MAKALAH PEMIKIRAN POLITIK INDONESIA TOKOH PEMIKIRAN POLITIK ISLAM PADA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI
PEMIKIRAN POLITIK INDONESIA KELAS A
Oleh: Bryan Gracias Neng Endah
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kami telah menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “ Tokoh- tokoh Pergerakan Islam di Masa Pemerintahan Orde Baru hingga Reformasi”.
Makalah ini berisi mengenai tokoh - tokoh yang memegang peran penting terhadap pergerakan islam di Indonesia di masa pemerintahan orde baru hingga reformasi. Makalah ini disusun agar para pembaca bisa menambah wawasan serta memperluas ilmu pengetahuan yang telah kami sajikan dalam susunan makalah yang ringkas, mudah untuk dibaca serta mudah dipahami. Kami tak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada dosen Pemikiran Politik Indonesia kami yang telah memberikan ilmu dan bimbingan terhadap kami, serta kami mengucapkan terima kasih pada rekan-rekan satu kelas pemikiran politik Indonesia kelas A yang sudah membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar. Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Depok, 10 Oktober 2014
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Islam dan politik merupakan suatu
paduan yang menjadi perbincangan
bahkan menjadi pemikiran dalam konteks intelektual muslim sebagai suatu ide. Pada zaman modern, perjuangan Islam terkonsentrasi dalam dua kategori. Pertama, perjuangan pembaharuan pemikiran Islam yang bersifat ke dalam seperti memperluas cakrawala pemikiran melalui pendidikan. Kedua, perjuangan politik Islam, sebagai bagian dari pembebasan ketertindasan masyarakat muslim dari kediktatoran penguasa Islam dan imperialism Eropa. Berdasarkan pemikiran teologi politik Abdurahman Wahid, yang berhadapan dengan isu relasi atantara agama dan negara. terlebih di Indonesia keinginan untuk menyatukan agama denagn negara pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa agamawan sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas pluralisme Pancasila. Dalam pemikiran teologi Amien Rais terhadap politik islam Indonesia berorientasi pada konsep-konsep tauhid , syari’ah dan Agama. Akan tetapi istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam Al-Quran maupun Sunnah. menurut Amien Rais tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan Negara Islam. Namun, bagi Amien Rais aplikasi syari’ah Islam menjadi idealism peranan politik. Dalam konteks ini, kedua tokoh pemikir tersebut dapat dikatakan parallel gagasannya, meskipun jelas sekali instrumennya yang berbeda-beda. Namun, secara garis besar wacana-wacana politik Islam sebagai upaya rektualisasi dan reformulasi teologis politik Islam di Indonesia sangat menarik untuk diteliti lebih dalam. Pasca reformasi, tema-tema politik Islam kembali bermunculan, menandakan perbincangan masa Orde Baru belum selesai. Khususnya mengeani pemikiran-pemikiran kedua tokoh yang akan dibahas dalam makalah ini. Pada akhirnya fenomena tersebut menjadi tonggak euphoria reformasi.
BAB II PEMBAHASAN
A. Profil K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
K.H Abdurrahman Wahid atau yang sering dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Gus Dur adalah panggilan kehormatan khas Pesantren. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Gus Dur sendiri, lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah. Awal Karir K.H Abdurrahman Wahid
Pada tahun 1944, Wahid atau Gusdur pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya
terpilih
menjadi
Indonesia (Masyumi),
Ketua
sebuah
pertama
organisasi
Partai yang
Majelis berdiri
Syuro dengan
Muslimin dukungan
tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil yang dialaminya. Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia dinyatakan tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah
lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren
Tegalrejo.
Ia
mengembangkan
reputasi
sebagai
murid
berbakat,
menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Gus Dur juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Gus Dur merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka mmbujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia.
Gusdur
memilih
batal
belajar
luar
negeri
dan
lebih
memilih
mengembangkan pesantren. Abdurrahman Wahid a.k.a. Gus Dur meneruskan kariernya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah dan surat kabar. Dengan popularitas itu,ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Gusdur tinggal bersama keluarganya. Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gusdur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gusdur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambak beras
dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam. 1
Keterlibatan Wahid dalam Nahdatul Ulama
Latar belakang keluarga Wahid, membuat dirinya diminta untuk berperan aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU. Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya. Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk
1
Pada tahun 1977, Gusdur bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Gusdur mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi.
menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik.
K.H Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Nahdatul Ulama
Reformasi di lingkungan NU membuat Wahid sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional pada tahun 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Wahid sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun, Panitia Munas, yang bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para peserta Munas. Terpilihnya Gus Dur sebagai ketua NU dinilai positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila. Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun ia disukai oleh rezim, Wahid mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Hal ini merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto masih mendapat dukungan politik dari NU. Selama masa jabatannya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren. Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur
untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim.
Masa jabatan kedua Gus Dur dan aksi melawan Orde Baru
Pada Tahun 1989, Wahid atau Gus Dur terpilih kembali sebagai Ketua NU pada Musyawarah Nasional, dapat dikatakan ini merupakan jabatan tahap dua bagi dirinya.2 Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU di seluruh Indonesia. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Namun, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara tersebut berlangsung, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran. Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Wahied menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga sebagai ketua NU. Mendengar hal itu, Soeharto berkeinginan agar Wahid tidak terpilih. Sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur sebagai Ketua NU period ke 3. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU
2
Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka.
untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa jabatan yang ketiga ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya yakni Soekarno memiliki popularitas yang besar dan berencana menekan rezim Soeharto. Wahid menasehati Megawati untuk berhatihati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati Soekarnoputri, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan mendukung pemerintah. Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Pada Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial di Asia. Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun saat diminta untuk melakukan reformasi di Indonesia, ia terkena stroke pada. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi yang di usulkannya. Namun, sikap lain diambil oleh smebilan pemimpin terseut, mereka menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya. Hal tersebut tidak disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998 dan Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
B. Biografi M. Amien Rais
M. Amien Rais lahir di kampung Kepatihan Kulon, Kota Solo, Jawa Tengah. Pada tanggal 26 April 1944. Ayahnya bernama H. Syuhud Rais seorang guru agama
lulusan muallimin Muhammadiyah dan ibunya bernama Sudalmiyah yang aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Amien Rais dibesarkan dari lingkungan keluarga yang sangatkental dengan nuansa ajaran Islam yang modernis serat berdisiplin tinggi. Muhammad Amien Rais adalah suatu fenomena di dalam politik mutakhir Indonesia. Dari seorang pemimpin nasional Muhammadiyah dan seorang pengajar di Universitas Gadjah Mada, beliau sangat dikenal secara luas. Amien Rais berada paling depan dalam momentum kesejarahan bangsa Indonesia yang kita kenal dengan nama gerakan Reformasi . Amien Rais menjadi seorang tokoh puncak nasional dengan
julukan “ Penarik Gerbong Reformasi” dan salah satu tokoh Islam modernis yang tampil sebagai “lokomotif” perubahan politik yang terjadi. “ Saya seorang demokrat. Saya tidak akan melakukan revolusi. Saya kira, demokrasi tidak bisa ditegakkan dengan tetesan darah ataupun sodok-menyodok diantara bangsa sendiri. Saya adalah seorang yang antikekerasan, antibrutalisme, dan antiaksi-aksi yang destruktif dan tidak bertanggung jawab” ( M. Amien Rais) Kritiknya sangat berpengaruh terhadap opini publik di Indonesia. Sepulangnya dari pendidikan di Amerika, ia pula terkenal sebagai pemikir politik Timur Tengah, dan melontarkan kritik yang sangat tajam terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika, sebuah negeri tempat sendiri ia belajar tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Kebobrokan politik dan ekonomi pada tahun 1990-an mendorongnya kembali menggulirkan gagasan tentang suksesi, bahkan lebih luas lagi, yaitu reformasi politik di Indonesia. Reformasi Politik di Indonesia
Amien Rais mulai menggulirkan perubahan sosial yang mendasar di Indonesia. Bahkan ia menjadi orang terdepan dalam meruntuhkan kebobrokan politik Orde Baru.
Pemikiran Amien Rais tentang Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme
sistem pemerintahan untuk menjunjung kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah. Demokrasi ndonesia adalah pemerintahan rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila atau pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat berdasarkan sila Pancasila. Di masa rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, adalah suatu pemerintahan diamana kekuatan politik tidak berada ditangan sipil, melainkan berada dalam dominasi militer.
Amien Rais berbicara mengenai
Pancasila dan Demokrasi secara kritis, terbuka dan berani. Ia juga berbicara mengenai demokrasi yang berkaitan dengan Islam , dengan memiliki demokrasi yang baik dan benar, maka nasib rakyat akan lebih baik. Sebagaimana yang dikatakannya: “ I
bel ieve i n democr acy 100% because democr acy wi th par r arel with basi c I slami c
teaching” . PEMIKIRAN POLITIK ISLAM M. AMIEN RAIS Konsep-Konsep Tauhid, Syari’at, dan Agama
Paradigma pemahaman keagamaan yang berkaitan dengan pemikiran politik islam Indonesia M. Amien Rais berorientasi pada konsep-konsep tauhid , syari’ah dan Agama. a. Tauhid : sumber dan dasar penegakkan keadilan sosial
Menurut Amien Rais, ada dua jenis tauhid yakni tauhid aqidah (tuhidullah) dan tauhid sosial. Tauhid aqidah merupakan dua kategori yang dikenal dalam ilmu ushuluddin yakni tauhid uluhiyyah dan tauhid rubiyyah. Sedangkan tauhid sosial adalah dimensi sosial dari tauhid aqidah. Konsep tauhid sosial dimaksudkan agar tauhid aqidah yang sudah tertanam dalam pemikiran umat islam dapat direalisasikan kedalam realitas sosial secara kongkret.3 Menurut Amien Rais, seorang politisi haruslah bersandar pada moralitas dan etika yang bersumber pada ajaran tauhid. Bila moralitas dan etika tauhid dilepaskan dari politik, maka politik itu akan chaos tanpa arah, sehingga berdampak pada kesengsaraan rakyat. Amien Rais mengungkapkan bahwa: “ ….Politik merupakan salah satu kegiatan penting, mengingat bahwa suatu masyarakat hanya bisa hidup secara teratur kalau ia hidup dan tinggal dalam sebuah negara dengan segala perangkat kekuasaannya. Sedemikian penting peranan politik dalam masyarakat modern, sehingga banyak orang berpendapat bahwa politik adal ah pangli ma . Artinya, politik sangat menentukan corak sosial, ekonomi, budaya,
hukum, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.” 4 Konsep tauhid memiliki pengaruh sosial yang sangat signifikan. Melalui konsep tauhid sosial, Amien Rais tergerak untuk menerapkan keadilan sosial. Artinya, tujuan awal dari gagasan tauhid sosial adalah terwujudnya masyarakat yang adil serta mendapatkan ridha Tuhan. Konsep ini didasarkan pada pemahaman bahwa benang merah Islam itu adalah keadilan.5 Bahkan secara tegas Amien rais mengatakan bahwa
3
M. Amien Rais, Tauhid Sosial, op.cit, hal. 107-108; lihat juga Membangun Politik Adiluhung, op.cit, hal 127. (dalam uinsgd.ac.id/_multimedia/document/20121003/20121003161148_pandangan-m.-amien-raistentang-politik-islam-indonesia-solihin_.pdf) 4 (Amien, 1995:81-85) 5 M. Amien Rais, Tauhid Sosial,op.cit, hal. 110
hal pertama yang harus ditegakkan menurut al-Qur’an adalah keadilan baru kemudian berbuat kebajikan.6 Penegakkan keadilan sosial menurut Amien Rais dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: 1. bersifat jangka pendek (sementara), yaitu dengan cara menyantuni orang-orang serba kekurangan. 2. upaya-upaya yang berdimensi jangka panjang, yaitu penyelesaian persoalan melalui cara pelacakan dan pembongkaran terhadap fondasi dan bangunan yang menjadi sumber persoalan ketidakadilan sosial tersebut. Dalam hal tersebut menunjukan begitu pentingnya tauhid sosial dalam pemikiran Amien Rais. Tauhid sosial merupakan sentrum dan esensi dari seluruh ajaran Islam. 7 Oleh karena itu, seluruh kehidupan umat muslim harus besandar terhadap tauhid. Karena dengan hal tersebut, umat Islam dapat mencapai suatu kesatuan monoteistik (monotheistic unity) yang meliputi semua bidang dan kehidupan termasuk kehidupan berbangsa dan berpemerintahan.8 b. Syari’ah sebagai sistem hukum
Sebagai hukum Tuhan Syari’ah menempati posisi yang sangat penting dalam masyarakat Islam. Sebab Syari’ah mencakup moral, prilaku, tata aturan, mulai dari peribadatan hingga urusan kenegaraan, yang secara keseluruhan sangat bergantung pada kesadaran manusia. 9 Sebagai sistem hukum, syari’ah menurut Amien Rais merupakan hukum yang lengkap dan terpadu. 10 Pemikiran yang berawal atau berpusat dari tauhid kemudian melahirkan teori-teori yang bertumpu kepada syari’ah. Syari’ah merupakan prinsip-prinsip atau aturan universal yang mendedukasi tauhid ke dalam sistem ajaran yang menjadi jalan hidup (ways of life) bagi umat Islam. Syari’ah yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadits telah memberikan skema kehidupan (scheme of life) yang sangat jelas. Menurut pemikiran Amien Rais, syari’ah bukan hanya menunjukan apa yang termasuk ma’rufat dan apa yang tegolong dalam munkara, melainkan juga 6
Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, op.cit., hal. 10; M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, op. cit., hal 127 7 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gusdur dan Amien Rais, op.cit., hal. 88-89. 8 M. Amien Rais , Cakrawala Islam, op.cit., hal.42 9
Mustolah Maufur, Pengantar Penerjemah, dalam salim Ali Al-Bahnasawi, Pustaka Al-kautsar, Jakarta, 1996, cet. I, hal. ii 10
M. Amien Rais, Cakrawala Islam, op.cit., hal. 52
menentukan skema kehidupan untuk menumbuhkan ma’rufat dan mencegah munkarat . Syari’ah adalah kode kehidupan yang fleksibel serta dinamis yang diberikan Islam kepada manusia untuk mengatur kehidupannya. Bagi Amien Rais, Syari’ah merupakan sistem hukum yang lengakap dan telah meletakkan dasar -dasar, tidak hanya bagi hikum konstitusional, tetapi juga hukum administratif, pidana, perdata, bahkan hukum internasional. Menurut Amien Rais ada dua kategori hukum, yakni: 1. kategori hukum Islam yang tidak berubah dan tidak dapat diubah, yang sifatnya sangat menentukan nasib dan kehidupan manusia. 2. elemen-elemen hukum yang dapat dimodifikasi sesuai dengan dinamika zaman dan perekembangan masyarakat. c. Agama: antara cita (normativitas) dan fakta (historisitas)
Islam pada hakekatnya adalah suatu agama, juga suatu budaya dalam dirinya sendiri dan peradaban yang menopang dirinya sendiri. 11 Oleh karena itu, prinsip agama Islam terdiri dari dua pilar, yakni: nilai spiritualitas tauhid dan niali-nilai keadilan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.12 Proses dialog antara agama dengan realitas dalam bentuk penghadapan secara dialogis antara normativitas wahyu di satu sisi dan historisitas berupa pemahaman manusia terhadap wahyu.
Menurut Amien Rais, paling tidak ada lima agenda utama terkait dengan pembaruan Islam yang harus direalisasikan secara serius. 1. pembaruan aqidah 2. pembaruan teologi Islam 3. pembaruan ilmu pengetahuan dan teknologi 4. pembaruan organisasi dan manajemen 5. pembaruan etos kerja. Menurut Amien Rais, umat Islam berada dalam kesenjangan antara wilayah wahyu sebagai sumber ajaran, dengan wilayah historisitas- normativitas-idealitas realitas sebagai praktek keberagaman umat. Dalam kata lain adanya “Islam Ideal”
adalah Islam dalam teori dan “Islam Sejarah” adalah Islam dalam praktek. 11
M. Amien Rais , Cakrawala Islam, Ibid., hal. 92-93 dan 94-95 M. Amin Abdullah, Dinamika Isam Kultural Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000, Cet. I, hal. 203. 12
Konsep Politik dan Kekuasaan menurut Pemikiran M. Amien Rais
Amien Rais menegaskan bahwa partisipasi politik yang berujung pada pencapaian kekuasaan bukan merupakan hak monopoli kalangan tertentu saja, melainkan terbuka untuk siapa saja. Dalam pandangannya, masyarakat muslim pun sejatinya harus berpartisipasi aktif dalam kegiatan itu. Hal tersebut karena Islam merupakan agama yang bersifat komprehensif, menyentuh segala bidang kehidupan, termasuk di dalamnya menganjurkan umat Islam untuk terlibat dalam kegiatan politik. Akan tetapi, menurut Amien Rais, politik yang dikehendaki oleh Islam adalah politik yang wajar, konstitusional, legal, terbuka, demokratis dengan mengindahkan akhlak dan moral agama itu sendiri. Kegiatan politik menurutnya harus menjadi bagian integral bagi kehidupan seorang muslim. Politik selalu berkaitan dengan kekuasaan (power). Menurut Amien Rais, politik kepartaian, proses rekruitment pejabat atau pegawai, proses agregasi dan artikulasi kepentingan,
proses
pemecahan
konflik
kepentingan
antargolongan
dalam
masyarakat, proses pembuatan keputusan politik domestik maupun luar negeri dan lain sebagainya, adalah contoh-contoh kegiatan politik yang tidak dapat dilepaskan dari fondasi moral dan etika yang dianut. 13 Dalam kaca mata Islam menurutnya ada dua jenis politik yaitu politik berdimensi moral dan etis (hi gh poli tics) dan politik kualitas
rendah
atau
politik
cenderung
nista
(low
. Amien politics)
Rais
mencontohkan: “ Bila sebuah organisasi menunjukan sikap yang tegas terhadap korupsi, mengajak masyarakat luas untuk memerangi ketidakadilan, mengimbau pemerintah untuk terus menggelindingkan proses demokrasi dan keterbukaan, maka organisasi tersebut pada hakikatnya sedang memainkan high politics . Sebaliknya, bila sebuah organisasi melakukan gerakan manuver politik untuk memperebutkan kursi DPR, minta bagian di lembaga eksekutif, membuat kelompok penekan, membangun lobi, serta berkasak-kusuk untuk mempertahankan atau memperluas vested interest, maka organisasi tesebut sedang melakukan low poli tics . Bagi Amien Rais, membangun suatu negara yang terlepas dari fundamental ajaran Islam berarti membangun negara yang sekularistis, yang kehilangan dimensi spiritual dan menjurus pada kehidupan yang serba material, yang di dalamnya petunjuk wahyu hanya disebut-sebut secara berkala dalam kesempatan-kesempatan tertentu.
13
Ibid.
BAB III PENUTUP KESIMPULAN
Dalam konteks pemikiran politik Islam Indonesia saat ini, khususnya pasca reformasi yang melahirkan banyak partai Islam, pemikiran politik Islam Abdurahman wahid (Gusdur) dan M. Amien Rais ini sangat relevan untuk dijadikan bagian dari pemikiran politik Islam di Indonesia. Hal ini menjadi kesinambungan historis dari wacana politik Islam masa Orde Baru. Berdasarkan pemikiran teologi politik Abdurahman Wahid, yang berhadapan dengan isu relasi atantara agama dan negara. terlebih di Indonesia keinginan untuk menyatukan agama denagn negara pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa agamawan sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas pluralisme Pancasila. Dalam Pemikirannya, Amien Rais menegaskan bahwa hukum Allah yang terdapat dalam Al-Quran merupakan hukum yang lengkap dan terpadu, yang tidak dapat dikalahkan oleh hukum buatan manusia. Begitu juga hubungan politik antara Islam dan negara menurutnya, bahwa politik merupakan media dakwah dalam kemaslahatan umat.
Berkenaan dengan hubungan antara Islam dan negara, paradigma yang dibangun dan dikembangkan oleh Amien Rais lebih ditekankan pada aspek substansi daripada bentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisiolisasi dalam Politik , dalam Prisma Pemikiran Gus Dur , Yogyakarta: LKiS, 2000 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 1980. Abdurrahman wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Desentara, 2001 Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur , Tim INCReS, Bandung: INCRes, 2000. M. Amien Rais, 1991, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta , Mizan, Bandung, Cet. III. M. Amien Rais, 1998, Tauhid Sosial Formula Menggempur Kesenjangan , Mizan, Bandung, Cet. III. M. Amin Abdullah, 2000, Dinamika Isam Kultural Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer , Mizan, Bandung, Cet. I, uinsgd.ac.id/_multimedia/document/20121003/20121003161148_pandangan-m.amien-rais-tentang-politik-islam-indonesia-solihin_.pdf http://pemikiranislam.files.wordpress.com/2007/07/makalah-ilmiah.doc