Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Referat Pendek
EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Disusun oleh: Heri Suhendra NIM: 06.55399.00342.09
Pembimbing: dr. Mauritz S., Sp.P
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN MULA WARMAN SAMARINDA 2012 1
LEMBAR PENGESAHAN
EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Referat Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Disusun oleh: Heri Suhendra NIM: 06.55399.00342.09
Dipresentasikan pada 14 Januari
2012
Pembimbing
dr. Mauritz S., Sp.P NIP: 19700513 20003 1 002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN MULA WARMAN SAMARINDA 2012
2
LEMBAR PENGESAHAN
EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Referat Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Disusun oleh: Heri Suhendra NIM: 06.55399.00342.09
Dipresentasikan pada 14 Januari
2012
Pembimbing
dr. Mauritz S., Sp.P NIP: 19700513 20003 1 002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN MULA WARMAN SAMARINDA 2012
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta¶ala karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul ³ Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis´. ´. Referat ini disusun berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan penulis yang bersumber dari text book book , guid elines terbaru dan referensi ilmiah lainnya . Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, SWT , oleh karena itu penulis menerima segala saran dan kritik yang membangun demi perbaikan secara khusus pada aspek penulisan referat ini maupun secara keseluruhan pada proses pengerjaan referat ini . Akhirnya penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Samarinda, Samarinda, Januari 2012
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
...................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN
..........................................................................
i ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii DAFTAR ISI
..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
iv
..........................................................................
1
.....................................................................................
1
1.2 Tujuan
..................................................................................................
2
BAB II ISI
.................................................................................................
3
2.1
Pengobatan TB .......................................................................................
2
2.2
Efek Samping OAT ................................................................................ 11
1.1 Latar Belakang
2.2. 1
Isonazid ......................................................................................... 11
2.2.2
Rifampisin ..................................................................................... 12
2.2.3
Pyrazinamide ................................................................................. 13
2.2. 4
Ethambuthol .................................................................................. 14
2.2.5
Streptomycin ................................................................................. 17
BAB III PENUTUP
....................................................................................
23
3.1
Kesimpulan ............................................................................................
23
3.2
Saran .......................................................................................................
23
DAFTAR PUSTAKA
..................................................................................
4
24
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ tubuh, namun sebagain besar menyerang paru . Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar , khususnya di negara berkembang . Beberapa fakta menunjukkan hal ini antara lain:
1
1. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ke-4 di dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan.. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% (tahun
2008)
dari total jumlah pasien TB di
dunia 2.
Data yang didapat dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2002,
terdapat
22
negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB
terbesar di dunia . 3.
Tahun
2004
tercatat
diperkirakan sekitar
211. 753 300
kasus baru tuberkulosis di Indonesia , dan
kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya
kasus baru tuberkulosis bertambah seperempat juta . 4. Penemuan kasus BTA positif (case detection rate, CDR ) mengalami peningkatan selama periode
2003-2006
dan tahun
2007
menunjukkan
penurunan di bawah target global (7 0%). Angka penemuan kasus TB paru tahun
sebesar 42%, tahun
sebesar 54%, tahun
2006
76% yang berarti mencapai target global, namun pada tahun
2007
2003
2005
sebesar kembali
menurun sebesar 69%. Dengan penanganan yang tepat , TB merupakan penyakit yang dapat disembuhkan.
Pemerintah
juga
telah
menetapkan
pedoman
diagnosis
dan
penatalaksanaan tuberkulosis . Pengobatan TB memakan waktu yang cukup lama dan rentan untuk timbulnya efek samping. Sebagian besar pasien TB, dalam perjalanan pengobatannya tidak selalu dijumpai adanya efek samping. Tetapi pada beberapa pasien didapatkan efek samping yang dirasakan memberat . Penting bagi pasien untuk 5
dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut . 1.2 Tujuan
1.2.1
Mengetahui dan mengenali gejala dari efek samping OAT
1.2.2
Mengetahui penanganan dari efek samping OAT
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengobatan TB
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium .Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi . Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer . Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin .Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 2 Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin . Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik , kurang efektif , dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB .
2
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan , maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah : y
Menghindari penggunaan monoterapi . Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat , dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan . Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT .
y
Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat , pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly ObservedTreatment ) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
y
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan . 7
1. Tahap Intensif Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. 2.
Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama .Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap . Contoh : 2HRZE/4H3R 3 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai , yakni : 2 H = Isoniazid R = Rifampisin Z = Pirazinamid E = Etambutol S = Streptomisin
8
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi .Angka
2
didepan seperti pada ³ 2HRZE´, artinya digunakan selama
2
bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf , seperti pada ³4H3R 3´ artinya dipakai
3
kali seminggu ( selama 4 bulan).
Kemasan obat dalam bentuk : y
Obat tunggal, Obat
disajikan
secara
terpisah,
masing-masing INH,
Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol . y
Obat kombinasi dosis tetap ( F i xed Do se Combinat ion ± FDC) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari
3
atau 4 obat dalam satu tablet
Tabel 1. Panduan OAT dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia Kategori 1 2HRZE/4H3R 3 Kategori 2
2HRZES/HRZE/5H3R 3E3
OAT sisipan
HRZE
Kategori anak
2HRZ/4HR
1
1. Kategori-1 ( 2HRZE/4H3R 3)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama
2
bulan.
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan . Lama pengobatan seluruhnya bulan Obat ini diberikan untuk:
Penderita baru TB Paru BTA Positif .
Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen P ositif
Penderita TB Ekstra Paru, kasus baru
6
Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R 3E3) 1
2.
Tahap intensif diberikan selama
3
bulan, yang terdiri dari
2
bulan dengan
HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari . Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama
5
bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Lama pengobatan 8 bulan. Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+ ) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu:
Penderita kambuh (r elap s)
Penderita gagal ( f ailur e)
Penderita dengan pengobatan setelah lalai ( a f ter d e f aul t ).
1
OAT Sisipan (HRZE)
3.
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori
2,
hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif , diberikan obat
sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan . Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara
33
kg: 1 tablet Isoniazid
300
3
Pirazinamid
tablet Etambutol
500mg, 3
mg, 1 kaplet Rifampisin 4 50 mg, 250
± 50
tablet
mg Satu paket obat sisipan
berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil . Tabel 2. Jenis dan dosis OAT
Obat
Dosis (mg/Kg BB/hr)
1
Dosis yg dianjurkan Harian
Intermitte
(mg/Kg
n (mg/Kg
BB/hr)
BB/kali)
Dosis Maks (mg)
Dosis mg/KgBB <40
40-60
>60
R
8-12
10
10
600
300
450
600
H
4-6
5
10
300
150
300
450
Z
20-30
25
35
750
1000
1500
E
15-20
15
35
750
1000
1500
S
15-18
15
15
Sesuai BB
750
1000
1000
x
Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut F i x Do se Combinat ion (FDC). Obat ini pada dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada sudah berisi 2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan .WHO sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi dala m bentuk lepas . Keuntungan penggunaan OAT FDC: a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan penderita. b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita . c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan dit elan. d. Dari
aspek
logistik ,
manajemen
OAT-FDC
pengelolaannyadan lebih murah pembiayaannya.
Tabel
3.
akan
lebih
mudah
3
Jenis OAT FDC2 Fase Intensif
Fase Intensif
2 bulan
4 bulan
Harian
Harian
3x/minggu
Harian
3x/minggu
RHZE
RHZ
RHZ
RH
RH
150/75/400/275
150/75/400
150/150/500
150/75
150/150
30-37
2
2
2
2
2
38-54
3
3
3
3
3
55-70
4
4
4
4
4
>71
5
5
5
5
5
BB
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non t oksik . Pada kasus yang mendapat obat
i
x
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk kerumah sakit / dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya .2
4. Kategori Anak Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti (termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa ), pemeriksaan fisis termasuk analisis terhadap kurva pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang uji tuberkulin, radiologi, serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan . ) Pada anak , batuk bukan merupakan gejala utama TB . Pada anak sangat sulit sekali mengambil sampel dahak ,
maka diagnosis TB anak dapat
menggunakan criteria lain yaiotu denganb menggunakan system pembobotan (scoring system). Apabila diagnosis hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan foto toraks atau laboratorium saja, sering terjadi misdiagnosis, underdiagnosis atau overdiagnosis. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan ( scor ing system) yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai . Tabel 4. Sistem pembobotan ( scor ing system) untuk diagnosis TB pada anak Parameter
0
Kontak TB
Tidak jelas
1
2
3
Laporan
BTA (+)
keluarga, BTA
tidak
jelas Uji Tuberkulin
Negatif
Positif ( 10 mm, atau mm
5
pada
keadaan imunosupresi) Berat
badan
Bawah
garis Klinis
ii
x
gizi
/keadaan gizi
merah (KMS) buruk (BB/U atau BB/U <
< 60%)
80% Demam tanpa
>
sebab jelas
(jelas)
Batuk*
>
Pembesaran
> 1cm, jumlah
kelenjar limfe
> 1, tidak nyeri
coli,
minggu
2
3
minggu
aksila,
inginal, Pembengkakan
Ada
tulang/sendi
pembengkakan
panggul, lutut Foto toraks
Normal
/
Kesan TB
tidak jelas Catatan: y
Diagnosis dengan system scoring ditegakkan oleh dokter
y
Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti : asma, sinusitis dan lain-lain
y
Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit ), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis
y
Berat badan dinilai saat pasien datang
y
Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
y
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak . (skor maksimal 1 3)
y
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor >
y
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
iii
x
6
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan
6
(6) didiagnosis
sebagai TB anak dan ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis ). Bila skor kurang dari
6
tetapi secara klinis kecurigaan kea rah TB kuat
maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnosis lainnya sesuai indikasi , seperti : y
Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan pleura, cairan serebrospinal, cairan ascites atau spesimen lain.
y
Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan atau biopsy.
y
Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu menggunakan CT-Scan.
y
Pemeriksaan lain seperti funduskopi .
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal dalam waktu minimal
6
3
macam obat dan diberikan
bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi
dan lanjutan. Pada tahap intensif selama
2
2
tahap, intensif
bulan awal, mulai bulan ketiga dan
selanjutnya merupakan tahap lanjutan. Pada tahap intensif diberikan paduan > 3 OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan diberikan paduan
2
obat H dan R .
Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan, Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak .
Tabel 5. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak Obat
Dosis
Harian
Dosis maksimal
(mg/KgBB/hari)
(mg per hari)
Isoniazid (H)
5-15 *
300
Rifampisisn ** (R )
10-20
600
Pyrazinamide (z)
15-40
2000
Streptomisin (S)
15-40
1000
Catatan:
iv
x
* Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin , dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/Kg?BB/hari ** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena bioavailabilitas rifampisin dapat terganggu . Rifampisisn dapat diabsorbsi dengan baik melaui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau
2
jam setelah makan).
Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT)
Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap lanjutan. Satu tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid
50
mg, rifampisisn 75
mg, dan pirazinamid 1 50 mg. Sedangkan satu tablet KDT berisi isoniazid
50
mg
dan rifampisin 7 5 mg. Tabel
6.
Dosis OAT anak dalam bentuk KDT
Berat Badan (kg)
KDT Tahap intensif H50,
KDT tahap lanjutan H50,
R75, Z150
R75 4 bulan, Tiap Hari
2
bulan, tiap
hari 05-09
1 tablet
1 tablet
10-14
2
tablet
2
tablet
15-19
3
tablet
3
tablet
20-32
4 tablet
4 tablet
Catatan: y
Bayi dengan berat badan kurang dari
y
Anak dengan BB >
y
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
y
Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah
33
5
Kg dirujuk ke RS
Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel
5
(chewable), atau dilarutkan dalam air (dispersable). 2.2 Efek Samping OAT :
5
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
v
x
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5),
bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan. 4,5
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi , kesemutan, rasa terbakar di kaki dannyeri otot . Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis terendah 1 0 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks . Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik , hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus . Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan dengan dosis dan lama pemberiannya A. Reaksi Imunologis Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai . Telah dilaporkan terjadi lupus ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat
B. Toksisitas langsung Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama yang paling sering terjadi . Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan pada aminotransferasi hati (hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang tidak membutuhkan penghentian obat dan dijumpai pada 1 0-20% pasien, yang biasanya asimtomatik . Hepatitis klinis yang disertai hilangnya nafsu makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas terjadi pada 1% resipien isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak segera dihentikan. Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan nekrosis hepatoselular . Risiko hepatitis bergantung pada usia , dan jarang vi
x
terjadi pada usia di bawah 35
20
tahun, sebesar 0,3% pada pasien berusia 21-
tahun, 1,2% pada pasien berusia
berusia
50
alcohol
36-50
tahun, dan 2,3% pada pasien
tahun atau lebih. Risiko hepatitis lebih besar pada pecandu
dan
kemungkinan
pascapersalinan.
selama
Timbulnya
kehamilan
hepatitis
akibat
serta
pada
isoniazid
masa
menjadi
kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian obat tersebut . Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat dosis lebih besar dari
5
mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian
dosis dewasa standar sebesar 300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai pada asetilator lambat dan pasien dengan keadaan kondisi presdiposisi, seperti malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS dan uremia. Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin . Isoniazid meningkatkan ekskresi piridoksin, dan toksisitas ini cepat dipulihkan melalui pemberian piridoksin dengan dosis serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf pusat, yang lebih jarang ditemui, meliputi hilangnya daya ingat, psikosis dan kejang. Kesemuanya ini juga berespons terhadap piridoksin . Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna . Isoniazid dapat
menurunkan
metabolisme
fenitoin
sehingga
meningkatkan
toksisitasnya dalam darah.
2.
1, 3,
Rifampisin
6
Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin , keringat, air mata dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara permanen). A. Reaksi Imunologis Efek samping meliputi ruam dan demam . B. Toksisitas Langsung Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis . Rifampin dapat menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis . Rifampin sering menyebabkan proteinuria rantai-ringan . Jika diberikan kurang
vii
x
dari dua kali seminggu, rifampin menyebabkan sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut . Rifampin sanagt menginduksi kebanyakan isoform sitokrom P4 50 ( CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4) yang
meningkatkan
eliminasi
berbagai
obat
lain
seperti
metadon ,
antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease, beberapa penghambat reverse transciptase nonnukleosida, kontrasepsi, dan obat lain. Pemberian rifampin menurunkan kadar semua obat tersebut dalam serum. Efek lain seperti timbul sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut . Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatik ialah : -
Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
-
Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang kadang diare
-
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah : -
Hepatitis imbas obat atau ikterik , bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
-
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal . Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
-
3.
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Pirazinamid
4,5
Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1- 5% penderita), y
General
viii
x
Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan . Hiperurisemia dialami oleh semua penggunanya dan tidak menjadi alasan penghentian terapi . Hiperurisemia dapat mencetuskan artritis pirai akut . y
Gastrointestinal Efek samping utama adalah reaksi hati . Hepatotoksisitas tampaknya berhubungan dengan dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi . Gangguan GI termasuk mual, muntah dan anoreksia juga telah dilaporkan .
y
Hematologi dan limfatik Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia , vakuolasi dari eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang terjadi pada penggunaan obat ini . Efek samping pada mekanisme pembekuan darah juga jarang dilaporkan .
y
Efek lainnya Arthralgia
dan
milagia
ringan
dilaporkan
sering
terjadi .
Reaksi
hipersensitivitas termasuk ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan . Demam, timbulnya jerawat, fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis interstisial telah dilaporkan jarang terjadi .
4. Etambutol
4,5,6
Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi . Efek samping yang paling
sering terjadi adalah neuritis retrobulbar , yang menyebabkan
penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah-hijau . Efek samping yang terkait dosis ini lebih sering terjadi pada dosis
25
mg/kg/hari yang
diberikan selama beberapa bulan . Pada dosis 1 5mg/kg/hari atau kurang, gangguan penglihatan sangat jarang terjadi . Pemeriksaan ketajaman visual secara teratur sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar
25
mg/kg/hari
digunakan. Etambutol relatif dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda untuk dapat diperiksa ketajaman penglihatan dan diskriminasi warna merahhijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
i
x x
y
Ocular Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman penglihatan (termasuk irreversible blindness ), Optic neuropathy (termasuk neuritis optic atau retrobulbar neuritis), scotoma, dan buta warna.
Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol
6
Secara klasik , toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian , dan bersifat reversibel ketika obat dihentikan . o
Dose-related Insidens
retrobulbar
neuritis
akibat
ethambutol
dilaporkan
bervariasi antara 18% pasien yang menerima lebih dari per hari,
5-6%
dengan
25mg/kg
35
mg/kg
per hari dan kurang dari 1%
dengan 15 mg/kg per hari dari ethambuthol HCL dengan pemberian lebih dari
bulan. Belum ada dosis aman yang
2
dilaporkan, dengan toksisitas dilaporkan pada dosis yang lebih rendah dari 12,3 mg/kg per hari. o
Duration-related Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan umumnya tidak berkembang sampai setidaknya 1 ,5 bulan setelah pengobatan. Mean Interval antara onset terapi dengan efek samping dilaporkan pada
3
sampai
5
bulan. Manifestasi gangguan setelah
12 bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi . Perlu diperhatikan bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari pasien yang diterapi dengan eksternal validitas yang tidak diketahui .
Retrobulbar
neuritis
menyebabkan
penurunan
ketajaman
penglihatan dan penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa terjadi pada terapi dengan ethambutol dam memerlukan monitoring secara berkala terhadap ketajaman penglihatan dan perbedaan warna. Optic neuritis sering terjadi pada pemberian dosis lebih dari 1 5 mg/kg/hari .
xx
Pemberian terapi sebaiknya dihentikan, ketika didapatkan tanda gangguan pada penglihatan. Kerusakan dapat mengenai pada saraf perifer maupun sentral dari nervus optikus . Scotoma juga sering terjadi . Kerusakan biasanya terjadi setelah
2
bulan pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat
terjadi. Faktor predisposisi termasuk penurunan fungsi renal , diabetes, dan kejadian optic neuritis sebelumnya akibat penggunaan alkohol atau tembakau. Walaupun gangguan penglihatan tersebut bersifat reversibel setelah beberapa bulan penghentian ethambutol , kasus kebutaan yang irreversibel dan kerusakan penglihatan juga telah ada dilaporkan . Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien dengan kerusakan renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di dalam tubuh. y
Metabolik Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor pr esipitasi dari terjadinya gout . Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari
66%
pasien yang menerima terapi dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya, lebih menuju kepada arthralgia sendi dan gout arthritis setelah 1 sampai
2
bulan terapi. Gejala biasanya menghilang setelah 1 5 hari sejak obat dihentikan. y
Hepatic Efek samping termasuk toksisitas liver . Peningkatan sementara dan asimptomatik dari LFT terjadi pada 1 0% pasien. Jaundice jarang dilaporkan terjadi. Peningkatan LFT, biasanya tanpa perubahan dari bilirubin, terjadi pada 1 0% pasien yang diterapi dengan ethambutol . Peningkatan ini menghilang secara spontan ketika pemberian obat dihentikan. Jaundice asimptomatik juga jarang terjadi pada pemberian terapi ethambutol
y
Hipersensitivitas Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid . Reaksi hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash, dermatitis exfoliatif ), lichen-planus reaction,
i
xx
dan toxic
epidermal
necrolysis. Reaksi hipersensitifitas ditunjukkan dengan demam (spiking fever ), rash, mual, hipotensi, dan eosinofilia. Lichen-planus-like reactions termasuk hiperpigmentasi dan desquamasi jarang dilaporkan terjadi , sama seperti toxic epidermal necrolysis. y
Hematology Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan neutropenia.
y
Respiratory Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates dengan atau tanpa eosinofilia
y
Gastrointestinal Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol dan
biasa
berhubungan
dengan
reaksi
hipersensitifitas .
Pseudomembranous colitis dilaporkan terjadi ketika ethambutol diberikan bersamaan dengan rifampin dan isoniazid. Efek samping yang lain termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, anorexia. y
Nervous system Efek samping termasuk sakit kepala , pusing berputar , dan rasa tebal serta kesemutan pada ekstremitas akibat peripheral neuritis.
y
Psychiatric EFek samping termasuk gangguan menta , disorientasi dan halusinasi .
y
Dermatologic Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.
y
Musculoskeletal Efek samping termasuk gangguan sendi
y
Renal Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal insufficiency. Terjadi gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin serum dan idiosyncratic interstitial nephritis .
5.
Streptomisin4,5 ii
xx
Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik . Ototoksisitas dan nefrotoksisitas lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih dari
5
hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada keadaan
insufisiensi ginjal. Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan diuretik kuat (misalnya furosemid, asam etakrinat) atau antimikroba laninnya yang bersifat nefrotoksik (misalnya, vankomisin atau amfoterisin) dapat memperparah nefrotoksisitas dan harus dihindari bila memungkinkan . Ototoksisitas
dapat
bermanifestasi
sendiri
baik
berupa
kehilnagan
pendengaran, yang awalnya menimbulkan tinnitus, atau berupa kerusakan vestibular yang ditandai adanya vertigo, ataksia, dan hilangnya keseimbangan. Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau penurunan clearance kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya toksistas
seringkali
berupa
peningkatan
kadar
terendah
(trough )
aminoglikosida serum. Neomisin, kanamisin dan amikasin adalah obat-obat yang paling bersifat ototoksik . Streptomisin dan gentamisin paling bersifat vestibulotoksik . Neomisin, tobramisin,
dan gentamisin paling bersifat
nefrotoksik . Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek yang mirip kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis pernafasan. Paralisis tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian kalsium glukonat (diberikan segera ) atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak sering terjadi.
Reaksi Simpang Streptomisin
5
Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat hipersensitivitas terhadap streptomisin . Hal ini paling sering terjadi akibat paparan yang lama dengan obat ini, baik pada pasien yang menjalani pengobatan dalam jangka panjang (misalnya tuberkulosis) maupun pada
iii
xx
petugas media yang bertugas menangani obat ini . Desensitisasi kadang-kadang berhasil. Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat . Efek toksik yang paling serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular , berupa vertigo dan hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan gangguan ini berhubungan langsung dengan umur , pasien, kadar obat dalam darah, dan lama pemberian. Disfungsi vestibular dapat terjadi setelah beberapa minggu dengan kadar obat yang relatif rendah dalam darah . Toksisitas vestibular cenderung bersifat ireversibel . Streptomisin yang bdiberikan selama kehamilan
dapat
menyebabkan
ketulian
pada
neonates
sehingga
penggunaannya pada kasus ini relatif dikontraindikasikan .
Tabel 7. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya 2 Efek Samping
Kemungkinan Penyebab Minor
Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Nyeri sendi Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki
OAT Teruskan
Rifampisin Pyrazinamid INH
Warna kemerahan pada Rifampisin air seni Mayor Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT pada kulit Tuli Streptomisin Gangguan keseimbangan
Tatalaksana
Streptomisin
iv
xx
Obat diminum malam sebelum tidur Beri aspirin /allopurinol Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mgperhari Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa Hentikan Obat Beri antihistamin & dievaluasi ketat Streptomisin dihentikan Streptomisin dihentikan
(vertigo dan nistagmus) Ikterik / Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain disingkirkan)
Sebagian besar OAT
Muntah dan con f u sion ( su s pected d r ug-indu ced pr e-icter i c he pat it i s) Gangguan penglihatan Kelainan sistemik , termasuk syok dan purpura
Sebagian besar OAT
Ethambutol Rifampisin
Hentikan semua OAT Sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotektor Hentikan semua OAT & lakukan uji fungsi hati Hentikan ethambutol Hentikan Rifampisin
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain . Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat . Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien menghilang, namun pada sebagian pasien malah menjadi suatu kemerahan kulit . Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT . Tunggu sampai kemerahan tersebut menghilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat , pasien perlu dirujuk . Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan ) penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: y
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui , maka pemberian kembali OAT harus dengan cara ³d ru g chall enging´ dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut .
y
Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis . Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai prinsip d echall eng er echall eng e. Bila dalam proses r echall eng e yang dimulai dengan dosis
v
xx
rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi hipersensitivitas. y
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui , misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin , maka pengobatan TB dapat diberikan lagi tanpa obat tersebut . Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain .
Lamanya pengobatan mungkin perlu
diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh. y
Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid (INH) atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting ) dalam
pengobatan
jangka
pendek .
Bila
pasien
dengan
reaksi
hipersensitivitas terhadap Isoniasid (INH) dan atau Rifampisin tersebut HIV negatif , mungkin dapat dilakukan desensitisasi . Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat . Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan rifampisin dapat mengakibatkan kerusakan pada hati . (drug induced-hepatitis), sebagai tambahan rifampisin dapat mengakibatkan jaundice yang asimptomatik tanpa ada buktinya nyata telah terjadinya hepatitis . Sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain dari penyebab hepatitis selain dari akibat regimen pengobatan TB. Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari : y
Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan .
y
Keparahan dari penyakit hati
y
Keparahan dari TB
y
Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT .
Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat anti-TB, semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya . Jika penyakit TB sangat berat dan diperkirakan tidak aman untuk menghentikan pengobatan TB ,
vi
xx
regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan . Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati kembali normal dan gejala klinis (seperti mual , nyeri abdomen) menghilang sebelum memberikan kembalin obat anti-TB . Jika tidak memungkinkan melakukan tes fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu setidaknya
2
minggu
setelah menghilangnya jaundice dan tend er ness pada abdomen bagian atas sebelum memulai pengobatan TB . Jika gejala dan tanda tidak menghilang dan penyakit hati bertambah parah, pemberian regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau dilanjutkan) selama total 18-24 bulan. Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali satu persatu. Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat diberikan. Obat terakhir yang ditambahkan harus dihentikan . Beberapa ahli menganjurkan untuk memulai dengan rifampisin karena hampir sedikit samadengan isoniazid atau pyrazinamid dalam menyebabkan hepatotoksik dan merupakan agen yang paling efektif . Setelah
3-7
hari, isoniazid dapat mulai
diberikan. Pada pasien yang pernah mengalami jaundice dan tahan terhadap pemberian kembali dari rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari pyrazinamide Regimen alternative tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan hepatitis. y
Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa rifampisin dengan
2
bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti
dengan 10 bulan isoniazid dan ethambutol y
Jika isoniazid tidak dapat digunakan,
6-9
bulan dari rifampisin,
pyrazinamide dan ethambutol dapat dipertimbangkan . y
Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif , total terapi dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga bulan.
vii
xx
9
y
Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan , regimen nonhepatotoksik
yang
terdiri
dari
streptomycin ,
ethambutol,
dan
fluoroquinolone dapat dilanjutkan selama total 1 8-24 bulan. Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang optimal, terutama jika hepatitis pasien sudah berat . Program nasional kontrol TB menggunakan tablet FDC yang terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang digunakan untuk pengobatan dengan pendekatan diatas . Bagaimanapun, jika, suatu unit kesehatan di suatu daerah tidak memiliki anti TB secara terpisah, (single anti TB-drugs) pengalaman klinis pada daerah dengan sumber daya terbatas telah menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut, baik tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase intensif atau lanjutan. y
Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan TB dengan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika hepatitis
menghilang,
ulangi
kembali
semua
obat
kecuali
pyrazinamid dengan streptomycin untuk menyelesaikan permulaan terapi, diikuti rifampisin dan isoniazid selama
6
2
ganti
bulan dari
bulan pada fase
lanjutan. y
Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis menghilang, ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan 4 bulan dari terapi lanjutan.
viii
xx
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan, antara lain : 1. Efek Samping Isoniazid berupa hepatitis , neuritis perifer , dan hipersensitivitas. 2.
Efek
Samping
Rifampisin
berupa
reaksi
kulit ,
gejala
pada
gastrointestinal, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan . 3.
Efek samping Pyrazinamide berupa toksisitas hati, artralgia, gejala pada gastrointestinal dan hipersensitivitas .
4. Efek samping Etambutol berupa neuritis optik , ketajaman penglihatan berkurang, nuta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas dan gejala pada gastrointestinal . 5.
Efek samping Streptomisin berupa ototoksik dan nefrotoksik .
3.2 Saran
Penting bagi pasien untuk dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut . Oleh karena itu perlu adanya penjelasan dan edukasi terhadap efek samping dari pemberian OAT .
i
xx x
DAFTAR PUSTAKA
1. DEPKES RI, 2010, P anduan Tat alak sana Tuber kulo si s.Jakarta 2.
WHO,2010,Guid elines f or t he t r eat ment o f Tuber culo si s F our t h edit ion.Geneva
3.
Dahlan, Z. Diagno si s dan P enat alak sanaan Tuber kulo si s.Tinjauan K e pu st akaan. Cermin Dunia Kedokteran No.115.1997;8-12
4. Depkes RI.
2005. P har maceut i cal
Car e unt uk P en yakit Tuber kulo si s.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal . 5.
Katzung, 2004. F ar makologi Klinik Edi si 4. EGC. Jakarta.
6.
RYC Chan, et al,
2006.
Ocular t o xicity o f et hambut ol: r eview ar t icl e.
Hong Kong Med J Vol 1 2 No 1 February 2006. 7. DEPKES RI. 2007. P edoman Na sional P enanggulangan Tub er kulo si.
xxx