GENDER Pembakuan Peran dalam Kebijakan-kebijakan di Indonesia
Pengantar: Berangkat dari prinsip yang menantang gagasan konvensional bahwa hukum itu netral, objektif dan bebas nilai, LBH APIK Jakarta telah melakukan penelitian tentang ‘Pembakuan Peran Gender dalam Kebijakan-kebijakan di Indonesia’. Dengan menggunakan pendekatan hukum kritis,pandangan feminis terhadap hukum, gender dan negara dalam konteks Indonesia, ditemukan bahwa terdapat kebijakan-kebijakan yang tidak berkeadilan gender. Ideologi patriarki (dominasi laki-laki) faktanya telah mewujud dalam sistem hukum di Indonesia (baik dari peraturan dan kebijakan yang ada, stuktur dan budaya hukumnya), sehingga senantiasa mengekalkan ketidakadilan terhadap perempuan. Bagaimana pembakuan peran laki-laki dan perempuan dikukuhkan oleh Negara ? Konsep pembakuan peran gender yang mengkotak-kotakkan peran laki-laki/ suami dan perempuan/ istri ini hanya memungkinkan perempuan berperan di wilayah domestik (domestikasi), yakni sebagai pengurus rumah tangga sementara laki-laki di wilayah publik sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Peran gender yang memilahmilah peran perempuan dan laki-laki pada kenyataannya telah dibakukan oleh negara dalam berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah Orde Baru. Kebijakankebijakan tersebut pada akhirnya hanya menyisakan ketidakadilan pada perempuan. Dengan demikian, melalui hukum, negara melakukan peran gender. Hukum, dengan demikian, dipandang sebagai agen yang menguatkan nilai-nilai jender yang dianut oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan negara untuk menjaga dan menjamin kepentingannya. Apakah dampak dari pembakuan peran? Upaya domestikasi perempuan secara sistematis oleh negara berdasarkan ideology gender dalam kebijakan-kebijakan negara berdampak lebih jauh pada peminggiran terhadap perempuan, baik secara ekonomis, politik, sosial dan budaya, juga menimbulkan subordinasi, eksploitasi dan privatisasi kekerasan terhadap perempuan. Kebijakan-kebijakan apa sajakah yang membakukan peran jender? Ruang lingkup kebijakan yang dikritisi dalam penelitian adalah kebijakan-kebijakan yang lahir pada era Orde Baru. Dari kebijakan-kebijakan negara seperti : - pada masa Revolusi Hijau, yaitu pada Repelita I thn 1969-1974 dimana muncul Kebijakan yang memarginalkan kaum perempuan pedesaan yang awalnya
-
-
memiliki peran penting sebagai petani kemudian digeser dengan munculnya alatalat pertanian modern yang diasosiasikan dengan keahlian jenis kelamin laki-laki. Kemudian, kebijakan lain yang juga mempunyai efek pembakuan peran adalah praktek-praktek koersi terhadap perempuan yang diterapkan berkaitan dengan kebijakan pemerintah tentang kependudukan => Kebijakan KB yang dicanangkan sejak thn 1969 hanya diperuntukkan bagi kelompok perempuan Menunjukkan adanya asumsi patriarkal negara mengenai peran laki-laki dan perempuan yang menganggap bahwa urusan domestik adalah tanggung jawab perempuan. Nampak bahwa negara Orde Baru membatasi ruang lingkup kehidupan perempuan (secara sosial, ekonomi, politik) dan melegitimasi pembakuan peran gender.
Lebih rinci, teks-teks kebijakan yang dianalisa : Ø GBHN; Sebagai landasan bagi kebijakan-kebijakan lainnya dan pembangunan secara umum. Sepanjang GBHN 1978 –1998, kata ‘kodrat’ tetap hadir dalam teks. Dengan konsep peran ganda yang dianut negara, dapat disimpulkan bahwa ‘kodrat ‘ dimakni tidak hanya sebatas kemampuan biologis perempuan tetapi juga peran-peran reproduksi sosial. Jadi, dapat dideteksi adanya gagasan-gagasan mengenai pembakuan peran gender dalam GBHN. Ø Kebijakan tentang Buruh Migran Perempuan a. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 213/Men/89 tentang biaya Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia dalam Rangka Pengembangan Program Antar Kerja Antar Negara ke Timur Tengah ; Dalam kebijakan ini diatur perbedaan biaya yang dikeluarkan untuk pengiriman buruh migran perempuan dengan laki-laki dengan asumsi gender bahwa buruh migran perempuan dianggap membutuhkan pembinaan. b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 196/Men/1991 tentang Petunjuk Teknis Pengerahan Tenaga Kerja ke Arab Saudi Peraturan ini memuat adanya pembedaan usia antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi buruh migran di sector informal. Ø Kebijakan tentang Pembantu Rumah Tangga (Perda No. 6 thn 1993) tentang Pembinaan Kesejahteraan Pramuwisma di DKI Jakarta dan SK Gubernur DKI Jakarta No. 1099 thn 1994) Asumsi pemerintah terhadap istilah pramuwisma yang cenderung ditujukan terhadap perempuan menyumbang pada pembakuan peran gender dalam pasal-pasal Perda. Misalnya, pasal tentang perlunya ijin bekerja dari suami bagi perempuan yang sudah bersuami. Ø Kebijakan tentang Perkawinan/ Perceraian UUP Integrasi konsep pembakuan peran dalam kebijakan tentang perkawinan yaitu melalui UU No. 1 thn 1974 tentang Perkawinan (UUP), terutama nampak dalam khususnya pasal 31, yang menyatakan bahwa “suami adalah kepala keluarga dan
istri adalah ibu rumah tangga.” Selain itu, UUP menganut asas monogamy terbuka, maksudnya bahwa pada asasnya suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun, terdapat klausula yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang karenanya terbuka kemungkinan bagi laki-laki untuk melakukan poligami. Pengaturan mengenai poligami ini tidak hanya menunjukkan bahwa dalam institusi perkawinan posisi tawar perempuan lebih rendah disbanding lakilaki tetapi juga menunjukkan bahwa negara jelas-jelas telah melegitimasi nilainilai jender perempuan yang hidup dalam masyarakat. Dalam Pasal 31 : Kedudukan suami isteri adalah sama, akan tetapi dalam ayat lain ditegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Penegasan ini merupakan pengetatan fungsi-fungsi isteri dan fungsifungsi suami secara tegas. Artinya, pasal ini melegitimasi secara eksplisit pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Juga, semakin dipertegas dalam pasal 34 yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi isteri dan isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa peran lakilaki dan perempuan sudah mutlak terbagi. PP No. 45/ 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 thn 1983 tentang ijin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil. (Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksana dari UU Perkawinan yang khusus diberlakukan kepada Pegawai Negeri Sipil dan merupakan penyempurnaan dari PP 10 thn 1983). PP ini lebih menegaskan asas monogamy terbuka. Akan tetapi, secara tidak konsisten PP melarang perempuan PNS menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat dengan asumsi akan merusak citranya sebagai PNS dan perempuan. Ø
Kebijakan tentang Kekerasan terhadap Perempuan KUHP berkaitan dengan Penganiayaan terhadap isteri KUHP tidak mengenal konsep kekerasan berbasis gender, atau tindakantindakan kejahatan yang dilakukan karena jenis kelamin perempuan. KUHP berkaitan dengan Perkosaan Perkosaan terhadap isteri dalam perkawinan (marital rape) tidak dikenal dalam KUHP berarti KUHP mengadopsi pandangan masyarakat bahwa fungsi isteri adalah melayani suami. UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan UU ini mengadopsi ideology patriarki yang tercermin dalam ketentuan tentang status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran , yaitu megikuti kewarganegaraan ayahnya.
Ø
Kebijakan Ketenagakerjaan UU No. 25 thn 1997 tentang Ketenagakerjaan : Memuat ketentuan yang mendiskriminasikan perempuan dengan memuat ketentuan larangan bekerja bagi perempuan pada waktu malam hari.
Ø Peraturan tentang Perpajakan :Keputusan Direktur Jendral Pajak No. 78/ PJ.41/ 1990 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada isteri wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas Ø
Peraturan tentang Perpajakan: Keputusan Direktur Jendral Pajak No. 78/ PJ. 41/ 1990 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada isteri Wajib Pajak yang melakukan kegiatan Usaha dan atau Pekerjaan Bebas
Dalam ketentuan perpajakan, isteri yang bekerja atau usaha yang wajib kena pajak bukanlah wajib pajak secara pribadi melainkan sebagai ‘isteri wajib pajak.’ Dampaknya, ada hambatan bagi perempuan menikah yang hendak mengembangkan usahanya karena nomor wajib pajaknya tergantung pada suami sehingga otomatis pengembangan usahanya tergantung pada ijin suami. Penutup Ø
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara disamping bias gender juga bias kelas menengah serta bertentangan dengan kenyataan sosialnya. Dalam kenyataannya, kaum perempuan tidak lagi hanya sebagai pencari nafkah tetapi juga banyak yang menjadi kepala keluarga. Akibatnya timbul ketegangan antara nilai-nilai dan peraturan yang diterapkan dengan kenyataan sosial yang terus berlangsung. Ø Melalui hukum, negara melakukan pembakuan peran gender. Beberapa kebijakan mengacu pada peran perempuan dan laki-laki sebagaimana didefinisikan dalam UUP No. 1 thn 1974. Dengan demikian, UUP merupakan kebijakan yang mempunyai signifikansi dalam proses pembakuan peran yang dilakukan negara. Ø Perlu dilakukan reformasi terhadap kebijakan-kebijakan dengan mengamati dinamika proses negosiasi antara kelompok-kelompok kepentingan yang terjadi ditingkat negara untuk menentukan sasaran intervensi yang dapat dilakukan baik di tingkat struktur formal (hukum dan negara) dan di tingkat masyarakat untuk mengubah nilai-nilai gender yang dominan.
Sumber: http://www.lbh-apik.or.id/peneliltian-pembakuan_peran.htm
Perempuan Bekerja, Dilema Tak Berujung ? Fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah barang baru di tengah masyarakat kita. Sejak zaman purba ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang isteri sesungguhnya sudah bekerja. Sementara suaminya pergi berburu, di rumah ia bekerja menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikonsumsi keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sektor domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi. Kemudian, ketika masyarakat berkembang menjadi masyarakat agraris hingga kemudian industri, keterlibatan perempuan pun sangat besar. Bahkan dalam masyarakat berladang berbagai suku di dunia, yang banyak menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik itu adalah perempuan bukan laki-laki. Hal ini jelas menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan memang bukan baru-baru saja tetapi sudah sejak zaman dulu. Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, sebenarnya tidak ada perempuan yang benar-benar menganggur. Biasanya para perempuan memiliki pekerjaan untuk juga memenuhi kebutuhan rumah tangganya entah itu mengelola sawah, membuka warung di rumah, mengkreditkan pakaian dan lain-lain. Mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa perempuan dengan pekerjaan-pekerja di atas bukan termasuk kategori perempuan bekerja. Hal ini karena perempuan bekerja identik dengan wanita karir atau wanita kantoran (yang bekerja di kantor). Pada hal, dimanapun dan kapanpun perempuan itu bekerja, seharusnya tetap dihargai pekerjaannya. Jadi tidak semata dengan ukuran gaji atau waktu bekerja saja. Annggapan ini bisa jadi juga erkait dengan arti bekerja yang berbeda antara Indonesia dengan negara-negara di Barat yang tergolong sebagai negara maju. Konsep bekerja menurut masyarakat di negara-negara Barat (negara maju) biasanya sudah terpengaruh dengan ideologi kapitalisme yang menganggap seseorang bekerja jika memenuhi kriteria tertentu misalnya; adanya penghasilan tetap dan jumlah jam kerja yang pasti. Sedangkan kebanyakan perempuan di Indonesia yang disebutkan tadi, pekerjaan mereka belum menghasilkan penghasilan tetap dan tidak terbatas waktu, bahkan baru dapat dilakukan hanya sebatas kapasitas mereka. Meski bukan fenomena baru, namun masalah perempuan bekerja nampaknya masih terus menjadi perdebatan sampai sekarang. Bagaimanapun, masyarakat masih memandang keluarga yang ideal adalah suami bekerja di luar rumah dan isteri di rumah dengan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Anggapan negatif (stereotype) yang kuat di masyarakat masih menganggap idealnya suami berperan sebagai yang pencari nafkah, dan pemimpin yang penuh kasih; sedangkan istri menjalankan fungsi pengasuhan anak. Hanya, seiring dengan perkembangan zaman, tentu saja peran-peran tersebut tidak semestinya dibakukan, terlebih kondisi ekonomi yang membuat kita tidak bisa menutup
mata bahwa kadang-kadang istripun dituntut untuk harus mampu juga berperan sebagai pencari nafkah. Walaupun seringkali jika seorang laki-laki atau suami ditanya maka akan muncul jawaban “Seandainya gaji saya cukup, saya lebih suka isteri saya di rumah merawat anak-anak”. Terlepas dari pembahasan di atas, perdebatan mungkin muncul lebih karena anggapan akan stereotype dari masyarakat bahwa akan ada akibat yang timbul jika suami-isteri bekerja di luar rumah yaitu “mengganggu” keharmonisan yang telah berlangsung selama ini. Bagaimanapun, tentu saja memang akan ada dampak yang timbul jika suami-isteri bekerja di luar rumah. Namun solusi yang diambil tidak semestinya membebankan istri dengan dua peran sekaligus yaitu peran mengasuh anak (nursery) dan mencari nafkah di luar rumah (provider), yang akan lebih membawa perempuan kepada beban ganda, akan tetapi adanya dukungan sistem yang tidak terus membawa perempuan pada posisi yang dilematis. Kerja produktif dan reproduktif Untuk dapat melihat definisi dan makna kerja dengan lebih jernih lagi maka mungkin perlu dijelaskan juga tentang kerja dengan membaginya menjadi dua bentuk kerja yaitu kerja produksi dan kerja reproduksi. Baik kerja produksi maupun kerja reproduksi, keduanya berperan penting dalam proses kehidupan manusia. Kerja produktif berfungsi memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, papan. Kerja reproduktif adalah kerja “memproduksi manusia”, bukan hanya sebatas masalah reproduksi biologis perempuan, hamil, melahirkan, menyusui, namun mencakup pula pengasuhan, perawatan sehari-hari manusia baik fisik dan mental, kesemuanya berperan penting dalam melahirkan dan memampukan seseorang untuk “berfungsi” sebagaimana mestinya dalam struktur sosial masyarakat. Kerja reproduktif juga kerja yang pada prosesnya menjaga kelangsungan proses produksi, misalnya pekerjaan rumah tangga. Tanpa ada yang melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, atau mencuci maka tidak mungkin akan didapatkan makanan, kenyamanan bagi anggota rumah tangga yang lain. Sehingga dengan makanan dankenyamanan tersebut proses yang lain tidak terganggu.Tetapi tentu saja pengertian pekerjaan reproduksi seperti ini tidak dianggap sebagai pekerjaan oleh masyarakat dan juga pemerintah padahal secara fisik ini jelas sebagai sebuah kerja. Dalam sistem kapitalisme yang berlaku dewasa ini, seperti yang sudah panjang lebar diutarakan di atas, terdapat kecenderungan kuat untuk memisahkan kerja produksi dan reproduksi, di mana kedua pekerjaan tersebut dilakukan dan siapa yang melakukan pekerjaan tersebut. Kerja produksi dianggap tanggung jawab laki-laki, biasanya dikerjakan di luar rumah. Kerja reproduksi dianggap tanggung jawab perempuan dan biasanya dikerjakan di dalam rumah. Seperti yang pernah diungkapkan, nampaknya hampir semua kalangan masyarakat menyetujui bahwa perempuan mendapat kemulian dengan pekerjaannya sebagai ibu
rumah tangga hingga ibu rumah tangga mendapat gelar “ratu rumah tangga”. Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa pekerjaan reproduksi tersebut selalu diberi sebutan sebagai “pekerjaan mulia”. Dan mengapa “pekerjaan mulia” tersebut sebagian besar dibebankan hanya kepada perempuan, seolah ia adalah bagian kewajiban dari Tuhan dengan imbalan kebahagiaan di akhirat nanti. Demikian pula sebutan “ratu” yang seharusnya berimplikasi pada peran perempuan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan di tingkat keluarga, pada kenyataannya, bukan perempuan yang lebih berperan dalam pengambilan keputusan penting, melainkan laki-laki. Norma yang berlaku dewasa ini kerja reproduksi adalah tanggung jawab perempuan. Atas nama tradisi dan kodrat, perempuan dipandang sewajarnya bertanggung jawab dalam arena domestik. Institusi pendidikan, agama, media massa, mendukung pula pandangan ini. Jarang yang mempertanyakan secara terbuka “kodrat” tersebut. Lebih jarang lagi yang memperhitungkan nilai ekonomi pekerjaan rumah tangga. Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam kerja produksi tidak mengurangi beban tanggung jawabnya di sektor reproduksi. Dengan kata lain, tidak mengundang laki-laki untuk berkontribusi lebih besar dalam kerja reproduksi. Kerja perempuan terutama di sektor reproduksi tidak pernah diperhitungkan dalam data perekonomian dan statistik. Jika kerja tersebut diperhitungkan, niscaya akan mematahkan mitos “laki-laki adalah pencari nafkah utama”. Sebenarnya di banyak tempat, terjadi “perendahan” terhadap kerja reproduksi biologis perempuan, meskipun perempuan telah mencurahkan begitu banyak waktu dan energi. Contohnya pernyataan “buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti juga ke dapur” atau “si X (perempuan) mah paling juga kawin terus ngurus anak”. Di sektor publik sering kali sistem yang ada “tidak mendukung” perempuan (dan lakilaki) bekerja untuk dapat pula melakukan kerja reproduksi secara optimal sekaligus. Jam kerja panjang, ketiadaan sarana penitipan anak di tempat kerja, dan kesulitan perempuan bekerja untuk menyusui anaknya, adalah beberapa contoh nyata. Meskipun cuti melahirkan telah diberlakukan secara luas, masih ada yang merasa rugi memberi cuti melahirkan kepada karyawan perempuan. Diskriminasi terselubung dilakukan guna menghindari pemberian cuti tersebut antara lain dengan preferensi tidak tertulis mengutamakan merekrut karyawan laki-laki atau karyawan perempuan lajang. Situasi di sektor publik sering pula tidak ramah keluarga, baik terhadap karyawan perempuan maupun laki-laki. Memberikan cuti melahirkan bagi karyawan perempuan dianggap pemborosan dan inefiesiensi. Berkomitmen tinggi terhadap anak dan keluarga dipandang tidak kompatibel dengan dunia kerja. Ternyata, kerja reproduksi yang sebagian besar dilakukan perempuan berperan sangat penting guna keberlanjutan suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya. Perlu
perbaikan sistem sosial secara menyeluruh agar jangan sampai suatu bangsa atau lebih parah lagi umat manusia punah, hanya karena berkeluarga dan memiliki anak menjadi semakin tidak menarik. Sangat penting pula demokratisasi institusi keluarga, termasuk di dalamnya peningkatan peran serta laki-laki dalam kerja reproduksi dalam rumah tangga. Seperti yang juga sudah disinggung di atas, berkaitan dengan masalah perempuan bekerja produksi yaitu dengan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, pun sesungguhnya sudah lazim ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah menunjukan bahwa perempuan dan kerja publik sebenarnya bukan hal baru bagi perempuan Indonesia terutama mereka yang berada pada strata menengah ke bawah. Di pedesaan, perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian, sementara di perkotaan sektor industri tertentu didominasi oleh perempuan. Di luar konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan perempuan. Data sensus penduduk tahun 1990 menunjukan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja perempuan yaitu 49,2%, diikuti oleh sektor perdagangan 20,6%, dan sektor industri manufaktur 14,2%. Diskriminasi kerja perempuan Terlepas dari persoalan sektor yang digeluti perempuan, keterlibatan perempuan di sektor manapun selalu nampak dicirikan oleh “skala bawah” dari pekerjaan perempuan. Perempuan di sektor pertanian pedesaan, mayoritas berada di tingkat buruh tani. Perempuan di sektor industri perkotaan terutama terlibat sebagai buruh di industri tekstil, garmen, sepatu dan elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat dalam perdagangan usaha kecil seperti berdagang sayur mayur di pasar tradisional, usaha warung, adalah jenis-jenis pekerjaan yang lazim ditekuni perempuan. Masalah umum yang dihadapi perempuan di sektor publik adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk dan tidak memiliki keamanan kerja. Hal ini berlaku khususnya bagi perempuan berpendidikan menengah ke bawah. Untuk kasus kota, sebagai buruh pabrik, sementara untuk kasus pedesaan sebagai buruh tani. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal tersebut tidak semata-mata disebabkan faktor pendidikan. Dari kalangan pengusaha sendiri, terdapat preferensi untuk mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Sebuah studi tentang buruh perempuan pada industri sepatu di Tangerang, menemukan bahwa biaya tenaga kerja (upah) buruh laki-laki adalah 10-15% dari total biaya produksi. Sementara bila mempekerjakan perempuan, biaya tenaga kerja dapat ditekan hingga 58% dari total biaya produksi (Tjandraningsih, 1991:18). Dalam kasus tersebut, persentase buruh perempuan adalah 90% dari total buruh. Kasus lain dengan substansi yang sama ditemukan pula di sektor pertanian pedesaan. Sebuah penelitian tentang buruh perempuan
pada agro industri tembakau ekspor di Jember bahwa untuk pekerjaan di kebun tembakau, buruh perempuan mendapat upah Rp 1.650,00 per hari sementara buruh lakilaki mendapat upah Rp 1.850,00 per hari (Indraswari, 1994:52). Persentase buruh perempuan pada kasus tembakau adalah 80%. Paling tidak di kedua kasus tersebut telah terjadi penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor-sektor produktif tertentu dan pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin. Dua hal ini dapat di lihat juga melalui peningkatan atau penurunan rasio perempuan di setiap jabatan. Jika perempuan pada strata menengah ke bawah, bekerja di sektor publik kebanyakan atas dasar dorongan kebutuhan ekonomi. Sedangkan bagi perempuan di kelas menengah ke atas, bekerja bagi mereka adalah bagian dari aktualisasi diri. Hal ini selain terkait dengan semakin terbukanya peluang bagi perempuan untuk memasuki sektor-sektor yang pada awalnya diperuntukkan hanya untuk laki-laki. Semakin banyaknya perempuan berpendidikan yang berkeinginan untuk aktif di sektor publik merupakan konsekuensi logis dari pembukaan peluang yang lebih besar bagi anak perempuan untuk bersekolah. Bagi perempuan kelas menengah ke atas yang bekerja sebagai pegawai swasta maupun sebagai pegawai negeri, diskriminasi upah seringkali lebih tersamar. Meskipun sistem pengupahan (termasuk tunjangan) pegawai negeri tidak lagi membedakan pegawai perempuan dan laki-laki, di sektor swasta diskriminasi masih terjadi. Meskipun besar upah pokok antara pegawai laki-laki dan perempuan sama, namun komponen tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan dibedakan antara pegawai perempuan dan laki-laki. Seorang pegawai perempuan -apakah berstatus menikah atau lajang- tetap dianggap lajang. Seorang pegawai perempuan yang berstatus menikah -karena dia perempuantidak mendapatkan tunjangan suami atau anak. Demikian pula tunjangan kesehatan hanya diberikan kepada dirinya sendiri -tidak untuk suami dan anak-. Dengan demikian -dengan memperhitungkan komponen tunjangan- total penghasilan pegawai laki-laki dan perempuan berbeda jumlahnya untuk pekerjaan yang sama. Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun implisit, seringkali memanipulasi ideologi gender sebagai pembenaran. Ideologi gender adalah segala aturan, nilai, stereotip, yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin (Ratna Saptari dalam Andria dan Reichman, 1999: 9). Karena tugas utama perempuan adalah di sektor domestik, maka pada saat ia masuk ke sektor publik “sah-sah” saja untuk memberikan upah lebih rendah karena pekerjaan di sektor publik hanya sebagai “sampingan” untuk “membantu” suami. Persoalannya, generalisasi bahwa “semua perempuan bekerja hanya untuk ‘membantu’ suami” atau “semua perempuan bekerja hanya sebagai kegiatan sampingan” banyak tidak terbukti validitasnya. Bagi perempuan miskin, dalam situasi krisis ekonomi, banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama keluarga atau bersama-sama suami memberikan kontribusi finansial hingga 50% dari total penghasilan keluarga, atau bahkan lebih. Sebenarnya pihak yang diuntungkan dalam kasus diskiriminasi upah adalah
pemilik modal yang dapat menekan biaya produksi melalui pengurangan komponen biaya tenaga kerja. Selain persoalan upah, dalam perspektif perbandingan dengan laki-laki, perempuan di sektor publik menghadapi kendala lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal (kenaikan pangkat, posisi, jabatan) karena ideologi patriarkis yang dominan. Hal ini diindikasikan dengan minimnya jumlah perempuan yang menduduki posisi pengambil keputusan dan posisi strategis lainnya baik di sektor pemerintah maupun di sektor swasta. Meskipun persentase perempuan lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia, namun perempuan yang menjadi anggota parlemen hanya 7-8% dari total anggota parlemen. Demikian pula dapat dihitung dengan jari, jumlah perempuan yang menduduki jabatan struktural, bupati, walikota, menteri, dll. Dari gambaran persoalan diatas, dapat dilihat telah terjadi pula pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang ditandai oleh perbedaan upah serta ketidaksamaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk akses terhadap programprogram pelatihan untuk pengembangan karir. Dalam Islam tidak ada masalah Sebagai agama yang diyakini untuk kasih sayang semua umat manusia, maka Islam sesungguhnya tidak pernah menekan pihak perempuan dalam bidang pekerjaan. Baik pekerjaan di rumah maupun luar rumah. Jika merujuk kepada hadits Nabi, dalam praktek kehidupan zaman Nabi Saw sesungguhnya ada banyak riwayat menyebutkan tentang sahabat perempuan yang bekerja di dalam dan di luar rumah, baik untuk kepentingan sosial, maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebutlah misalnya, Asma bint Abu Bakr, isteri sahabat Zubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam, yang terkadang melakukan perjalanan cukup jauh. Di dalam kitab hadits (Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, nomor hadits 1483) disebutkan bahwa ketika Bibi Jabir bin Abdullah keluar rumah untuk bekerja memetik kurma, dia dihardik oleh seseorang untuk tidak keluar rumah. Kemudian dia melapor kepada Nabi Saw, yang dengan tegas mengatakan kepadanya: “Petiklah kurma itu, selama untuk kebaikan dan kemaslahatan”. Bahkan di dalam literatur fikih (jurisprudensi Islam) secara umum tidak ditemukan larangan perempuan bekerja, selama ada jaminan keamanan dan keselamatan, karena bekerja adalah hak setiap orang. Variasi pandangan ulama hanya muncul pada kasus seorang isteri yang bekerja tanpa restu dari suaminya. Kalau lebih jauh menelusuri lembaran-lembaran literatur fikih, dalam pandangan banyak ulama fikih, suami juga tidak berhak sama sekali untuk melarang isteri bekerja mencari nafkah, apabila nyata-nyata dia tidak bisa bekerja mencari nafkah, baik karena sakit, miskin atau karena yang lain (lihat fatwa Ibn Hajar, juz IV, h. 205 dan al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573). Lebih tegas lagi dalam fikih Hambali, seorang lelaki yang pada awalnya sudah mengetahui dan menerima calon isterinya sebagai pekerja (baca : perempuan karir) yang setelah
perkawinan juga akan terus bekerja di luar rumah, suami tidak boleh kemudian melarang isterinya bekerja atas alasan apapun (lihat : al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, juz VII, h. 795). Fikih membenarkan suami dan isteri, keduanya bekerja di luar rumah dengan prasyarat-prasyarat tertentu. Yang berarti fikih tidak memandang bahwa kewajiban seorang lelaki (misalnya suami) untuk mencari nafkah menjadi penghalang bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah juga untuk mencari nafkah. Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang sesungguhnya untuk perempuan dan lakilaki. Jadi pendefinisian bahwa pekerjaan di luar rumah adalah tugas laki-laki dan pekerjaan di dalam rumah adalah pekerjaan perempuan adalah hasil penafsiran terhadap teks secara sempit. Bahkan dalam fikih, perempuan sesungguhnya diperbolehkan meminta upah bila menyusui anaknya, kecuali air susu hari pertama yang merupakan kewajiban perempuan memberikan kepada anaknya karena mengandung kolostrum yang baik untuk meningkatkan imunitas bayi baru lahir. Memang tentu saja hal ini tidak secara otomatis mengatakan bahwa Islam mengajarkan hubungan ibu dan bayinya dihitung dengan uang, akan tetapi adalah menunjukkan penghargaan pada jerih payah ibu. Akhirnya, berbagai jalan dapat ditempuh untuk tetap memberikan keadilan bagi perempuan, tak terkecuali yang berkaitan dengan masalah perempuan bekerja. (dd) ] Sumber Bacaan : Dedi Haryadi, Indrasari Tjandraningsih, Indraswari, dan Juni Thamrin, Tinjauan kebijakan pengupahan buruh di Indonesia, AKATIGA, April 1994 Indraswari dan Juni Thamrin, Potret kerja buruh perempuan; Tinjauan pada Agroindustri Tembakau Ekspor di Jember, AKATIGA, Juni 1994 Ratna Saptari, Perempuan bekerja dan perubahan sosial, Kalyanamitra, 1995. Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, juz VII, h. 795. Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, nomor hadits 1483. Fatwa Ibn Hajar, juz IV, h. 205. AlMughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573 Oleh: Swara Rahima Sumber: Kementrian Pemberdayaan Perempuan
Kesetaraan Dan Keadilan Gender I. Pendahuluan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan NasionalPROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari empat key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program/proyek dan kegiatan. Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.
Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.
Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.
Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.
Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideology patriarki); Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender; Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik; Kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender. Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalahmasalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa depan.
II. Kondisi perempuan Indonesia
Secara keseluruhan indeks kualitas hidup manusia digambarkan melalui Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (HDI) yang berada pada peringkat ke-96 pada tahun 1995 yang kemudian menurun ke peringkat 109 pada tahun 1998 dari 174 negara. Tahun 1999 berada pada peringkat 102 dari 162 negara dan tahun 2002, 110 dari 173 negara. Berdasarkan Human Development Report 2003, HDI Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175 negara, dibandingkan Negara-negara ASEAN lainnya seperti HDI Malaysia, Thailand, Philippina yang menempati urutan 59, 70 dan 77. Sedangkan Gender related Development Index (GDI) berada pada peringkat ke-88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 (1998) dan peringkat 92 (1999 dari 146 negara). Kemudian pada tahun 2002 pada peringkat 91 dari 144 negara GDI inipun masih tertinggal dibandingkan dengan-negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Philippina yang masing-masing berada pada peringkat 54, 60, 63. Berdasarkan hasil Survey Penduduk 2000 (BPS) diketahui jumlah penduduk Indonesia sebesar 206.264.595 orang. Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan, (50,1% diantaranya laki-laki dan 49,9% perempuan). Indeks pembangunan manusia skala internasional dan nasional dilihat dri tiga aspek yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3 (tiga) aspek tersebut di atas sebagai berikut:
1. Pendidikan Di bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang mengutamakan dan
mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada perempuan. Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari presentase perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar dibandingkan laki-laki (6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup signifikan. Namun angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki, khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik Kesejahteraan Rakyat 2003. Angka buta huruf perempuan 12,28% sedangkan laki-laki 5,84%.
2. Kesehatan Menurut Gender Statistics and indicators 2000 (BPS), kemajuan di bidang kesehatan ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian bayi (dari 49 bayi per 1000 kelahiran pada tahun 1998 menjadi 36 tahun 2000, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Menurunnya angka kematian anak serta meningkatnya angka harapan hidup dari 64,8 tahun (1998) menjadi 67,9 tahun (2000), Berdasarkan estimasi parameter demografi 1998 yang dikeluarkan BPS, angka harapan hidup (eo) pada periode 19982000 cenderung meningkat. Usia harapan hidup (life expectancy rate) perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 69,7 tahun berbanding 65,9 tahun. (Sumber: BPS, Estimasi Parameter Demografi, 1998). Dibidang kesehatan, selama periode 1998-2000 ada penurunan angka kematian bayi, Infant Mortality Rate (IMR). Namun angka kematian bayi laki-laki lebih tinggi dibandingkan angka kematian bayi perempuan. Laki-laki 41, perempuan 31, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat, angka kematian anak, Child Mortality Rate (CMR) periode ini juga menunjukkan penurunan, namun demikian angka kematian anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan kematian anak perempuan laki-laki 9,8 sedangkan perempuan 7,9. (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Dibidang kesehatan dan status gizi perempuan masih merupakan masalah utama, yang ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) 390/100.000 (SDKI 1994), 337/100.000 (SDKI 1997), dan menurun 307/100.000 (SDKI 2002).
3. Ekonomi Di bidang ekonomi, secara umum partisipasi perempuan masih rendah, kemampuan perempuan memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah, demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu 45% (2002) sedangkan laki-laki 75,34%, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 19992002). Sedangkan ditahun 2003 TPAK laki-laki lebih besar dibanding TPAK perempuan
yakni 76,12% berbanding 44,81%. (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakya, 2003).
III. Faktor Kesenjangan dibidang hukum dan politik
Faktor penyebab kesenjangan kondisi dan posisi perempuan dan laki-laki dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang bias gender karena dalam bidang hukum masih banyak dijumpai substansi, struktur, dan budaya hukum yang diskriminatif gender. Jumlah peraturan perundang-undangan yang diskrimintaif terhadap perempuan berjumlah kurang lebih 32 buah.
Faktor penyebab kesenjangan gender pada aspek lain misalnya politik sebagai berikut: hasil Pemilu tahun 1999 yang menyertakan 57% pemilih perempuan hanya terwakili 8,8% dari seluruh anggota DPR, lebih rendah dari hasil pemilu 1997 yang berjumlah 11,2% dari jumlah pemilih 51%, (Sumber: Statistik dan Indikator Gender Indonesia 2002). Pemilu 2004 perempuan hanya terwakili 11%.
Jumlah perempuan yang menjabat sebagai Hakim Agung dan Hakim Yustisial Non Struktural di Mahkamah Agung juga menunjukkan penurunan dari 36 pada tahun 1998 menjadi 34 pada tahun 1999, dan 28 pada tahun 2002, (Sumber: Statistik dan Indikator Gender Indonesia 2002-Bab7). Pada tahun 1999 jumlah PNS perempuan adalah 36,9%, laki-laki sebesar 63,1% dari jumlah seluruh PNS (4.005.861), dan dari jumlah tersebut hanya 15,2% PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,8%. Sedangkan tahun 2000 terjadi sedikit perubahan dimana jumlah PNS perempuan adalah 37,6%, lakilaki sebesar 62,4% dari jumlah seluruh PNS (3.927.146), dan dari jumlah tersebut hanya 15,7% yang menduduki jabatan struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,3%. (Statitik dan Indikator Gender, BPS, 2000).
Masalah HAM bagi perempuan termasuk isu gender yang menuntut perhatian khusus adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.
IV. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan gender
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan lakilaki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.
V. Pengertian gender dan seks
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender: dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Lain halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.
VI. Permasalah Ketidakadilan Gender
Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki. Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
Faqih dalam Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem (Faqih, 1998a; 1997). Selanjutnya Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada perempuan; misalnya marginalisasi, subordinasi, stereotipe/pelabelan negatif sekaligus perlakuan diskriminatif (Bhasin, 1996; Mosse, 1996), kekerasan terhadap perempuan (Prasetyo dan Marzuki, 1997), beban kerja lebih banyak dan panjang (Ihromi, 1990). Manisfestasi ketidakadilan gender tersebut masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis (Achmad M. hal. 33, 2001).
VII. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender
1. Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
Beberapa studi dilakukan untuk membahas bagaimana program pembangunan telah meminggirkan sekaligus memiskinkan perempuan (Shiva, 1997; Mosse, 1996). Seperti Program revolusi hijau yang memiskinkan perempuan dari pekerjaan di sawah yang menggunakan ani-ani. Di Jawa misalnya revolusi hijau memperkenalkan jenis padi unggul yang panennya menggunakan sabit.
Contoh-contoh marginalisasi: Pemupukan dan ♣pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki; ♣Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki, menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani; ♣Usaha konveksi lebih suka menyerap tenaga perempuan; ♣Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan; ♣Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru taman kanak-kanak” atau “sekretaris” dan “perawat”.
2. Subordinasi Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari lakilaki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat
izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.
3. Pandangan stereotipe Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan), Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.
4. Kekerasan Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, majikan.
5. Beban Ganda Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja,
selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.
VIII. Peran perempuan di domestik dan publik
Women have a vital role to play in the promotion of peace in all sphares of life, in the family, the community, the nation, and the world. Women must participate equally with men in the decision making process which help to promote peace at all the levels (Deklarasi Konferensi Mexico, 1975) Kelebihan/potensi perempuan: • Rasa sosial, toleransi, ikatan kelompok • Jiwa interpreneur (keseimbangan pendapatan-pengeluaran) • Perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, terutama bagi anak-anaknya • Perajut persatuan dan kesatuan hidup masyarakat, bangsa, dan negara • Pendidik pertama dan utama bagi generasi penerus keluarga, bangsa, dan negara Perjuangan Kesetaraan laki-laki dan perempuan (internasional) • Deklarasi HAM, PBB (1948) memberi aspirasi bagi gerakan feminis untuk memperjuangkan hak-hak perempuan (all human beings are born free and equal in dignity and rights), 1952 hak politik dan ekonomi perempuan diadopsi PBB. • 1963, gerakan global emasipasi masuk dalam agenda PBB (ECOSOC) untuk diakomodasi Negara anggota, Commission on the Status of Women (1967) memberi aspirasi pada lahirnya PKK. • Konferensi di Mexico, 1975 menyetujui program WID (Women in Development) sebagai strategi meningkatkan peran wanita. • Konferensi di Nairobi, 1985 setujui pembentukan UNIFEM lembaga PBB untuk perempuan dengan program WAD (Women and Development) 1979 CEDAW-PBB, melalui UU No. 7 tahun 1984, Indonesia meratifikasi CEDAW. • Pertemuan di Vienna, 1990 menyetujui program GAD (Gender and Development) dengan strategi Pengarustuaamaan Gender, melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, Indonesia meratifikasi CRC (Convention Rights of Children). • Konferensi ICPD, Cairo 1994 mengagendakan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan dalam pembangunan yang berkelanjutan. • Konferensi di Beijing, 1995 merinci 12 keprihatinan terhadap perempuan yang dikenal dengan 12 critical issues. Secara Nasional antara lain: Adanya ♣UUD 1945 yang sudah empat kali diamandemen tentang♣UU No. 25 tahun 2000 Propenas ♣UU No. 12 tahun 2000 tentang Pemilu
Presiden No. 9♣IInstruksi tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Prinsip dasar membangun kesetaran gender di Indonesia • Menghargai pluralistik • Pendekatan sosio-kultural • Peningaktan ekonomi dan kesejahteraan rakyat • Penegakan HAM dan supremasi hukum • Penghapusan kekerasan dan diskriminasi • Penyadaran pilar pembangunan • Pemerintah: sosialisasi dan advokasi • Masyarkat: sensitisasi dan advokasi • Dunia usaha, penyadaran dan advokasi • Penyatuan persepsi, pemahman, dan penyadaran kepada semua pihak untuk mewujudkan kesetaran gender dan perlindungan anak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
IX. Upaya-upaya dan usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka KKG
Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI sebenarnya merupakan bentuk pembaruan pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah memberikan manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai aspek , meskipun masih belum optimal.
Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak, pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.
Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan para perencana dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan data dan informasi gender yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan
Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga, masyarakat dan berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran masyarakat yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).
Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh peluang, kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan manfaat atas hasil pembangunan. Hal ini tidak lain karena masalah struktural utamanya. Selain nilai-nilai budaya patriarkhi yang dilegitimasi dengan (atas nama) agama dan sistem sosial yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan dan peran yang berbeda dan dibeda-bedakan. (Zaitunah Subhan, hal. 17-18, 2001)
Dalam GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan perempuan yakni pertama meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kedua meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan. Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.
Berdasarkan arah kebijakan yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk butir pemberdayaan perempuan, Propenas 2000-2004 telah melakukan mainstreaming kebijakan dan program pembangunan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya Propenas telah dirumusakan secara lebih rinci setiap tahunnya ke dalam Rencana Pembangunan tahunan (Repeta), untuk tahun 2001 (Repeta 2001).
Selanjutnya dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2001-2004, program yang disusun terdiri dari program dalam rangka pembangunan pemberdayaan perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan upaya peningkatan kemampuan. Mencakup Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Pemberdayaan Perempuan; Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan; Program Peningkatan Peran Masyarakat Pemampuan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; Program Sumber Daya, Sarana dan Prasarana. Mengingat produk tersebut merupakan undang-undang, maka untuk mewujudkan kesetaran dan keadilan gender harus menjadi komitmen bersama.
Dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melaui program yang peka akan permasalahan gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah bekerjasama dengan UNFPA dalam melaksanakan serangkaian kegiatan Mainstreaming Gender Issues in Reproductive Health and Population Policies and Programmes.
Tujuan utama program ini adalah tercapainya perbaikan status kesehatan reproduksi kaum perempuan dan laki-laki melalui kebijakan program kesehatan reproduksi dan kependudukan yang sensitif gender. Hal ini akan dicapai melalui penguatan kapasitas nasional untuk melakukan pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi konsep gender dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk kesehatan reproduksi dan kependudukan.
Upaya mengaktualisasikan dan memanifestasikan dan mengakselerasi-kan PUG di sektor strategis, propinsi dan kabupaten/kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah melaksanakan program dan langkah konkrit antara lain: • Program Pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan perempuan, serta serangkaian koordinasi telah dilakukan dalam upaya perbaikan undang-undang yang masih bias gender seperti UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. • Program Peningkatan Peranserta masyarakat dan penguatan kelembagaan PUG dilakukan dengan melalui: sosialisasi, advokasi, dan pelatihan analisis gender baik di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota; • Pengembangan modul sosialisasi/advokasi gender;
• Pengembangan alat untuk analisis gender yang digunakan dalam perencanaan program dan dikenal dengan Gender Analysis Pathway (GAP); dan Problem Base Analysis (PROBA). • Pengembanagan Homepage untuk penyediaan data dan informasi program pembangunan pemberdayaan perempuan, konsep kesetaraan dan keadilan gender dan jaringan informasi dengan website; • Penyusunan Profil Gender untuk 26 propinsi; • Fasilitasi bantuan teknis kepada daerah propinsi, kabupaten dan kota; • Tersedianya data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin secara berkala dan berkesinambungan dari propinsi dan kabupaten/kota mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah.
X. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa diskriminasi gender telah melahirkan ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, selain itu ketimpangan lebih banyak dialami perempuan dari pada laki-laki.
Akibat diskriminasi gender yang telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, politik, hankam dan HAM berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi yang tidak menguntungkan ini apabila tidak diatasi, maka ketimpangan atau kesenjangan pada kondisi dan posisi perempuan tetap saja akan terjadi.
Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, dimana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam memberikan konstribusi terhadap program pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi.
XI. Saran dan pesan:
Pada kesempatan ini dihimbau kepada para kandidat puteri Indonesia yang dibanggakan untuk berperan aktif dalam memajukan posisi dan kondisi perempuan Indonesia dalam
segala aspek/bidang pembangunan, misalnya melalui aktifitas peningkatan pengetahuan dan penyebarluasan seluruh informasi sebagaimana telah dipaparkan tersebut di atas, baik pada kalangan sendiri, dalam keluarga, serta lingkungan masyarakat luas. Mudahmudahan apa yang telah disampaikan dapat memberi manfaat yang sebesar-besar bagi diri sendiri, masyarakat bangsa dan Negara.
Pesan khusus untuk semua kandidat adalah menjaga jatidiri puteri Indonesia yang bermoral karena kita mempunyai macam-macam agama yang diakui dan ragam budaya yang dapat dijalankan dan dijaga kelestariannya. Sekaligus saya tekankan semoga semua kandidat puteri Indonesia dapat menjunjung tinggi agamanya dan jatidirinya sebagai Bangsa Indonesia yang aman dan damai.
Jakarta, 3 Agustus 2004
Daftar Pustaka: Achmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2001. BPS, United Nations Developmen Fund for Women. Gender Statistics and Indicators 2000. BPS, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, JICA dan UNFPA, Buku Referensi Pelatihan: Fakta dan Indikator Gender, Tingkat Nasional, 4 Propinsi dan 16 Kabupaten/Kota Terpilih, 2003. BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2003. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, et all, Dr. H. Abdul Djamil, MA. (Pengantar), Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri (Editor), Bias Jender dalam Pemahaman Islam, Jilid I Penerbit IAIN Walisongo dengan Gama Media, 2002. Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, Diterbitkan atas kerjasama RIFKA ANNISA Women’s Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar, 1996. Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998, Profil Wanita Indonesia. Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, Pedoman Teknis Perencanaan Pembangunan Berperspektif Gender. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Deputi Bidang Kesetaraan Gender bekerjasama dengan Bangun Mitra Sejati, 2001, Modul Pelatihan, Keadilan dan Kesetaraan Gender untuk BUMN/BUMD dan Perusahaan Swasata. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Panduan Gender dalam Perencanaan Partisipatif. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 1, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Edisi ke-2, Apa Itu Gender. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 2, Bahan Informasi
Pengarusutamaan Gender, Edisi ke-2, Bagaimana Mengatasi Kesenjangan Gender. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 3, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Ediisi ke-2, Perencanaan erperspektif Gender. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 4, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Edidisi ke-2, Pemantauan dan Penilaian. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Bahan Informasi Gender, Modul 1: Apa itu Gender? UNIFEM and NCRFW, 1994, Gender and Development Making the Bureaucracy gender-responsive, a sourcebook for advocates, planners, and implementors, (developed by dr. amaryllis t. tores and professor rosario s. del rosario with the assistance of professor rosalinda pineda-ofreneo for Unifem and NCRFW). UNFPA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN, 2003, Bunga Rampai “Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender dan Program Pembangunan Nasional”. Zaitunah Subhan, Peningkatan Kesetaraan dan Keadilan Jender, dalam membangun Good Governance. Sumber:
Hari Pembebasan Kaum Perempuan
KALAU kita menyimak catatan sejarah perjalanan Hari Ibu yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 22 Desember, muncul kesan bahwa semangat perjuangan kaum perempuan tempo dulu ternyata tidak sedangkal semangat yang sering ditampilkan pada peringatan Hari Ibu saat ini seremonial dan bahkan konsumerisme. Dulu, mereka tidak hanya gigih dalam menyuarakan hak-haknya, tetapi juga berani memikul senjata turun ke medan perang untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Adalah sejarah yang mencatat bahwa dua bulan setelah Sumpah Pemuda dideklarasikan, persisnya pada tanggal 22 Desember 1928, maka berkumpul sekira 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra untuk menyelenggarakan kongres pertamanya dengan mengambil lokasi di Yogyakarta. Salah satu agenda pokoknya adala menggabungkan organisasi-organisasi perempuan Indonesia dalam sebuah federasi tanpa sama sekali membedakan latar belakang politik, suku, status sosial dan bahkan agama. Hadirnya organisasi seperti Aisyiah, Wanita Katolik, Putri Indonesia, Jong Java bagian Perempuan, Jong Islamieten Bond bagian Wanita dan Organisasi Wanita Utomo, adalah bukti sejarah bahwa semangat pluralisme (keberbedaan) yang merupakan modal utama untuk membangun persatuan, sesungguhnya telah tumbuh subur di kalangan tokoh
wanita sejak dua pertiga abad yang lalu. Tidak keliru kalau momentum yang kini diperingati sebagai Hari Ibu itu hadir sebagai puncak kebangkitan kesadaran kaum perempuan Indonesia dalam rangka menghimpun kekuatan bersama untuk bisa keluar dari berbagai ketertinggalannya. Jangan lupa, adalah sejarah pula yang mencatat bahwa dari kongres perempuan Indonesia yang pertama itu berhasil dirumuskan beberapa rekomendasi penting dalam rangka memperjuangkan hak-haknya. Tuntutan kaum perempuan kepada pemerintah tentang pemberian beasiswa untuk anak perempuan dan sekolah-sekolah perempuan, penolakan tradisi perkawinan anak perempuan di bawah umur termasuk kawin paksa, sampai tuntutan pemberlakuan syarat-syarat pelaksanaan perceraian yang tidak merugikan hidup kaum perempuan, adalah beberapa rekomendasi penting yang lahir dari kongres perempuan pertama 75 tahun yang lalu. Yang tidak kalah pentingnya, dari kongresnya yang pertama itu pula lahir kesepakatan untuk mendirikan badan musyawarah bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dengan misi pokoknya untuk menjalin hubungan di antara semua perhimpunan perempuan, termasuk di dalamnya kesepakatan penyelenggaraan kongres perempuan tahunan dalam rangka mengisi dan memelihara kelangsungan perjuangannya. Melalui kongres perempuan pertama itu pulalah berhasil dirumuskan beberapa rekomendasi yang berisi tuntutan penerbitan surat kabar sebagai media untuk meyuarakan hak-hak kaum perempuan sampai kepada tuntutan pemberian bantuan khusus bagi perempuan janda dan anak yatim. Itu semua menunjukkan bahwa jauh sebelum ada lembaga yang sekarang banyak menyuarakan arti pentingnya kesetaraan dan keadilan gender, bahkan jauh sebelum kemedekaan Indonesia diproklamasikan, kaum perempuan Indonesia ternyata telah memiliki kesadaran mengenai arti pentingnya pendidikan dan kesehatan sebagai modal utama untuk bisa keluar dari berbagai ketertinggalannya. Semua itu juga memberi isyarat kepada kita bahwa gerakan kaum perempuan pada saat itu sesungguhnya tidak kalah majunya dibanding dengan perjuangan kaum perempuan saat ini. Bahkan jika kita menyimak catatan penting yang dihasilkan oleh kongres perempuan tahun-tahun berikutnya seperti tertuang dalam buku ”Peringatan 30 tahun Kesatuan Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1958”, kita pun akan segera mengetahui bahwa banyak dari isu sentral yang diangkat gerakan perempuan saat ini, sesungguhnya merupakan isu yang pernah diagendakan dalam perjuangan kaum perempuan tempo dulu. Sebagai gambaran, jika saat ini kita, bahkan komunitas dunia banyak bicara mengenai masalah perdagangan anak dan kaum perempuan, maka jauh sebelumnya kaum perempuan Indonesia pernah mengungkapkannya pada Kongres PPPI tahun 1930 yang ditandai dengan lahirnya kesepakatan untuk membentuk Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A).
Bukan hanya itu, Kongres PPPI tahun 1930 itu juga telah melahirkan rumusan kerja lebih konkret lagi yang antara lain ditandai dengan lahirnya rekomendasi yang meniscayakan arti pentingnya penyelidikan kondisi kesehatan kaum perempuan dan sebab-sebab terjadinya kematian bayi di pedesaan, rekomendasi megenai arti pentingnya kampanye berkait dengan segala akibat buruk yang ditimbulkan dari banyak kasus perkawinan usia dini sampai kepada upaya mempelajari hak pilih bagi kaum perempuan yang sekaligus merupakan wujud kesadaran kaum perempuan waktu itu akan arti pentingnya upaya bisa mengakses kekuasaan sebagai media untuk mewujudkan perjuangannya. Kalau dirinci, sesungguhnya masih begitu banyak kiprah sekaligus sumbangan pemikiran berarti yang telah diberikan kaum perempuan pada saat itu. Simak cuplikan pidato Soekarno di hadapan peserta kongres pertama kaum perempuan tanggal 22 Desember tahun 1928 waktu itu yang mengisyaratkan besarnya perhatian sekaligus pengakuan tokoh politik terhadap potensi yang dimiliki gerakan kaum perempuan pada saat itu sebagai berikut: ”Berbahagialah kongres kaum ibu; diadakan pada suatu waktu, di mana masih ada sahadja kaum bapak Indonesia jang mengira, bahwa perdjoangan mengedjar keselamatan nasional bisa djuga lekas berhasil zonder sokongannja kaum ibu; oleh karena dari pada kaum bapak masih banyak jang kurang pengetahuan akan harganja sokongan kaum ibu itu; kita tidak sahadja gembira hati akan kongres itu oleh karena kaum bapak belum insyaf akan keharusan kenaikan deradjat kaum ibu,- kita gembira ialah teristimewa djuga oleh karena di kalangan kaum ibu sendiri belum banjak jang mengetahui atau mendjadikan kewajibannja ikut menjeburkan diri di dalam perdjoangan bangsa, dan belum banjak jang berkehendak akan kenaikan deradjat itu.” (Soekarno, Kongres Kaum Ibu, 1928). Tersirat dalam cuplikan pidato itu adalah sikapnya yang sangat mendorong kebangkitan kaum perempuan dalam rangka memperjuangkan hak-haknya. Bahkan seperti pernah ditulis Gadis Arivia dalam artiakelnya yang berjudul ”Soekarno dan Gerakan Perempuan (2001), Bung Karno punya obsesi yang lebih karena ingin menjadikan gerakan perempuan waktu itu sebagai bagian dari gerakan memperjuangkan kemerdekaan. Itulah pula awal sejarah yang kemudian mengilhami banyak organisasi perempuan setelah itu terlibat secara langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Pada tahun 1930, misalnya, Istri Sedar yang didirikan di Bandung muncul menyatakan diri ingin meningkatkan status perempuan Indonesia melalui perjuangan kemerdekaan. Gagasan dasarnya, tidak bakal ada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan bila tidak ada kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah, kaum perempuan dari kalangan parpol dan ormas berbasis agama Aisyiah dan Wanita Katolik menjadikan perjuangan kemerdekaan sebagai agenda utamanya. Hal yang sama juga dilakukan pula oleh Wanita Muslimat dari Masyumi.
Lima belas tahun berikutnya, tahun 1945, di Bandung lahir organisasi bernama Lasjkar Wanita Indonesia (Lasjwi) yang dibidani oleh Aruji Kartawinata. Mereka yang tergabung dalam organisasi ini, sebagiannya berani mengangkat senjata, sebagian yang lainnya bertugas membantu prajurit yang luka kalau bukan menyiapkan makanan bagi para prajurit yang sedang bertempur dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Begitu luhur dan mulia, bahkan berani, itulah kesan yang muncul kalau kita menyimak sejarah perjuangan kaum perempuan yang awalnya diilhami oleh penyelenggaraan kongres perempuan pertama pada tanggal 22 Desember tiga perempuan abad yang lalu. Itu pula sebabnya, tidak berlebihan jika Hari Ibu yang setiap tahun diperingati bangsa ini, sepatutnya kita selenggarakan tidak hanya dalam bentuk seremoni yang hampa makna, apalagi penuh hura-hura. Sebaliknya, kita jadikan momentum Hari Ibu itu sesuai dengan akar historisnya sebagai hari pembebasan kaum perempuan dari berbagai belenggu yang menindasnya. Kian maraknya kasus perdagangan anak dan perempuan, masih tinginya angka kematian ibu akibat kehamilan atau melahirkan, masih banyaknya korban kaum perempuan akibat tindakan kekerasan dalam rumah tangga, adalah beberapa saja dari sekian banyak masalah yang harus dijadikan agenda utama perjuangan kaum perempuan Indonesia saat ini dan ke depan. Wilujeng Hari Ibu!*** Penulis, peminat masalah gender, mahasiswi jurusan biologi, Fak. MIPA Universitas Padjadjaran Bandung. Sumber:Pikiran Rakyat
Tren Perjuangan Perempuan dalam Sastra Merangkul Tabu, Meretas Kekerasan Tersamar Hari perempuan sedunia yang jatuh tanggal 8 Maret lalu diperingati dengan cukup provokatif. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat perempuan di Jakarta menuntut pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan hak dan kesejahteraan perempuan (SH, 9 Maret 2002). Bulan ini, perempuan Indonesia pun merayakan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April setiap tahun. Esensi kedua hari penting bagi perempuan adalah sama: memperjuangkan hak-hak perempuan di segala bidang.
Lalu bagaimana perjuangan perempuan di bidang sastra? Ternyata telah muncul fenomena pemberontakan perempuan dalam sastra yang bisa kita sebut spektakuler. Selama ini, jumlah buku sastra Indonesia boleh dibilang sangat sedikit, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Lebih parahnya lagi, karya fiksi yang sedikit ini
tak banyak yang mempunyai kekuatan untuk menarik perhatian publik. Hingga akhirnya muncul Ayu Utami dengan Saman dan Larung-nya serta Dewi Lestari dengan Supernova. Membakar Kebekuan Fiksi sastra yang ditulis kedua pengarang perempuan ini mampu membakar kebekuan gerilya sastra sekaligus meruntuhkan tembok pembatas antara sastra pop dan sastra serius. Keduanya mampu menjadi trend dan dibaca oleh kalangan yang kompleks, mulai dari mereka yang gemar berburu buku-buku porno stensilan hingga doktor-doktor ilmu sastra yang mejanya penuh dengan naskah-naskah seminar. Lalu apa resep mereka dalam mendobrak kebekuan sastra selama ini? Yang jelas, salah satu kesamaan menonjol dari sisi feminisme kedua novelis perempuan ini adalah keberanian mereka dalam mengemas cinta dan seks dalam bungkus yang benar-benar berbeda. Mereka berani melawan tabu yang selama ini menjadi magma terpendam pada masyarakat yang sarat dengan konvensi-konvensi budaya. Seks menarik justru karena melanggar kenormalan dalam masyarakat tradisional. Melalui perlawanan terhadap tabu ini, mereka meretas fenomena kekerasan tersamar terhadap perempuan, terutama dalam hal seks. Kehadiran buku-buku ini bagai oase bagi masyarakat yang ”kepanasan” oleh etika timur yang kuat tetapi tak berani melawannya secara frontal. Mengalir deras di tengah masyarakat yang dilanda proses diseminasi sosial yang semakin cepat. Beradaptasi dengan terjadinya proses pelipatgandaan dan penyebaran secara sosial tanda, citra, informasi, dan benda-benda komoditas, khususnya yang bermuatan erotis. Tanpa disengaja mereka menolak tegas kultur yang menekan eksistensi seks perempuan timur sekaligus mengejek terma dalam masyarakat komoditas, di mana tubuh (body), tanda-tanda tubuh (body signs) serta potensi libido di balik tubuh (libidinal value) menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya komoditas, yang membentuk semacam sistem libidonomics yaitu sebuah sistem ekonomi yang mengeksploitasi setiap potensi libido, semata untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Mereka mampu merepresentasikan seks sebagai eksistensi keperempuanannya, bukan sebagai komoditas masyarakat kapitalis semata. Eksistensi Seks Dalam Larung, Ayu menunjukkan keberanian dalam bercerita tentang eksistensi seks perempuan, lewat diary tokoh Cok, tahun 1996: ”Cerita ini berawal dari selangkangan teman-temanku sendiri: Yasmin dan Saman, Laila dan Sihar” (hal.77). Cerita tentang perselingkuhan Yasmin dan Saman serta kecintaan Laila pada Sihar membawa tokoh-tokohnya bertualang di negeri Paman Sam. Sebuah negeri yang bisa jadi dianggap sebagai media pelarian ketertekanan seksual sang tokoh pada kultur yang membesarkannya. Mungkin karena Amerika–lah yang dianggap negeri yang mampu mewakili representasi eksistensi seksual perempuan. Di mana industri seks-nya melimpah, bahkan ada jenis komoditi yang menjanjikan seks-seks ilegal, bahkan abnormal semisal bondage sadomasochis (seks sadis), voyeurism (ngintip), amateur, mature dan older (orang bangkotan), sampai surveillance sex (dokumentasi seks orang-
orang biasa) Problema-problema seks perempuan, yang selama ini menjadi endapan dalam masyarakat Indonesia yang patriarkal, pecah dalam tingkah laku tokoh-tokoh novel ini. Tokoh Yasmin—yang sempurna, cantik, cerdas, kaya, beragama, berpendidikan, bermoral pancasila, setia pada suami—kembali menemukan kebebasan seksualnya bersama Saman, sang bekas frater.
Itu karena suaminya, Lukas, tak pernah mengolah kekejaman pada dirinya meskipun hanya sebatas imajinasi. Lukas lebih tertarik pada eksplorasi posisi fisik daripada eksplorasi relasi psikis seperti yang dikhayalkan Yasmin. Padahal Yasmin merasa berbeda dengan para perempuan yang mengukuhkan patriarki. Melokalisasinya pada fantasi seksual. ”Mereka menerima dominasi pria sebagai suatu ide yang total dan murni, suatu ideal. Aku menerimanya dan melakukan seksualitas terhadapnya. Mereka menerimanya sebagai nilai moral, aku sebagai nilai estetis.” (hal. 160) Kerinduan Yasmin kepada Saman lebih karena perasaan superioritasnya terhadap lakilaki ini. ”…Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia mengintrogasi mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menunda orgasmemu atau membiarkan kamu tersiksa tak memperolehnya. Membuatmu menderita oleh coitus interuptus yang harfiah.” (hal. 157) Eksistensi seksualitas perempuan Indonesia yang selama ini terkungkung budaya patriarki dilibas habis oleh Ayu Utami. Hanya saja, seks yang digambarkan Ayu bukanlah teknik persetubuhan melainkan pemaparan problema yang bisa jadi dialami banyak wanita. Misalnya cerita tentang bagaimana Cok melepas keperawanannya. Bagaimana mitos kesucian keperawanan membuat Cok membiarkan sang lelaki bermasturbasi dengan payudaranya. ”… tapi membiarkan lelaki masturbasi dengan payudara kita bukanlah pengalaman yang menyenangkan kalau terus-terusan. …Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? …Aku pun melakukannya, senggama.”
Ejekan atas keperawanan yang menjadi momok pengaturan laki-laki terhadap perempuan dilakukan Ayu melalui tokoh Laila meskipun sosok ini mampu melawan gender keperempuanannya. Semasa sekolah dia paling banyak berlatih fisik. Naik gunung, berkemah, turun tebing, cross country, dan lain-lain jenis olahraga kelompok yang kebanyakan anggotanya lelaki. Juga, tidur bersisian dengan kawan lelaki dalam tenda dan perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Pada masa itu ada rasa bangga bahwa dia memasuki dunia lelaki yang dinamis. ”…tidak semua anak perempuan bisa melakukan itu, menyangkal hal-hal yang lembek, dan ia merasa ada supremasi pada dirinya.” (hal. 118)
Ternyata supremasi itu tidak dapat dibawa tokoh Laila sampai dewasa. Ia tak bisa masuk ke dalam dunia pria dewasa. Tapi keperawanan Laila yang terjaga —seperti layaknya yang diagungkan budaya Indonesia—justru menjadi problema. Ekspresi libido seks Laila terhambat. Lelaki takut padanya. Keperawanan dinilai sebagai tanggung jawab. Itu sebabnya ia tak bebas ketika telah sama-sama telanjang dengan Sihar. Tak pernah terjadi persetubuhan yang sebenarnya. Peran tokoh Shakuntala (Tala) yang androgini dimunculkan Ayu secara estetis sebagai representasi kebebasan untuk memilih. Kerinduan Laila pada Sihar membuatnya mampu melihat faktor lelaki pada diri Tala. Gabungan sosok Saman dan Sihar, dua lelaki yang dicintai Laila muncul pada diri Tala. Hingga akhirnya Laila melupakan Tala sebagai perempuan. Ketertarikan Laila ditanggapi Tala sehingga dalam Larung ini muncul sebuah relasi seksual di mana lelaki benar-benar diabaikan. Dalam hal ini Ayu masih mencoba membela kaumnya. Tala bukanlah seorang androgini yang maniak. Ia hanya ingin menyelamatkan Laila. ”…Kamu berbaring di sisiku dan kulihat air mengalir dari matamu ke arah rambut. …Kupeluk kamu. Aku mengelus di punggung dan mencium di kening. Dan aku tak pergi. Aku tahu kamu belum pernah mengalami orgasme. Juga ketika bercumbu dengannya. Kini tak kubiarkan kamu menemani lelaki itu sebelum kamu mengetahuinya. Sebelum kamu mengenali tubuhmu sendiri.” (hal. 153) Penggambaran tentang dunia lesbian, yang benar-benar belum bisa diterima kultur Indonesia dilakukan Ayu dengan metafora yang sangat indah. Jebakan Politik Tubuh Memang keberanian Ayu Utami dalam Saman dan Larung, juga Dewi Lestari dalam Supernova-nya, bisa menjerumuskan mereka dalam jebakan politik tubuh (body politics), yang terurai dalam tiga terma. Pertama, ”ekonomi politik tubuh” (political economy of the body) yaitu bagaimana tubuh digunakan dalam berbagai kerangka relasi sosial dan ekonomi, berdasarkan konstruksi sosial atau ”ideologi” tertentu. Persoalan politik tubuh berkait dengan eksistensi tubuh dalam kegiatan ekonomi-politik, dilihat dalam berbagai relasi sosial.
Kedua, ”ekonomi politik tanda (tubuh)” (political economy of signs) yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda di dalam sebuah sistem ekonomi pertandaan (sign system) masyarakat informasi yang membentuk citra, makna, dan identitas tubuh di dalamnya. Politik tanda berkaitan dengan eksistensi tubuh (pria atau wanita) yang dieksploitasi sebagai tanda atau komoditas tanda (sign comodity) dalam berbagai media. Ketiga, ”ekonomi politik hasrat” (political economy of desire) yaitu bagaimana sistem ekonomi menjadi sebuah ruang berlangsungnya pelepasan hasrat dari berbagai kungkungan, dan penyalurannya lewat berbagai kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi). Dalam ekonomi-politik hasrat, sifat-sifat rasionalitas ekonomi dikendalikan sifat-sifat irasionalitas hasrat. Ketika kreativitas ekonomi dikuasai dorongan hasrat dan sensualitas, yang tercipta adalah
sebuah ”budaya ekonomi”, yang dipenuhi berbagai strategi penciptaan ilusi sensualitas, sebagai cara untuk mendominasi selera (taste), aspirasi, dan keinginan masyarakat dieksploitasinya. Sensualitas dijadikan kendaraan ekonomi dalam rangka menciptakan keterpesonaan dan histeria massa (mass hysteria) sebagai cara mempertahankan kedinamisan ekonomi.
Akibatnya, apa yang beroperasi di balik aktivitas ekonomi adalah semacam ”teknokrasi sensualitas” (technocracy of sensuality)—di dalamnya nilai-nilai budaya ekonomi ditopengi tanda-tanda sensualitas, yang menciptakan semacam ”erotisasi kebudayaan”. Berbagai bentuk khayalan lewat voyeurisme diciptakan, yang mengondisikan orang memuja ”citra tubuh”. Bisa jadi ekspresi kebebasan dua perempuan pengarang ini dijadikan media penumpahan keliaran libido laki-laki. Ekspresi perlawanan terhadap kekerasan tersamar dalam ranah seks perempuan, justru menjadi perangsang laki-laki untuk membacanya. Bukan untuk menyelami ketertekanan perempuan tapi sebagai media eskapisme erotisme otak mereka.Namun, memang tak gampang meretas kultur yang telah tertanam kuat. Yang jelas, setidaknya mereka berdua telah memulainya dan berhasil menarik perhatian publik. Setapak langkah perbaikan telah dimulai dari dunia sastra. Oleh: R. Sugiarti, Relawan pada UNICEF Indonesia, Pengamat Perempuan & Budaya. Sumber: Sinar Harapan
Transseksual, Minoritas yang Terlupakan BENARKAH Mbak Dorce Gamalama melawan kodrat? Pertanyaan ini mungkin timbul dalam hati saat membaca wawancara Kompas dengan artis Dorce (Kompas, 27/7/2003). Pada tanggal yang sama, Suara Pembaruan Minggu mengetengahkan kisah Liz Riley, seorang ayah yang berubah menjadi ibu. ADA orang yang terlahir lelaki namun sejak kecil merasa dirinya perempuan sehingga mereka hidup layaknya perempuan. Contohnya, dalam wawancara dengan Kompas, Mbak Dorce mengungkapkan bahwa ia sejak kecil merasa dirinya perempuan. Liz Riley terlahir lelaki, bahkan ia sempat kawin dan memiliki anak, namun ia selalu merasa dirinya perempuan, sehingga akhirnya memutuskan untuk hidup sebagai ibu. Sebaliknya, ada juga orang yang terlahir perempuan tetapi merasa dirinya lelaki sehingga mereka hidup sebagai laki-laki. Contohnya Brandon Teena, yang hidupnya dikisahkan dalam film pemenang Oscar, Boys Don’t Cry. Contoh lainnya Billy Tipton, musisi jazz Amerika, yang dikenal sebagai lelaki ramah, suami dari empat istri, dan ayah bagi
sejumlah anak. Namun, ketika ia meninggal, petugas jenazah mendapati ia memiliki alat genital wanita. Mereka merupakan contoh kaum transseksual. Ada yang disebut male-to-female transsexual (MFT), yaitu transseksual dari lelaki ke perempuan. Sebaliknya, Brandon Teena dan Billy Tipton disebut female-to-male transsexual (FMT), yaitu transseksual dari perempuan ke lelaki. Hakikat transseksual Selama ini alat kelamin fisik, berupa alat reproduksi, sering dianggap satu-satunya penentu perilaku jenis seseorang. Padahal, masih ada variabel lain, yaitu identitas jenis kelamin (sex identity) atau identitas jender, yang ditemukan pada tahun 1972 oleh Money dan Erhardt setelah meneliti ratusan individu. Menurut Kessler dan McKeena, dalam Gender: An Ethnomethodological Approach (1978), identitas jenis kelamin adalah perasaan mendalam atau keyakinan dalam batin seseorang yang membuatnya merasa sebagai lelaki atau perempuan. Dengan kata lain, identitas jenis kelamin adalah keyakinan mendalam pada seseorang tentang apakah dia itu pria atau wanita. Sex identity, yang dapat disebut jenis kelamin jiwa, semata-mata tergantung dari perasaan orang bersangkutan dan tidak selalu sejalan dengan penilaian orang, pakar sekalipun. Jenis kelamin jiwa merupakan variabel mandiri terhadap seks fisik, artinya dapat sejalan atau bertolak belakang dengan kelamin fisik. Jenis kelamin jiwa mulai tertanam pada usia dua tahun, namun biasanya mulai disadari dengan kuat menjelang remaja. Mayoritas warga memiliki sex identity sesuai dengan jenis kelamin fisiknya. Namun, transseksual memiliki sex identity berbeda dari seks fisiknya. Jadi, MFT bertubuh lelaki tetapi merasa dirinya perempuan. Sebaliknya, FMT bertubuh perempuan namun merasa dirinya lelaki (bukan sekadar tomboi, karena seseorang yang tomboi, sekalipun berperilaku kelaki-lakian, masih tetap merasa perempuan). Karena itulah, MFT berperilaku sebagai perempuan. Masalahnya, masyarakat sering menyalahkan, mengapa orang yang terlahir laki-laki sampai merasa dan berperilaku sebagai perempuan dan sebaliknya pada FMT. Sebelum sex identity ditemukan, para pakar menganggap transseksual merupakan orang abnormal yang perlu disembuhkan dengan aneka terapi, termasuk kejutan listrik. Namun, kini disadari bahwa sex identity lebih kuat daripada kelamin fisik. Karena itu, jika seorang transseksual diminta menyelaraskan perilaku dengan bentuk fisiknya, yang lebih banyak terjadi bukan perubahan perilaku, melainkan perubahan fisik. Penyebab transseksual belum dapat ditentukan secara pasti. Sebagian menduga pengaruh hormon dalam kandungan. Misalnya, kekurangan testosteron pada janin dengan kelamin
fisik lelaki dapat menyebabkannya memiliki kelamin jiwa perempuan. Sebaliknya, kelebihan testosteron pada janin dengan kelamin fisik perempuan dapat menyebabkannya memiliki seks jiwa lelaki. Namun, sebab sebenarnya masih merupakan misteri. Variabel yang juga menentukan perilaku adalah orientasi seks, kecenderungan mencari pasangan. Umumnya, transseksual tertarik terhadap lawan jenis sehingga mirip warga masyarakat umumnya. Namun, ada juga transseksual yang tertarik kepada kaum sejenis. Contohnya Julie Peters, politisi Australia, yang terlahir sebagai lelaki tetapi memiliki sex identity perempuan. Setelah usia 40 tahun Julie memutuskan menjalani operasi dan menjadi perempuan. Namun, Julie mengaku tetap tertarik kepada perempuan. Lorong kegelapan? Seorang bijak pernah mengatakan, "Apakah gunanya seseorang mendapatkan seluruh dunia tetapi kehilangan dirinya sendiri?" Banyak orang mengamini sabda tersebut, tetapi tidak mau menerima bahwa bagi transseksual, diri sendiri itu adalah jati dirinya sesuai dengan sex identity yang dimiliki. Dengan demikian, transseksual yang terpaksa menutupi atau mengingkari jati dirinya bisa saja kelihatan sukses, tetapi dari hari ke hari ia hidup dalam kehampaan, karena mendapatkan dunia tetapi kehilangan dirinya sendiri. Sungguh beruntung jika seorang transseksual diterima lingkungannya, baik keluarga, sekolah, pekerjaan, maupun masyarakat. Namun, sebagian besar transseksual masih belum diterima lingkungannya, bahkan oleh keluarganya sendiri. Para transseksual ini terpaksa memilih satu di antara dua pilihan yang sama pahitnya, yaitu terbuang dari lingkungannya atau berpura-pura menutupi jati dirinya. Pada pilihan kedua, seorang MFT, yang memiliki jati diri perempuan, akan berpura-pura menjadi "lelaki biasa", agar diterima lingkungannya. Namun, ia akan hidup dalam tekanan batin yang luar biasa dan tiada hentinya. Selagi mayoritas warga bangsanya mensyukuri nikmatnya hidup di alam kemerdekaan, banyak transseksual belum dapat merasakan apa makna kemerdekaan itu sesungguhnya. Jutaan transseksual hidup dalam lorong kegelapan, menunggu kapan sinar terang akan muncul pada akhir lorong tersebut. Masyarakat demokratis mensyaratkan asas pluralisme dan egalitarianisme. Setiap orang, sekalipun berbeda, mendapat perlakuan sederajat, sejauh yang bersangkutan tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Kaum transseksual hanyalah orang yang berbeda, yaitu pada identitas seksualnya. Seyogianya, perbedaan ini tidak dijadikan dasar untuk meminggirkan atau mendiskriminasikan mereka, sebagaimana masyarakat juga tidak boleh mendiskriminasi orang yang berbeda warna kulit, keyakinan, atau status sosialnya. Di lain pihak, kaum transseksual perlu menghindari perilaku yang menimbulkan citra negatif, seperti berdandan terlalu mencolok, memperlihatkan obsesi berlebihan terhadap
lelaki, dan menjadi pekerja seks komersial. Penting sekali agar para transseksual dapat membangun citra yang positif, di antaranya lewat prestasi, seperti telah diperlihatkan Mbak Dorce dan mendiang Billy Tipton. Semoga seiring dengan meningkatnya pemahaman, masyarakat dapat menerima dengan wajar kaum transseksual, baik yang telah operasi maupun belum, sesuai jati diri yang mereka miliki, agar mereka dapat berdarma bakti secara optimal. Negeri ini sedang dilanda krisis multidimensi dan untuk mengatasinya diperlukan kerja sama seluruh komponen bangsa. Lebih dari itu, Prof Vern Bullough dari California State University, dalam "Transgenderism and the Concept of Gender" (International Journal of Transgenderism, Special Issue, tahun 2000), menyatakan pemahaman terhadap kaum transseksual akan bermanfaat besar untuk memahami konsep jender secara lebih komprehensif, hal yang sangat diperlukan guna membangun masyarakat dunia yang lebih manusiawi. Bambang Suwarno Aktivis Perempuan dan Relasi Jender, Tinggal di Bengkulu Sumber Kompas Cyber Media
Perempuan dan Media Massa (1)
Catatan kecil ini ingin ikut serta merayakan Hari Ibu 22 Desember 2003. Di tengah perdebatan apakah nama Hari Ibu bisa mewakili kepentingan semua perempuan, termasuk juga bagi perempuan yang secara biologis belum menyandang predikat ibu, tulisan ini justru ingin memperbincangkan konstruksi makna ibu dalam media massa kita, dengan mengambil kasus lama yang terjadi di tahun 1997. Hari Ibu 1997 telah “dicemari” dengan ditemukannya banyak mayat calon bayi akibat aborsi ilegal. Sebagai akibatnya, hujatan panjang di media massa pun diarahkan kepada perempuan. Artikel mengenai buruknya perilaku perempuan yang adalah calon ibu marak di koran-koran baik nasional maupun lokal. Dan biasanya, ketika perempuan yang dihujat, maka laki-lakilah yang menjadi penghujatnya, sehingga dari lima artikel yang disoroti dalam tulisan ini, hanya satu yang ditulis oleh perempuan. Media massa yang mengeksploitasi peristiwa tersebut rasanya telah memojokkan perempuan. Dengan menarik perhatian publik untuk lebih memperhatikan cerita-cerita yang dibangun media yang lebih mengutamakan cerita kehidupan perempuan pelaku aborsi, klinik-klinik aborsi ilegal, dan bahkan yang tidak relevan sama sekali seperti cerita tentang siapa yang menemukan mayat bayi-bayi malang tersebut, dan bukannya mempertanyakan siapa laki-laki yang bertanggung jawab atas keberadaan calon bayi
tersebut, media telah dengan sewena-wena membela kepentingan laki-laki. Karena kita hidup dalam budaya yang tidak memungkinkan kita untuk “bergender netral” seperti yang dikatakan oleh feminist Perancis Susan Bordo dalam artikelnya “Feminism, Postmodernism, and Gender Skepticism” (1990), mana ada media yang juga tidak bergender?(2). Salah satu dari artikel yang menjadi sorotan dalam catatan ini, misalnya mempertanyakan penolakan perempuan untuk menjadi ibu sementara predikat tersebut masih dianggap sakral, “Kendati bukan perilaku baru, kabar menghebohkan dari Jakarta soal keberanian sejumlah wanita yang menolak menjadi ibu manusia melalui cara-cara yang menyinggung perasaan sosial … apakah sebutan “ibu” tidak lagi sesakral dan seterhormat yang kita ketahui sehingga mesti ditolak?”(3) Membaca kalimat tersebut, bagaimana perempuan seharusnya bereaksi? Bagi mereka yang memilih untuk tidak menjadi ibu dengan cara tersebut mungkin akan merasa malu karena perbuatannya sudah dipublikasi. Apakah sebagian yang lain yang menilai sucinya posisi ibu akan tersentuh dengan kenyataan bahwa secara biologis sebenarnya mereka mampu menghadirkan sebuah kehidupan baru tetapi lebih memilih untuk tidak melakukannya? Apakah yang lain akan merasa diobjektifikasi, dituduh, maupun dikorbankan? Tentu saja ada banyak alasan bagi perempuan untuk melakukan aborsi, sebagian mungkin merasa bebas untuk memilih melakukannya sedangkan yang lain mungkin tidak punya pilihan lain. Yang pasti, memilih untuk menjadi atau menolak menjadi ibu tidak hanya berurusan dengan fungsi biologis perempuan saja, tetapi juga kewajiban perempuan untuk menjaga nilai-nilai moral yang dianut lingkungan sosialnya. Apakah catatan ini sudah demikian prejudis mencurigai adanya konspirasi antara laki-laki dan media massa? Jika dilihat dari perilaku media, rasanya tidak berlebihan untuk meragukan sifat pembebasan media yang selama ini didengung-dengungkan, bahkan dikatakan sebagai senjata kelompok marginal untuk mendapatkan posisinya. Apakah ini karena media massa masih belum kuat betul atau cukup dewasa untuk membebaskan dirinya dari pelukan “diskriminasi gender” yang tiada akhir?(4) Atau memang karena mereka sendiri pada dasarnya bersifat diskriminatif terhadap perempuan? Jika kita menilik figur angka pelaku media massa, ada suatu pembagian yang sangat tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki.(5) Ketimpangan jumlah antara jurnalis perempuan dan laki-laki tentu tidak dengan sendirinya menjawab pertanyaan kenapa media kita begitu seksis. Belum tentu jurnalis perempuan sudah memiliki perspektif gender dalam menurunkan tulisan dan menilai permasalah sosial yang dihadapinya. Ironisnya, jika media massa di satu sisi mempromosikan nilai-nilai “kesejajaran” antara laki-laki dan perempuan, di sisi lain masih juga menjalankan praktek-praktek obsolit. Di satu sisi, sebagai agen dari propaganda adil gender, media massa memberikan aplaus
pada slogan “peran ganda perempuan modern”, di sisi lain mereka menuntut perempuan, sebagai “lawan jenisnya”, untuk tetap tinggal “terdomestikasi” dengan meragukan kemampuan mereka untuk berkarya di dunia publik, tentu saja dengan menggunakan perspektif media massa yang maskulin. “… kesempatan pun tidak banyak buat wanita untuk berperan di luar rumah. Lalu kembali lagi peran rumah tangga ditekankan.” (6) Secara arogan, media massa, mengaku memiliki hak untuk menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh perempuan. Dalam hal ini, media massa telah menjadi tidak lebih sekedar perpanjangan penindasan laki-laki terhadap perempuan. Secara sinis (atau karena cemburu?) dan dihantui oleh kontra-hegemoni kultural dan material yang dimiliki perempuan, media menganggap bahwa keberhasilan perempuan di ranah publik tidak lebih sekedar cerita sukses negara untuk mengeksploitasi mereka dalam mendorong pembangunan nasional. Seringkali media massa menulis bahwa partisipasi perempuan di dunia publik hanyalah bukti kejahatan kapitalisme yang mendehumanisasi mereka, bahkan membanting nilai kemanusiaan mereka di bawah nilainilai produksi dan pasar.(7) Namun, bukankah diskriminasi gender sudah ada bahkan sebelum era modernisme? Model produksi kapitalisme bukankah “hanya” memanfaatkan ketimpangan gender itu yang kemudian, karena reproduksi pola yang terus menerus, semakin mempertajam segregasi ranah publik-domestik.(8) Hal ini tentu bukan hanya hasil patrimoni dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi lebih merupakan transformasi yang muncul karena keterlibatan semua faktor ini yang terus direproduksi karena telah terbukti menguntungkan sebagian pihak yang kebetulan semakin berkuasa. (9) Pada saat media massa menghujat peran perempuan bekerja, mereka memuja-muja peran ibu sebagai faktor penentu dari masa depan bangsa dengan mempersiapkan keturunan mereka dalam menghadapi era tinggal landas. Gagasan bahwa rumah tangga adalah urusan perempuan, walaupun kedengaran tidak sesuai dengan slogan kesejajaran, tentu saja didukung oleh institusi yang bernama negara, karena pembagian posisi peran lakilaki dan perempuan yang jelas dan tertib bisa mendukung suksesnya program-program pemerintah. Tarik ulur antara meraih dunia publik dan mempertahankan dunia domestik, betapapun dikotomi publik-domestik masih bisa diperdebatkan, bisa jadi membingungkan perempuan dalam menentukan posisi mereka. Apakah mereka harus kehilangan hak-hak istimewa (privilege) yang sudah terlegitimasi hanya untuk satu posisi yang tidak jelas jika mereka harus memasuki dunia asing yang dinamakan ranah publik? “Peradaban milenium ketiga hanya bisa berharap agar kaum wanita memilih untuk tidak gagal menjadi ibu anak-anak zaman."(10) Karakterisitik media massa yang manipulatif seringkali juga merugikan perempuan jika kasus-kasus yang diangkat melibatkan perempuan. Dalam mengenangkan kasus Marsinah, tahun 1993, masyarakat, terutama “kaum perempuan” dan “kaum buruh”
(workers and women)(11), berterimakasih kepada media massa karena mereka telah secara terus menerus melaporkan kasus tersebut dan menarik perhatian internasional terhadap stigma tersebut. Mereka telah membawa nama Marsinah ke posisi terpopuler dan paling banyak dibicarakan hanya setelah kematiannya. Namun penulis berpikir, apa yang terjadi jika Marsinah tidak terbunuh? Atau pertanyaan yang lebih seksis, bagaimana jika Marsinah bukan seorang perempuan melainkan laki-laki? Bukan Marsinah tetapi Marsono? Apa yang sebetulnya menarik perhatian media massa tentang skandal ini? Apakah pembunuhannya, apakah isu gendernya, konflik kelas, atau karena kecurigaan adanya praktek-praktek kekuatan politik di belakang pembunuhan ini? Media massa telah mengeksploitasi seluruh kehidupan masa lampau Marsinah, mencampuri kehidupan keluarganya, teman-teman, pacar, tetangga, dan meramu serta menyajikan semua ini dengan terminologi-terminologi politik yang susah dipahami. Kita mungkin tidak pernah tahu apakah sikap kritis Marsinah adalah perwujudan dari kesadaran politisnya atau hanyalah pertahanan dirinya menghadapi kesulitan hidup sehari-hari. Media massa menggunakan “kematiannya” dan bukannya kehidupannya yang singkat sebagai bahan berita, karena siapa dia sebelum kematiannya bukanlah “berita yang pantas dipublikasikan”. Reproduksi berita-berita dan spekulasi media massa yang ditampilkan secara berulang-ulang telah menghasilkan versi-versi yang semakin fantastis. Alhasil media massa telah menciptakan skenario mereka sendiri tentang perang gender yang tidak pernah berakhir. Tidak terelakkan juga analisa politik bahwa pembunuhan Marsinah ini adalah panggung cerita konflik antara laki-laki yang direpresentasikan oleh orang-orang yang berkuasa sebagai “pembunuh” dan perempuan diwakilkan oleh Marsinah sebagai “terbunuh”. Siapakah yang memenangkan kontes ini? Nampaknya justru media massa, peserta kontes yang tidak terdaftar, atau juri, yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk bagaimana cerita harus berakhir. Akhir cerita berubah menjadi kabur dan hanya media massa yang sadar akan substitusi antara apakah yang sesungguhnya (real) dan reproduksi dari yang sesungguhnya (hyper-real). Ketika cerita-cerita tentang buruh perempuan menampilkan nama-nama lain, media massa-lah yang melahirkan “reproduksi” dari sosok Marsinah. Dalam ketimpangan relasi gender inilah, perempuan ditantang untuk menentukan posisinya, apakah mau secara naive terbawa arus dan mempertahankan “hegemoni kultural” yang terus-menerus dan mendapatkan penghormatan sebagai “ratu rumah tangga”, atau sebaliknya bersikap radikal manghadapi ketidakadilan ini dan dengan sadar menerima label “pemberontak”. Sayangnya, perempuan seringkali menjadi kikuk dan rapuh menghadapi semua tantangan ini. Dengan malu-malu mereka mempertontonkan pencapaian mereka dan menentukan sendiri standar keberhasilannya, meminta-minta pengakuan dari laki-laki, dan pada akhirnya meminta penghargaan dalam bentuk fasilitas untuk menstimulasi keberhasilan yang lebih baik lagi.(12) Secara tidak sadar hal ini mempertahankan “ketergantungan terwariskan” pada perempuan terhadap laki-laki.
“Memperingati hari yang sering disebut hari permuliaan kaum ibu ini, adalah saat yang paling baik untuk berterima kasih atas jasa-jasa ibu dalam melaksanakan tugas kodraatinya, yakni hamil, melahirkan, menyusui. Perwujudan dari rasa terima kasih itu bisa berupa pemberian kesempatan untuk berkarya cipta seperti kaum pria.” (13) Bukanlah pernghargaan maupun pengakuan yang seharusnya diminta perempuan, melainkan “ruang” yang dapat membantu perempuan menjadi tumbuh, dewasa dan berpikir lebih rasional dengan kesadaran mereka sendiri. “Ruang” dimana mereka bisa belajar memahami pengalaman mereka, tidak hanya pengalaman yang sama melainkan juga yang berbeda-beda dan personal. Namun demikian, justru pembagian “ruang” inilah satu-satunya gagasan yang masih susah untuk diserahkan oleh laki-laki, tidak tanpa dominasi. Sama susahnya untuk merelakan 30% posisi calon legislatif pada perempuan. Hanya melalui kesadaran inilah, apapun yang mereka lakukan, perempuan mampu untuk membebaskan diri mereka dari “alienasi” terhadap tubuh dan kehidupannya sendiri.(14) Media massa, sebagai penerus aspirasi masyarakat, jika tidak diskriminatif gender sebetulnya adalah alat yang bisa diandalkan bagi perempuan untuk menyuarakan kepentingan mereka. Apalagi di era reformasi sekarang ini, dimana media massa mempunyai akses bebas terhadap sumber-sumber berita dan kebebasan mengemukakan gagasannya. Harapannya adalah, jika isu yang sama muncul kembali, semoga saja ada lebih banyak suara yang mendukung, atau setidaknya empati terhadap perempuan. Sebab, kasus aborsi tidak bisa dipisahkan juga dari perilaku laki-laki. Namun, dengan melihat begitu banyaknya kejadian yang menimpa perempuan sepanjang tahun ini saja, enam tahun sejak kasus aborsi masal tersebut meledak, mulai dari kasus TKW sampai dengan pornografi, dan kecenderungan media massa untuk menampilkannya dalam berita dengan bahasa-bahasa dan analisa yang melecehkan dan tidak berpihak pada perempuan, semoga tulisan ini tidak terlalu skeptis dan pesimis dengan menanyakan satu pertanyaan akhir yang belum juga terjawab, yaitu jika “medianya” saja sudah tidak sensitif gender, apakah mungkin “pesannya” menjadi lebih adil terhadap perempuan? Dan satu lagi, bukankah Hari Ibu intinya memperingati semua perempuan, dan bukan hanya yang telah dan bersedia menjadi ibu saja?
Wiwik Sushartami adalah Pemerhati masalah gender dan media, sedang menyelesaikan studi di Universitas Leiden, Belanda
Catatan Belakang (1)Dua koran lokal yang dibahas dalam tulisan ini mengacu pada isu-isu nasional
sehingga bisa menggambarkan juga suasana nasional. (2) Susan Bordo, “Feminism, Postmodernism, and Gender Skepticism”, dalam Feminism/Postmodernism, Linda J. Nicholson (Ed.), (London: Routledge, Chapman & Hall, Inc.,1990) (3)Mutrafin, “Otak dan Watak Terdidik Ibu Manusia”, Bernas, 22 December 1997, hal 4 (4)Omi Intan Naomi menuliskan bahkan jurnalisme Amerika, yang sudah seratus tahun lebih usianya saja sampai tahun 1990an masih menganut sistem gender yang timpang. Jadi masuk akal juga jika jurnalisme Pancasila yang kita punyai juga masih kental dengan bias gender. Dalam “Wartawati Herstory”, Sangkan Paran Gender, Irwan Abdullah (Ed), Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1997), hal 105. (5) Secara keseluruhan hanya ada 8,6% jurnalis perempuan di Indonesia pada tahun 1994 menurut Serikat Jurnalis Indonesia, (ibid.: 104) (6) P. Bonnie Kertaredja, “Kembalikan Peran Wanita Sebagai Ibu Rumah Tangga”, Kedaulatan Rakyat, 23 December 1997, hal. 4 (7) Achmad Zaini Abar, “Perempuan Dalam Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia”, Kedaulatan Rakyat, 19 December 1997, hal. 4 (8) Michael Barrett dalam Josephine Donovan, Feminist Theory: The Intellectual Traditions of American Feminism, (New York: the Continuum Publishing Company, 1997), hal.76. (9) Maila Stivens dalam G.G.Weix, Concealing Politics, Revealing Women: Gendered Icons of Labor in Indonesia, paper yang disampaikan dalam International Conference on Women in the Asia-Pacific Region: Person, Power, and Politics, NUS, 11-13 Agustus 1997 (10) Abdul Munir Mulkham, “Anak Tekhnologi Mencari Ibu”, Kedaulatan Rakyat, 23 December 1997, hal. 4 (11) Marsinah berumur 23 tahun ketika dibunuh. Dia bekerja di pabrik komponen jam tangan di Jawa Timur dan dibunuh setelah keterlibatannya dalam protes menuntut pembayaran tambahan. Lihat Weix. (12) Katharina Graham mencatat beberapa kesalahan tipikal yang dibuat oleh perempuan, yaitu meminta perlakukan khusus untuk perempuan, menentukan sendiri standar kesuksesan mereka yang lebih sering tidak sesuai dengan standar laki-laki, dan tidak mencoba memaknai ulang nilai-nilai femininitasnya sesuai dengan nilai-nilai
maskulinitas. Lihat Naomi, hal. 125. (13) Widyastuti Purbani, Melihat Kembali Gereget Peringatan Hari Ibu, Bernas,22 December 1997,hal. 4 (14) “Alienasi” dan “gagasan tentang praksis” adalah dua dari lima fokus utama dalam feminisme sosialis kontemporer. Tiga yang lainnya adalah relasi langsung antara perempuan dan akses produksi, hubungan antara perempuan dan kelas, dan peran keluarga dalam sosialisasi ideologi. Lihat, Donovan, hal. 76. Sumber: Jurnal Perempuan Online
Membangun Resistensi, Membongkar Stereotipe Publik kini bebas memilih dan menikmati tayangan ataupun bacaan di berbagai media. Kebebasan ini bagaikan sebuah representasi hak otonom publik untuk memilih bentuk sajian media yang mereka sukai. Namun dibalik itu, kita lupa dengan terjadinya “penyeragaman” dalam tayangan ataupun bacaan itu sendiri yang berakibat pada memaksa penonton untuk mengikuti apa yang si pembuat media inginkan. Contoh sederhana adalah tayangan iklan. Iklan yang ditayangkan terus menerus berpotensi menggiring penonton untuk “harus” mengikuti standar-standar nilai yang disematkan. Menyaksikan iklan shampo; rambut lurus hitam adalah nilai yang disampaikan penonton bahwa rambut seperti demikian yang ideal bagi perempuan. Semua ini tentu tidak lepas dari motif-motif politik-ideologis tertentu dibalik penyajian tersebut. Sebagai contoh yang paling mudah, adalah iklan kosmetik dan minyak goreng. Iklan kosmetik mengiklankan tentang kulit putih mulus dan tubuh langsing ideal perempuan. Iklan tentang minyak goreng adalah contoh lain tentang nilai-nilai domestifikasi perempuan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas segala kesehatan suaminya. Bagaimana menganalisa masalah ini? Sebagaimana Sara Mills, titik perhatian utama saya adalah pada wacana feminisme. Alasannya, seperti halnya pendapat Eriyanto (2001) banyak tayangan ataupun bacaan di media yang melibatkan perempuan dan yang terbanyak tentu saja adalah tayangan iklan. Produksi Kekuasaan Michel Foucault, adalah salah satu filsuf postmodernis yang menawarkan analisis tentang motif-motif tertentu pada suatu media atau teks. Foucault mengatakannya sebagai “produksi kekuasaan”. Bahwa kekuasaan tidak bertumpu pada satu titik sentral termasuk tidak hanya pada pihak-pihak yang dominan, melainkan tersebar di seluruh masyarakat
(tidak ada seorang pun yang memilikinya) (John Lechte, 2001). Kuasa bukanlah milik raja, boss, presiden, atau pejabat, tetapi dalam bentuk strategi. Kekuasaan tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui normalisasi yang positif dan produktif, yaitu melalui wacana. Iklan, adalah salah satu tayangan media yang menyebarkan kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh perempuan. Produksi kekuasaan yang terjadi kemudian adalah munculnya strategi untuk menghembuskan wacana “langsing”, “kulit putih”, “rambut lurus hitam panjang”, yang mencuat terus menerus sehingga secara tidak sadar masyarakat menganggap tubuh perempuan yang ideal dan normal adalah; langsing, berkulit putih, dan berambut lurus. Disini tengah berlangsung bergulirnya strategi kuasa yang diproduksi terus menerus. Wacana yang dihembuskan ini secara perlahan-lahan menciptakan kategorisasi, seperti perilaku baik atau buruk yang sebenarnya mengendalikan perilaku masyarakat yang pada akhirnya dianggap kebenaran yang telah ditetapkan. Atas hal ini, bukan tubuh fisik lagi yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu. Iklan bukan lagi menjadi pelayanan terhadap konsumen, melainkan menormalkan individu agar perilakunya sesuai dengan yang diinginkan si pembuat iklan. Foucault menegaskan persoalan ini sebagai kekuasaan atas kehidupan modern atau kapitalisme, salah satunya yaitu untuk mencapai target penjualan produk (Eriyanto,2001). Sebagai contoh, iklan Pond’s yang pernah ditayangkan di media televisi jelas menunjukkan bahwa kulit putih lebih baik daripada berkulit gelap. Dalam iklan tersebut ditampilkan seorang fotografer mengambil ancang-ancang membidik dua gadis kembar, yang satu berkulit gelap, yang lain berkulit putih. Fotografer si lelaki tampan itu memilih membidik kameranya kepada si gadis yang berkulit putih. Mengetahui hal itu, gadis berkulit lebih gelap berwajah murung, kemudian berusaha memutihkan kulitnya dengan harapan lelaki itu memperhatikannya. Iklan yang membenarkan “kulit putih lebih cantik daripada kulit hitam” tidak dibentuk dengan reproduksi kekuasaan represif, melainkan melalui reproduksi kreatif. Melalui iklan, individu didefinisikan, dibentuk, diciptakan, yaitu perempuan cantik adalah yang berkulit putih dan lelaki normal adalah yang menyukai perempuan berkulit putih. Atau iklan tentang tubuh ideal perempuan langsing dan tinggi. Perempuan kemudian diatur, digiring untuk menjadi ramping, bahwa tubuh ideal perempuan seperti pada perempuan yang menjadi model iklan Tropicana Slim, atau iklan The Cambridge Diet yang menuliskan kata-kata,”Lost the weight, not the fun …” dengan lingkaran merah besar yang menutupi sebagaian tubuh ramping kurus perempuan bule yang sedang melompat, bertuliskan “Yes! Turunkan berat badan anda hingga 5 kg perminggu!” Katakata itu menunjukkan bahwa menjadi kurus adalah kegembiraan dan kepuasan. Atau pada iklan minyak goreng, terdapat kata-kata,”jangan-jangan kolesterol suamiku tinggi karena aku salah pilih minyak goreng”. Jelas sekali adanya domestifikasi
perempuan bahwa istrilah yang harus bertanggungjawab bila suaminya terkena penyakit tertentu. Istri ideal adalah yang terus merasa bersalah bila terjadi sesuatu pada suami mereka. Masyarakat kemudian menginternalisasi “istri ideal” adalah seperti itu. Iklan itu menunjukkan adanya bias dalam menampilkan perempuan dimana istri cenderung ditampilkan sebagai pihak yang salah. Langsing putih dan berambut lurus menjadi wacana dominan perempuan ideal di masyarakat kita. Wacana dominan ini menggeser atau memarginalkan wacana lain yaitu bagi perempuan-perempuan yang tidak berkulit putih dan tidak bertubuh langsing. Akibatnya adalah perempuan yang tidak bertubuh langsing dan tidak berkulit putih kehilangan kepercayaan atas tubuhnyadan kehilangan identitas karakter tubuhnya sendiri. Wacana tubuh perempuan yang tidak dominan ini diabaikan (left out). Berbagai upaya mengimbangi wacana dominan ini seperti yang dilakukan Dewi Huges atau Anita Roddick yang peduli terhadap masyarakat pedalaman dengan melihat kecantikan perempuan Afrika pada akhirnya tidak mampu mengalahkan wacana dominan tadi. Roddick sampai bersusah payah membuat maskot “The Body Shop” serupa boneka Barbie tetapi bertubuh besar, berambut ikal dengan kulitnya yang berwarna. Ia menyebutnya sebagai suatu pencerahan terhadap kapitalisme (Adriana Venny,2000). Resistensi Perempuan Melalui Media Seni Sangat memprihatinkan bila perempuan-perempuan yang tidak bisa mencapai wacana dominan tentang tubuh ideal tadi membuat mereka terobsesi dan memaksakan diri dengan berbagai upaya yang bahkan bisa membahayakan mereka. Bagaimana mungkin kulit hitam bisa menjadi putih hanya dengan kosmetik? Lagipula wacana dominan ini mengandung pelecehan terhadap ras yang berkulit hitam. Masihkah kita perlu membanggakan diri atau bersedih hati karena kulit kita? Iklan-iklan yang memelihara nilai-nilai seperti itu sesungguhnya menumbuhkan stereotip baru terhadap perempuan, yaitu konsep yang mencakup seks dan gender dimana seks adalah indentifikasi untuk membedakan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (jenis kelamin) yang lebih digunakan untuk persoalan reproduksi dan aktivitas seksual(Suzanne dan wendi,1997) sedangkan gender menjelaskan adanya pembedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari konstruksi sosial-budaya.(Elaine,1989) Stereotipe tidak lepas kaitannya dengan seks dan gender, yaitu suatu konsep sosial yang berhubungan dengan pembedaan (distinction) karakter psikologi dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya (sex). Misalnya perempuan dijelaskan berkarakter baik bila ia sebagai ibu rumah tangga atau istri yang baik (seperti pada iklan minyak goreng), sedangkan laki-laki berkarakter baik bila ia sebagai individu di atas dunia yang lebih luas (Tierney). Mansour Fakih bahkan
lebih jelas mengatakan bahwa stereotipe adalah pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, yang akibatnya terjadi diskriminasi dan ketidakadilan(Fakih 1997). Stereotipe: Wacana Dominan, Wacana Oposisi Biner Stereotipe terhadap perempuan seperti lebih mudah dijelaskan dengan bertitik tolak pada wacana oposisi biner yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya. Dalam Sorties, Hélén Cixous menulis hirarki oposisi biner yang selalu menempatkan dua hal dalam relasi yang superior-inferior seperti “Activity/passivity, Culture/nature, Head/heart, Intelligible/palpable Man/woman” (Priyatna 2000) Masyarakat manapun, termasuk Indonesia masih memegang stereotip bahwa laki-laki berada di wilayah kiri (aktif, beradab, rasional, cerdas) sedangkan perempuan di wilayah kanan (pasif, dekat dengan alam, emosional, kurang cerdas). Iklan-iklan yang membuat standar tubuh perempuan ideal membuktikan bagaimana laki-laki (lebih banyak dibagian produksi iklan) menciptakan perempuan untuk sesuai dengan fantasi mereka tentang “perempuan sexy atau cantik”. Model-model perempuan adalah obyek yang dikreasi untuk mencapai fantasi tersebut, sedangkan laki-laki adalah penciptanya. Tidak hanya iklan, stereotip oposisi biner menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan dimana ini terjadi pula dalam media seni. Dalam media ini perempuan adalah obyek yang dikreasikan atau diciptakan oleh keinginan, hasrat dan daya pikir laki-laki, perempuan adalah obyek yang pasif, yang bisa dibentuk sebagaimana yang diinginkan laki-laki. Seperti Basuki Abdullah seorang pelukis terkenal pernah berkata,”Perempuan itu lebih cocok untuk dilukis daripada sebagai pelukis.” Antiphanes seorang dramawan komedi Yunani juga mengatakan,”Perempuan tak akan hidup lagi setelah kematian, kecuali dibangkitkan lawan kesenian oleh pria.” Penyair metafisis Inggris pada sekitar abad 17 bahkan menggambarkan perempuan itu cuma kata-kata (passivity, palpable), sedang perbuatan adalah pria (activity, intelligible).(Swara Harian Kompas, 1999). Atas hal ini, dapat disimpulkan bahwa tampaknya perempuan dalam media ditempatkan sebagai yang abstrak, sedangkan pria itu konkrit. Perempuan yang “dikerjakan” dan lelakilah yang mengerjakan. Wacana dominan yang berwajah stereotipe ini memagari perempuan sehingga mereka tidak mampu mengekspresikan dirinya. Seperti yang dialami pelukis Lucia Hartini dan Kartika Affandi Koberl. Ketika menjadi pelukis, mereka dianggap “sinting” atau aneh oleh masyarakat sekitarnya, karena ada stereotipe dimana ibu rumah tangga seharusnya mengurus rumah tangga, bukannya melukis (Bianpoen,1996). Kenyataan bahwa perempuan dalam media seni tidak diterima sebagai subyek sebetulnya sudah dialami oleh Kartini dan adiknya, Roekmini. Dalam suratnya, sekitar tahun 1901 bahwa saudara perempuannya yang bernama Roekmini ingin menjadi pelukis di akademi senirupa di Den Haag, tetapi tradisi tidak memberi tempat kepada anak perempuan diluar lingkungan rumah. Adanya stereotipe bahwa perempuan tidak boleh di luar lingkungan
rumah mengakibatkan Roekmini tidak pernah mendapat kesempatan belajar seni rupa seperti yang pernah dicita-citakannya (Bianpone,1996). Begitupula di bidang sastra, Ayu Utami penulis novel Saman sebagai pemenang juara pertama sayembara roman DKJ 1997-1998 sempat dicurigai bahwa itu bukan karyanya, melainkan tulisannya Goenawan Muhammad. Ada faktor ketidakpercayaan masyarakat dengan mempertanyakan bagaimana mungkin perempuan dapat mencapai kesuksesannya di bidang sastra, dan masyarakat lebih percaya bila kesuksesan sebuah karya seni ada di tangan laki-laki (stereotipe). Akibatnya, buah pikiran Ayu Utami dicurigai sebagai buah pikiran laki-laki, yang dianggap lebih mungkin dan masuk akal. Kecurigaan tersebut bisa kita lihat di beberapa media massa dan gunjingan di sekitar kelompok-kelompok sastra. Seperti dalam surat kabar Suara Pembaharuan, dituliskan judul yang sangat melecehkan,”’Saman”, Puas tapi Minta Tambah”, yang isinya mengasumsikan bahwa fragmen dari novel itu benar-benar mengundang libido pembaca (dalam hal ini berarti libido laki-laki) dengan menempatkan Ayu Utami sebagai obyek berita yang sensual, bukan karya sastranya. (Suara Pembaharuan, 1998) Membongkar Stereotip Melalui Media Seni Stereotip memang sangat merugikan perempuan yang tidak hanya dalam iklan tetapi juga masuk ke wilayah seni. Namun, dibandingkan dengan media iklan, media seni ternyata dapat juga menjadi alat untuk mendobrak stereotipe itu sendiri. Dalam media seni kita bisa menemukan semangat kebebasan dibandingkan dengan media iklan. Hans Georg Gadamer pernah mengatakan bahwa tidak ada aturan-aturan seni yang bersifat universal. Aturan-aturan itu diberikan oleh alam melalui para genius. Seperti apa yang dikatakan Imanuel Kant bahwa “seni murni adalah seni para genius”. Itu berarti bahwa seni tidak dapat diatur oleh adanya stereotipe ataupun konstruksi sosial yang menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan. Tidak ada aturan seni yang menempatkan perempuan harus sebagai obyek. Di ranah seni rupa, Lucia Hartini dan Kartika Affandi Koberl akhirnya mengalami kesuksesan terutama karya mereka yang sangat feminis. Dalam Srikandi (1993) Lucia Hartini melukis perempuan yang diletakkan sebagai subyek. Perempuan dalam lukisan itu berani dengan tinju terkepal, otot-otot lengan yang kencang dengan sebelah matanya keluar cahaya tajam yang menembus mata-mata yang sedang mengintip. Dalam lukisannya itu Lucia Hartini telah mendobrak adanya stereotipe dengan menempatkan perempuan sebagai manusia berani dan aktif. Demikian pula Kartika Affandi Koberl dalam karyanya Potret Diri yang lebih menggambarkan integritas perempuan gigih dan kuat dalam menghadapi kesulitan hidup. Garis-garis kuasnya menaruh kontemplasi dan ekspresi perasaan yang sangat kuat.
Di ranah sastra, Ayu Utami yang ditimpa gunjingan sana-sini juga tidak mengurangi kesuksesannya. Di dalam novel-novelnya selalu ia tanamkan tentang karakter perempuan mandiri, yaitu perempuan sebagai subyek yang memandang, dan laki-laki sebagai obyek yang dipandang. Ia juga memberontak terhadap stereotipe keperawanan perempuan. “Dengar kawan-kawan, kataku, jika agama dipakai untuk urusan ini, pada akhirnya yang salah adalah Tuhan. Mendengar itu Yasmin marah sekali, sehingga kami kepingin berkelahi. Laila melerai dengan usul menyisihkan dulu perkara itu, sebab menurut dia musuh kita adalah laki-laki… Apa salah laki-laki? Jawab Laila: sebab mereka mengkhianati wanita. Mereka cuma menginginkan keperawanan, dan akan pergi setelah si wanita menyerahkan kesucian … Tiba-tiba aku ingin berteriak, tapi kukatup mulutku rapat-rapat karena aku tak ingin kembali bertengkar. Sebab menurutku yang curang lagilagi Tuhan: dia menciptakan selaput dara, tapi tidak membikin selaput penis”. (Utami, 1998) Ayu Utami juga menggugat stereotipe masyarakat tentang hubungan lelaki dan perempuan. “Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit. (Utami, 1998) Dalam ranah teater atau drama, Bisma Al Huseini dari Mesir melakukan pemberontaknnya lewat media teater. Ia seorang aktris yang mencoba melakukan perlawanan kepada cara pandang masyarakat terhadap perempuan yang selama ini sangat stereotipe. Dialah perempuan yang memimpin teater dimana pada awalnya tidak didukung oleh siapa pun. Tetapi ketika ke Beirut, dia menjadi orang besar yang dihargai oleh orang lain sebagai perempuan perkasa yang memiliki cita-cita mulia. Sejak itu posisinya menguatkan perempuan lain untuk ikut berteater sebagai usaha perlawanan mereka.(Bimo Nugroho, 2001) Penutup Bahwa perempuan dalam media bisa menjadi obyek yang dieksploitasi, dibentuk dan diciptakan tubuhnya oleh imajinasi keinginan pria, tetapi di lain hal perempuan dapat menggunakan media itu sendiri sebagai sarana resistensi untuk membongkar stereotip bila perempuan itu sendiri bisa menciptakan apa yang benar-benar ia inginkan atas tubuh, jiwa dan pikirannya sendiri. * Mariana Amiruddin. Koordinator Jurnal Perempuan dan Jurnalis Radio Jurnal Perempuan di Yayasan Jurnal Perempuan. Sumber: Jurnal Perempuan Online
Mengajarkan Kesetaraan Jender KOK, enggak ada nama ceweknya, ya, Pak?" Pertanyaan tersebut meluncur dari mulut putri kecil saya yang masih duduk di kelas satu sekolah dasar (SD) ketika mengunjungi Taman Makam Pahlawan Kusuma Bakti, Jurug, Solo. Bisa jadi putri saya tidak bermaksud protes lewat pertanyaannya tersebut. Bahwa semua yang dimakamkan sebagai pahlawan di sana tidak ada yang putri, bisa benar bisa tidak karena tidak sempat menanyakan kepada kantor penjaga makam pahlawan tentang jumlah pahlawan laki-laki dan perempuan di sana. Apakah terjadi di makam pahlawan di kota-kota lain? Juga, sungguh mati, sama sekali tidak terlintas dalam pikiran saya seumur-umur mengenai laki-laki atau perempuan, mereka yang dimakamkan di taman pahlawan. Pun, putri kecil saya mungkin sekarang sudah lupa dengan pertanyaannya, tetapi saya sebagai bapak akan mengingatnya sebagai saat penting seorang anak menunjukkan "kekritisannya". Kalau taman makam pahlawan yang ada hampir di setiap kota atau kabupaten dibangun sebagai bagian tidak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa ini, bisa ditafsirkan adanya supremasi laki-laki sekaligus mengabaikan perempuan dalam perjuangan memerangi penjajah. Kelak putri saya mungkin akan merumuskan pertanyaan lain tentang apakah yang berjuang melawan penjajah hanya laki-laki, lantas siapa yang memasok makanan atau mengobati yang terluka? Untuk situasi masyarakat pada zaman kini, inilah awal tumbuhnya kesadaran akan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Kesadaran mesti dimulai dari keluarga dan ditumbuhkembangkan di sekolah. PENDIDIKAN yang memperhatikan kesetaraan jender di sekolah-sekolah masih jauh dari yang diidealkan. Mary Astuti (2000) menunjuk para guru sebagai pendidik di sekolah kurang mempunyai pengalaman dalam menanamkan nilai-nilai baru dalam hubungan heteroseksual dalam pengasuhan anak di sekolah. Mereka masih memiliki pola berpikir bahwa laki-laki akan menjadi pemimpin, sedangkan anak perempuan akan menjadi ibu rumah tangga. Anak laki-laki akan diberikan pelajaran silat atau bela diri supaya mempunyai rasa percaya yang lebih besar karena dia akan menjadi kepala keluarga, menjadi pemimpin masyarakat. Anak perempuan diberikan materi memasak atau menari sehingga mereka bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik atau bisa menjadi penghibur, di samping sekaligus pelestari budaya bangsa. Pembedaan perlakuan antara murid perempuan dan murid laki-laki juga terjadi pada upacara-upacara yang digelar di sekolah. Anak laki-laki, karena suaranya keras, selalu dipilih sebagai pemimpin upacara. Mereka tidak menyadari murid perempuan juga
mampu bersuara keras, bersuara lantang, dan pantas menjadi pemimpin upacara. Pembedaan tersebut tidak pernah diprotes siswa perempuan karena semua perlakuan tersebut mereka anggap wajar juga. Buku-buku pelajaran pun masih menunjukkan adanya ketimpangan jender. Dalam buku pelajaran bahasa Indonesia dari sekolah dasar hingga sekolah menengah umum, peran perempuan dan laki-laki dibedakan menurut peran domestik, publik, dan sosial. Kegiatan memasak selalu untuk perempuan, sedangkan berkebun, mengurus kendaraan, kepemilikan tanah, atau barang-barang yang bernilai ekonomis tinggi selalu untuk lakilaki. Profesi polisi, dokter, atau militer masih dilekatkan pada laki-laki, sementara juru masak, penari, penyanyi, identik dengan perempuan. Padahal, sesungguhnya telah terjadi banyak perubahan. Semasa taman kanak-kanak, permainan untuk anak laki-laki adalah perang-perangan, sementara anak perempuan main masak-masakan. Sejak dini, perempuan dan laki-laki dibedakan dari bentuk permainan. Pembedaan yang dilakukan bukan menunjukkan perbedaan yang esensial, tetapi pembedaan berdasarkan kebiasaan belaka. Perempuan diposisikan sebagai makhluk lemah dan perlu dikasihani, sedangkan laki-laki identik dengan dunia yang keras, kasar, dan mengandalkan ototnya. Pemahaman kesetaraan jender, kesadaran, dan sensivitas jender, oleh para penyelenggara pendidikan, para pengarang buku pelajaran, serta para guru, kiranya terus-menerus diasah demi perubahan paradigma dan persepsi yang lebih adil jender. Dengan membarui paradigma guru lewat pelatihan yang mendalami jender, guru akan dapat memperlakukan siswa secara adil jender, dan tidak ada diskriminasi yang merugikan bagi siswa perempuan ataupun laki-laki.
KEMBALI pada pertanyaan putri saya pada awal tulisan ini, tentunya taman makam pahlawan tidak bisa diubah lagi soal perempuan atau laki-laki yang mesti ditempatkan sebagai pahlawan. Cukuplah bila kelak putri saya akan mendapatkan jawaban kesetaraan jender dengan melihat komposisi anggota parlemen negaranya. Betapa kecut hatinya bahwa perlakuan laki-laki dan perempuan di makam pahlawan sama saja dengan perlakuan di Gedung MPR/DPR. Padahal, Gedung MPR/DPR bukan makam pahlawan. St Kartono Mengajar di SMU Kolese De Britto, Yogyakarta. Sumber: Kompas Cyber Media
Kesetaraan Gender dalam Pendidikan BANYAK laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa. Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya. Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya. Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan. Bias Gender Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat. Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anakanak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan. Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias gender. Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat
bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki. Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki. Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya. Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah: laki-laki yang membawa bendera pusaka itu. Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalamupacara resmi sudah selayaknya menjadi tugas perempuan. Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan. Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka di masa datang. Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut ata bukan laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi lakilaki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya. Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami". Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas. Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh lakilaki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya. Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya. Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca buku. Keterlibatan Semua Pihak Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan ini? Keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter. Kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang
berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri. Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki. Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender. (18) Dra Sri Suciati, M.Hum, Dosen FPBS IKIP PGRI Semarang, wakil sekretaris PGRI Jawa Tengah. Sumber: Suara Merdeka
Refleksi Teologi Islam mengenai Kesetaraan Jender DALAM salah satu bukunya, Hassan Hanafi mengatakan bahwa teologi Islam sangat memprihatinkan, hanya bicara tentang konsep Tuhan dan abai terhadap masalah sosial di hadapannya (Hassan Hanafi, 2003). Celakanya lagi, teologi ini dianggap sudah final oleh umat Islam, tidak boleh diperbarui. Sejatinya, teologi seharusnya merupakan refleksi kritis agama terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Perjuangan membangun keadilan dan kesetaraan jender, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari bangunan teologis. Seakan beban jender perempuan adalah "kodrat" dari Tuhan. Perempuan masih diposisikan sebagai kelompok lemah yang perlu diajari, dibimbing, dan "diamankan". Semua itu menjadi pembenaran bahwa perempuan tidak bisa berperan di ruang publik, diharuskan tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkonsentrasi di wilayah domestik. Di sini peran teologi Islam diuji. Teologi dan realitas sosial
Pada awalnya teologi Islam dibangun di atas kepentingan politik. Peristiwa pemberontakan Mu’awiyah terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib dicatat Harun Nasution sebagai awal munculnya perdebatan teologi (Harun Nasution, 1986). Perdebatan tersebut bermuara pada kebutuhan untuk mencari legitimasi politik, terutama Mu’awiyah, setelah ia memperoleh kursi kekhalifahan. Maka, konsep "fatalisme" atau "predestination" lebih dimotivasi kepentingan status quo ketimbang teologi itu sendiri. Dalam "fatalisme", pemberontakan Mu’awiyah diyakini sebagai takdir. Meski agak berbeda dengan awal kemunculannya, Abu Hasan Al-Asy’ari dipuji Nurcholish Madjid, sebab Asy’ari dianggap sukses menciptakan sebuah konsep teologi yang membuktikan peran besar Tuhan dalam jagat raya (Nurcholish Madjid, 1992). Saat itu, Asy’ari di tengah "keputus-asaan teologis" umat Islam berhadapan dengan Aristotelianisme yang menempatkan Tuhan pada posisi kurang signifikan. Lantas tokoh-tokoh Mu’tazilah juga dianggap sukses dalam melapangkan pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang menuntut banyak peran akal. Dalam konsep teologinya mereka menerangkan bahwa akal manusia sejalan dengan wahyu. Bahkan, menurut mereka, tanpa wahyu sekalipun manusia mampu mengetahui tentang Tuhan dan kebaikan. Turunnya wahyu mereka anggap sebagai afirmasi dan konfirmasi atas pengetahuan tersebut. Pandangan serupa ini menjadi landasan teologis dalam mengembangkan filsafat yang saat itu ditentang keras oleh ulama, terutama para ahli fikih (fuqoha) Dengan demikian, raison d’etre teologi Islam adalah tuntutan "realitas sosial". Teks kitab suci (Al Quran) didialogkan dengan persoalan manusia. Maka, pada masanya, teologi Islam begitu modern dan relevan dengan kebutuhan manusia. Dewasa ini, teologi Islam berhenti berdialog dengan "realitas sosial". Umat Islam terjebak dengan pendekatan hermeneutika teoretis, yakni memahami teologi untuk teologi itu sendiri. Walhasil, teologi menjadi jauh dari kebutuhan manusia. Wajar jika Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa teologi Islam terlalu berkutat pada persoalan metafisik dan meninggalkan persoalan penting kemanusiaan (Asghar Ali Engineer, 1998). Sudah saatnya umat Islam mengembangkan pendekatan hermeneutika filosofis, dengan harapan dapat membebaskan teologi Islam dari kebangkrutannya. Dengan pendekatan ini, teologi senantiasa didialogkan dengan realitas sosialnya. Apa yang dilakukan Hanafi adalah salah satu contoh menarik. Hanafi mendialogkan teologi dengan kolonialisme dan orientalisme, akhirnya terciptalah teologi pembebasan (kiri Islam). Salah satu realitas sosial yang perlu disikapi adalah diskriminasi jender. Teologi yang sejatinya memosisikan perempuan sebagai mitra laki-laki, justru disesaki kepentingan
laki-laki. Kata ganti Tuhan dalam Al Quran, misalnya, ialah Huwa, yang berarti Dia (laki-laki). Hal ini dibenarkan teolog feminis, Anne McGrew Bennet. Menurut dia teologi yang ada selama ini disesaki kepentingan laki-laki. Bennet menyatakan bahwa "revolusi teologis" adalah sebuah keniscayaan jika kita menginginkan pembebasan manusia (Anne McGrew Bennet, 1989). Jadi, dialog teologi dengan permasalahan-permasalahan perempuan adalah suatu keniscayaan. Hasil dialog semacam ini dapat kita temukan dalam teologi feminis. Di dalamnya, konsep ketuhanan yang metafisik diterjemahkan kepada persoalan pembebasan dan pemberdayaan perempuan. Lebih tepatnya, teologi feminis adalah teologi yang menggali aspek-aspek feminin Tuhan demi kesetaraan jender. Dalam Al Quran, Tuhan digambarkan memiliki 99 sifat. Oleh Ibnu Arabi, sifat-sifat tersebut dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sifat yang melambangkan keperkasaan (maskulin) dan keindahan (feminin). Sifat feminin inilah yang dieksplorasi oleh teologi feminis. Dalam pandangan Arabi, meski sifat maskulin dan feminin Tuhan dikatakan sejajar, sebenarnya sifat feminin Tuhan jauh lebih berperan. Proses penciptaan alam semesta secara evolusi, misalnya, merupakan cermin dari sifat feminin-Nya. Arabi menggambarkan adanya reproduksi alam semesta, seperti halnya seorang ibu yang melahirkan. Kemudian, pemeliharaan alam juga merupakan representasi sifat kasih dan sayang-Nya. Bahkan, sifat perkasa-Nya senantiasa didampingi oleh keluasan kasih sayang-Nya. Maha Pemberi Hukuman diimbangi dengan Maha Pengampun, Maha Pemarah diimbangi dengan Maha Penyayang, dan seterusnya. Dengan demikian aspek feminin-Nya jauh lebih terasa ketimbang aspek maskulin. Hal inilah yang ingin didekonstruksi dari paradigma pendukung patriarki bahwa feminitas senantiasa merepresentasikan kelemahan, irasional, sensitif, dan tidak bisa tegas sehingga menyebabkan kaum perempuan dianggap tidak layak berperan dalam wilayah publik. Padahal, pandangan seperti itu tidak memiliki legitimasi teologis. Perendahan terhadap kualitas feminin perempuan bernilai sama dengan pengabaian kualitas feminin Tuhan. Atas dasar itu, diskriminasi jender sesungguhnya merupakan pengingkaran terhadap Tuhan secara utuh. Alasannya, relasi jender secara mengesankan telah direpresentasikan oleh Tuhan sendiri. Oleh karena itu, paling tidak, ada tiga hal yang harus dilakukan terhadap teologi Islam.
Pertama, membongkar mitos tentang teologi yang seolah-oleh terberi (taken for granted). Hal ini diperlukan guna menyadarkan umat bahwa kemunculan teologi Islam tidak berada di ruang hampa, melainkan penuh dengan kepentingan, baik kepentingan status quo maupun pemberontakan. Dengan begitu diharapkan tidak ada fanatisme sempit yang mencurigai dialog teologi dan persoalan perempuan sebagai pendangkalan akidah. Kedua, mengeksplorasi aspek feminin Tuhan demi kesetaraan jender. Ini tidak dimaksudkan untuk membenturkan sifat feminin Tuhan dengan sifat maskulin-Nya. Eksplorasi lebih dimaksudkan sebagai pengungkapan bahwa sifat feminin tidak identik dengan kelemahan sebagaimana dianggap oleh pendukung patriarki. Ketiga, menjadikan teologi tidak sebatas keimanan, melainkan meneruskannya pada aksi. Ukuran kesalehan dalam konteks gagasan ini tidak diukur dari kepatuhan menjalankan ritual, tetapi pada kesalehan sosial, yakni membela hak-hak perempuan dan menegakkan kesetaraan jender. M Hilaly Basya, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) dan anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Sumber: Kompas Cyber Media
Pemberitaan Sensitif Gender, Sumbangan Besar Mewujudkan Demokrasi
Revolusi teknologi ternyata tak banyak dimanfaatkan oleh pekerja media untuk membantu perempuan memperbaiki posisinya. Pencitraan perempuan di berbagai media massa di seluruh dunia masih lebih banyak bersifat stereotip sehingga tidak bisa dikatakan mewakili sesuatu yang lebih benar mengenai perempuan. Sampai Konferensi Dunia IV mengenai perempuan dan pembangunan di Beijing (1995), media dan jaringan alternatif khusus untuk perempuan semakin berkembang dan dimanfaatkan secara efektif oleh organisasi mahasiswa dan kelompok-kelompok perempuan guna memperbaiki kesadaran sosial dan politik di antara perempuan dan anggota masyarakat Dengan demikian, media seharusnya dapat digunakan untuk mentransformasi pencitraan mengenai perempuan. Perjuangan Perombakan Kultur Upaya menghapuskan kekerasan dalam pemberitaan surat kabar, bukan hal yang mudah karena menyangkut perombakan kultur dan kerangka pikir wartawan dan editor. Apalagi
bila bekerja pada wilayah mind set yang melahirkan suatu sikap tertentu, ideologi tertentu yang dipelajari seorang manusia sejak ia bisa berpikir, ditambah oleh pola asuh yang bias gender. Dengan demikian pemberitaan wacana sensitifitas gender saja tidak akan mampu membuat wartawan segera mamiliki kesadaran yang cukup pada inequality yang dialami perempuan. Kerja dalam tim seperti media cetak, membutuhkan toleransi dan penghargaan pada proses. Kemarahan dan ketidaktoleran hanya akan menjadi conter productive dan tidak akan membuat perubahan yang berarti. Perjuangan untuk mencapai keadilan gender melalui pemberitaan dalam media massa masih membutuhkan waktu teramat panjang. Kekerasan terhadap perempuan dalam media massa tidak bisa dilepaskan dari posisi perempuan dalam masyarakat, karena struktur dan pemberitaan media massa sebenarnya adalah cermin situasi masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat terlanjur meyakini notion palsu yang mengatakan bahwa secara kodrati perempuan kurang pandai dan secara fisik lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki. Karena itu, sebagai besar masyarakat masih percaya pada pembagian kerja secara seksual yang mensubordinasikan perempuan, sektor "domestik" yang dikatakan sebagai sektor statis clan consumtif sebagai milik perempuan. Sedangkan sektor "publik" yang dicirikan sebagai sektor dinamis dan memiliki sumber kekuasaan pada perbagai sektor kehidupan yang mengendalikan perubahan sosial sebagai milik lakilaki. Sejumlah stereotip lantas menempel pada perempuan dan laki-laki berdasarkan peran jenis kelamin itu. Ini diperkuat oleh kekuasaan negara UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang secara eksplisit menetapkan peran-laki-laki dan perempuan, maka dengan mudah ideologi yang diskriminatif ini tersosialisasikan, terinternalisasikan melalui pendidikan di semua lini, keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Wartawan dan struktur keredaksian juga menyerap nilai-nilai tersebut sehingga mudah tergelincir untuk melakukan kekerasan berganda terhadap perempuan korban kekerasan melalui bahasa dan konsep yang dipakai, atau sudut pandang berita yang dipilih, pemilihan gagasan dan keseluruhan gaya pemberitaan. Perspektif Perempuan dalam Media Massa Seluruh persoalan ini di dalam media massa juga tidak terlepas dari struktur modal yang kapitalistik. Industri media massa akan menempatkan berita-berita yang bersifat maskulin itu sebagai sesuatu yang utama, karena dianggap "menjual". Ciri kapitalistik juga nampak dari dikalahkannya pemuatan berita demi iklan, meski iklan dijadikan alasan utama suatu media massa dapat bertahan. Penulisan berita dan artikel atau tulisan apapun (juga gambar) yang berperspektif perempuan bukan tidak mengandung kontradiksi. Bahkan mengandung resiko dituduh mengekalkan mitos masochisme perempuan, rasisme, narcisis, memalukan, buruk, efensif, dan menentang konsepsi tentang apa dan bagaimana seharusnya.
Suara perempuan adalah suara yang terbisukan. Sistem politik yang represif telah mengawasi perempuan secara ketat, mengontrol secara dominan, tidak memungkinkan cara berpikir lain daripada yang dikehendaki penguasa, menyudutkan dan menyempitkan dan akhirnya menundukkan. Ini juga dilakukan melalui bahasa, karena membicarakan media massa media yang diekspresikan melalui bahasa tulis dan lisan. Sebagai wacana baru (newspeak), bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi. Ia merupakan kegiatan kegiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada keadaan sosial tertentu. Posisi Media Massa Namun perubahan semacam ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada semacam cara pandang, budaya berpikir yang harus dirombak dalam struktur besar keredaksian, serta pembongkaran sikap dan cara pandang personal di kalangan wartawannya. Dalam sebuah diskusi Lembaga Pers Mahasiswa, pada umumnya pekerja media memiliki kesadaran memadai mengenai masalah-masalah HAM. Namun masih perlu perbaikan yang signifikan dalam kognisi, maupun afeksi. Jurnalis harus memanfaatkan semaksimal mungkin informasi, komunikasi, dan pendidikan untuk memajukan perdamaian, HAM, dan demokrasi. Tetapi apa keterkaitan antar demokrasi dan perempuan? Sejarah bisa menjadi titik tempuh untuk memaparkan pergerakan posisi perempuan mulai dari pemegang peranan yang kuat dalam komunitas sampai terjadinya subordinnasi terhadap mereka. Sejarah kemudian memang memperlihatkan bahwa sejarah perempuan lebih banyak dilekatkan pada subordinasi. Padahal inti demokrasi adalah kesetaraan hak dan kewjiban, dan keadilan yang didasarkan kesetaraan tadi. Jadi, sehebat apapun posisi seorang pemimpin media berbicara soal demokrasi, tetapi ia meragukan atau bahkan menisbikan persoalan kesetaraan dalam hubungan perempuanlaki-laki, maka ia bukanlah demokrat sejati. Seorang pemimpin di dalam media yang masih mengartikan feminisme sebagai pembalikan perempuan dan laki-laki atau bahkan menuduh feminisme dan gerakan kesetaraan gender sebagai gerakan untuk menindas laki-laki, maka secara tidak sadar dia telah memposisikan dirinya sebagai penindas. Mengapa? Karena kesadaran ditindas hanya ada pada golongan penindas. Pada banyak kasus, orang tertindas malah tidak merasa ditindas karena manipulasi berbagai nilai yang dikukuhi dalam kehidupan masyarakat atau malah melakukan adjustment terhadap penindasan itu dan kemudian mereplikasikannya kepada pihak lain yang lemah. Karena itulah kesadaran perempuan tentang masalah penindasan ini harus dibongkar. Hanya dengan itu maka seluruh gerakan kesetaraan bisa mencapai tujuannya. Dalam hal ini media sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) berperan sangat besar untuk pergerakan permpuan, namun sebaliknya media bisa digunakan untuk menahan laju pergerakan perempuan, atau bahkan memundurkan kembali. Inilah yang disebut split personaliy dari media: ia bisa menjadi agen pembaharu, tetapi sekaligus menginginkan
kemapanan sehingga enggan membongkar situasi status-quo, karena merasa hal-hal itu tidak populer, yang akhirnya mengganggu bisnis media. Namun bagaimanapun harus diingat, media main steram berurusan dengan pemodal yang lebih mempedulikan kenginan pasar ketimbang perbaikan posisi dan kesejahteraan perempuan dan kelompok masyarakat yang dilemahkan lainnnya. Meski demikian, ketidakpedulian media main stream ini bukan jalan buntu yang tidak bisa ditembus. Selalu ada jalan dengan kecerdasan membungkus isu, sehingga akhirnya secara perlahan tetapi pasti, isu-isu kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu yang kian membesar dan penting dan harus diterapkan dalam setiap persoalan. Oleh: Akhmad Junaedi Azhar Sumber: Siar Online