KERUGIAN NEGARA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Forensik
Disusun oleh :
Ananta Wahyu Sasongko
(NIM. 2015250955)
Areta Widya Kusumadewi
(NIM. 2015250957)
Nurul Qamaril Ramadhani
(NIM. 2015250972)
Robert Renovan
(NIM. 2015250974)
Yoga Pradana
(NIM. 2015250975)
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015
Definisi Kerugian Negara dan Kerugian Keuangan Negara adalah dua hal yang tidak berbeda jauh tetapi memiliki makna yang berbeda. Secara garis besar, kerugian negara dapat dikatakan sebagaikehilangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Sedangkan kerugian keuangan negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawainegeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif
atau
oleh
bendahara
dalam
rangka
pelaksanaan
kewenangan
kebendaharaan. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya. Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut: a. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. ”
b. Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Selanjutnya, definisi kerugian keuangan Negara disebutkan dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bunyi Korupsi. Bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.” 1
Definisi Kerugian Negara dan Kerugian Keuangan Negara adalah dua hal yang tidak berbeda jauh tetapi memiliki makna yang berbeda. Secara garis besar, kerugian negara dapat dikatakan sebagaikehilangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Sedangkan kerugian keuangan negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawainegeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif
atau
oleh
bendahara
dalam
rangka
pelaksanaan
kewenangan
kebendaharaan. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya. Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut: a. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. ”
b. Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Selanjutnya, definisi kerugian keuangan Negara disebutkan dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bunyi Korupsi. Bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.” 1
ALUR PEMERIKSAAN KERUGIAN NEGARA
Dalam artikel Kerugian Negara Pada Tindak Pidana Korupsi, Korupsi, dijelaskan bahwa berdasarkan UU BPK dan Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”). Pelaku atau Penanggung Jawab Kerugian Negara dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori. Ketiga klasifikasi pelaku atau penanggung jawab atas kerugian negara diatas diatur dalam undang undang yang berbeda dan akan dibahas lebih lanjut pada poin-poin selanjutnya dalam makalah ini. Pemeriksaan pada Pegawai Negeri Sipil Bendahara
Pemeriksaan kerugian negara yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS bendahara) diatur dalam Peraturan BPK-RI No.3 Tahun Tah un 2007. Kerugian negara yang terdeteksi dilaporkan oleh atasan langsung tersangka kepada kepala daerah dan BPKRI selambat-lambatnya 7 hari setelah diketahuinya kerugian. Setelah atasan langsung tersangka melakukan pelaporan, kepala daerah segera memerintahkan TPKN/TPKD untuk segera memproses penyelesaian kerugian negara terhadap bendahara yang pembebanannya
akan
ditetapkan
oleh Badan Pemeriksa
Keuangan
dengan
melakukan: a.
Menginventarisasi kasus kerugian negara yang diterima;
b.
Menghitung jumlah kerugian negara;
c.
Mengumpulkan dan melakukan verifikasi bukti-bukti pendukung bahwa bendahara telah melakukan perbuatan melawan hukum huk um baik sengaja maupun lalai sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian negara
d.
Menginventarisasi harta kekayaan milik bendahara yang dapat dijadikan sebagai jaminan penyelesaian kerugian negara
e.
Menyelesaikan kerugian negara melalui SKTJM;
2
f.
Memberikan pertimbangan kepada pimpinan instansi tentang kerugian negara sebagai
bahan
pengambilan
keputusan
dalam
menetapkan
pembebanan
sementara; g.
Menatausahakan penyelesaian kerugian negara;
h.
Menyampaikan laporan perkembangan penyelesaian kerugian negara kepada pimpinan instansi dengan tembusan disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Setelah kerugian negara sudah dapat dihitung oleh TPKN, TPKN segera
memberikan Laporan kepada BPK-RI yang didalamnya memuat nilai kerugian, Perbuatan melawan hukum dan penanggung jawab kerugian. Selanjutnya TPKN memanggil penanggungjawab kerugian untuk diminta menandatangani SKTJM. Jika yang bersangkutan bersedia, maka dalam SKTJM disebutkan apakah akan dibayar sekaligus lunas atau akan diangsur,
dan saat penandatanganan SKTJM, wajib
menyerahkan jaminan kepada TPKN, antara lain dalam bentuk dokumen-dokumen sebagai berikut:
Bukti kepemilikan barang dan/atau kekayaan lain atas nama bendahara;
Surat kuasa menjual dan/atau mencairkan barang dan/atau kekayaan lain dari bendahara.
SKTJM yang telah ditandatangani oleh bendahara tidak dapat ditarik kembali.
Surat kuasa menjual dan/atau mencairkan barang dan/atau harta kekayaan yang dijaminkan dan berlaku setelah BadanPemeriksa Keuangan mengeluarkan surat keputusan pembebanan
Jika dalam hal yang penanggungjawab kerugian menolak menandatangani SKTJM, maka
TPKN
merekomendasikan
agar
atasan
langsung
mengeluarkan surat keputusan pembebanan sementara,
bendahara
untuk
sementara si bendahara
diberikan hak untuk mengajukan keberatan kepada BPK. Pengajuan keberatan kepada BPK-RI nantinya ada dua keputusan yang akan dipilih oleh BPK-RI. Jika keberatan bendahara diterima, maka BPK akan mengeluarkan SK Pembebasan. Dan sebaliknya, jika hal keberatan bendahara ditolak,maka BPK mengeluarkan SK pembebanan yang harus segera dilaksanakan.
3
Pemeriksaan Kerugian Negara yang Dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS Non-Bendahara)
Pemeriksaan kerugian negara yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS Non-Bendahara) diatur dalam Permendagri No.5 tahun 1997. Kerugian negara yang terdeteksi dilaporkan oleh atasan langsung tersangka kepada kepala daerah selambatlambatnya 7 hari setelah diketahuinya kerugian. Kemudian, kepala daerah segera memerintahkan Majelis TGR untuk segera memproses penyelesaian kerugian negara terhadap bendahara yang pembebanannya akan ditetapkan oleh BPK-RI dengan melakukan: a. Menginventarisasi kasus kerugian negara yang diterima; b. Menghitung jumlah kerugian negara; c. Mengumpulkan dan melakukan verifikasi bukti-bukti pendukung bahwa bendahara telah melakukan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian negara d. Menginventarisasi harta kekayaan milik bendahara yang dapat dijadikan sebagai jaminan penyelesaian kerugian negara e. Menyelesaikan kerugian negara melalui SKTJM; f. Memberikan pertimbangan kepada pimpinan instansi tentang kerugian negara sebagai
bahan
pengambilan
keputusan
dalam
menetapkan
pembebanan
sementara; g. Menatausahakan penyelesaian kerugian negara; h. Menyampaikan laporan perkembangan penyelesaian kerugian negara kepada pimpinan instansi dengan tembusan disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam hal yang penanggungjawab kerugian menolak menandatangani SKTJM, maka Majelis TGR merekomendasikan agar Kepala Daerah untuk mengeluarkan Surat Pemberitahun Kerugian Negara yang dilanjutkan dengan menerbitkan Surat Keputusan
Pembebanan
Sementara.
Setelah
Surat
Keputusan
Pembebanan
Sementara terbit,maka proses dilanjutkan dengan melakukan Sita Jaminan dan kemudian dikeluarkan Surat Keputusan Pembebanan Tetap yang kemudian
4
dilakukan eksekusi jaminan atau dilakukan pemotongan Gaji pegawai yang bersangkutan. Kerugian Negara yang Dilakukan oleh Pihak Ketiga (Non-PNS)
Penyelesaian kerugian negara yang Dilakukan oleh Pihak Ketiga (Non-PNS) diatur dalam Pasal 10 UU BPK-RI No.15 Tahun 2006. Dalam Pasal 10 UU BPK-RI No.15 Tahun 2006, dijelaskan tentang tuntutan ganti Kerugian terhadap pihak ketiga melalui proses peradilan dan prosedur untuk menyelesaikan ganti kerugian negara/daerah berkaitan dengan pihak ketiga karena terdapat hubungan perdata. Terdapat dua cara untuk menyelesaikan kerugian negara yang dilakukan oleh Pihak Ketiga (Non-PNS) yaitu:
Upaya Damai Upaya damai dilakukan dengan cara pihak ketiga tetap diwajibkan untuk melakukan pemenuhan prestasi sebagaimana dimuat dalam kontrak. Dalam hal pihak ketiga tersebut tidak dapat memenuhi prestasi sebagaimana diperjanjikan, maka yang bersangkutanmembuat Akta Pengakuan Hutang (sesuai Ps.46 KMK No.300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara), dan kerugian diganti berdasar nilai kerugian sebagaimana dimuat dalam temuan pemeriksaan
Upaya Paksa Upaya paksa dilakukan dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan perdata. Setelah pengajuan gugatan, maka proses penyelesaian kerugian negara akan dilanjutkan prosesnya oleh pengadilan perdata.
MENENTUKAN ADA TIDAKNYA KERUGIAN NEGARA
Tahap ini merupakan tahap pertama yang harus dilalui dalam pemeriksaan indikasi adanya kerugian negara. Menentukan adanya kerugian negara dilakukan dengan melaksanakan audit investigatif. Definisi Audit Investigatif adalah, “a methodologi for resolving fraud allegations from inception to disposition. More specifically, fraud examination involves obtaining evidence and taking statements,
5
writing reports, testifying findings and assisting in the detection and prevention of fraud.” Audit Investigatif secara konstitusional dikenal dengan Pemeriksaan Investigatif, yang merupakan salah satu jenis audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sebagaimana tertuang dalam UU Nomor: 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Berdasarkan pasal 13 dinyatakan bahwa : Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. UU ini berlaku efektif pada tanggal 19 Juli 2004. Sebelum diterbitkannya UU tersebut BPK tidak sepenuhnya melakukan audit investigatif dan tidak secara khusus menjadikan pengungkapan indikasi kerugian negara/daerah dana atau unsur pidana sebagai tujuan audit (audit objective).BPK melakukan Audit Keuangan dan Audit Kinerja yang jika menemukan penyimpangan yang mengarah atau berindikasi kepada suatu unsur pidana, maka indikasi tersebut dilaporkan kepada penegak hukum (Kejaksaan dan Kepolisian). Dalam melalui tahap ini, beberapa undang-undang yang dapat dijadikan acuan adalah a. Pasal 1 butir 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Pengertian tersebut persis dengan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK). b. Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang
sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan basil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. c. Sederhananya indikasi ini bisa dilaksanakan untuk menghitung kerugian negara dengan merujuk UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, pasal 2
6
ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tertulis, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara." Berdasarkan paparan undang-undang tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kerugian negara mungkin terjadi jika : 1. Ada uang yang seharusnya diterima negara tapi tidak masuk ke kas negara; Dalam pengadaan khususnya pelaksanaan kontrak, negara berhak memperoleh denda jika terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan sesuai kontrak. Jika denda tersebut tidak masuk ke negara ya bisa dituduh korupsi tuh pejabat yang mempunyai kewenangan untuk nagih denda. 2. Terjadi situasi yang mana surat berharga (berarti bisa termasuk sertifikat hak atas tanah atau aset lain, jaminan bank seperti jaminan pelaksanaan proyek atau sejenisnya atau mungkin bilyet deposito dan sejenisnya) yang menjadi hak negara dikuasai pihak lain secara tidak sah atau ternyata tidak bisa di-uang-kan. Didalam peraturan Presiden 54/2010 jo 70/2012 beserta petunjuk teknisnya terdapat beberapa ayat dan klausul yang menyangkut Surat Berharga sebagaimana maksud dari salah satu untuk kerugian negara. Diantaranya :
Apabila hasil pembuktian kualifikasi ditemukan pemalsuan data, maka peserta digugurkan, badan usaha dan pengurus atau peserta perorangan dimasukkan dalam Daftar Hitam, Jaminan Penawaran yang bersangkutan dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/Daerah.
peserta yang terlibat KKN dikenakan sanksi Jaminan Penawaran dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/Daerah;
Peserta mengundurkan diri setelah menerima SPPJB maka Jaminan Penawaran peserta lelang yang bersangkutan dicairkan dan disetorkan pada Kas Negara/Daerah.
Dalam hal sanggahan banding pada pelelangan dinyatakan dinyatakan salah, Jaminan
Sanggahan
Banding
dicairkan
dan
disetorkan
ke
kas
Negara/Daerah,
7
Dalam hal Penyedia Barang/Jasa yang ditunjuk sebagai pelaksana pekerjaan mengundurkan diri dengan alasan yang tidak dapat diterima dan masa penawarannya masih berlaku, maka Jaminan Penawaran yang bersangkutan dicairkan dan disetorkan pada Kas Negara/Daerah;
Apabila peserta yang harga penawarannya dibawah 80% (delapan puluh perseratus) HPS tidak bersedia menaikkan nilai Jaminan Pelaksanaan, maka penawarannya digugurkan dan Jaminan Penawaran dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/Daerah
Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa maka Jaminan Pelaksanaan dicairkan;
dan lainnya
3. Kekurangan barang yang seharusnya menjadi hak negara. Pada konteks ini tentunya unsur-unsur yang menyangkut volume dan harga baik bersifat kuantitas maupun kualitas. Yang bersifat kuantitas bisa berupa :
Jumlah barang yang dibayar tidak sesuai dengan jumlah barang yang diterima dan dibayar;
Ukuran bangunan baik dari ukuran isi, panjang, luas, tebal, lebar tidak sesuai dengan ukuran yang diterima dan dibayar;
Tidak diperbaikinya kerusakan dan/atau tidak beroperasinya barang sebagaimana yang diharapkan selama masa pemeliharaan. Yang bersipat kualitas bisa berupa spesifikasi teknis yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang diterima dan dibayar;
Sedangkan berdasarkan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsur terkait kerugian negara adalah:
Ada Unsur Melawan Hukum;
Terbukti Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain/ Korporasi.
Terjadi Unsur Kerugian Negara; dan
Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan
8
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Walaupun demikian, tidak semua kasus yang ditemukan unsur-unsur kerugian
harus diproses lebih lanjut. Dalam memproses sebuah kasus diperlukan pertimbangan cost benefit dari pemrosesan. Acuan dari cost benefit suatu kasus adalah menjawab
pertanyaan 5W+2H berikut: a. Siapakah (Who) : Siapa yang melaporkan, siapa yang pertama mengetahui, siapa pelakunya, siapa yang terlibat, siapa yang dapat menambah keterangan. b. Apakah (What) : Apa yang terjadi, apa yang dilakukan, apa jenis kejahatan yang dilakukan, apa yang dapat dijadikan barang bukti; Dengan apa si pelaku melakukan tindak kejahatan tersebut. c. Dimanakah (Where) : Di mana letak tempat kejadiannya, di mana letak keberadaan barang-barang bukti, di mana saksi-saksi dan pelaku berada saat kejahatan tersebut berlangsung. d. Mengapakah (Why) : Mengapakah perbuatan itu dilakukan (motif), mengapa si pelaku menggunakan cara-cara demikian (modus operandi). e. Kapankah (When) : Kapan kejahatan dilakukan, kapan kejahatan itu diketahui, dan kapan kejahatan itu dilaporkan. f. Bagaimanakah (How) : Bagaimana kejahatan tersebut dilakukan dan bagaimana itu dapat terjadi, bagaimana akibat yang ditimbulkannya serta bagaimana kebiasaan si pelaku pada masa sebelumnya. g. Berapakah (How Much) : Berapa besar dampak kerugian keuangan yang dicuri oleh si pelaku.
POHON KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (R.E.A.L TREE)
Dalam kasus kerugian negara, ada empat akun besar yang bisa menjadi sumber dari kerugian negara tersebut. Bapak Theodorus M. Tuanakotta dalam bukunya Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi menggambarkannya dalam pohon kerugian keuangan negara yang dijelaskan seperti di bawah ini.
9
Pohon kerugian keuangan negara mempunyai empat cabang, dalam hal ini yaitu akun. Masing-masing akun mempunyai cabang yang menunjukkan kaitan antara perbuatan melawan hukum dengan akun-akun tersebut. Keempat akun tersebut adalah aset, liabilitas, beban (expenditure) dan pendapatan (revenue). Dengan menggunakan istilah bahasa Inggris di atas, pohon kerugian keuangan negara ini sering disebut dengan R.E.A.L tree.
Gambar 1 Pohon Kerugian Negara (R.E.A.L. Tree) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Aset
Terdapat 5 sumber kerugian keuangan negara terkait dengan aset. Seperti yang dijelaskan pada bagian di bawah ini. 1.
Pengadaan Barang dan Jasa Bentuk kerugian keuangan negara dari pengadaan barang dan jasa adalah pembayaran yang melebihi jumlah seharusnya. Bentuk kerugian ini dapat berupa:
10
a. Markup untuk barang yang spesifikasinya sudah sesuai dengan dokumen tender dan kuantitasnya sesuai dengan pesanan, tetapi harganya lebih mahal. b. Harga secara total sesuai dengan kontrak, tetapi kualitas dan/atau kuantitas barang lebih rendah dari yang disyaratkan. c. Syarat penyerahan barang lebih istimewa sedangkan syarat pembayaran tetap, sehingga menimbulkan kerugian bunga. d. Syarat pembayaran lebih baik, tetapi syarat lainnya seperti kualitas dan kuantitas tetap, sehingga menimbulkan kerugian bunga. e. Kombinasi dari beberapa kerugian di atas. 2. Pelepasan Aset Bentuk dan kerugian yang dapat ditimbulkan: a. Penjualan aset yang dilakukan berdasarkan nilai buku sebagai patokan dimana panitia penjualan menyetujui harga jual di atas harga buku. Sehingga, para pelaku bisa berkelit bahwa penjualan aset telah menguntungkan negara. Padahal pada kenyataannya, penjualan tersebut bisa dilakukan dengan atau tanpa tender. Praktik tender yang curang serupa dengan proses tender pada pengadaan barang dan jasa seperti yang telah dijelaskan di atas. b. Penjualan tanah dan bangunan “diatur” melalui NJOP hasil kolusi dengan pejabat terkait. NJOP di sini berperan sebagai nilai buku seperti pada poin a di atas. c. Tukar guling (ruilslag ) tanah dan bangunan milik negara dengan tanah, bangunan, atau aset lain. Dengan demikian aset ditukar dengan aset sehingga nilai
pertukarannya
sulit
ditentukan.
Masalah
lainnya
adalah
surat
kepemilikan, penguasaan atas tanah, peruntukan tanah yang diterima dalam tukar guling. Aset negara yang bernilai tinggi di-ruilslag dengan tanah bodong ( substance disamarkan melalui form). d. Pelepasan hak negara untuk menagih. Para makelar perkara (biasa disebut juga dengan makelar kasus atau markus) memberikan perangsang kepada penguasa untuk menghilangkan hak tagih. Atau sebaliknya, penegak hukum melihat
peluang
untuk
berkooptasi
dengan
para
markus.
Besarnya
11
kerugiannya bukan semata-mata hilangnya jumlah pokok, tetapi juga kerugian bunga sejak hak tagih hilang sampai terpidana membayar kembali berdasakan putusan majelis hakim. 3.
Pemanfaatan Aset Hal ini dilakukan ketika lembaga-lembaga negara mempunyai aset yang belum dimanfaatkan secara penuh, “salah beli”, atau “salah urus” dan pihak ketiga
meihat peluang untuk memanfaatkan kekayaan negara ini, tetapi bukan melalui transaksi jual beli, seperti sewa, kerja sama operasional, atau kemitraan strategis. Bentuk kerugian keuangan negara dari pemanfaatan aset antara lain: a. Negara tidak memperoleh imbalan yang layak jika dibandingan dengan harga pasar. b. Negara ikut menanggung kerugian dalam kerja sama operasional yang melibatkan aset negara yang “dikaryakan” kepada mitra usaha.
c. Negara kehilangan aset yang dijadikan jaminan kepada pihak ketiga. Misalnya aset tersebut dijadikan sebagaiinbreng . Potensi terjadinya kerugian menjadi lebih besar ketika asetnya tidak bertuan. Contohnya adalah aset yang dibangun Pemerintah Pusat dengan dana APBN, tetapi tidak tercatat sebagai aset baik di Pemerintah Pusat maupun Pemda. 4. Penempatan Aset Penempatan aset merupakan penanaman atau investasi dari dana-dana milik negara. Kerugian keuangan negara terjadi ketika adanya unsur kesengajaan menempatkan
dana-dana
tersebut
pada
investasi
yang
tidak seimbang
antara risk danreward -nya. Apabila mereka memiliki kelebihan dana, mereka sering tergoda untuk melakukan penempatan aset dengan risiko yang relatif tinggi dibandingkan dengan imbalannya. Ciri yang sering menonjol adalah tidak sejalannya usaha baru dengan bisnis inti. Ketika usaha barunya gagal, mereka sering berdalih bahwa ini bukanlah kerugian keuangan negara, melainkan sekadar business loss yang sangat lazim di dunia bisnis. Apabila penempatan aset memberikan hasil atau keuntungan, para pejabat dapat menerima keuntungan.
12
Sebaliknya, ketika penempatan aset menimbulkan kerugian, mereka “lepas tangan”.
Penempatan aset merupakan kiat para pelaku kejahatan berkerah putih dimana seluruh transaksi didukung dengan dokumen hukum yang sah dan lengkap. Bentuk luarnya sempurna, tapi substansinya bodong. Bentuk-bentuk kerugian negara dari penempatan aset antara lain: a. Imbalan yang tidak sesuai dengan risiko: Besarnya kerugian sebesar selisih bunga ditambah premi untuk faktor tambahan risiko dengan imbalan yang diterima selama periode sejak dilakukannya penempatan aset sampai dengan pengembaliannya. b. Jumlah pokok yang ditanamkan dan yang hilang. Besarnya kerugian sebesar jumlah pokok dan bunga. c. Jika ada dana-dana pihak ketiga yang ikut hilang dan ditalang oleh negara, maka kerugiannya adalah sebesar jumlah pokok dari dana talangan beserta bunganya. 5. Kredit Macet Kredit diberikan dengan melanggar rambu-rambu perkreditan, baik yang ditetapkan oleh BI maupun oleh Bank BUMN itu sendiri dimana sebenarnya kredit ini sudah diperkirakan akan macet. Bankir yang menjadi koruptor tersebut akan menggunakan alasan bahwa kredit macet merupakan bagian yang tak terpisahkan dari risiko perbankan. Pemberian kredit dengan cara ini merupakan kejahatan kerah putih, dilakukan dalam bentuk kolusi antara pejabat bank dan sarat dengan benturan kepentingan. Oleh karena proses pemberian kredit dilakukan dengan cara melawan hukum, bentuk kerugian negara berupa jumlah pokok dan bunga tanpa dikurangi hair cut . Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Kewajiban
Terdapat 3 jenis kerugian negara berkaitan dengan kewajiban di antaranya perikatan yang menimbulkan kewajiban nyata, kewajiban bersyarat yang menjadi nyata, dan kewajiban tersembunyi. 1. Perikatan yang Menimbulkan Kewajiban Nyata
13
Dokumentasinya terlihat sah, tetapi isinya sebenarnya bodong, dimana transaksi istimewa diselipkan diantara transaksi normal karena mengetahui bahwa transaksi ini akan bermasalah. Sifat fraud -nya adalah penjarahan kekayaan negara melalui penciptaan transaksi fiktif yang menyerupai transaksi normal. Bentuk kerugiannya adalah jumlah pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak timbulnya kewajiban nyata sampai dengan pengembalian dana oleh terpidana. 2.
Kewajiban yang berasal dari kewajiban bersyarat Pejabat lembaga Negara, BUMN, dan lain-lain mengadakan perikatan dengan pihak ketiga yang pada awalnya merupakan contingent liability. Laporan keuangan lembaga tersebut tidak menunjukkan adanya kewajiban karena masih merupakan kewajiban bersyarat. Pada akhirnya, pihak ketiga tidak mampu memenuhi kewajibannya sehingga lembaga negara yang menjadi penjaminnya memiliki kewajiban nyata yang sebelumnya adalah kewajiban bersyarat. Bentuk kerugian keuangan negara adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak kewajiban bersyarat berubah menjadi kewajiban nyata sampai saat pengembalian dana tersebut oleh terpidana.
3. Kewajiban Tersembunyi Kewajiban tersembunyi mencuat dalam kasus aliran dana suatu lembaga besar yang diduga untuk membantu mantan pejabatnya mengatasi masalah hukum. Dalam
praktiknya,
kantor-kantor
akuntan
yang
termasuk
dalam Big
Four senantiasa memfokuskan suatu audit pada pengeluaran untuk masalah
hukum karena legal expenses merupakan tempat persembunyian segala macam biaya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini mengakibatkan adanya kecenderungan dari pihak pimpinan lembaga untuk membersihkan pembukuan ketika auditor menemukan penyimpangan ini, yaitu dengan dua cara: a. Menciptakan aset bodong untuk menghindari pengeluaran fiktif. b. Aset bodong tersebut dihilangkan melalui kewajiban kepada pihak yang masih terafiliasi.
14
Bentuk kerugian negara adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan bunga sejak periode dana diterima oleh pelaku kejahatan sampai saat pengembaliannya. Dari ketiga jenis ranting kewajiban di atas, pola penghitungan kerugian keuangan negara cukup sederhana. Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Penerimaan
Penerimaan Negara umumnya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya: 1. penerimaan yang bersumber dari perpajakan atau bea dan cukai, 2. penerimaan pemerintah yang merupakan bagian pemerintah atas pengelolaan minyak dan gas bumi, batu bara, serta mineral lainnya. 3. penerimaan negara bukan pajak (PNBP). PNBP ini dapat ditemukan di hampir semua lembaga namun pertanggungan jawabnya tidak selalu ada atau terbuka untuk diperiksa oleh BPK, sehingga penerimaan ini rawan korupsi. Contohnya di Perguruan Tinggi, Rektor, Dekan, dan pejabat struktural lainnya mempunyai kewenangan atas PNBP. Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara dapat kita lihat ada tiga sumber kerugian keuangan negara sebagai berikut. 1. Wajib Bayar Tidak Menyetor Kewajibannya Inisiator: pihak ketiga yang menjadi wajib pungut. Contoh: Dalam beberapa Undang-Undang wajib bayar menghitung dana menyetorkan kewajibannya ke kas negara. Kelalaian para wajib bayak akan menimbulkan kerugian keuangan negara. Negara bukan saja tidak menerima jumlah yang menjadi kewajiban wajb bayar, tetapi juga kehilangan bunga atas penerimaan tersebut karena adanya unsur waktu (keterlambatan menyetor). 2. Penerimaan Negara Tidak Disetor Penuh oleh Pejabat yang Bertanggung Jawab Inisiator: Lembaga negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun pejabat yang berwenang tidak meminta dilakukannya setoran penuh. Contoh: Selisih antara ”tarif tinggi” dan ”tarif rendah” dalam pengurusan dokumen keimigrasian
di Kedutaan Besar RI di Malaysia yang sudah disinggung di atas. 3. Penyimpangan dalam Melaksanakan Diskresi Berupa Pengurangan Pendapatan Negara
15
Inisiator: Lembaga negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun ada kewenangan untuk melakukan pemotongan penerimaan negara. Secara substansi ketiga ranting di atas merupakan penerimaan negara yang tidak disetorkan sebagian atau seluruhnya, atau tidak disetorkan tepat waktu. Jumlah kerugian negara = sebesar jumlah penerimaan negara yang tidak disetorkan ditambah bunga untuk periode sejak saat penerimaan negara seharusnya disetorkan sampai saat terpidana mengembalikan penerimaan negara tersebut. Secara umum pola perhitungannya sama dengan pola perhitungan kewajiban, yaitu pokok ditambah bunga. Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Pengeluaran
Kerugian keuangan negara terjadi karena pengeluaran negara dilakukan lebih dari seharusnya, atau pengeluaran negara seharusnya tidak dilakukan, dan/atau pengeluaran negara dilakukan lebih cepat. Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara, kerugian keuangan negara berkenaan dengan transaksi pengeluaran dapat terjadi karena hal-hal berikut: 1.
Kegiatan Fiktif/Pengeluaran Fiktif Tidak dilaksanakannya kegiatan yang dicantumkan dalam anggaran (APBN, APBD, anggaran BUMN, dan seterusnya) tetapi dilaporkan seolah-olah sudah dilaksanakan.Contoh: Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/ anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif.
2. Pengeluaran Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan yang Sudah Tidak Berlaku Lagi. Contoh: pengeluaran Pemda, pejabat Pemda menerbitkan peraturan daerah dengan merujuk peraturan perundang-udangan yang tidak berlaku. Kepala daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lagi. 3. Pengeluaran Bersifat Resmi, Tetapi Dilakukan Lebih Cepat
16
Contoh: dalam kasus pembayaran kepada pemasok atau kontraktor, pembayaran kepada mereka dilakukan sebelum kemajuan kerja yang disepakati tercapai. Jumlah kerugian negara = sebesar uang yang dibelanjakan untuk kegiatan fiktif, ditambah dengan bunga selama periode sejak dikeluarkannya uang tersebut sampai uang dikembalikan terpidana.
METODE PERHITUNGAN KERUGIAN NEGARA Kerugian Total ( Total L oss ) dengan Beberapa Penyesuaian
Jumlah total loss (kerugian total) dihitung dari seluruh jumlah uang yang dibayarkan/dikeluarkan
oleh
negara
karena
negara
tidak
mendapatkan
imbalan/prestasi senilai jumlah pengeluaran tersebut. Metode total loss (kerugian total) dipergunakan untuk menghitung kerugian keuangan negara pada kasus kegiatan fiktif dan barang/jasa yang sama sekali tidak dapat digunakan. Beberapa kondisi ketika metode total loss dapat diterapkan: a. Pengadaan barang/jasa fiktif b. Kegiatan fiktif c. Honor fiktif/tidak dibayarkan d. Barang/jasa yang diterima tidak sesuai spesifikasi kontrak sehingga tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan Kerugian total ini juga bisa dilakukan dengan penyesesuaian ke atas atau penyesuaian ke bawah. Metode perhitungan kerugian negara dengan penyesuaian ke atas digunakan apabila untuk penyelesaian kasus kerugian keuangan negara yang terjadi masih diperlukan biaya, antara lain biaya pemberesan, sehingga jumlah kerugian keuangan negara dihitung dengan menambahkan kerugian keuangan negara yang terjadi dengan biaya pemberesan tersebut. Sedangkan metode kerugian negara dengan penyesuaian ke bawah digunakan apabila barang yang dibeli tersebut, walaupun tidak dapat dimanfaatkan namun masih bernilai, sehingga nilai barang tersebut dipakai sebagai pengurang dari total kerugian yang terjadi. Atau dengan kata lain kerugian keuangan negara dihitung dengan cara
17
mengurangkan kerugian keuangan negara yang terjadi dengan nilai barang yang tidak dapat dimanfaatkan tersebut. Selisih Antara Harga Kontrak dengan Harga Pokok Pembelian atau Harga Pokok Produksi
Metode ini biasanya digunkan dalam pengadaan barang yang spesifik dan tidak ada barang yang sejenis di pasaran. Untuk menghitung nilai barang tersebut, kita harus mengetahui unsur biaya yang turut membentuk harga tersebut. Unsur HPP meliputi harga bahan, biaya pengangkutan, biaya asusansi, overhead, biaya pengetesan, biaya tenaga kerja, biaya perakitan/pemasangan, keuntungan, dan lainlain. Selanjutnya unsur-unsur biaya dalam HPP tersebut dibandingkan dengan harga kontrak. Apabila harga kontrak lebih tinggi maka hal tersebut merupakan kerugian negara. Selisih antara Harga Kontrak dengan Harga atau Nilai Pembanding Tertentu
Metode penghitungan kerugian keuangan negara dengan menghitung selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertentu digunakan apabila terdapat indikasi mark up terhadap pengadaan barang atau jasa. Tujuan dari mark up adalah agar rekanan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kasus mark up sangat umum terjadi dalam proses pengadaan barang/jasa. Salah satu cara untuk menghitung kerugian negara yang berasl dari kasus mark up adalah dengan membandingkan harga dalam kontrak dengan harga pasar yang wajar. Harga pasar yang wajar dapat diperoleh dengan membandingkan dua objek yang bukan hanya jenisnya harus sama tetapi unsur-unsur yang membentuk objek tersebut juga harus sama. Unsur-unsur yang harus diperhatikan pada saat melakukan perbandingan harga adalah sebagai berikut: a. Spesifikasi suatu barang
e. Biaya pemasangan
b. Biaya pengangkutan
f. Biaya pengujian barang
c. Asuransi
g. Keuntungan
rekanan
d. Pajak Ketika sulit untuk mencari harga barang tersebut di pasaran, maka bisa digunakan harga yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah seperti Badan Pusat
18
Statistik, Dinas Pekerjaan Umum dan sumber lain yang kompeten. Kriteria yang umum digunakan dalam kasus mark-up adalah Pasal 66 ayat (8) Perpres Pengadaan Barang/Jasa Nomor 70 Tahun 2012. Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan meliputi: a. Harga pasar setempat yaitu harga barang / jasa dilokasi barang / jasa diproduksi / diserahkan / dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya Pengadaan Barang/Jasa b. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) c. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan d. daftar biaya / tarif barang / jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal e. biaya kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya; f. inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan / atau kurs tengah Bank Indonesia g. hasil perbandingan dengan kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain h. perkiraan
perhitungan biaya yang dilakukan
oleh konsultan
perencana
(engineer's estimate) i.
norma indeks
j.
informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
KRONOLOGIS KASUS GAYUS
Kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening milik Gayus H. Tambunan di Bank Panin. Polri kemudian melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskrim Mabes Polri menetapkan Gayus H. Tambunan sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
19
Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri kepada kejaksaan, Gayus H. Tambunan dijerat dengan tiga pasal berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Hal ini karena Gayus H. Tambunan adalah seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp 25 miliar di Bank Panin. Namun, PPATK tidak dapat membuktikan dana sebesar 25 milyar tersebut, karena dalam penelitian PPATK uang tersebut merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Andi Kosasih merupakan seorang pengusaha garmen asal Batam yang mengaku sebagai pemilik 25 miliar di rekening Gayus. Hal ini didukung dengan adanya perjanjian tertulis antara Andi dan Gayus yang ditandatangani tanggal 25 Mei 2008. Kemudian, dalam proses penulusuran ditemukan juga bahwa ada transaksi antara Andi dan Gayus sebesar US $6 juta untuk pengadaan tanah 2 hektar yang nantinya akan dibangun ruko di kawasan Jakarta Utara. Namun Andi baru menyerahkan uang sebesar US$ 2.810.000. Andi menyerahkan uang tersebut kepada Gayus melalui transaksi tunai di rumah orang tua istri Gayus lengkap dengan kuitansinya, sebanyak enam kali yaitu pada tanggal 1 Juni 2008 sebesar US$ 900.000, tanggal 15 September 2008 sebesar US$ 650.000, tanggal 27 Oktober 2008 sebesar US$ 260.000, tanggal 10 November 2008 sebesar US$ 200.000, tanggal 10 Desember 2008 sebesar US$ 500.000, dan terakhir pada tanggal 16 Februari 2009 sebesar US$ 300.000. Andi Kosasih menyerahkan uang tersebut karena dia percaya kepada Gayus H. Tambunan. Dalam proses penulusuran ini, PPATK juga tidak bisa membuktikan transaksi ini yang diduga tindak pidana. Dari perkembangan proses penyidikan kasus tersebut, ditemukan juga adanya aliran dana senilai Rp 370 juta di rekening lainnya di Bank BCA milik Gayus H. Tambunan. Uang tersebut diketahui berasal dari dua transaksi yaitu dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. PT.
Mega Cipta Jaya Garmindo adalah perusahaan
milik pengusaha Korea, Mr. Son dan bergerak di bidang garmen. Transaksi dilakukan dalam dua tahap yaitu pada tanggal 1 September 2007 sebesar Rp. 170 juta dan 2 Agustus 2008 sebesar Rp. 200 juta. Setelah diteliti dan disidik, uang senilai Rp.370 juta tersebut diketahui bukan merupakan
korupsi
dan
money
laundring tetapi
penggelapan
pajak
20
murni. Uang tersebut dimaksudkan untuk membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di Sukabumi.Namun demikian, setelah dicek, pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak diketahuiberada di mana. Uang tersebut masuk ke rekening Gayus H. Tambunan tetapi ternyata Gayus tidak mengurus pajaknya. Uang tersebut tidak digunakan oleh Gayus dan tidak dikembalikan kepada Mr. Son sehingga hanya diam di rekening Gayus. Berkas P-19 dengan petunjuk jaksa untuk memblokir dan kemudian menyita uang senilai Rp 370 jutatersebut. Berkas-berkas mengenai kasus Gayus dilimpahkan ke pengadilan. Jaksa mengajukan tuntutan 1 (satu) tahun dan masa percobaan 1 (satu) tahun. Dari pemeriksaan atas pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu sebelumnya, beredar kabar bahwa ada "guyuran" sejumlah uang kepada polisi, jaksa, hingga hakim masingmasing Rp 5 miliar.Diduga gara-gara „guyuran‟ uang tersebut Gayus terbebas dari hukuman. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 12 Maret 2010, Gayus yang hanya dituntut satu tahun percobaan, dijatuhi vonis bebas. Menurut Yunus Husein (ketua PPATK), mengalirnya uang belum kelihatan kepada aparat negara atau kepada penegak hukum. Namun anehnya penggelapan ini tidak ada pihak pengadunya, pasalnya perusahaan ini telah tutup. Sangkaan inilah yang kemudian maju ke persidangan Pengadilan Negeri Tangerang. Di Pengadilan Negeri Tangerang, Gayus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan dan hasilnya Gayus divonis bebas. Sosok Gayus dinilai amat berharga karena ia termasuk saksi kunci dalam kasus dugaan makelar kasus serta dugaan adanya mafia pajak di Direktorat Jenderal Pajak. Belum diketahui apakah Gayus melarikan diri lantaran takut atau ada tangan-tangan pihak tertentu yang membantunya untuk kabur supaya kasus yang membelitnya tidak terbongkar sampai ke akarnya. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum meyakini kasus Gayus H. Tambunan bukan hanya soal pidana pengelapan melainkan ada juga pidana korupsi dan pencucian uang. Pada tanggal 31 Maret 2010, Tim Penyidik Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri memeriksa tiga orang sekaligus. Selain Gayus H. Tambunan dan Brigjen Edmond Ilyas, ternyata Brigjen Raja Erisman juga ikut diperiksa.
21
Pemeriksaan dilakukan oleh tiga tim berbeda. Tim pertama memeriksa berkas lanjutan pemeriksaan Andi Kosasih, tim kedua memeriksa adanya keterlibatan anggota polri dalam pelanggaran kode etik profesi, dan tim ketiga menyelidiki keberadaan dan tindak lanjut aliran dana rekening Gayus. Pada tanggal 7 April 2010, Komisi III DPR mengendus seorang jenderal bintang tiga di Kepolisian diduga terlibat dalam kasus Gayus H. Tambunan dan seseorang bernama Syahrial Johan ikut terlibat dalam kasus penggelapan pajak yang melibatkan Gayus H. Tambunan, dari Rp. 24 milliar yang digelapkan Gayus, Rp 11 milliar mengalir kepada pejabat kepolisian, Rp 5 milliar kepada pejabat kejaksaan dan Rp 4 milliar di lingkungan kehakiman, sedangkan sisanya mengalir kepada para pengacara. Selain perkara di atas, Gayus diduga menerima suap dari Konsultan Pajak PT Metropolitan Retailment, Robertus Santonius, sebesar Rp 925 juta. Pemberian uang ini dilakukan karena terdakwa Gayus sudah membantu menyulap kewajiban pajak PT Metropolitan di tingkat banding. Akibatnya, banding PT Metropolitan dimenangkan sehingga negara harus membayar jumlah pajak PT Metropolitan yang lebih bayar Rp537,5 juta, pajak penghasilan Rp12,6 miliar dan pemberian imbalan bunga PT Metropolitan sebesar Rp2,6 miliar. Kemudian Gayus juga diduga menerima uang suap dari Konsultan Pajak Alif Kuncoro dalam rangka pengurusan pembuatan surat banding dan surat bantahan PT Bumi Resources sebesar US$500 ribu. Dalam kesempatan ini, Gayus sempat meminta adanya alokasi uang kepada Panitera Pengadilan Pajak Idris Irawan sebesar US$ 500.000. Selain membuat surat banding dan surat bantahan, Gayus juga diduga menerima uang dari Alif Kuncoro US$500.000 terkait pengurusan Surat Ketetapan Pajak PT Kaltim Prima Coal (KPC) periode 2001-2005. Selama ini, SKP PT KPC ditahan dan tidak dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Large Tax Office (KPPLTO) Gambir karena adanya permasalahan penetapan kurs mata uang terhadap kewajiban pajak PT KPC. Terdakwa Gayus juga diduga memperoleh uang US$2 juta dari Alif Kuncoro karena telah mengupayakan PT KPC dan PT Arutmin mendapatkan fasilitas sunset policy. Caranya dengan membuat Surat
22
Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Penghasilan (SPT PPh) tahun 2005-2006 sehingga
kedua
perusahaan
tersebut
mendapatkan
pembebasan
sanksi
administrasi.Atas perbuatannya, terdakwa diancam pidana primair Pasal 12B Ayat (1), (2) dan subsidair Pasal 5 Ayat (2) dan lebih subsidair Pasal 11 UU pemberantasan Korupsi jo. Pasal 65 Ayat (1) KUH Pidana. Perkara lainnya yang dicurigai tentang rekening Gayus yaitu kepemilikan uang senilai US$ 659.800 dan SGD 9,68 juta yang diduga sebagai gratifikasi. Uang tersebut ditemukan penyidik tersimpan dalam safe deposit box di Bank Mandiri, Kelapa Gading. Atas perbuatannya itu Gayus didakwa mengacu Pasal 12 B ayat 1 dan 2 subsider Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penerimaan uang tersebut tidak pernah dilaporkan kepada Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi. Atas perkara ini Gayus didakwa melanggar UU Pencucian Uang karena sengaja menyimpan hartanya yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di dalam safe deposit box. Harta dimaksud adalah uang miliaran rupiah dan 31 keping logam mulia yang perbuahnya seberat 100 gram serta satu buah kunci 'Mosler' nomor seri D3664 dengan gantungan kertas bertuliskan 288. Akibatnya ia didakwa melanggar Pasal 3 ayat 1 huruf a UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dan Gayus juga diduga telah menyuap sejumlah polisi yang bertugas di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok mencapai Rp264 juta. Salah satu yang disuap Gayus adalah Karutan Mako Brimob Kompol Iwan Siswanto. Pemberian ini dimaksudkan agar Gayus bisa diberi kemudahan untuk meninggalkan sel tahanan. Dan juga Gayus Tambunan dituding melakukan penyuapan sebesar $ 760.000 terhadap penyidik Mabes Polri M Arafat Enanie, Sri Sumartini, dan Mardiyani. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada 10 fakta kejanggalan yang terjadi dalam pengungkapan skandal mafia pajak dengan tersangka pegawai pajak Gayus HP Tambunan. Kejanggalan ini baik dari segi kasus hingga para penegak hukum.Peneliti hukum ICW Donald Faris mengungkapkan 10 kejanggalan tersebut. Berikut ini merupakan kejanggalan dan analisa versi ICW.
23
1. Gayus dijerat pada kasus PT Surya Alam Tunggal (SAT) dengan kerugian negara Rp 570.952.000, dan bukan pada kasus utamanya, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar, sesuai dengan yang didakwakan pada Dakwaan Perkara Pidana Nomor 1195/Pid/B/2010/PN.JKT.Sel.Pemilihan kasus PT SAT diduga merupakan skenario kepolisian dan kejaksaan untuk menghindar dari simpul besar kasus mafia pajak yang diduga menjerat para petinggi di kedua institusi tersebut. Kasus PT SAT sendiri amat jauh keterkaitannya dengan asal muasal kasus ini mencuat, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar milik Gayus.Dikatakan Donald, pernyataan ini sulit dibantah karena secara faktual beberapa petinggi kepolisian, seperti Edmon Ilyas, Pambudi Pamungkas, Eko Budi Sampurno, Raja Erizman, dan Kabareskrim dan Wakabareskrim, hingga kini tidak tersentuh sama sekali. Padahal, dalam kesaksiannya, Gayus pernah menyatakan pernah mengeluarkan uang sebesar 500.000 dollar AS untuk perwira tinggi kepolisian melalui Haposan. Tujuannya, agar blokir rekening uangnya dibuka. 2. Polisi menyita save deposit box milik Gayus Tambunan sebesar Rp 75 miliar. Namun, perkembangannya tidak jelas. Keberlanjutan pemeriksaan atas rekening lain milik Gayus dengan nominal mencapai Rp 75 miliar menjadi tidak jelas, karena polisi terkesan amat tertutup atas rekening yang secara nominal jauh lebih besar. 3. Kepolisian masih belum memproses secara hukum tiga perusahaan yang diduga menyuap Gayus, seperti KPC, Arutmin, dan Bumi Resource. Padahal, Gayus telah mengakui telah menerima uang 3.000.000 dollar AS dari perusahaan tersebut.Kepolisian seolah tutup kuping dari kesaksian Gayus di persidangan terkait kepemilikan rekening Rp 28 miliar yang berasal dari KPC, Arutmin, dan Bumi Resource. Hingga saat ini kepolisian belum memproses ketiga perusahaan tersebut. Padahal, Gayus sudah menyatakan bahwa dia pernah membuat Surat Pemberitahuan Pajak Pembetulan tahun pajak 20052006 untuk KPC dan Arutmin. Alasan kepolisian belum memproses kasus ini adalah belum cukup alat bukti. Alasan ini dinilai ICW mengada-ada.
24
Kesaksian Gayus di persidangan dinilai sudah cukup menjadi sebuah alat bukti yang sah di mata hukum. 4. Kompol Arafat dan AKP Sri Sumartini sudah divonis bersalah. Namun, petinggi kepolisian yang pernah disebut-sebut keterlibatannya oleh Gayus belum diproses sama sekali. Pihak kepolisian melokalisir kasus ini hanya sampai perwira menengah. Baik Kompol Arafat maupun AKP Sumartini seolah dijadikan tumbal dalam kasus tersebut. Padahal, mereka hanyalah pemain kecil dan tidak berkedudukan sebagai pemegang keputusan. Polri terkesan melindungi keterlibatan para perwira tinggi. 5. Kepolisian menetapkan Gayus, Humala Napitupulu, dan Maruli Pandapotan Manulung sebagai tersangka kasus pajak PT SAT. Namun, penyidik tak menjerat atasan mereka yang sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Hal ini merupakan bagian dari konspirasi tebang pilih penegak hukum kepada pelaku kecil dan tidak memiliki posisi daya tawar yang kuat. Selain ketiga tersangka tersebut, berdasarkan SK Direktorat Jenderal Pajak No: KEP-036/PJ.01/UP.53/2007, paling tidak ada dua nama yang seharusnya juga bertanggung jawab, yaitu Kepala Subdirektorat Pengurangan dan Keberatan, Johny Marihot Tobing dan Direktur Keberatan dan Banding, Bambang Heru Ismiarso. 6. Pada 10 Juni 2010 Mabes Polri menetapkan Jaksa Cirus Sinaga dan Poltak Manulang sebagai tersangka kasus suap dalam kasus penggelapan pajak yang dilakukan Gayus. Namun, tiba-tiba, status Cirus berubah menjadi saksi. Perubahan status ini dicurigai sebagai bentuk kompromi penegak hukum untuk menjerat pihak-pihak yang sebenarnya diduga terlibat. Hal ini amat mungkin terjadi karena dimensi kasus Gayus yang amat luas hingga pada petinggi kepolisian. 7. Kejaksaan Agung melaporkan Cirus ke kepolisian terkait bocornya rencana penuntutan. Namun, hal ini bukan karena kasus dugaan suap Rp 5 miliar dan penghilangan pasal korupsi serta pencucian uang dalam dakwaan pada kasus sebelumnya. Di satu sisi, langkah Kejaksaan Agung ini menimbulkan
25
pertanyaan, kenapa yang dilaporkan adalah kasus bocornya rentut, bukan kasus penghilangan pasal korupsi dan pencucian uang. Langkah ini diduga sebagai siasat untuk melokalisir permasalahan dan mengorbankan Cirus seorang diri. 8. Dirjen Pajak enggan memeriksa ulang pajak perusahaan yang diduga pernah menyuap Gayus karena menunggu novum baru. Padahal, pernyataan Gayus perihal uang sebesar 3.000.000 dollar AS diperolehnya dari Kaltim Prima Coal, Arutmin, dan Bumi Resource, bisa dijadikan sebuah alat bukti karena disampaikan dalam persidangan. 9. Gayus keluar dari Mako Brimob ke Bali dengan menggunakan identitas palsu. Menurut Donald, hal ini menunjukkan dua kejanggalan. Pertama, kepolisian tidak serius mengungkap kasus Gayus hingga tuntas sampai ke dalang sesungguhnya. Kepolisian juga belum tuntas untuk mencari persembunyian harta Gayus sehingga konsekuensinya dia begitu mudah bisa menyogok aparat penegak hukum. Kedua, Gayus memiliki posisi daya tawar yang kuat kepada pihak-pihak yang pernah menerima suap selama dia menjadi pegawai pajak. 10. Polri menolak kasus Gayus diambil alih KPK. Padahal, kepolisian terlihat tak serius menanggani kasus tersebut. Penolakan ini telah terjadi sejak Maret 2010. Saat itu, Kadiv Humas Polri Brigjen Edward Aritonang mengatakan, Polri masih sanggup menangani kasus tersebut. Pada kenyataanya, Gayus malah berpelesir ke Bali.
Berikut ini merupakan rincian vonis Gayus: 1. Gayus mendapatkan vonis tujuh tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2011 lalu. Hukuman bagi Gayus bertambah setelah dalam tahap banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menambah hukuman Gayus menjadi 10 tahun penjara. Sedangkan dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Gayus kembali mendapat tambahan hukuman menjadi 12 tahun penjara.
26
2. Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Tangerang juga memvonis Gayus dengan hukuman 2 tahun bui . Hal itu karena dalam persidangan Oktober 2011 lalu, Gayus terbukti bersalah dalam kasus pemalsuan paspor yang dia gunakan untuk bepergian selama dalam masa hukuman. 3. Gayus juga dihukum dalam kasus penggelapan pajak PT Megah Citra Raya, divonis 8 tahun penjara . 4. Gayus divonis enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Gayus divonis atas empat perkara, yakni menerima gratifikasi terkait pengurusan pajak, kepemilikan uang 659.800 dollar AS dan 9,68 juta dollar Singapura yang diduga gratifikasi. Gayus juga didakwa terkait pencucian uang dan menyuap petugas Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menambah hukuman terpidana kasus mafia pajak, Gayus Tambunan, menjadi 8 tahun penjara .
Berdasarkan rincian penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa lemahnya sistem hukum di negara kita. Terbukti dari mudahnya Gayus menyuap aparat hukum untuk memudahkan dirinya menghindar dari dugaan-dugaan yang diberikan kepadanya. Akibatnya Gayus sendiri sempat bebas dari penjara, lari ke Singapura dan sempat liburan ke Bali dalam proses penyidikan yang berlangsung. Selain itu juga dalam proses penyelidikan terdapat beberapa kasus atas dugaan yang tidak dapat ditemukan bukti-buktinya. Atas kasus gayus ini, pemerintah dan aparat penegak hukum didesak untuk mengungkap identitas wajib pajak yang tersangkut kasus mantan pegawai pajak Gayus Tambunan dan terindikasi pelanggaran. Pengungkapan itu penting bagi transparansi dan kontrol atas penegakan hukum kasus perpajakan.Menteri Keuangan Agus Martowardojo, secara terpisah, enggan memaparkan nama perusahaan atau perorangan yang menjadi wajib pajak dan tersangkut kasus Gayus tersebut. Menurut Agus, data para wajib pajak itu masih rahasia dan belum bisa disampaikan kepada publik.Ia hanya menyebutkan, ada enam modus pelanggaran kasus pajak yang melibatkan Gayus. Modus itu masih terus dikaji Kementerian Keuangan dan aparat
27
hukum terkait. Dari satu modus dugaan penyimpangan saja, terdeteksi melibatkan 40 wajib pajak dengan 61 putusan pajak. Agus mengungkapkan hasil audit tim bentukan pemerintah yang menunjukkan ada dugaan pelanggaran atau penyimpangan 19 wajib pajak dengan potensi kerugian negara Rp 645,99 miliar dan 21,1 juta dollar AS (sekitar Rp 204 miliar). Ada juga indikasi penyimpangan dua wajib pajak yang terkait sunset policy dengan potensi kerugian negara Rp 339 miliar. Selain itu, ICW juga memaparkan tiga modus yang dilakukan terdakwa kasus mafia pajak, Gayus Halomoan Tambunan, dalam mengurangi pajak tiga perusahaan Grup Bakrie: PT Bumi Resources, PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal (KPC). Menurut Ketua Divisi Monitoring Analisa Anggaran ICW Firdaus Ilyas, modus pertama dengan memanfaatkan perbedaan kurs untuk menurunkan kewajiban pajak KPC. Caranya, pajak hasil penjualan batu bara pada 2002-2005 yang dihitung dalam rupiah disamakan dengan pajak 2006-2009 dalam dolar. Dari selisih ini, Negara kehilangan potensi penerimaan pajak 2002-2005 sebesar US$ 164,62 juta. Modus kedua adalah dengan memainkan harga rata-rata tertimbang (WAP) batu bara, sehingga harga batu bara lebih rendah dari harga sesungguhnya dalam laporan keuangan Bumi Resources 2004-2009. Menurut Firdaus, akibat dari akal-akalan ini, potensi kerugian negara dari dana hasil penjualan batu bara itu sebesar US$ 255 juta. Modus lainnya adalah dengan menyajikan pendapatan KPC dan Arutmin selama 2004-2006 lebih rendah US$ 409 juta dari pendapatan seharusnya, yakni US$ 4,6 miliar. "Akibatnya, negara kehilangan potensi pendapatan pajak sebesar US$ 184,10 juta. Menurut Firdaus, aparat hukum bisa melakukan pengusutan kasus ini melalui laporan keuangan ketiga perusahaan itu dan dasar perhitungan di pengadilan pajak. Namun Firdaues menjadi keheranan karena pada waktu itu aparat hukum belum mau memeriksa orang-orang di Grup Bakrie yang terkait kasus ini.Padahal di persidangan, Gayus telah mengaku menerima sekitar US$ 3 juta dari ketiga perusahaan itu. Sebanyak US$ 500 ribu di antaranya untuk membantu mengurus Surat Ketetapan Pajak KPC pada 2001-2005, US$ 500 ribu untuk banding pajak Bumi Resources,
28
serta US$ 2 juta dari pembetulan Surat Pajak Tahunan Bumi Resources, KPC, dan Arutmin. Dari beberapa paparan ketereangan mengenai kerugian negara akibat dari kasus gayus ini, dapat dilihat bahwa kerugian negara kita cukup besar sekali. Berikut ini rinciannya: Nominal
No Kasus 1
PT SAT
570,952,000.00
bayar
Rp
537,500,000.00
PPH
Rp
12,600,000,000.00
Imbalan bunga
Rp
2,600,000,000.00
Metropolitan
Retailment Mengembalikan
3
US $
Rp
PT 2
Rp
lebih
Group bakrie: PT Kaltim Prima Coal
4
(KPC)
$
164,620,000.00
PT Bumi Resources
$
255,000,000.00
PT Arutmin Indonesia
$
184,100,000.00
Wajib Pajak (klien gayus)
TOTAL
Rp
645,990,000,000.00
Rp
204,000,000,000.00
Rp
339,000,000,000.00
Rp
1,205,298,452,000.00
$
603,720,000.00
Sumber: data diolah Berdasarkan rincian tabel di atas, dapat dilihat bahwa besarnya kerugian negara kita akibat perbuatan Gayus adalah sekitar Rp 1,2 T dan $603 juta.
29
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2011.
Dakwaan
Berlapis
untuk
Gayus.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e2d53109647d/dakwaan-berlapisuntuk-gayus (diakses tanggal 12 Juni 2015) Anonim.
2011.
Buka
Semua
Data
Pajak.
http://ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=10863&q=pajak%20penghas ilan%20pasal%2021&hlm=314 (diakses tanggal 12 Juni 2015) Anonim.
2013.
Indikator
Korupsi.
http://aulakehidupan.blogspot.com/2013/05/indikator-korupsi.html
(diakses
14
Juni 2015) Anonim.
2013.
Ungkap
Wajib
Pajak
Terkait
Gayus.
www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=12729&q=&hlm=23 (diakses tanggal 12 Juni 2015) Aritonang, D. K.2013. Kasasi Ditolak, Gayus Harus Mendekam 30 Tahun Penjara. http://nasional.kompas.com/read/2013/08/02/1216242/Kasasi.Ditolak.Gayus.Haru s.Mendekam.30.Tahun.di.Penjara diakses tanggal 12 Juni 2015 Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen Malau, Fadmin Prihatin. 2012. Menentukan Tindak Korupsi Harus Melihat Akar Masalah.http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2012/12/14/171/menentuk
an-tindak-korupsi-harus-melihat-akar-masalah/VXipj0aXovU (diakses 14 Juni 2015) Peraturan BPK-RI No 3 Tahun 2007 tentang tata cara penyelesaian ganti kerugian negara terhadap bendahara Pungki,
N.2014.
Makalah
Mengenai
Kasus
Korupsi
Gayus.
http://novapungki.blogspot.com/2014/06/makalah-mengenai-kasus-korupsigayus.html (diakses tanggal 12 Juni 2015)
30