DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER I.
PENDAHULUAN Sejak masa klasik, dinamika pemikiran dan gerakan islam selalu dipengaruhi oleh konfigurasi politik penguasa. Artinya ada peemikiran dan gerakan menjadi”mazhab” penguasa dans ebaliknya, ada yang dilarang bahkan
dibrangkus
dega
menjaga
“stabilitas”.
Mengamati
dinamika
pemikiran dan gerakan islam di Indonesia sangat menarik karena ada sejumlah paradoks dan gesekan yang cukup tajam terutama pasca reformasi sehingga dengan bergulirya era reformasi membutuhkan pembacaan ulang terhadap pemikiran dan gerakan islam indonesia, karena berbagai pemikiran dan gerakan islam yang pada mulanya terbungkam oleh kekuatan orde baru kembali muncul dan berusaha membangkitkan kembali romantisme masa lalu. Dari sinilah muncul berbagai kekuatan pemikiran dan gerakan islam, baik islam politik maupun islam kultural sehingga membentuk farien yang sangat
beragam.
Berbagai
farian
pemikiran
dan
gerakan
keislaman
diindonesia sebenarnya bisa ditelusuri akar-akarnya secara jelas sehingga dapat dipetakkan menjadi dua arus peikiran yang sangat dominan yakni literalisme dan liberalisme Pemahaman islam literal dan gejala fundamentalisme islam cenderug menafikkan plruralisme pemahaman keagamaan dan pruralisme agama. II.
RUMUSAN MASALAH a. Post modernisme dan Modernisme b. Islam liberal c. Islam Kultural dan Islam Struktural d. Postradionalisme Islam e. Jihad dan Terorisme
III.
PEMBAHASAN a. Modernisme dan Post Modernisme 1. Modernisme Istilah “modern” berasal dari bahasa latin “modo”, yang berarti yang kini “just now”. Meskipun istilah ini sudah muncul pada akhir abad ke-5, yang
digunakan untuk membedakan keadaan orang Kristen dan orang Romawi dari masa pagan yang telah lewat. Namun istilah ini kemudian lebih digunakan untuk menunjuk periode sejarah setelah abad pertengahan, yakni dari tahun 1450 sampai sekarang ini. Dari istilah – istilah “modern”, sebagaimana yang telah disebutkan diatas itulah, lahir istilah-istilah lain, seperti : “modernisme”, modernitas dan modernisasi. Meskipun istilah itu mempunyai arti yang berbeda-beda , karena
berasal
dari
akar
kata
yang
sama,
maka
pengertian
yang
dikandungnya tidak bisa lepas dari kakar kata yang dimaksud yaitu “modern”. Istilah “modernism” misalnya, oleh Ahmed, dengan merujuk pada Oxford English Dictionary, didefinisikan sebagai “pandangan atau metode modern, khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi, dalam masalah agama,agar harmonis dengan pemikiran modern. Modernism diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme, dan kemajuan. Keinginan untuk simetri dan tertib, keinginan akan keseimbangan dan otoritas, juga menjadi karakternya. Periode ini ditandai oleh keyakinannya terhadap masa depan, sebuah keyakinan bahwa utopia bisa dicapai, bahwa ada sebuah tata dunia yang mungkin. Mesin, proyek industry besar, besi, baja dan listrik, semuanya dianggap dapat digunakan manusia untuk mencapai tujuan ini. Gerakan menuju industrialisasi, dan kepercayaan pada yang fisik, membentuk ideology yang menekankan materialism sebagai pola hidup. Sementara modernitas dipahami sebagai efek dari modernisasi.1[1] Di Indonesia, modernisasi direspon positif oleh Norcholis Majid, menurut dia modernisasi indetik atau hampir identik dengan rasionalisasi. Modernisasi melibatkan proses pemeriksaan secara seksama pemikiran serta
1[1] Drs. Sholihan, M.Ag, Modernitas dan Postmodernitas Agama, Semarang: Walisongo Press, 2008, hlm. 48.
pola aksi lama yang tidak rasional, dan menggantikannya dengann pemikiran dan pola aksi baru yang rasional.2[2] 2. Post modernisme Setelah modernism tampil dalam sejarah sebagai kekuatan progresif yang menjanjikan pembebasan manusia dari belenggu keterbelakangan dan irrasionalitas. Akan tetapi dalam beberapa decade terakhir ini, “proyek” modernism yang demikian hebat itu diggugat oleh sebuah gerakan yang kemudian diikenal dengan “post modernisme” dan dinilai gagal mencapai sasarannya. Sebagai gerakan cultural-intelektual, postmodernisme sendiri sudah muncul pada tahun 1960 an, yang bermula dari bidang seni arsitektur dan kemudian merambah ke dalam bidang-bidang lain, baik itu sastra, ilmu social, gaya hidup, filsafat, bahkan juga agama. Gerakam Postmodernisme ini lahir di Eropa dan menjalar ke Amerika, serta keseluruh dunia bagai luapan air yang tak terbendung. Post modernism demikian cepat merambah pada semua bidang kehidupan, termasuk bidang keagamaan. Sesuai watak epistemologis postmodernisme yang ingin merangkul berbagai macam narasi yang ada, maka agama dalam perspektik postmodernisme dicoba diangkat, baik sebagai bagian dari kecenderungan sejarah kontemporer, maupun sebagai bagian dari legitimasi epistemologis dalam mencari kebenaran setelah sekian lama menjadi kebenaran yang terlupakan dalam paradigm pemikiran modern sebagai kecenderungan sejarah, postmodernisme telah melupakan dimensi yang teramat penting dalam kehidupan manusia, yakni dimensi spiritual. Oleh karena itu untuk keluar dari lingkaran krisis tersebut, manusia mencoba kembali kepada hikmah spiritual yang terdapat dalam semua agama yang otentik.3[3] b. Islam liberal
2[2] Ibid, hlm. 49. 3[3] Ibid. hlm 126.
Pengertia mengena islam liberal sebagai arus baru gerakan islam diindonesia mengacu pada penelitian yang dirumusa oleh nurkhalik ridwan mengenai islam libera rogresif. Menurut ridwa, islam lbera bisa dirumukan dengan dua hal. 1. Klompok pembaru muslim yang memsahkan masalah publiks sebagai hal yang perlu dimusawarahkan denga komutas bangsa sementara masalah praktik ritual diserahkan pada masing-masing pihak. 2. Islam liberal progresif yang berporos pada pandangan bahwa syari’ah masih perlu ditafsir ulang, yang perlu dibedakan islam sebagai din yang univesal dalam cita-cita etik dan moralnya. 3. Konteks politik, yaitu naiknya neorevivalisme, dan fundamentalisme dalam kontestansi pemikiran dan politik yang berhasil melepaskan diri dari jerat marginalisme dan melibatkan diri kedalam pusaran pergulatan politik demokrasi. 4. Konteks kultural yaitu derasnya arus pemikiran lewat berbagai media. Islam secara lughawi bermakna pasrah, tunduk, kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah AWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”. Kemunculan istilah Islam liberal ini, menurut Luthfi, mulai dipopulerkan tahun 1950 an. Tapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia tahun 1980 an yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan “utama” komunitas atau jaringan Islam liberal, Nur Cholis Majid. Meski Nur Cholis sendiri menyatakan
tidak
pernah
menggunakan
istilah
Islam
liberal
untuk
menegmbangkan gagasan pemikiran Islamnya. Karena itu Islam liberal sebenarnya tidak beda dengan gagasan-gagasan Islam yang dikembangkan oleh Nur Cholis Majid an kelompoknya yaitu kelompok islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh negara). Kelompok yang getol perjuangan sekularisasi, emansipasi
wanita,
menyamarkan
agama
Islam
dengan
agama
(pluralism theologis), memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.
lain
Selanjuttnya Luthfi menjelaskan tentang agenda-agenda Islam liberal “ saya melihat paling tidak ada empat agenda utama yang menjadi paying bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaharu dan intelektual islam selama ini. Yakni agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita dan agenda kebebasan berekspresi. Kaum muslimin dituntut melihat keemat agenda ini dari perspektif mereka sendiri, dan bukan dari perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan kontradiksi ketimbang penyelesaian yang lebih baik. Islam liberal juga “mendewakan modernitas” jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan menurut mereka bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Disinilah inti dari sikap dan doktrin “ Islam Liberal” kata Luthfi.4[4] c. Islam Kultural dan Islam Struktural 1. Islam Kultural Kata kultural yang berada dibelakang kata islam berasal dari bahasa ingris, culture yang berarti kesopanan, kebudayaan dan pemeliharaan. Teori lain mengtakan bahwa kata culture ini berasal dari bahasa latin cultura yang artinya memelihara atau megerjakan, mengolah. Dari beberapa teori definisi kebudayaan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa kebudayaan adalah sega bentuk hasil kreativitas manusia dengan menggunakan segala daya dan kemampuan yang dimilikinya dalam rangka mewujudkan kehidupannya yang sejahtera. Dengan diketahui bersama, bahwa dalam agama islam antara agama dan kebudayaan sungguhpun sumbernya berbeda, tapi saling mempengaruhi. AlQur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi dengan perantara malaikat jibril untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhuwawi. Sedangkan kebudayaan ialah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi.
4[4] Adian husaini, Islam Liberal, Depok: Gema Insani, 2006, hlm. 20
Munculnya
Islam
cultural
agak
mudah
dimengerti
apabila
kita
memperhatikan ruang lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup masalah keagamaan seperti teologi, ibadah dan akhlak, melainkan jugga mencakup masalah keduniaan seperti masalah perekonomian, pertahanan keamanan dan lain-lain. Jika pada aspek keagamaan peran Allah dan Rasul lah yang dominan. Pada aspek keduniaan peran manusialah yang paling dominan. Dalam
pengalamannya
di
lapangan,
Islam
cultural
mengalami
pengembangan pengertian dari apa yang dikemukakan di atas. Islam cultural selanjutnya
muncul
inklusissivitas.
dalam
bentuk
sikap
yang
lebih
menunjukkan
Yaitu sikap yang tidak mempermasalahkan bentuk atau
symbol dari suatu pengamalan agama, tetapi yang lebih penting tujuan dan missi dari pengamalan teersebut. Dalam hubungannya ini kita menjumpai ajaran tentang dzikir ini terkadang mewujud dalam menyebut nama Allah sekian ratus kali dengan menggunakan alat semacam tasbih, ada yang menggunakan batu, ada yang dengan memasang tulisan kaligarafi pada dinding rumah dan sebagainya. 2. Islam Struktural Struktur adalah sebuah gambaran yang mendasar dan kadang tidak berwujud, yang mencakup pengenalan, observasi, sifat dasar, dan stabilitas dari pola-pola dan hubungan antar banyak satuan terkecil di dalamnya Dari istilah – istilah “struktural”, sebagaimana yang telah disebutkandiatas itulah, lahir istilah lain, seperti : strukturalisme. Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudyaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan
melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040) Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040). d. Post tradisionalisme Sebenarnya sulit untuk merumuskan definisi yang bisa menjelaskan seluruh kompleksitas post tradisionalisme. Marzuki Wahid mendefinisikan post tradisionalisme adalah suatu gerakan melompat tradisi yang tidak lain adalah
upaya
pembaharuan
tradisi
yang
tidak
lain
adalah
upaya
pembaharuan tradisi secara terus-menerus dalam rangka berdialog dengan modernitas sehingga menghasilkan tradisi baru (new tradition) yang sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya. Sebagai gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi baru post tradisionalisme merupakan gerakan yang lahir dengan poroses yang panjang dan berakar pada pemikir-pemikir pencerahan tempo dulu. Dari geneologi intelektual inilah, post tradisionalisme islam melewati fasefase awal pembentukan hingga perumusan metodologi dan praksis sosisl politik. Fase pertama merupakan fase pembentukan dan pengkayaan ide baik dalam pemikiran maupun aksi politik. Pada fase ini muncul beberapa perdebatan
gagasan
seperti
nasionalisme,
pribumisasi,
sekularisas,
feminisme dan hak asasi manusia (al-huquq al-insaniyah al-asasiyah), dan sebagainya. Sedangkan
perumusan
metodologi
post
tradisionalisme
Islam
menghasilkan paradigm baru pemikiran Islam yang dirumuskan sebagai kritik nalar (naqd al-aql) maupun telaah kontemporer (qira’ah muashirah) terhadap tradisi. Muhammad Abid Al-Jabiri, Muhammad Arkoun, dan Nashir Hamid Abu Zaid merupakan sederet nama yang berusaha melakukan rekontruksi metodologis bagi post tradisionalisme.
Sebagai gerakan, post tradisionalisme Islam di Indonesia kemudian menjadi kontruksi intelektualisme yang berpijak dari dinamika budaya likal Indonesia dan bukan tekanan dari luar yang berinteraksi secara terbuka dengan berbagai jenis kelompok masyarakat seperti buruh, petani, LSM, dan gerakan feminism yang kemudian membawa gerakan ini tidak hanya bersinggungan kontemporer
dengan baik
tradisi
dari
Islam,
tradisi
tetapi
liberal,
juga
radikal,
pemikiran-pemikiran
sosialis
Marxia,
Post
Strukturalis, dan Post Modernis juga gerakan feminism dan civil society (Ahmad Baso 2001). Post tradisionalisme Islam berpandangan bahwa sesungguhnya tidak mungkin melakukan rekontruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah yang kosong, artinya betapapun kita teramat bersemangat untuk melampaui Zaman yang sering disebut sebagai kemunduran umat Islam, kita mesti mengaku bahwa khazanah pemikiran dan kebudayaan yang kita miliki adalah kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan sebagai entry point merumuskan tradisi baru.5[5] Perlu diketahui, pengertian post tradisionalisme Islam tentang tradisi berbeda dengan pemahaman kaum Neomodernisme Islam yang membaca tradisi melalui optic Al-qur’an dan Hadits yang diadakan transenden, turun dari langit, lengkap dan mencakup segala hal. Singkatnya bukan sebagai bagian dari dinamika sejarah yang berubah-ubah. Dalam pengertian inilah kita diperkenalkan dengan kenyataan tradisi Islam yang historis yang sifatnya membumi. Berkaitan dengan upaya merekontruksi tradisi sebagai mana ditunjukkan Zuhairi Miswari (2001) post tradisionalisme Islam terbagi kedalam tiga sayap (aliran).
Pertama,
menghendaki
sayap
adanya
eklektis
kolaborasi
(al-qiraah antara
al-intiqaiyah).
orisinalitas
Sayap
(al-ashalah)
ini dan
5[5] M. Muhsin Jamil, M.A, Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm.123.
modernitas (al-mu’asharah) dalam rangka membangun “teori analisis tradisi” juga menyingkap rasionalitas dan irrasionalitas dalam tradisi. Kedua, sayap revolusioner (al-qira’ah at-tatswiriyah), sayap
ini
berkehendak untuk mengajukan proyek pemikiran baru yang mencerminkan revolusi dan liberalisasi pemikiran keagamaan. Sayap kedua ini sebagaimana diwakili Hasan Hanafi mengusulkan tiga cara dalam tradisi dan pembaharuan yaitu menganalisi pembentukan dan latar belakang tradisi dan mencermati bagaimana tradisi tersebut berlawanan dengan kemaslahatan umum. Adapun sayap ketiga adalah sayap dekontruktif (al-qiraah al-tafkiyah). Sayap ini berusaha membongkar tradisi secara komperehensif sehingga menyentuh ranah metodologis. Sayap ini mengkaji tradisi berdasarkan epistemology modern seperti post struktualisme dan post modernism.6[6] e. Jihad dan Terorisme Jihad adalah prinsip utama dalam akidah Islam, istilah itu sendiri secara
harfiah
berarti
berusaha
keras,
tekun
bekerja,
berjuang,
mempertahankan. Dalam banyak hal, jihad berarti etika kerja yang kuat secara spiritual dan material di dalam Islam. Kesalehan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidaklah dimunginkan tanpa jihad, yaitu tanpa kerja keras berkesinambungan dan tekun. Oleh karena itu, membersihkan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut ilmu, meyembuhkan orang yang sakit, memberi makan kaum papa, menegakkan kebenaran dan keadilan, bahkan dengan resiko pribadi yang besar, semuanya adalah bentuk Jihad. Al-qur’an menunjukkan istiah jihad untuk merujuk pada tindakan keras untuk mewujudkan tujuan Tuhan di muka bumi ini, yang mencakup semua aktivitas diatas. Nabi Muhammad berulang-ulang mengajarkan bahwa bentuk jihad terbesar adalah memerangi hasrat rendah manusia atau menyampaikan kebenaran di hadapan kekuasaan yang menindas dan menderita sebagai konsekuensi berbicara seperti itu. Dengan logika yang sama, berusaha sekuat tenaga dan bekerja keras dalam perang, asalkan perang tersebut adil dan baik, juga termasuk jihad. 6[6] Ibid, hlm. 132
Namun, tak bisa ditolak juga
bahwa khususnya di era
modern,
pernyataan-pernyataan dan perilaku muslim telah menjadi konsep kian membeingungkan dan bahkan kacau balau. Jihad, khususnya seperti terpotret di media barat dan sebagaimana dimanfaatkan oleh para teroris, acap kali dikait-kaitkan dengan ide perang suci terhadap kaum kafir yang disebar luaskan atas nama Tuhan, dan sering kali disamakan dengan citra paling vulgar mengenai intoleransi agama. Yang terburuk, isu terorisme telah merusak reputasi agama terbesar kedua di dunia ini.7[7] IV.
KESIMPULAN Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan berjalannya waktu dan perkembangnya zaman, islampun mengalami perkembangan dengan munculnya gerakan – gerakan seperti Post Modernisme dan Neo Modernisme Islam, Islam Liberal, Islam Kultural, Post Tradionalisme Islam, menunjukkan adanya perkembangan
keberagaman dalam pemikiran para
cendekiawan muslim baik yang tradisonal maupun modern/ kontemporer. Inilah dinamika dalam Islam yang harus disikapi dengan inklusif dan bijaksana.
V.
PENUTUP Demikian makalah yang dapat kami buat. Kekurangan pastilah ada karena manusia tempatnya salah, dan segala kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan, guna memperbaikan pembuatan makalah dikemudian hari untuk menjadi yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami pada khusunya dan bagi khalayak pada umumnya. Amien...Amin...Amin Ya Robbal ‘alamin... DAFTAR PUSTAKA
7[7] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.2006, hlm 265.
Jamil, M. Muhsin, MA. Membongkar Mitos Menegakkan Nalar Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal. Semarang : Pustaka Belajar. 2005 Abdullah, M. Yatmin MA. Studi Islam Kontemporer. Jakarta : Sinar Grafika Offset. 2006 Nata, Abuddin, MA. Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2001
Diposkan oleh Fadlilah Murwati di 4/26/2013 11:13:00 PM http://murwatifadlilah.blogspot.com/2013/04/dinamika-islam-kontemporer.html
DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER BAB I PENDAHULUAN Hukum islam dan dinamika masyarakat sering dipersepsikan sebagai dua hal yang sangat berbeda dan bahkan dikatakan saling betentangan. Dalam satu sudut pandanghukum islam merupakan suatu hokum yang tidak akan mungkin mengalami perubahan, karena berdasarkan wahyu Allah yang bersifat qadim. Setiap qadim bersifat statis tidak berubah. Hukum selain berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat atau social control, juga berfungsi sebagai pembentuk masyarakat atau social Enginering, kedua fungsi itu juga terdapat pada hokum islan. Diharapkan kedua fungsi ini dapat mengatur kehidupan masyarakat sejalansejalan dengan perkembangan zaman kontemporer ini. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika pergumulan hokum islam dengan dinamika masyarakat kontemporer selalu menimbulkan pertanyaan ulang terhadap produk-produk pemikiran ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan spectrum masalah dewasa ini yang semakin kompleks dan luas. a) Hukum Islam Secara etimologis, kata hokum berakar pada kata atau hruf arab, yang berarti menolak. Adapun secara terminologis, ulama usul mendefinisikan hokum dengan titisan Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun larangan, sedangkan ulama fikih mengartikan dengan efek yang dikehendaki oleh titah Allah dari perbuatan manusia, seperti wajib, sunnah, dan haram. Bertolak dengan pendapat Amir Syarifuddin dan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy itu, maka dapat dikemukakan bahwa hokum islam pada hakekatnya mempunyai muatan hokum syara dan hokum fiqh, karena bersumber dari syariat, tetapi ia juga merupakan hasil ijtihad manusia. Dengan kata lain, bahwa syariat islam yang diterjemahkan sebagai hokum islam adalah didasarkan pada pengertian syariat dalam arti sempit, sebab makna yang terkandung dalam syariat (secara luas) mencakup aspek akhlak dan hukum. Sedangkan jika hokum islam dimaksudkan terjemahan dari fikih islam, maka hokum islam dimaksudkan adalah hasil ijtihad yang ijtihad yang nilai kebenarannya bersifat zany,tidak termasuk didalamnya nilai hokum islam dalam pengertiannya yang bersifat qat’iy. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hokum islam pada dasarnya mencakup hokum syara dan hukum fiqih karena ia bersumber dari wahyu(Al-qur’an dan Sunnah), serta merupakan hasil kreaktifitas akal manusia terhadap wahyu itu. Sehingga hukum islam memiliki dimensi ilahiyah yang transenden, dan dimensi insaniyah yang profane. b) Dinamika Masyarakat periode kontemporer Pada dua tahap yang disebutkan pertama, agama masih dianggap mempunyai pengaruh dominan dalam struktur masyarakat sehingga jika terjadi peristiwa apa saja, semuanya dikembalikan dan direkonsiliasikan kepada agama. Dalam tahapan demikian pola pemikiran masyarakat masih sangat sederhana Agama kemudian dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat, setelah masyarakat mengalami kemajuan dibidang pemikiran sebagai buah dari paham rasionalisme, yang ditandai dengan kemjuan dibidang keilmuan dan teknologi. Dilihat dari perspektif filsafat
sejarah kontemplatif, konsep Effat al shaqawi dalam kitab Falsafah al Hadharah al islamiyah, proeses perkembangan masyarakat seperti yang digambar comte merupakan proses gerak maju ke depan. Secara sederhana globalisasi diartikan sebagai salah satu titik perhatian, meskipun ia terdiri dari beberapa Negara yang terpisah dan dihuni oleh beberapa kelompok manusia yang berbeda bangsa, bahasa dan agama. Penagruh ini bisa dalam bentuk positif (manfaat) dengan menguntungkan kehidupan manusia dan ada pula dalam bentuk negative dengan arti merugikan. Demikianlah hukum islam meyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan. Hokum islam karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan zaman dan dinamika masyarakat.
BAB II PEMBAHASAN A. Post Modernisme dan Neodernisme Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme. Yang muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme. Istilah ‘’pos’’ menurut kubu Postmodermisme, adalah kematian modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi, humainisme, antroposentrisme, dan linirietas sejarah guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, anthihumanisme, dan diskontuinitas. Pada awalnya gerakan modernisme lahir dari gerakan ‘’rasionalisai’’ dan kebebasan ijtihad agama. Gerakan ini kemudian menginspirasi berdirinya Muhammadiyah di Indonesia, dan gerakan modernisme lahir di Indonesia sabagai respon modernitas barat. Sedangkan, Gerakan Neomodernisme berkembang pada akhir 19 dan awal 1970-an, terutama di kalangan mahasiswa yang berlatar belakang tradisional. Komunitas mahasiswa ini merupakan generasi pertama dari muslim tradisional yang memiliki akses pada pendidikan tinggi dengan takaran yang signifikan berkat ekspansi pendidikan yang berlangsung pasca kolonial di Indonesia. Untuk memperluas wawasan keilmuannya, di antara mereka terlibat di puncak organisasi mahasiswa yang berorientasi modern (HMI). Awalnya, gerakan yang mereka lancarkan merujuk pada gerakan pembaruan pemikiran Islam. Namun, gerakan itu akhirnya lebih dikenal sebagai neomodernisme, dengan mengikuti paradigma gerakan pembaruan modern Fazlur Rahman. Gerakan Neomodernisme memperoleh ketenaran secara mengesankan setelah keluarnya statemen Nurcholish Madjid dalam seminar tunggal pada bulan Januari l970 yang intinya menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru, sehingga perlu dilakukan pembaruan pemikiran. Nurcholish Madjid pada waktu itu menggunakan terma desakralisasi dan sekularisasi dalam papernya sehingga dengan mudah menyulut kritik bernada kemarahan dari berbagai pihak. Kritik itu terurama datang dari tokoh-tokoh modernis senior yang terusik oleh
kritikan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa gerakan intelektual para senior telah mandek dan perlu direformasi. Para modernis senior ini menuduh pemikiran Nurcholish Madjid sebagai bid’ah. Berbagai kritikan ini justru membuat popularitas pemikiran Nurcholish Madjid semakin meningkat. Bisa dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang berporos pada Nurcholish Madjid telah menandai permulaan fase penyebaran ide pembaruan dalam komunitas umat Islam, juga penyebaran ide-ide pembaruan dan kecenderungan pemahaman liberal dalam Islam. Gagasan ini dalam perkembangannya diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia dan mampu mengubah sikap-sikap sosial yang cukup mendasar. Penyebaran gerakan neomodernisme Islam di Indonesia semakin meluas antara lain berkat bergabungnya para intelektual muslim lain seperti Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Utomo Dananjaya. Abdurrahman Wahid sekembalinya dari studi di Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan gerakan itu. Sebagai konsekuensinya, beberapa perhimpunan pemuda di bawah NU dan kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan Abdurrahman Wahid secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran neomodernis. Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya perasaan inferiority complex di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa kolonialisme, membuat mereka memiliki kepercayaan diri. B. Islam Liberal Ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan (contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan unsurunsurnya yang eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan dengan kezaliman, seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau definisi yang diberikan Francis Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai sopansantun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki." latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17. Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga
berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity). Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam, khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal: Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan nonMuslim. C. Islam Kultural dan Struktural Islam kultural dalam pandangan umum adalah Islam yang mewujudkan dirinya secara substantif dalam lembaga-lembaga kebudayaan dan peradaban Islam lainnya; pendeknya, Islam minus politik. Dalam pemahaman umum, Islam kultural adalah Islam dakwah, Islam pendidikan, Islam seni, dan seterusnya. Sebaliknya, Islam politik adalah Islam yang muncul atau ditampilkan sebagai kerangka atau basis ideologi politik, yang kemudian menjelma dalam bentuk partai politik (cf. Gulalp 1999). Lebih tegas lagi Islam politik adalah Islam yang berusaha diwujudkan dan diaktualisasikan dalam kekuasaan atau kelembagaan politik resmi, khususnya pada bidang eksekutif dan legislatif. Memakai kerangka sejarawan MGS Hodgson, Islam politik adalah Islamdom, Islam yang mengejawantah dalam kekuasaan politik (political power) Islam Kultural sebut Nurcholish Madjid, adalah ide yang menempatkan agama sehingga berperan utama sebagai sumber nilai dan pedoman perilaku etika dan budaya dalam kehidupan berbangsa, sehingga Islam bisa diterima oleh siapapun baik internal maupun eksternal. Gagasan Islam Kultural awalnya adalah untuk menjawab kebuntuan akses politik umat Islam Indonesia yang ditutup oleh rezim tiran Orde Baru. Bagi Orde Baru, Islam politik adalah ancaman bagi stabilitas politik yang telah dibangun sebelumnya, oleh kerana itu, cara yang paling efektif dengan melakukan tekanan-tekanan politik, seperti melarang rehabilitasi Partai Masyumi (Lukmanl Hakiem, 1993). Melihat kondisi tersebut, generasi muda pasca M. Natsir, mencoba untuk merumuskan kembali relasi negara dan Islam dengan suasana lebih dialogis. Sehingga dirumuskan lah Islam kultural, sebagai anti tesis Islam struktural atau Islam politik. Sedangkan, yang dimaksud dengan Islam structural, adalah penyelengaraan Negara yang berorientasi pada syariat islam. Islam structural itu semata-mata berburu pada kekuasaan, apalagi dengan menghalalkan segala macam cara, melainkan menjadi Negara sebagai lapangan perjuangan dan pengabdian untuk menegakkan yang benar dan mencegah yang mungkar. D. Postradisionalisme Islam Sejak tahun 1950, tampak bahwa Islam tradisional dan pemimpin-pemimpin tradisional telah siap menghadapi tekanan dari elemen-elemen modern. Pada periode ini aktivitas partai politik telah berjalan sealur dengan garis-garis Barat modern. Beberapa ulama jebolan pesantren telah menempuh berbagai pendidikan modern. Para pemimpin Islam tradisional sampai tahun 1950 telah berhimpun dengan organisasi kelompok muslim modern yang bernama Masyumi. Mereka sebelumnya telah berpengalaman dalam menjalin satu kekuatan dan bergandengan
tangan dalam wadah Persatuan Islam ketika menghadapi pendudukan Jepang dan sama-sama berjuang demi kemerdekaan. Persatuan politik mereka dalam Masyumi pecah pada tahun 1952 dengan keluarnya NU dan memunculkan NU sebagai partai politik independen. Sejak saat itu, muncul babak baru dalam peta pemikiran keagamaan yang tegas-tegas memolarisasi pemikiran keagamaan di Indonesia dalam dua kutub, yaitu tradisionalisme dan modernisme. Meskipun demikian, perlu dikemukakan bahwa pernah muncul dari kalangan tradisionalisme seorang tokoh bernama Kiai Wahid Hasyim, yang sebelum meninggal dalam kecelakaan mobil 1953 mampu membangun komunikasi antara modemisme dan tradisionalisme. Salah satu bidang garapan pokok dari kelompok modernisme di Indonesia adalah memperluas semaksimal mungkin kegiatan pendidikan bagi rakyat. Salah satu organisasi dari kalangan modernis seperti Muhammadiyah mempunyai kebanggaan sejarah atas pembangunan sekolah-sekolah dan perluasan kesempatan pendidikan ketika berbagai kesulitan menimpa bangsa. Sampai tahun 1970-an, beberapa intelektual modernis di Indonesia telah memperoleh pendidikan Islam klasik tentang Bahasa Arab, Al-Quran, dan hukum-hukum klasik dari pakar. Di antara mereka ada sejumlah nama yang sudah akrab dengan pandangan modern dan berbagai pemikiran ilmiah seperti Muhammad Natsir, Deliar Noer, Mukti Ali dan Harun Nasution. Babak baru menandai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia ketika para alumni pesantren dari lingkungan pesantren (tradisional) pada tahun 1960-an mulai memasuki dunia pendidikan modern di Barat. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah generasi pertama yang berada dalam tepian dua tradisi keilmuan ini. Lingkungan keilmuan Islam klasik dan Modern (Barat) secara bersama-sama membawa pengaruh kuat bagi keduanya. Dalam konteks pembaruan ini, sumbangan sistem IAIN dalam mereformasi Islam benarbenar penting. Pembentukan IAIN, yang diawali dengan IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat Jakarta dan IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1960, secara tidak langsung memberi kesempatan pertama bagi mayoritas keluaran pesantren untuk menempuh studi di jenjang perguruan tinggi. Sejak tahun 1960-an IAIN tetap mempertahankan ketertutupannya dengan model al-Azhar. Secara pelan-pelan, proses perubahan nampak dengan transformasi IAIN menjadi lembaga yang mengombinasikan kajian Islam tradisional dengan pendekatan-pendekatan kajian modern. Dengan masuknya Harun Nasution di IAIN Syarif Hidayatullah dan Mukti Ali di IAIN Sunan Kalijaga pada akhir tahun I960-an, membawa pengaruh progresif di kalangan mahasiswa dengan mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis termasuk terhadap dasar-dasar keimanan serta menggunakan pendekatan kritis dalam kajian keislaman. Sebagai generasi tua, merekalah yang membukakan jalan bagi generasi muda pemikirpemikir Islam untuk tampil ke depan. Abdurrrahman Wahid dan Nurcholish Madjid sebagai representasi utama dari generasi muda itu. Nurcholish Madjid yang lahir pada tahun 1939 dan Abdurrahman Wahid yang lahir pada tahun 1940 adalah orang-orang yang tengah memasuki usia remaja saat Soeharto muncul sebagai penguasa. 1. Postradisionalisme Islam di Kalangan Muda NU Beberapa dekade terakhir ini muncul fenomena baru di kalangan Nahdlatul Ulama yaitu tentang pembaruan wacana, yang sebelumnya hampir tidak pernah terjadi dalam organisasi ini. Pembaruan tersebut mencakup beberapa aspek, diantaranya adalah tentang gagasan dan
pemikiran, keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan global. Kebanyakan gerakan pembaruan ini dimotori oleh anak-anak muda Nahdlatul Ulama yang kemudian seringkali disebut sebagai kalangan muda Nahdlatul Ulama (Sholeh, 2004). Mereka menganggap bahwa wacana yang ada pada Nahdlatul Ulama yang cenderung tradisional dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Kemudian kalangan muda ini menawarkan gagasangagasan baru yang seringkali disebut dengan post-tradisionalisme. Kalangan muda NU beberapa tahun terakhir mempunyai kesadaran kritis akan eksistensi NU terhadap pola perubahan zaman, sehingga mereka memandang perlu adanya suatu gerakan pembaruan terhadap kultur NU yang selama ini melekat. Gerakan pembaruan ini meliputi tiga hal (Riyadi, 2007). Pertama, tentang masalah kemandegan berfikir (jumud). Realitas yang terjadi bahwa ternyata perubahan zaman semakin cepat terjadi dari hari ke hari, sehingga memaksa kalangan muda NU untuk berpikir ulang terhadap pola pemikiran yang diadopsi oleh NU. Pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang hanya bersandar pada teks-teks tradisional (kitab kuning) dirasa oleh kalangan muda NU tidak lagi mampu berbicara banyak terhadap realitas yang terus berkembang saat ini, perlu ada suatu rumusan baru mengenai pemecahan masalah tersebut. Sehingga menurut mereka, perumusan metode baru (ijtihad) perlu dilakukan untuk keluar dari kungkungan kejumudan yang selama ini melekat di NU. Kedua, partisipasi NU dalam dunia politik praktis. Terjerumusnya NU dalam dunia politik praktis banyak menyebabkan tujuan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang berorientasi pada pengembangan potensi ummat terbengkalai. Dari kondisi inilah, kalangan muda NU prihatin terhadap terjerumusnya NU dalam pusaran politik praktis dan mereka mencoba untuk menggeser gerakan politik praktis NU ini ke gerakan Islam kultural, sebagaimana misi awal pendirian organisasi ini. Ketiga, permasalahan pengelolaan keorganisasian. Pola hubungan patron-client yang kuat antara ulama dengan masyarakat, dimana ulama berperan sebagai patron dan masyarakat berperan sebagai client, menjadikan organisasi ini lemah dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Pengelolaan NU yang lebih bersifat tradisional perlu diganti dengan sistem yang lebih modern, karena basis massa yang sangat besar akan sulit menunjukkan eksistensinya jika hanya dikelola dengan pola-pola tradisional. Lebih lanjut, seringkali NU dipahami sebagai organisasi tradisional dengan stereotype yang cenderung negatif, diantaranya adalah organisasi yang ekslusif, organisasi yang tidak pernah beranjak dari kitab-kitab yang mu’tabar (al-kutub al-mu’tabaroh) , organisasi yang dalam praktik keagamaannya seringali mengadopsi tradisi lokal serta basis komunitas yang mayoritas berasal dari kalangan pedesaan (Riyadi, 2007). Pemahaman dalam beragama bagi kalangan NU seringkali berpijak dan berangkat dari teks yang sangat disakralkan dan teks mempunyai otoritas yang tinggi dikarenakan model pemahaman yang ada di NU selalu merujuk pada kitab-kitab ulama terdahulu. Bahtsul masa’il merupakan salah satu contoh betapa teks sangat dijunjung tinggi dalam model pemahaman dalam organisasi ini. Tradisi dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai dua arti yaitu adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan masyarakat dan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Sedangkan penjelasan Muhammad Abed Al-Jabiri tentang tradisi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) tradisi maknawi (al-turats al-maknawi), yang berupa tradisi pemikiran dan budaya, 2) tradisi material (al-turats al-ma’adi),
seperti monumen dan benda-benda masa lalu, 3) tradisi kebudayaan, yaitu segala sesuatu yang kita miliki dari masa lalu kita, 4) tradisi kemanusiaan universal, yakni segala sesuatu yang hadir di tengah kita, namun berasal dari masa lalu orang lain. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata tradisional diartikan sebagai sikap, cara berpikir, dan bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan secara turun temurun. Islam tradisional seperti yang ada di Indonesia mempunyai ciri-ciri seperti berikut: pertama, sangat terikat dengan pemikiran Islam tradisional, yaitu pemikiran Islam yang masih terikat kuat dengan pikiran ulama ahli fiqh, hadits, tasawuf, tafsir, dan tauhid yang hidup antara abad ke tujuh hingga abad ke tiga belas. Kedua, kebanyakan basis massa dari penganut tradisionalisme Islam tinggal pada wilayah pedesaan dengan latar belakang pendidikan pesantren. Ketiga, keterikatan mereka pada paham ahlussunah wal jama’ah. Jika tradisional dapat diartikan sebagai sikap, cara berpikir, dan bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan secara turun temurun, maka tradisionalisme dapat diartikan dengan paham atau ajaran yang didadasarkan atas tradisi. Jika kita kaitkan dengan Islam, maka tradisionalisme Islam dapat diartikan sebagai praktik-praktik keagamaan maupun pemikiran dalam Islam yang dilakukan masyarakat secara turun temurun. Sedangkan post-tradisionalisme secara etimologi bisa diartikan pasca tradisionalisme. Meskipun kata post disini bisa diartikan dengan melampaui, melewati dan bahkan meninggalkan tradisi, tetapi yang menjadi inti dari post tradisionalisme disini adalah mentransformasikan dan merevitalisasi terhadap tradisi, bukan untuk meninggalkan tradisi. Maka demikian, dalam diri postradisionalisme terkandung nilai-nilai kontinuitas dan perubahan. Maka dari uraian diatas, peneliti melihat bahwa postradisionalisme merupakan salah satu modal sosial bagi warga NU dalam menggapai perubahan. Dan dari sini penilitian ini akan mencoba menlusuri sampai sejauh mana postradisionalisme befungsi sebagai modal sosial bagi NU untuk melakukan perubahan. E. Jihad dan Terorisme Menurut Ibnu Faris dalam bukunya mu’jam “Al-maqasy fi Al-lughah”, semua kata yang terdiri dari huruf J, H, D, pada awalnya mengandung arti kesulitan ata kesukaran dan yang mirip dengannya. Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti ‘’letih atau sukar’’. Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal menuntut kemampuan dan harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama tersusun ucapan “Jahida Bir Rojul”, yang artinya “ seseorang sedang mengalami ujian”. Jihad adalah merupakan ruh dan spirit utama bagi keseluruhan perjuangan Islam. Jihad merupakan inti daripada semangat islamyang mengantarkan islam menjadi Al-Furqan (benarbenar tampil beda) dari Jahiliah. Maka setiap muslim harus berusaha melibatkan dirinya dalam jihad sesuai dengan kemampuan dan tuntunannya, berjihad dapat kita aplikasikan dalam beberapa hal,seperti: 1) Berjihad memerangi hawa nafsu, amarah yang suka menyimpangkan manusia dari perbuatan baik kepada perbuatan buruk, dari akhlak terpuji kepada akhlak tercela .
2)
Berjihad memerangi kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat islam dalam pentas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 3) Berjihad dalam memerangi segala bentuk ancaman yang membahayakan kemudahan umat, seperti ancaman masyarakat, dll. 4) Berjihad memerangi keterpurukan umat, baik dari segi intelektual maupun muammalah. 5) Berjihad mengantisipasi serta mengimbangi tipu daya politik dan diplomasi kaum kafir dalam uapaya memurtadkan umat islam, menjauhkan umat dari ajaran islam, dan memecah belahkan umat islam agar mudah menjadi santapan mereka. Setiap pribadi muslim yang menghendaki kesempurnaan dalam berislam, harus memiliki program dakwahdan semangat jihad bagi dirinya sendiri dan keluarga. Dia harus bersemangat mengupayakan perbaikan keislamannya dari hari kehari, sehingga mencapai nilai HAQQA TUQATIH (Sebenar-benarnya takwa). Sedangkan Terorisme dan Radikalisme meruapakan fenomena umum yang tersebar diseluruh dunia, bukan hanya di dunia islam semata, sebagaimana yang dituduh oleh sebagian kalangan. Pengetahuan yang benar tentang islam bentuk Radikalisme maupun Terorisme, Etos kasih saying mrupaka salah satu sebagian penting dalam islam, karena itu setiap surat dalam al-quran selalu dimuat dengan kalimat” dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang”, ya, betapa kasih saying Allah begitu luas, mencakup sgala sesuatu serta seluruh manusia yang berusaha keras mewujudkan keadilan dan perdamaian. Dialog antar agama selain mampu mengatasi berbagai persoalan negative seperti ateisme narkoba, dan fanatisme, ternyata juga mampu memberikan konstribusi efektif demi mencegah terjadinya pertengkaran-pertengkaran yang mungkin terjadi. Persoalan-persoalan tersebut berikut persoalan sampingan lainnya, menuntut kerja keras kita dalam mencari jalan keluar yang memadai, karena bagaimanapun, hal ini menyangkut kepentingan seluruh dunia. Apabila kita ingin menyelenggarakan dialog antar agmayang efektif, kita tidak boleh lagi menghidupkan memori-memori kebencian dan permusuhan yang diwariskan oleh masa silam dalam ingatan kita sebagai penggantinya, kita harus membangun pemikiran positif yang bergerak kea rah pembangunan pemikiran positif yang bergerak kearah pembangunan masa depan baru yang lebih cerah dan mampu membuat dunia menikmati perdamaian. BAB III PENUTUP Islam sebagai dinamika historis menunjukkan kekayaan luar biasa. Di tengah dinamika historis memang perlu ditegaskan kembali esensi-esensi teologis pokok, seperti tauhid Allah SWT, kenabian Muhammad, i’jaz Alquran, dan sebagainya. Namun, dinamika historis tersebut juga dapat menjadi bahan dasar penting bagi sintesis-sintesis Islam untuk menjawab tantangan zaman.
Dinamika historis memang menuntut penghadiran berbagai respons Islam terhadap situasi lingkungannya yang terus berubah. Karena itu, kaum Muslimin dan umat-umat lainnya, dalam dinamika sejarah bisa menyaksikan terjadinya kesinambungan dan konvergensi di tengah perubahan. Semua perubahan yang positif dan kontributif bagi peradaban Islam terjadi berkat keterbukaan dan kesediaan kaum Muslimin sendiri menyerap berbagai hal positif di luar tradisi mereka. Karena itu, pengakuan pada berbagai tradisi di luar Islam dan kaum Muslimin sendiri merupakan sebuah keniscayaan. Pengakuan tersebut bahkan merupakan prasyarat krusial bagi setiap masyarakat yang berkeinginan dan berusaha merespons secara tepat berbagai perubahan yang tidak bisa dielakkan manusia dan peradabannya di masa kini dan mendatang. Dalam perspektif ini, sejarah Islam dan kaum Muslimin pada dasarnya merupakan usaha-usaha tak pernah berhenti bagi kaum Muslimin sendiri untuk memahami cita-cita Alquran guna selanjutnya mewujudkannya ke dalam realitas kehidupan. Namun, perubahan-perubahan yang luas dan berdampak panjang juga menimbulkan kecemasan bagi sebagian kaum Muslimin. Dan ini mendorong mereka untuk kembali kepada apa yang mereka sebut sebagai ‘Islam otentik’ yang ironisnya justru tertutup dan menegasikan berbagai hal di luar Islam, yang mereka pandang sebagai ancaman terhadap ‘Islam otentik’. Cara pandang seperti ini jelas sangat kontraproduktif karena dalam kerangka itu, Islam dipandang hanya sebagai doktrin teologis dan doktrinal abstrak, yang jauh dari persentuhan dan realitas historis. Pandangan dan konsepsi inilah yang akhirnya mengantarkan kaum Muslim ke dalam situasi dan kondisi statis, yang mengakibatkan terjadinya ‘fragmentasi’ sosial dan intelektual. Jadinya upaya-upaya memperbaiki keadaan dan kenestapaan kaum Muslimin dewasa ini lebih didorong formula-formula ideologis-religius yang cenderung simplistik daripada rumusan-rumusan atas kajian berbagai realitas sosio-historis konkret. Padahal, salah satu distingsi Islam, seperti ditegaskan kembali melalui Konferensi Alexandria, adalah keterbukaan yang mampu tidak hanya mengakomodasi berbagai fenomena dan produk peradaban lain yang bermanfaat bagi kemajuan peradaban manusia secara keseluruhan, tetapi juga dapat hidup berdampingan secara kreatif dengan peradaban-peradaban lain. Hidup berdampingan secara damai (creative co-existence), jelas bisa dicapai hanya jika para representasi peradaban-peradaban yang dominan mau meninggalkan pandangan-pandangan yang memecah belah tentang ‘keunggulan kultural’ (cultural triumphalism). Triumphalism adalah pernyataan sepihak dari pendukung kultural manapun yang mengklaim bahwa hanya pihaknya sajalah yang paling unggul di atas segala pihak lain. Triumphalism seperti ini pada ujungnya hanya akan mengantarkan umat manusia ke dalam ‘perbenturan peradaban-peradaban’, yang jelas tidak kita hendaki.
DAFTAR PUSAKA Barton, Greg, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999. Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998. Hamzah, Imran dan Anam, Chairul (ed), Abdurrahman Wahid Diadili Kiai-Kiai. Surabaya: PT Jawa Pos, 1989. Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987. Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987. Narwoko, J. Dwi – Suyanto, Bagong (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media Group, 2006. Sodik, Mochammad, Gejolak Santri Kota Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007. www.hidayatullah.com http://wwwyasirsfarel.blogspot.com/2010/11/dinamika-islam-kontemporer.html
Dinamika Islama Kontemporer
I. A.
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah Sepeninggal Rosulullah SAW umat Islam menjadi terpecah belah dan berusaha mendirikan aliran–aliran Islam yang beraneka ragam dengan segala pembenaran ideologi yang mereka yakini. Kemunculan mereka disebabkan karena sudah tidak adanya tempat bertanya tentang Islam dengan segala permasalahan dan solusi pemecahannya. Masing-masing mempunyai ideologi serta pemahaman tentang Islam yang berbeda–beda. Klaim sebagai ahluss sunah wal-jamaah, yang merupakan satu-satunya
golongan Islam yang dijamin masuk surga oleh
Rosulullah SAW dalam hadist sohihnya pun
mereka sematkan dilabel mereka
masing-masing. Aliran Khawarij, Muktazilah, Syiah, dan Jabariyah adalah segelintir contoh aliran yang pernah ada dan mewarnai corak Islam di Timur Tengah (Arab khususnya) yang merupakan tempat lahirnya Agama Islam. Keberagaman pemahaman tentang Islam inilah yang menimbulkan konflik diantara aliran–aliran Islam tersebut. Bentuk konflik yang terjadi di masa lalu rupanya tetap ada di zaman yang serba kontemporer saat ini, dan memunculkan beraneka ragam pola pikir dan ideologi yang kemudian melahirkan konsep Islam yang ingin bebas menggunakan akal untuk memecahkan sebuah permasalan Islam, dan aliran ini biasa disebut dengan
Liberalisme. Ada pula beberapa aliran Islam
yang ingin mengembalikan Islam versi
pemahaman mereka ke dalam bentuk
aslinya seperti yang tersurat dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadist, dan aliran ini diindentikkan dengan istilah fundamentalisme. Dalam masa kontemporer ini, fundamentalisme memberikan kesan yang memaksa kepada umat Islam yang lain untuk bisa sepaham dengan dia. Mereka mengesahkan cara-cara kekerasan dalam memperingatkan umat Islam yang lain apabila mereka menyimpang dari ajaran Islam. Di Timur Tengah setidaknya ada beberapa organisasi dan pergerakan yang mengusung paham ini, di antaranya adalah Gerakan Wahabbiah, Ikhwanul Muslimin, dan lain sebagainya yang menginginkan pemurnian kembali Agama Islam. Gairah umat Islam di era kontemporer untuk menegakkan kembali panji Islam disalahartikan oleh sebagian umat Islam. Gerakan fundamentalisme negatif dan radikalisme secara tidak langsung pun telah mereka usung. Aksi teror, perusakan, dan tuduhan pengkafiran merupakan bukti eksistensi keberadaan
gerakan fundamentalisme dan radikalisme. Pemahaman tentang akan makna jihad juga tak luput
dari penafsiran mereka, jihad pun dimaknai mereka dengan
membunuh orang-orang yang tak sepaham dengan mereka. Terorisme merupakan buah karya dari adanya gerakan fundamentalisme dan radikalisme. Radikalisme dijadikan sebagai sebuah solusi untuk mewujudkan cita cita mereka. Di sisi lain ada juga umat Islam yang tampil dengan wajah arif dan bijaksana, dimana kultur begitu besar mempengaruhi paham keagamaan ini. Islam inilah yang banyak mewarnai mayoritas umat Islam di Indonesia. Ada pula corak Islam yang sudah terstruktur dengan baik melalui sebuah oganisasi-organisasi Islam atau masuk dalam sebuah perpolitikan di sebuah negara, mereka lebih bersifat moderat dan progresif. Bercermin pada wacana di atas sangat menarik jika kami menyajikan sebuah makalah yang dapat memberikan sedikit kajian keilmuan dan wawasan kepada mahasiswa yang biasa berpikir kritis dalam sebuah diskusi keislaman. Selanjutnya permasalahan ini akan kami bahas dan jabarkan lebih luas dalam bab pembahasan.
B. Rumusan masalah Adapun beberapa hal yang akan kami bahas dalam makah ini adalah sebagai 1)
berikut: Bagaiman sejarah tumbuhnya liberalisme, fundamentalisme, radikalisme di
2)
Indonesia dan sepak terjangnya? Bagaimana kiprah dan peranan Islam Kultural dan Islam struktural yang ada di
3)
Indonesia? Apakah makna sesungguhnya dari Jihad dan Terorissme dalam agama Islam? I. A.
PEMBAHASAN
Gerakan Liberalisme Secara etimologi, liberalisme adalah derivasi dari kata liberty (dalam bahasa Inggris) atau liberte (dalam bahas Prancis) yang berarti “bebas”. Adapun secara terminologi, para peneliti mengemukakan bahwa liberalisme adalah terminologi yang cukup sulit didefinisikan. Hal itu karena konsep liberalisme yang terbentuk tidak hanya di bahas dalam satu generasi saja, akan tetapi dengan munculnya berbagai pemikiran tokoh yang tentunya satu sama lain saling berbeda dalam memberikan pengertian tentang liberalisme. Liberalisme sebenarnya merupakan bukan hal yang sama sekali baru dalam konteks kajian keislaman di Indonesia. Sebenarnya dalam masa Orde Baru gerakan-
gerakan ini sudah ada, tetapi pada masa Orde Baru pengistilahan gerakan Islam belum serta merta bersanding pada sebuah gerakan Islam. Hal itu disebabkan karena gerakan keislaman pada waktu itu mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah. Karena menurut pemerintah, gerakan ini dapat memunculkan gerakan separatisme yang dapat membahayakan kedaulatan negara. Belum adanya kebebasan dalam berpikir dan berpendapat dalam rezim Orde Baru membuat gerakan-gerakan ini seperti diibaratkan ikan yang berada dalam sebuah akuarium besar yang selalu mendapatkan pengawasan dari empunya rumah. Liberalisme sendiri merupakan paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan tata pemikiran yang berlandaskan pada kebebasan
manusia. Bebas, karena manusia
mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dan ini berarti bahwa liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis tentang manusia. Dari pengertian liberalisme ini maka terlihat dua agenda besar yang di perjuangkannya, yaitu; mengandalkan rasio dan besar kesadaran individu, dan mengandalkan pembangunan mandiri masyarakat tanpa intervensi berlebihan dari Negara. Dua agenda besar ini digulirkan dalam wacana Hak Asasi Manusia (HAM) dan masyarakat sipil (civil society)[8[1] 1.
Akar Pemikiran Liberalisme[9[2]] Akar pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint),
karena
liberalisme
menawarkan
konsep
dari pengawasan gereja dan raja. Ini berkebalikan Abad
Pertengahan
kehidupan
yang
bebas
total dengan kehidupan Barat
ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan
manusia. Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi. 8[[1]
Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem ].Rahman, “Pengertian Liberalisme” dalam , http://www.itsfetriyannorrahman.co.cc., diakses 3
November 2012.
9[[2]]. Shidiq Al-jawi, “Akar Sejarah Pemikiran Liberal yang tanggal 15 November 2012.
Menyesatkan”, dalam http://iskud.wordpress, diakses
ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik atau pemerintahannya. Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya
kurang
tepat,
karena
sosialisme-komunisme dengan
demokrasi
juga
diserukan
oleh
ideologi
nama “demokrasi rakyat”, yakni bentuk khusus
demokrasi yang menjalankan fungsi diktatur yang protelar. Walhasil, ideologi Barat memang mempunyai banyak nama, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Namun, yang lebih penting adalah memahami akar pemikiran liberal yang menjadi pondasi bagi seluruh struktur bangunan ideologi Barat. Secara tidak langsung liberalisme di Barat juga mempengaruhi gerakan pemikiran liberalisme yang ada di Indonesia. Diakui atau tidak karena banyak mengadopsi pemikiran dari barat inilah yang menyebabkan sebagian umat islam yang fundamentalisme sekuat tenaga melawan pergerakan pemikiran liberal ini. Liberalisme dalam Islam, menurut kelompok Islam Progresif adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya adalah melakukan penafsiran-penafsiran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup dalam situasi yang dinamis dan selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan, menurut mereka, diperlukan cara pandang baru atau tafsir baru dalam melihat dan memahami agama. Tafsir yang dimaksud adalah tafsir yang membebaskan, yaitu tafsir yang akan dijadikan pisau analisin untuk melihat problem
kemanusiaan,
mempertimbangkan
budaya,
menghilangkan
ketergantungan pada sebuah fase sejarah tertentu dan menjadikan doktrin agama 2.
sebagai sebuah etis untuk melakukan perubahan. [ 1 0 [ 3 ] ] Liberalisme di Indonesia Kemunculan liberalisme di Indoneisa menurut beberapa pengamat muncul karena adanya gelombang reformasi yang membuka kerangka berpikir dan berpendapat yang sebebas-bebasnya. Efek dari semangat reformasi inilah muncul berbagai macam organisasi dan pergerakan yang
berwajah fundamental dan
berwajah liberal. Gerakan fundamen yang menjamur di Indonesia membuktikan eksisistensinya sebagai organisasi yang seakan meneriakkan “Islamku yang paling benar” dan yang lain adalah tidak benar dan perlu diluruskan. Arogansi berlebihan 10[[3]]
Abdul A’la, dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal 47
ditunjukkan oleh kelompok fundamen. Kelompok ini cenderung anti-barat, Islam yang mengadopsi gaya barat oleh kelompok fundamen dianggap telah jauh menyimpang dari ajaran Islam. Kelompok ini juga cenderung menyimpulkan hukum Islam dari segi tekstual yang berasal dari Al-quran dan tidak boleh menafsirkan kembali Al-quran dengan menggunakan akal. Karena menurut kelompok fundamen akal mempunyai segala keterbatasan. Selama ini ada kecenderungan di kalangan umat Islam untuk menonjolkan Islam sebagai entitas yang unik dan terpisah dari kebudayaaan atau peradaban lain. Akibatnya, hilang penghargaan terhadap apapun yang dianggap sebagai asing. Bahkan penolakan yang berlebihan dalam bentuk anarki dan kekerasan seringkali terjadi terhadap segala hal yang dianggap berasal dari luar Islam. Padahal, kenyataan sejarah umat Islam justru menunjukkan bahwa apa yang sering disebut dengan
‘peradaban
Islam’
sungguhnya
merupakan
produk
dari
berbagai
kebudayaan.[11[4]] Kemunculan gerakan dan pemikiran fundamen yang seolah memaksakan ajarannya kepada masyarakat membuat gerah para penggagas Islam liberal di Indonesia. Sebagian orang dengan berani membuat sebuah kajian pemikiran yang terbilang nyleneh dan kontroversial sebagai bentuk perlawanan gerakan pemikiran yang
fundamen.
Kemudian
munculah
sebuah
gerakan
pemikiran
yang
bernuansakan liberal dan cenderung membela kaum minoritas. JIL adalah gerakan pemikiran pertama yang mengusung paham liberal dalam konteks kajian pemikiran keislaman di Indonesia. Di Indonesia gerakan liberal telah terakomodasi di dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Walaupun kemunculan JIL dimotori oleh salah satu tokoh muda NU yaitu Ulil Abshor Abdala, namun kemunculannya mengundang banyak kontroversi, bahkan oleh sebagian organisasi Islam yang fundamen diantaranya FPI, JIL dianggap telah melakukan “onani” pemikiran Islam yang seenaknya sendiri mengelurkan fatwa yang jelas bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadist. Oleh Sebagian petinggi NU (Nahdlotul Ulama), JIL juga dianggap paham sesat, pendapat dan pernyataan tokoh JIL dianggap telah menyimpang dari ajaran pokok islam. Bahkan secara eksplisit, muktamar NU di Solo mengambil satu keputusan kontroversial bahwa NU dengan segala kelengkapan strukturnya mesti dibersihkan dari unsur Islam Liberal. NU harus suci dari orang-orang yang berpaham Islam Iiberal. Islam liberal adalah adalah paham sesat dan menyesatkan sehingga tidak 11[[4] ]. Muhamad Ali, TEOLOGI PLURALIS-MULTIKULTURAL: menghargai kemajemukan menjalin kebersamaan ( Jakarta:Buku Kompas, 2003 ) hal. 81
perlu masuk dalam NU. Disinyalir keputusan dari muktamar NU di Solo yang menyatakan JIL adalah paham sesat menyesatkan jelas sangat terlihat unsur politisnya. JIL yang merupakan pengusung Islam Liberal di Indonesia, keberadaanya tumbuh sebagai sebuah penggeliatan pemikiran para tokoh muda dari berbagai organisasi yang ingin menampilkan Islam yang humanis dan tidak selalu membatasi individu seperti yang diusung Islam fundamen. Karena menurut JIL Islam adalah agama yang tidak pernah mempersulit umatnya dalam keadaan apapun. JIL seperti dijelaskan dalam situsnya yaitu islamlib.com, memberikan sebuah pengertian bahwa Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:[ 12[5]] a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan
mengalami
pembusukan.
Islam
Liberal
percaya
bahwa
ijtihad
bisa
diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi). b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam
berdasarkan
semangat
religio-etik
Qur’an
dan
Sunnah
Nabi,
bukan
menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal. c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah. d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas. 12[[5] ]. “Tentang Islam Liberal” dalam http://islamlib.com, di akses tanggal 12 November 2012
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi. e. Meyakini kebebasan beragama. Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak
perorangan
membenarkan
yang
harus
penganiayaan
dihargai (persekusi)
dan
dilindungi.
atas
dasar
Islam
suatu
Liberal
tidak
pendapat
atau
kepercayaan. f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Islam
Liberal
yakin
bahwa
kekuasaan
keagamaan
dan
politik
harus
dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus. Itulah dasar dan alasan yang digunakan para penggagas JIL dalam menumbuh kembangkan pemikiran JIL agar bisa menjawab tantangan Islam di era globalisasi ini, serta sebagai bentuk perlawanan dari kaum fundamen yang sudah semakin bertindak anarkis dan mengambil suatu hukum yang hanya secara tekstualis seperti yang tertulis apa yang ada dalam Al-qur’an. Tetapi, alasan ini jelas berbanding terbalik dengan kaum fundamen dan Islam pada umumnya yang menganggap konsep dan pemikiran JIL
bertentangan dengan
ajaran Islam.
Kebebasan mutlak ala liberalisme adalah kebebasan yang menciderai akidah Islam, ajaran yang paling pokok dalam agama ini. Masih menurut Islam pada umumnya, kebenaran dalam Islam adalah wahyu, bukan akal manusia yang terbatas dalam mengetahui kebenaran. B.
Gerakan fundamentalisme Islam Kata ’Fundamental‘ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke–2 tahun 1991, berarti’ bersifat dasar atau pokok atau mendasar’. Tetapi pada kamus yang sama kata ‘ fundamentalis’ di artikannya sebagai “ penganut gerakan
kegamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat dalam kitab suci.” Arti yang diberikan oleh KBBI sebagian benar dan sebagian mengandung unsur bias yang subyektif dari kelompok tertentu. Kata ‘ kolot ’ dan ‘ reaksioner ‘ itu aspek yang subyektif yang ditambahkan oleh team editor yang bias dan tidak bijaksana,
kecuali
kitab
suci
agama
tersebut
benar–benar
kolot.
Alangkah
bijaksananya jika pengertian fundamentalis diganti dengan ‘penganut gerakan keagamaan yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat dalam kitab suci ‘. Memang perlu dicermati
secara kritis,
bahwa fundamentalisme yang
dipersepsikan masyarakat dunia , merupakan pemaknaan sepihak yang diproduksi para peneliti Barat, yang sering melekatkan fundamentalisme dengan Islam. Sehingga stigma negatif pun tersemat dalam agama Islam. Tidak sedikit buku–buku hasil pemikiran barat mendefinisikan fundamentalisme yang selalu di sandingkan dan diidentikkan dengan agama Islam. Fundamentalisme menunjuk pada sikap– sikap yang ekstrem, hitam putih, tidak toleran, tidak kompromi dan segalanya yang asosiatif. Berbeda dengan para peneliti Barat lainnya , Karen Amstrong terlihat lebih arif
dan
jernih
dalam
memaknai
fundamentalisme.
Karen
memandang
fundamentalisme tidak secara simbolik, tetapi melihat paradigma yang mendasar dalam fundamentalisme , yaitu sebagai upaya melawan modernitas. Modernitas, menurut Karen Amstrong , telah mengakibatkan krisis keimanan dan moralitas. Karena itu , fundamentalisme hadir dalam rangka keluar dari krisis itu (embattled form of spiritually, which have emerged as response to a perceived crisis). Meski demikian,
dalam
melihat
fundamentalisme
islam,
menyentuh esensi fundamentalisme yang bergelayut
Karen
Amstrong
belum
dalam tradisi keagamaan
klasik. Itu disebabkan ketidakmampuan peneliti Barat memahami epistemologi yang berkembang dalam tradisi islam.[ 13[6] ] Fundamentaslime merupakan salah satu fenomena abad 20 yang paling banyak di bicarakan. Fundamentalisme selalu muncul dalam setiap agama besar dunia, tidak hanya kristen dan islam, fundamentalisme juga juga terdapat pada 13[[6]
].Zuhairi Misrawi, PANDANGAN ISLAM MODERAT: Toleransi, Terorisme, dan OASE Perdamaian
(Jakarta:Buku Kompas, 2010) hal.24
agama Hindu, Budha, Yahudi, Konfusianisme. Sehingga belum ada definisi yang jelas mengenai istilah “fundamentalisme“ itu sendiri dikarenakan kemunculannya bermula pada pengistilahan yang dipakai oleh kaum Protestan Amerika awal tahun 1900-an untuk membedakan diri dari kaum Protestan yang lebih liberal. Fenomena fundamentalisme yang tidak hanya dipahami sebagai sebuah gejala agama, sosial dan politik ini, juga dapat dilihat dalam perspektif kelompok fundamentalisme dalam Islam. Istilah fundamentalisme Islam, kendati populer populer di barat menyusul pecahnya revolusi Islam di Iran tahun 1978–1979, yang membuktikan kemenangan sejarah kaum militan islam atas rezim sekuler, namun istilah ini seringkali digunakan untuk menggeneralisasi beragam gerakan Islam yang muncul dalam satu tarikan nafas kebangkitan Islam (islam revival). Bagi kelompok ini, dengan memperhatikan beberapa agenda dan aktivitasnya ,
setidaknya ada beberapa hal yang menarik yang perlu dicermati ulang : Pertama, ideologi gerakan yang direfleksikan dengan jihad untuk membela agama
dan mempertahankan keyakinan agama dengan militansi yang kuat. Kedua, kelompok ini meniscayakan relasi harmonis antara agama dan negara, dengan mengusung formalisasi syariat islam, isu negara islam, mempertanyakan
konsep dan gerakan gender serta simbol – simbol keagamaan lainnya. Ketiga, Pandangan yang stigmatis terhadap barat, terutama Amerika yang tidak hanya dianggap sebagai monster imperialis tetapi juga sebagai ‘ the great satan ‘. Keempat, mendeklarasikan perang terhadap paham sekuler dan stumpuk isme
berbau barat.[ 14[7] ] a.
Macam – macam fundamentalisme
Dilihat dari perkembangan, fundamentalisme dibagi menjadi dua macam,
yaitu
fundamentalisme
yang
sifatnya
positif
dan
fundamentalisme yang bersifat negatif. 1.
Fundamentalisme posistif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi
keagamaan
sebagai
sumber
moral
dan
etika
kemaslahatan
publik.
Fundamentalisme islam yang sifatnya positif diterjemahkan sebagai suatu ‘gerakan sosial’, tidak sebagai ‘gerakan islam’. Secara umum, fundamentalisme 14[[7]].Abdurrahman
Islam
Kasdi. Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar teologi, Kritik Wacana dan
Politisasi Agama” dalam Taswirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan , Edisi No. 13 tahun 2002 ( Jakarta: LAKPESDAM, 2002 ), hal. 23 – 24.
sebagai suatu gerakan sosial yang berupaya memapankan (to established) sistem kepercayaan ‘umat islam‘ yang murni (The Pristine Islam) di tengah hingar bingar hegemoni dan dominasi dunia barat. Selain itu, mereka mengakui bahwa nilai-nilai Islam itu hanya dapat terpelihara dengan membangun satu bentuk negara teokrasi 2.
atau agama sebagai tandingan atas negara atau bangsa yang demokratis. Fundamentalisme negatif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi
sebagai
sumber
dan
justifikasi
atas
kekerasan.
Pada
mulanya,
fundamentalisme dalam tradisi Islam adalah upaya untuk menggali dan bahkan mengembangkan dasar–dasar keagamaan, sebagaimana terdapat khazanah Ushul Fiqih. Bagi mereka yang memahami khazanah Ushul Fiqih dengan baik, maka Islam akan berwajah progresif. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang mendekati
teks dan
doktrin kegamaan tanpa melalui media Ushul Fiqih, maka kemungkinan akan menjadi
fundamentalis
yang
radikal,
bahkan
teoristik.
Dalam
hal
ini
fundamentalisme diartikan sebagai tindakan dalam menghadapi musuh – musuh Tuhan yaitu modernisme dan sekularisme. Oleh karena itu, kaum fundamentalisme semacam ini dalam pergerakannya sering menggunakan tindakan kekerasan atau yang lainnya untuk menjadikan apa yang diinginkan tercapai, seperti halnya : Hizbullah, Al–Qaeda, dan Front Pembela Islam ( FPI ). b. 1)
Faktor – faktor yang melatar belakangi gerakan Fundentalisme Gerakan fundamentalisme di latarbelakangi beberapa faktor diantaranya : Adanya keinginan dari kelompok umat Islam untuk melakukan purifikasi terhadap
2)
ajaran agama Islam yang dianggap sudah menimpang dari sumbernya. Adanya perintah Allah SWT di dalam Al–quran (umatan wahidah) untuk menjadikan seluruh umat manusia menuju jalan yang benar. Dalam hal ini Al–quran telah mengatakan bahwa manusia dilahirkan untuk beribadah kepada Allah atau
3)
menyembah kepada – Nya. Arus globalisasi yang tidak terbendung yang tidak terfiltrasi oleh masyarakat sehingga menyebabkan lahirnya perilaku masyarakat yang imoral dan menyimpang
4) c.
dari norma – norma agama. Kekuasaan despotik pemerintahan yang menyeleweng dari nilai- nilai fundamental. Fundamentalisme di Indonesia Di Indonesia gerakan fundamentalisme sangat sering terjadi, umumnya mereka menggunakan dalih pemurnian agama Islam dalam menjalankan misinya. Mereka berupaya melakukan Islamisasi dan menegakkan syariat Islam dengan menghalalkan
cara–cara kekerasan. Di Indonesia yang paling sering melakukan
gerakan fundamentalisme salah satunya adalah organsisasi FPI. Begitu garangnya FPI melakukan penegakan syariat Islam yang tanpa memperhatikan efek yang ditimbulkan karena keberingasannya. Fundamentalisme yang jika kita kembalikan pada makna yang sebenarnya berarti “kembali ke ajaran agama yang asli atau sesuai dengan Al-qur’an” saat ini berubah menjadi sebuah gerakan yang anarkis dan arogan. Gerakan fundamentalisme di Indonesia jika dimaknai dengan arif dan bijak sebenarnya bisa juga menjadi sebuah gerakan yang posistif. Fundamentalisme bisa menjadi positif, selama mau terlibat dalam prosedur, demokrasi serta menghayati pentingnya pluralisme, kesetaraan, dan keadaban dalam berbangsa dan bernegara. Namun fundamentalisme positif harus diakui masih terbilang jarang. Hal ini disebabkan lemahnya pengawasan pemerintah dalam melindungi warganya untuk menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing sesuai dengan undang – undang yang berlaku.[15[8]] Fundamentalisme yang timbul di era kontemporer ini oleh sebagian pakar teologi dimaknai sebagai akibat dangkalnya pemahaman akan Islam. Hal ini terbukti dari banyaknya tindak kekerasan yang mengatas namakan Islam. Islam di jadikan alat untuk melegitimasi gerakan mereka. Fakto–faktor penyebab konflik bernuansa agama terbukti cukup kompleks: ketimpangan ekonomi, jurang pribumi pendatang, arogansi politik, keberpihakan dan lemahnya kualitas aparatur, dan pendidikan agama ekslusif-dogmatis. Masalah-masalah ini harus diatasi demi kerukunan hidup bersama.[16[9]] Tidak Cuma itu, fundamentalisme di Indonesia juga sudah mengarah pada pendirian negara Islam. Fundamentaslisme yang sudah pada taraf berdirinya negara Islam jelas sangat membahayakan keutuhan NKRI. Sayangnya, di antara umat
Islam
ada
yang
tidak
mau
menerima
kenyataan
pluralitas
dan
multikulturalitas itu. Mereka dikejar ambisi untuk menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan politik, pdahal tidak pernah berhasil sepanjang sejarah, kecuali pada masa Nabi Muhammad SAW. Mereka memperjuangkan Islam sebagai satu agama yang harus sama dalam segala aspeknya. Mereka lupa bahawa mereka sendiri adalah produk sejarah lokal dan produk sejarah masa kini. Mereka lupa 15[[8] ]. Ibid , Zuhairi Misrawi, hal.98 16[[9]].Muhamad Ali, TEOLOGI PLURALIS-MULTIKULTURAL: menghargai kemajemukan menjalin kebersamaan ( Jakarta:Buku Kompas, 2003 ) hal. 67
bahwa pakaian yang mereka pakai, bentuk tulisan kitab suci yang mereka baca, tulisan hadist yang mereka pelajari, fiqih ibadah dan fiqih muamalat yang mereka ikuti, semuanya memiliki dimensi sejarah.[17[10]] Langkah bijak dari pemerintah untuk menegakkan keadilan di bumi pertiwi ini merupakan
keniscayaan
yang
harus
diambil
pemerintah
guna
terciptanya
kerukunan beragama dalam bingkai kebhinekaan dan bingkai keislaman
yang
rahmatan lil alamin. C.
Gerakan radikalisme Islam Radikalisme Islam jika dilihat dari fakta sejarah dan sosio-politik sudah terjadi sejak zaman nabi Muhammad SAW, kemudian berlanjut di zaman kekhalifahan Ali Bin Abi Tholib. Secara kultural-histori, akar maupun cikal bakal munculnya benih radikalisme Islam dimulai ketika golongan yang dulunya pengikut Khalifah Ali, membangkang hingga memutuskan keluar dari barisan dan mendirikan kelompok sendiri. Kelompok ini dikenal dengan nama Khawarij. Doktrin khawarij memang sangat kaku dan tidak kenal toleransi, dasar yang dia gunakan adalah ayat Al-quran yang berbunyi “barang siapa yang tidak mengikuti
hukum
Allah,
maka
mereka
adalah
kafir”.
Kelompok
khawarij
menganggap Ali sudah keluar dari Islam. Karena menurut mereka, kebijaksanaan Ali tidak sepaham dengan pemikiran dan pemahaman kelompok khawarij. Model pemikiran dan semangat radikal khawarij bermetamorfosis sejalan dinamika maupun perubahan zaman. Ideologi radikal berkembang di tanah Arab, dengan setting sosial-politik berbeda. Artinya pemikiran dan aksi radikal tak lagi dibatasi doktrin maupun dogma agama ditafsirkan sepihak, tetapi radikalisme berkembang karena sejarah dan faktor lain di luar agama. Radikalisme lebih sering muncul saat menghadapi kebijakan politik penguasa dan kondisi sosial-budaya dipandang dapat mengancam penerapan ajaran Islam yang diyakini mutlak benar. Kaum radikal mengusung rasa wajib memperjuangkan keyakinan mereka itu sampai mati.[18[11]] 1)
Radikalisme di Indonesia Semangat kelompok khawarij seakan mengilhami aksi radikalisme di dunia, termasuk di Indonesia. Semangat itu mewarnai berbagai gerakan Islam di Timur 17[[10]]. Muhamad Ali,
op.cit, hal. 85
18[[11] ]. Bilvee Singh dan Abdul Munir Mulkhan, Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia (Jogjakarta:Jogja Bangkit Pubhliser, 2012) hal.101
Tengah diantaranya di Afghanistan ada Jamaludin Al-Afghani(1839-1897) dengan gagasan Pan Islamismenya, gerakan Wahabi di Hijaz, Jemaat Islami yang di dirikan Abu Alia Al-Maududi di Pakistan, Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan tokoh Sayyid Quthb. Dan gerakan NII pimpinan Kartosuwiryo di Indonesia, hingga berkembang seperti sekarang ini. Paham dan aksi radikalisme di Indonesia belakangan ini kembali marak. Serangan pemikiran hingga aksi bunuh diri menjadi bahasa dan ekspresi yang menunjukkan eksistensi mereka. Menurut para pengamat, Radikalisme di Indonesia merupakan sebuah gerakan neo-khawarij atau khawarij gaya baru, karena cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dengan dalih keagamaan untuk melegitimasi tindakan mereka. Radikalisme yang ada di Indonesia terlihat dari banyaknya aksi kekerasan yang mengatas namakan pembelaan agama. Radikalisme di Indonesia menurut sebagian ahli teolog ditengarai muncul karena sempitnya pemahaman akan Islam. Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Masdar Farid Mas'udi, menilai sempitnya pemahaman terhadap agama
Islam
merupakan
salah
satu
penyebab
radikalisme
di
Indonesia.
Tafsir keagamaan yang sempit dan memutlakkan pemahaman agamanya bisa menjadi
penyebab
radikalisme.
Mereka
akan
beranggapan
orang
yang
berseberangan paham dan keyakinannya adalah kafir, sehingga halal untuk dibunuh. Kelompok radikalisme lebih cenderung menggunakan kekerasan, dalam hal ini dapat ditemukan misalnya, ketika kelompok ini
melihat realitas sosial yang
penuh dengan kemaksiatan. Kelompok ini melegitimasi aksinya dengan alasan untuk menunaikan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Kelompok ini tidak jarang melakukan pemberantasan terhadap segala sesuatu yang berbau maksiat. Misalnya eksploitasi seksual dalam berbagai media, lokalisasi perzinahan, perjudian dan semua aktivitas munkaroh yang haru diberantas. Memang dalam situasi kritis, kelompok agama bisa mudah berpikir emosional dan gegabah. Klaim berlebihan tentang kebenaran absolut kelompok keagamaan yang dipeluk dan klaim kesesatan absolut kelompok–kelompok keagamaan yang lain bisa memunculkan sentimen permusuhan antara umat beragama dan antar kelompok. Penganjur–penganjur agama yang memiliki corak pemahaman teologis demikian dapat dengan mudah terbawa dan akhirnya memicu konflik dan kekerasan pada tingkat pengikut (folowers) ataupun masa (grass root). Pemahaman teologis
yang mutlak–mutlakan dan fanatik secara berlebihan
dapat saja berbahaya,
terutama pada kondis kritis.[19[12]] Aksi anarkis pada tanggal 1 Juni 2008 di Tugu Monas antara kelompok masa AKKBB (Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) versus kelompok massa dengan atribut FPI merupakan contoh gerakan radikalisme Islam di Indonesia. AKKBB melakukan aksi turun jalan mendemonstrasikan pembelaan mereka terhadap eksistensi aliran Ahmadiyah di Indonesia, karena menilai bahwa paham aliran Ahmadiyah di Indonesia adalah merupakan salah satu dari sekian wujud penafsiran terhadap Islam yang diyakini kebenarannya oleh pengikutnya, sehingga harus dihormati dan dilindungi
sebagai bentuk kebebasan dalam
beragama dan berkeyakinan. Sedangkan anggota FPI menilai sekte Ahmadiyah adalah aliran Islam yang berpaham sesat dan telah merusak Islam, sehingga eksistensinya harus di lenyapkan di Indonesia. Sungguh perbuatan FPI yang melakukan aksi kekerasan ini jauh dari ajaran Islam. Mereka menodai citra Islam sebagai agama yang cinta akan kedamaian. Tidak hanya itu, FPI juga melakukan serangkaian serangan kepada sekelompok aliran Ahmadiyah dibeberapa kota di Indonesia. Dengan segala arogansinya FPI merusak tempat peribadatan aliran Ahmadiyah, bahkan yang lebih ekstrem lagi adalah tindakannya yang memaksa aliran Ahmadiyah untuk keluar dari agama Islam. Hal ini jelas tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tidak hanya aksi anarkis FPI, kaum Sunni yang ada di Sampang Madura juga terlibat aksi anarkisme dengan aliran Syiah. Jelas ini menambah daftar panjang aksi radikalisme Islam di Indonesia. Tempat peribadatan dan rumah pengikut Syiah di Sampang dibakar, dan sudah sampai pada taraf jatuhnya korban jiwa. Dan ini tentunya merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Ketegasan dari Aparatur pemerintah jelas sangat dibutuhkan demi terciptanya suasana yang aman dan damai. D.
Islam Kultural dan Islam Struktural Di Indonesia yang merupakan negara yang dengan berbagai macam organisasi dan corak pemahaman tentang Islam tentunya mempunyai berbagai cara dan metode dalam mensyiarkan agama Islam. Dan tentunya keduanya semakin menambah kazanah dan keberagaman keislaman yang ada di Indonesia. Melalui kedua metode di atas tentunya bukan menjadi sebuah alasan umat Islam di 19[[12]]. Ibid, muhamad Ali hal.115
Indonesia untuk bercerai-berai. Karena sudah saatnya umat Islam di Indonesia menanggalkan segala perbedaan yang memicu terjadinya perpecahan umat Islam. Peran pemerintah mutlak diperlukan sebagai fungsi kontrol dalam membina ukhuwah islamiah yang tetap dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. a)
Islam Kultural Jauh sebelum agama Islam yang dibawa para pedagang Gujarat, Indonesia sudah banyak terdapat paham dan tradisi yang sudah berurat berakar. Hal ini terjadi karena paham dan tradisi masyarakat pada waktu itu sudah terpengaruh agama Hindu, Budha dan agama-agama primitif lainnya yang terlebih dahulu ada di bumi nusantara ini. Sehingga dalam prakteknya, Hukum yang ada dalam Al-quran dan Hadist banyak dipahami dan dipraktekkan tidak lepas dari paham atau ajaran yang sudah ada sebelumnya. Akibatnya, budaya atau kultur tersebut sangat mempengaruhi mereka dalam penghayatan dan pemahaman akan keislaman. Dari sinilah timbul istilah “Islam Kultural”. Islam Kultural adalah Islam sebagaimana terdapat dalam Al-quran dan Hadist. Namun pemahaman, penghayatan, dan prakteknya
dipengaruhi
oleh
latar
belakang
kebudayaan
orang
yang
memahaminya. Dalam agama Islam, meskipun antara agama dan budaya itu berbeda, namun keduanya saling mempengaruhi. Islam Kultural lebih mengarah pada tujuan dari suatu pengalaman agama, tidak mempersoalakan apa dan bagaimana tujuan itu dapat dicapai karena perbuatan adalah memohon berkah dan rahmat dari Allah. Di Indonesia mayoritas warga Nahdliyin cenderung menggunakan penghayatan yang dipengaruhi oleh budaya setempat. Contoh yang masih ada sampai sekarang adalah budaya tahlilan 7 hari, 40 hari dan mendhak (bahasa Jawa) yang menurut para ahli sejarah merupakan hasil perpaduan budaya Hindu dan Islam. Islam Kultural memberikan keanekaragaman dalam mengajak masyarakat untuk mencintai Islam dengan cara-cara yang tidak kaku dan menyesuaikan keadaan kebudayaan setempat sehingga Islam tidak lagi menjadi agama yang kaku, melainkan menjadi agama yang luwes. Kaku yang dimaksud adalah penyebaran yang tidak harus menggunakan metode atau cara yang dilakukan di negara Arab pada umumnya dalam mensyiarkan agama Islam. Salah satu problem keagaman dewasa ini adalah ketegangan antara agama dan kebudayaan. Sebagian kalangan cenderung menolak mentah-mentah apapun yang dianggap ‘bukan dari agama’, sehingga muncul gerakan purifikasi atau puritanisasi agama.Umumnya gerakan radikal agama berawal dari kecenderungan
ini. Sayangnya, gerakan purifikasi agama yang radikal cenderung mengambil jalan kekerasan dan tidak toleran terhadap sistem etika dan keagamaan di luar dirinya. [20[13]] Dalam hal ini kebudayaan menjadi sangat penting dalam rangka membangun toleransi. Toleransi tidak bisa diusung jika Islam hadir dengan wajah kaku tanpa adanya asimilasi dengan kebudayaan yang telah ada jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Dalam hal ini pemerintah juga harus bisa mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa kebudayaan yang ada ini merupakan sebuah bentuk kearifan lokal yang harus dihargai dan dilestarikan. b)
Islam Struktural Islam struktural merupakan salah satu metode dakwah dalam mensyiarkan agama Islam. Islam struktural bukan merupakan sebuah bentuk perlawan dari Islam kulktural. Metode struktural lebih menggunakan cara-cara yang terkoordinasi dengan baik dalam melakukan syiar Islam. Dakwah ini betul-betul serius dan intensif mengupayakan Islam menjadi bentuk dan mempengaruhi dasar negara. Kecenderungan dakwah ini sering mengambil bentuk dan masuk dalam kekuasaan, terlibat dalam proses eksekutif, yudikatif, dan legislatif serta bentuk-bentuk struktur sosial kenegaraan lainnya. Aktivitas dakwah Islam
struktural
lebih
sering
menggunakan
dan
memanfaatkan struktur sosial, politik ekonomi guna menjadikan Islam sebagai basis Ideologi negara, atau setidaknya memanfaatkan perangkat negara untuk mencapai tujuannya. Dalam bidang sosial misalnya, kelompok Islam yang anti barat cenderung enggan untuk
memanfaatkan fasilitas PMI (Palang Merah Indonesia),
karena mereka menganggap lambang PMI sangat cenderung pada simbol salib pada agama Kristen. Kelompok ini lebih memilih BSM (Bulan Sabit Merah) sebagai media untuk melakukan bantuan sosial. BSM oleh kelompok Islam struktural dianggap lebih mewakili media sosial yang berwajah Islam. Islam struktural walaupun cenderung
anti
barat
tetapi
didalam
pelaksanaannya tidak ada keinginan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Mereka hanya menginginkan agar agama dan negara tidak dapat dipisahkan atau diparsialkan sehingga agama dan negara dapat bersatu. Kemunculan Islam struktural pada masa sekarang cenderung dimotori
oleh anak-anak muda, atau
dalam hal ini adalah Mahasiswa. Pada mulanya mereka mengadakan halaqah20[[13] ]. Muhamad Ali, “Keberagaman Multikuluralis”, dalam Kompas, (Jakarta, 25 Oktober 2002), hal. VI
halaqah kajian keislaman yang kemudian berlanjut dengan keinginan mereka untuk masuk pada dunia perpolitikan. Tujuan mereka untuk masuk kedalam politik dikarenakan lemahnya penguasaan bidang hukum dari kalangan pendukung Islam politik itu sendiri. Mereka cenderung menguasai persoalan-persoalan administratif dan mobilisasi masa. Tujuan akhirnya adalah institusionalisasi politik Islam, yang dianggap sebagai jalan yang tepat memperbaiki sistem politik yang korup dan mengabaikan kepentingan Islam. Dengan masuk kedalam sistem perpolitikan diharapkan dapat memberikan perubahan yang berarti bagi agama Islami itu sendiri. Organisasi Muhammadiyah dan NU juga bisa digolongkan kedalam dakwah yang struktural, karena organisasi ini juga sangat mempengaruhi terhadap kemajuan bangsa ini. Organisasi ini banyak mengakomodir aktivitas-aktivitas keislaman yang melahirkan para cendekiawan yang pemikiran-pemikirannya sangat berguna untuk kemajuan agama Isam. Islam struktural hanya merupakan sebuah pengistilahan metode atau cara dakwah oleh sebagian atau sekelompok Islam yang ingin memasukkan sendi-sendi Islam di segala bidang. Baik menggunakan metode kultural atau secara struktural, metode-metode ini diharapkan membawa kemajuan yang positif bagi agama Islam. E.
Jihad dan terorisme Jihad dan terorisme merupakan dua kata yang sangat berbeda, keduanya selalu sangat berbeda, namun keduanya sering disalahartikan oleh sebagian kelompo Islam. Jihad dianggap terorisme dan terorisme pun dianggap jihad. Oleh karena itu, pemahaman akan keduanya sangat perlu di ketahui dalam rangka mencegah segala tindakan yang mengarah pada salah penafsiran mengenai dua hal tersebut. 1. Jihad Jihad secara etimologi berasak dari kata jahada yang berarti kesungguhan, kemampuan, kemampuan, kekuatan, dan keteguhan. Secara terminologi berarti memerangi orang-orang yang tidak dijamin keselamatannya oleh Islam dan orangorang yang memerangi umat Islam. Kata jihad menurut Ibnu Faris diambil dari kata jahd yang berarti letih atau sukar. Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan.
Ada
juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari kata jihd
yang berarti
kemamampuan.[21[14]] Pemahaman akan jihad dalam era kontemporer ini jelas sangat keliru dalam pemakaiannya. Pemahaman tentang jihad secara terminologis seringkali disalah pahami oleh pemakai istilah tersebut. Istilah jihad secara semantik mempunyai makna yang luas, mencakup semua usaha yang dilakukan dengan kesungguhan yang sangat untuk mendapatkan sesuatu atau menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak diinginkan. Sehingga jihad sebagai salah satu ajarn Islam dapat dipahami dengan benar, dan tidak hanya dimaknai dalam cakupan yang sempit atau dalam arti perang. Makna jihad yang diartikan hanya pada tataran perang jelas bertentangan dengan salah satu sabda Rosulullah yang secara eksplisit menyatakan bahwa jihad dimulai semenjak nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rosul. Hal ini jelas kontradiktif jika jihad hanya bermakna perang, karena waktu awal pengangkatan Rosulullah jelas makna jihad bukan berarti makna perang, melainkan lebih kepada pengendalian hawa nafsu. Azyumardi azra, menyitir tulisan Rudolph Peter yang mengutip tesis Al-Bana tentang jihad, dimana Al-Bana membagi kategorisasi jihad pada dua tataran, yakni:pertama, jihad yang bernuansa revolusioner sebagai metode yang absah untuk mencapai cita-cita Islam. Kedua, jihad yang secara
apologetik bertujuan
untuk membuktikan bahwa Islam bukanlah agama kekerasan dan perang. Al-Bana memberikan kritik terhadap pandangan yang mengartikan jihad sebagai perjuangan spiritual, yakni bahwa perjuangan melawan hawa nafsu lebih utama dibandingkan dengan perjuangan melawan musuh-musuh Islam. Menurut Al-Bana, pemaknaan jihad yang demikian tidak saja didasarkan pada hadist yang tidak otentik, namun oleh para musuh Islam lebih dimaksudkan untuk memperlemah daya semangat kaum muslimin dari berjuang melawan penjajahan.[ 22[15]] Satu ciri keunikan Islam adalah bahwa semua kelompok yang sangat berbeda sekalipun masing-masing tidak pernah lari dari rujukan
sumber ajaran
Islam (Al-quran dan Hadist). Ada sebagian kelompok Islam yang memaknai jihad sebagai perbuatan untuk melawan barat terutama Amerika yang begitu arogan 21[[14] ]. H.Hasbiyallah, M.Ag., Masail Fiqhiyah
(Jakarta:Dirjen Pendidikan Islam Depag Republik Indonesia, 2009)
hal.307
22[[15] ]. Azyumardi Azra, “Jihad dan Terorisme:Konsep dan Perkembangan Historis”, Islamika ( NO. 4, April 1994) hal 80-81
melakukan kekerasan kepada sebagian umat Islam. Dengan konsep jihad yang telah mereka maknai sebagai perang, maka dengan segala upaya kelompok ini mencoba melakukan perlawanan, baik dalam bentuk aksi bom bunuh diri maupun aksi terorisme. Tidak sulit menemukan ayat-ayat provokatif yang ada dalam Al-quran yang seakan-akan melegitimasi gerakan-gerakan yang melawan musuh Islam, misalnya adalah (Q.S AL-BAQARAH;120). Hukum jihad sendiri menurut mayoritas ulama adalah fardhu kifayah, yang berarti jika sebagian dari kaum muslimin sudah menegakkannya maka gugur kewajiban ini. Sebagian ulama yang lain menghukumi jihad sebagai fardhu a’in 1.
apabila terjadi tiga kondisi berikut: Apabila dua pasukan sudah saling berhadapan, diharamkan bagi setiap yang ada dalam kondisi seperti itu untuk melarikan diri dan wajib a’in bgi setiap mereka
untuk tetap ditempat itu 2. Apabila orang-orang kafir telah menduduki suatu negeri maka wajib A’in bagi setiap penduduknya untuk memerangi dan mengusir mereka 3. Apabila hakim telah memerintahkan sekelompok orang, maka wajib bagi setiap mereka untuk berangkat bersamanya.[23[16]] Para ulama berpendapat bahwa jihad tidak selamanya menggunakan senjata (jihad qitaliy) tetapi ia bisa menggunakan hati, lisan atau harta dengan tetap berniat meninggikan kalimat Allah swt. Jihad adalah sesuatu yang harus dilakukan karena jihad memiliki tujuan utama yaitu mengembalikan manusia kepada pokok pangkalnya, fitrah yang hanif yaitu yang mengharuskan mereka tunduk dan patuh kepada Allah swt. Disamping itu juga untuk menghilangkan fitnah terhadap kaum muslimin, melindungi wilayah Islam dari serbuan orang-orang kafir dan membunuh mereka yang melanggar perjanjian. Seperti perjuangan masyarakat Palestina melawan zionis Israel. 2 . Terorisme Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan untuk melahirkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Terorisme merupakan gejala yang timbul karena ketidakpuasan sebagian dari kelompok Islam melihat kondisi umat Islam yang diberlakukan tidak semena-mena oleh musuh-musuh Islam. Dengan ketidakpuasan inilah mereka melakukan serangkaian teror dan aksi bom bunuh diri kepada mereka yang dianggap antek-antek kafir. Kegiatan terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok, 23[[16] ]Ibid, H. Hasbiyallah, M.ag. Hal.309
atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psychologis untuk mencipatakan suasana panik, tidak tidak mementu serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah memaksa masayarakat untuk tunduk atau mentaati kehendak pelaku teror.[24[17]] Aksi terorisme yang kian marak di Indonesia memang sudah sampai pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Terorisme menjadi momok yang sangat mengancam kedaulatan bangsa Indonesia dan menimbulkan citra buruk bagi agama Islam. Kelompok ini benar telah menganggap orang-orang yang tidak sepaham dengan dia adalah kafir dan harus diperangi. Adanya terorisme dalam kontek nasional menurut Zuhairi Misrawi timbul karena adanya hal-hal sebagai berikut; [25[18]] Pertama, ambisi kekuasaan. Dalam banyak pengalaman, terorisme atau kekerasan biasnya muncul dalam sebuah masyarakat yang memahami kekuasaan sebagai perebutan hidup-mati serta sempitnya wawasan kebangsaan kita. Kedua, munculnya terorisme juga dikaitkan dengan ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi. Bertambahnya jumlah pengangguran, meminjam istilah Todung Mulya Lubis munculnya “disintegrasi sosial” akan membentuk sebuah kenekatan-kenekatan yang bermetamorfosa bagi terciptanya terorisme. Seorang warga negara tidak hadir sebagai “warga”, tetapi hadir sebagai “pribadi yang hampa”. Di sinilah nasionalisme akah dikalahkan terorisme. Penghargaan terhadap lain dan apresiasi terhadap kehidupan yang damai akan lenyap dalam pikiran warga yang hampa tadi. Karena itu terorisme bisa dipahami sebagai kegagalan dalam mendesain konsep kewarganegaraan. Selama ini, warga negara tidak hadir secara utuh. Seorang warga hanya dihadirkan dengan sejumlah kewajiban, tetapi hak mereka untuk hidup secara layak cenderung diabaikan para elite kita. Di sini, nasionalisme sejatinya dapat menyentuh kesejaheraan. Ketiga, munculnya terorisme juga bisa dianalisis dari ketidakmampuan kita untuk melahirkan alternatif pandangan yang lebih mengakomodasi pluralitas, keadaban dan kemanusiaan. Dalam banyak hal, kita masih menemui cara pandang keagamaan yang hanya berhenti pada tataran “saya” dan “aku”. Gejala disintegrai 24[[17]]. Loeby Lukman, Analisis Hukum dan Perundang-undangan kejahatan terhadap Keamanan Negara Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1997) hal. 98
25{[18]}
Zuhairi Misrawi “Terorisme dan “Lack of Nasionalism”
”
dalam Kompas, (Jakarta, 7 Agustus 2003) hal. X
dan formalisasi syariat yang berkembang belakangan ini secara diam-diam ingin menampilkan egoisme dan keakuan. Padahal, sebagai bangsa yang dibangun di atas kebhinekaan, kita mesti melihat keberagaman sebagai rahmat Tuhan yang mesti diakomodasi dan diperkaya menjadi perekat bersama. Aksi Terorisme biasanya dilakukan dengan cara melakukan aksi bunuh diri. Aksi bunuh diri dianggap mereka sebagai sebuah pelabelan mati syahid. Hal ini jelas tidak dibenarkan dalam agama Islam. Bom bunuh diri jelas merupakan perbuatan yang dikutuk Allah swt dan diluar ajaran Islam. Sebab bom bunuh diri mengakibatkan pada kemudharatan daripada membawa kemaslahatan. Bom bunuh diri telah menyebabkan anak- anak, kalangan perempuan dan orang tua kehilangan nyawa. Padahal dalam pandangan Islam tidak diperbolehkan membunuh orangorang lemah seperti anak kecil, perempuan dan orang yang terluka. Aksi terorisme di Indonesia jika diamati terlihat banyak kejanggalan. Aksi teroris di Indonesia menurut hemat penulis terlihat membingungkan, lucu dan menggelikan.
Sudah
saatnya
negara
dan
agama
saling
bahu
membahu
memberantas tindakan terorisme. Ketidaktegasan pemerintah dalam menindak pelaku terorisme merupakan momok yang harus diperhatikan. Dialog intern umat beragama mutlak harus diadakan untuk tetap menjaga Ukhuwah Islamiyah. Pendekatan militeristik terhadap terorisme dipelbagai negara sejauh ini belum bisa di katakan berhasil. Pendekatan itu berhasil dalam hal menangkap pelaku yang terlibat langsung atau diduga sebagai dalang terorisme. Tetapi soal d ideologi dan gagasan besar tentang terorisme tentu tidak mudah dihancurkan. Ideologi terorisme senantiasa hidup, bahkan tumbuh subur di tengah gejolak politik global yang tidak adil dan kondisi obyektif sosial ekonomi yang kian karut-marut.[26[19]] Pemerintah sudah saatnya serius menangani terorisme yang benar-benar mengancam kerukunan dan kedamaian umat Islam. Yang amat mengecewakan, perhatian pemerintah terhadap terorisme hanya sekedar isapan jempol. Seperti biasanya, bila terjadi aksi terorisme pelbagai elite politik hanya mengecam dan mengutuk. Hanya sekedar retorika politik. Dalam praktiknya, pemerintah tidak mempunyai kebijakan yang mujarab untuk keluar dari hantu terorisme.
26[[19]]
Ibid , Zuhairi Misrawi, hal. 74
III.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah bahwa dinamika Islam yang kontemporer ini
telah
melahirkan
gerakan
Islam yang liberal,
fundamental dan dan radikal. Masing-masing dari gerakan ini mempunyai pola pikir dan karakteristik yang berbeda-beda. Gerakan liberalisme yang cenderung menggunakan akal untuk melakukan interprestasi terhadap Al-quran. Gerakan liberalisme lebih banyak mengakomodir dan memihak pada kaum minoritas Islam. JIL yang merupakan penggagas gerakan liberal
pun dianggap sesat oleh sebagian kelompok Islam. Berbanding terbalik
dengan gerakan liberalisme, gerakan fundamentalisme lebih menginginkan kepada adanya pemurnian terhadap agama Islam. Tetapi gerakan fundamen tidak segansegan melakukan aksi kekerasan jika terdapat sebuah indikasi perbuatan yang dianggap menyimpang dari norma agama. Tidak jauh berbeda dengan fundamen yang sering melakukan kekerasan, gerakan radikalisme juga melegitimasi gerakan mereka dengan dalih pembelaan terhadap agama. Terlepas dari semua gerakan itu, juga muncul sebuah pemahaman dan penghayatan akan Islam. Salah satunya adalah munculnya sebutan Islam kultural dan Islam Stuktural. Islam kultural lebih mengedepankan budaya sebagai media untuk melakukan ritual keagaman, sedangkan Islam struktural lebih memilih jalur yang sudah struktur dengan baik, salah satunya adalah dengan memilih jalur politik dalam melakukan syiar Islam. Pemahaman akan sebuah makna jihad di era kontemporer ini juga mengalami makna distorsi yang mengkhawatirkan. Jihad dimaknai dengan aksi peperangan dan aksi bom bunuh diri. Mereka menganggap semua ini sebagai
bentuk pelabelan mati syahid. Jelas perbuatan tidak pernah diajarkan oleh agama Islam.
Gerakan jihad berubah menjadi aksi terorisme. Gerakan terorisme jelas
menciderai agama Islam dan mengancam kedaulatan bangsa Indonesia.
IV.
PENUTUP
Demikian makalah dari kami, semoga bisa memberikan sedikit gambaran dan pengetahuan tentang fenomena keislaman di era kontemporer ini. Dan semoga makalah ini bisa menimbulkan rasa kecintaan kepada agama Islam, dan kecintaan kepada bangsa Indonesia. Makalah ini memang masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapakan demi sempurnanya makalah ini.
V.
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abdul, Dari Neomodermisme ke Islam liberal, Jakarta: Paramadina, 2003. Ali, Muhamad, TEOLOGI PLURALIS-MULTIKULTURAL: menghargai kemajemukan menjalin kebersamaan, Jakarta: Buku Kompas, 2003. ---------------------, “Keberagaman Multikulturalis”. Dalam Kompas, 25 Oktober 2002.
Al-jawi, Shidiq, ”Akar Sejarah Pemikiran Islam Yang Menyesatkan “ dalam http://iskud.wordpress.com, diakses 15 November 2012 Azra, Azyumardi,.”Jihad dan Terorisme: Konsep dan Perkembangan Historis “ dalam Islamika (NO. 4, April 1994). Hasbiyallah, Masail Fiqhiyah. Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam Depag Republik Indonesia, 2009. Kasdi, Abdurrahmn, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana dan Politisasi Agama” dalam Taswirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan , Edisi No. 13. Jakarta: LAKPESDAM, 2002. Lukman, Loeby, Analisis Hukum dan Perundang-undangan kejahatan terhadap Keamanan Negara Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 1997. Misrawi, Zuhairi, PANDANGAN ISLAM MODERAT: Toleransi, Terorisme, dan OASE Perdamaian, Jakarta: Buku Kompas, 2010. ---------------------, “Terorisme dan ‘Lack of Nasionalism’ ”, dalam Kompas, 07 Agustus 2003. Rahman, “Pengertian Liberalisme” dalam http://www.itsfetriyannorrahman.co.cce.html, diakses 03 November 2012. Singh, Bilvee dan Abdul Munir Mulkhan, Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia, Jogjakarta: Jogja Bangkit Pubhliser, 2012. “Tentang Islam Liberal” dalam http://Islamlib.com. Diakses tanggal 13 November 2012.
Abdul qonik, http://seratanabqon.blogspot.com/2012/12/dinamika-islama-kontemporer.html