Balian dalam Pengobatan Tradisional Bali dalam
(Kajian Teologi Hindu) Oleh : I Nyoman Suka Ardiyasa*) Abstarck Traditional treatment has long been known in the world, and even in Indonesia also has developed since hundreds of years ago. In Bali, the term traditional medicine is usually synonymous with balian, who is the person who can reliably perform treatment. Balian in Balinese Hinduism is influenced by the Inyanama development of this proves the existence of various kinds of ceremonies that are used in performing the treatment. Balian types can be divided into 2 (two), that are balian usada and and balian ketakson. Balian Usada that basically basically prioritizes the use of knowledge about treatment techniques and and other types of drugs. and balian ketakson in general is that asking for help spirits, gods, giddy, pitara, bhuta bebai and so by letting himself be entered , or so it seems like everyone is affected intrance or half intrance and can capture a feeling or guidance from the spirit or supernatural force outside it. Balian in Hindu Theology of Hindu mantras, as therein mentioned about the gods and Yajna mantra. Besides, balian also use the script in which no other treatment is self-contained character of man, then united with the universe characters, so that happiness can be achieved. : Traditional treatment, Teologi : Key Wor d I. PENDAHULUAN
Pengobatan tradisional merupakan bentuk intervensi terapi yang tidak invasif, berakar dari kepercayaan kuno, termasuk di dalamnya konsep kepercayaan kuno. Pada abad ke-19, para praktisi pengobatan tradisional ini masih memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai penyakit infeksi, dan pemahaman ilmu kedokteran barat seperti biokimia. Mereka menggunakan teori-teori yang telah berumur ribuan tahun yang didasarkan pengalaman dan pengamatan serta sebuah sistem prosedur yang menjadi dasar pengobatan dan diagnosis. diagnosis. Begitu halnya pengobatan di Indonesia, banyak dijumpai pengobatan-pengobatan tradisional yang masih digunakan dan dipercayai oleh masyarakat untuk melakukan
pengobatan kepada mereka yang sedang sakit, selain memang menggunakan pengobatan medis yang kita kenal sekarang. Biasanya pengobatan tradisional tersebut menggunakan tumbuh-tumbuhan yang dipercayai sebagai tanaman yang berkasiat obat, dan ada pula yang menggunakan bantuan orang pintar atau yang lebih lazim di sebut dengan dukun (di Bali disebut dengan balian). balian). Biasanya hal-hal yang berhubungan dengan penyakit yang dianggap mistis masyarakat lebih percaya dengan dukun atau balian balian untuk melakukan pengobatan kepada mereka yang sedang sakit. *) I Nyoman Suka Ardiyasa, S.Pd.H., adalah Dosen Tidak Tetap di Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar.
Di dalam bukunya J.B. de Callone tentang ilmu dukun pada suku-
suku Dayak di Kalimantan Selatan. Beliau pernah mengumpulkan beberapa keterangan tentang ilmu dukun di pulau Jawa pada tahun 1894. R. Romer pada tahun 1908 mengumpulkan keterangan ilmu dukun pada orang Batak. P. Wira dalam tahun 1926 mengumpulkan keteranganketerangan tentang ilmu dukun di Kalimantan Tenggara. J.P. Kleiweg de Zwaan seorang dokter Belanda menyertai penyelidikan A. Maass dalam tahun 1906 melalui Sumatera Tengah, dilanjutkan ke Jawa, Bali, Lombok dan pada tahun 1910 ke pulau Nias, tempat beliau melakukan penyelidikan anthropologi pisik termasuk pula menyelidiki pedukunan di tempat itu masing-masing. Mereka telah meneliti ilmu dukun di Indonesia dari segi ilmu kedokteran, tetapi erat bersangkut paut dengan pengertian pengertian tentang religi dari sukusuku bangsa tersebut. Menurut J.P. Kleiweg de Zwaan bahwa mengumpulkan bahan keterangan tentang ilmu dukun itu mempunyai dua macam kegunaan. Pertama, dengan mengupas arti dari perbuatan-perbuatan di dalam ilmu dukun itu, dunia ilmiah akan mendapat banyak keterangan tentang alam pikiran bangsa-bangsa lokal ; kedua, dengan mengumpulkan banyak bahan tentang ilmu dukun, ilmu kedokteran modern mungkin bisa mendapatkan pengetahuan tentang obat-obatan asli yang mungkin banyak berguna. Ini menandakan bahwa pedukunan tidak hanya di kenal dikalangan daerah tertentu saja melainkan diseluruh Indonesia sehingga beranekaragam kekayaan tentang ilmu pedukunan yang dimiliki di Indonesia. Kalau di Bali, dukun disebut balian. Kata balian berasal dari
kata wali (b = w) yang artinya kembali. Dari kata wali lalu menjadi kata walian atau balian yang artinya orang yang dapat mengembalikan kondisi tubuh seseorang seperti dalam keadaan sebelum sakit. Sehingga masyarakat Bali sangat percaya dengan keberadaan balian di tengah-tengah masyarakat. Balian atau yang sering disebut sebagai jero dasaran merupakan suatu fenomena keberagamaan ala masyarakat animistik dan dinamistik yang masih mewarnai umat Hindu Bali. Ini tidak hanya terlihat pada masyarakat tradisional, melainkan mulai tampak dalam masyarakat modern. Ketika peran daya nalar manusia sudah mulai tak bisa memenuhi keinginan, ketajaman akal sudah mulai tumpul dalam memecahkan masalah, ketika rasio sudah tidak bisa memuaskan keinginan jasmani dan rohani, maka kecendrungan untuk mendapatkannya hanya ada di dunia magis. Itulah nunasang, matuunan, termasuk dalam menjalankan upacara keagamaan, khusunya aspek ritual. Manusia yang terimbas bau modern kini justru cenderung mengagumi dunia klenik, takut salahang Bhatara, pemastu, yakni tradisi turun-temurun yang tunduk di bawah himbauan dunia imaji, tentunya sangat jauh dari dunia nalar manusia. Segala jenis penyifatan ilusif manusia tersebut merupakan suatu kejadian ada dan tiada, sering terlihat dalam dunia sekarang. Kebiasaan meluasang atau nunasang secara tidak langsung menjadi kredo yang tidak bisa punah di tengah gencatan arus jaman, sebaliknya justru kebiasaan itu menjadi sebuah kebutuhan yang setara dengan kebutuhan primer. Sering terjadi ketika
masyarakat agraris mengalami roh – roh. Alam pikiran sederhana permasalahan berat, terutama dalam percaya, bahwa alam sekitarnya itu menjalankan kegiatan keagamaan penuh dengan roh baik dan roh jahat. mereka dalam memuaskan Suatu hutan rimba yang gelap penuh keingintahuannya. kegaiban, dianggapnya penuh dengan berbagai roh. Roh-roh itu dianggap II. PEMBAHASAN mendiami batu tumbuh-tumbuhan, 2.1 Perkembangan Sistem pohon besar, simpangan jalan dan terutama sekali mendiami kuburan. Perdukunan Ada juga anggapan roh-roh itu tinggal 2.1.1 Zaman Purba Dalam zaman Purba, kita dapati di dalam tubuh binatang tertentu beberapa jenis kepercayaan pada alam misalnya pada harimau, pada buaya, pikiran kehidupan kuna, antara lain pada cecak. Roh-roh juga dianggap yaitu (1) Kepercayaan terhadap tinggal di lingkungan rumah tangga. kekuatan-kekuatan alam. Manusia Roh digambarkan dalam dua sifat yaitu memandang alam sekelilingnya dan ada yang baik dan ada yang jahat. (5) merasakan diri kecil dan rendah. Kepercayaan terhadap orang Manusia mencari perlindungan kepada kemasukan roh ( syamanisme). kekuatan-kekuatan alam dan meminta Kepercayaan yang umum pada pikiran pertolongan di dalam kehidupannya. sederhana adalah orang bisa Kekuatan alam disekeliling manusia mengundang roh dan juga roh sesorang dibayangkan sebagai manusia juga, bisa pergi ke dunia roh. Kepercayaan tetapi dengan kekuasaan dan kekuatan yang demikian disebut syamanisme. yang jauh lebih besar. (2) Kepercayaan Demikianlah gambaran terhadap kekuatan sakti/gaib beberapa aspek tentang kepercayaan (dinamisme). Manusia melihat alam pikiran kuna. Aspek kepercayaan sekelilingnya banyak keajaiban dan ini perlu dikemukakan lebih dahulu, keanehan. Hal – hal yang luar biasa itu karena kami melihat bahwa ini adalah disebabkan menurut anggapannya oleh melandasi sistem pedukunan sesuatu kekuatan sakti/gaib. Pada tradisional yang masih banyak ada di manusia terdapat tempat-tempat Bali sekarang. Sekarang timbul suatu timbunan sakti seperti : kepala, rambut, pertanyaan, apakah sudah ada sistem air ludah, kuku, darah dan tembuni. pengobatan pada zaman purba/kuna? Pada benda-bendapun dianggap ada Walaupun tidak ada keterangan tertulis, tempat timbunan sakti seperti benda- namun secara analogis dapat diyakini benda pusaka, jimat dan lain-lain. bahwa pada zaman itu sudah ada suatu Kepercayaan seperti itu disebut sistem pengobatan. Sesungguhnya fetisme.(3) Kepercayaan terhadap secara instingtif pengobatan itu sudah adanya jiwa (animisme). Alam pikiran ada sejak adanya manusia. sederhana menganggap bahwa semua Dahulu kala manusia yang bergerak dan benda-benda sederhana tinggal di gua-gua alam oleh tertentu lainnya adalah berjiwa. karena mereka belum mengenal Matahari bergerak adalah berjiwa, air pembuatan rumah. Mereka mencari bergerak adalah berjiwa dan lain-lain. perlindungan kepada alam. Mereka Kepercayaan seperti ini disebut hidup dari hasil perburuan dan makan animisme. (4) Kepercayaan terhadap buah-buahan serta ikan-ikan dari kali.
Mereka memerlukan air; maka itu guagua tempat tinggalnya sering dijumpai pada tebing-tebing dipinggir kali. Mereka telah mengenal api untuk melindungi dirinya dari udara dingin. Mereka juga mengenal sistem pengobatan dengan menggunakan daun-daunan. Bila mereka luka misalnya karena perkelahian dengan binatang-binatang buas, maka lukanya ditempel, dijampi dengan daun-daunan yang dikunyahnya terlebih dahulu.
dengan puteri raja Jawa Timur yang bernama Mahendradhatta. Raja suamiistri ini memerintah Bali tahun 929-943 M. Sejak pemerintahannya memakai bahasa Jawa Kuna sebagaimana terbaca di dalam prasasti-prasastinya, sedangkan sebelumnya dipakai bahasa Bali Kuna. Permulaan abad 11 ( + th. 1039 M ) Empu Kuturan dari Jawa Timur datang di Bali dan beliau tinggal di Silayukti di Padangbai sekarang. Beliau mengajarkan berbagai aspek Dapat dibayangkan pula bahwa kehidupan di Bali dengan sistem pengobatan dengan mengembangkan ajaran-ajaran yang mempergunakan air ludah, telah berlaku di Jawa pada waktu itu. Maka terdapat pada masa kuna karena ludah itu pada priode ini muncullah beberapa merupakan tempat timbunan sakti. karya-sastra di Bali yang dibawa dari Pengobatan dengan sistem pawang pun Jawa sebagai produk Hindu setelah rupa-rupanya sudah ada sejak itu. disesuaikan dengan komisi Indonesia Sistem pengobatan dengan atau Bali khususnya. menggunakan cara-cara meminta Secara definitif kami sulit pertolongan kepada roh-roh terutama memastikan kapan mulai adanya usada meminta kepada roh nenek-moyang, di Indonesia dan juga di Bali. Dari sudah dikenal pula pada masa itu, beberapa karya-sastra Jawa Kuna, kami karena menurut pengetahuan dapati petunjuk-petunjuk mengenai kepurbakalaan sistem pemujaan roh adanya usada di Jawa yakni sebagai nenek moyang telah dikenal sejak berikut : Di dalam kakawin Ramayana zaman prasejarah. Siapa yang sargah I.19 disebutkan : melakukan pengobatan pada zaman “ri sedeng sanghyang dumilan, itu? Berdasarkan teori anthropologi, Niniwėdyāken ikanang niwedya bahwa kehidupan masyarakat kabeh, prasejarah dipimpin oleh seorang usadi lan phalamūla, pemimpin yang dipilih dari lingkungan mwang kembangganda mereka dan yang mempunyai dūpādi”. keistimewaan-keistimewaan misalnya Terjemahannya : kekuatan pisik, keberanian luar biasa, “ketika tungku-api (pasepan) kemampuan berhubungan dengan sedang menyala, dunia gaib. dihaturkanlah sasajen itu semuanya, 2.1.2 Zaman pengaruh Hindu hingga demikian pula obat dan umbisekarang umbian, beserta bunga berbau harum Menurut penelitian sejarah, dupa dan lain sebagainya. hubungan Bali dengan Jawa menjadi erat sejak abad 10 ditandai oleh perkawinan raja Dharma Udayana
Menurut Poerbatjaraka, bahwa kakawin Ramayana di tulis pada masa pemerintahan raja Balitung (893-910 M.). Dengan kutipan ini maka pada akhir abad IX telah dikenal sistem usada di Jawa. Adanya sistem balianusada di Indonesia (Jawa) diberikan juga suatu petunjuk di dalam kitab Adiparwa yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Tunggadewa di Jawa Timur ( 991 – 1016 M ). Di sini kami kutipkan bagian yang menguraikan tentang balian-usada dari kitab Adiparwa sebagai berikut : “mojar bhagawan kaçyapa : ai kamung nāga taksaka nahan tang wrksa waringin paripurna sambhadanya, hana pwa wwang sedeng amadung kayu ikang pinaneknya riwit, nikang wandira, ya tika gesengana tekapnyu, aku tumambang ring mantrosadhasarpabisa, pengawruhantari mantranku çakti”. Terjemahannya : “Berkatalah Bhagawan Kaçyapa : Hai kamu naga Taksaka Itu ada pohon beringin sangat rimbunnya, ada seorang sedang memotong kayu yang sedang dipanjatnya pada pohon beringin itu, hendaklah itu kamu bakar, akulah akan mengobatinya dengan mentraobat bisa ular, supaya kamu mengetahui bahwa mantraku sakti”. Kutipan kedua jenis karyasastra Jawa Kuna tersebut, memberikan petunjuk bahwa pada abad ke 10 telah
ada sistem pengobatan usada yang dilakukan oleh balian usada. Tentang adanya mistik, telah diberikan keterangan di dalam kitab Calonarang yang mengisahkan tokoh janda raja di Dirah sebagai orang melakukan ilmu hitam dan dikalahkan oleh tokoh Empu Bharadah sebagai orang yang melakukan ilmu putih. Peristiwa itu terjadi dalam periode pemerintahan raja Airlangga di Jawa Timur pada tahun 1019 – 1049 M. Pada periode Empu Kuturan karya-sastra tersebut tadi juga masuk ke Bali. Dengan demikian maka pada abad 11 Bali telah mengenal sistem pengobatan usada, walaupun keadaannya belum begitu populer pada waktu itu. Setelah Bali dikuasai Majapahit sejak th.1343 M, maka berbagai aspek kehidupan di Majapahit, diperlakukan di Bali sepenuhnya, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Nagarakertagama. Dalam pengetahuan Sejarah Bali, tercatat bahwa masa pemerintahan Dalam Baturenggong di Gelgel (1460 – 1550 M) merupakan masa kesuburan pertumbuhan karyasastra di Bali. Pada masa ini datanglah di Bali yaitu Padanda Sakti Wawurauh dari Jawa Timur. Di samping beliau seorang yogi dan seorang sastrawan, beliau juga adalah seorang mistikus besar. Beliaulah mengembangkan lebih lanjut sistem pengobatan usada di Bali dikaitkan dengan mistik – putih yang kini terkenal dengan “angēn balian sakti”. Dengan pengembangan ini, maka muncullah berbagai jenis usada di Bali yang jumlahnya sangat banyak antara lain: usada kurantabolong, usada cukildaki, usada banyu, usada tarupramana, usada babahi, usada tenung . Sistem pengobatan usada di
Bali, berkaitan pula dengan sistem keagamaan yaitu beberapa aspek agama Hindu. Di dalam melakukan pengobatan, sering pula disertai suatu upacara dewa yajna dalam bentuk nunas ica kepada Hyang Widi. Segi upacara pitra yajna terlihat pula di dalam suatu pengobatan usada di mana dikatakan si sakit kadang -kadang disakiti oleh roh leluhurnya karena sesuatu sebab, sehingga memerlukan suatu upacara yang berhubungan dengan leluhurnya untuk memohon ampun dan restu. Aspek keagamaan yang sering berhubungan dengan sistem pengobatan usada adalah macaru sebagai suatu usaha untuk memulihkan kembali kesehatan si sakit. Caru yang sering dipakai adalah caru yang bersifat khusus misalnya caru nasi wong-wongan, caru nasi rangda, caru nasi sasahan. Melihat kenyataan tersebut ini, maka sistem pengobatan usada di Bali mencakup dua jalur yaitu : mengobati dengan memberi obat menurut usada dan melakukan upacara keagamaan tertentu untuk memulihkan kesehatan si sakit secara spiritual. Kalau diteliti lebih lanjut maka jelaslah sistem pengobatan usada di Bali bersumber pada Ayurweda dan Atharwaweda dari India yang dikembangkan di Bali oleh mistikusmistikus besar dimasa lalu. Kenyataan inilah yang terlihat di Bali sekarang di samping juga ada sistem pengobatan katakson yang merupakan kelanjutan dari alam pikiran Prasejarah.
mengembalikan, wali atau wangsul artinya kembali.Wali juga berarti banten. Sebagaimana diketahui banten itu sebenarnya adalah simbol atau gambaran sebagai pengganti yang sebenarnya misalnya banten guru piduka adalah simbol permintaan maaf, dengan membuat gurupiduka sudah berarti membuat gambaran minta maaf. Canang sari simbol lingga dengan membuat canang sari berarti sudah membuat lingga padahal bukan lingga sungguh-sungguh melainkan hanya gambaran lingga. Jadi banten adalah gambaran simbol, gambaran simbol itu sama dengan wakil dari benda sebenarnya, dan wakil dari benda sebenarnya sama dengan wali dan akhirnya wali sama dengan banten. Contohnya dapat kita lihat yaitu : puja wali artinya ada upacara pemujaan dan upacara persembahan banten. baligya (waligya) yang kemudian jadi ngeligya adalah upacara nyekah dengan banten lebih besar. Dyus kambaligi ( dyus artinya mandi atau penyucian) dan bligi artinya banten, jadi dyus kambaligi artinya banten penyucian. Contoh yang sampai sekarang kita dapat jumpai pada masyarakat Bali Kuno seperti di daerah Kintamani, Sukawana dan sekitarnya ialah adanya sebutan jabatan jro balian. Ambilah contoh di Batur, jro balian disana tidak bertugas sebagai dukun tukang mengobati melainkan bertugas sebagai tukang ngantebang (mempersembahkan) banten kalau ada orang naur sesangi (bayar kaul), banten penebusan pecaruan dan 2.2 Sejarah Pengobatan didalam sebagainya. Jadi tugasnya adalah ngantebang banten. Agama Hindu. Kata Balian menurut I Gst. Suku Kaharingan di Kalimantan, orang Agung Gde Putra dapat di berikan yang bertugas mengawinkan juga pengertian sebagai berikut, balian disebut balian. Disamping itu kita berasal dari kata wali berarti mengenal juga jabatan balian konteng
yaitu semacam pemangku yang bertugas menyelesaikan atau meresmikan upacara perkawinan. Di desa-desa kalau banten widhi widananya kecil jarang yang meminta pedanda sebagai pemuputan dan dicukupkan dengan menggunakan balian konteng saja. Jadi dalam hal ini tidak semua balian itu adalah dukun tukang obat melainkan juga bisa berarti tukang “muput banten”. Dan jika saudara-saudara terima pendapat kami itu maka ini berarti aspek ritual dalam agama Hindu di Bali merupakan sarana utama pula didalam praktek-praktek pengobatan. Pengobatan didalam Agama Hindu dapat dilihat didalam Kitab Catur Weda, yakni didalam Atharwa Weda. Dalam Atharwa Weda banyak disebutkan mengenai obat-obat dan mantra-mantra pengobatan. Sayang sekali karena terjemahan Atharwa Weda ini tidak ada di Indonesia demikian pula nama-nama dari pada tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai bahan obat tidak diketahui persamaannya di Indonesia, sehingga tidak diketahui jenis tumbuhtumbuhan yang dimaksud maka pengaruh Atharwa Weda dalam pengobatan tradisional di Indonesia dan di Pulau Bali khususnya tidak banyak. Walaupun demikian pengaruh Mahabharata cukup kuat sehingga tokoh Dewa Acwino yang menjelma dalam diri Nakula dan Sahadewa, sebagai tokoh kembar menurut Mahabharata di Indonesia dijalin dalam bentuk ceritra Sudamala dimana Sahadewa dan Nakula dianugrahi kesaktian (kepandaian) mengobati oleh Bhatari Durgha karena jasa-jasanya meruat (mengembalikan) Bhatari Durgha dari bentuknya yang menakutkan kembali menjadi Dewi
Uma yang cantik. Jadi dalam cerita Sudamala ini Dewi Durgha sebagai tokoh pemberi panugrah (anugrah) sedang Sahadewa sebagai tokoh tabib. Di dalam kepercayaan masyarakat Bali Bhatari Durgha bersthana di Pura Dalem dan kenyataannya sekarang balian- balian yang ingin mendapat panugrah mengobati kebanyakan mohon panugrah di Pura Dalem. Balian yang mendapat panugrah Pura Dalem biasanya mempunyai pesimpangan Bhatara di Dalem di rumahnya dan linggih pepatih bhatara di Dalem yaitu Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Di dalam kandapat tokoh Ratu Nyoman Sakti adalah tokoh yang allround dalam arti beliau adalah penguasa dan black dan white magic, sebab itu kepada beliaulah para balian minta perlindungan atau bantuan. Disamping itu dikenal lagi yaitu tokoh Ratu Gde Nusa atau sering disebut Ratu Gde Macaling . Beliau adalah pepatih Bhatara di Dalem Peed . Beliaulah yang dianggap oleh para balian dan rakyat Bali sebagai pimpinan para wong samar (mahluk halus) serta penguasa dari segala merana, desti dan sebagainya. Kalau rakyat Bali tidak melaksanakan tugas dharmanya dan tidak ingat pada kewajiban beragama maka pada sasih ke VI sampai sasih ke IX Ratu Gde Nusa datang ke Bali diiringi oleh segala macam merana dan penyakit, dan para desti di Bali numpang ikut pula sehingga banyaklah orang sakit dan mati, tumbuhtumbuhan dan binatang pun juga demikian. Mulai dari sasih ke VI dengan upacara nangluk merana dan berakhir pada tilem ke IX dilaksanakanlah upacara tawur untuk menetralisir alam semesta agar jangan terjadi bencana. Atas bhakti mereka ini
Bhatara di Kahyangan Tiga akan melindungi mereka dari gangguan Ratu Gde Nusa. Kalau dilihat dari segi cuaca maka sasih ke IV adalah merupakan sasih peralihan dari musim panas ke musim hujan, sasih ke VII adalah gelap yang tergelap, dengan Çiwa ratrinya orang harus bersifat waspada akan segala bahaya, sasih ke VIII dengan angin kencang dan hujan lebat disertai dengan Guntur menandakan alam yang sedang bergolak dan sasih kesanga merupakan puncaknya. Secara lahiriah pancaroba alam inilah yang menyebabkan orang banyak sakit. Tetapi secara spiritual banyaknya penyakit pada bulan-bulan ini dihubungkan dengan Ratu Gde Macaling . Para balian-balian khususnya dipantai selatan pulau Bali kebanyakan memiliki pesimpangan Ratu Gde Macaling . Untuk mengatasi segala bencana ini maka orang harus melaksanakan dharmanya menurut agama, bakti kehadapan Batara di Kahyangan tiga karena Beliaulah sebagai pelindung desa, Bhatara di Puseh dengan pepatih Beliau Ratu Made Jelaung sebagai pelindung terhadap hutan dan air, Bhatara di Ulunswi dengan pepatih Beliau Ratu Wayan Teba sebagai pelindung terhadap tanam-tanaman Bhatara di Pura Sada dengan patih Beliau Ratu Ngurah Tangkeb langit sebagai pelindung terhadap hewan, Bhatara di Dalem dengan pepatih Beliau Ratu Nyoman Sakti Pengadangan sebagai pelindung terhadap segala macam bencana baik yang ditimbulkan oleh manusia maupun yang ditimbulkan oleh penyakit, sebab itu beliau sangat dihormati oleh para balian-balian, dan Bhatara di Pura Desa dengan pepatih
Beliau Ratu Ketut Petung sebagai pelindung dari anak-anak. 2.3 Jenis – jenis Balian Balian yang dikenal di Bali secara garis besar dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu : 1. Bali an Usada Balian Usada adalah balian yang pada dasarnya mengutamakan penggunaan pengetahuan mengenai teknik pengobatan dan jenis-jenis obatobatan (Nala : 89.2006). Pengetahuannya didapat dari mempelajari berjenis-jenis usada antara lain Lontar Usada, Lontar Bodagama, Boda kecapi dan sebagainya yang pada umumnya memuat soal-soal therapi menentukan jenis penyakit dan soalsoal obat yaitu obat apa yang cocok untuk suatu penyakit. Jadi usada itu garis besarnya memuat soal bagaimana menentukan jenis penyakit dan menentukan obatnya. Untuk mendapatkan kemanjuran dari pengobatannya itu pengetahuan soal jenis penyakit dan jenis obat-obatan itu saja belum dianggap cukup sebab pada umumnya balian usada mempelajari kandapat mulai dari Kandapat Rare, Bhuta, Dewa dan Sari atau sejenis kandapat lainnya seperti Anggastya Prana, Kuranta Bolong, Sundari, ding, Purwa Bhumi Kemulan, Welanda Kateng dan sebagainya. Untuk mempelajari dan “ngerangsuk ” (dapat menghayati betul betul) kandapat ini diperlukan pengendalian diri berupa puasa dan beberatan (pantangan) puasa tidak makan minum, tidak mengajak istri dalam waktu tertentu dan sebagainya. Puasa dan beberatan ini bertujuan untuk penyucian diri sehingga kekuatan ilmu kandapat itu betul-betul
menyatu pada dirinya. Sebagaimana diketahui kandapat itu dasarnya adalah pengenalan terhadap sifat, kekuasaan, kesukaan serta penggunaan dari saudara yang empat yang di ajak lahir bersama-sama. Mereka itu adalah yeh nyom yang warnanya putih keluar paling dahulu sebagai peretas jalan, sesudah itu darah dan lamas yang berwarna merah dan kuning yang menjaga tiap sisi dari si bayi pada waktu lahir sehingga tidak cacat walaupun melalui lobang yang sempit, dan terakhir adalah ari-ari warna biru (hitam) yang bertugas mendorong si bayi dari belakang agar cepat bisa keluar. Saudara yang empat inilah yang dari sejak lahir menjaga keselamatan si bayi dan sesudah besar anak ini maka saudara yang empat itupun berganti nama Anggapati, Mrajapati, Banaspati dan Banaspatiraja dan didalam kandapat Dewa Beliau adalah Bh. Iswara, Bh. Brahma, Bh. Mahadewa dan Bh. Wisnu. Kandapat yang berarti saudara yang empat akan bisa membantu dan melindungi bayi ini dari kecil sampai sesudah mati karena saudara empat ini pula yang menjaga di jembatan ogal-agil (titi ogal agil) berwujud Cikrabala, Citragotra, Sang Suratma, Jogormanik. Kalau seseorang baik terhadap saudaranya yang empat maka saudara empat ini akan melindungi dan membantu orang ini didalam segala perbuatannya sehingga dia bisa menjadi “manusa sakti” manjur segala apa yang dibuat atau dikatakannya, biasa membantu di dalam segala pengobatan dan melindungi di dalam segala bahaya. Sebaliknya jika manusa sakti ini menyalah gunakan saudaranya yang empat itu maka mereka juga
menjadi saksi dan penghukum di naraka. Dengan mendalami kandapat ini dan akrab dengan saudara yang empat ini maka si balian (manusa sakti) akan dapat minta bantuan pada mereka. Sebab itu merupakan etik dari balian usada yang ngerangsuk kandapat jangan sampai menyalah gunakan saudaranya itu untuk tujuantujuan yang bertentangan dengan dharma dalam arti memeras pasien dengan meminta wang yang banyak banyak atau menggunakan kesaktiannya untuk kesenangan dan keuntungan sendiri. Itulah sebabnya balian usada pada umumnya tidak mau memasang tarif karena dia tidak boleh serakah, kalau sudah mulai serakah dia tidak manjur lagi. Serakah dalam bahasa sansekertanya disebut ahamkara (mementingkan diri sendiri) didalam bahasa Indonesia disebut angkara. Orang yang ngerangsuk kandapat oleh karena tahu akan akibat kalau dia menyalah gunakan saudaranya maka segala perbuatannya dikendalikan jangan sampai bertentangan dengan agama (dharma), dan berusaha mengabdi kepada masyarakat yang disebut didalam istilah sansekertanya anresangsya mukhyaning dharma yang artinya kebajikan yang tertinggi adalah tidak mementingkan diri sendiri. Namun walaupun demikian, tidak jarang pula balian usada terjerumus oleh keserakahan atau kejahatan dan ini bukanlah karena kesalahan ilmu usada dan kandapat itu sendiri melainkan adalah kesalahan orang yang menggunakannya. Di samping itu banyak juga kita mengetahui balian usada yang nakti atau ndewaeraya di Pura-pura terutama Pura Dalem disamping untuk
memperkuat kandapatnya juga untuk Umumnya kecuali balian mendapatkan kemuzizatan tertentu di metetuun (yang biasa memanggil rohPura tersebut. roh orang yang sudah meninggal) Sebagai kesimpulan yaitu umumnya balian itu hanya bisa balian usada mempelajari usada agar memberikan satu kekuatan gaib saja mengetahui khasiat dari benda-benda yang memasuki dirinya. Baik balian ramuan obat dan mempelajari kandapat usada maupun balian ketakson bisa sebagai sarana-sarana “ngurip” atau juga menjadi spesialis-spesialis, tetapi memberikan kekuatan pada obat itu kebanyakan balian ketaksonlah yang dengan bantuan saudaranya yang bersifat spesialis sehingga menurut empat. spesialisasinya dapat disebutkan beberapa diantaranya sebagai berikut : balian bebai, balian buduh, balian 2. Bali an Ketakson Yang dimaksud dengan balian berung (luka), balian lung (patah ketakson pada umumnya adalah balian tulang), balian lelipi (ahli yang minta bantuan roh-roh halus, menyembuhkan gigitan ular), balian dewa, gamang , pitara, bhuta bebai dan pengeleakan dan sebagainya. balian sebagainya dengan jalan membiarkan usada kalau menyalah gunakan dirinya dimasuki, atau dipengaruhi kandapatnya bisa juga menjadi balian sehingga tampaknya seperti orang pengeleakan. Pada umumnya balian intrance atau setengah intrance serta usada itu bersifat balian umum. bisa menangkap firasat atau petunjuk dari roh atau kekuatan gaib dari luar 2.4 Balian dalam Pandangan itu. Dengan jalan mendapat penjelasan Teologi Hindu dari kekuatan gaib dari luar inilah dia Setiap agama yang percaya bisa mengetahui apa sakit si pasien dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa serta apa obatnya. tentunya memiliki teologi yang Balian-balian ketakson berbeda-beda. Secara harfiah teologi umumnya lebih reaktif kelihatan bisa berasal dari bahasa Yunani, yaitu theos begitu cepat mengetahui sakit dan logos. Theos berarti Tuhan dan seseorang sehingga cepat terkenal, logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi tetapi biasanya juga cepat punah teologi berarti ilmu pengetahuan kemanjurannya. Balian kjetakson tentang Tuhan yang dalam agama umumnya tidak banyak mau Hindu disebut sebagai Brahma Widya. mempelajari usada, tetapi suka nakti Walaupun ada ilmu tentang ketuhanan, atau ndewaeraya ke Pura-pura atau bukan berarti kita tahu segala-galanya ketempat-tempat yang angker. Balian tentang Tuhan. ketakson juga menggunakan Ilmu balian yang banyak beberatan-beberatan (pantangan- dikuasai oleh masyarakat Bali terdapat pantangan) untuk menjaga kesucian dalam teologi Hindu, hal ini dibuktikan dirinya. Oleh karena itu tubuhnya dalam pengobatan selalu menggunakan sudah biasa dimasuki oleh roh-roh gaib mantra-mantra yang menyebutkan kadang-kadang macam-macam roh dan nama-nama dewa dan menyebut bhuta kala juga bisa masuk, dan aksara-aksara suci beliau untuk andaikata demikian maka berhati- melaksanakan pengobatannya. Namahatilah kalau terjadi salah masuk. nama dewa dalam mantra balian dapat
dilihat doa-doa yang diuncarkan oleh balian, hal tersebut dapat dilihat didalam kitab suci Reg Weda mandala I.34.6 kita dapati suatu formula sebagai berikut : “Trimo açwinā diwyāni bhesajā Trih pārthiwāni triru dattamadbhyah, Omānan çamyormamakāya sūnawe, Tridhātu çarma wahatam çubhaspati” Artinya : “Tiga kali, O Aswin, berikan kami obat yang berasal dari langit. Tiga kali obat dari tanah dan tiga kali obat dari air. KemurahanMu hatiMu dan kesehatan. Dan kekuatan berikan kepada anakanak kami, tiga kali berikan perlindungan. Dewa Yang Agung, berikan kepadanya”.
aksara modre sebagai sebuah simbol berperanan menambah kekuatan magis religius usada di Bali. Setiap balian usada mesti menguasai tentang pembuatan, fungsi, makna dan cara penggunaan aksara suci Bali tersebut sebagai sarana dalam pengobatan dan mempercepat proses pengobatan pasiennya. Oleh karena itu para balian ini harus mempelajari dengan benar dan sungguh-sungguh tentang tulisan dan makna dari masing-masing aksara tersebut dan tata cara penggunannya. Jikalau salah dalam penulisannya dan pemanfaatnya serta ritual yang mengiringinya akan menimbulkan akibat yang tidak diinginkan baik oleh baliannya sendiri maupun pasiennya. Penulisan aksara ini tidak boleh Dapat disimak dari ucapan sembarangan, ada aturan yang harus Weda diatas, dapat diketahui ada suatu diikuti dan ditaati oleh setiap balian sistem pengobatan yang menggunakan yang mau menerapkan aksara suci dua sarana yaitu (1) Memohon kepada dalam pencegahan, pengobatan, dewa Aswina (aspek Hyang Widhi kewibawaan, kesehatan, dan dalam memberikan perlindungan rehabilitasi (Nala, 2006 : 32-33). kesehatan) (2) Menggunakan sarana Dan hampir disetiap obat yang berasal dari alam (bumi dan pengucapan mantra dari balian air). Sangat jelas sekali kelihatan menggunakan kata Om, yang dalam adanya sebuah konsep teologi yang di Hindu dikenal dengan kekuatan gunakan dalam sistem pengobatan Sanghyang Widhi, seperti simbol balian tersebut. aksara A-U-M (OM ), sebagai simbol Konsep Teologi Hindu Dewa Brahma (A), Dewa Wisnu (U), merupakan sebuah konsep tentang dan Siwa (M), AUM juga sebagai ketuhanan yang meliputi banyak unsur, simbol tri buwana (tiga dunia), yaitu salah satunya adalah aksara-aksara dunia bawah, tengah, dan atas. Kalau di suci. Disebut aksara suci karena Bali OM tersebut disimbolkan dengan memang aksara ini memiliki kekuatan OMKARA yang merupakan perwujudan gaib atau magis religius untuk Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan menyucikan atau membersihkan Yang Maha Esa, yang terdiri dari nada sesuatu. Aksara ini pada umumnya merupakan simbol Sang Parama Siwa, dipergunakan sewaktu ada upacara paragayan purusa; arda chandra agama atau dalam pengobatan (Nala, berbentuk bulan sabit, simbol Sang 2006 :27). Hyang Siwa; Windu berbentuk bulatan, Dalam ilmu Balian aksara merupakan simbol Sang Hyang dipergunakan panca aksara, tri aksara, Sadasiwa, dan ulu candra biasanya dwi aksara, aksara bijaksana, dan dipakai menyegaukan huruf-huruf gaib,
yang lazim digunakan menulis katakata bijakakasara, Weda dan mantra. (Nyoka, 1994:23). Serta jika dilihat dalam fungsi aksara lebih kompleks dipakai dalam pangider-ider (arah mata angin sebagai simbol kosmologi Hindu), dengan simbol senjata, wama, dan aksara. Mata angin di sini secara kosmologi merupakan arah keluhuran, kesucian, keindahan dan kebenaran. Oleh karena itu, konsep mata angin ini tidak dapat dipertukarkan satu sama lain, baik warna, aksara, lambang, dan sebagainya. Inilah yang dijadikan dasar bagi sebagaian balian untuk melakukan pengobatan. Sehingga dapat diberikan sebuah garis besar bahwa balian secara umum mengunakan mantra-mantra yang masih ada kaitannya dengan dewa-dewi Hindu yang terdapat dalam teks-teks Hindu yaitu dasa aksara yang dicakupkan pada panca akasara dan dicakupkan menjadi tri aksara dan dicakupkan menjadi dwi aksara menjadi rwa bhineda dan dicakupkan menjadi eka aksara dan eka aksara tersebut adalah Hyang Tunggal ( Ida Sang Hyang Widi Wasa). III. PENUTUP Pengobatan tradisional merupakan bentuk intervensi terapi yang tidak invasif, berakar dari kepercayaan kuno, termasuk di dalamnya konsep kepercayaan kuno. Pengobatan tradisional ini sudah lama dikenal di dunia, bahkan di Indonesia pun sudah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Di Bali istilah pengobatan tradisonal tersebut biasanya identik dengan balian yang merupakan orang yang dipercaya bisa melakukan pengobatan. Balian di Bali dipengaruhi oleh perkembangan agama Hindu hal ini terbukti dengan adanya
berbagai macam upacara yang digunakan dalam melakukan pengobatan tersebut. Jenis balian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu balian usada dan balian ketakson. Balian usada adalah balian yang pada dasarnya mengutamakan penggunaan pengetahuan mengenai teknik pengobatan dan jenis-jenis obat-obatan dan balian ketakson pada umumnya adalah balian yang minta bantuan rohroh halus, dewa, gamang, pitara, bhuta bebai dan sebagainya dengan jalan membiarkan dirinya dimasuki, atau dipengaruhi sehingga tampaknya seperti orang trance atau setengah trance serta bisa menangkap firasat atau petunjuk dari roh atau kekuatan gaib dari luar itu. Balian dalam teologi Hindu terdiri dari mantra-mantra Hindu, karena didalamnya disebutkan tentang dewa-dewa dan mantra yajna. Disamping itu balian juga menggunakan aksara dalam pengobatan yang biasanya menggunakan aksara yang terdapat di diri manusia, kemudian disatukan dengan aksara alam semesta, sehingga kebahagiaan dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, I Nyoman. Beberapa faktor penghambat dan pendorong dalam Usaha peningkatan peran Balian di Masyarakat Seminar Kedokteran Tradisional Bali pada tanggal 23 Januari 1981. Makalah Callone, J.B. de, 1988. Ilmu Dukun Pada Suku-Suku Dayak di Kalimantan Selatan. Jakarta: Reikaraya.
Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidya Teologi Kasih semesta. Surabaya: Paramita. Kardji, I Wayan, 1999. Ilmu Hitam Dari Bali. Denpasar : Upada Sastra Kardji, I Wayan, 2006. Tutur Penangkal Ilmu Hitam. Surabaya: Paramitha Koentjaraningrat, Dr. (1954). Sejarah Kebudayaan Indonesia, Djilid I, Kebudayaan Prahistori di Indonesia : New Haven. Nala, Ngurah, 2006. Aksara Bali dalam Usada. Surabaya : Paramitha.
Nala, Ngurah, 1992. Usada Bali. Paramitha : Surabaya. Titib, I Made, 2003. Teologi & SimbolSimbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramitha Tanpa Pengarang. 1978. Transkripsi Lontar Usada Ratuning Usada. Dinas Kesehatan Prov. Bali. Drs. I Gst. Agung Gde Putra . Penggolongan Balian di Bali. Makalah. 1988