BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Munculnya berbagai perkembangan ilmu pengetahuan bidang kimia tak hanya hanya berdam berdampak pak baik baik bagi bagi kehidu kehidupan pan manusi manusia. a. Perkem Perkemban bangan gan ilmu ilmu ini juga juga berdampak negatif, salah satunya munculnya agen-agen toksin yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang merugikan.. Toksik Toksikolo ologi gi adalah adalah pemaha pemahaman man mengen mengenai ai pengar pengaruhuh-pen pengar garuh uh bahan bahan kimia kimia yang yang merugi merugikan kan bagi bagi organi organisme sme hidup. hidup. Pengar Pengaruh uh yang yang merugi merugikan kan ini timbul timbul sebaga sebagaii akibat akibat terjadi terjadinya nya inter inter aksi aksi dianta diantaraag raagent ent-age -agent nt toksis toksis (yang (yang memilik memilikii kemamp kemampuan uan untuk untuk menimb menimbulk ulkan an kerusa kerusakan kan pada pada organi organisme sme hidup) hidup) dengan sistem biologi dari organisme. Pada beberapa racun, yang bereaksi itu bukan agentnya sendiri, tetapi hasil metabolismenya. Proses pengerusakan ini baru terjadi apabila pada target organ telah menumpuk satu jumlah yang cukup dari agent toksik ataupun metabolitnya, begitupun hal ini bukan berarti bahwa penumpukan yang tertinggi dari agent toksis itu berada di target organ, tetapi bisa juga ditempat yang lain. Selanj Selanjutn utnya, ya, untuk untuk kebany kebanyaka akan n racun-r racun-racu acun, n, konsent konsentrasi rasi yang yang tinggi tinggi dalam badan. Maka, menimbulkan menimbulkan kerusakan yang lebih banyak. Konsentrasi Konsentrasi racun dalam badan ini merupakan fungsi dari jumlah racun yang dipaparkan, yang berkaitan dengan kecepatan absorpsinya dan jumlah yang diserap, juga berhubungan dengan distribusi, metabolisme maupun ekskresi agent toksis tersebut. Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai disipl disiplin in ilmu yang sudah ada seperti seperti ilmu ilmu
kimia, kimia, Farmakol Farmakologi ogi,, Biokim Biokimia, ia,
Forens Forensik, ik, Medicin Medicinee dan lain-l lain-lain ain.. Ada beberap beberapaa toksik toksik yang yang dapat dapat ditang ditangani ani dengan mudah atau bahkan tidak dapat ditangani akibat tingkat keparahan yang berbeda. Oleh karena itu, penulis mencoba mengangkat beberapa bentuk toksisitas beserta penangannya.
1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa sajakah bentuk toksisitas? 2. Bagaimana penanganan dari toksisitas tersebut? C. TUJUAN PENULISAN
Makalah ini disusun dengan tujuan mengetahui bentuk toksisitas beserta penanganannya.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. TETRODOTOKSIN (FUGU POISONING)
Keracunan jenis ini hanya terjadi pada ikan yang termasuk dalam orde Tertraodontiformes,seperti puffer-like fish(fugu): globe fish, ballon fish (buntal), blow fish dan toad fish .Keracunan biasanya terjadi setelah menyantap ikan yang ditangkap dan tidak dikelola oleh ahlinya (uncertified handlers). Bahkan keracunan tetrodoktosin masih sering terjadi di Jepang (terutama oleh ikan fugu), meskipun pengolahan ikan tersebut sudah dilakukan oleh orang yang ahli. Racun ini terkumpul di kulit dan organ dalam ikan. Patogenesis
Tetrodotoksin
adalah
molekul
organic
berukuran
kecil,
bersifat
heterosiklik yang bekerja pada kanal natrium yang aktif di jaringan saraf. Racun ini memblok difusi natrium melalui kanal natrium sehingga depolarisasi dan propagasi potensial aksi sel-sel saraf dihambat. Dengan kata lain, tetrodotoksin merupakan neurotoksin. Tetrodotoksin bekerja langsung pada system saraf pusat dan perifer (saraf otonom, motorik dan sensorik). racun ini juga mampu merangsang chemoreceptor trigger zone di medulla oblongata dan menekan pusat pernafasan dan vasomotor pada area tersebut. Tetrodotoksin bersifat tahan panas (kecuali dalam suasana basa), larut dalam air, bukan termasuk protein, menyerupai quinazoline
dan ditemukan
terutama pada bagian tubuh ikan, seperti kulit, hati, ovarium, usus dan (mungkin juga)otot. Karena kandungan toksin di dalam ovarium sangat tinggi, ikan betina akan sangat beracun bila di makan pada musim bertelur. Tetrodotoksin diyakini disintesis oleh bakteri atau dinoflagellata yang berkaitan dengan ikan puffer. Kadar toksisitasnya bervariasi menurut musim. Di Jepang, ikan golongan ini (kebanyakan fugu) terbukti bebas- racun. Oleh sebab itu, ikan ini banyak disantap oleh penduduk setempat hanya pada bulan Oktober hingga Maret.
3
Dosis toksik racun ini belum diketahui pasti karena kadar tetrodotoksin pada tubuh ikan tidak sama. Meskipun begitu, dengan takaran 1-2mg toksin murni dapat berakibat fatal. Gejala Klinis
Gejala keracunan pertama kali muncul pada waktu 15 menit hingga beberapa jam (bahkan mencapai 20jam) setelah menyantap makanan yang mengandung tetrodotoksin. Gejala awal meliputi parestesi bibir dan lidah, yang berlanjut ke muka dan ekstremitas (yang selanjutnya disertai oleh rasa baal). Seterusnya terjadi pula salvias, mual, muntah dan diare yang disertai sakit perut. Kelainan yang ditimbulkan oleh racun ini pada umumnya menyerang system kardiovaskular dan neurologis. Gangguan fungsi motorik berupa rasa lemah, hipoventilasi (kemungkinan timbul sebagai dampak gangguan fungsi system saraf pusat dan perifer) dan kemudian terjadi kesulitan berbicara. Ascending paralysis berlangsung cepat selama 4-24 jam. Paralisis ekstremitas mendahului paralisis bulbar, yang kemudian diikuti oleh paralisis otot pernafasan meskipun reflex tendon masih positif ketika paralisis terjadi. Akhirnya fungsi jantung terganggu disertai oleh hipotensi, distrima (bradikardia), gangguan fungsi system saraf pusat (koma) dan kejang. Penderita yang mengalami keracunan berat dapat jatuh dalam keadaan koma yang dalam, apnea, pupil terfiksasi dengan reflex negative, serta hilangnya seluruh reflex batang otak. Kematian umumnya terjadi dalam 4-6 jam, biasanya berpangkal pada paralisis otot pernafasan dan gagal napas. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan tanda lenyapnya fungsi neuron sensorik dan motorik (tanda utama), asending paralysis dengan depresi pernapasan dan sianosis dengang gagal napas. Hipotensi dapat pula disertai disfungsi miokardium. Tanda yang mengancam jiwa adalah gangguan irama jantung, terutama bradikardia, blok nodus atrioventrikular dan bludlebranch block. sementara itu, berpengaruh terhadap saluran cerna tidak begitu menonjol, meskipun muntah dan nyeri perut dapat timbul. Penanganan
Sebelum tiba di rumah sakit, penderita membutuhkan endotracheal intubation
sebagai upaya untuk mengantisipasi kemungkinan paralisis otot
4
pernapasan. Kemungkinan gangguan fungsi jantung dicegah dengan pemberian cairan IV dan obat antiaritmia. Di rumah sakit (sewaktu di UGD), amankan saluran napas sebelum gagal napas atau aspirasi terjadi. Cairan IV segera diberikan ketika terjadi aritmia akut, atau vasopresor jika diperlukan. Tindakan selanjutnya adalah membuang toksin yang mungkin masih berada dalam saluran cerna. Secara teoritis, bilas lambung dapat dilakukan melalui jalur nasogastrik atau orogastrik, tetapi penggunaan cara ini mungkin menimbulkan komplikasi aspirasi sekaligus merusak esophagus. Oleh sebab itu, pemberian arang aktif dengan atau tanpa katartik dianjurkan untuk semua penderita. Bilas lambung tidak diperkenankan jika terjadi muntah. Tanda vital dan oksigenasi harus diperhatikan selama perawatan karena penderita dapat mengalami dekompensasi mendadak. Perubahan setiap tanda vital wajib ditangani secara intensif. Pengobatan selanjutnya adalah menopang fungsi jantung hingga seluruh toksin terbuang dari dalam tubuh. Belum ada antidotum spesifik yang dapat diaplikasikan bagi manusia. Pada hewan, antibody monoclonal telah diujicobakan terhadap tetrodotoksin, yang berkhasiat menyelamatkan jiwa pada tikus. Selain itu, diujicobakan pula 4aminopyridine (sejenis penyekat kanal kalium) terhadap kelinci yang teracuni oleh tetrodotoksin, yang menghasilkan perbaikan dramatis terhadap status pernapasan, jantung dan system saraf. Sayang sekali, belum ada laporan pengujian (ekstrapolasi) obat ini terhadap manusia. Perlu diingatkan bahwa seluruh penderita keracunan tetrodotoksin harus dirawat di ruang ICU. Gejala klinis dapat munculdalam waktu 6 jam, tetapi kerap timbul hingga 12-20 jam. Prognosis
Meskipun telah ditangani dengan baik, taksiran angka kematian akibat keracunan tetrodoksin masih mencapai 50-60%. Prognosis mungkin baik bila penderita dapat bertahan pada 24 jam pertama.
B. KERACUNAN JAMUR
Kasus keracunan yang disebabkan oleh ingesti jamur beracun telah lama dikenali. Jamur beracun yang tercatat dalam sejarah tertua adalah Amanita
5
Muscaria. Sekuntum Amanita dapat menyebabkan keracunan parah, sedangkan jika termakan 3 kuntum, lebih kurang 40g, hampir dapat dipastikan menyebabkan kematian. Secara morfologis, jamur yang beracun sulit dibedakan dengan jamur yang boleh dimakan. Ahli jamur sekalipun, akan sulit membedakannya. Berdasarkan masa laten (waktu antara setelah memakan dan timbulnya gejala klinis), jamurberacun dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu (1)golongan delayed onset dan (2)golongan rapid onset. Jamur yang mematikan adalah jenis yang termasuk dalam golongan delayed onset , yaitu Amanita phallodies, Amanita verna dan Galerina spp. gejala klinis akan tampak sekita 6 jam setelah menyantap jamur. Racun tersebut bersifat sitotoksik dan sangat toksik terhadap hati dan ginjal serta stabil pada pemanasan. Kelompok rapid onset (gejala klinis akan muncul kurang dari dua jam setelah memakan jamur tersebut)mencakup jamur yang mengandung zat halusinogen, yang menghasilkan zat psikotropik dan LSD-like effect . Contoh jamur yang termasuk dalam golongan ini adalah Amanita Muscaria dan Amanita pantherina. Penanganan
Penanganan yang khas sesungguhnya belum ditemukan. Penanganan yang di anjurkan sampai saat ini hanya bersifat suportif, yaitu dengan melakukan halhal berikut. •
Pembilasan lambung dan pemberian arang aktif Hal ini dilakukan untuk melenyapkan toksin yang belum tertserap. Arang aktif memiliki affinitas yang kuat terhadap toksi jamur.
•
Pemasangan pipa duodenum Dilakukan sebagai media untuk melakukan aspirasi. Aspirasi harus dilakukan setiap jam hingga 36 jam untuk membuang toksin dari dalam duodenum. Karena adanya sirkulasi enterohepatik, penghisapan cairan duodenum dapat pula berarti mencegah reabsorbsi racun, yang akan mencegah kerusakan sel-sel hati.
•
Dialisis Racun amanita mudah didialisis dan berafinitas tinggi terhadap arang aktif. Bila didialisis dilakukan dalam 24 jam sejak timbulnya gejala keracunan, 6
kematian kemungkinan besar dapat dicegah. Diuresis paksa tidak boleh dilakukan karena dapat memperburuk kerusakan sel-sel ginjal. •
Terapi medikamentosa Terapi medikamentosa dapat dilakukan dengan cara-cara berikut. 1. Pemberian penisilin dosis tinggi 2. Pemberian sitokrom C. Sayangnya, manfaat tindakan ini belum dapat dibuktikan; 3. Pemberian thiotic acid. Secara teoritis, thiotic acid bekerja dengan menjaga sel-sel hati dari metabolit polipeptida amatoksin dan faloidin. Dosis yang dianjurkan sebesar 200-300 mg, diberikan secara intravena setiap 6 jam.
•
Gejala klinis kelompok rapid onset Gejala klinis akan terlihat sekitar 1 jam setelah menyantap jamur (gejala efek muskarinik), yaitu berupa salvias, keringat dan lakrimasi dalam jumlah besar, sekresi bronkus yang bertambah, miosis, bradikardi, sakit perut, nausea, muntah dan diare. Penanganan: berikan antidotum yang khas yaitu atropine.
•
Klasifikasi obat pereda gejala Obat pereda gejala yang digunakan dalam upaya pemulihan keracunan jamur dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Decontaminasi saluran cerna Decontaminasi saluran cerna bekerja dengan mengikat racun yang masih berada di dalam saluran cerna sehingga kemungkinan racun terserap secara sistemik dapat diminimalkan 2. Antimetik Antimetik digunakan untuk mengendalikan rasa mual dan muntah. Metoklopramid
adalah
zat prokionetik
motilitas saluran cerna
yang
meningkatkan
dan dapat mempercepat pengosongan
lambung. Dosis obat tersebut dibatasi untuk orang dewasa yaitu tidak lebih dari 1 mg/kgBB (10mg) yang diberikan secara intarvena setiap 2-3 jam. Dosis anak (usia 6-14 tahun) ditakar sebanyak 2,5 mg dan juga diberikan secara intavena setiap 2-3 jam. 7
3. Antagonis reseptor H2 Antagonis reseptor H2 digunakan sebagai penyekat (blocker ) kompetitif yang irreversible pada reseptor H2 (terutama di sel-sel parietal tempat penghambatan sekresi asam lambung)
C. KERACUNAN TIMBAL
Manusia
senantiasa
dapat
terpapar
logam
berat
di
lingkungan
kehidupannya sehari-hari. Dilingkungan yang kadar logam beratnya cukup tinggi, kontaminasi dalam makanan, air dan udara dapat menyebabkan keracunan. Timbal (plumbum /Pb ) atau timah hitam adalah satu unsur logam berat yang lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya. Kadarnya dalam lingkungan
meningkat
karena
penambangan,
peleburan
dan
berbagai
penggunaannya dalam industri. Timbal berupa serbuk berwarna abu-abu gelap digunakan antara lain sebagai bahan produksi baterai dan amunisi, komponen pembuatan cat, pabrik tetraethyl lead, pelindung radiasi, lapisan pipa, pembungkus kabel, gelas keramik, barang-barang elektronik, tube atau container, juga dalam proses mematri. Keracunan dapat berasal dari timbal dalam mainan, debu ditempat latihan menembak, pipa ledeng, pigmen pada cat, abu dan asap dari pembakaran kayu yang dicat, limbah tukang emas, industri rumah, baterai dan percetakan. Makanan dan minuman yang bersifat asam seperti air tomat, air buah apel dan asinan dapat melarutkan timbal yang terdapat pada lapisan mangkuk dan panci. Sehingga makanan atau minuman yang terkontaminasi ini dapat menimbulkan keracunan. Bagi kebanyakan orang, sumber utama asupan Pb adalah makanan yang biasanya menyumbang 100 – 300 ug per hari Timbal dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan, pemaparan maupun saluran pencernaan. Lebih kurang 90 % partikel timbal dalam asap atau debu halus di udara dihisap melalui saluran pernafasan. Penyerapan di usus mencapai 5 – 15 % pada orang dewasa. Pada anak- anak lebih tinggi yaitu 40 % dan akan menjadi lebih tinggi lagi apabila si anak kekurangan kalsium, zat besi dan zinc dalam tubuhnya. Laporan yang dikeluarkan Poison Center Amerika Serikat menyatakan anak-anak merupakan korban utama ketoksikan timbal; dengan 49 % dari kasus yang dilaporkan terjadi
8
pada anak-anak berusia kurang dari 6 tahun. Yang lebih menghawatirkan adalah efeknya terhadap kecerdasan (IQ) anak – anak, sehingga menurunkan prestasi belajar mereka, walaupun kadar timbal di dalam darah mereka tidak dianggap toksik. Timbal (Plumbum) beracun baik dalam bentuk logam maupun garamnya. Garamnya yang beracun adalah : timbal karbonat ( timbal putih ); timbale tetraoksida ( timbal merah ); timbal monoksida; timbal sulfida; timbale asetat ( merupakan penyebab keracunan yang paling sering terjadi ). Ada beberapa bentuk keracunan timbal, yaitu keracunan akut, subakut dan kronis. Nilai ambang toksisitas timbal ( total limit values atau TLV ) adalah 0,2 miligram/m3 . •
Keracunan akut Keracunan timbal akut jarang terjadi. Keracunan timbal akut secara tidak
sengaja yang pernah terjadi adalah karena timbal asetat. Gejala keracunan akut mulai timbul 30 menit setelah meminum racun. Berat ringannya gejala yang timbul tergantung pada dosisnya. Keracunan biasanya terjadi karena masuknya senyawa timbal yang larut dalam asam atau inhalasi uap timbal. Efek adstringen menimbulkan rasa haus dan rasa logam disertai rasa terbakar pada mulut. Gejala lain yang sering muncul ialah mual, muntah dengan muntahan yang berwarna putih seperti susu karena Pb Chlorida dan rasa sakit perut yang hebat. Lidah berlapis dan nafas mengeluarkan bau yang menyengat. Pada gusi terdapat garis biru yang merupakan hasil dekomposisi protein karena bereaksi dengan gas Hidrogn Sulfida. Tinja penderita berwarna hitam karena mengandung Pb Sulfida, dapat disertai diare atau konstipasi. Sistem syaraf pusat juga dipengaruhi, dapat ditemukan gejala ringan berupa kebas dan vertigo. Gejala yang berat mencakup paralisis beberapa kelompok otot sehingga menyebabkan pergelangan tangan terkulai ( wrist drop ) dan pergelangan kaki terkulai (foot drop). •
Keracunan subakut Keracunan sub akut terjadi bila seseorang berulang kali terpapar racun
dalam dosis kecil, misalnya timbal asetat yang menyebabkan gejala-gejala pada sistem syaraf yang lebih menonjol, seperti rasa kebas, kaku otot, vertigo dan paralisis flaksid pada tungkai. Keadaan ini kemudian akan diikuti dengan kejang9
kejang dan koma. Gejala umum meliputi penampilan yang gelisah, lemas dan depresi. Penderita sering mengalami gangguan system pencernaan, pengeluaran urin sangat sedikit, berwarna merah. Dosis fatal : 20 - 30 gram. Periode fatal : 1-3 hari. •
Keracunan kronis
Keracunan timbal dalam bentuk kronis lebih sering terjadi dibandingkan keracunan akut. Keracunan timbal kronis lebih sering dialami para pekerja yang terpapar timbal dalam bentuk garam pada berbagai industri, karena itu keracunan ini dianggap sebagai penyakit industri. seperti penyusun huruf pada percetakan, pengatur komposisi media cetak, pembuat huruf mesin cetak, pabrik cat yang menggunakan timbal, petugas pemasang pipa gas. Bahaya dan resiko pekerjaan itu ditandai dengan TLV 0,15 mikrogram/m3, atau 0,007 mikrogram/m3 bila sebagai aerosol. Keracunan kronis juga dapatbterjadi pada orang yang minum air yang dialirkan melalui pipa timbal, juga pada orang yang mempunyai kebiasaan menyimpan Ghee (sejenis makanan di India) dalam bungkusan timbal. Keracunan kronis dapat mempengaruhi system syaraf dan ginjal, sehingga menyebabkan
anemia
dan
kolik,
mempengaruhi
fertilitas,
menghambat
pertumbuhan janin atau memberikan efek kumulatif yang dapat muncul kemudian.
Gejala gejala
Secara umum gejala keracunan timbal terlihat pada sistem pencernaan berupa muntah – muntah, nyeri kolik abdomen, rasa logam dan garis biru pada gusi, konstipasi kronis. Pada sistem syaraf pusat berupa kelumpuhan ( wrist drop, foot drop, biasanya terdapat pada pria dewasa). Sistem sensoris hanya sedikit mengalami gangguan, sedangkan ensefalopati sering ditemukan pada anak-anak. Gejala keracunan ini pada sistem jantung dan peredaran darah berupa anemia,
basofilia pungtata,
retikulosis,
berkurangnya trombosit dan
sel
polimorfonuklear, hipertensi dan nefritis, artralgia ( rasa nyeri pada sendi ). Gejala pada bagian kandungan dan kebidanan berupa gangguan menstruasi, bahkan dapat terjadi abortus. 10
Diagnosis
dapat
dilakukan
melalui
pemeriksaan
urine
(jumlah
koproporfirin III meningkat ). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling dianjurkan sebagai screening test pada keracunan timbal. Kadar timbal dalam urin juga bisa membantu menegakkan diagnosis, ketika kadarnya diatas 0,2 mikrogram /liter, dianggap sudah cukup bermakna untuk diagnosis keracunan timbal. Pemeriksaan sinar-x pada anak-anak untuk melihat garis yang radio-opak pada metafisis tulang-tulang panjang bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis keracunan timbal.
Pertolongan pertama
Jika menemukan gejala-gejala keracunan timbal, masyarakat dapat memberi pertolongan pertama untuk sedapat mungkin menekan risiko dan dampaknya pada penderita. Untuk keracunan akut melalui saluran pencernaan misalnya, pasien sebaiknya segera dipindahkan agar tidak terpapar lagi dengan timbal. Bilas mulutnya dan berikan rangsangan untuk muntah ( untuk penderita yang sadar). Rujuklah segera ke bagian perawatan medis. Kasus-kasus keracunan kronis dapat ditekan dengan berbagai cara dengan merujuk factor-faktor yang memungkinkan terjadinya keracunan tersebut. Misalnya, mengurangi kadar timbal dalam bensin untuk mengurangi pemaparan timbal melalui pernafasan. Dengan demikian dapat diharapkan terjadi penurunan kadar timbal dalam darah manusia. Keracunan yang biasa terjadi karena tumpahan timbal di lingkungan industri – industri besar dapat dihindari dengan membersihkan tumpahan dengan hati-hati ( untuk tumpahan sedikit), atau dilakukan secara landfills (untuk tumpahan yang banyak ).
D. KERACUNAN ALKOHOL
Kesadaran 4 derajat •
Tingkat satu penderita ngantuk tapi mudah di ajak bicara.
•
Tingkat dua penderita dalam keadaan sopor,dapat di bangunkan dengan rangsangan minimal 11
•
Tingkat tiga penderita dalam keadaan soporokoma hanya dapat bereaksi rangsangan maksimum
•
Tingkat empat penderita dalam keadaan koma .
Contoh : Menurut mula waktu terjadinya: Gejala dan diagnosis keracunan yaitu a)kronik: di tegakkan
karna gangguan
timbul perlahan
dan lama sesudah
perjalanan. b) Akut:Timbul mendadak setelah pajanan dan sering mengenai pada banyak orang Menurut organ yang terkena: Racun ssp,racun ja ntung,ginjal dan lain- lain. Menurut jenis bahan kimia golongan alcohol,fenol,organokrin,dan lain lain. Cara mengatasi keracunan pada zat alcohol(etil) disertai dengan tanda dan gejala yaitu: muntah,delirium, dan depresi ssp.
Penanganan
Simtomatik beri kopi tubruk,Emetik dan mustard satu sendok makan dalam air atau garam dapur. Penanganan dan penyembuhan dengan dialysis peritoneal di percepat bila pada dialisat di tambahkan alkali
dan di berikan etil alcohol diuresis paksa
dengan simtomatik dengan memperbaiki
asidosis
pernapasn diawasi
dan
berikan etil alcohol untuk menghambat oksidasi methanol , dan berikan asam nikotin 4 (empat) untuk dilatasi arteri retina. Tindakan lain yang bisa di lakukan adalah dengan cara transfusi darah pada pasien yang mengalami
kerusakan elemen darah dan akibat keracunan.
Dialisis peritoneal bila kadar obat dalam darah besar,dialysis akan berguna begitupun sebaliknya seperti alcohol dan sebagainya. Dan selain itu tindakan memberi
cairan parenteral dalam jumlah besar (0,5-1,5 it per jam). Untuk
mempercepat eskresi obat melalui ginjal dengan sarat keracunan cukup berat,obat tidak di ekresikan melalui jalan lain seperti melalui usus dan paru ,dan tidak di ikat protein dan lemak.
12
E. TOKSISITAS MERKURI
Toksisitas senyawa merkuri tergantung dari bentuknya. Senyawa merkuri organik lebih toksik dibanding senyawa anorganiknya, karena mudahnya menembus sawar darah otak dan diabsorbsi sempurna pada saluran cerna. Berlin (1983) mencatat bahwa tidak ada perbedaan antara efek akut maupun kronik ketika terjadi akumulasi pada ambang toksik. Menurut WHO (1976), awal dari efek toksik metilmerkuri terjadi ketika kadar dalam darah antara 200 – 500 ng/mL. Kadar dalam darah ini berkaitan dengan beban tubuh menanggung 30-50 mg merkuri per kg berat badan yang setara dengan asupan harian 3-7 mg/kg. Hal yang perlu dicatat bahwa kemunculan gejala keracunan merkuri dapat tertunda beberapa minggu atau bulan tergantung dari akumulasi senyawa merkuri dalam tubuh. Menurut Berlin (1983), tingkat keparahan paparan akan menentukan cetusan efek toksisitas subkronik dan toksisitas itu terjadi bila terpapar pada tingkat yang lebih rendah dari pemaparan kronik . Pada tingkatan subkronik ini tanda dan gejala yang terlihat adalah gangguan indera, penyempitan bidang penglihatan, ketulian dan gangguan motorik. Toksisitas kronik yang pernah terjadi adalah kasus keracunan di Irak, Minamata dan Niigata Jepang. Kasus toksisitas kronik di Jepang pertama kali dilaporkan pada Mei 1956 di daerah sekitar Teluk Minamata. Hingga akhir tahun 1956 pasien bertambah menjadi 52 orang termasuk 17 orang tewas. Di tahun 1957, penyakit yang tidak diketahui ini disebut penyakit Minamata. Di Irak, di awal 1970, lebih dari 6000 orang dirawat di rumah sakit dan 459 tewas karena mengkonsumsi roti yang dibuat dari tepung yang tercemar metilmerkuri yang berasal dari fungisida. Kadar merkuri dalam tepung saat itu berkisar 4,8-14,6 mg/g. Meskipun tak ada bukti teratogenik yang teramati, AminZaki (1974) menemukan efek yang parah pada perkembangan (gangguan motorik, fungsi mental, kehilangan pendengaran dan kebutaan) pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang terpapar metilmerkuri pada kasus tepung di Irak. Tidak ada informasi yang pada literatur untuk efek merkuri klorida pada tikus jantan ataupun betina pada seluruh tahapan reproduksi. Namun sejumlah peneliti melaporkan efek para reproduksi akibat dari metilmerkuri klorida
13
Toksisitas metilmerkuri secara umum berakibat pada gangguan non-karsinogenik seperti diuraikan di atas. Belum ada informasi gangguan yang bersifat karsinogenik pada manusia. Namun pada tikus percobaan dilaporkan terjadi tumor ginjal hanya pada hewan jantan, tidak pada betina, pada pemberian metilmerkuri 15ppm selama 53 minggu. Toksisitas merkuri di sekitar kita 5ppm.
Target Organ
Metilmerkuri menyerang susunan saraf pusat dengan target organ utama adalah otak. Data yang ada menunjukkan bahwa otak janin yang sedang berkembang mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dibanding orang dewasa. Perbedaan seks sering ditemui pada studi toksisitas pada tikus dan mencit. Akumulasi merkuri pada ginjal hewan betina secara statistik lebih tinggi dari jantan. Konsentrasi yang tinggi pada betina diduga karena tingginya kadar metalothionein pada ginjal betina.
Gambar 1 mengilustrasikan adanya daerah lesi di beberapa zona pada sistem
saraf yang menunjukkan gejala dari penyakit Minamata. Lesi pada cerebellum (1) berakibat pada hilang keseimbangan (ataxia) dan gangguan bicara (dysarthria).Gangguan penglihatan terjadi pada penyempitan bidang padang, kesulitan penglihatan pada daerah tepi akibat dari kerusakan di daearah occipital lobe (2). Gangguan sensasi atau stereo anesthesia terjadi karena
14
kerusakan pada postcentral gyrus (3). Kelemahan otot, kram atau gangguan pergerakan merupakan tanda dari kerusakan pada precentral gyrus (4). Kesulitan pendengaran disebabkan adanya gangguan pada daerah temporal transverse gyrus (5). Keluhan pada kesulitan dan gangguan indera perasa baik rasa nyeri, sentuhan ataupun suhu akibat adanya gangguan pada saraf sensorik (6).
Pengobatan
Akibat secara neurologis dari penyakit Minamata adalah jelas sangat merugikan dan bersifat permanen. Tujuan dari pengelolaan penyakit Minamata adalah mengurangi penderitaan tubuh dari total merkuri yang masuk dan minimalisasi kerusakan lebih jauh. Karena merkuri terikat pada gugus sulfhidril pada sel-sel tubuh, penggunaan zat pengkhelat seharusnya diberikan pada tahap awal pengobatan. Zat ini akan berkompetisi mengikat merkuri menggunakan gugus thiol. Saat ini, zat yang terbaik untuk mengatasi penyakit Minamata adalah asam 2,3-dimerkaptosuksinat (DMSA). Zat ini memiliki toksisitas rendah, pada percobaan dengan hewan memperlihatkan hasil yang jauh lebih baik dibanding dimerkaprol (BAL) ataupun d-penisilamin (DPCN). Bahkan dalam kasus keracunan merkuri anorganik, penggunaan DMSA lebih disukai dibanding DCPN.
F. TOKSISITAS PESTISIDA 1. Klasifikasi Pestisida
Pestisida dapat digolongkan menurut penggunaannya dan disubklasifikasi menurut jenis bentuk kimianya. Dari bentuk komponen bahan aktifnya maka pestisida dapat dipelajari efek toksiknya terhadap manusia maupun makhluk hidup lainnya dalam lingkungan yang bersangkutan. Klasifikasi 1. Insektisida
Bentuk Kimia Botani
Carbamat
Bahan active Nikotine
Keterangan Tembakau
Pyrethrine
Pyrtrum
Rotenon
-
Carbaryl
toksik kontak
Carbofuran
toksik sistemik
Methiocorb
bekerja lambung
15
pada
Organophosphat
Thiocarb
juga moluskisida
Dichlorovos
toksik kontak
Dimethoat
toksik
kontak,
sistemik Palathion
Organochlorin
Herbisida
Malathion
toksik kontak
Diazinon
toksik kontak
Chlorpyrifos
kontak dan ingesti
DDT Lindane
kontak, ingesti
Dieldrin
persisten
Eldrin
persisten
Endosulfan
kontak, ingesti
Aset anilid
gammaHCH Atachlor
kontak, ingesti Sifat residu
Amida
Propachlor
Diazinone
Bentazaone
Carbamate
Chlorprophan
Kontak
Asulam Triazine
Athrazin Metribuzine
Fungisida
Triazinone Inorganik
Metamitron Bordeaux mixture
Toksin kontak Protektan
Copper oxychlorid
Proteoktan
Mercurous chloride Sulfur Benzimidazole
Thiabendazole
Protektan, sistemik
Hydrocarbon-
Tar oil
Protektan, kuratif
phenolik
2. Organophosphat
16
Lebih dari 50.000 komponen organophosphate telah disynthesis dan diuji untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500 jenis saja dewasa ini. Semua produk organophosphate tersebut berefek toksik bila tertelan, dimana hal ini sama dengan tujuan penggunaannya untuk membunuh serangga. Beberapa jenis insektisida digunakan untuk keperluan medis misalnya fisostigmin,
edroprium
dan
neostigmin
yang
digunakan
utuk
aktivitas
kholinomimetik (efek seperti asetyl kholin). Obat tersebut digunakan untuk pengobatan gangguan neuromuskuler seperti myastinea gravis. Fisostigmin juga digunakan untuk antidotum pengobatan toksisitas
ingesti dari substansi
antikholinergik (mis: trisyklik anti depressant, atrophin dan sebagainya). Fisostigmin, ekotiopat iodide dan organophosphorus juga berefek langsung untuk mengobati glaucoma pada mata yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada bola mata. a) Mekanisme toksisitas
Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat
menghambat
aksi
pseudokholinesterase
dalam
plasma
dan
kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil. b) Gejala keracunan
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul sangat bergantung pada adanya stimilasi asetilkholin persisten atau depresi yang diikuti oleh stimulasi.saraf pusat maupun perifer.
17
Tabel 2. Efek muskarinik, nikotinik dan saraf pusat pada toksisitas organofosfat. Efek 1. Muskarinik
Gejala - Salivasi, lacrimasi, urinasi dan diaree (SLUD)
-
Kejang perut
- Nausea dan vomitus
2. nikotinik
3. sistem saraf pusat
-
Bradicardia
-
Miosis
-
Berkeringat Pegal-pegal, lemah
-
Tremor
-
Paralysis
-
Dyspnea
-
Tachicardia Bingung, gelisah, insomnia, neurosis
-
Sakit kepala
-
Emosi tidak stabil
-
Bicara terbata-bata
-
Kelemahan umum
-
Convulsi
-
Depresi respirasi dan gangguan jantung
-
Koma
Gejala awal seperti SLUD terjadi pada keracunan organofosfat secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan otot polos.
3) Carbamate
Insektisida karbamat telah berkembang setelah organofosfat. Insektisida ini biasanya daya toksisitasnya rendah terhadap mamalia dibandingkan dengan organofosfat, tetapi sangat efektif untuk membunuh insekta.
18
Struktur karbamate seperti physostigmin, ditemukan secara alamia dalam kacang Calabar (calabar bean). Bentuk carbaryl telah secara luas dipakai sebagai insektisida dengan komponen aktifnya adalah Sevine R . Mekanisme toksisitas dari karbamate adalah sama dengan organofosfat, dimana enzim achE dihambat dan mengalam karbamilasi.
4) Organochlorin
Organokhlorin atau disebut “Chlorinated hydrocarbon” terdiri dari beberapa kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling populer dan pertama kali disinthesis adalah “Dichloro-diphenyl-trichloroethan” atau disebut DDT. Tabel 3. Klasifikasi insektisida organokhlorin Kelompok Cyclodienes
Komponen Aldrin, Chlordan, Dieldrin, Heptachlor,
Hexachlorocyclohexan Derivat Chlorinated-ethan
endrin, Toxaphen, Kepon, Mirex. Lindane DDT
Mekanisme toksisitas dari DDT masih dalam perdebatan, walaupun komponen kimia ini sudah disinthesis sejak tahun 1874. Tetapi pada dasarnya pengaruh toksiknya terfokus pada neurotoksin dan pada otak. Saraf sensorik dan serabut saraf motorik serta kortek motorik adalah merupakan target toksisitas tersebut. Dilain pihak bila terjadi efek keracunan perubahan patologiknya tidaklah nyata. Bila seseorang menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat menyebabkan keracunan, hal tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam. Perkiraan LD50 untuk manusia adalah 300-500 mg/Kg. DDT dihentikan penggunaannya sejak tahun 1972, tetapi penggunaannya masih berlangsung sampai beberapa tahun kemudian, bahkan sampai sekarang residu DDT masih dapat terdeteksi. Gejala yang terlihat pada intoksikasi DDT adalah sebagai berikut: •
Nausea, vomitus
•
Paresthesis pada lidah, bibir dan muka
•
Iritabilitas
19
•
Tremor
•
Convulsi
•
Koma
•
Kegagalan pernafasan
•
Kematian
5) Pengobatan
Pengobatan keracunan pestisida ini harus cepat dilakukan terutama untuk toksisitas organophosphat.. Bila dilakukan terlambat dalam beberapa menit akan dapat menyebabkan kematian. Diagnosis keracunan dilakukan berdasarkan terjadinya gejala penyakit dan sejarah kejadiannya yang saling berhubungan. Pada keracunan yang berat , pseudokholinesterase dan aktifits erytrocyt kholinesterase harus diukur dan bila kandungannya jauh dibawah normal, kercaunan mesti terjadi dan gejala segera timbul. Pengobatan dengan pemberian atrophin sulfat dosis 1-2 mg i.v. dan biasanya diberikan setiap jam dari 25-50 mg. Atrophin akan memblok efek muskarinik dan beberapa pusat reseptor muskarinik. Pralidoxim (2-PAM) adalah obat spesifik untuk antidotum keracunan organofosfat. Obat tersebut dijual secara komersiil dan tersedia sebagai garam chlorin.
G. TOKSISITAS PARACETAMOL
Toksisitas parasetamol disebabkan oleh penggunaan berlebihan atau overdosis dari analgesik obat parasetamol (asetaminofen disebut di Amerika Serikat).. Terutama menyebabkan luka hati, toksisitas parasetamol merupakan salah satu penyebab paling umum dari keracunan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat dan Inggris itu adalah penyebab paling umum dari kegagalan hati akut. Kerusakan hati, atau hepatotoksisitas , hasil bukan dari parasetamol itu sendiri, tetapi dari salah satu perusahaan metabolit, N-asetil-p-benzoquinoneimine (NAPQI).NAPQI menghabiskannya hati alami antioksidan glutathione dan langsung merusak sel di dalam hati, yang mengarah kekegagalan hati. Faktor risiko keracunan kronis yang berlebihan termasuk alkohol konsumsi, puasa atau anoreksia nervosa , dan penggunaan obat-obat tertentu seperti isoniazid . 20
Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan parasetamol dari tubuh dan menggantikan glutation. Arang aktif dapat digunakan untuk mengurangi penyerapan parasetamol jika pasien hadiah untuk perawatan segera setelah overdosis
tersebut;
penangkal
asetilsistein
bertindak
sebagai
prekursor
glutathione, membantu tubuh beregenerasi cukup untuk mencegah kerusakan hati. Sebuah transplantasi hati sering diperlukan jika kerusakan hati menjadi berat. liver. Pengobatan dini pada pasien memiliki prognosis yang baik, sedangkan pasien yang mengembangkan kelainan hati besar biasanya memiliki hasil yang buruk. Upaya untuk mencegah overdosis parasetamol termasuk membatasi penjualan individu dan menggabungkan obat parasetamol dengan metionin , yang diubah menjadi glutathione dalam hati.
Penanganan •
Dekontaminasi Lambung Pada orang dewasa, perlakuan awal untuk parasetamol overdosis adalah
dekontaminasi gastrointestinal. Parasetamol penyerapan dari saluran pencernaan selesai dalam waktu dua jam dalam keadaan normal, sehingga dekontaminasi paling berguna jika dilakukan dalam jangka waktu ini. Gastric lavage , lebih dikenal sebagai perut memompa, dapat dipertimbangkan jika jumlah tertelan berpotensi mengancam nyawa dan prosedur dapat dilakukan dalam waktu 60 menit menelan. Arang aktif adalah prosedur dekontaminasi gastrointestinal paling umum karena adsorbsi parasetamol, mengurangi penyerapan gastrointestinal nya. Penyelenggara arang aktif juga menimbulkan lebih sedikit risiko aspirasi dari lavage lambung. Tampak bahwa manfaat paling banyak dari arang aktif diperoleh jika diberikan dalam waktu 30 menit untuk dua jam menelan. Penyelenggara aktif arang paling lambat 2 jam dapat dipertimbangkan pada pasien yang mungkin tertunda pengosongan lambung karena co-tertelan obat atau menelan berikut berkelanjutan-atau preparat parasetamol tertunda-release.
•
Acetylcysteine
21
Acetylcysteine , juga disebut N-acetylcysteine atau NAC, bekerja untuk mengurangi toksisitas parasetamol dengan mengisi toko tubuh antioksidan glutathione . Glutathione bereaksi dengan NAPQI metabolit beracun sehingga tidak merusak sel dan dapat dengan aman diekskresikan. Cysteamine dan metionin juga telah digunakan untuk mencegah hepatotoksisitas, meskipun studi menunjukkan bahwa keduanya berhubungan dengan lebih buruk efek dari asetilsistein. Selain itu, asetilsistein telah terbukti menjadi penawar yang lebih efektif, terutama pada pasien yang lebih besar dari 8 jam pasca-konsumsi. Jika pasien menyajikan kurang dari delapan jam setelah overdosis parasetamol,
kemudian
asetilsistein
secara
signifikan
hepatotoksisitas serius dan menjamin kelangsungan hidup.
mengurangi [4]
risiko
Jika asetilsistein
dimulai lebih dari 8 jam setelah konsumsi, terjadi penurunan tajam dalam efektivitas karena kaskade peristiwa beracun dalam hati telah dimulai, dan risiko nekrosis hati akut dan kematian meningkat secara dramatis. Meskipun asetilsistein yang
paling
efektif
jika
diberikan
lebih
awal,
masih
memiliki
efek
menguntungkan jika diberikan sebagai sebagai akhir 48 jam setelah konsumsi. Dalam praktek klinis, jika pasien menyajikan lebih dari delapan jam setelah overdosis parasetamol, arang aktif kemudian tidak berguna , dan asetilsistein dimulai segera. Pada presentasi sebelumnya, arang dapat diberikan bila pasien datang dan asetilsistein dimulai sambil menunggu hasil tingkat parasetamol untuk kembali dari laboratorium. •
Transplantasi Hati
Pasien dianjurkan untuk transplantasi jika mereka memiliki darah arteri pH kurang dari 7,3 setelah resusitasi cairan atau jika pasien memiliki Grade III atau ensefalopati IV, waktu protrombin lebih dari 100 detik, dan kreatinin serum lebih besar dari 300 mmol / L Dalam 24 periode jam. Bentuk lain dari dukungan hati telah digunakan termasuk transplantasi hati parsial. Teknik-teknik ini memiliki keunggulan mendukung pasien sementara hati mereka sendiri melahirkan kembali. Setelah fungsi hati kembali obat imunosupresif yang dihentikan dan mereka menghindari minum obat imunosupresif selama sisa hidup mereka.
BAB III 22
PENUTUP A. KESIMPULAN
Toksisitas dapat dibagi menjadi: a. Tetrodotoksin ( fugu poisoning ) b. Keracunan Jamur c. Keracunan Timbal d. Keracunan Alkohol e. Keracunan Merkuri f. Keracunan Pestisida g. Keracunan Paracetamol Setiap bentuk keracunan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis dan tingkat keparahan dari keracunan.
B. SARAN
Semoga dengan adanya makalah ini, dapat memberikan pengetahuan yang baru kepada pembaca sehingga bisa bermanfaat. Kami berharap pembaca mampu menindaklajuti makalah ini sehingga pengetahuan tentang toksisitas dapat berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
23
arry.yanuar.googlepages.com/mercuri.pdf Chadha, DR.P.V.1995. Timbal, Ilmu Forensik dan Toksikologi . Jakarta: Widya Medika MB, Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi: Keracunan Makanan. Jakarta: EGC http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en| id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Paracetamol_toxicity
(24
Desember
2010,16.35) http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/4._16-3-2005-nurlaila.pdf. (26 Desember 2010, 14.15) www.sith.itb.ac.id/publikasi-ia/Entomologi-Permukiman/RESISTEN.pdf. Desember 2010, 20.08)
24
(25