagian besar tertutup oleh rumput. Kedudukan batuan (N95 E/18) dan arah lensah kamera menghadap ke bara-dayat. (foto penulis, 2013).
III.2.1.3 Ciri litologi
Kenampakan satuan ini merupakan material piroklastik yang di hasilkan oleh gunung api secara eksplosif dengan ciri-ciri di lapangan berwarna abu-abu terang sampai putih keabuan, struktur masif-perlapisan dengan pemilahan baik, bentuk fragmen menyudut tanggung-menyudut, kemas terbuka, ukuran butir tuf – lapili (1/16 – 64 mm), matrik; tuf-lapili sebagian mengandung kristal kuarsa dan feldspar yang banyak, fragmen pumis. semen silika.
42
Gambar 3.5. Ciri fisik breksi pumis di lapangan pada LP 42 di dusun Jeruken (foto penulis, 2013)
III.2.1.4 Umur dan hubungan stratigrafi
Karena tidak ditemukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar SurakartaGiritontro oleh Surono, dkk.,(1992), sehingga satuan ini mempunyai kisaran umur yaitu Miosen Bawah. Satuan ini mempunyai hubungan selaras menjari dengan satuan tuf. III.2.2 Satuan tuf III.2.2.1. Dasar penamaan
Penamaan satuan tuf dikarenakan litologi penyusun utama berupa tuf yang memiliki ciri di lapangan berwarna putih – putih kekuningan, tuf ini terdiri dari tuf gelas dan tuf kristal. Tuf gelas memiliki penyebaran lebih luas dibanding dengan tuf kristal dan umumnya tuf ini memiliki asosiasi dengan breksi pumis, dan breksi polimik. Sayatan petrografi menunjukkan penyusun batuan berupa
43
gelas (45 %), kuarsa (5%), tuf (50%). Nama petrografis: Vitrik Tuf (klasifikasi Schmid, 1981), Terlampir I anlisis petrografi. III.2.2.2. Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini mempunyai penyebaran ± 42 % dari total luas daerah penelitian dan menempati hampir semua bagian dari daerah penelitian, kecuali pada bagian barat daerah penelitian. Satuan ini tersusun oleh; tuf, tuf kasar, breksi pumis dan breksi polimik,. Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi (G-H), di dapatkan ketebalan satuan ini ± 325 meter. III.2.2.3. Ciri litologi
Satuan ini merupakan material piroklastik yang dihasilkan oleh gunung api secara eksplosif yang terdiri dari material halus dengan genesa berupa endapan jatuhan piroklastik (fall deposit). Satuan ini memiliki ciri-ciri di lapangan berwarna putih kekuningan, struktur perlapisan dengan pemilahan sangat baik, kemas tertutup, ukuran butir tuf halus-kasar (1/16 – 2 mm), matrik; tuf, semen silika.
44
Gambar 3.6. Tuf dengan struktur perlapisan, foto diambil pada LP 3 3. dengan arah kamera menghadap ke barat,( foto penulis 2013)
III.2.2.4. Umur dan hubungan stratigrafi
Karena tidak ditemukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar SurakartaGiritontro oleh Surono, dkk. (1992) serta kontak antara satuan ini dengan batugamping yang ditemukan di lapangan, sehingga satuan ini mempunyai kisaran umur yaitu Miosen Awal. Di lapangan, terutama pada Dusun Beji, satuan ini sering di jumpai bersamaan dengan breksi polimik dengan batas berupa perselingan, perlapisan bersusun, ada pula yang memiliki batas tidak jelas. Dari data yang di dapatkan di lapangan bahwa hampir sebagian matrik dari breksi polimik terdiri dari tuf ini maka di pastikan satuan tuf ini terjadi hampir bersamaan dengan satuan breksi polimik, sedangkan hubungannya dilapangan dengan breksi polimik dan breksi pumis adalah menjari, hal ini karena sering ditemukan perselingan antara ketiga litologi tersebut.
45
III.2.3 Satuan breksi polimik III.2.3.1 Dasar penamaan
Satuan ini dinamakan satuan breksi polimik karena tersusun oleh litologi breksi dengan fragmen yang beragam pada batuan tersebut diantaranya andesit, tuf, basalt dan setempat ditemukan fragmen dasit maupun fragmen asesoris, namun secara keseluruhan fragmen penyusun yang paling dominan adalah andesit. III.2.3.2 Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini memiliki penyebaran sangat luas pada bagian timur,
dan
sebelah timur bagian tengah pada daerah penelitian dan menempati ± 11 % dari total luas daerah penelitian. Tersusun oleh breksi aneka bahan (breksi polimik), pumis dan tuff. Berdasarkan pengukuran ketebalan pada penampang (A-B), di dapat ketebalan satuan ini ± 570 meter III.2.3.3 Ciri litologi
Satuan ini merupakan endapan vulkanoklastik secara eksplosif dengan ciri-ciri di lapangan berwarna abu-abu gelap - coklat, struktur masif-bergradasi dengan pemilahan buruk-sedang, bentuk fragmen menyudut tanggung-menyudut, kemas terbuka, ukuran butir dari kerikil 24 mm – > 256 mm, matrik, tuf pumisdan lapili pumis, fragmen terdiri dari andesit, basal, tuf pumis dan fragmen asesoris. semen silika-oksida besi.
46
Gambar 3.7.Singkapan breksi polimik dengan beberapa fragmen yang berbeda berupa tuf, andesit, pumis dan fragmen asesoris lain nya, singkapan ini berada pada LP 79, cuaca cera dan arah lensah kamerah menghadap ke utara. (foto penulis, 2013)
III.2.3.4 Umur dan hubungan stratigrafi
Karena tidak di temukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar SurakartaGiritontro oleh Surono, dkk.,(1992), sehingga satuan ini mempunyai kisaran umur yaitu Miosen Bawah – Miosen Tengah. III.2.4. Satuan breksi andesit III.2.4.1 Dasar penamaan
Satuan ini merupakan hasil dari kegiatan gunung api dengan tipe erupsi efusif dimana sifat nya lebih cenderung ke konstruksi di karenakan sifat magma nya berkomposisi intermediet-basal, di namakan breksi andesit (Lihat Foto 3.9) terdiri dari breksi andesit dengan warna coklat terang - hitam, krikil – bongkah, terpilah buruk, membundar tanggung – menyudut, terbuka, komposisi fragmen:
47
batuan vulkanik (andesit), dengan matrik tuf kasar silika dengan struktur massif. Secara petrografi, berwarna abu-abu keputih-putihanan, tekstur porfiritik, ukuran pada fenokris
0,5 mm – 2 mm, bentuk subhedral, komposisinya terdiri dari
mineral plagioklas (50%) terutama andesin, hornblenda (15%), piroksin (5%), opak (10%), dan gelas (20%). (Nama petrografi Andesit Hornblende) Lampiran I analisis perografi.
III.2.4.2 Penyebaran dan ketebalan
Satuan Breksi Nglanggran tersebar kurang lebih meliputi ± 2% dari daerah penelitian, meliputi dusun
Duren, sebelah barat laut lokasi penelitian .
Berdasarkan penampang sayatan geologi (G-H), ketebalan total dari Satuan Breksi Andesit yaitu kurang lebih dari 200m.
III.2.4.3 Ciri-ciri litologi
terdiri dari breksi andesit dengan warna coklat terang - hitam, krikil – bongkah, terpilah buruk, membundar tanggung – menyudut, terbuka, komposisi fragmen: batuan vulkanik (andesit), dengan matrik tuf kasar silika dengan struktur massif
48
Gambar 3.8. Foto inset litologi breksi Andesit yang masih kelihatan fresh singkapan Breksi Andesit ini berada pada LP 136. Cuaca cerah, (foto penulis 2013)
III.2.4.4 Umur dan hubungan stratigrafi
Karena tidak di temukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar SurakartaGiritontro oleh Surono, dkk.,(1992), sehingga satuan ini mempunyai kisaran umur yaitu (Miosen Awal ). III.2.5 Satuan batugamping klastik III.2.5.1 Dasar penamaan
Satuan Batugamping klastik terdiri dari perselinngan antara peckstone dan weckstone, ketebalan 10-15 cm, putih (kondisi fresh) arenit buruk, membundar tanggung-menyudut tanggung, komposisi : kalsit, pecahan cangkang dan sedikit kuarsa, di beberapa tempat di temukan juga peckston dengan komposisi tuf, Satuan ini merupakan litologi penyusun terbesar pada bagian barat tengah dan barat bagian selatan daerah penelitian.
49
III.2.5.2 Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini mempunyai penyebaran ± 38 % dari total luas daerah penelitian dan mendominasi di selatan barat pada daerah penelitian. Tersusun oleh; batugamping, tuf dan endapan aluvial. Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi (C-D), di dapatkan ketebalan satuan ini ± 230 meter. Satuan ini mempunyai hubungan tidak selaras dengan satuan tuf, di LP 110 terdapat kontak satuan batugamping klastik dengan tuf dan ke dua satuan tersebut adanya konglomerat basalt dengan komposisi karbonat yang mengindifikasi ke tidak selarasan suatu satuan.
Gambar 3.9.Kenampakan kontak satuan di lapangan antara satuan tuf dan satuan batugamping klastik, dimana kenampakan kontak antara satuan tersebut terdapat basalt konglomerat di (tengah) yang mencirikan bahwa kedua satuan ini tidak selaras foto ini di ambil pada LP 110 di desa bejono (foto penulis, 2013)
III.2.5.3 Ciri litologi
Satuan ini merupakan material sedimen laut dangkal yang tersusun oleh batugamping klastik terdiri dari Peckstone, weckstone dan tuf. Ciri-ciri di lapangan yaitu: batugamping klastik; warna putih-putih kekuningan, struktur
50
masif-perlapisan, ukuran butir pasir sedang-halus, bentuk butir menyuduttanggung, sortasi baik, kemas tertutup. Matrik pasir dan semen karbonat. Setempat terdapat matrik yang mengandung tuf. Hubungan satuan ini adalah tidak selaras dengan satuan tuf.
Gambar 3.10. Ciri fisik batugamping klastik di lapangan, dengan (kondisi Fres) foto diatas menunjukan batugamping berada di bagian bawah sedangkan so il berada di atas dengan kedudukan N 95’ E/10’ pada LP 24 Desa Watusigar (foto penulis,2013)
III.2.5.4 Umur dan hubungan stratigrafi
Berdasarkan fosil yang di temukan pada satuan batuan ini, dengan analisis fosil maka di dapatkan umur (N 11 – N 15) atau sekitar Miosen Tengah bagian atas – Miosen Akhir bagian bawah dan lingkungan pengendapan adalah neritik tepi. Penetuan umur lingkungan pengendapan satuan batugamping klastik berdasrkan fosil planktonik berada di lampiran II.
51
Gambar 3.11. Klasifikasi lingkungan batimetri, gabungan dari Tipsword,dkk (1966) dan Ingle (1980)
III.2.6 Endapan aluvial III.2.6.1 Penyebaran dan ketebalan
Endapan alluvial merupakan material lepas hasil rombakan dari batuan yang lebih tua dengan ukuran lempung-bongkah, material ini tersebar kurang lebih meliputi ± 2 % dari daerah telitian, dan sebagian besar telah menjadi lahan pertanian dan pemukiman penduduk, terletak pada bagian barat laut peta, dan berada di daerah Randusari, Desa Watusigar III.2.6.2 Ciri di lapangan
Satuan ini merupakan material lepas yang belum terlithifikasi dengan ciriciri berupa endapan lepas hasil rombakan batuan yang lebih tua baik dari batuan beku, piroklastik, maupun batugamping yang berada pada daerah penelitian. Satuan ini terdiri dari lempung hitam dominan, sampai material dengan ukuran kerikil-bongkah.
52
Gambar 3.14. Endapan Aluvial berada pada LP 132, di Desa Watusigar, arah foto menghadap ke Ttenggara
Gambar 3.15 Satuan endapan aluvial pada LP 131 yang sebagian besar terdiri atas pasir, kerikil, bongkah dan lempung
III.2.6.3 Umur dan hubungan stratigrafi
Hubungan stratigrafi antara Pasir Lepas ini dengan satuan batuan yang berada di bawahnya adalah tidak selaras, yaitu angular unconformity. Dimana terdapat perbedaan umur yang jauh antara satuan pasir lepas dengan satuan batuan di bawahnya.
BAB IV STRUKTUR GEOLOGI
Struktur geologi adalah bentuk arsitektur kulit bumi yang disebebkan oleh deformasi serta gejala-gejala yang menyebabkan terjadinya perubahan pada kulit bumi dari gaya endogen. Pembahasan struktur geologi di sini lebih ditekankan pada struktur sekunder, yaitu struktur kekar, sesar, dan lipatan. IV.1. Struktur Geologi Regional
Terbentuknya struktur geologi regional daerah penelitian tidak lepas dari tatanan tektonik Indonesia sejak Zaman Neogen, yaitu dengan adanya pergerakan antara Lempeng Hindia-Australia yang reletif bergerak ke arah utara dan menumbuk Lempeng Eurasia, sehingga membentuk sistem busur kepulauan dan jalur gunungapi aktif, serta pola-pola kelurusan. Gambaran umum arah kelurusankelurusan struktur geologi Pulau Jawa dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut :
Gambar 4.1. Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya (modifikasi dari Pulunggono dan Martodjojo, 1994 dalam Prasetyadi, 2007)
53
54
Secara regional, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur Bagian Barat. Menurut Bemmelen (1949), Pegunungan Selatan merupakan sayap geantiklin Jawa yang berarah barat-timur. Pada Kala Pleistosen Tengah, geantiklin Jawa ini terangkat sehingga menghancurkan Perbukitan Jiwo dan ambles ke Utara. Jalur Solo dan Pegunungan Selatan dipisahkan oleh sesar bertingkat yang kemudian tererosi dan memberikan kenampakan gawir-gawir sesar. Pada Kala Pleistosen Atas, blok yang terdapat di bawah cekungan Wonosari memisahkan diri dari sayap selatan. Pada tahap ini gawir sesar Baturagung menjadi antiklin satu sisi dan Perbukitan Jiwo terletak di atasnya. Blok-blok miring yang terletak di antara Pegunungan Selatan dan Jalur Solo sebagai contohnya ditemukan dekat Wonogiri dan Tirtomoyo. Blok sesar terpisahkan dari blok utama Pegunungan Selatan oleh depresi (Surono dkk, 1992). Struktur geologi di Pegunungan Selatan berupa kekar, sesar, dan lipatan. Lipatan terdiri atas sinklin dan antiklin, mempunyai arah umum timurlaut baratdaya dan beberapa baratlaut-tenggara. Sayap lipatan bersudut kecil yaitu 3º15° dan umumnya berbentuk agak setangkup. Sesar pada umumnya berupa sesar turun. Sesar utama berarah timurlaut yang dikenal dengan Sesar Opak dan berarah baratlaut-tenggara yang memotong Gunung Gajahmungkur. Zona Pegunungan Selatan
telah mengalami beberapa fase orogenesa
antara lain: fase orogenesa Mesozoik, Tersier dan Kuarter. Proses ini mengontrol pembentukan struktur geologi di Pegunungan Selatan. Fase pertama terjadi pada Masa Mesozoikum, berupa terbentuknya sinklin berarah barat-timur. Proses
55
orogenesa pada akhir Zaman Kapur sampai awal Eosen mengakibatkan terangkatnya Cekungan Pegunungan Selatan, sehingga menyebabkan fasies batuan yang berumur Kapur mengalami gangguan. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya batuan yang berumur Pra-Tersier, kemudian pada Miosen Tengah terjadi pengangkatan yang relatif lemah dan mengakibatkan Formasi Wonosari mempunyai kemiringan yang landai ke arah selatan. Fase orogenesa terakhir terjadi pada Kala Pleistosen Tengah, pada fase ini bagian dari puncak Geantiklin Jawa mengalami keruntuhan ke arah utara membentuk gawir berarah barat-timur dan sesar yang memiliki pola sama, kemudian pengendapan dari proses vulkanisme dan aluvial mulai berlangsung. Daerah penelitian menurut Surono dkk (1992), memiliki struktur yang umumnya berupa struktur sesar (patahan), struktur ini mempunyai arah TimurlautBaratdaya, Baratlaut-Tenggara dan Timur-Barat. Secara umum struktur yang terbentuk di daerah penelitian tidak terlepas dari pengaruh tektonik dan sejarah geologi yang terjadi di pulau Jawa (gambar 4.3 ).
Gambar 4.2. Pola struktur geologi regional daerah penelitian (modifikasi dari Surono, dkk. , 1992)
56
IV.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian
Berdasarkan data pengamatan, pengukuran dan pencatatan data struktur di lapangan, interpretasi peta topografi dan citra aster maupun landsat SRTM (Shuttle Radar Topographical Map), maka disimpulkan bahwa pada daerah penelitian berkembang struktur geologi berupa kekar, lipatan dan sesar. IV.2.1. Struktur Kekar
Kekar merupakan suatu struktur rekahan pada batuan yang relatif belum mengalami pergeseran. Struktur kekar yang dijumpai di daerah penelitian dibedakan atas struktur kekar primer dan struktur kekar sekunder. Struktur kekar primer terbentuk bersama terbentuknya batuan biasanya di temukan pada batuan beku, sedangkan struktur kekar sekunder terbentuk setelah proses terbentuknya batuan yang diakibatkan karena gaya-gaya endogen. Struktur kekar di lapangan di temukan pada batuan piroklastik maupun pada batugamping. Penentuan jenis struktur kekar pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan bentuk, ukuran, kerapatan, dan genesanya. Struktur kekar yang dijumpai pada daerah penelitian adalah kekar gerus (gambar 4.4) dan kekar tarik.
Gambar 4.3. Kenampakan struktur kekar gerus pada LP 103.arah umum dari kekar ini
N358⁰E/76⁰ dan N060⁰E/62⁰,lokasi di tepi sungai , kekar pada tuf
57
Pengukuran kekar untuk mengetahui arah gaya yang bekerja pada daerah penelitian pada dusun LP 103, hal ini karena selain di tempat ini hampir semua kekar yang ditemukan pada daerah penelitian sangat tidak ideal dan tidak mungkin untuk di ambil karena posisi struktur yang sudah berantakan dan hancur.
IV.2.2. Struktur sesar
Sesar adalah suatu zona rekahan pada batuan yang telah mengalami pergeseran dan sejajar terhadap bidang rekahan yang terbentuk sepanjang garis lurus (translasi) atau berputar (rotasi). Unsur-unsur atau tanda-tanda geologi yang mengindikasikan adanya sesar antara lain : a. Bidang sesar b. Gawir c. Kelurusan topografi d. Kelurusan sungai e. Perbedaan offset litologi Sesar yang terbentuk pada daerah penelitan berupa sesar turun dan sesar mendatar kiri. Sesar-sesar ini membentuk pola garis lurus ataupun sedikit berotasi. Sesar yang tergambar di peta geologi adalah sesar turun yang terindikasi dilapangan berupa blok yang bergerak turun dan adanya kenampakan gawir sesar, penarikan kelurusan pada peta topografi mengikuti kelurusan sungai di daerah penelitian yang dimana sungai tersebut penulis indikasi dibuat pada zona kelurusan sesar. Selain itu ada juga sesar-sesar kecil yang ditemukan di lapangan. Sesar di lapangan ini di temukan dengan ciri-ciri adanya salah satu, bidang sesar dan adanya offset pada batuan yang tersesarkan. Sesar-sesar ini memotong satuan
58
batuan breksi andesit, dan tuf yang kelurusannya hanya setempat-setempat pada daerah penelitian. Selanjutnya untuk mengetahui setiap jenis sesar, mekanisme dan daerah sebenarnya, maka sesar-sesar di sini diberi nama sesuai dengan nama daerah yang dilalui sesar tersebut, sehingga memudahkan dalam pembahasannya.
IV.2.2.1 Sesar Mendatar Kiri Bendung
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terdapat indikasi sesar mendatar kiri pada Daerah Banyukendil memanjang hingga ke arah timur laut di sekitar Daerah Surobayan, Desa Bendung. Hal ini dapat disimpulkan karena dilapangan ditemui offset akibat dari adanya sesar mendatar kiri . Pada daerah ini litologi berupa tuf dan breksi andesit yang merupakan Satuan Tuf. Kemudian data lain yang menguatkan bahwa pada daerah ini terdapat sesar mendatar kiri adalah karena dilapangan ditemukannya zona sesar, pada daerah Banyukendil LP-96 yang apabila ditarik kemenerusannya, maka sampai pada Daerah Duwet. Pada lokasi zona sesar, dijumpai bidang sesar dan dilakukan pengukuran bidang sesar yaitu N021°E/67°
Gambar 4.4. Sesar Mendatar Kiri Bendung pada singkapan breksi dan tuf, Satuan T uf, ditemukan bidang sesar yang menjadi bukti bahwa pada daerah Bendung berkembang sesar mendatar kiri. Foto diambil pada Desa Bendung Lp-98.
59
IV.2.2.2 Struktur Antiklin Ngampon
Struktur lipatan yang berkembang pada daerah telitian yaitu sinklin dan antiklin yang relatif berarah Barat – Timur. Indikasi adanya struktur lipatan ditemukan di Daerah Tapansari, Desa Watusigar. Pada Lp-5 yaitu bagian sayap utara lipatan, memiliki kedudukan N235°E/20°, N234°E/19° sedangkan pada LP109 bagian sayap selatan lipatan adalah memiliki kedudukan N086°E/30°, N089°E/34° (Foto 3.28). Diinterpretasikan bahwa ini merupakan struktur lipatan yang terjadi pada daerah telitian dikarenakan adanya proses kompresi.
Gambar 4.5. Antiklin Ngampon pada singkapan tuf , Satuan tuf, di dapatkan antiklin dengan arah umum barat –timur. Diinterpretasikan bahwa ini merupakan struktur lipatan yang terjadi pada daerah telitian dikarenakan adanya proses kompresi. Foto diambil pada Desa ngampon LP 5
IV.3 Genesa Pembentukan Struktur Geologi di Daerah Penelitian
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian diduga merupakan hasil dari aktivitas vulkanisme dan tektonisme masa lampau. Struktur yang berkembang pada umumnya merupakan kombinasi keduannya, dimana dari hasil vulkanisme menyebabkan terbentuknya pola struktur radial, hal ini di perkuat
60
dengan adanya struktur-struktur sesar turun minor konsentris yang di temukan di daerah penelitian, struktur ini diduga merupakan struktur mayor purba yang telah tererosi sehingga tidak tampak kemenerusan di lapangan. Kemudian pembentukan struktur geologi daerah penelitian berlanjut akibat adanya aktivitas tektonik pada. Proses tektonik ini mengakibatkan terbentuknya struktur-struktur kekar dan sesarsesar mendatar yang memotong satuan-satuan batuan vulkanik dan satuan batugamping yang telah terbentuk sebelumnya.
BAB V SEJARAH GEOLOGI
V.I. Sejarah Geologi Daerah Penelitian
Sebelum Kala Miosen aktivitas tektonik yang global telah terjadi. Posisi zona subduksi pertemuan antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng IndoAustralia telah mengalami pergeseran dan berada memanjang dari barat Sumatra menerus sampai bagian selatan Pulau Jawa, ke timur sampai Nusa Tenggara (Asikin,1974). Sehingga dengan adanya pergerakan lempeng yang bersifat konvergen akan membentuk suatu jajaran gunungapi sebagai akibat pelelehan ( partial melting) dari gesekan keduanya. V.I.1. Kala Miosen Awal-Miosen Akhir
Sejarah geologi di daerah penelitian diperkirakan dimulai pada Kala Miosen Bawah, yang ditandai dengan aktivitas vulkanisme pada daerah ini. Vulkanisme ini menghasilkan lava yang bersifat basaltik-andesitik, batuan gunung api seperti tuf, dan breksi andesitik-basaltik, Diduga periode ini berlangsung pada laut dangkal – laut dalam. Selama perkembangannya, aktivitas vulkanisme ini mengalami suatu evolusi magma akibat adanya pemisahan gas dari cairan magma selama proses diferensiasi dimulai dari basal menjadi andesit basal, andesit dan dasit atau bahkan riolit. Pada fase ini terbentuk lava andesit-dasitik. Tidak berlangsung lama pada kala Miosen Bawah perubahan magma ini juga menyebapkan ledakan eksplosif yang sangat merusak sehingga membentuk
61
62
kaldera pada pusat erupsi tersebut. Letusan besar pembentukan kaldera gunung api yang berada di luar lokasi bagian timur dan selatan, ini disebabkan oleh tekanan gas di dalam magma yang sangat kuat. Kemungkinan lain terbentuknya tekanan sangat kuat adalah karena terjadinya percampuran magma basal dengan magma asam (magma mixing ). Ciri khas batuan gunung api produk letusan sangat besar ini banyak mengandung pumis dalam berbagai ukuran dan berkomposisi asam. Pada fase ini kemudian di endapkan satuan breksi polimik (breksi aneka bahan) dimana fragmen pada breksi ini merupakan batuan yang lebih tua yang terbentuk terlebih dahulu diantaranya basalt, andesit, serta fragmen tuf yang terbentuk bersamaan dengan batuan breksi polimik ini. Fragmen beragam tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa fragmen-fragmen batuan tua dapat berasal dari gunung api lain yang berada di sekitar daerah penelitian. Selain breksi polimik, satuan tuf dan satuan breksi pumis juga terendapkan pada fase ini dengan hubungan menjemari satu sama lainnya. Ketiga satuan ini diperkirakan diendapkan pada lingkungan darat - laut dangkal dimana dari data dilapangan hal ini di dukung oleh struktur sedimen yang terlihat pada litologi tersebut. Hal ini di bahas secar rinci pada bab pembahasan selanjutnya. Selanjutnya masih pada Kala Miosen Tengah secara selaras di atasnya diendapkan satuan batuan breksi andesit, yang ditandai dengan aktivitas vulkanisme pada satuan ini. Vulkanisme ini menghasilkan lava basaltik-andesitik yang bersifat konstruktif
63
V.I.2. Kala Miosen Tengah – Miosen Akhir
Pada kala Miosen Tengah di duga kegiatan vulkanisme tersebut berhenti yang kemudian dilanjutkan dengan pengendapan sedimen asal laut dangkal di antaranya batugamping klastik di sebelah selatan dan tengah bagian barat daerah penelitian yang di duga merupakan lingkungan laut dangkal pada saat itu. Disamping proses pengendapan sedimen laut, proses eksogen juga berpengaruh pada batuan vulkanik yang berada pada lingkungan darat. Sehingga sebagian material tersebut mengalami pengerjaan ulang melalui proses sedimentasi (epiklastik) kemudian mengendap pada kaki maupun danau bekas gunung api dan terlithifikasi. Litotologi hasil pengerjaan ulang batuan gunung api ini yaitu batupasir tufan yang terdapat pada daerah penelitian yang merupakan anggota dari satuan tuf. V.I.3 Kala pliosen Akhir
Pada akhir Pliosen terjadi fase tektonik berupa pengangkatan. Prosesnya di tandai oleh berakhirnya pengendapan satuan batugamping di laut dan di gantikan oleh sedimen darat berupa endapan alluvial maupun endapan asal gunung api Kuarter. Fase tektonik inilah yang mengangkat daerah penelitian dari lingkungan laut menjadi darat
64
1
2
3
Gambar. 5.1. 1) Kala Miosen Bawah aktivitas vulkanisme mengalami evolusi, magma basal menjadi andesit basalt, andesit – dasit. 2) Kala Miosen T engah Terjadi ledakan sangat eksplosif ditandai dengan kemunculan breksi pumis yang melimpah, setelah itu aktivitas vulkanisme berhenti & digantikan dengan pengendapan sedimen laut. 3) Kala Pliosen Akhir fase tektonik berupa pengangkatan.
BAB VI GEOLOGI LINGKUNGAN
Geologi lingkungan merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang mempelajari tentang interaksi antara manusia dengan alam lingkungannya, serta pelestarian dan pemanfaatan bumi oleh manusia. Pembahasan geologi lingkungan adalah untuk mengetahui potensi geologi di daerah penelitian. Potensi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dalam hal ini adalah sumber daya alam, sedangkan potensi yang merugikan adalah bencana alam.
VI.1. PotensiSumberDayaAlam
Sumberdaya alam adalah semua kekayaan alam yang terdapat di lautmaupun di darat yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sumber daya alam yang dapat ditemukan pada daerah penelitian diantaranya: sumberdaya air, lahan, bahan galian dan sumber daya kayu.
VI.1.1. Air
Secara umum kondisi perairan di daerah penelitian cukup baik, dengan curah hujan yang hamper merata setiap tahun, serta kondisi vegetasi yang lebat dan masih terjaga sebagai media penahan air hujan yang meresap kedalam tanah. Potensi air yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar daerah penelitian berasal dari air permukaan, yaitu pada air sungai yang berada di sekitar
pemukiman
penduduk dan airtanah pada air sumur. Besarnya debit air sungai yang ada di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Masyarakat yang berada di
65
66
sekitar aliran sungai umumnya memanfaatkan air sungai untuk keperluan seharihari, seperti mencuci, mandi, dan irigasi. Sedangkan untuk air minum, masyarakat menggunakan airtanah (air sumur). Sungai-sungai di daerah penelitian merupakan sungai yang bersumber dari air hujan, hal ini dapat diketahui dari tidak tetapnya air sungai. Pada musim hujan air mengalir sangat deras dan melimpah, sedangkan pada musin kemarau air sungai sangat dangkal dan ada beberapa sungai yang menjadi kering
Gambar6.1.Air sungai sebagai sumber daya air pada Kali Oyo. Foto diambil dari LP 25, di Desa watusigar, lensa kamera menghadap ke barat
VI.1.2. Bahangalian
Bahan galian sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Bahan galian merupakan salah satu aspek geologi yang sangat berguna bagi masyarakat, bahan galian ini sering dimanfaatkan sebagai bahan dasar bangunan, jalan, jembatan, perabotan rumah, dan juga sebagai mata pencarian warga di daerah penelitian maupun di luar daerah penelitian. Potensi bahan galian yang ada
67
di daerah penelitian termasuk dalam bahan galian golongan C berupa breksi pumis, tuf, batugamping,serta pasir dan batu (sirtu). VI.1.2.1. BreksiPumisdanTuf
Breksi pumis pada daerah penelitian sering di jadikan masyarakat sebagai bahan bangunan dimana kegiatan penambangan ini dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat sederhana seperti linggis dan palu untuk mengupas batuan tersebut.
Gambar6.2.TempatpenambanganbreksipumispadaDesaSurodadi LP 45.LensakameramenghadapkeTimur (fotopenulis 2013)
Gambar 6.3.TempatpenambanganbreksipumispadadesaSurodadi LP 35.LensakameramenghadapkeTimur (fotopenulis 2013)
68
VI.1.2.2. Batugamping
Batugamping terdapat di sebelah Selatan bagian barat daerah penelitian, dimana penyebarannya dari Desa Kedongdowo pada bagian selatan sampai Desa Beji di bagian utara. Potensi batugamping di daerah penelitian sebenarnya cukup baik untuk ditambang, namun kegiatan penambangan tidak secara besar-besaran melainkan hanya setempat-setempat kecil oleh beberapa orang yang tinggal didekat daerah penambangan tersebut. Batugamping ini sering dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai bahan bangunan dan pengerasan jalan.
Gambar 6.4.Penambanganbatugamping yang dilakukanolehwargasetempat.LensakameramenghadapkeBaratdaya
VI.1.3. Sumber daya Lahan
Tanah di daerah penelitian mengandung unsure hara yang sangat baik bagi tanaman, sehingga pemanfaatan lahan ini digunakan untuk bercocok tanam, yaitu sebagai lahan pertanian dan lahan perkebunan. Daerah yang landai dan dekat dengan tubuh sungai maupun dataran alluvial sering dimanfaatkan untuk lahan pertanian dimana umunya di jadikan lahan persawahan, sedangkan tempat yang
69
tinggi sering dimanfaatkan untuk lahan perkebunan misalnya kebun kayuputi, jagung, kebun kacang dan kebun singkong.
Gambar 6.5 Perkebunan kayuputi pada perbukitan bergelombang sedang, di desa kedong dowo kecamatan karangmojo ,di barat daya lokasi daerah penelitian. Lensa kamera menghadap barat-laut (fotopenulis 2013)
Gambar 6.6.daearah persawaan yang berada di dataran rendah (aluvial), di desa randusari, kecamatan ngawen, dibagian tengah lokasi daerah penelitian, lensa kamera menghadap ke tenggara. (foto penulis 2013)
70
VI.2 BencanaAlam
Bencana alam adalah suatu proses yang dapat menimbulkan kerugian bagi makhluk hidup baik yang terjadi secara alamiah maupun yang di sebabkan oleh aktifitas manusia. Bencana alam oleh proses almiah yang sering terjadi pada daerah penelitian adalah tanah longsor hal ini dikarenakan derah penelitian merupakan daerah perbukitan dengan kelerengan yang terjal sehingga berpotensi longsor jika terjadi nya cura hujan yang
Gambar6.7. Tanah longsor yang terjadi pada Dusun Melikan. Arah foto menghadap ke tenggara (foto penulis 2013)
BAB VII PETROLOGI BATUAN GUNUNG API Bronto (2009), Batuan gunung api adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil dari kegiatan gunung api. Kegiatan gunung api diartikan sebagai proses keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan
VII.1 Latar Belakang
Pegunungan Selatan merupakan bagian dari pembelajaran busur gunung api berumur Tersier, selain yang tersebar luas di kepulauan Indonesia. Secara umum, produk gunung api tersebut dikenal sebagai Old Andesite Formation (Bemmelen, 1949) yang kemudian menjadi acuan para ahli geologi saat menjumpai batuan gunung api berumur tua (Bronto, 2010). Daerah penelitian merupakan Zona Pegunungan Selatan bagian barat. Menurut Surono, dkk. (1992) dalam Peta Geologi Regional Surakarta-Giritontro daerah Melikan Gunungkidul, disusun oleh beberapa kelompok batuan, di antaranya: Breksi Pumis, Tuf dan Breksi Polimik yang di kelompokan kedalam formasi Semilir. Secara stratigrafis, kelompok batuan tersebut adalah batuan tertua berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Selaras-menjari di bagian atasnya terdapat litologi Breksi Andesit yang di masukan kedalam Formasi Ngalanggrang berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Formasi tersebut menjari dengan breksi gunung api, aglomerat, lava andesit-basal dan tuf yang dimasukan ke dalam Formasi Nglanggeran. Sedangkan pada formasi Oyo di bagian utara daerah
71
72
penelitian tidak selaras dengan formasi Nglanggrang, sedangkan pada bagian selatan formasi Oyo selaras menjari dengan formasi Wonosari. Di daerah ini, ke empat formasi tersebut dilingkupi oleh lempung hitam endapan lakustrin yang oleh Surono, drr.,(1992) disebut Formasi Baturetno (gambar 7.1).
Gambar 7.1. Peta geologi regional daerah penelitian. ( modifikasi dari Surono,dkk., 1992)
Dari pembahasan diatas di terangkan secara jelas bahwasanya daerah penelitian disusun oleh kelompok batuan gunung api selain batuan sedimen, seperti breksi, aglomerat, braksi pumis, polimik dan tuf , sehingga penulis berpendapat bahwa di daerah penelitian pernah berlangsung kegiatan gunung api pada masa lampau. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti daerah ini dengan pembahasan mengenai petrologi gunung api daerah melikan dan sekitarnya Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
73
VII.2 Dasar Teori VII.2.1 Pengertian Gunung Api
Schieferdecker (1959 dalam Hartono, 2000) menyatakan bahwa gunung api yaitu tempat di permukaan bumi di mana magma dari dalam bum i keluar atau sudah keluar pada masa lampau, biasanya membentuk sebuah gunung berupa kerucut yang mempunyai kawah di bagian puncaknya. MacDonald (1972), menyatakan bahwa gunung api adalah tempat atau bukaan dari mana batuan kental pijar atau gas, umumnya keduanya, keluar dari dalam bumi ke permukaan, dan tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang kemudian membentuk bukit atau gunung. Dari kedua batasan tersebut dinyatakan bahwa setiap tempat keluarnya magma ke permukaan bumi adalah gunung api Bronto (2010). Dalam perkembangannya, gunung api tidak selalu menunjukkan bentuk timbul seperti bukit atau gunung, namun dapat pula berbentuk cekung, seperti gunung api tipe perisai. Tempat atau bukaan keluarnya batuan bijar atau gas tersebut disebut kawah atau kaldera, sedangkan batuan pijar dan gas adalah magma. Batuan atau endapan gunung api adalah bahan padat berupa batuan atau endapan yang terbentuk akibat kegiatan gunung api, baik secara langsung maupun tidak langsung. Wilson (1989), menyatakan bahwa gunung api dapat terjadi di lingkungan tektonik dalam lempeng (samudra dan benua), dan atau di batas lempeng (konstruktif dan destruktif). Gunung api yang terbentuk di kedua tatanan
74
tektonik tersebut mempunyai karakteristik tertentu di dalam kisaran kandungan SiO2, afinitas magma, dan bentang alam gunung apinya. Sebagai contohnya, gunung api yang terbentuk pada lingkungan tektonik konvergen menunjukkan bentang alam sebagai busur kepulauan, afinitas magma toleit-alkalin, dan menghasilkan batuan beku berkomposisi basa sampai asam. Secara umum, memiliki bentang alam gunung api tipe komposit ( strato), terdiri atas perselingan lava dan batuan piroklastika, retas dan sill, kelerengan terjal, dan umumnya membentuk kerucut simetris. VII.2.2 Volkanisme dan Batuan Gunung api
Vulkanisme adalah proses alam yang berhubungan dengan kegiatan gunung api, dimulai dari asal – usul pembentukan magma di dalam bumi hingga kemunculannya ke permukaan bumi dalam berbagai bentuk dan kegiatan (Bronto ,2004). Batuan gunung api merupakan hasil kegiatan gunung api secara langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder). Kegiatan secara langsung merupakan proses keluarnya magma ke permukaan bumi (erupsi) berupa letusan (eksplosi) dan lelehan (efusi) atau proses yang berhubungan. Kegiatan tidak langsung (sekunder) adalah proses yang mengikuti kejadian primer (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996). Penggunaan kata batuan di dalam penamaan batuan gunung api ini diartikan secara luas, yaitu bahan hasil dari aktivitas gunung api baik secara langsung maupun tidak langsung, mulai dari bahan lepas ( loose material ) sampai dengan
yang
sudah
membatu
(lithified
material ).
Pengertian
langsung
75
dimaksudkan bahwa bahan erupsi gunung api itu setelah mendingin/mengendap kemudian membatu di tempat itu juga (insitu), sedangkan pengertian tidak langsung menunjukkan bahwa endapan/batuan gunung api tersebut sudah mengalami pengerjaan ulang atau deformasi, baik oleh aktivitas vulkanisme muda, proses – proses sedimentasi kembali, maupun aktivitas tektonik (Bronto, 2004). Umumnya dikenal ada dua jenis erupsi gunung api yaitu: erupsi lelehan (efusie), dan erupsi letusan (eksplosif ). Erupsi lelehan berupa lelehan lava yang bila sudah membeku membentuk batuan beku luar. Berhubung mempunyai kesamaan tekstur, batuan beku intrusi dangkal dan batuan beku luar dipandang sebagai hasil kegiatan vulkanisme. Erupsi kedua yaitu erupsi letusan (eksplosif ) dimana material hasil erupsi letusan ini selalu bertekstur klastika sehingga dimasukan ke dalam kelompok batuan klastika (piroklastik) gunung api (Bronto, 2004). Menurut Cas dan Wright (1987) McPhie, dkk. (1993) dan Bronto (2004), batuan hasil erupsi gunung api dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu lava koheren (coherent lavas) dan batuan klastika gunung api (volcaniclastic rocks). Mengenai struktur batuan gunung api, untuk lava koheren mengikuti hukumhukum yang berlaku di dalam batuan beku, seperti halnya struktur masif, berlubang/berongga (vesicles), segregasi, konsentris, aliran dan rekahan radier yang mencerminkan proses pendinginan. Pembentukan struktur di dalam endapan/ batuan bertekstur klastika (misalnya piroklastika dan epiklastika) lebih mengikuti hukum batuan sedimen (proses pengendapan), misalnya struktur perlapisan/ laminasi, silang-siur, perlapisan, melensa, membaji, antidunes dan lain-lain. Itulah
76
sebabnya batuan gunung api sebaiknya tidak dipaksakan untuk masuk ke dalam jenis batuan beku atau batuan sedimen tetapi lebih baik dipandang sebagai kelompok batuan tersendiri yang berada di daerah transisi antara kedua jenis batuan utama tersebut (Bronto 2004). VII.2.2.1 Lava Koheren
Lava koheren pada hakekatnya adalah lava erupsi lelehan (efusif ), yaitu magma yang keluar dari dalam bumi melalui lubang kepundan gunung api dan membeku di permukaan bumi, (Bronto, 2004), menyatakan bahwa pembekuan magma di dekat permukaan ini dimungkinkan karena : 1. Magma sudah mengkristal terlebih dahulu sebelum pergerakannya mencapai ke permukaan bumi. 2. Tidak semua magma keluar ke permukaan bumi sewaktu gunung api bererupsi atau meletus, tetapi juga tidak kembali ke dapurnya jauh di dalam bumi setelah erupsi gunung api berhenti. Sebagian magma itu tersisa dan membeku di sepanjang perjalanan dari dapur magma ke permukaan bumi yang dalam hal ini adalah kawah atau kaldera gunung api. Kelompok batuan sub-gunung api ini antara lain membentuk retas, sill, leher gunung api atau kubah bawah permukaan. Magma yang membeku di pipa kepundan sehingga bagian atasnya menyembul
ke
permukaan sedangkan bagian bawahnya berada di bawah permukaan disebut leher gunung api atau sumbat lava
77
VII.2.2.2 Batuan klastika gunung api
Batuan klastika gunung api adalah batuan gunung api yang bertekstur klastika (disarikan dari
Fisher, 1961, Fisher, 1966 Fisher dan Smith, 1991
Pettijohn, 1975, Walker dan James, 1992, Mathisen & McPherson, 1991 dalam Bronto, 2004). Secara deskripsi, terutama tekstur (bentuk dan ukuran butir), batuan klastika gunung api dapat berupa breksi gunung api (volcanic breccias), konglomerat gunung api (volcanic conglomerate), batupasir gunung api (volcanic sandstones), batulanau gunung api (volcanic siltstones) dan batulempung gunung api (volcanic claystones). Perlu ditegaskan disini bahwa penggunaan kata pasir, lanau dan lempung hanyalah untuk menunjukkan ukuran butir, tidak secara langsung mencerminkan sebagai batuan sedimen epiklastika. Nama - nama tersebut dapat ditambah dengan parameter warna, struktur dan atau komposisi tergantung aspek mana yang menonjol dan mudah dikenali. Berdasarkan asal-usul proses fragmentasi dan genesanya maka batuan klastika gunung api dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu batuan autoklastika, batuan piroklastika, batuan kataklastika dan batuan epiklastika (Bronto 2004). Batuan autoklastika (breksi autoklastika/ autoclastic breccias) yaitu lava yang karena pendinginan yang sangat cepat dan bersentuhan dengan batuan dasar atau batuan samping yang dingin sehingga terjadi fragmentasi di bagian tepi atau luar dari tubuh magma/ lava tersebut merupakan batuan beku luar. Berhubung yang sering dijumpai adalah fragmentasi berukuran kasar dan berbentuk meruncing maka batuannya disebut breksi autoklastika. Ciri-ciri batuan ini
78
bertekstur klastika tetapi komposisi fragmen dan matriks homogen, berupa batuan beku berasal dari magma yang sama. Batuan piroklastika yaitu batuan gunung api bertekstur klastika sebagai hasil letusan gunung api atau guguran lava secara langsung. Sebanding dengan batuan piroklastika adalah batuan hidroklastika, yakni batuan gunung api bertekstur klastika sebagai hasil letusan uap air (letusan freatik, hidrotermal) yang membongkar batuan tua di atasnya. Uap air berasal dari air bawah tanah bercampur dengan uap magma yang terpancarkan, namun dalam hal-hal tertentu uap air itu berasal dari air permukaan (air hujan, sungai, danau, es atau air laut). Dalam hal ini bahan padat atau cairan dari magma tidak ikut terlontarkan. Letusan transisi diantara letusan magmatik dengan letusan freatik adalah letusan freatomagmatik. Dikarenakan gunung api sangat erat hubungannya dengan batuan piroklastik selain batuan beku ekstrusif seperti lava, penulis lebih tekankan akan pengetahuan tentang batuan piroklastik. Batuan piroklastik adalah batuan volkanik klastik yang dihasilkan oleh serangkaian
proses yang berkaitan langsung dengan letusan gunung api
(Cas & Wright, 1987). Hirokawa (1980) mendefinisikan batuan piroklastik secara umum sebagai batuan yang tersusun oleh material-material fragmental hasil lontaran (keluar) akibat letusan gunung api. Menurut Williams et all.,(1982), batuan piroklastik yaitu batuan bertekstur klastik sebagai hasil pengendapan fragmen bentukan kegiatan gunung api secara langsung, umumnya berupa erupsi eksplosif. Sedangkan Fisher (1961) diikuti Pettijohn (1975), men
79
yatakan bahwa piroklastik merupakan kata sifat untuk batuan hasil letusan atau lontaran material dari suatu lubang gunung api yang terakumulasi baik di daratan maupun di bawah air laut. Secara umum batuan piroklastik dapat dibagi menjadi beberapa litologi diantaranya: breksi, aglomerat, lapili dan tuf (Fisher & Schminke 1984).
1. Breksi piroklastik a d a l a h batuan yang tersusun atas aglomerat dan fragmen tuf. Batuan ini terbentuk akibat konsolidasi dari block-block gunung api dan tuf. Berukuran leb ih dari 64 mm, dengan bentuk butir yang meruncing, grainsupported (masa dasar yang didukung butiran) dan hubungan antar butir yang terbuka. Breksi Piroklastik ada lah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tekstur menurut Fisher & Schminke, (1984). 2. Aglomerat adalah batuan yang dibentuk oleh konsolidasi material-material dengan
kandungannya
didominasi
oleh
bomb
gunungapi
dimana
kandungan 1apilli dan abu kurang dari 25%. Dengan bentuk butir yang membundar,
dan berukuran
lebih dar i 64mm. Agglomerat adalah
penamaan batuan piroklastik berdasarkan tekstur menurut Fisher & Schminke (1984). 3. Lapili berasal dari bahasa latin yaitu lapillus, nama untuk hasil erupsi eksplosif gunung api yang berukuran 2 mm - 64 mm. Selain itu fragmen batuan kadang- kadang terdiri dari mineral-mineral augit, olivin dan plagioklas. Karena ini adalah lapili tuf maka merupakan
80
fragmen lapili pada masa dasar tuf. Lapili adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tekstur menurut Fisher & Schminke (1984). 4. Tuf adalah batuan piroklastik yang berukuran 2 mm - 1/256 mm yang dihasilkan oleh pelemparan dari magma akibat erupsi eksplosif. tuf sudah mengalami konso lidasi, dengan kandungan abu mencapai 75%. Tuf adalah penamaan batuan p irok lastik berdasarkan tekstur menurut Fisher & Schminke (1984). Tabel 7.1. Klasifikasi Nama Endapan dan Batuan Piroklastik, modifikasi menurut Fisher & Schmincke (1984)
81
Gambar 7.2. (a) Model Letusan gunung api, dan (b) fasies endapannya yang menghasilkan breksi koignimbrit beserta batuan piroklastika kaya batuapung (Wright,1981, dalam Bronto,2009)
Gambar 7.3. Skema penampang kerucut kerucut gunung api komposit. A. Kerucut gunung api yang masih utuh, B. Kerucut gunung api yang sudah tererosi pada tingkat dewasa dan C. Kerucut gunung api yang sudah tererosi lanjut ( Williams & MacBirney ,1978 dalam Bronto, 2003)
82
Gambar 7.4. Karakteristik gunung api komposit (Lockwood and Hazlet,2010)
VII.2.2.3 Jenis Endapan Piroklastik
Sukhyar (1982) merinci hasil kegiatan hasil suatu gunung api, selain gas yang tidak terekam ujudnya, maka dapat di bedakan tiga macam hasil kegiatan, yaitu : 1. Endapan piroklastik jatuhan merupakan hasil endapan ekplosif dari gunung api yang diendapkan melalui udara.Ciri-ciri: Memperlihatkan struktur butiran bersusun dan endapan berlapis naik. 2. Endapan piroklastik aliran merupakan endapan piroklastik yang mana material langsung teronggokan di suatu tempat.Ciri-ciri: Sebarannya sangat dipengaruhi oleh morfologi, Batas bawah dibatasi oleh area dan pada bagian atasnya relative datar dan umumnya mempunyai struktur masif. 3. Endapan piroklatik surge merupakan endapan piroklastik yang berasal dari
suatu awan panas dengan kepadatan rendah, campuran dari unsure-unsur
83
padat, uap air, gas yang bergolak di atas permukaan dengan kecepatan tinggi.Ciri-ciri: Perlapisan yang baik, adanya penjajaran butiran pipih dan adanya perlapisan bergelombang.
Gambar 7.5..Jenis-jenis endapan piroklastik.(Colin and Bruce, 2000)
VII.2.2.4 Identifikasi fasies gunung api berdasarkan berdasarkan stratigrafi gunung api.
Identifikasi Fasies gunung api menurut modifikasi
yang mengacu ke
dalam model fasies gunung api menurut (Bogie & Mackinzie, 1998, dalam Bronto, 2006) (Gambar 7.6) model fasies gunung gunung api ini dapat dipakai ke dalam tipe gunung api strato. Seperti gunung api purba yang terdapat di daerah penelitian peneliti. berdasarkan stratigrafi gunung api dibagi menjadi 4 Fasies gunung api, yaitu:
84
1. Fasies Sentral merupakan bukaan keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan. Oleh sebab itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan beku yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan semi gunung api (subvolcanic intrusions) seperti halnya leher gunung api (volcanic necks), sill, retas, dan kubah bawah permukaan (cryptodomes). Batuan terobosan dangkal tersebut dapat ditemukan pada dinding kawah atau kaldera gunung api masa kini, atau pada gunung api purba yang sudah tererosi lanjut. Selain itu, karena daerah bukaan mulai dari conduit atau diatrema sampai dengan kawah merupakan lokasi terbentuknya fluida hidrotermal, maka hal itu mengakibatkan terbentuknya mineral ubahan atau bahkan mineralisasi. Apabila erosi di fasies ini sangat lanjut, batuan berumur tua yang mendasari gunung api juga dapat tersingkap. 2. Fasies Proksimal merupakan kawasan gunung api yang paling dekat dengan lokasi sumber atau Fasies pusat. Asosiasi batuan pada kerucut gunung api komposit sangat dipengaruhi oleh perselingan aliran lava dengan breksi piroklastika dan aglomerat. Kelompok batuan ini sangat resistan, sehingga biasanya membentuk timbulan tertinggi pada gunung api purba. 3. Fasies Medial merupakan lokasi yang menjauhi sumber, aliran lava dan aglomerat sudah berkurang, tetapi breksi piroklastika sangat dominan, dan breksi lahar juga sudah mulai berkembang. 4. Fasies Distal merupakan daerah pengendapan terjauh dari sumber, Fasies distal oleh endapan rombakan gunung api seperti halnya breksi lahar,
85
breksi fluviatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau. Endapan primer gunung api di fasies ini umumnya berupa tuf. Ciri-ciri litologi secara umum tersebut tentunya ada perkecualian, apabila terjadi letusan besar sehingga menghasilkan endapan piroklastika atau endapan longsoran gunung api yang melampar jauh dari sumbernya.
Gambar 7.6. Pembagian fasies gunung api menjadi fasies sentral, fasies pr oksimal, fasies medial, dan fasies distal beserta komposisi batuan penyusunnya (Bogie & Mackenzie,1998)
VII.3 Metode Pendekatan
Metode yang dipakai untuk memecahkan masalah tentang petrologi batuan gunung api yaitu dengan menggunakan analisis, sifat fisik yang meliputi tekstur, struktur dan komposisi, yang diamati di lapangan serta penamaan batuan berdasarkan klasifikasi Fisher & Schmincke, (1984), dan berdasarkan sifat optis
86
yang diamati di bawah mikroskop polarisasi serta penamaan berdasarkan klasifikasi Schmid (1981) Gilbert (1982) dan Pettijohn, (1975). Di samping metode di atas, indikasi gunung api purba mengacu pada prinsip
geologi “the present is the key to the past ” (Hutton, 1788), Artinya,
bentuk bentang alam, jenis batuan, struktur geologi dan stratigrafi gunungapi, dan tipe letusan yang terjadi pada masa sekarang dapat diterapkan untuk mengetahui kondisi geologi diantaranya petrologi batuan gunung api yang terdapat pada daerah penelitian saat ini.
VII.4 Petrologi Batuan Gunung Api
Daerah Melikan dan sekitarnya penulis interpretasikan sebagai suatu bentang alam yang disusun oleh produk gunung api dalam jalur gunung api Tersier Pegunungan Selatan Jawa Tengah selain bentang alam lain yang ada disekitarnya. Hal ini didukung oleh morfologi dan terutama oleh litologi yang tersusun oleh satuan-satuan stratigrafi tidak resmi yang terdiri dari breksi vulkanik polimik, breksi pumis, dan tuf. Parameter yang digunakan peneliti dalam identifikasi batuan gunung api di daerah penelitian mengacu pada metode pendekatan oleh Bronto (1997 dan 2006). Bronto (2006), secara deskriptif (pemerian) batuan gunungapi mempunyai ciri-ciri khas di dalam tekstur dan komposisi, sebagai berikut: 1. tekstur hipokristalin porfir, vitrofir atau gelas, baik di dalam lava koheren maupun sebagai komponen bahan piroklastika,
87
2. komposisi selalu mengandung gelas gunung api; kristal yang terbentuk pada umumnya menunjukkan tekstur dan struktur pendinginan magma sangat cepat; komponen fragmen batuan kebanyakan terdiri dari fragmen batuan beku (luar), seperti basal, andesit, dasit atau riolit.
VII.4.1. Analisis profil dan litofasies pada LP 44
Analisis profil ini untuk mengetahui suatu penyebaran suatu satuan Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur. Dan komposisi batuan serta geometri.
VII.4.1.1 Analisis profil
Anlisis profil pada LP 44 ini di dapatkan litologi berupa, breksi polimik, tuf, dan breksi pumis. Profil di lapangan pada LP 44 ini dari bawah ke atas dapat di jelaskan sebagai berikut : Tabel 7.2. Kolom profil LP 44 Dusun Jirak (tanpa skala)
88
Gambar.7.7. Kenampakan singkapan pada LP 44 berada di Dusun Jirak, Kecamatan Semin, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi polimik, kemudian lapisan tuf dan paling bawah berupa breksi pumis. Singkapan ini sebagian besar tertutup oleh rumput. Kedudukan batuan (N95 E/18) dan arah lensah kamera menghadap ke barat. (foto penulis, 2013).
VII.4.1.2 Breksi pumis A. Penamaan lapangan
secara megaskopis breksi pumis mempunyai ciri-ciri warna segar abu-abu gelap – putih dan warna lapuk hitam ke abu-abuan struktur massif, kenampakan tekstur pada breksi pumis ini, di mana bentuk butir menyudut sampai menyudut tanggung dengan ukuruan butir (2-64 mm) lapilli-bomb, pemilahan tepilah buruk, komposisi pada breksi pumis berupa fragmen pumis dan tuf, sedang bahan litik hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik dengan semen silika.
89
Gambar .7.8. kenampakan breksi pumis di Dusun Jirak, fragmen batuan didominasi oleh pumis sedang bahan litik hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik foto penulis (2013).
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik (tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda. Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur. Dan komposisi batuan serta geometri. 1
Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat pemilahan. a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.
90
b. Ukuran butir: fragmen berukuran (2-64 mm) berupa lapilli-bomb/bolk tuf dan litik yang tertanam pada masa dasar matrik (1/2- 2 mm). c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses pengendapan batuan tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik. Sehingga pada paket litofasies ini terjadi percampuran butiran dari ukuran yang besar sampai dengan ukuran kecil sebagai masa dasar. d. Kemas terbuka dapat ditentukan karena ukuran butiran sudah diatas ukuran lapili keatas dan seolah-olah fragmen mengambang pada masa dasar tuf dan litik. 3. Komposisi dengan dijumpai fragmen batuan beku dan fragmen piroklastik pada masa dasar tuf halus dan litik dengan jenis semen silica maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik. 4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada pelamparan secara vertical. Kesimpulan dengan dijumpai breksi piroklastik termasuk kedalam produk dari endapan piroklastika aliran ( flow deposit ).
VII.4.1.3 Tuf kasar A. Penamaan lapangan
secara megaskopis kenampakan tuf kasar mempunyai ciri-ciri warna segar abu-abu kekuningan dan warna lapuk kuning kecoklatan struktur berlapis dan gradasi, kenampakan tekstur pada tuf kasar ini, di mana bentuk butir membulat sampai menyudut dengan ukuruan butir (1/16-2 mm) berupa abu-lapilli, pemilahan tepilah baik, komposisi pada tuf kasar tersusun oleh bahan litik dan tuf hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik dengan semen silika.
91
Gambar .7.9 Singkapan tuf kasar degnan struktur berlapis di LP 44 foto penulis (2013)
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik (tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda. Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri 1
Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat pemilahan. a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat diinterpretasikan bahwa pengendapan batuan dekat dengan sumber gunung api, karena fragmen pada batuan belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.
92
b. Ukuran butir: berupa abu kasar dan lapili (1/16-2 mm) yang terdapat di dalam matrik pada masa dasar tuf, menceritakan bahwa tuf kasar ini merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi silika. Derajat pemilahan:
terpilah
sedang
menceritakan
bahwa
pada
proses
pengendapan batuan terjadi pemisahan butiran akibat dari gravitasi bumi. 2.
Struktur batuan: gradded bedding sehingga dapat diceritakan bahwa pada paket litofasies ini terjadi pemisahan butiran dikarenakan butiran-butiran yang berukuran lebih besar dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari gravitasi bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil diatasnya sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas.
3.
Komposisi dengan dijumpai fragmen batuan berupa tuf kristal dan fragmen litik pada masa dasar tuf dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik.
4.
Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada pelamparan secara vertikal. Kesimpulan dengan dijumpai struktur batuan gradded bedding , keterdapatan litik maka tuf kasar termasuk kedalam produk dari endapan piroklastika jatuhan ( fall deposit ).
93
VII.4.1.4 Tuf halus A. Penamaan lapangan
Kenampaka tuf halus di lapangan dengan ciri-ciri warna segar abu-abu kekuningan dan warna lapuk hitam kecoklatan, struktur berlapis, tekstur ukuran butir (< 0,04 mm) berupa abu halus dengan bentuk butir membulat sampai membulat tanggung, pemilahan sangat baik, komposisi matrik tertanam pada masa dasar tuf dan semen silika.
Gambar 7.10 Kenampakan tuf halus dengan struktur berlapis pada LP 44 foto penulis (2013)
B. Penamaan petrografi
Sayatan tipis batuan piroklastik, Warna abu-abu kecoklatan, tekstur klastik, ukuran butir lempung- pasir halus, komposisi terdiri dari gelas volkanik, plagioklas (32%), hornblende (10%), kwarsa (14%), mineral opak (4%) dan gelas vulkanik (58%) Nama Batuan analisis petrografi.
Crystal
tuff (Pettijohn, 1975)
: Lampiran I
94
C. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik (tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda. Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur. Dan komposisi batuan serta geometri. 1. Tekstur pada batuan yang meliputi ukuran butir, abu halus (< 2.
0,04 mm).
Komposisi tuf, dengan semen silika,
3. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf merupakan produk piroklastika jatuhan ( fall deposit ). Tuf pengendapannya sangat dipengaruhi oleh arah angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti bentuk morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang luas yang artinya dapat dijumpai dari fasies sentral- fasies distal.
VII.4.1.5 Breksi Polimik A. Penamaan lapangan
Kenampakan breksi polimik di lapangan dengan ciri-ciri warna segar abuabi kehitaman dan warna lapuk hitam ke abu-abuan, tekstur kasar meliputi, ukuran butir blok-lapili, bentuk butir menyudut sampai menyudut tanggung, sortasi terlihat buruk dengan kemas terbuka, komposisi pada breksi polimik terdiri dari beberapa fragmen berupa andesit, basalt, pumis, dan fragmen asesoris lain
95
nya, masa dasar litik dan tuf yang tertanam pada matrik, semen silika, struktur masif.
Gambar.7.11 Foto di atas merupakan singkapan breksi polimik di LP 44. Fr agmen batuan di dominasih oleh batuan beku berupa andesit dan basal, sedangkan fragmen pumis dan asesoris hanya 10% tertanam dalam masa dasar tuf-lapili pumis, lensah kamera menghadap ke barat-laut (foto penulis 2013).
B. Penamaan petrografi
Sayatan tipis batuan beku andesit, warna abu-abu kecokelat-cokelatan, tekstur porfiro afanitik, ukuran pada fenokris 0,1–1 mm, bentuk subhedral, komposisi terdiri dari mineral plagioklas (50%), hornblende (15%), piroksin (5%), dan opak (10%), mimeral-mineral tertanam dalam massa dasar berupa mineral plagioklas, opak, dan gelas, penamaan petrografi Andesit hornblende (Williams et. al., 1954). Lampiran I analisis petrografi. C. Analisis lithofasies breksi polimik
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik (tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang
96
membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda. Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri. 1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat pemilahan. a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber. b. Ukuran butir: fragmen berukuran berupa blok-bomb (64-256 mm), litik dan tuf yang tertanam pada masa dasar breksi polimik (1/2- 2 mm). c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses pengendapan batuan tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik. Sehingga pada paket litofasies ini terjadi percampuran butiran dari ukuran yang besar sampai dengan ukuran kecil sebagai masa dasar. d. Kemas terbuka dapat ditentukan karena ukuran butiran sudah di atas ukuran lapili keatas dan seolah-olah fragmen mengambang pada masa dasar breksi polimik. 2.
Struktur massif.
3. Komposisi dengan dijumpai fragmen batuan beku berupa andesit dan basalt, serta fragmen pumis dan asesoris pada masa dasar litik dan tuff dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik.
97
4.
Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada pelamparan secara vertikal. Kesimpulan dimana di jumpai fragmen andesit yang dominan pada breksi polimik ini termasuk kedalam produk dari endapan piroklastik aliran ( flow deposit ).
VII.4.1.6. Mekanisme pengendapan
Parameter yang di gunakan untuk mengidentifikasi endapan akibat proses jatuhan dan aliran, geometri endapan, dan pemilahan serta perubahan berangsur dari pada masing-masing lapisan Geometri pada LP ini dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada pelamparan secara vertikal dan merupakan produk endapan piroklastika jatuhan ( fall deposit ) yang di hasilkan pada saat material dipancarakan secara lontaran (eksplosif ) tinggi ke arah atmosfir, kemudian akibat pengaruh gaya gravitasi tertentu tergantung kecepatan angin dan ukuran butir. Tekstur pada pada LP ini ukuran butir blok, lapilli dan tuf dapat di ceritakan bahwa pada proses pengendapan terjadi pemisahan butir dikarenakan butiran-butiran yang berukuran lebih besar dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari gravitasi bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil diatasnya sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas (normal grading) pengendapannya menerus mengikuti bentang alam yang ditutupinya dengan tebal relatif sama, namun secara umum menipis menjauhi sumber erupsi dan tegak lurus menjauhi sumbu sebaran , dicirikan mengikuti bentuk morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang luas yang artinya dapat dijumpai dari fasies sentral-fasies medial.
98
Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis dan litik pada masa dasar tuf dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa material ini hasil dari letusan explosive atau penghancuran tubuh gunung api. Pada pengamatan dan analisa profil pada LP 44, dengan keterdapatan asosiasi dengan tuf lapilli dan breksi pumis, maka peneliti interpertasikan daerah ini terendapkan pada fasies gunung api proksimal-Medial (didasarkan modifikasi model fasies gunung api menurut Bogie & Mackinzie, 1998, dalam Bronto 2006). Kemudian pada fase berikut nya terjadi erupsi dengan mekanisme pengendapan aliran piroklastik (debris flow) didasarkan oleh tekstur yang meliputi bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa pengendapan batuan dekat dengan sumber, karen a fragmen pada batuan ini belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber, fragmen berupa batuan beku yang didominasi oleh andesit dan basal, sedangkan pada fragmen batuan piroklastik antara lain tuf, pumis dan frgamen asesoris lain nya hanya terdapat 20%, maka fragmen ini adalah hasil dari penghancuran tubu gunung api yang terfragmenkan dengan masa dasar litik dan tuf, secara megaskopis fragmen ini dicirikan oleh pada bagian luar sangat berongga dan makin ke dalam makin masif, derajat pemilahan terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses pengendapan batuan tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik. Sehingga pada paket litofasies ini terjadi percampuran butiran dari ukuran yang besar sampai dengan ukuran kecil sebagai masa dasar matrik, sehingga dapat dimasukkan kedalam produk endapan piroklastika aliran, dimana strutktur pengendapannya symmetric grading sehingga dapat menceritakan bahwa ada dua mekanisme pengendapannya yang berada pada
99
profil LP 44 ini yaitu jatuhan piroklastik ( fall deposit ).dan aliran piroklastik (debris flow).
Gambar 7.12. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis perlapisan pada LP 44, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984)
VII.4.2. Analisis profil dan litofasies pada LP 62
Analisis profil ini untuk mengetahui suatu penyebaran satuan. Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.
VII.4.2.1 Analisis profil
Analisis profil pada LP 62 ini di dapatkan litologi antara lain breksi pumis, tuf kasar dan tuf, profil dilapangan pada LP 62 ini dari bawah ke atas dapat di jelaskan sebagai berikut
100
Tabel 7.3. Kolom Profil LP 62 (tanpa skala)
Gambar 7.13. Kenampakan singkapan pada LP 44 berada di Dusun Kepek, Kecamatan Semin, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh tuf halus, kemudian lapisan tuf lapili dan paling b awah berupa breksi pumis. Singkapan ini berada di sungai dengan aliran sungai (N 85). Kedudukan batuan (N93 E/19) dan arah lensah kamera menghadap ke barat. (foto penulis, 2013).
101
VII.4.2.2. Breksi pumis A. Penamaan lapangan
Secara megaskopis warna breksi pumis mempunyai ciri-ciri berwarna segar putih keabu-abuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan, tekstur pada breksi pumis ini meliputi ukuran butir (2-64 mm) berupa lapilli-blok/bomb dan bentuk butir menydut sampai menyudut tanggung pemilahan sortasi terlihat buruk dengan kemas terbuka, komposisi fragmen batuan didominasi olah pumis, sedangkan matrik tertanam pada masa dasar litik dan tuf, semin silika.
Gambar .7.14. Foto singkapan breksi pumis di LP 62, di mana fragmen batuan didominasi oleh pumis, (foto penulis 2013).
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik (tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.
102
Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri 1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat pemilahan. a. Bentuk butir: membundar-membundar tanggung dapat diinterpretasikan bahwa pengendapan batuan jauh dengan sumber gunung api, karena fragmen pada batuan belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber. b. Ukuran butir: fragmen berukuran lapili-bomb/bolk (2-64 mm), litik yang tertanam pada masa dasar tuf halus (1/2-1/8 mm) menceritakan bahwa fragmen tidak hanya fragmen pumis, tetapi terdapat juga fragmen litik dan tuf sehingga breksi pumis ini merupakan produk piroklastik, dengan komposisi silika. c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses pengendapan batuan terjadi percampuran butiran. 2. Struktur batuan pada breksi pumis yaitu struktur gradasi-berlapis
.
3. Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis pada masa dasar tuf halus dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik. 4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada pelamparan secara vertikal. maka breksi pumis termasuk kedalam produk dari piroklastik jatuhan.
103
VII.4.2.3. Tuf lapili A. Penamaan lapangan
Secara megaskopis tuf lapili mempunyai ciri-ciri berwarna segar putih keabu-abuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan, tekstur pada tuf lapili ini meliputi ukuran butir (1/16-2 mm) berupa abu kasar-lapili dan bentuk butir membulat sampai menyudut, pemilahan sortasi terlihat baik sampai dengan sedang, komposisi matrik tertanam pada masa dasar litik, pumis dan tuf, semen silika.
Gambar .7.15. Singkapan tuf lapilli dengan struktur berlapis-gradasi berada di LP 62, Desa Kepek, kecamatan semin (foto penulis 2013).
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik (tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.
104
Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri. 1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat pemilahan. a. Bentuk butir: membulat - menyudut dapat disimpulkan bahwa pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena matrik pada batuan belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber. b. Ukuran butir berupa abu kasar-lapili (1/16-2 mm) yang tertanam pada masa dasar abu halus (1/2-1/8 mm) menceritakan bahwa
tuf ini
merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi silikaan c. Derajat pemilahan: terpilah halus-sedang menceritakan bahwa pada proses pengendapan batuan terjadi pemisahan butiran dimana ukuran butir l apilli jatu lebih dulu dari pada abu hal ini yana mengakibatkan akibat gaya gravitasi bumi d. Kemas tertutup dapat ditentukan karena ukuran butiran halus 2. Struktur pengendapan graded beding normal (lihat di gambar 7.14) sehingga dapat diceritakan bahwa pada paket litofasies ini terjadi pemisahan butiran dikarenakan butiran-butiran yang berukuran lebih besar dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari gravitasi bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil diatasnya sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas.
105
3. Komposisi dengan dijumpai matrik lapilli pada masa dasar tuf halus sebagian nampak kristal feldspar dan kuarsa dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik. 4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf lapili merupakan produk piroklastika jatuhan ( fall deposit ). pengendapannya sangat dipengaruhi oleh arah angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti bentuk morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang luas sesuai dengan tipe letusan nya, jika letusan nya sedang akan mengendap dari sentral-medial, tetapi jika indeks letusan nya cukup besar maka material ini akan mngendap mulai dari sentral-distal dan bahkan biasa mencapi beberapa ribuan kilo meter.
VII.4.2.4. Tuf A. Penamaan lapangan
Kenampaka tuf halus di lapangan dengan ciri-ciri warna segar putih abuabuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan struktur berlapis, tekstur meliputi ukuran butir (< 0,04 mm) berupa abu halus dengan bentuk butir membulat sampai membulat tanggung, pemilahan sangat baik, komposisi matrik tertanam pada masa dasar tuf dan semen silika.
106
Gambar .7.16. Singkapan tuf di LP 62 foto penulis (2013)
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik (tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda, dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri. 1. Tekstur pada batuan yang meliputi ukuran butir, berupa abu halus (< 0,04 mm). dan pemilahan sangat baik. 2.
Komposisi tuf, dengan semen silika,
3. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf merupakan produk piroklastika jatuhan ( fall deposit ). Tuf pengendapannya sangat dipengaruhi oleh arah angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti bentuk
107
morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang luas yang artinya dapat dijumpai dari fasies sentral- fasies distal.
VII.4.2.5. Mekanisme pengendapan
Parameter yang di gunakan untuk mengidentifikasi endapan akibat proses jatuhan adalah asosiasi batuan, geometri endapan, dan pemilahan serta perubahan berangsur dari pada masing-masing lapisan Geometri pada LP ini dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada pelamparan secara vertical dan merupakan produk endapan piroklastika jatuhan ( fall deposit ) yang di hasilkan pada saat material dipancarakan secara lontaran (eksplosif ) tinggi ke arah atmosfir, kemudian akibat pengaruh gaya gravitasi tertentu tergantung kecepatan angin dan ukuran butir.Tekstur pada pada LP ini ukuran butir lapilli-tuf dapat di ceritakan bahwa pada proses pengendapan terjadi pemisahan butir dikarenakan butiran-butiran yang berukuran lebih besar dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari gravitasi bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil diatasnya sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas (normal grading). Pengendapannya menerus mengikuti bentang alam yang ditutupinya dengan tebal relatif sama, namun secara umum menipis menjauhi sumber erupsi dan tegak lurus menjauhi sumbu sebaran , dicirikan mengikuti bentuk morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang luas yang artinya dapat dijumpai dari fasies sentral-fasies medial. Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis dan fragmen litik pada masa dasar tuf dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa material ini
108
hasil dari letusan explosive atau penghancuran tubuh gunung api. Pada pengamatan dan analisa profil pada LP 62 di Dusun Kepek, dengan keterdapatan asosiasi dengan tuf lapilli dan breksi pumis, maka peneliti interpertasikan daerah ini terendapkan pada fasies gunung api proksimal-Medial (fasies gunung api menurut Bogie & Mackinzie, 1998, dalam Bronto 2006).
Gambar 7.17. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis perlapisan pada LP 62, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984).
VII.4.3. Analisis profil dan litofaspies breksi pumis
Analisis profil ini untuk mengetahui penyebaran suatu satuan. Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometr.
VII.4.3.1 Analisis profi
Analisis profil litologi pada LP 35 antara lain: breksi pumis, tuf kasar, dan tuf halus tuf, dengan urutan stratigrafi dari bawah ke atas dapat di jelaskan sebagai berikut
109
Tabel 7.4. Profil LP 35 (tanpa skala)
Gambar 7.18. Kenampakan singkapan pada LP 35 berada di Dusun Sorodadi, Kecamatan Ponjong, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini berada di gunung Panggung, foto di atas menunjukan tekstur pada singkapan ini berupa penghalusan ke bawah dengan kedudukan batuan (N105 E/8) dan arah lensah kamera menghadap ke barat-daya. (foto penulis, 2013).
110
VII.4.3.2. Tuf halus A. Penamaan lapangan
Kenampaka tuf halus di lapangan dengan ciri-ciri warna segar abu-abu keputihan dan kuning-kecoklatan, struktur berlapis, tekstur ukuran butir (< 0,04 mm) berupa abu halus dengan bentuk butir membulat sampai membulat tanggung, pemilahan sangat baik, komposisi matrik tertanam pada masa dasar tuf dan semen silika.
Gamabar .7.19. Kenampakan megaskopis Tuf halus. Foto diambil pada LP 35
B. Penamaan petrografi
Sayatan tipis batuan piroklastik, Warna abu-abu kecoklatan, tekstur klastik, ukuran butir lempung- pasir halus, komposisi terdiri dari gelas volkanik, kuarsa (5%), felspar (5%), opak(5%) dan gelas vulkanik (85%) Nama Batuan Nama mikroskopis : Vitric tuf (Williams et. al., 1954) lampiran I analisis petrografi.
111
C. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik (tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstu, dan komposisi batuan serta geometri 1.
Tekstur pada batuan yang meliputi ukuran butir, ukuran butir: berupa abu halus (< 0,04 mm)
2.
Komposisi tuf, dengan semen silika,
3. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf merupakan produk piroklastika jatuhan ( fall deposit ). Tuf pengendapannya sangat dipengaruhi oleh arah angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti bentuk morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang luas yang artinya dapat dijumpai dari Fasies Sentral- Fasies Distal.
VII.4.3.3. Tuf kasar A. Penamaan lapangan
Secara megaskopis tuf lapili mempunyai ciri-ciri berwarna segar putih keabu-abuan dan warna lapuk abu-abu kekuningan, tekstur pada tuf kasar ini meliputi ukuran butir berupa abu kasar-lapili (1/16-2 mm) dan bentuk butir membulat sampai menyudut, pemilahan sortasi terlihat baik sampai dengan sedang, komposisi matrik tertanam pada masa dasar tuf, semen silika.
112
Gambar .7.20 Kenampakan tuf kasar dengan struktur berlapis pada LP 35, Desa Sorodadi, Kecamatan Ponjong. Foto di atas ini menunjukan tekstur pada bagian luar nampak berlubang-lubang, foto penulis (2013).
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik (tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda. Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri. 1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat pemilahan. a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.
113
b. Ukuran butir berupa abu kasar-lapili (1/16-2 mm), menceritakan bahwa tuf ini merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi silikaan. c. Kemas tertutup dapat ditentukan karena ukuran butiran halus. 2. Struktur pengendapan perlapisan. 3. Komposisi dengan dijumpai matrik lapilli pada masa dasar tuf halus sebagian nampak kristal feldspar dan kuarsa dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik. 4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf kasar merupakan produk piroklastika jatuhan ( fall deposit ). pengendapannya sangat dipengaruhi oleh arah angin dan gravitasi bumi.
VII.4.3.4. Breksi pumis A. Penamaan lapangan
Secara megaskopis warna breksi pumis mempunyai ciri-ciri berwarna segar putih keabu-abuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan, tekstur pada breksi pumis ini meliputi ukuran butir berupa lapilli-bolk/bomb (2-64 mm) dan bentuk butir menydut sampai menyudut tanggung pemilahan sortasi terlihat buruk dengan kemas terbuka, komposisi fragmen batuan didominasi olah pumis, sedangkan matrik tertanam pada masa dasar litik dan tuf, semin silika.
114
Gambar 7.21.Foto di atas menunjukan kenampakan fragmen pumis yang didominan, pada LP 35, cuaca cerah, (foto penulis, 2013)
B. Penamaan petrografi
Sayatan tipis batuan piroklastik , warna abu-abu kecoklatan- keputihan, tekstur klastik dengan ukuran butir 0,06-0,4 mm (very fine sand ), bentuk butir menyudut-membulat tanggung, komposisi terdiri dari plagioklas (32%), kuarsa (14%), hornblende (10%), mineral opak (4%), gelas volkanik (58%). Nama batuan : Crystal tuff
(Pettijohn, 1975) Lampiran I analisis perografi.
C. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik (tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda. Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.
115
1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat pemilahan. a. Bentuk butir menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber. b. Ukuran butir fragmen berukuran berupa bomb-blok (4-64 mm) yang tertanam pada masa dasar tuf halus (1/2-1/8 mm) menceritakan bahwa breksi pumis ini merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi silikaan. c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses pengendapan batuan tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik. Sehingga pada paket litofasies ini terjadi percampuran butiran dari ukuran yang besar sampai dengan ukuran kecil sebagai masa dasar.
d. Kemas terbuka dapat ditentukan karena ukuran butiran sudah diatas ukuran lapili ke atas dan seolah-olah fragmen mengambang pada masa dasar tuf dan lapilli. 2. Struktur pengendapan reverse grading (lihat di gambar 7.14) sehingga dapat diceritakan bahwa pada paket litofasies ini terjadi beberapa fase pengendapan di mana material yang berukran butir halus-sedang mengendap terlebih dahulu kumudian fase ke dua material ukuran butir yang lebih besar mengendap di atas material yang berukuran kecil sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan ke bawah.
116
3. Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis matrik lapilli pada masa dasar tuf halus sebagian nampak kristal feldspar dan kuarsa dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik. 4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada pelamparan secara vertikal. Kesimpulan dengan dijumpai breksi pumis termasuk kedalam produk dari endapan piroklastik jatuhan ( fall deposit ) dan piroklastika aliran ( flow deposit ).
VII.4.3.5. Mekanisme pengendapan
Parameter yang di gunakan untuk mengidentifikasi endapan akibat proses jatuhan adalah asosiasi batuan, geometri endapan, dan pemilahan serta perubahan berangsur dari pada masing-masing lapisan. Geometri pada LP ini dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada pelamparan secara vertical dan merupakan produk endapan piroklastika jatuhan ( fall deposit ) yang di hasilkan pada saat material dipancarakan secara lontaran (eksplosif ) tinggi ke arah atmosfir, kemudian akibat pengaruh gaya gravitasi tertentu tergantung kecepatan angin dan ukuran butir.Tekstur pada pada LP ini ukuran butir lapilli-tuf dapat di ceritakan bahwa pada proses pengendapan terjadi pemisahan butir dikarenakan butiran-butiran yang berukuran lebih besar dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari gravitasi bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil diatasnya sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas (normal grading) Pengendapannya menerus mengikuti bentang alam yang ditutupinya
117
dengan tebal relatif sama, namun secara umum menipis menjauhi sumber erupsi dan tegak lurus menjauhi sumbu sebaran , dicirikan mengikuti bentuk morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang luas yang artinya dapat dijumpai dari fasies sentral-fasies medial. Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis dan fragmen lithic pada masa dasar tuf dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa material ini hasil dari letusan explosive atau penghancuran tubuh gunung api. Pada pengamatan dan analisa profil pada LP 35 di Desa Sorodadi, dengan keterdapatan asosiasi dengan tuf lapilli dan breksi pumis, maka peneliti interpertasikan daerah ini terendapkan pada fasies gunung api proksimal-Medial (fasies gunung api menurut Bogie & Mackinzie, 1998, dalam Bronto 2006).
Gambar 7.22. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis perlapisan pada LP 35, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984)
BAB VIII KESIMPULAN
Dari hasil pengolahan dan interpretasi data lapangan dan data laboratorium yang dilandasi konsep geologi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa keadaan geologi daerah penelitian, yaitu Daerah Melikan dan sekitarnya, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Geomorfologi di daerah penelitian dibagi menjadi 6 (enam) subsatuan geomorfologi, yaitu : subsatuan geomorfologi dataran, alluvial (F2) subsatuan geomorfologi tubuh sungai, menempati (F1), subsatuan geomorfologi perbukitan breksi pumis dan breksi andesit bergelombang sedang-kuat, (D2), subsatuan geomorfologi perbukitan batugamping dan tuf bergelombang sedang kuat (D3), perbukitan tuf bergelombang lemah-sedang (D4), Stratigrafi daerah penelitian tersusun oleh batuan gunung api dan batuan sedimen terdiri dari 6 (enam) satuan batuan dan 1 (satu) satuan endapan, dengan urutan dari yang paling tua hingga paling muda adalah satuan breksi pumis, satuan tuft, satuan breksi polimik, satuan breksi andesit, satuan batugamping dan satuan endapan aluvial. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa sesar dan kekar. beberapa struktur geologi yang telah diidentifikasi berdasarkan data bidang sesar dan kekar – kekar di daerah sesar, dan adanya kenampakan offset . Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada daerah penelitian terdapat beberapa struktur geologi yakni Struktur Sesar Mendatar Bendung, namun pada daerah Sesar Mendatar Kali Lunyu ini tidak ditemukan adanya bidang sesar dikarenakan erosi 118
119
yang bekerja cukup kuat sehingga penulis menarik sesar diperkirakan. Sesar diperkirakan berjenis sesar mendatar kiri yang dilihat dari kelurusan sumbu lipatan dan pembelokan sungai yang tiba-tiba yang menunjukkan sesar mendatar kiri, pada daerah penelitian juga terdapat struktur antiklin yang dinamakan struktur antiklin Tapansari
Sesumber geologi yang ada di daerah penelitian berupa sumber daya air, sumber daya lahan berupa lahan pertanian dan lahan perkebunan, dan bahan galian golongan C berupa breksi pumis dan batugamping. Bencana geologi di daerah penelitian berupa gempabumi, gerakan tanah, yaitu tanah longsor.
Dari hasil analisis litofasies dan petrografi dapat di ketahui bahwa litologi yang berada di daerah penelitian merupakan batuan vulkanik fragmental (piroklastik).
Sedangkan
keberadaan
batugamping
di
daerah
penelitian,
memberikan kesimpulan bahwa gunung api daerah penelitian merupakan pulau gunung api, dimana fasies distalnya pada masa lampau beraada di bawa permukaan laut
DAFTAR PUSTAKA
Alzwar, M., Samodra H, dan Jonatan J. Tarigan, 1988, Pengantar Dasar Ilmu Gunung api, Bandung : Penerbit Nova. Asikin, S., 1987, Geologi Struktur Indonesia, Laboratorium Geologi Dinamik,. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Bandy, O.I., 1967, Foraminiferal Indices in Paleontology, Texas W. H. Freemanand Company. Bakosurtanal, 2001, Peta Rupa Bumi Lembar Talun (1508-111), kecamatan Nguntoronadi,Wonogiri. Bemmelen, R.W. Van, 1949, The Geology of Indonesia, Vol. I.A, General Geology, Martinos Nijhoff, The Haque, Holand. Blow, 1969, Late Middle Eocene to Recent Planctonic Foraminifera Biostratigraphy – Internal Cont . Planctonic – Microfossil , First Edition, Proc. Leiden E.J. Brill, Geneva. Bogie, I., dan Mackenzie, K.M., 1998. The application of volcanic facies models to an andesitic stratovolcano hosted geothermal system at Wayang Windu, Java, Indonesia. Proceedings, 20th New Zealand Geothermal Workshop. Bronto.S, 2006, Fasies Gunung Api dan Aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, Pusat Survey Geologi, Bandung, Indonesia. Bronto.S., Mulyaningsih.S, 2009, Waduk Parangjoho dan Songoputri; Sumber erupsi Formasi Semilir daerah Eromoko - Wonogiri, Jawa Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol.4.No.2 juni.,79-92 Cas, R.A.F & Wright, J.V, (1987), Volcanic Successions “Modern & Ancient”a geo l og ical approach to processes, product and successions, Allen & Unwinn, London. Fisher, R.V., and Schmincke, H.U. (1984), Pyroclastic Rocks, SpringerVerlag, Berlin, Heidelberg, New York, Tokyo. Hamilton, W.H., 1979. Tectonics of Indonesia Region. Washington : U.S.Geology Survey. Hartono.G., Bronto.S, 2007, Asal–usul pembentukan Gunung Batur di daerah Wediombo, Gunungkidul, Yogyakarta, Jurnal IAGI, Vol.2.3 september., 143 – 158. Yogyakarta.
Hartono, G., 2000. Studi Gunung api Tersier: Sebaran Pusat erupsi dan Petrologi di Pegunungan Selatan Yogyakarta. Tesis S2, ITB, 168 h, tidak diterbitkan Hirokawa, O., 1980, Introduction of Volcanoes and Volcanic, Mineral Tecnology Development Centre, Bandung, Indonesia. Howard, A.D., 1967, Drainage Analysis in Geologic Interpretation, AAPG Bulletin, vol. 51, pp 2246 - 2259. Huges, C.J, 1982, Igneous Petrology, Elscvier Scientific Publishing Company Molenverf 1, P.O. Box. 211, 1.000 Ae Amsterdam The Netherlands, 551 p. Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Le Bas, M.J., Le Maitre, R.W., Streckeisen, A., dan Zanettin, B., 1986, A Chemical Classification of Volcanic Rocks Based on the Total Alkali–Silica Diagram, Journal of Petrology, 27, pp.745-750. Lobeck, A.K., 1939, Geomorphology, An Introduction to the Study of Landscape, Mc. Graw Hill Book Company Inc., New York . MacDonald, G.A,. 1972, Volcanoes, Prentice – Hall, Inc., Englewoodliffs, New Jersey,510 h Marks, P., 1957 , Stratigrapy Lexicon of Indonesia, Kementerian Perekonomian Pusat Djawatan Geologi Bandung, Publikasi Keilmuan, No. 31 - A, seri Geologi, Hal. 233. Martidjo. S., Djuhaeni, 1973, Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. Mulyaningsih, 2008. Pengantar Geologi Lingkungan. Yogyakarta : Ardana Media. Mulyaningsih.S, Sampurno, Zaim.Y, Puradimaja.D.J, Bronto.S, Siregar.D.A, 2006, Perkembangan Geologi pada Kuarter Awal sampai Masa Sejarah di Dataran Yogyakarta, Jurnal IAGI,vol.1. 2 juni, 103-113. Pettijohn, F. J., 1975. Sedimentary Rock , 3rd edition, Harper & Row Publisher, New York. Postuma, J.A., 1971, Manual of Planktonic Foraminifera, Royal Dutch/Shell Group, The Hague, The Netherlands.
Prasetyadi.C., Sutarto., dan Pratiknyo.P., 2010, “ Geologi Daerah Subduksi Zaman Kapur Tepi Tenggara Paparan Sunda”, Panduan Ekskursi Besar Geologi 2010, UPN”V”YK, Yogyakarta. Schmid, R. 1981. Descriptive nomenclature and classification of pyroclastic deposit and fragments: recommendation of the IUGS subcommission on the systematic of Igneous Rock. Geology 9,41-3. Soeria Atmadja, R., Maory, R.C., Bellon, H., Harsono, P. Pribadi, B., Polve, M., 1990, The Tertiary Magmafic Belt In Java, Proceedings Symposium on The Dynamic of Subduction and Its Products, page 98 – 121, LIPI Bandung, Indonesia. Surono, 2008, Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan , Jurnal IAGI, vol.3, 4 desember, 183-193. Surono, B. Toha dan I. Sudarno, 1992, Peta geologi lembar Surakarta – Giritontro, Jawa, skala 1:100.000, Puslitbang Geologi, Bandung. Thornbury, W.D., 1969, Principle of Geomorphology, 2nd ed., New York : John Willey & Sons Inc. Tucker, M. E., 1981. Sedimentary Petrology An Introduction, Blackwell Scientific Publications Oxford Univ., London. Walker,G.P.L.,1993.Basaltic-Volcano System, Magmatic Proceses and Plate Tectonic. Dalam: Prichard, H.M., Alabaster, T., Harris, N.B.W. dan Neary, C.R. (Eds), Geol. Society Sp ecial Publication, 76, h. 3-38. Williams, H., Turner, F.J., Gilbert., 1982, Petrography An Introduction to The Study of Rock in Thin Section, W.H., Freemen and Company San Fransisco. Williams, H. dan McBirney, A.R., 1979. Volcanology. Freeman, Cooper & Co., San Francisco, 398 h. Wright, J.V. dan Walker, G.P.L., 1977. The ignimbrite source problem: significance of a co-ignimbrite lag-fall deposit. Geology, 5, h.729-732. Zuidam, R.W., Van, 1983, Guide to Geomorphologic Aeral Photographic Interpretation and Mapping , Section of Geology and Geomorphology, ITC, Enschede, The Netherlands.
Lampiran I: Anslisi Petrografi
Nomor sayatan/lokasi Perbesaran foto Litologi/ Satuan batuan
: 2/ LP 35 : 40 X : Piroklastik/ Breksi Pumis
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan tipis batuan piroklastik, berwarna abu-abu, tekstur klastik dengan butiran berukuran 0,05–5,25 mm, terdiri dari lithic, kuarsa, feldspar, gelas dan mineral opak, bentuk menyudut tanggung, memiliki lubang gas akibat pendinginan yang cepat, Kristal tertanam dalam masa dasar piroklas. KOMPOSISI MINERAL:
1. Gelas
(15%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung. 2. Lithic (30%), abu-abu, kecoklatan, didominasi oleh pecahan batuan piroklastik (pumice) sedikit s edikit batuan beku, dengan ukuran butir 0,3-5,25 mm, bentuk menyudut tanggung. 3. Kwarsa (5%), tidak berwarna-kuning orde I, relief relief rel ief rendah, berukuran 0,06–0,1mm, pemadaman bergelombang. 4. opak (3%), hitam, kedap cahaya, relief sangat sangat tinggi, berukuran 0,05–0,1 mm, bentuk menyudut tanggung, hadir setempat– setempat dalam sayatan. 5. Feldspar (6%), putih, relief rendah, berukuran 0,1–0,25mm, bentuk menyudut tanggung, berupa ortoklas. 6. Tuf (41%), tidak berwarna–keputih-putihan, relief rendah, pada pengamatan dengan nikol silang menjadi terang dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi ungu muda berkabut. Nama petrografis: Lithic Tuff (Klasifikasi Schmid, 1981)
Lampiran I : Analisis Petrografi
Nama Petrografis: Cristal Tuff (Klasifikasi Schmid, 1981) Nomor sayatan/lokasi : 6/ LP 62 Perbesaran foto : 40 X Litologi/ Satuan batuan : Piroklastik/ Tuf
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan tipis batuan piroklastik, berwarna abu-abu keputihan, tekstur klastik terdiri dari tuf dengan masa dasar gelas dan tuf. Mineral lain berupa kuarsa yang menyatu dengan masa dasar tuf gelas. KOMPOSISI MINERAL:
1. Gelas
(45%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung.
2. Kuarsa (5%): Warna putih bening-tak berwarna, relief rendah, indeks bias nM < nKb, plekroisme lemah, bentuk kristal anhedral, u kuran butir 0,04-0,15 mm. Bentuk butir menyudut tanggung sampai membulat tanggung. Hadir sebagai mikrolit Kristal dan urat. 7. Tuf (50%), tidak berwarna–keputih-putihan, relief rendah, pada pengamatan dengan nikol silang menjadi terang dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi ungu muda berkabut.
Nama Petrografis: Vitrik Tuff (Klasifikasi Schmid, 1981)
Lampiran I : Analisis Petrografi
Nomor sayatan/ Lokasi : 7/ LP 44 Perbesaran foto : 10X Litologi/ Satuan breksi polimik: Fragmen Andesit
2
Deskripsi : Sayatan tipis batuan beku warna abu-abu kecokelat-cokelatan, tekstur porfiro afanitik, ukuran pada fenokris 0,1–1 mm, bentuk subhedral, terdiri dari mineral plagioklas, hornblende, piroksin, dan opak, mimeral-mineral tertanam dalam massa dasar berupa mineral plagioklas, opak, dan gelas. Komposisi mineral : 1. Plagioklas (50%): Warna putih bening, relief rendah sampai sedang, indeks bias nM < nKb sampai nM > nKb, kembaran karlsbad-albit, plekroisme kuat-sedang bentuk kristal euhedral-anhedral, ukuran fenokris 0,2-1 mm, pada massa dasar berukuran 0,05–0,1 mm. 2. Hornblende (15%): Warna kuning kecokelat-cokelatan , relief sedangtinggi, indeks bias nM > nKb, pleokroisme sedang, belahan 2 arah membentuk sudut lancip 60°, bentuk kristal euhedral-subhedral, ukuran mineral 0,15-1,5 mm. 3. Piroksin (5%): Warna abu-abu kekuning-kuningan, relief sedang, indeks bias nM > nKb, pleokroisme sedang, belahan 2 arah membentuk sudut lancip 60°, bentuk kristal subhedral, ukuran mineral 0,15-0,3 mm. 4. Opak (10%): Warna hitam, tidak tembus cahaya, relief tinggi, bentuk kristal anhedral, ukuran mineral 0,03-0,3 0,03-0,3 mm, mineral opak opak diduga merupakan ubahan dari hornblende. 5. Gelas dan mineral lain yang tidak teridentifikasi (20%): Warna abu abu, relief rendah, pada pengamatan dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi gelap - abu-abu. Nama mikroskopis : Andesit hornblende hornblende (Williams et. al., 1954)
Lampiran I : Analisis Petrografi
Deskripsi Mikroskopis : Warna abu-abu keruh, tekstur klastik, didukung oleh lumpur (mud supported) berukuran pasir sangat halus (< 0.01 -0,2)mm, pemilihan sedang, komposisi karbonat, terdiri dari kalsit ,fosil feldspar , mineral opak dan, lumpur karbonat Deskripsi mineral : Kalsit (34%) : Tidak berwarna – jernih, berukuran (0,08- 0,2) mm, warna interferensi kuning orde IV
Fosil
(38%) : Tidak berwarna, dijumpai sebagai butiran berukuran (0,08-0,2) mm, berupa fosil kecil, coral dan algae bentuk menyerupai lensa dan memanjang, sebagian telah mengalami rekristalisasi , warna interferensi kuning orde IV.
Feldspar (2%) : Tidak berwarna- putih abu-abu, hadir sebagai fragmen berukuran (0,07–0,08) mm, bentuk membulat tanggung, relief rendah, warna interferensi putih abu-abu orde I. Min. opak (2%), hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,08-0,1mm, Lumpur karbonat (24%) : Warna abu-abu kotor, warna interferensi kuning orde IV, sebagian telah mengalami rekristalisasi
Nama batuan
: Packstone
(Dunham, 1962)