JAMUR PILOBOLUS (JAMUR PADA KOTORAN KUDA) ENUNG PADILAH 1.a), RIZAL MAULANA HASBY, M. Si. 1), FERBI FAJAR RAMADHAN 1)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI a)
Email:
[email protected]
Abstrak:
I. PENDAHULUAN
Jamur Pilobolus adalah cendawan koprofil yang tergolong dalam Ascomycota. Pilobolus disebut cendawan koprofil karena dapat hidup di kotoran hewan dan dapat bertindak sebagai cendawan saprob. Keunikan dari cendawan ini adalah dapat menembakkan sporanya sehingga terkadang Pilobolus disebut Shotgun Fungi. Pilobolus menunjukkan adanya mekanisme fototropisme dimana sporangiumnya menembakkan spora ke arah datangnya cahaya. Fungi yang satu ini tergolong dalam kelompok Zygomycota dan berkembang biak dengan spora (sporangiospora). Untuk membantu spora-spora tersebut menyebar, maka Pilobolus menggunakan “senapan” untuk menembakannya sejauh mungkin (Melnick, 1996). Pilobolus bereproduksi dengan menembakkan sporanya yang berwarna hitam ke tumbuhan semacam rumput. Setelah itu, hewan herbivora akan memakan rumput, spora Pilobolus juga akan terbawa. Selama berada di dalam saluran pencernaan hewan herbivora, spora akan bergerminasi be rgerminasi sebagai s ebagai bentuk pertahanan terhadap suhu dan bahan kimia dalam saluran pencernaan herbivora. Setelah proses pencernaan berakhir, berak hir, spora s pora Pilobolus juga akan ikut keluar bersama ber sama feses. Di luar tubuh, spora Pilobolus akan berkecambah membentuk miselium, feses hewan akan menjadi sumber nutrisi bagi spora tersebut. Spora yang berkecambah akan berkembang membentuk struktur reproduksi yang memiliki spora. Spora ini akan ditembakkan kembali ke rumput. Siklus ini akan terus berlanjut selama ada
hewan herbivora yang memakan rumput dan menjadi inang selanjutnya (Becker, 1994). Pada lingkungan yang sesuai, zigospora akan tumbuh dan membentuk sporangium.
Sporangium
ini
memiliki
struktur
penopang
yang
disebut
sporangiofora. Selanjutnya, reproduksi secara aseksual dimulai lagi yaitu ditandai dengan pematangan sporangium hingga sporangium tersebut pecah dan spora tersebar keluar. Contoh Zygomycotina : Pilobolus sp, jamur ini sering disebut ‘pelempar topi’ atau cap thrower, karena bila sporangiumnya telah masak, jamu r ini bisa melontarkannya sampai sejauh 8 meter. Spora tersebut kemudian melekat pada rumput atau tumbuhan lain. Ketika tumbuhan tersebut dimakan hewan, spora jamur yang melekat tersebut akan berkecambah di dalam saluran pencernaan dan akan tumbuh pada kotoran yang dikeluarkan hewan tersebut (Becker, 1994). Pilobolus memiliki habitat hidup yang unik, yaitu di kotoran ternak herbivora, seperti sapi, kambing, domba, dan sebagainya. Kebiasaan hidup ini mungkin tampak mengerikan bagi kita, tetapi jamur seperti Pilobolus sangat berperan dalam kehidupan. Karena Jamur ini, salah satu jenis “dekomposer” yang mampu memecah bahan organik dari makhluk hidup yang telah mati. Untuk hidup di kotoran herbivora, jamur Pilobolus harus terlebih dahulu masuk ke dalam kotoran ternak.
Ternak akan menelan spora Pilobolus ketika mereka sedang
merumput. Spora yang memiliki dinding sel yang tebal sangat sulit dicernakan, sehingga hewan ternakpun tidak dapat mencernanya.
Spora tersebut akan
melewati sistem pencernaan ternak dan dikeluarkan dalam kotoran, di mana mereka akan tumbuh. Pilobolus telah mengembangkan cara jitu untuk mendistribusikan sporasporanya ke rerumputan. Senjata atau shotgun yang dimiliki pilobolus merupakan semacam tangkai (sporangiofor) yang membengkak di bagian ujungnya dengan bantalan massa spora hitam (sporangium) pada bagian atas. Cahaya matahari sangat mempengaruhi pertumbuhan Pilobolus. Di bawah ujung sporangiofor merupakan daerah yang peka terhadap cahaya (Fototropisme dan fototaksis). Tangkai tersebut akan tumbuh ke arah cahaya matahari. Ketika jamur telah matang, maka tekanan air di dalam tangkai menyebar sampai dengan
ujung tangkai dan menyebabkan ujung tangkai meledak. Saat itulah terjadi penyebaran spora dengan penembakan spora ke udara. Peristiwa ini umumnya terjadi pada siang hari (Odum, E.P. 1971). Spora-spora yag ditembakkan tersebut terbang pada kecepatan 10,8 m per detik dan pada ketinggian kurang lebih 2 m dari permukaan tanah. Mereka dapat terbang sejauh kurang lebih 2,5 m. Kecepatan terbang spora tersebut merupakan yang tercepat di alam. Percepatan terbang spora Pilobolus dalam 1 mm pertama adalah 0 – 45 mph. Pilobolus dapat kita sejajarkan dengan sniper yang ulung, karena spora-nya dapat terbang melewati tubuh hewan ternak dan dalam kecepatan yang demikian fantastis. Penyebaran spora pada siang hari akan memberi kesempatan yang lebih baik untuk mendarat di tempat yang cerah di mana rumput atau tanaman sudah berkembang dan hewan-hewan ternak seperti sapi akan merumput disana. Hal itulah yang menyebabkan spora-spora itu dapat menyebar kembali ke ternak dan rangkaian siklus hidup Pilobolus itu akan terulang kembali.
II. BAHAN DAN METODE
2.1 Alat Dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol jam, sendok bekas, kaca objek, kaca penutup, jarum pentul, mikroskop, sampel kotoran kuda, karet, kertas karbon, cutter dan air.
2.2 Sampling Mikroalga Dilakukan pengambilan sampel kotoran kuda pada bulan Oktober 2016. Sampel dibawa ke laboratorium biologi UIN SGD Bandung. Dibuat kultur jamur dengan cara masukkan kotoran kuda dalam botol jam dengan menggunakan sendok bekas kira-kira setengah bagian botol dengan dibuat pada posisi miring. Setelah itu, basahi kultur dengan air agar lembab, lalu tutup botol tersebut seluruhnya dengan kertas karbon, ikat dengan karet, lubangi kertas karbon agar udara dapat masuk, dan biarkan kultur 3-6 hari. Lalu, diamati setiap hari pertumbuhan sporanya.
2.3 Pembuatan Preparat Dilakukan pembuatan preparat dari hasil kultur jamur yang telah dilakukan yaitu yang pertama dilakukan adalah dengan mencukil jamur yang tumbuh dengan menggunakan pinset, letakkan jamur pada kaca preparat yang telah ditetesi air, tutup dengan objek glass dan amati jamur dibawah mikroskop dengan perbesaran untuk mengidentifikasi bentuk sporangium, sporangiosfor dan hifanya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari pengamatan yang telah dilakukan, selama penyimpanan dalam jangka waktu 3 mnggu, diketahui bahwa spora yang di tembakkan oleh jamur pillobolus ini mulai terlihat ketika hari ke-tiga setelah proses pembungkusan. Spora yang terlihat berupa seperti percikan putih seperti kapur putih yang bubuk dan berukuran kecil. Pada hari selanjutnya yaitu hari ke-empat spora mulai terlihat berupa bintik-bintik yang lebih jelas dari pada hari ketiga. Hari yang ke-lima spora yang ditembakkan jamur ini terlihat lebih banyak dan mulai menumpuk, hal ini dikarenakan jamur pilobolus ini terus-terusan menembakan sporanya. Pada hari ke-enam spora semakin bertumpuk. Penembakan spora akan terus dilakukan oleh jamur pilobolus ini, selama cahaya masih di berikan, dan selama spora pada jamur ini masih ada. Proses penembakan spora ini terjadi karena jamur telah matang, Kemudian tekanan air dalam tangkai menyebar ke ujung, dan akhirnya meledak. 1. Klasifikasi Klasifikasi jamur Pilobolus menurut Hariana (2005), yaitu:. Kingdom
: Fungi
Subfilum
: Mucormycotina
Ordo
: Mucorales
Family
: Pilobolaceae
Genus
: Pilobolus Setelah mengamati pertumbuhan jamur pilobolus ini diketahui bahwa
cahaya matahari sangat mempengaruhi pertumbuhan Pilobolus. Hal ini dilihat dari tembakan spora didalam botol menuju ke arah lubang yang sengaja dibuat. Hal ini
sesuai dengan pendapat (Gould, 2003) yang menyatakan bahwa penyebaran spora pada siang hari akan memberi kesempatan yang lebih baik untuk mendarat di tempat yang cerah di mana rumput atau tanaman sudah berkembang dan hewanhewan ternak seperti sapi akan merumput disana. Di bawah ujung sporangiofor merupakan daerah yang peka terhadap cahaya (Fototropisme dan fototaksis). Tangkai tersebut akan tumbuh ke arah cahaya matahari. Ketika jamur telah matang, maka tekanan air di dalam tangkai menyebar sampai dengan ujung tangkai dan menyebabkan ujung tangkai mel edak. Saat itulah terjadi penyebaran spora dengan penembakan spora ke udara. Peristiwa ini umumnya terjadi pada siang hari (Moore,1980). Menurut Hariana (2005), bahwa spora-spora yag ditembakkan tersebut terbang pada kecepatan 10,8 m per detik dan pada ketinggian kurang lebih 2 m dari permukaan tanah. Mereka dapat terbang sejauh kurang lebih 2,5 m. Kecepatan terbang spora tersebut merupakan yang tercepat di alam. Percepatan terbang spora Pilobolus dalam 1 mm pertama adalah 0 – 45 mph. Pilobolus dapat kita sejajarkan dengan sniper yang ulung, karena spora-nya dapat terbang melewati tubuh hewan ternak dan dalam kecepatan yang demikian fantastis. Menurut Adi Yudianto (1992), peristiwa terlontarnya spora bergantung pada tekanan turgor pada sporangium. Saat tekanan turgor telah mencukupi, sporangium akan menembakkan sporanya ke arah datangnya cahaya. Jarak yang ditempuh spora dapat lebih jauh dibanding ukuran sporangiofor cendawan itu sendiri. Peristiwa terlontarnya spora diatur oleh regulasi adenosin monofosfat siklik regulasi ini terjadi bila terdapat glukosa pada lingkungan. Jamur pilobolus dari hasil identifikasi tidak terlihat adanya hifa (miselium), karena saat pembuatan preparatnya kita tidak mengetahui posisi dari pada miselium tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Marder (2004), yang menyatakan bahwa jamur Pilobolus tidak mempunyai hifa (miselium). 2. Morfologi Pilobulus Philobulus mempunyai morfologi Sporangium dari Pilobolus berbentuk seperti balon bertangkai yang diujungnya terdapat spora berwarna hitam. Terdapat lapisan kristal kalsium oksalat melingkupi sporangium yang berperan dalam
mekanisme pertahanan diri dan penempelan saat berada di media buatan. Pilobolus mempunyai tangkai yang besar, dan water doplet yang sedikit. Bentuk sporangiosfor dari pilobolus ini adalah bulat besar, dan terlihat seperti ada benang-benang halus (Bourret, 1986). Pilobolus dikembangkan dalam 3 sampai 4 hari,
dalam penugukuran
menurut yang 1 sampai 6 mm panjang, dan jelas pucat berwarna kuning. Sporangium Pilobolus yang tampak pada mikroskop telah menembakkan sporanya Sporangium dari Pilobolus berbentuk seperti balon bertangkai yang diujungnya terdapat spora berwarna hitam. Terdapat lapisan kristal kalsium oksalat melingkupi sporangium yang berperan dalam mekanisme pertahanan diri dan penempelan saat berada di media buatan. Peristiwa terlontarnya spora bergantung pada tekanan turgor pada sporangium. Saat tekanan turgor telah mencukupi, sporangium akan menembarkan sporanya ke arah datangnya cahaya. Jarak yang ditempuh spora dapat lebih jauh dibanding ukuran sporangiofor cendawan itu sendiri. Peristiwa terlontarnya spora diatur oleh regulasi adenosin monofosfat siklik. Regulasi ini terjadi bila terdapat glukosa pada lingkungan.. Sporangiospores yang ellipsoids kuning pucat 10,0 ± 0,7 (Kisaran 7,5-12) M panjang 6,3 ± 0,9 (kisaran 5 sampai 8) Tm lebar memproduksi panjang untuk lebar rasio 1,6. Spora Pilobolus ini memiliki dinding sel yang tebal sangat sulit dicernakan, sehingga hewan ternakpun tidak dapat mencernanya. Spora tersebut akan melewati sistem pencernaan ternak dan dikeluarkan dalam kotoran, di mana mereka akan tumbuh. Pilobolus telah mengembangkan cara jitu untuk mendistribusikan spora-sporanya ke rerumputan. Senjata atau shotgun yang dimiliki pilobolus merupakan semacam tangkai (sporangiofor) yang membengkak di bagian ujungnya dengan bantalan massa spora hitam (sporangium) pada bagian atas (Mulyani, 2004). 3. Reproduksi Pilobolus bereproduksi dengan menembakkan sporanya yang berwarna hitam ke tumbuhan semacam rumput. Setelah itu, hewan herbivora akan memakan rumput, spora Pilobolus juga akan terbawa.Selama berada di dalam saluran
pencernaan hewan herbivora, spora akan bergerminasi sebagai bentuk pertahanan terhadap suhu dan bahan kimia dalam saluran pencernaan herbivora.Setelah proses pencernaan berakhir, spora Pilobolus juga akan ikut keluar bersama feses. Di luar tubuh, spora Pilobolus akan berkecambah membentuk miselium, feses hewan akan menjadi sumber nutrisi bagi spora tersebut. Spora yang berkecambah akan berkembang membentuk struktur reproduksi yang memiliki spora.Spora ini akan ditembakkan kembali ke rumput. Siklus ini akan terus berlanjut selama ada hewan herbivora yang memakan rumput dan menjadi i nang selanjutnya. Pilobolus selain hidup di alam bebas juga dapat ditumbuhkan dalam media buatan. Spora Pilobolus terdapat dalam kotoran hewan herbivora seperti sapi, kambing, dan kuda. Kotoran dimasukkan dalam sebuah wadah tertutup dan gelap. Pada wadah diberi kapas basah sebagai media pertumbuhannya (Gunawan dan Agustina, 2009). Untuk mengamati mekanisme fototropisme dapat dibuat lubang untuk jalan masuknya cahaya. Setelah beberapa hari, miselium Pilobolus akan tumbuh di atas kotoran dan mengarah ke arah lubang cahaya yang dibuat. Di sekitar lubang akan terdapat bintik hitam yang merupakan spora yang telah ditembakkan oleh sporangium.
IV. KESIMPULAN
Dari pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, Pilobolus merupakan salah satu jamur ascomycota, yang habitatnya di kotoran hewan herbivora. Pilobolus menunjukkan adanya mekanisme fototropisme dimana sporangiumnya menembakkan spora ke arah datangnya cahaya (Shot-gun Fungi) yang dimana pertumbuhan jamur ini sangat dipengaruhi oleh sinar matahari.
V. DAFTAR PUSTAKA
Bourret JA (1986) Evidence that a glucose mediated rise in cyclic AMP triggers germination of Pilobolus longipes spores. Experimental mycology. Vol. 10 (1): 60 – 66.
Gunawan AW dan Agustina TW. 2009. Biologi & Bioteknologi Cendawan dalam Praktik. Ed.2. Jakarta: Universitas Atma Jaya. C ^ a b c d e (Inggris) Bruce VG, Weight F, Pittendrigh CS. 1960. Resetting the sporulation rhythm in Pilobolus with short light flashes of high intensity. Science 131:728-730. ^ a b c d e (Inggris) Yafetto L, Carroll L, Cui Y, Davis DJ, Fischer MW, Henterly AC, Kessler JD, Kilroy HA, Shidler JB, Stolze-Rybczynski JL, Sugawara Z, Money NP. 2008. The fastest flights in nature: high-speed spore discharge mechanisms among fungi. PLOS One 3:3237. ^ (Inggris) Bourret JA, Smith CM. 1987. Cyclic AMP regulation of glucose transport in germinating Pilobolus longipes spores. Arch Microbiol 148:29-33. Tom Volk (2006). "Pilobolus crystallinus, "the Fung in t he Dung" --in honor of Dr. Seuss' 102nd birthday". Diakses tanggal 2010-05-16.