LAPORAN PENDAHULUAN BENIGNA PROSTATE HYPERPLASI (BPH)
A. Pengertian 1. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005) 2. Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000) 3. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002) 4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999) 5. Menurut Doenges (1999) dan Engram (1998) untuk mengatasi BPH, tindakan infasif medikal yang sering digunakan oleh Rumah Sakit adalah prostatektomy,
yaitu
tindakan
pembedahan
bagian
prostat
(sebagian/seluruh) yang memotong uretra bertujuan untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut. Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran
Prostatektomy
urin
dengan
merupakan
cara
tindakan
menutupi
pembedahan
orifisium bagian
uretra. prostate
(sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut. B. Etiologi Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi
prostat
erat
kaitannya
dengan
peningkatan
kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah : 1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut 2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat 3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati 4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan. Pada umumnya dikemukakan beberapa teori : -
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
-
Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
-
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan
bertambahnya
umur
menyebabkan
terjadinya
produksi
testosteron dan terjadinya konversi testosteron menjadi estrogen. (Kahardjo, 1995). C. Patofisiologi Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan diubah menjadi dehidrotestosteron
(DHT)
dengan
bantuan
enzim
alfa
reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar
prostat
untuk
mensintesis
protein
sehingga
terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria). Karena produksi urin terus terjadi, maka suatu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
D. Manifestasi Klinis Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium : 1. Stadium I Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis. 2. Stadium II Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa tidak enak BAK atau disuria dan menjadi nokturia. 3. Stadium III Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc. 4. Stadium IV Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow inkontinen). Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa : Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut. Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini : 1. Rectal Gradding Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong : a. Grade 0
: Penonjolan prostate 0-1 cm ke dalam rektum.
b. Grade 1
: Penonjolan prostate 1-2 cm ke dalam rektum.
c. Grade 2
: Penonjolan prostate 2-3 cm ke dalam rektum.
d. Grade 3
: Penonjolan prostate 3-4 cm ke dalam rektum.
e. Grade 4
: Penonjolan prostate 4-5 cm ke dalam rektum.
2. Clinical Gradding Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter. a. Normal
: Tidak ada sisa
b. Grade I
: sisa 0-50 cc
c. Grade II
: sisa 50-150 cc
d. Grade III
: sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
E. Pathway
F. Komplikasi 1. Perdarahan
2. Inkotinensia 3. Batu kandung kemih 4. Retensi urine 5. Impotensi 6. Epididimitis 7. Haemorhoid, hernia, prolaps rectum akibat mengedan 8. Infeksi saluran kemih disebabkan karena catheterisasi 9. Hydronefrosis
G. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien. b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur. c. PSA
(Prostatik
Spesific
Antigen)
penting diperiksa
sebagai
kewaspadaan adanya keganasan. 2. Pemeriksaan Uroflowmetri Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian : a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk
= non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line. c. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk
= obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik a. BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang. b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk
residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik. c. IVP (Pyelografi Intravena) Digunakan untuk melihat fungsi ekskresi ginjal dan adanya hidronefrosis. 4. Pemeriksaan Panendoskop : untuk
mengetahui keadaan uretra dan
buli – buli. 5. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena mahal biayanya. 6. Pemeriksaan sistografi Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
H. Penatalaksanaan Modalitas terapi BPH adalah : 1. Observasi Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien 2. Medikamentosa Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan dari:
phitoterapi
berasal
(misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll),
gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen. 3. Pembedahan Indikasi pembedahan pada BPH adalah : a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut. b. Klien dengan residual urin > 100 ml. c. Klien dengan penyulit. d. Terapi medikamentosa tidak berhasil. e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan : a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy) Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih. c. Prostatektomi retropubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih. d. Prostatektomi Peritoneal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum. e. Prostatektomi retropubis radikal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat. 4. Terapi Invasif Minimal a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT) Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui /pada ujung kateter. b. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP) c. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
I.
Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Fokus a. Eliminasi Gejala
: Penurunan kekuatan/dorongan aliaran urin, tetes, ragu-ragu berkemih, nokturia, disuria, hematuria.
Tanda
: Massa padat dibawah abdomen bawah (Distensi Kandung kemih, nyeri tekan kandung kemih ).
b. Nyeri/ kenyamanan Gejala
: Nyeri suprapubis, panggul,punggung bawah
c. Sirkulasi
: Peninggian tekanan darah
d. Psikososial
: Ekspresi takut akibat inkontinensia, gangguan Seksualitas
e. Pemeriksaan Diagnostik 1) Urinalisa
: Warna kuning,coklat gelap,merah gelap atau
terang ( berdarah ),PH 7 atau lebih. 2) Kultur urin
: Ada staphylococcus Aureus, E.Colly, Proteus,
Pseudomonas. 3) BUN / Kreatinin: Meningkat pada gangguan ginjal 4) SDP
: Lebih dari 11.000
5) Ultrasonografi transrektal dan suprapubic untuk mengetahui ukuran prostat. 2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan Benigna Prostate Hyperplasi (BPH), antara lain : a. Retensi Urin ( Akut/kronik ) b.d. obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekompensasi otot detrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat. Data pendukung : Frekuensi, keragu-raguan, ketidakmampuan mengosongkan
kandung
kemih
dengan
lengkap,
inkontinensia/menetes, distensi kandung kemih dan residu urin lebih dari 50 cc. Hasil yang diharapkan : Pasien menunjukan : -
Peningkatan pola BAK
-
Tidak teraba distensi abdomen
-
Menunjukan residu setelah berkemih kurang dari 50 ml, tidak adanya tetesan/kelebihan aliran.
Intervensi/tindakan: 1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam atau bila pasien tibatiba merasa untuk berkemih. Rasional : Meminimalkan terjadinya retensi urin yang berlebihan pada
kandung kemih.
2) Awasi dan catat waktu, jumlah setiap berkemih, perhatikan penurunan haluaran urin. Rasional : Untuk mengetahui kemampuan ginjal untuk berfungsi secara normal 3) Palpasi area supra pubik. Rasional : Retensi urin dapat diketahui dengan palpasi daerah suprapubik, yaitu teraba adanya masa pada daerah abdomen bawah. 4) Anjurkan pasien untuk mengintake cairan 3000 ml/hari ( 10 – 15 gelas perhari. Rasional : Peningkatan intake cairan dapat mempertahankan perfusi ke ginjal dan kandung kemih dari pertumbuh bakteri
5) Observasi tanda-tanda vital setiap jam.Awasi terjadinya hipertensi, edema perifer, perubahan mental.Timbang berat badan setiap hari,ukur intake dan output cairan setiap hari. Rasional : Kehilangan fungsi ginjal menyebabkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik ; dapat berlanjut pada terjadinya gagal ginjal total. 6) Lakukan kompres hangat atau rendam duduk. Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot, menurunkan edema dan merangsang untuk berkemih. 7) Tindakan kateterisasi menggunakan Kateter coude Rasional : Mengurangi dan mencegah retensi urin. Kateter Coude diperlukan karena ujungnya lengkung sehingga memudahkan masuknya selang melalui uretra prostat. 8) Kolaborasi pemberian antispasmodik misalnya oksibutinin klorida (Ditropan). Rasional : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi kateter. 9) Memberiakan antibiotik Rasional : Untuk melawan infeksi. 10) Siapkan untuk drainase urin, misalnya sistostomy. Rasional : untuk mengalirkan urin selama episode akut dengan azotemia. 11) Lakukan hipertermi transuretral ( pemanasan bagian sentral prostat dengan memasukan elemen pemanas melalui uretra) Rasional : Mengecilkan prostat ( 1 - 2 kali/ minggu ) b. Nyeri Akut b.d. iritasi mukosa ; distensi kandung kemih, kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi. Data Pendukung : Keluhan nyeri,penyempitan ureter; perubahan tonus otot, meringis, gelisah, respon otonomik. Kriteria evaluasi / hasil yang diharapkan : Pasien akan : -
Memberitahukan nyeri hilang/ terkontrol
-
Tampak rileks
-
Istirahat dengan tenang.
Intervensi : 1) Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Gunakan skala nyeri (0-10) 0 (tidak ada nyeri) 10 (nyeri yang paling hebat). 2) Jelaskan penyebab rasa sakit dan cara menguranginya 3) Kolaborasi terapi dengan pemberian Analgesik sesuai program. 4) Ajarkan teknik mengatasi rasa nyeri : napas dalam untuk menurunkan stress dan membantu rilaks otot yang tegang 5) Kompres es pada daerah yang sakit untuk mengurangi nyeri 6) Ciptakan lingkungan yang tenang c. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b.d. pasca obstruksi diuresis dari drainase cepat, kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis ; Endokrin, ketidakseimbangan elektrolit ( disfungsi ginjal ) Data pendukung : (Tidak dapat diterapkan ; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual ). Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi : Pasien akan mempertahankan hidrasi yang adekuat yang dibuktikan dengan tanda-tanda vital dalam batas normal, pengisian kapiler baik, dan membran mukosa lembab. Intervensi / rencana tindakan : 1) Monitor pengeluaran urin tiap jam. Rasional : Diuresis dapat meneyababkan kekurangan volume cairan, karena natrium tidak cukup diabsorbsi dalam tubulus ginjal. 2) Monitor tanda-tanda vital
: nadi, tekanan darah; evaluasi
pengisian kapiler dan membran mukosa oral Rasional : untuk mendeteksi terjadinya hipovolemik. 3) Motivasi pasien untuk meningkatkan intake cairan peroral Rasional : untuk mengimbangi cairan yang keluar akibat diuresis 4) Berikan posisi semi fowler kepala pasien Rasional : Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis sirkulasi. 5) Berikan cairan IV
Rasional : Menggantikan cairan yang hilang. d. Ketakutan / ansietas b.d perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur/ malignansi Data pendukung : Perut tegang Hasil yang diharapkan : Rasa takut dan tegang berkurang, pasien tampak rileks. Intervensi : 1) Selalu bersama – sama dengan pasien bina hubungan saling percaya Rasional : Menunjukan perhatian dan keinginan untuk membantu 2) Berikan informasi tentang tanda / prosedur dan tes khusus seperti pemasangan kateter, urin berdarah, iritasi pada kandung kemih. Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang tujuan dari apa yang dilakukan, sehingga dapat mengurangi rasa takut dan kecemasan 3) Anjurkan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya kepada orang terdekat Rasional : mengurangi kecemasan e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang terpapar terhadap informasi, tidak mengenal sumber informasi Data pendukung : Pasien sering bertanya tentang penyakit, pasien tidak melakukan intervensi sesuai instruksi. Hasil yang diharapkan / Kriteria evaluasi : -
Pasien akan memahami tentang proses penyakit
-
Pasien akan dapat mengidentifikasi tentang tanda dan gejala proses penyakit
-
Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Tindakan/Intervensi : Pendidikan Kesehatan 1) Berikan informasi tentang penyakit : pengertian,etiologi, tanda dan gejala penyakit. 2) Berikan informasi
kepada pasien bahwa penyakit ini tidak
ditularkan secara seksual atau melalui hubungan seksual.
3) Anjurkan pasien untuk menghindari makanan berbumbu, kopi, alkohol, mengemudikan dalam waktu yang lama, karena dapat menyebabkan iritasi dan meningkatkan produksi urin sehingga terjadi distensi otot bladder. 4) Berikan latihan berkemih kepada pasien post pemasangan kateter. 5) Anjurkan kepada pasien untuk melakukan kunjungan ulang selama 6 bulan sampai 1 tahun.