REFERAT
PEMBUNUHAN ATAU BUNUH DIRI PADA KASUS TENGGELAM
Disusun Oleh
Mayastuti Nur M. 105070100111041
Farah Nishfi Ramadhani 105070104111012
Shanti Andri Sakarisa 105070104111013
Yosephine Adisti W. 105070104111014
Pembimbing:
dr. Tasmonoheni, SpF
LABORATORIUM/SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2015
DAFTAR ISI
Halaman
COVER i
Daftar Isi ii
Daftar TABEL iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang Masalah 1
2. Permasalahan 2
3. Ruang Lingkup 2
4. Tujuan 3
BAB II KERANGKA TEORI 4
1. Definisi Tenggelam 4
2. Mekanisme Tenggelam 4
3. Klasifikasi Tenggelam 5
1. Berdasarkan Morfologi Penampakan Paru 5
2. Berdasarkan Lokasi Tenggelam 6
2.4 Cara Kematian 6
2.5 Pemeriksaan Pada Jenazah 7
2.6 Pemeriksaan Luar Jenazah 9
2.7 Pemeriksaan Dalam 10
2.8 Pemeriksaan Laboratorium 11
BAB III PEMBAHASAN 14
3.1 Menentukan Perbedaan Bunuh Diri dan Pembunuhan pada
kasus tenggelam 14
3.2 simulasi kasus 17
3.3 Peran Pemeriksaan Diatom pada Kasus Tenggelam 19
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 21
DAFTAR PUSTAKA 22
DAFTAR TABEL
No.Tabel Judul Halaman
Tabel 3.1 Perbedaan tanda antemortem dan postmortem
pada kasus mati tenggelam 16
Tabel 3.2 Tanda penting dari kejadian pembunuhan dan bunuh diri
pada kasus mati tenggelam 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi
cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh seluruh atau sebagian
tubuh ke dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah
keadaan gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi
kematian (Onyekwelu, 2008). Berdasarkan World Health Organization (WHO),
0,7% kematian didunia atau 500.000 kematian setiap tahunnya disebabkan oleh
tenggelam. Tenggelam merupakan penyebab utama kematian didunia diantara
anak laki-laki berusia 5- 14 tahun. Di Amerika Serikat, tenggelam merupakan
penyebab kedua kematian yang disebabkan oleh kecelakaan diantara anak-anak
usia 1 sampai 4 tahun, dengan angka kematian rata-rata 3 per 1000 orang.
Berdasarkan definisi terbaru dari WHO pada tahun 2002, tenggelam merupakan
suatu proses gangguan respirasi yang disebabkan subumersi atau imersi oleh
cairan. Sebagian besar korban tenggelam hanya mengisap sebagian kecil air
dan akan baik dengan sendirinya. Kurang dari 6 % dari korban tenggelam
membutuhkan perawatan medis dirumah sakit. Jika korban tenggelam
diselamatkan secepatnya maka proses tenggelam selanjutnya dapat dicegah
yang berarti tidak akan menjadi fatal (David S, 2012).
Tenggelam merupakan salah satu kematian yang disebabkan oleh
asfiksia. Kematian karena asfiksia sering terjadi, baik secara wajar maupun
tidak wajar, sehingga tidak jarang dokter diminta bantuannya oleh pihak
polisi/penyidik untuk membantu memecahkan kasus-kasus kematian karena
asfiksia terutama bila ada kecurigaan kematian tidak wajar. Tenggelam
merupakan kematian tipe asfiksia yang disebabkan adanya air yang menutup
jalan saluran pernapasan sampai ke paru-paru (Fitricia, 2010). Bila pada
asfiksia yang lain tidak terjadi perubahan elektrolit dalam darah,
sedangkan pada tenggelam perubahan tersebut ada, baik tenggelam dalam air
tawar (fresh water drowning) maupun tenggelam dalam air asin (salt water
drowning). Mekanisme kematian pada tenggelam pada umumnya adalah asfiksia,
mekanisme kematian yang dapat juga terjadi pada tenggelam adalah karena
inhibisi vagal dan spasme laring (David S, 2012). Penelitian pada akhir
tahun 1940-an hingga awal 1950-an menjelaskan bahwa kematian disebabkan
adanya gangguan elekrolit atau terjadinya hipoksia dan asidosis yang
menyebabkan aritmia jantung akibat masuknya air dengan volume besar ke
dalam sirkulasi melalui paru-paru (Singh et al, 2015).
Tenggelam pada umumnya merupakan kecelakaan, baik kecelakaan secara
langsung maupun tenggelam yang terjadi oleh karena korban dalam keadaan
mabuk, berada di bawah pengaruh obat atau pada mereka yang terserang
epilepsi. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan jarang terjadi, korban
biasanya bayi atau anak-anak. Pada orang dewasa dapat terjadi tanpa
sengaja, yaitu korban sebelumnya dianiaya, disangka sudah mati, padahal
hanya pingsan. Untuk menghilangkan jejak korban dibuang ke sungai, sehingga
mati karena tenggelam. Bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri juga
merupakan peristiwa yang jarang terjadi. Korban sering memberati dirinya
dengan batu atau besi, baru kemudian terjun ke air (Singh et al, 2015).
Kondisi drowning memiliki banyak tantangan untuk dibuktikan dalam
pendekatan patologi forensik, dalam menentukan sebab, serta cara kematian
jenazah. Dalam menentukan cara kematian diperlukan pertimbangan
terkoordinasi terhadap keadaan-keadaan yang diduga pada kematian, bukti-
bukti medis obyektif yang ada, serta walaupun tidak mutlak spesifik,
terdapat beberapa data konfirmatif yang dapat dicari melalui pemeriksaan
luar, pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan TKP yang dapat membantu menemukan
cara kematian jenazah korban tenggelam. Meski bukan merupakan cara kematian
mayor pada kasus tenggelam, ilmu kedokteran forensik dapat memberikan
kontribusi dalam membedakan cara kematian tenggelam karena bunuh diri atau
pembunuhan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan dengan makalah ini dapat
menambah pengetahuan Pembaca mengenai pembunuhan atau bunuh diri pada kasus
tenggelam.
1.2 Permasalahan
1.2.1 Bagaimana membedakan cara kematian pembunuhan atau bunuh diri pada
kasus tenggelam?
1.2.2 Bagaimana pemeriksaan jenazah pada kasus tenggelam ?
1.2.3 Bagaimana pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada kasus tenggelam
?
1.3 Ruang lingkup
Penulis akan membahas definisi, patomekanisme, klasifikasi, dan juga
pembahasan yang akan menjawab permasalahan yang telah ditetapkan
1.4 Tujuan Penulisan
1.4.1 Mengetahui karakteristik yang membedakan cara kematian pembunuhan
atau bunuh diri pada kasus tenggelam
1.4.2 Mengetahui pemeriksaan jenazah pada kasus tenggelam
1.4.3 Mengetahui cara pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada kasus
tenggelam
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Definisi Tenggelam
Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi
cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh
ke dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan
gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian
(Onyekwelu, 2008). Mekanisme lain menyebutkan karena ketidakseimbangan
elektrolit serum yang mempengaruhi fungsi jantung (refleks kardiak) dan
bisa juga disebabkan karena laringospasme sebagai akibat refleks vagal
(Idries AM, 1997).
Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus
tenggelam di dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut berada di bawah
permukaan air maka hal itu sudah cukup memenuhi kriteria sebagai peristiwa
tenggelam. Jumlah air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru adalah
sebanyak 2 L untuk orang dewasa dan 30-40 mL untuk bayi (Dahlan S, 2000).
2.2 Mekanisme Tenggelam
Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia akibat
spasme laring, asfiksia karena garggling dan choking, refleks vagal,
fibrilasi ventrikel (air tawar) dan edema pulmoner (dalam air asin)
(Shepherd R, 2003)
1. Refleks vagal
Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post mortem tidak
ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam parunya sehingga
sering disebut tenggelam kering (dry drowning) (Shepherd R, 2003).
2. Spasme laring
Spasme laring disebabkan karena rangsangan air, terutama air dingin, yang
masuk ke laring. Pada pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda
asfiksia, tetapi parunya tidak didapati adanya air atau benda air (Dahlan
S, 2000).
3. Pengaruh air yang masuk paru
Hipoksia dan asidosis serta efek multiorgan dari proses ini yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada tenggelam. Kerusakan sistem
saraf pusat dapat terjadi karena hipoksemia yang terjadi karena tenggelam
(kerusakan primer) atau dari aritmia, gangguan paru atau disfungsi
multiorgan (Cantwell PG et al, 2013).
3. Klasifikasi Tenggelam
1. Berdasarkan Morfologi Penampakan Paru
Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam
dibedakan atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe basah (wet
drowning) (Dahlan S, 2000)
1. Tipe kering (dry drowning)
Tenggelam tipe kering paling banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa
yang banyak di bawah pengaruh obat-obatan (hipnotik sedatif) atau alkohol,
dimana mereka tidak memperlihatkan kepanikan atau usaha penyelamatan diri
saat tenggelam. Selain itu, air tidak teraspirasi masuk ke traktus
respiratorius bawah atau ke lambung. Kematian terjadi secara cepat,
merupakan akibat dari refleks vagal yang dapat menyebabkan henti
jantungatau akibat darispasme laring karena masuknya air secara tiba-tiba
ke dalam hidung dan traktus respiratorius bagian atas.
Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning seperti
intoksikasi alkohol (mendepresi aktivitas kortikal), adanya penyakit yang
sebelumnya (seperti aterosklerosis), kejadian tenggelam/ terbenam secara
tak terduga/ mendadak, ketakutan atau aktivitas fisik berlebih (peningkatan
sirkulasi katekolamin, disertai kekurangan oksigen, dapat menyebabka
cardiac arrest) (Dahlan S, 2000).
2. Tipe basah (wet drowning)
Pada tenggelam tipe basah (wet drowning) terjadi aspirasi cairan.
Aspirasi 1-3 ml/kgBB air akan signifikan dengan berkurangnya pertukaran
udara. Aspirasi air sampai paru menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
paru. Air tawar bergerak dengan cepat ke membran kapiler alveoli. Surfaktan
menjadi rusak sehingga menyebabkan ninstabilitas alveoli, atelektasis, dan
menurunnya kemampuan paru untuk mengembang (Dahlan S, 2000).
Pada wet drowning, yang mana terjadia inhalasi cairan, korban menahan
nafas karena peningkatan CO2 dan penurunan kadar O2 terjadi megap-megap.
Dapat terjadi regurgitasi dan aspirasi isi lambung kemudian adanya
laringospasme yang diikuti dengan pemasukan air. Setelah itu, korban
kehilangan kesadaran dan terjadi apneu. Penderita kemudian megap-megap
kembali, bisa sampai beberapa menit diikuti kejang-kejang. Penderita
akhirnya mengalami henti nafas dan jantung (Dahlan S, 2000).
2. Berdasarkan Lokasi Tenggelam
Jika ditinjau berdasarkan jenis air tempat terjadinya tenggelam, maka
dapat dibedakan menjadi tenggelam di air tawar dan tenggelam di air asin
1. Air Tawar
Air tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah besar, sehingga terjadi
hemodilusi yang hebat sampai 72% yang berakibat terjadinya hemolisis. Oleh
karena terjadi perubahan biokimiawi yang serius, dimana kalium dalam plasma
meningkatdan natrium berkkurang, juga terjadi anoksiayang hebat pada
miokardium. Hemodilusi menyebabkan cairan dalam oembuluh darah atau
sirkulasi, menjadi berlebihan sehingga terjadi penurunan tekanan sistol dan
dalam waktu beberapa menit terjadi fiberilasi ventrikel. Jantung untuk
beberapa saat masih berdenyut dan lemah, terjadi anoksia serebri yang hebat
yang dapat mejelaskan mengapa kematian terjadi dengan cepat (Idries AM,
1997).
2. Air asin
Pada tenggelam di air laut terjadi pertukaran eletrolit dari air asin ke
darah sehingga mengakibatkan peningkata natirum plasma, air akan ditarik
dari sirkulasi pulmoinal ke dalam jaringan interstitial paru yang akan
menimbulkan edema pulmo yang hebat dalam waktu yang singkat dna peningkatan
hematokrit (hipovolemiia). Peningkatan viskositas darah (hemokonsentrasi)
menyebabkan sirkulasi aliran darah menjadi lambat dan anoksia pada
miokardium yang menimbulkan payah jantung dan kematian terjadi kuurang
lebih 8-9 menit setelah tenggelam (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997)
2.4 Cara Kematian pada Korban Tenggelam
Peristiwa tenggelam dapat terjadi karena (Dahlan S, 2000) :
1. Kecelakaan
Peristiwa tenggelam terjadi karena kecelakaan sering terjadi karena korban
jatuh ke laut, sungai ataupun danau. Pada anak-anak, kecelakaan sering
terjadi di kolam renang atau galian tanah berisi air. Faktor-faktor yang
sering menjadi penyebab kecelakaan antara lain karena mabuk atau serangan
epilepsi
2. Bunuh diri
Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri ke dalam air sering kali
terjadi. Terkadang tubuh pelaku diikat dengan pemberat agar supaya tubuh
dapat tenggelam dengan mudah
3. Pembunuhan
Banyak cara yang digunakan misalnya dengan melemparkan korban ke laut atau
memasukkan kepala ke dalam bak berisi air.
Pada kasus korban tenggelam yang sudah membusuk, identifikasi amat sukar
atau sudah tidak diketahui tempat kejadiannya, tidak ada saksi, maka tidak
dapat diklasifikasikan kecelakaan atau bunuh diri/ pembunuhan.
2.5 Pemeriksaan Pada Jenazah
Pemeriksaan mayat yang dilakukan harus seteliti mungkin agar mekanisme
kematian dapat ditentukan karena seringkali mayat ditemukan sudah membusuk.
Hal yang perlu diperhatikan adalah (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
1. Menentukan identitas korban
Identitas korban dapat ditentukan dengan memeriksa antara lain:
a. Pakaian dan benda-benda milik korban.
b. Warna, distribusi rambut, dan identitas lain.
c. Kelainan atau deformitas dan jaringan parut.
d. Sidik jari.
e. Pemeriksaan gigi.
f. Teknik identifikasi lain.
2. Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam
Pada mayat yang masih segar untuk menentukan korban masih hidup atau
sudah meninggal pada saat tenggelam dapat diketahui dari hasil pemeriksaan
a. Metode yang digunakan apakah orang masih hidup saat tenggelam ialah
pemeriksaan diatom. Metode ini bukan tanda pasti karena pada paru
seorang penyelam bisa jadi juga didapatkan diatom dalam parunya. Untuk
mendapatkan diatom pada organ selain paru dibutuhkan proses tengggelam
dalam keadaan hidup dan dalam waktu yang lama.
b. Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar
elektrolit magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan.
c. Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai yang
menentukan pada mayat yang terbenam selama beberapa waktu dan mulai
membusuk. Demikian pula dengan isi lambung dan usus.
d. Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang
secara fisik dan kimia sama dengan air tempat korban tenggelam
mempunyai nilai yang bermakna.
e. Pada beberapa kasus, ditemukan kadar alkohol tinggi dapat menjelaskan
bahwa korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat masuk ke dalam
air.
3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning
Pada mayat yang segar, gambaran pasca-mati dapat menunjukkan tipe
drowning dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan atau
kekerasan lain.
Pada kecelakaan di kolam renang benturan ante-mortem (antemortem
impact) pada tubuh bagian atas, misalnya memar pada muka, perlukaan pada
vertebra servikalis dan medula spinalis dapat ditemukan.
4. Faktor- faktor yang berperan dalam proses kematian
Faktor- faktor yang berperan dalam dalam proses kematian, misalnya
kekerasan, alkohol atau obat-obatan dapat ditemukan pada pemeriksaan luar
atau bedah jenazah.
5. Tempat korban pertama kali tenggelam
Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam
saluran pernafasan, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban
ditemukan dapat membantu menentukan apakah korban tenggelam di tempat itu
atau di tempat lain.
6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian.
a. Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada masuk ke dalam
air. Maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena air masuk
ke dalam saluran pernafasan (tenggelam). Pada kasus immersion,
kematian terjadi dengan cepat, hal ini mungkin disebabkan oleh sudden
cardiac arrest yang terjadi pada waktu cairan melalui saluran napas
atas. Beberapa korban yang terjun dengan kaki terlebih dahulu
menyebabkan cairan dengan mudah masuk ke hidung. Faktor lain adalah
keadaan hipersensitivitas dan kadang-kadang keracunan alkohol.
b. Bila tidak ditemukan air dalam paru- paru dan lambung, berarti
kematian terjadi seketika akibat spasme glotis yang menyebabkan cairan
tidak dapat masuk.
Korban yang tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang makin lama
makin banyak, kemudian menjadi tidak sadar dalam 2-12 menit (fatal period).
Dalam periode ini, apabila korban dikeluarkan dari air, masih ada
kemungkinan dapat hidup bila upaya resusitasi berhasil.Waktu yang
diperlukan untuk terbenam dapat bervariasi tergantung dari keadaan
sekeliling korban, keadaan masing-masing korban, reaksi perorangan yang
bersangkutan, keadaan kesehatan, dan jumlah serta sifat cairan yang dihisap
masuk ke dalam saluran pernapasan.
2.6 Pemeriksaan Luar Jenazah
Pemeriksaan luar jenazah yang dapat dijadikan petunjuk pada mati
tenggelam di air laut maupun air tawar adalah (Abraham et al, 2009).
a. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan benda-
benda asing lain yang terdapat di dalam air, kalau seluruh tubuh
terbenam dalam air.
b. Schaumfilz froth merupakan busa halus pada hidung dan mulut. Teori
intravital menyebutkan Schaumfilz sebagai bagian dari reaksi intravital.
Pada waktu air memasuki trakea, bronkus, dan saluran pernapasan lainnya,
maka terjadi pengeluaran sekret oleh saluran tersebut. Sekret ini akan
terdorong keluar oleh udara pernapasan sehingga berbentuk busa mukosa
c. Mata setengah terbuka atau tertutup. Jarang terjadi perdarahan atau
bendungan.
d. Kutis anserina atau goose flesh merupakan reaksi intravital, jika
kedinginan, maka muskulus erektor pili akan berkontraksi dan pori-pori
tampak lebih jelas. Kutis anserina biasanya ditemukan pada kulit
anterior tubuh terutama ekstremitas. Gambaran seperti kutis anserina
dapat juga terjadi karena rigor mortis pada otot tersebut.
e. Washer woman's hand. Telapak tangan dan kaki berwarna keputihan dan
berkeriput yang disebabkan karena imbibisi cairan ke dalam kutis dan
biasanya membutuhkan waktu yang lama. Tanda ini tidak patognomomik
karena mayat yang lama dibuang ke dalam air akan terjadi keriput juga.
f. Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu
korban berusaha menyelamatkan diri dengan cara memegang apa saja yang
terdapat dalam air.
g. Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air. Luka lecet biasanya
dijumpai pada bagian menonjol, seperti kening, siku, lutut, punggung
kaki atau tangan. Puncak kepala mungkin terbentur pada dasar ketika
terbenam, tetapi dapat pula terjadi luka post-mortal akibat benda-benda
atau binatang dalam air.
h. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia seperti sianosis, Tardieu
spot. Petekie dapat muncul pada kasus tenggelam, tetapi lebih sedikit
daripada gantung diri karena pada tenggelam tidak terjadi kematian
secara mendadak sehingga pecahnya kapiler tidak secara tiba-tiba atau
hanya sedikit.
Pada mayat yang sudah membusuk, dapat ditemukan:
a. Mata melotot karena terbentuknya gas pembusukan.
b. Lidah tampak keluar karena gas pembusukan yang mendorong pangkal lidah.
Hal ini juga dapat terjadi pada mayat yang mengalami pembusukan di
darat.
c. Muka menjadi hitam dan sembab yang disebut tite de negre (kepala orang
negro).
d. Pugilistic attitude
Posisi lutut dan siku sedemikian rupa sehingga kaki dan tangan tampak
membengkok (frog stand). Ini disebabkan cairan dan gas yang terbentuk
pada persendian.
e. Vena tampak jelas berwarna hijau sampai kehitam-hitaman karena terbentuk
FeS. Ini dapat juga terjadi pada orang yang mati di darat.
f. Pada laki-laki tampak skrotum membesar, mungkin terjadi prolaps atau
adanya gas pembusukan. Pada wanita hamil dapat keluar anak yang
dikandung.
g. Bila lebih membusuk lagi, kulit ari akan mengelupas sehingga warna kulit
tidak jelas, rambut lepas.
2.7 Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat ditemukan busa halus dan benda
asing, seperti pasir atau tumbuhan air, dalam saluran pernapasan (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).
Pada korban tenggelam di air tawar biasanya ditemukan dalam keadaan
besar atau menggelembung tetapi ringan, dan pinggir depan biasanya overlap
di depan hati. Namun, dapat ditemukan paru-paru yang biasa karena cairan
tidak masuk ke dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke aliran darah
(melalui proses imbibisi). Paru berwarna merah jambu pucat dan dapat
mengalami emfisema. Ketika paru tersebut dipindahkan dari dada, paru tetap
mempertahankan bentuk normalnya dan cenderung tidak kolaps. Ketika memotong
paru yang mengalami emfisema kering akan terdengar bunyi krepitasi yang
mudah dinilai. Setelah dipotong, masing-masing bagian paru mempertahankan
bentuk normalnya seperti sebelum dipotong dan cenderung berdiri tegak.
Ketika jaringan dipotong dan ditekan antara ibu jari dan keempat jari
lainnya terdapat sedikit buih dan tidak ada cairan dan gas, kecuali jika
terdapat edema. Dengan demikian, paru tetap kering pada kasus tenggelam di
air tawar(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Pada kasus tenggelam di air laut, paru-paru dapat ditemukan membesar
seperti balon, lebih berat, sampai menutupi jantung (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997). Pada pengirisan terdapat banyak cairan, beratnya kadang
melebihi 2.000 gram. Karena paru sangat edema maka tepi depan paru overlap
di depan mediastinum sehingga berbentuk seperti cetakan iga. Paru berwarna
keunguan atau kebiruan dengan permukaan mengkilap. Paru lembab dan
konsistensinya seperti agar-agar dan hilang dengan penekanan. Ketika paru
dipindahkan dari tubuh dan ditempatkan pada meja pemotongan, paru tidak
mempertahankan bentuk normalnya tapi cenderung datar. Ketika dipotong,
tidak ada suara krepitasi yang terdengar dan bahkan tanpa penekanan
jaringan mengeluarkan banyak cairan. Jaringan paru ditekan maka akan
ditemukan paru dipenuhi cairan. Dengan demikian kasus tenggelam di air laut
paru mengalami lembab dan basah (Sauko et al, 2004).
Petekie yang sangat sedikit dapat ditemukan karena kapiler terjepit di
antara septum inter alveolar. Dapat ditemukan bercak-bercak perdarahan yang
disebut bercak Paltauf akibat robeknya penyekat alveoli (Polsin). Petekie
subpleura dan bula emfisema jarang ditemukan dan bukan merupakan tanda khas
tenggelam, tetapi sebagai usaha respirasi (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Sedangkan untuk mengetahui benda-benda air yang masuk ke saluran pernafasan
dapat dibuktikan dengan membuka saliran pernafasan dari trakea, bronkus
sampai percabangan bronkus di hilus. Jika dari pemeriksaan ditemukan benda-
benda air seperti pasir, kerikil, lumpur, tumbuhan air dan lain-lain maka
dapat dipastikan bahwa korban masih hidup sebelum tenggelam (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).
Organ lain seperti otak, ginjal, hati, dan limpa dapat mengalami
pembendungan. Lambung dan usus halus dapat sangat membesar, berisi air dan
lumpur(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
2.8 Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan diatom
Diatom merupakan alga (ganggang) bersel satu dengan dinding sel yang
terbuat dari silikat yang tahan panas dan asam kuat. Diatom dapat ditemukan
dalam air tawar, air laut, air sungai, air sumur, dan udara. Diatom dan
elemen plankton lain masuk ke dalam saluran pernapasan atau pencernaan
ketika seseorang tenggelam menelan air. Kemudian diatom akan masuk ke dalam
aliran darah melalui kerusakan dinding kapiler pada waktu korban masih
hidup dan tersebar ke seluruh jaringan. Di sisi lain, jika sebuah mayat
ditenggelamkan dalam air meskipun diatom dapat masuk ke dalam paru-paru
secara pasif, tidak ada aliran sirkulasi darah yang mungkin terjadi,
sehingga (secara teori) tidak mungkin ada diatom yang dapat ditemukan pada
organ-organ dalam yang lebih jauh (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila mayat
telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal, otot
skelet atau sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa
kurang bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal dari saluran
pencernaan terhadap air minum atau makanan(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Pemeriksaan diatom dengan metode destruksi (digesti asam) pada paru
dilakukan dengan mengambil dari jaringan perifer paru sebanyak 100 gram,
masukkan ke dalam labu Kjeldahl dan tambahkan asam sulfat pekat sampai
jaringan paru terendam, diamkan lebih kurang setengah hari agar jaringan
hancur. Kemudian dipanaskan dalam lemari asam sambil diteteskan asam nitrat
pekat sampai terbentuk cairan jernih, dinginkan dan cairan dipusing dalam
centrifuge (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Sedimen yang terbentuk ditambahkan dengan akuades, pusingkan kembali
dan akhirnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif bila pada
jaringan paru ditemukan diatom cukup banyak, 4-5/LPB atau per 10-20 per
satu sediaan atau pada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).
Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan getah paru dengan cara
permukaan paru disiram dengan air bersih, lalu iris bagian perifer, ambil
sedikit cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh pada gelas obyek,
tutup dengan kaca penutup dan lihat dengan mikroskop. Selain diatom dapat
pula terlihat ganggang atau tumbuhan jenis lainnya(Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997).
Gambar 1. Prinsip Tes Diatom (Saukoet al, 2004)
Menurut Simpson, bahwa tes diatom terkadang negatif, bahkan pada kasus-
kasus yang jelas-jelas tenggelam pada air yang banyak diatom dan telah
banyak hasil positif palsu yang dikatakan terjadi karena alasan teknis dari
karena itu tes ini jadi sangat tidak realibel sehingga teknik ini
seharusnya dilakukan dan hasilnya diinterpretasikan dengan pertimbangan
keadaan lain (Shepherd, 2003)
1. Pemeriksaan Elektrolit
Pada tahun 1921 Gettler mengemukakan bahwa penentuan ada tidaknya
klorida pada darah yang berasal dari ruang-ruang jantung adalah salah satu
tes yang baik yang dapat digunakan dalam mendiagnosis kasus tenggelam.
Banyak dari peneliti telah mengemukakan pandangan-pandangan yang berbeda
tentang validitas studi klorida dalam mendiagnosis kasus tenggelam. Pada
tahun 1944 Moritz dan mengungkapkan pandangan bahwa perbedaan kadar klorida
pada sampel darah yang berasal dari ventrikel jantung kanan dan kiri dapat
bernilai diagnostik hanya jika analisa yang dilakukan adalah segera setelah
terjadinya kematian. Dia menetapkan bahwa perbedaan kadar klorida sekitar
17 mEq/L atau lebih pada kasus tenggelam di air tawar dapat ditetapkan
sebagai pendukung penegakan diagnosis tenggelam (Saukoet al, 2004)
Menurut Gettler, pada kasus tenggelam di air tawar, kadar serum
klorida di darah yang berasal dari jantung kiri lebih rendah dari jantung
sebelah kanan. Sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya
(Abrahamet al, 2009)
Selain itu, tes lain, tes Durlacher juga dapat digunakan untuk
menentukan diagnosis selain tes Gettler. Tes Durlacher digunakan untuk
menentukan perbedaan dari berat jenis plasma dari jantung kanan dan kiri.
Bila pada pemeriksaan ditemukan berat jenis jantung kiri lebih tinggi
dibandingkan dengan jantung kanan, maka dapat diasumsikan bahwa korban
meninggal akibat tenggelam (Abraham et al, 2009). Perbedaan kadar
elektrolit lebih dari 10% dapat menyokong diagnosis, walaupun secara
tersendiri kurang bermakna (Shepherd, 2003)
Ketika air tawar memasuki paru-paru, natrium plasma turun dan kalium plasma
meningkat, sedangkan pada inhalasi air asin, natrium plasma meningkat cukup
tinggi dan kalium hanya meningkat ringan. Pada tenggelam pada air tawar,
konsentrasi natrium serum dalam darah dari ventrikel kiri lebih rendah
dibandingkan ventrikel kanan. Namun, angka ini dapat bervariasi, ini
disebabkan ketika post mortem dimulai maka difusi cairan dapat mengubah
tingkat natrium dan kalium yang sebenarnya. Oleh karena itu Simpson
berpendapat bahwa analisis dari kadar Na, Cl dan Mg telah dipergunakan,
tetapi hasilnya terlalu beragam untuk digunakan didalam praktek sehari-hari
(Shepherd, 2003).
BAB III
PEMBAHASAN
Penentuan diagnosis otopsi pada kasus tenggelam masih tergolong
sukar. Bagaimanapun kunci pertanyaan apakah korban meninggal karena
tenggelam atau ada penyebab yang mendasari lainnya maupun menentukan cara
kematian korban masih sulit untuk diungkap. (Michel HA et al, 2005).
Pemeriksaan yang ideal perlu diterapkan pada pembuktian diagnosis
maupun penyebab dari kasus tenggelam tersebut. Sampai saat ini, pemeriksaan
diatom dianggap sebagai golden standard dari penegakan diagnosis kasus
tenggelam. Dan kombinasi dari penemuan hasil otopsi dan pemeriksaan diatom
sangatlah diperlukan (Michel HA et al, 2005).
Tenggelam pada umumnya merupakan kecelakaan, baik kecelakaan secara
langsung berdiri sendiri maupun tenggelam yang terjadi oleh karena korban
dalam keadaan mabuk, berada di bawah pengaruh obat atau pada mereka yang
tersering epilepsi. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan jarang terjadi,
korban biasanya bayi atau anak-anak. Pada orang dewasa dapat terjadi secara
tanpa sengaja, yakni korban sebelumnya dianiaya, disangka sudah mati
padahal hanya pingsan. Untuk menghilangkan jejak, korban dibuang ke sungai,
sehingga mati karena tenggelam (Michel HA et al, 2005).
3.1 Menentukan Perbedaan Bunuh Diri dan Pembunuhan pada kasus tenggelam
Penentuan apakah tenggelam merupakan kasus bunuh diri harus dilakukan
secara benar karena mempertimbangkan dan berakibat pada aspek legal, agama,
dan sosial.
1. Yang pertama untuk menentukan bunuh diri pada kasus tenggelam perlu
dilakukan otopsi guna mencari penyebab sebenarnya Tidak dengan hanya
jenazah ditemukan pada kolam air, sungai, danau dll dapat diartikan
penyebab dari kematian adalah tenggelam. Perlu dipetimbangkan adanya
kemungkinan pembunuhan atau bunuh diri.
2. Yang kedua, cari apakah ada peninggalan surat dari korban (suicide
note). Jika ditemukan adanya suicide note, perlu dilakukan verifikasi
tulisan tangan, gaya dan bahasa termasuk tata kalimat apakah sesuai
dengan tulisan tangan korban. Hal ini dapat dilakukan dengan
membandingkan dengan tulisan tangan lain yang dimiliki korban sebelum
meninggal dan menunjukkan bukti tersebut kepada orang atau kerabat
yang mengenal korban.
3. Selanjutnya, mempertimbangkan dimana korban ditemukan. Kebanyakan dari
korban tenggelam ditemukan di bathup atau kolam renang. Jika ditemukan
pada tempat tersebut dapat dilakukan investigasi mengenai kebiasaan
pribadi dan rutinitasnya untuk melihat jika ada alasan korban untuk
mandi atau berenang sebelumnya. Darisitu kita dapat memperoleh
beberapa keterangan sebelum kejadian dan kemungkinan penyebabnya.
Biasanya jika korban ditemukan pada air yang dangkal, dapat
diindikasikan sebagai kasus kecelakaan atau pembunuhan terlebih jika
korban ditemukan dengan keadaan telanjang.
Jika korban ditemukan di danau, rawa atau laut juga perlu dicurigai adanya
kematian tidak wajar. Pembunuhan dapat terjadi secara tanpa sengaja, yakni
korban sebelumnya dianiaya, disangka sudah mati padahal hanya pingsan.
Untuk menghilangkan jejak, korban dibuang ke sungai, sehingga mati karena
tenggelam.
4. Mencari apa ada tanda cedera yang dapat ditemukan pada tubuh. Jika
pada kasus tenggelam karena pembunuhan biasanya akan sering ditemukan
luka tanda- tanda kekerasan dan perlawanan tetapi pada kasus bunuh
diri tidak ditemukan adanya tanda kekerasan maupun perlawanan.
5. Hal yang perlu diperhatikan lainnya adalah benda- benda di sekitar
korban yang dapat digunakan sebagai barang bukti untuk identifikasi
dan mencari kemungkinan cara kematian korban seperti jika ditemukan
korban dalam keadaan ekstremitas terikat tali. Biasanya pada korban
pembunuhan, ekstremitas korban diikat dengan tali tetapi pada kasus
bunuh diri jarang didapatkan.
Tetapi juga perlu diperhatikan simpul dari tali untuk menentukan lebih
lanjut cara kematiannya. Kebanyakan korban bunuh diri menggunakan simpul
tali hidup yang telah dipersiapkan korban sebelumnya sedangkan simpul tali
mati biasanya ditemukan pada kasus pembunuhan.
6. Yang terakhir kita dapat memeriksa adanya penggunaan obat-obatan dan
alkohol. Untuk memastikan obat-obatan dan alkohol sebagai faktor
penentu, dilakukan pemeriksaan darah toksikologi pada korban dan
bandingkan hasil dengan gaya hidup korban serta riwayat penggunaan
obat terdahulu. Jika hasil toksikologi korban positif dan korban
sebelumnya bukan merupakan pecandu alkohol dan pengguna obat maka
dicurigai kemungkinan adanya upaya bunuh diri.
Berikut ini adalah tabel perbedaan antara tanda-tanda ante-mortem dan
post-mortem pada kasus mati tenggelam.
Tabel 3.1 Perbedaan tanda antemortem dan postmortem pada kasus mati
tenggelam
"Gambaran "Tenggelam Ante-Mortem "Tenggelam Post-Mortem"
"Buih "Halus, banyak buih "Tidak ditemukan buih."
" "keluar dari hidung dan" "
" "mulut " "
" "Mengembang, bertumpang"Terdapat air dalam "
" "tindih dengan jantung,"paru-paru. "
"Paru-paru "terdapat indentasi " "
" "tulang-tulang iga, " "
" "terjadi edema pada " "
" "paru. " "
"Spasme mayat "Rumput atau ranting "Tidak dijumpai. "
" "tampak pada genggaman " "
" "mayat. " "
" "Biasanya tidak "Cedera pada bagian "
" "ditemukan. Cedera "tubuh yang "
"Cedera "kepala atau cedera "menyebabkan kematian."
" "bagian tubuh lainnya " "
" "bisa terjadi jika " "
" "tubuh menghantam benda" "
" "keras yang terdapat " "
" "dalam air. " "
" "Terdapat tanda-tanda "Tanda-tanda kematian "
"Temuan tanda "asfiksia. "disebabkan oleh "
"asfiksia " "alasan lain, dimana "
" " "korban meninggal "
" " "karena keadaan syok. "
" "Biasanya karena "Kebanyakan kasus yang"
" "kecelakaan atau bunuh "terjadi karena motif "
"Motif "diri. Kasus pembunuhan"pembunuhan. Tidak "
" "terjadi pada anak dan "pernah terjadi karena"
" "orang tua. "bunuh diri. Jarang "
" " "terjadi karena "
" " "kecelakaan. "
Tabel 3.2 Tanda penting yang perlu kita ketahui dari kejadian bunuh diri
pada kasus matitenggelam
"Pembunuhan "Bunuh Diri "
"Biasanya tangan korban diikat "Biasanya korban meninggalkan "
"oleh pelaku "perlengkapannya "
"Kadang-kadang dapat kita temukan "Kita dapat temukan suicide note "
"tanda-tanda kekerasan sebelum "Kedua tangan / kaki korban diikat"
"korban ditenggelamkan "yang mungkin dilakukan sendiri "
" "oleh korban "
" "Kadang-kadang tubuh korban "
" "diikatkan bahan pemberat "
3.2 Simulasi Kasus
3.2.1 Korban dibunuh dengan kekerasan sehingga mengakibatkan korban
meninggal lalu dibuang ke sungai/laut.
Pada kasus tertentu, kemungkinan korban terlebih dahulu dibunuh dengan
menggunakan kekerasan baik kekerasan benda tumpul maupun benda tajam.
Korban terlebih dahulu dianiaya oleh pelaku baik dengan tajam, misal
ditusuk dan dibacok, atau dianiaya dengan benda tumpul, misal dipukul
dengan batu, kayu atau dibenturkan, kemudian korban meninggal dan mayatnya
dibuang ke sungai.
Pada kasus seperti ini, maka ada beberapa hal yang dapat kita temukan pada
pemeriksaan jenazah.
Pada pemeriksaan luar, dapat kita temukan tanda-tanda penganiayaan pada
tubuh jenazah. Cedera didapatkan pada beberapa bagian tubuh jenazah dan
mungkin cedera tersebut menyebabkan kematian pada korban, baik karena syok
hipovolemik karena kehabisan darah maupun syok neurogenik karena rasa sakit
yang luar biasa. Pada korban yang meninggal terlebih dahulu sebelum
dimasukkan ke dalam air, maka tidak didapatkan buih halus pada hidung dan
mulut, paru-paru juga tidak terisi air, biasanya tidak didapatkan tanda-
tanda asfiksia. Pada korban pembunuhan, kemungkinan kaki dan tangan akan
diiikat oleh pelaku terutama dengan ikatan simpul mati baik dengan atau
tanpa pemberat.
Pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan tanda penguat dari penganiayaan baik
trauma tumpul, tajam, ataupun luka tembak yang mengakibatkan korban
meninggal dunia seperti didapatkannya perdarahan massive, patah tulang,
luka terbuka atau tembusnya peluru dalam organ dalam. Pada korban yang
mengalami syok hipovolemik akibat perdarahan yang masif, dapat ditemukan
organ dalam yang pucat, hepar kekuningan, limpa mengerut, dan pada
pemotongan jantung tidak didapatkan darah.
3.2.2 Korban dilemahkan dengan kekerasan sehingga tidak sadarkan diri lalu
dibuang ke sungai/laut sehingga meninggal dunia karena asfiksi (akibat
tenggelam)
Pada kasus tertentu, kemungkinan korban terlebih dahulu dilemahkan dengan
menggunakan kekerasan baik kekerasan benda tumpul maupun benda tajam.
Korban terlebih dahulu dianiaya oleh pelaku baik dengan tajam, misal
ditusuk dan dibacok, atau dianiaya dengan benda tumpul, misal dipukul
dengan batu, kayu atau dibenturkan atau dibekap baik dengan tangan kosong,
dicekik, dijerat, atau burking (penekanan eksternal pada dada) sehingga
mengakibatkan korban tidak sadarkan diri kemudian korban dibuang ke
sungai/laut dengan maksud tersangka korban meninggal atau tersangka
menyangka korban telah meninggal dunia padahal korban hanya pingsan. Untuk
menghilangkan jejak, korban dibuang ke sungai atau laut, sehingga meninggal
dunia karena tenggelam.
Pada kasus seperti ini, maka ada beberapa hal yang dapat kita temukan pada
pemeriksaan jenazah.
Pada pemeriksaan luar, dapat kita temukan tanda-tanda penganiayaan pada
tubuh jenazah baik berupa trauma tumpul, tajam, tanda pencekikan seperti
luka lecet atau luka babras berbentuk bulan sabit dengan penampang kurang
lebih setengah sentimeter tergantung jumlah jari yang mengenai leher, tanda
pembekapan seperti luka babras / memar pada mukosa bibir bagian dalam,
tanda burking terdapat memar pada dada dan didapatkan tanda-tanda asfiksi
secara umum seperti lebam mayat berwarna merah gelab, sianosis pada bibir
dan ujung ekstremitas, ptecie pada konjungtiva. Pada pemeriksaan dalam
didapatkan lebih spesifik pada tanda-tanda asfiksi seperti darah berwarna
cair dan gelab, organ-organ kongestif, terdapat bintik-bintik pendarahan
pada pericard, pleura dan peritonium. Pada korban pencekikan kemudian
ditenggelamkan bisa juga didapatkan perdarahan di otot leher, kelenjar
tiroid dan kelenjar ludah, petecie laring, luka memar atau luka terbuka
pada membrana tyrohyoid. Pada kasus burking didapatkan patah tulang rusuk.
3.2.3 Korban sengaja bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri dengan
temuan menyerupai korban tenggelam murni kecelakaan
Pada kasus ini, korban bunuh diri biasanya didapatkan barang pemberat yang
terikat tali dengan simpul hidup pada ekstremitas. Adanya surat wasiat juga
merupakan petunjuk penting pada kasus bunuh diri. Pada pemeriksaan luar
didapatkan gambaran khas pada orang yang tenggelam antemortem (Tabel 3.1).
Pada pemeriksaan dalam didapatkan gambaran sesuai dengan sebab kematiannya,
apakah karena asfiksia, reflek vagal maupun spasme laring. Gambaran pada
paru tergantung pada lokasi dilakukan bunuh diri, apakah di air laut atau
air tawar.
Pada kasus kecelakaan bisa terjadi karena tidak bisa berenang, tidak
sengaja tergelincir kemudian terbentur sehingga tidak sadarkan diri,
terjadi kram pada kaki secara mendadak saat berenang, atau korban murni
kecelakaan lalu lintas yang jatuh ke laut atau karena korban sebelumnya
mabuk/diracun sehingga mengalami kecelakaan lalu lintas dan jatuh tenggelam
ke dalam sungai atau laut. Pada kasus ini pemeriksaan luar yang didapatkan
menunjukkan tanda-tanda trauma tanpa adanya tanda perlawanan, terlebih
penting untuk membedakan apakah ini murni kecelakaan, bunuh diri atau
pembunuhan perlu dilakukan olah TKP serta pemeriksaan ante mortem pada
keluarga korban, rekan korban atau saksi di TKP. Pada pemeriksaan dalam
secara umum didapatkan tanda-tanda asfiksia karena tenggelam, Apabila sebab
kematian orang tersebut akibat asfiksia. Tanda-tanda yang patognomis
bervariasi tergantung kelainan atau trauma yang didapat oleh orang
tersebut, misal apabila orang tersebut terjatuh di air yang dangkal dengan
kepala yang terbentur hebat pada dasar kolam renang atau sungai, maka
kemungkinan didapatkan perdarahan otak dengan jumlah yang dapat menyebabkan
kematian.
3.3 Peran Pemeriksaan Diatom pada Kasus Tenggelam
Pemeriksaan diatom pada kasus tenggelam bukan merupakan tanda pasti dari
korban kasus tenggelam. Menurut Simpson, bahwa tes diatom terkadang
negatif, bahkan pada kasus-kasus yang jelas-jelas tenggelam pada air yang
banyak diatom dan telah banyak hasil positif palsu yang dikatakan terjadi
karena alasan teknis dari karena itu tes ini jadi sangat tidak realibel
sehingga teknik ini seharusnya dilakukan dan hasilnya diinterpretasikan
dengan pertimbangan keadaan lain (Shepherd, 2003). Contoh pada kasus
seorang yang bekerja di laut / di sungai sehingga sering menyelam dengan
cara tradisional, maka bila dilakukan pemeriksaan diatom pada parunya
maka akan didapatkan hasil positif palsu.
Kemungkinan interpretasi hasil pemeriksaan diatom antara lain:
Hasil positif dan tidak ada sebab kematian lain, kesimpulannya
adalah tenggelam
Hasil positif dan ditemukan sebab kematian lain, maka
kemungkinannya adalah :
Mungkin meninggal karena tenggelam
Mungkin meninggal karena sebab lain
Mungkin bersaing
Hasil negatif maka kemungkinannya adalah :
Mungkin korban sudah mati, lalu dimasukkan kedalam air
(harus ditemukan sebab kematian lain)
Mungkin korban tenggelam dalam air yang jernih
Mungkin korban mati karena vagal reflek atau spasme laring
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi
cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh
ke dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan
gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian.
Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia akibat
spasme laring, asfiksia karena gagging dan choking, refleks vagal,
fibrilasi ventrikel (air tawar), dan edema pulmoner (dalam air asin)
Pada peristiwa tenggelam di air tawar, terjadi hemolisis dan
hemodilusi sehingga menyebabkan hiperkalemia. Kematian terjadi karena
fibrilasi ventrikel. Pada peristiwa tenggelam di air asin, karena
konsentrasi elektrolit air asin lebih tinggi daripada plasma,air akan
ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan interstitial paru yang
akan menimbulkan edema paru, hemokonsentrasi, dan hipovolemia.
Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam dibedakan
atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe basah (wet drowning).
Jika ditinjau berdasarkan jenis air tempat terjadinya tenggelam, maka dapat
dibedakan menjadi tenggelam di air tawar dan tenggelam di air asin.
Diagnosis kematian akibat tenggelam dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan laboratorium berupa
histologi jaringan, destruksi jaringan, dan berat jenis serta kadar
elektrolit darah.
Pada pemeriksaan luar, dapat ditemukan Schaumfilz froth, kuntis
anserina, washer woman's hand, cadaveric spasm, tanda-tanda asfiksia
seperti sianosis dan petekie. Kemudian dapat juga dijumpai luka lecet dan
penurunan suhu mayat
Pada pemeriksaan dalam, paru tetap kering pada kasus tenggelam di air
tawar. Pada kasus tenggelam di air laut, paru-paru dapat ditemukan
membesar. Petekie juga dapat dijumpai. Organ lain dapat mengalami
pembendungan.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham S, Arif Rahman S, Bambang PN, Gatot S, Intarniati, Pranarka K,
et al. 2009. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 16-24
Cantwell PG, Verive MJ,S hoff WH, Norris RL, Talavera F, Lang S, et
al. 2013. Drowning. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/772753-overview.
(Accessed 21 Februari 2015)
Dahlan S.2000. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan
Penengak Hukum, Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
David Szpilman, dkk. 2012. "Drowning". The New England Journal of
Medicine. Acesed from http://www.nejm.org/doi/pdf/.
Fitricia, Ria. 2010. Tanda Intravital yang Ditemukan Pada Kasus
Tenggelam di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP H.
Adam Malik/RSUD Pingardi Medan pada Bulan Januari 2007-
Desember 2009. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra
Utara.
Idries, Abdul Mun'im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi
Pertama:Tenggelam. Binarupa Aksara. Hal. 177-190.
Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1997.
Levin DL, Morriss FC, Toro LO, Brink LW and Turner GR. Drowning and
near Drowning. Pediatr Clin of North Am. 1993; 40(2): 321
Michel HA, Piette, Els A, De Letter.2005. Drowning : Still a difficult
autopsy diagnosis.Forensik Science International. Available
from : http://netk.net.au/Forensic/Drowning.pdf (Accesed 3
Maret 2015)
Onyekwelu E. Drowning and Near Drowning. Internet Journal of Health.
2008; 8(2)
Sauko P, Bernard K.2004 . Knight's Forensic Pathology, 3nd Ed. London
: Oxford University Press, 393-398
Sheperd R, Simpson's Forensic Medicine. 12nd Ed. Oxford University
Press. NewYork, 1996, 104-106.
Shepherd R. 2003. Simpson's Forensic Medicine, 12nd ed. New York :
Oxford University Press, 104-106.
Singh R, Kumar M, ell. "Drowning Associated Diatoms". Department of
Forensic Science Punjabi University. [cited 2015Feb19]
available from : http://www.icmft.org
WHO,2013.Drowning, Available from :
http://www.who.int/violence_injury_prevention/other_injury/drow
ning/en/ (Accessed 21 Februari 2015)
Wilianto W. Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam (Review).
Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia 2012; 14(3): 39-46