LAPORAN OBSERVASI OB SERVASI MIKROBIOLOGI LINGKUNGAN LINGKUNGAN
PEMANFAATAN LIMBAH SABUT KELAPA DENGAN PEMAKAIAN E F F E C T I V E (EM4) M I CROOR CROORGANI GANI SM
SEBAGAI PRODUK PUPUK ORGANIK CAIR (POC)
Dosen Pengampu: Dr. Hj. Ulfa Utami, M.Si
Oleh: Merza Zumairy (11620044)
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2014
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limbah sabut kelapa merupakan sisa buah kelapa yang sudah tidak terpakai yaitu bagian terluar buah kelapa yang membungkus tempurung kelapa yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis. Padahal sabut kelapa yang merupakan hasil samping dari buah kelapa ini, dan merupakan bagian terbesar dari buah kelapa yaitu sekitar 35 % dari bobot buah kelapa. Dengan demikian, apabila secara rata-rata produksi buah kelapa per tahun adalah sebesar 5,6 juta ton, maka berarti terdapat sekitar 1,9 juta ton sabut kelapa yang dihasilkan. Potensi produksi sabut kelapa yang sedemikian besar belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk kegiatan produktif yang dapat meningkatkan nilai tambahnya. Pemanfaatan sabut kelapa sebagian besar adalah pada sabut kelapa yang sudah kering misalnya untuk pembuatan kerajinan, atau sebagai bahan bakar, sedangkan untuk sabut kelapa yang masih basah masih jarang dimanfaatkan. Limbah organik dapat dimanfaatkan lagi menjadi sesuatu yang berguna lewat pembuatan pupuk organik. Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya, nilai Corganik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik (Djuarnani, 2005). Di dalam sabut kelapa terkandung unsur-unsur hara dari alam yang sangat dibutuhkan tanaman yaitu berupa Nitogen (N). Disamping kandungan unsur-unsur lain seperti Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Kalium (K), Natrium (Na) dan Fospor (P). Nitrogen ini merupakan salah satu unsur yang diperlukan bagi tanaman, karena salah satu sifat positif dari Nitogen yaitu menyuburkan tanaman. Sabut kelapa dimana di dalamnya terkandung unsur nitrogen, apabila direndam maka nitrogen dalam sabut tersebut dapat larut dalam air disamping terjadi proses fermentasi oleh bakteri EM4, sehingga menghasilkan air rendaman yang mengandung unsur nitrogen. Air hasil rendaman yang mengandung unsur Nitrogen tersebut sangat baik jika diberikan sebagai pupuk untuk tanaman guna mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut salah satu konsumen yang berprofesi sebagai seorang petani, dari lahan yang menggunakan pupuk cair sabut kelapa sama dengan lahan yang menggunakan
pupuk kimia NPK buatan pabrik. Keuntungan lahan yang menggunakan pupuk cair sabut kelapa, biaya produksi lebih sedikit karena tidak perlu keluar uang membeli pupuk NPK. Oleh karena itu, observasi ini bertujuan untuk melihat secara langsung pembuatan pupuk organik cair dari rendaman sabut kelapa, kotoran hewan da n bakteri EM4, serta mengetahui komposisi dalam pembuatan pupuk organik cair dari rendaman sabut kelapa dan campuran bakteri EM4.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah observasi ini adalah : 1. Bagaimana pembuatan pupuk kompos cair dengan memanfaatkan limbah serabut kelapa dan kotoran sapi difermentasi dengan mikroba EM4 ? 2. Apa fungsi limbah serabut kelapa dan kotoran sapi dalam pembuatan pupuk kompos cair?
1.3 Tujuan
Tujuan dari observasi ini adalah : 1. Untuk mengetahui pembuatan pupuk kompos cair dengan memanfaatkan limba serabut kelapa dan kotoran sapi yang difermentasi dengan mikroba EM4. 2. Untuk mengetahui fungsi limbah serabut kelapa dan kotoran sapi dalam pembuatan pupuk kompos cair.
1.4 Manfaat
Manfaat dilakukannya observasi ini adalah : 1. Mengetahui cara pembuatan pupuk kompos cair dengan pemanfaatan limbah dan mikroba. 2. Mengetahui potensi yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman. 3. Mengetahui cara memanfaatkan limbah dengan bantuan mikroba.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sabut Kelapa
Tanaman kelapa disebut juga tanaman serbaguna, karena dari akar sampai ke daun kelapa bermanfaat, demikian juga dengan buahnya. Buah adalah bagian utama dari tanaman kelapa yang berperan sebagai bahan baku industri. Buah kelapa terdiri dari beberapa komponen yaitu sabut kelapa, tempurung kelapa, daging buah kelapa, dan air kelapa. Daging buah adalah komponen utama, sedangkan air, tempurung, dan sabut sebagai hasil samping ( by product ) dari buah kelapa. Buah kelapa mempunyai diameter 15 – 20 cm berwarna hijau, coklat, atau kuning (Mahmud Zainal, 2005). Limbah sabut kelapa merupakan sisa buah kelapa yang sudah tidak terpakai yaitu bagian terluar buah kelapa yang membungkus tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri atas lapisan terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium). Satu butir buah kelapa menghasilkan 0,4 kg sabut yang mengandung 30 % serat. Dengan komposisi kimia sabut kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas, arang, ter, tannin, dan potassium (Rindengan et al., 1995). Menurut Prawoso, 2001: kandungan unsur hara dan air dalam sabut kelapa adalah sebagai berikut: air 53,83%, N: 0,28% ppm, P:0 ppm, K: 6,726 ppm, Ca: 140 ppm, Mg: 170 ppm.
2.2 Pupuk Organik Cair
Pupuk organik cair adalah pupuk yang berbentuk cairan, dibuat dengan cara melarutkan kotoran ternak, daun jenis kacang-kacangan dan rumput jenis tertentu ke dalam air. Pupuk cair mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan, kesehatan tanaman. Unsur-unsur hara itu terdiri dari: unsur nitrogen untuk pertumbuhan tunas, batang, dan daun. Unsur fosfor untuk merangsang pertumbuhan akar, buah, dan biji. Unsur kalium untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Pupuk organik cair ini merupakan salah satu jenis pupuk yang banyak beredar di pasaran. Pupuk ini kebanyakan diaplikasikan melalui daun atau disebut sebagai pupuk cair foliar yang mengandung hara makro dan mikro esensial (N,P, K, S, Ca, Mg, B, Mo, Cu, Fe, Mn, dan bahan organik). Pupuk organik cair selain dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, juga membantu meningkatkan produksi tanaman, meningkatkan kualitas produk tanaman, mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan sebagai alternatif pengganti pupuk kandang. Pupuk organik cair mempunyai beberapa manfaat diantaranya adalah (Umniyantie 2013):
1. Dapat mendorong dan meningkatkan pembentukan klorofil daun dan pembentukan bintil akar pada tanaman leguminosae sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman dan penyerapan nitrogen dari udara. 2. Dapat meningkatkan vigor tanaman sehingga tanaman menjadi kokoh dan kuat, meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan, cekaman cuaca dan serangan patogen penyebab penyakit. 3. Merangsang pertumbuhan cabang produktif 4. Meningkatkan pembentukan bunga dan bakal buah, serta 5. Mengurangi gugurnya daun, bunga, dan bakal buah. Pemberian pupuk organik cair harus memperhatikan konsentrasi atau dosis yang diaplikasikan terhadap tanaman. Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair melalui daun memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman yang lebih baik dari pada pemberian melalui tanah. Semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka kandungan unsur hara yang diterima oleh tanaman akan semakin tinggi, begitu pula dengan semakin seringnya frekuensi aplikasi pupuk daun yang dilakukan pada tanaman, maka kandungan unsur hara juga semakin tinggi. Namun pemberian dalam dosis berlebihan justru akan mengakibatkan timbulnya gejala kelayuan pada tanaman (Dewi, 2012)
2.3 Mikroba EM4
EM-4 singkatan dari Effective Microorganisme, yaitu biakan bakteri yang biasanya digunakan sebagai activator kompos. Bakteri ini sangat berguna untuk mengembalikan sifat kimia tanah. EM-4 pertama kali ditemukan oleh Prof. Teruo Higa dari Universitas Ryukyus. Jepang. Dalam EM 4 ini terdapat sekitar 80 genus microorganisme fermentor. Microorganisme ini dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasikan bahan organik. Secara global terdapat 5 golongan yang pokok yaitu (Anwar, 2008) : 1. Bakteri fotosintetik 2. Lactobacillus sp 3. Streptomycetes sp 4. Ragi (yeast) 5. Actinomycetes Biakan bakteri selain EM-4 ada banyak, tetapi karena EM-4 adalah yang pertama kali masuk pasar maka semuanya disebut dengan EM, meski mereknya berbeda. Misalnya Probio7, TON, Migro, Stardec, OrgaDec dan lain- lain. Pada prinsipnya bakteri itu berkeliaran di udara dan juga disekitar kita, di tanah, di dalam air dan lain-lain. Kitapun bisa menangkapnya dengan mudah. Hanya karena kita menangkapnya sekedar menangkapnya saja, bakteri yang
kita tangkap menjadi bermacam-macam. Para bakteriolog, mempelajarinya satu-persatu kemudian meneliti bakteri tersebut, kemudian memisahkan dan membiakkannya secara khusus bakteri-bakteri tersebut, sehingga menghasilkan bakteri-bakteri yang bermanfaat (Anwar, 2008). Sebagai starter mikroorganisme pada proses dekomposer EM4 menjadi begitu penting dalam dunia pertanian organik. Jika kita harus membeli EM4 tersebut harganya lumayan mahal, padahal ada berbagai cara untuk membuat EM4 sendiri dengan harga bahan baku yang sangat murah (Buckle,1985 ). Manfaat aplikasi EM4 dibidang pertanian yaitu (Buckle,1985) : 1. Memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. 2. Meningkatkan produksi tanaman dan menjaga kestabilan produksi. 3. Memfermentasi dan mendekomposisi bahan organik tanah dengan cepat (Bokashi). 4. Menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. 5. Meningkatkan keragaman mikroba yang menguntungkan di dalam tanah.
2.4 Pengertian Pupuk Kompos
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003). Sedangkan pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan (Denian, 2001). Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-rata persentase bahan organik sampah mencapai ±80%, sehingga pengomposan merupakan alternatif penanganan yang sesuai. Kompos sangat berpotensi untuk dikembangkan mengingat semakin tingginya jumlah sampah organik yang dibuang ke tempat pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan lepasnya gas metana ke udara. DKI Jakarta menghasilkan 6000 ton sampah setiap harinya, di mana sekitar 65%-nya adalah sampah organik. Dan dari jumlah tersebut, 1400 ton dihasilkan oleh seluruh pasar yang ada di Jakarta, di mana 95%-nya adalah sampah organik. Melihat besarnya sampah organik yang dihasilkan oleh masyarakat, terlihat potensi untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk organik demi kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat (Denian, 2001).
Pada dasarnya semua bahan-bahan organik padat dapat dikomposkan, misalnya: limbah organik rumah tangga, sampah-sampah organik pasar/kota, kertas, kotoran/limbah peternakan, limbah-limbah pertanian, limbah-limbah agroindustri, limbah pabrik kertas, limbah pabrik gula, limbah pabrik kelapa sawit, dll. Bahan organik yang sulit untuk dikomposkan antara lain: tulang, tanduk, dan rambut (Anwar, 2008). Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik maupun anaerobik, dengan atau tanpa aktivator pengomposan. Aktivator pengomposan yang sudah banyak beredar antara lain PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko Organic Decomposer dan SUPERFARM (Effective Microorganism)atau menggunakan cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator memiliki keunggulan sendiri-sendiri (Anwar, 2008). Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang terlalu sulit. Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik (Anwar, 2008). Hasil akhir dari pengomposan ini merupakan bahan yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan tanah-tanah pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih tinggi. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah dapat digunakan untuk menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanian, menggemburkan kembali tanah petamanan, sebagai bahan penutup sampah di TPA, eklamasi pantai pasca penambangan, dan sebagai media tanaman, serta mengurangi penggunaan pupuk kimia (Denian, 2001). Bahan baku pengomposan adalah semua material orgaengandung karbon dan nitrogen, seperti kotoran hewan, sampah hijauan, sampah kota, lumpur cair dan limbah industri pertanian. Berikut disajikan bahan-bahan yang umum dijadikan bahan baku pengomposan (Anwar, 2008).
2.4.1 Manfaat pupuk kompos
Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah. Aktivitas mikroba tanah juga d iketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit. Tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya
daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, misal: hasil panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak (Anwar,2008). Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek (Anwar,2008) : a. Aspek Ekonomi : 1. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah 2. Mengurangi volume/ukuran limbah 3. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya b. Aspek Lingkungan : 1. Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan pelepasan gas metana dari sampah organik yang membusuk akibat bakteri metanogen di tempat pembuangan sampah 2. Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan c. Aspek bagi tanah/tanaman: 1. Meningkatkan kesuburan tanah. 2. Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah. 3. Meningkatkan kapasitas penyerapan air oleh tanah. 4. Meningkatkan aktivitas mikroba tanah. 5. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi , dan jumlah panen). 6. Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman. 7. Menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman. 8. Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah. Peran bahan organik terhadap sifat fisik tanah di antaranya merangsang granulasi, memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan kemampuan menahan air. Peran bahan organik terhadap sifat biologis tanah adalah meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan pada fiksasi nitrogen dan transfer hara tertentu seperti N, P, dan S. Peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah adalah meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga memengaruhi serapan hara oleh tanaman (Anwar, 2008). Beberapa studi telah dilakukan terkait manfaat kompos bagi tanah dan pertumbuhan tanaman.
Penelitian
Abdurohim
(2008)
menunjukkan
bahwa
kompos
memberikan
peningkatan kadar Kalium pada tanah lebih tinggi dari pada kalium yang disediakan pupuk NPK, namun kadar fosfor tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan NPK. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman yang ditelitinya ketika itu, caisin (Brassica oleracea), menjadi lebih baik dibandingkan dengan NPK (Anwar, 2008).
2.4.2 Proses Pengomposan
Proses pengomposan akan segera berlansung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o - 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan (Anwar, 2008). Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan, karena selama proses pengomposan akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (Anwar, 2008). Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri (Anwar, 2008).
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Profil Tempat
Observasi tentang pemanfaatan limbah organic berupa serabut kelapa yang difermentasi dengan mikroba EM4 menjadi pupuk kompos cair, dilakukan di Jl. Sidenreng 1 C3 C9 65138 RT 1 RW 8 Kecamatan Kedungkandang, Kelurahan Lesanpuro, Malang. Obervasi dilaksanakan pada hari jum’at tanggal 13 juni 2014. Pukul 15.00 WIB sampai selesai.
3.2 Pola pengolahan
Observasi yang telah dilakukan yaitu pengolahan serabut kelapa yang difermentasi dengan mikroba EM4 untuk menghasilkan pupuk kompos cair dan bermanfaat untuk produktivitas tanaman, pengolahannya cukup mudah, hanya saja membutuhkan waktu fermentasi yang cukup lama yaitu 30 hari (1 bulan). Dan mahasiswa tidak bisa mengtahui secara langsung pembuatan EM4. Karena tempat observasi hanya mengolahnya menjai pupuk dengan sudah tersedia mikroba EM4 dari laboratorium atau bakteri EM4 yang dipakai pengolah membelinya dari pembiak bakteri. Ada beberapa metode yang harus di lakukan, yaitu : 1. Disiapkan alat dan bahan seperti : tong ukuran 150.000 kg serta penutupnya, air, serabut kelapa, tetes tebu, mikroba EM4. 2. Dimasukkan serabut kelapa penuh kedalam tong. 3. Dimasukkan kotoran sapi penuh kedalam tong. 1:1 dengan serabut kelapa. 4. Dimasukkan air, tetes tebu, dan mikroba EM4 bandingannya 1:1:1. 5. Didiamkan selama satu bulan (30 hari) (fermentasi). 6. Digunakan pupuk cair yang telah difermentasi dengan konsentrasi pemakaian 1 ml dalam 1-2 liter air.
3.3 Analisis
Observasi yang dilakukan ialah mengamati secara langsung pembuatan pupuk organik cair yang memanfaatkan limbah sabut kelapa sebagai bahan organik yang menambah nilai zat hara Nitrogen (N) dengan cara menambahkan bakteri EM4 untuk fermentasi dan limbah organik seperti kotoran hewan atau daun-daun. Pembuatan pupuk organi cair ini sangat mudah dan sederhana, serta biaya yang dibutuhkan jauh lebih kecil dibanding membeli pupuk jadi anorganik.
Pembuatan pupuk ini diawali dengan menyediakan bakteri EM4 yang bisa diperoleh dari produsen, jadi tidak harus mengembangbiakkannya sendiri. Menurut informasi di lapangan, bakteri EM4 yang digunakan, tidak seperti bakteri EM4 pada umumnya, bakteri ini diperoleh dari seorang pengembang bakteri EM4 yang telah melakukan penelitian dan penemuan baru, ia mengklaim bahwa bakteri ini jauh labih beragam dari bakteri EM4, dan labolatorium di Indonesia belum tentu dapat mengidentifikasi semua bakteri tersebut. Informan mengetakan bahwa, bakteri yang terdapat pada cairan ini, terkandung semua bakteri EM4 dan juga mengandung bakteri-bakteri lain yang tentunya membantu mengoptimalkan unsur hara yang terkandung dalam pupuk jadi nanti. Namun, sayangnya informan juga tidak tahu lebih rinci bakteri lain apa saja terkandung dalam bakteri starter tersebut. Proses kedua yaitu menyediakan sabut kelapa dan tong besar volume 150.000 kg. Semua sabut kelapa dimasukkan dalam tong tersebut hingga penuh, lalu bakteri fermentasi dimasukkan, beserta penambahan tetes tebu sebagai media pengembakbiakan bakteri, serta ditambahkan kotoran hewan atau dedaunan. Rasio pemberian tidak diukur dengan pasti, karena pembuat pupuk ini masih sangat sederhana, jadi hanya mengandalkan perkiraan saja. Proses selanjutnya yaitu proses perendaman/pendiaman yang bertujuan untuk fermentasi yang dilakukan kurang lebih selama 1 bulan. Proses ini tentunya dilakukan dalam keadaan tong tertutup rapat. Proses terakhir ialah pengemasan. Meskipun diproduksi secara sederhana, pembuat pupuk ini juga telah memasarkannya namun dalam lingkup yang masih terbatas. Pengemansan dilakukan dengan cara memasukkan pupuk organik cair jadi tersebut kedalam botol-botol voume 1 liter. Penggunaan pupuk organik cair ini bisa diatakan sangat efisien, karena hanya menggunakan sekitar 1-2 ml pupuk organik cair ini, lalu ditambahkan dengan 1 liter air bersih sudah bisa digunakan untuk pupuk tanaman dengan cara disiram. Disamping itu, menurut informan hasil yang didapatkan juga lebih baik dibanding menggunakan pupuk pabrik, meskipun hasil secara kuantitatifnya informan maupun penulis belum mengetahui secara pasti. Namun, hal ini merupakan suatu terobosan baru yang inovatif serta ramah lingkungan, mengingat dewasa ini masyarakat sudah lebih menyadari akan kelestarian lingkungan sekitar, dan kembali pada alam merupakan konsep hidup yang mulai disadari kebaikannya oleh masyarakat. Menurut Umniyantie (2013) penerapan sistim pertanain organik yakni dengan penambahan aplikasi pupuk mikroba sebagai aktivator dalam budidaya tanaman, dapat menghemat biaya produksi. Beberapa komodiatas tanaman telah diuji coba seperti buncis, padi, kentang, bawang dan lain-lain dibeberapa tempat di Indonesia telah terbukti dapat menurunkan biaya produksi, sementarahasil panenan pada umumnya dapat ditingkatkan antara 5-20%. Disamping itu, waktu panenpun dapat dipercepat rata-rata antara
7-14 hari I (Nyoman P. Aryantha.dkk, 2010). Aktivator pegomposan yang sudah banyak beredar antara lain PROMI (Promoting Microbes),OrgaDec, SuperDec,AtoComp,BioPos, EM4,SUPERFARM atau menggunakan cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator meiliki keunggulan sendiri. Pupuk organik sudah lama dikenal para petani, jauh sebelum Revolusi Hijau berlangsung di Indonesia pada tahun 1960-an. Namun sejak Revolusi Hijau petani mulai banyak menggunakan pupuk buatan karena praktis penggunaanya dan sebagian besar varietas unggul memang membutuhkan hara makro (NPK) yang tinggi dan harus cepat tersedia. Bangkitnya kesadaran sebagian masyarakat akhir-akhir ini akan dampak penggunaan pupuk buatan terhadap lingkungan dan terjadinya penurunan kesuburan tanah mendorong dan mengharuskan penggunaan pupuk organik (Simanungkalik,dkk, 2006).
Salah satu bagian
yang terpenting dari tanaman kelapa adalah buah kelapa. Bagian dari buah kelapa yang diambil untuk dimanfaatkan sebagai bahan masakan adalah daging buah dan air kelapanya, sehingga sabut kelapa dibuang begitu saja dan kurang dimanfaatkan. Oleh karena itu, studi pemanfaatan sabut kelapa perlu dilakukan agar lebih memiliki nilai guna, sehingga dapat mereduksi jumlah sabut kelapa dalam timbunan sampah. Pertiwi dan Herumurti (2009) dalam penelitiannya sabut kelapa mengandung unsur karbon (C) sehingga dapat dijadikan bahan karbon aktif. Sunarti (1996) melaporkan bahwa K 2O yang terkandung di dalam abu sabut kelapa adalah sebesar 10,25%. Pupuk organik memiliki beberapa sifat antara lain (Umniyantie, 2013): - Mampu memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah. - Meningkatkan daya serap tanah terhadap air. - Meningkatkan aktivitas mikroorganisme didalam tanah. - Sumber hara bagi tanah. - Ramah lingkungan - Meningkatkan kuantitas dan kualitas tanaman. Umniyantie (2013) menjelaskan bahwa EM4 yang merupakan kumpulan mikroba terpilih ini berbentuk cair dan dikemas dalam botol, sehingga mudah dibawa dan disimpan dengan aman.Penggunaan cairan EM4 ini sangat irit, dengan cara mencampurkannya dalam media yang berupa sampah organik atau bahan-bahan organik yang lainnya yang dapat dipakai sebagai bahan baku kompos.Setiap bahan organik yang akan terfermentasi oleh mikroba EM4 dalam kondidi semi anaerob/anaerob pada suhu 40-50 ⁰ C. Pembutan pupuk organik menggunakan teknologi EM4 pada dasarnya adalah proses pengomposan yang terjadi secara ferementatif. Untuk menjaga proses pengomposan ini agar terjadi secara baik dengan terpenuhinya persyaratan pengomposan antara lain suhu, oksigenasi dan kadar airmaka
pengomposan ini dilakukan dalam kondisi tertutup atau ditutup atau dimasukkan ke wadah fermentor. Pupuk cair mengandung unsur-unsur
hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan,
per- kembangan, kesehatan tanaman. Unsur-unsur hara itu terdiri dari (Waryanti, 2014): 1. Unsur Nitrogen (N), untuk pertumbuhan tunas, batang dan daun. 2. Unsur Fosfor (P), untuk merangsang pertumbuhan akar buah, dan biji. 3. Unsur Kalium (K), untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Pemberian pupuk organik cair harus memperhatikan konsentrasi atau dosis yang diaplikasikan terhadap tanaman. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair melalui daun memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman yang lebih baik daripada pemberian melalui tanah. Semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka kandungan unsur hara yang diterima oleh tanaman akan semakin tinggi, begitu pula dengan semakin seringnya frekuensi aplikasi pupuk daun yang dilakukan pada tanaman, maka kandungan unsur hara juga semakin tinggi. Namun, pemberian dengan dosis yang berlebihan justru akan mengakibatkan timbulnya gejala kelayuan pada tanaman (Suwandi & Nurtika, 1987 dalam Rizqiani, 2007).
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan hasil observasi yaitu: 1. Pembuatan pupuk organik cair yang memanfaatkan sabut kelapa, kotoran hewan dan bakteri fermentor EM4 dilakukan dengan cara:
Disiapkan alat dan bahan seperti : tong ukuran 150.000 kg serta penutupnya, air, serabut kelapa, tetes tebu, mikroba EM4.
Dimasukkan serabut kelapa penuh kedalam tong.
Dimasukkan kotoran sapi penuh kedalam tong. 1:1 dengan serabut kelapa.
Dimasukkan air, tetes tebu, dan mikroba EM4 bandingannya 1:1:1.
Didiamkan selama satu bulan (30 hari) (fermentasi).
Digunakan pupuk cair yang telah difermentasi dengan konsentrasi pemakaian 1 ml dalam 1-2 liter air.
2. Pemanfaatan sabut kelapa, kotoran hewan dan bakteri fermentor EM4 dalam pembuatan pupuk organik cair bertujuan untuk menambah nilai unsur hara pupuk serta memanfatkan limbah organik sabut kelapa untuk meningkatkan nilai N pada pupuk, sehingga tanaman yang diberi pupuk ini dapat tumbuh lebih subur, tidak merusak lingkungan serta lebih efisien.
4.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjaut mengenai pupuk organik cair yang memanfaatkan limbah sabut kelapa dan bakteri EM4 ini, serta dukungan dalam hal pengembangan dan penyebaran informasi, agar dapat manjadi ide inovasi maupun metode yang lebih efisien dalam pengembangan dunia pertanian maupun pertanaman Indonesia. Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Djuarnani, N. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka Rizqiani, F., Erlina, A dan Nasih, W, Y,. Pengaruh Dosis Dan Frekuensi Pemberian Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Buncis ( Phaseolus Vulgaris L.) Dataran Rendah. Ilmu Tanah Dan Lingkungan Vol. 7 (1) Hal: 43-45 Dewi
Yuanita Lestari. 2012. Diakses dari: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dewi-yuanita-lestari-ssi-msc/cara pembuatan-pupuk-organik-cair.pdf pada tanggal 14 Juni 2014 jam 11.32 WIB Mahmud Zainal, Yulius Ferry. 2005. Prospek Pengolahan Hasil Samping Buah Kelapa. Bogor: Perspektiv Prawoso.
2001.
Di
akses
dari
http://books.google.co.id/books?id=zo6a4YE-
5o0C&pg=PA110&lpg=PA110&dq=kandungan+unsur+hara+dalam+sabut+kelapa &source=bl&ots=airy81a6BT&sig=N9RMAKLymgkXwQYUd0YwrT8freg&hl=id &sa=X&ei=hSzBUYjoLofrrQfRooGYBQ&redir_esc=y#v=onepage&q=kandungan %20unsur%20hara%20dalam%20sabut%20kelapa&f=false pada tanggal 14 Juni 2014 jam 11.06 WIB Rindengan dkk. 1995. Karakterisasi Daging Buah Kelapa Hibrida untuk Bahan Baku Industri Makanan. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian Pertanian nasional . Badan Litbang 49p Anwar, Kamariah, dkk. 2008. Kombinasi Limbah Pertanian dan Peternakan Sebagai Alternatif Pembuatan Pupuk Organik Cair Melalui Proses Fermentasi Anaerob. Yogyakarta: UII ISBN:978-979-3980-15-7 Buckle, K. A., R. A. Edward, G. H Fleet and m. Wooton. 1985 . Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press Denian, A dan A. Fiani. 2001. Tanggap terhadap Bahan Organik Limbah Pisang pada Tanah Podzolik. Sigma 9: 16-18 Simanungkalit, dkk. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.Balai Penelitian Tanah: Bogor Waryanti, Anik dkk. 2014. Studi Pengaruh Penambahan Sabut Kela pa Pada Pembuatan Pupuk Cair Dari Limbah Air Cucian Ikan Terhadap Kualitas Unsur Hara Makro (CNPK). Jurnal Ilmiah UNDIP . Semarang Umniyantie, Siti. 2013. Pembuatan Pupuk Organik Menggunakan Mikroba Efektif -4 (effective microorganism-4). Yogayakarta: UNY
LAMPIRAN
Pupuk organik cair tampak di permukaan terdapat lapisan berwarna putih dengan bau seperti fermentasi gula atau cuka
Wadah yang digunakan dalam proses fermentasi sabut kelapa, tetes tebu, kompos dan bakteri EM4 pada roses pembuatan POC
Foto bersama Pembuat POC (ketiga dari kiri) dan anggota observasi
Pelaku observasi di lokasi pembuatan POC