KOMPLEMEN SISTEM IMUN
PENDAHULUAN Begitu antibodi tersangkut pada permukaan mikroorganisme yang menyerang, serangkaian protein plasma yang disebut komplemen akan teraktivasi. Protein komplemen ini mampu menghancurkan penyerang tersebut. Proses ini dimulai oleh perubahan konformasional pada daerah Fc suatu antibodi pada saat berikatan dengan antigen. Jika antigen tersebut melayang bebas dalam sirkulasi sebagai molekul tunggal, kompleks imun yang terbentuk dapat berikatan pula dengan komplemen. Komplemen dalam kompleks tersebut kemudian dapat membantu menarik sel-sel fagosit, yang akan menelan dan membuang antigen yang diinaktivasi dari sirkulasi. Jika antigen merupakan bagian dari dinding sel bakteri, komplemen dapat melekat pada antibodi yang terikat, pada akhirnya akan melemahkan dan membunuh bakteri tersebut. Proses yang sama dapat terjadi pada sel darah yang ditransfusikan jika terdapat ketidaksesuaian dengan resipiennya, dan oleh karenanya menyebabkan hemolisis. Melalui aktivasi komplemen yang disebut jalur klasik, komplemen pertama C1q melekat pada daerah Fc pada dua molekul IgG yang berdekatan yang menjadi saling berdekatan karena berikatan pada suatu permukaan asing. Selain itu, satu molekul IgM dapat dap at menarik C1q karena IgM mempunyai lima daerah Fc. Selanjutnya, subunit C1r dan C1s terikat pada C1q. Subunitsubunit ini mempunyai aktivitas enzimatik yang memecah dua komponen lain (C4 menjadi C4a dan C4b, dan C2 menjadi C2a dan C2b). C4 berikatan langsung dengan permukaan dekat tempat aktivasinya, dan C2a berikatan dengan C4b. Kompleks C4b-C2a kemudian memecah C3 menjadi C3a dan C3b, yang pada akhirnya melekat dipermukaan yang berdekatan. Interaksi antara C2a dan C3b akan memecah C5 yang kemudian akan mengikat C6 dan C7 dan juga melekat pada permukaan. C8 dan C9 tertarik untuk membentuk tambahan akhir pada kompleks ini. Pada titik ini, permukaan sel bakteri akan mengalami kerusakan yang serius, yang pada akhirnya akan menyebabkan lisis. Rangkaian aktivasi komplemen ini sama tidak tergantungpada antigen spesifik yang terlibat dalam kompleks imun. Antibodi spesifik yang mengarahkan dan memulai keseluruhan proses ini. Jalur alternatif merupakan cara lain aktivasi komplemen. Jalur ini tidak tergantung pada antibodi. Ini terjadi bila C3 bergabung dengan faktor B dan mengikat suatu substansi seperti
dinding sel bakteri. Kompleks ini selanjutnya mengaktivasi C3 lebih banyak lagi, yang kemudian berlanjut dengan aktivasi dan perlekatan C5 sampai C9. Aktivasi komplemen dihambat oleh suatu protein plasma yang secara selektif menghambat C1, C4b atau C3b. Defisiensi kongenital pada protein semacam itu, C1 esterase inhibitor, berakibat pada suatu sindrom klinis yang disebut angioedema herediter. Pada gangguan ini, edema terjadi pada saluran cerna dan pernafasan jika komplemen teraktivasi oleh suatu trauma atau sering kali karena alasan yang tidak diketahui. Defisiensi kongenital pada komponen komplemen tertentu dapat bermanifestasi sebagai peningkatan kerentanan terhadap infeksi oleh bakteri piogen (d efisiensi C1, C4, C2 atau C3) atau Neisseria (C3, C5, C6, C7, C8 atau C9). Selain itu, frekuensi untuk penyakit rematik lebih besar (terutama lupus eritematosus sistemik) pada defisiensi C1, C2 atau C4, mungkin akibat pembersihan kompleks imun yang terganggu. KOMPLEMEN SERUM
Integritas dari seluruh sistem komplemen dan komponen-komponennya disaring dengan baik sekali dengan pemeriksaan hemolitik yang ditunjukkan CH50. Pada pemeriksaan ini, pengenceran serum manusia yang akan diuji aktivitas komplemennya dicampur dengan larutan terstandarisasi eritrosit domba yang disensitisasi dengan adsorpsi antibodi spesifik. Komplemen yang ada dalam serum uji akan menyebabkan hemolisis, yang dihitung secara spektrofotometrik sebagai jumlah hemoglobin yang dilepaskan dari eritrosit domba yang lisis. CH50 ini sebaiknya dipakai untuk pemeriksaan penyaring untuk fungsi komplemen pada keadaan yang dicurigai adanya defisiensi kongenital salah satu komponen. Pada masa lalu, CH50 telah dipakai untuk menunjukkan aktivitas komplemen kuantitatif sebagai bagian dari proses penyakit. Namun pemeriksaan imunologis modern terhadap masing-masing komponen telah menggantikan sebagian besar peran CH50 dalam pemantauan penyakit. Salah satu alasan laboratorium imunokimia yang sangat baik sekalipun dapat menunjukkan variasi kadar CH50 yang bermakna, yaitu bahwa sel-sel domba menunjukkan adanya fluktuasi stabilitas musiman. Oleh karena itu, pemeriksaan CH50 fungsional sebaiknya dibedakan pada hampir semua keadaan untuk pemeriksaan komponen yang lebih spesifik, yang telah terstandarisasi dengan baik untuk jangka waktu lama. CH50 mempunyai rentang normal sekitar 50-200 unit. Kadar dibawah rentang normal menunjukkan adanya peningkatan konsumsi atau penurunan sintesis. Pemeriksaan hemolitik mempunyai sensitivitas tertentu untuk kadar komponen C2, C4 dan C5. suatu nilai nol
dari aktivitas hemolitik menunjukkan adanya defisiensi satu atau lebih komponen dan sebaiknya dilanjutkan dengan investigasi yang rinci untuk menggambarkan abnormalitasnya. Peningkatan kadar
CH50
tidak
bermakna
kecuali
sebagai
reaktan
fase
akut.
Komponen komplemen yang paling sering diperiksa dalam serum adalah C3 (75-175 mg/dL) dan C4 (15-45 mg/dL). Keduanya pada keadaan normal merupakan faktor komplemen yang terbanyak dalam serum dana paling mudah diukur dengan metode imunologis (biasanya nefelometri atau imunodifusi). Penurunan kadarnya dapat saling dihubungkan secara serial dari waktu ke waktu untuk pemantauan suatu penyakit autoimun. Kadar yang rendah menunjukkan kekurangan akibat aktivasi skunder terhadap progresi penyakit. Kadar normal atau tinggi menunjukkan kebalikannya, regresi penyakit atau respons terhadap terapi. Pemeriksaan komponen lain yang lebih canggih diperoleh dari laboratorium rujukan khusus. Termasuk diantaranya penentuan C1q, C2, C4, C4d, C5, C6, Faktor B (properdin) dan inhibitor esterase C1. Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat dipakai untuk membedakan gangguan imunologis dari keadaan
peradangan
lain
dan
juga
untuk
mendiagnosis
suatu
defisiensi
spesifik.
PEMERIKSAAN KOMPLEMEN Perubahan dalam kadar komplemen menunjukkan adanya proses penyakit. Kadarnya yang meningkat sering ditemukan pada inflamasi akut dan infeksi dan berhubungan dengan peningkatan AFP. Defisiensi komplemen dapat dibagi menjadi defisiensi primer yang ditentukan faktor genetik dan defisiensi sekunder yang diakibatkan oleh pemakaian komplemen dalam interaksi antigen-antibodi
yang
lebih
memberikan
hubungan
dengan
patogenesis
penyakit.
Komplemen dapat dibagi dalam 3 golongan sebagai berikut :
a. Komplemen dini pada jalur klasik (C1, C4 dan C2) b. Komplemen dini pada jalur alternatif (faktor B, D dan P) c. Komplemen lambat pada kedua jalur (C3 dan C9) Bila kadar C4 dan C3 rendah tetapi faktor B normal, maka itu berarti aktivasi komplemen hanya terjadi melalui jalur klasik. Bila kadar C4, C3 dan faktor B semuanya rendah, kemungkinan besar juga terjadi aktivasi melalui jalur alternatif. Tetapi bila kadar C4 normal dengan kadar C3 dan faktor B rendah, berarti ada aktivasi melalui jalur alternatif saja.
Pengukuran
C3
dan
C4
akan
membantu
dalam
pemantauan
pengobatan
penderita
glomerulonefritis dan vaskulitis. Kadar yang rendah biasanya menjadi normal pada remisi. Telah diketahui bahwa pada suatu interaksi antigen-antibodi, komplemen yang ada dalam serum dapat diikat atau dikonsumsi oleh kompleks antigen-antibodi tersebut, dan bahwa komplemen dapat diaktivasi oleh kompleks erithrosit-hemolisin, sehingga mengakibatkan eritrosit tersebut melisis.
Complement Fixation Test (CFT) atau uji Fiksasi komplemen merupakan cara untuk menentukan antigen atau antibodi yang hanya bereaksi bila ada komplemen. Antibodi dicampur dengan antigen dan komplemen. Komplemen akan diikat kompleks antigen-antibodi. Bila tidak terjadi ikatan komplemen, maka komplemen akan ditemukan bebas dalam larutan. Adanya komplemen bebas tersebut dapat diperlihatkan dengan menambahkan sel darah merah dan hemolisin. Lisis sel darah merah akan terjadi atas pengaruh komplemen yang bebas tadi. Kenyataan ini dipakai untuk menggunakan komplemen sebagai salah satu bahan untuk penetapan antigen maupun antibodi. Pengujian ini didasarkan atas reaksi yang terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap pertama dimana sejumlah tertentu komplemen oleh suatu kompleks antigenantibodi, dan tahap kedua dimana komplemen yang tersisa (bila ada) menghancurkan eritrosit yang telah dilapisi hemolisin. Banyaknya komplemen yang tidak dikonsumsi pada reaksi tahap pertama, dan yang mengakibatkan hemolisis pada reaksi tahap kedua, secara tidak langsung merupakan parameter untuk antibodi atau antigen yang diperiksa. Untuk mendapatkan hasil yang bisa dipercaya, semua reaktan yang diperlukan untuk uji ini harus disesuaikan satu dengan yang lain dan berada dalam jumlah atau titer yang optimal. Oleh karena itu sebelum melaksanakan pemeriksaan pada sampel penderita, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan untuk menstandarisasi titer hemolisin dan titer komplemen yang dipakai pada sistem uji ini. Titer hemolisin ditentukan oleh pengenceran tertinggi hemolisin yang masih dapat melisiskan eritrosit berkonsentrasi 2% secara lengkap, bila ada komplemen. Titer hemolisin ini disebut
1
unit
dan
untuk
pemeriksaan
sampel
penderita
dipakai
2
unit.
Oleh karena uji fiksasi komplemen melibatkan suatu sistem yang terdiri atas berbagai reaktan, disamping titrasi hemolisin dan komplemen diatas, setiap reaktan harus diuji terhadap ada
tidaknya
faktor
(antikomplemen
penghambat atau
atau
prokomplemen).
faktor Untuk
yang
meningkatkan
keperluan
ini,
aktivasi
pada
titrasi
komplemen komplemen
diikutsertakan antigen dan antigen kontrol, serta pada pemeriksaan sampel selalu harus diikutsertakan kontrol serum positif maupun negatif. Suatu hasil pemeriksaan, baru bisa dipercaya
apabila
semua
reaktan
pada
sistem
ini
terkontrol
dengan
baik.
Uji fiksasi komplemen dipakai pertama kali oleh Wassermann, Neisser dan Bruck untuk menentukan diagnosis Sifilis (Test Wassermann), akan tetapi kemudian prinsip pengujian yang sama dipakai juga dalam diagnosis serologik berbagai penyakit lain, diantaranya penyakit penyakit yang disebabkan oleh parasit, seperti Trypanosoma, Schistosoma, serta penyakit penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti virus Hepatitis B, Herpes, Rotavirus, Rubella dan lain-lain.
SISTEM KOMPLEMEN Pendahuluan Komplemen merupakan sekumpulan molekul protein dan interaksinya yang terjadi secara berantai, mengakibatkan efek bilogis pada membran, pada sifat sel dan interaksi protein lain. Sedikitnya ada 11 jenis protein komplemen yang ada dalam plasma normal, masing-masing ada dalam keadaan inaktif tetapi bila komplemen diaktivasi, setiap jenis komplemen mempunyai fungsi spesifik. Akivasi dapat dimulai dengan reaksi antigen dengan IgG atau IgM atau bila ada kontak dengan IgA yang menggumpal, selain itu aktivasi dapat pula dimulai oleh kontak dengan polisakarida atau lipopolisakarida, oleh produk yang terjadi akibat aktivasi sistem pembekuan atau kalikrein. Aktivitas Biologis komplemen dinyatakan dengan nomor dan huruf. Proses aktivasi tidak berlangsung berurutan sesuai dengan urutan nomor komplemen. Disepakati bahwa urutan interaksi komplemen adalah : C1q, C1r, C1s, C4, C2, C3, kemudian C5 sampai C9. Aktivasi komplemen dapat merupakan proses pemecahan molekul-molekul secara enzimatik yang menghasilkan zat yang aktif atau proses penyesuaian tanpa pemecahan. Pada beberapa tahap dari proses ini diperlukan ion kalsium dan magnesium. Aktivasi lengkap dari C1 sampai C9 mengakibatkan pecahnya membran dan kerusakan sel yang tidak dapat diperbaiki lagi. Aktivasi lengkap terjadi dengan tahapan-tahapan sebagai berikut : C2 melepaskan suatu peptida dengan berat molekul kecil dan aktivitas kinin, hasil
aktivasi C3 dan C5 merangsang mastosit, otot halus dan leukosit sehingga terjadi efek anafilaktik, unsur lain dari C3 dan C5 berikatan dengan membran sel dan menyebabkan sel lebih mudah di fagositosis, proses ini disebut opsonisasi, fragmen C3 dan C4 menyebabkan proses perlekatan yaitu partikel yang dilapisi komplemen melekat pada permukaan sel yang memiliki reseptor untuk komplemen, C3 dan C4 aktif dapat pula menetralisir virus, dan akhirnya fragmen C3 da C4 merangsang aktivitas kemotaktik neutrofil sehingga neutrofil bergerak menghampiri fragmen protein yang bersangkutan. Kompleks C5-C9 mempunyai aktivitas prokoagulan trombosit dan sebaliknya aktivitas prokoagulan faktor XII dapat mencetuskan aktivasi C1. Plasmin dan trombin bersifat proteolitikdan dapat memecah C3 hingga terbentuk C3 aktif. Jalur aktivasi pada jalur klasik, aktivasi komplemen diawali dengan aktivasi C1q, C1r dan C1s oleh kompleks antigen-antibodi. Karena C1q tidak tahan panas, maka pemanasan serum dapat melumpuhkan seluruh aktivitas komplemen. Untuk penggabungan C1qrs diperlukan Ca++ sedangkan Mg++ diperlukan oleh C4 untuk mengaktivasi C2. Bila digunakan antikoagulan yang mengikat ion, naka plasma kehilangan kation sehingga komplemen yang ada didalamnya tidak dapat diaktivasi. Setelah C1qrs aktif mengaktivasi C4 dan kemudian C4 akut mengaktivasi C2, maka kontak dengan C2 aktif menyebabkan C3 pecah menjadi 2 bagian yaitu : bagian yang kecil dan tetap berada dalam cairan dan C3b yang lebih besar dan melekat pada membran sel. C3b diperlukan untuk mengaktivasi C5, tetapi setalah itu sisa kompleks C5-C9 terbentuk dengan sendirinya tanpa aktivasi oleh enzim. Jalur alternatif tidak melibatkan aktivasi C1, C4 dan C2 tetapi dimulai dengan pemecahan C3. Setelah C3b terbentuk, aktivasi C5 sampai C9 berlangsung dengan sendirinya. Kunci dari jalur alternatif adalah aktivasi properdin, yaitu suatu protein serum yang tidak mempunyai efek biologis bila ia berada dalam keadaan tidak aktif. Kontak dengan IgA yang menggumpal, endotoksin atau kompleks melekul seperti dekstran, agar dan zymosan dapat merubah properdin kemudian mencetuskan proses yang menghasilkan C3b. Tes Fiksasi Komplemen berbagai prosedur untuk menentukan adanya interaksi antigenantibodi dengan cara mengukur penurunan kadar komplemen dalam serum, setelah dipaparkan pada bahan yang akan diperiksa. Test fiksasi komplemen hanya dapat dipakai bila reaksi antigen antibodi benar-benar mengikat komplemen. Cara dipengaruhi oleh berbagai faktor kesulitan teknik maupun imunologik dan hanya dipakai bila tidak ada cara lain yang lebih baik.
Komplemen Teknik radioimunoassay dan imunodifusi memungkinkan untuk menentukan kadar setiap komponen komplemen termasuk komponen dalam jalur alternatif. Sebagian besar pemeriksaan ini terutama dipakai dalam penelitian. Untuk keperluan klinik, penetapan aktivitas komplemen secara umum biasanya sudah memadai. Cara yang paling mudah adalah menentukan hemolisis lengkap dari eritrosit domba dalam suatu reaksi yang memerlukan komplemen. Dalam hal ini eritrosit domba dilapisi dengan antibodi yang hanya dapat bereaksi dengan antigen bila ada komplemen, sehingga derajat hemolisis eritrosit dapat dipakai sebagai ukuran untuk aktivitas komplemen. Hasil tes dinyatakan dengan unit CH50, yang menyatakan pengenceran serum tertinggi yang dapat menghancurkan separuh dari jumlah eritrosit yang dipakai pada test. Setiap laboratorium harus menentukan nilai rujukan sendiri karena hasilnya akan berbeda pada kondisi yang berlainan misalnya perbedaan dalam kadar antibodi dan eritrosit yang dipakai, cara penyimpanan, elektrolit dan suhu. Kadar C3 dan C4 masing-masing dapat ditentukan dengan cara imunodifusi radial. Cara ini memerlukan waktu 24-36 jam, disamping itu hasilnya menunjukkan variasi akibat aktivitas komplemen
in
vivo
dan
cara
penanganan
spesimen
yang
berbeda-beda.
Aktivitas komplemen meningkat pada berbagai penyakit tetapi jarang dirasakan perlu untuk mencari kelainan pada komplemen. Komplemen merupakan protein fase akut, kadarnya meningkat pada inflamasi, analog dengan peningkatan LED dan CRP pada keadaan yang sama. Penetapan komplemen lebih sering diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya penurunan aktivitas komplemen. Penurunan aktivitas komplemen komplemen dikonsumsi pada reaksi antigen-antibodi, khususnya reaksi yang membentuk kompleks imun. Penurunan CH50 biasanya terdapat pada penyakit imunologis sistemik terutama SLE dan glomerulonefritis akibat kelainan imunologis. Pada SLE penurunan kadar komplemen dan peningkatan titer anti-DNA menunjukkan adanya glomerulonefritis akut dan pada saat penyakit tenang kadar komplemen biasanya kembali normal. Pada penyakit kolagen-vaskuler yang lain seperti skleroderma dan artritis reumatoid. Kadar komplemen biasanya menurun waktu penyakit kambuh. Banyak jenis vaskulitis dan artritis diakibatkan oleh pembentukan kompleks imun, penurunan titer CH50 sering memastikan adanya kompleks imun khususnya yang menyertai beberapa jenis infeksi seperti hepatitis B, Streptokokus,
Mononukleosis
infeksiosa
dan
penyakit
parasit.
Pada hipotensi akut yang tidak diketahui sebabnya, kadar komplemen dalam serum biasanya rendah, hal ini menunjukkan adanya aktivitas sistem imun secara menyeluruh atau adanya aktivitas melalui jalur alternatif. Keadaan tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa hal misalnya aktivasi granulosit dalam sirkulasi sistemik atau sirkulasi paru-paru, interaksi heparin dan protamin dan aktivasi sistem bradikinin. Penderita artritis reumatoid sering menunjukkan penurunan aktivitas komplemen dalam cairan sendi, walaupun kadar komplemen dalam serum normal. Ada kemungkinan terjadi defisiensi komplemen secara spesifik tetapi hal ini jarang dijumpai. Penyakit autoimun sering dijumpai pada penderita dengan defisiensi salah satu komponen komplemen, sedangkan defisiensi C3 merupakan predisposisi umum untuk penyakit infeksi. Infeksi Neisseria yang menyeluruh dapat terjadi bila ada defisiensi C6, C7 atau C8. Pada defisiensi
setiap
komponen
komplemen,
penetapan
CH50
menunjukkan
nilai
nol.
UJI FIKSASI KOMPLEMEN Telah diketahui bahwa pada suatu interaksi antigen-antibodi, komplemen yang ada dalam serum dapat diikat atau dikonsumsi oleh kompleks antigen-antibodi tersebut, dan bahwa komplemen dapat diaktivasi oleh kompleks erithrosit-hemolisin, sehingga mengakibatkan eritrosit tersebut melisis. Kenyataan ini dipakai untuk menggunakan komplemen sebagai salah satu bahan untuk penetapan antigen maupun antibodi. Pengujian ini didasarkan atas reaksi yang terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap pertama dimana sejumlah tertentu komplemen oleh suatu kompleks antigenantibodi, dan tahap kedua dimana komplemen yang tersisa (bila ada) menghancurkan eritrosit yang telah dilapisi hemolisin. Banyaknya komplemen yang tidak dikonsumsi pada reaksi tahap pertama, dan yang mengakibatkan hemolisis pada reaksi tahap kedua, secara tidak langsung merupakan
parameter
untuk
antibodi
atau
antigen
yang
diperiksa.
Untuk mendapatkan hasil yang bisa dipercaya, semua reaktan yang diperlukan untuk uji ini harus disesuaikan satu dengan yang lain dan berada dalam jumlah atau titer yang optimal. Oleh karena itu sebelum melaksanakan pemeriksaan pada sampel penderita, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan untuk menstandarisasi titer hemolisin dan titer komplemen yang dipakai pada sistem uji ini.
Titer hemolisin ditentukan oleh pengenceran tertinggi hemolisin yang masih dapat melisiskan eritrosit berkonsentrasi 2% secara lengkap, bila ada komplemen. Titer hemolisin ini disebut
1
unit
dan
untuk
pemeriksaan
sampel
penderita
dipakai
2
unit.
Oleh karena uji fiksasi komplemen melibatkan suatu sistem yang terdiri atas berbagai reaktan, disamping titrasi hemolisin dan komplemen diatas, setiap reaktan harus diuji terhadap ada tidaknya
faktor
(antikomplemen
penghambat atau
atau
faktor
prokomplemen).
yang
Untuk
meningkatkan
keperluan
ini,
aktivasi
pada
titrasi
komplemen komplemen
diikutsertakan antigen dan antigen kontrol, serta pada pemeriksaan sampel selalu harus diikutsertakan kontrol serum positif maupun negatif. Suatu hasil pemeriksaan, baru bisa dipercaya
apabila
semua
reaktan
pada
sistem
ini
terkontrol
dengan
baik.
Uji fiksasi komplemen dipakai pertama kali oleh Wassermann, Neisser dan Bruck untuk menentukan diagnosis Sifilis (Test Wassermann), akan tetapi kemudian prinsip pengujian yang sama dipakai juga dalam diagnosis serologik berbagai penyakit lain, diantaranya penyakit penyakit yang disebabkan oleh parasit, seperti Trypanosoma, Schistosoma, serta penyakit penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti virus Hepatitis B, Herpes, Rotavirus, Rubella dan lain-lain.
Uji
Fiksasi
Peralatan 1.
Peralatan
Komplemen dan yang
untuk
bahan dipakai
penetapan yang
sama
seperti
antibodi
terhadap
virus
diperlukan
(cara
untuk
mikrohemaglutinasi
teknik
mikro)
2. Kit reagens (Behring) terdiri atas antigen virus, komplemen, eritrosit domba, hemolisin dan larutan penyangga.
Cara kerja :
I. Uji Pendahuluan 1.
Titrasi hemolisin
a. Sediakan 9 tabung reaksi. Masukkan kedalam tabung pertama dan seterusnya larutan
penyangga dengan volume seperti pada gambar. b. Masukkan 1,0 ml hemolisin yang telah diencerkan 1:100 kedalam tabung pertama, lalu campur kemudian pindahkan 1 ml kedalam tabung berikutnya, demikian seterusnya hingga tabung terakhir. c. Sediakan 12 tabung, kemudian kedalam 9 tabung pertama dimasukkan masing-masing 0,2 ml larutan hemolisin dari tabung-tabung permulaan. Tabung 10-12 dipakai untuk kontrol erithrosit. d. Kedalam tabung 1-9 dimasukkan 0,1 ml komplemen yang sudah diencerkan 1:30, 0,2 ml suspensi eritrosit 2% dan 0,5 ml larutan penyangga. e. Kedalam tabung 10-12 masukkan 0,2 ml suspensi eritrosit 2% dan 0,8 ml larutan penyangga. f. Campur lalu inkubasikan tabung-tabung tersebut pada suhu 37OC selama 30 menit. g. Perhatikan adanya hemolisis dan tentukan tabung dengan pengenceran hemolisis tertinggi yang menyebabkan hemolisis lengkap. Pengenceran ini disebut 1 unit dan untuk pemeriksaan sampel penderita dipakai 2 unit. h. Pembuatan sistem hemolitik Campur eritrosit 2% sama banyak dengan hemolisin yang titernya 2 unit. Biarkan dalam suhu kamar selama minimal 10 menit sebelum dipakai.
2.
Titrasi Komplemen
a. Sediakan 3 baris tabung yang jumlahnya masing-masing 8 buah. Kedalam tabung-tabung baris I masukkan larutan penyangga, komplemen dan larutan antigen, lalu campur b. Lakukan hal yang sama pada tabung baris ke II dan ke III, hanya sebagai pengganti antigen, kedalam tabung baris II dimasukkan antigen kontrol dan kedalam tabung baris ke III dimasukkan larutan penyangga. c. Inkubasikan semua tabung dalam penangas air dengan suhu 37OC selama 30 menit. d. Masukkan sistem hemolitik (1h) kedalam semua tabung sebanyak 0,2 ml. Campur dan inkubasikan lagi pada suhu 37OC selama 30 menit. e. Perhatikan hemolisis yang terjadi dan tentukan pengenceran komplemen tertinggi yang menyebabkan hemolisis lengkap. Apabila hemolisis lengkap pada ketiga baris tabung terjadi pada pengenceran komplemen yang sama, berarti semua reaktan pada sistem ini baik. f. Pengenceran tertinggi komplemen yang dapat menyebabkan hemolisis lengkap disebut 1 unit dan dipakai 2 unit untuk pengujian.
II. Pemeriksaan sampel Pada setiap pemeriksaan selalu harus diikutsertakan kontrol antigen, kontrol sistem hemolitik,
kontrol eritrosit dan kontrol komplemen. Serum penderita terlebih dahulu diinaktifkan dalam penangas air dengan suhu 56OC untuk menghilangkan komplemen yang ada dalam serum, sehingga satu-satunya sumber komplemen hanya yang dibubuhkan pada pengujian dan diketahui titernya.
1. Sampel Pakai satu baris sumur untuk sampel pertama (sampel akut) dan satu baris lain untuk sampel kedua (konvalesen). a. Masukkan ke dalam sumur 1 dan sumur 4-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul. b. Masukkan ke dalam sumur 1-4 sampel yang terlebih dahulu telah diencerkan 1:5 sebanyak 25 ul. c. Buat pengenceran serum mulai sumur 4 sampai 12 dengan mikrodiluter. d. Masukkan kedalam sumur 2, sebanyak 25 ul antigen kontrol dan ke dalam sumur 3-12 sebanyak 25 ul antigen virus (2 unit). e. Campur, kemudian masukkan kedalam sumur 1-2 komplemen 2 unit sebanyak 25 ul, lalu campur lagi.
2. Kontrol antigen Pakailah satu baris sumur. a. Masukkan ke dalam sumur 1 dan 4-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul. b. Masukkan kedalam sumur 1-4 serum kontrol positif yang telah diencerkan 1:5 sebanyak 25 ul, dan ke dalam sumur 11-12 serum kontrol negatif yang telah diencerkan 1:5 sebanyak 25 ul. c. Buat pengenceran serum mulai sumur 10 dengan mikrodiluter. d. Ke dalam sumur 2-12 dimasukkan 25 ul antigen virus (2 unit) kemudian campur. e. Masukkan ke dalam sumur 1-12 komplemen (2 unit) sebanyak 25 ul, kemudian campur (kocok dengan alat pengocok).
3. Kontrol sistem hemolitik Pakailah baris terakhir untuk kontrol sistem hemolitik, eritrosit dan komplemen dengan prosedur seperti yang diuraikan dibawah ini : Masukkan ke dalam sumur 1 dan 2 larutan penyangga sebanyak 50 ul dan komplemen sebanyak 25 ul.
4. Kontrol eritrosit
Masukkan ke dalam sumur 3 dan 4 larutan penyangga sebanyak 75 ul dan sistem hemolitik sebanyak 50 ul.
5. Kontrol komplemen a. Masukkan ke dalam sumur 5-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 5-8 antigen virus sebanyak 25 ul dan kedalam sumur 9-12 antigen kontrol sebanyak 25 ul. b. Buat pengenceran komplemen dalam tabung terpisah sehingga memperoleh larutan komplemen 2 unit, 1,5 unit, 1,0 unit dan 0,5 unit. c. Masukkan ke dalam sumur 5 dan 9 komplemen 2 unit sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 6 dan 10 komplemen 1,5 unit sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 7 dan 11 komplemen 1,0 unit sebanyak 25 ul dan ke dalam sumur 8 dan 12 komplemen 0,5 unit sebanyak 25 ul. d. Campurlah reaktan dalam setiap sumur.
6. Plate ditutup dengan plate lain kemudian diinkubasikan pada suhu 4-6OC selama 18 jam dalam kotak yang lembab (diberi kain basah).
7. Keesokkan harinya, biarkan plate dalam suhu kamar selama 15 menit, kemudian masukkan ssitem hemolitik ke dalam semua sumur.
8. Kocok, lalu inkubasikan pada suhu 37OC selama 15-30 menit.
9. Reaksi dianggap selesai bila telah timbul hemolisis lengkap dalam sumur yang berisi komplemen 2 dan 1,5 unit, hemolisis tak lengkap dalam sumur berisi komplemen 1 unit dan tidak ada hemolisis dalam sumur berisi komplemen 0,5 unit.
10. Perhatikan hemolisis yang terjadi pada sumur-sumur berisi sampel dan nyatakan pengenceran tertinggi sampel yang tidak menyebabkan hemolisis.
Penafsiran 1. Adanya reaksi positif (tidak ada hemolisis) berarti dalam serum terdapat antibodi terhadap virus bersangkutan. 2. Titer antibodi dalam serum tunggal belum memastikan apakah ada infeksi atau pernah divaksinasi. 3. Untuk mengetahui adanya infeksi diperlukan pemeriksaan serum ganda, yaitu 2 sampel yang
diperoleh pada masa akut dan masa konvalesen dengan jarak waktu 2 minggu. Suatu kenaikan titer sebanyak 4 kali merupakan indikasi adanya infeksi. 4. Reaksi positif pada kontrol antigen berarti dalam serum antibodi terhadap zat-zat nonspesifik yang menyertai antigen. Untuk memastikan, titrasi terhadap serum diulang dengan menggunakan kedua jenis antigen secara paralel. Adanya antibodi spesifik dapat dipastikan bila titernya terhadap antigen virus 4 kali titer terhadap antigen kontrol. 5. Serum kontrol yang diperoleh dari binatang, kadang-kadang mengandung antibodi terhadap antigen kontrol hingga dapat menimbulkan hemolisis.
http://ripanimusyaffalab.blogspot.com/2010/02/komplemen-sistem-imun.html