TUGAS PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN CBR BUKU PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN PASAL 9 POLITIK
OLEH: DAME PERONIKA SILABAN (5143122008)
DOSEN PENGAMPU : Dra. CHANDRA MANIK,M.Th
FAKULTAS TEKNIK JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF UNIMED 2018/2019
KATA PENGANTAR
Di zaman era global global ini, kata ‘politik’ dan ‘hukum’ sudah bukan kata yang jarang didengar oleh masyarakat luas. Apalagi di masa reformasi yang semakin menunjukkan banyak sekali terjadi penyimpangan dalam bidang politik dan hukum. Jadi tidaklah mengherankan apabila banyak hal yang terjadi di dunia ini dihubungkan dengan politik dan hukum. Ada begitu banyak respon dan tanggapan dari berbagai kalangan yang berbeda, termasuk menurut agama Kristen. Dalam CBR ini kami menguraikan dan membandingkan buku utamadengan buku pembanding tentang politik, hukum, h ukum, pandangan Alkitab dan iman Kristen terhadap hal tersebut, aplikasinya, dan segala yang berhubungan dengan politik dan hukum menurut iman Kristen. Kami mengharapkan ada suatu pelajaran yang bisa dipetik dari CBR ini dan setiap dari kita bisa mengaplikasikannya dalam hidup sehari-hari. Kami mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian CBR ini. Kami menyadari dalam penyusunan CBR ini ada begitu banyak kekurangan sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikannya lebih baik lagi.
Penulis Dame Peronika Silaban
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
Cukup banyak orang Kristen, termasuk mahasiswa Kristen, yang takut atau antipati terhadap politik. Hal ini terjadi akibat imej negatif dari politik yang dianggap tempat iblis atau setan bermain. Adanya konsep pemikiran seperti ini timbul karena mereka tidak memahami esensi dan makna politik dengan benar. Sebab mau tidak mau masyarakat, khususnya umat Kristen, pasti dihadapkan dengan masalah politik dan hukum. Semakin banyak peran dan pengaruh gereja dalam politik dan hukum diharapkan semakin menunjukkan citra Kristus yang ada dalam setiap jemaat-Nya. Karena kita diciptakan untuk menjadi kepala dan bukan ekor, serta manusia telah diberikan kuasa untuk menaklukan dunia, meruntuhkan tembok yang berabad-abad telah memisahkan kekristenan dengan dunia luar sehingga bisa membawa pembaharuan di negeri yang dipilih Tuhan untuk kita berdiam.
1.1 Tujuan Penulisan CBR - Mengetahui sebesar apa kita dalam menyimak buku yang kita baca - Mengetahui rencana anggaran biaya - Mengetahui menghitung volume pekerjaan dan - Mengetahui harga satuan pekerjaan - Mengetahui dan memahami bagaimana cara menyusun buku yang baik dan benar - Mengkritik/ membandingkan satu topik materi kuliah Manajemen Sekolah dalam dua buku yang berbeda. 1.3 Manfaat CBR Manfaat CBR adalah memberikan informasi atau pemahaman yang komprehensif tentang apa yang tampak dan terungkap dalah sebuah buku yang mengajak pembaca untuk memikirkan, merenungkan dan mendiskusikan lebih jauh mengenai masalah yang muncul dalam sebuah buku.
BAB II RINGKASAN ISI BUKU
2.1.Identitas Buku 1. Judul Buku 1 Edisi 2 Penulis 3 Penerbit 4 Tahun terbit 5 Kota Terbit 6 ISBN
: Pendidika Agama Kristen (Buku Utama) : Pertama (I) : Pdt. Dr. Sampitmo Habeahan, M.Th, M.Pd. dkk : CV. Permata Mitra Sari : 2017 : Medan : 978-602-1516-14-0
2.2.Ringkasan Isi Buku Bab 9
C. Uraian Substansi Kajian 1. Pendahuluan Sebagaiamana telah diterangkan dalam daftar istilah kunci “politik” dapat diartikan. Segala rencana serta usaha yang dilakukan untuk memelihara dan mengelola Negara supaya warganya dapat merasakan hidup yang baik dan sejahtera. Pada satu pihak timbulah kelajiman yang menggunakan istilah bahwa politik itu adalah ilmu pemerintahan Negara. Ilmu politik itu disaring dan di peroleh dari praktek pemerintahan Negara yang disusun secara sistematis, teratur dan menyeluruh. Politik dalam konteks sebagai praktek dan sebagai kesenian memunculkan berbagai pendefenisisian tentang politik itu sendiri yang didalamnya terdapat berbagai unsure yang terdapat dalamkehidupan bermasyarakat. Unsur-unsur itu adalah : 1). Unsure Kepentingan. Dalam politik masing masing manusia ingin merebut posisi yang menguntungkan. Golongan atau kelompok yang sudah mendapatkan posisi yang baik akan berusaha untuk mempertahankanya, dan sebaliknya golongan yang belum mendapatkan posisi yang diinginkan akan berusaha dengan segala cara agar posisi yang diinginkan itu dapat di peroleh. 2). Dalam politik senantiasa tersisip elemen ilmu dan pengetahuan. Barang siapa ingin masuk kedalam dunia politik maka dia harus memperlengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan tertentu. 3). Di dalam politik setiap orang, harus memiliki kecakapan untuk memperoleh dan memakai kekuasaan yang ada dengan cara apapun. Dengan mempedomani unsure unsure tersebut maka praktek dan pemahaman tentang politik cenderung kacau dan lari dari makna yang sebenarnya berakibat pada adanya anggapan bahwa
apabila sudah memiliki kekuasaan dalamjabatan politik maka dia akan merasa untuk bebas berbuat dengan sesuka hatinya tanpa memperhatikan kepentingan orang banyak (masyarakat) secara luas.
3. Kontribusi Agama Dalam Kehidupan Politik Sesuai dengan kejadian 1:28, Tuhan Allah member mandat kepada manusia itu untuk memenuhi, menaklukkan dan menguasai bumi beserta isinya. Pemahaman terhadap hakekat mandat itu juga tidak terlepas dalam bidang politik. Artinya, dalam rangka untukl kesejahteraan kehidupan manusia, maka setiap orang harus bekerja dan berbuat termaksud dalam dunia politik agar kesejahteraan masyarakat itu dapat terealisasi sesuai dengan defenisi politik yang sebenarnya. Politik adalah sebagai realitas hidup. Tuhan Yesus lahir dan bekarya dalam realitas politik dan Dia juga mengajarkan untuk terlibat dalam politik tersebut. Keterlibatan Yesus dalam hal politik yang sekaligus menjadi acuan dalam iman Kristen untuk terlibat dalam hal yang bersifat politik itu adalah: a. Dialog, Yesus Dengan Kalangan Farisi Dan Herodian Kitab Markus 12:13-17; Matius 22:15-22; Lukas 20:22-26, adalah merupakan acuan untuk melihat hubungan Yesus dengan politik. Yesus berbicara tentang “ memberikan kepada kaisar”. Jawaban Yesus terhadap dialog tersebut akan menjadi petunjuk bagi setiap orang untuk tidak alergi terhadap politik. b. Missi Tuhan Yesus Lukas 4:16-19 menjelaskan kepada kita bahwa missi Tuhan Yesus dinyatakan yaitu untuk menyampaikan kabar baik (evanggelium) tentang keselamtan manusia. Dan yang tercakup dalam evanggelium itu adalah : kepedulian terhadap orang orang miskin, pembebasan orang orang tawanan, penglihatan kepada orang orang buta, pertolongan kepada orang -orang terlindas. c. Tugas Kristen Dalam Dunia Politik Tugas dan hakekat orang Kristen dalam hal berhubungan dengan politik dapat dirumuskan sebagai berikut : 1) Menggarami Dan Menerangi Dunia Tuhan Yesus member tugas kepada orang-orang percaya sebagai “garam dan terang dunia “. Fungsi sebagai garam, berarti setiap orang Kristen harus mampu memberikan rasa enak, kehidupan yang nyaman bagi dunia sekitarnya, harus berani bersuara, berbuat dan bertindak untuk m,encegah berbagai macam kuman (penyakit) yang menggerogoti kesejahteraan kehidupan manusia seperti: korupsi, judi, narkoba dan penyelewengan-penyelewengan lainnya.
2) Taat Terhadap Pemerintah Sesuai dengan Roma 13:1-7, setiap orang disnjurkan supaya taat kepada pemerintah kerena setiap pemerintah yang ada berasal dari Tuhan dan ditetapkan oleh Tuhan. Wujud ketaatan yang harus dilakukan oleh orang Kristen adalah: mendukung pemerintah secara positif (sepaqnjang pemerintah itu masih menjalankan funsi social control melalui cara cara yang konstitusional, jalur akademis dan ilmiah, mendoakan Pemerintah, hormat dan taat terhadap pemerintah beserta aparatnya, mematuhi dan melaksanakan hokum yang dibuat oleh pemerintah. 3) Peranan Agama Mewujudkan Persatuan/Kesatuan Bangsa a) Menciptakan Keadaan Hidup Sosial Politik Yang Damai Setiap orang dan warga Negara mengemban kewajiban dan mempunyai hak untuk turut menentukan, keadaan kehidupan social politik yang aman dan tentram, karena warga Negara adalah bagian yang sangat integral dari pemerintahan itu sendiri. Tanggung jawab social politik pada hakikatnya merupakan keterlibatan dalam memperjuangkan terwujudnya keadaan dan kehidupan social politik berdasarkan tujuan-tujuan yang ingin dimiliki, yang telah disepakati dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanggung jawab social politik akan terlaksana dengan baik apabila didasari dan di bekali dengan pemahaman yang benar terhadapa konsep dan kehidupan social politik yang ingin diwujudkan itu. b) Menanamkan Rasa Persaudaraan Antara Sesama Manusia diciptakan Allah sesuai dengan martabat dan hak-hak yang sama dan sudah melekat pada diri manusia itu sendiri. Hak-hak itu adalah hak azasi manusia. Manusia ditugaskan oleh Allah untuk menatalayani alam semesta ini beseerta isinya, agar tercipta masyarakat yang damai sejaahtera dengan lingkungan hidup yang indah dan lestari. Allah mengaisihi semua manusia, dan mengajarkan manusia itu untuk saling mengasihi. Sebagai bangsa yang hidup dan berada diantara berbagai suku yang berbeda, sangat di mungkinkan timbulnya berbagai gejolak dan permaslahan yang dapat mengganggu ketentaramana bersama, tetapi konflik yang timbul akan dengan segera bisa di selesaikan apabila rasa persaudaraan di anatara sesamatelah terwujud dan terlaksana dengan bai. Dalam hal inilah agama sangat berperan mengajarkan nilai-nilai moral kepada para penganutnya agar tidak cepat teropokasi yang bisa menimbulkan polemik ditengah-tengah masyarakat sehingga dapat menciptakan terganggunya persatuan dan kesatuan bangsa.
c) Tidak Mempolitisasi Agama Politisasi agama agama adalah agama diperalat untuktujuan politik. Hal itu biasanya selalu di pakai dengan memperalat ayat-ayat kitab suci yang ada dalam agama tersebut. Sebagian oorang merasa bahwa dengan memakai cara seperti itu akan menjadi sebuah alat pemungkas untuk dapat meraih dan mempengaruhi minat seseorang untuk memilih orang atau partai politik tertentu.
d) Tidak Eksklusif Tetapi Inklusif (Yoh 3:16) Pemimpin agama harus berfikir inklusif bukan Eksklusif . Tidak berfikir sectarian, kesukuan, kedaerahan dan golongan. Kasih itu bukan hanya bertujuan untuk melayani satu agama, satu Negara tetapi semua manusia secara keseluruhan. Keputusan yang mempergunakan simbol-simbol keagamaan dan mengatas-namakan agama tetapi motivasinya justru bertentangan dengan nilai nilai luhur dari agama itu sendiri akan menghilangkan wibawa agama tersebut. Para penganut agama dan pemimpin agama harus mampu memberi “ suara nabiah, imani, Rajani” agar proses pelaksanaan pembangunan yang berkesinambungan dapat terlaksana dengan baik dan benar, serta persatuan dan kesatuan seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud dengan baik dan sempurna .
2.3. Identitas Buku Pembanding Judul Buku : Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum Edisi Penulis Penerb Tahun terbit Kota Terbit
: Pertama (I) : Risnawaty Sinulingga,dkk : Pustaka Bangsa Press : 2006 : Medan
2.4.Ringkasan Isi Buku Pembanding PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP POLITIK A. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP POLITIK 1. Pengertian Politik
Dilihat dari sisi etimologisnya, kata ‘politik’ berasal dari kata Yunani, yaitu Po’lis yang diartikan sebagai kota (city). Dalam perkembangan berikutnya, kota-kota memperluas diri atau menyatukan diri dan kemudian disebut negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa tentang pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk bentuk organisasi, lembaga-lembaga dan tujuannya (William Ebenstein; Political Science, 1972. p.309). Dalam bentuk yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan publik (Joice &William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969. p. 4). Banyak pendapat masyarakat mengenai definisi politik. Di antaranya yaitu menyatakan politik adalah proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat bagi masyarakat/proses alokasi dan distribusi inti proses politik adalah : Keputusan yang mengikat masyarakat, melibatkan sejumlah ketentuan-ketentuan politik (partai politik, kelompok, kepentingan, dan sebagainya) untuk kepentingan dan kebaikan bersama. 2. Keterlibatan Lembaga-lembaga Masyarakat dalam Politik
Lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok kepentingan, (termasuk lembaga keagamaan) merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang ada itu dapat mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di tengah-tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut.
Keterlibatan politik secara kritis (critical engagement ) dari lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat akan menjadi sarana dan alat yang sangat efektif untuk mengontrol segala tingkah pongah penguasa dan dengan itu batas-batas etis kekuasaan yang layak tetap terjaga. Upaya-upaya melakukan kritik, menekan pemerintah dan melakukan kontrol, jika dilakukan secara berkesinambungan dan terhormat, tentu saja akan membiasakan suatu bangsa atau negara hidup dalam keseimbangan yang terukur. Juga, pemerintah akan dididik untuk tunduk pada yang seharusnya. Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir kebiasaan-kebiasaan positif yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik yang terbuka serta mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Namun, satu hal yang harus disadari adalah bahwa semua itu tidak akan berjalan dan tercapai dengan sendirinya. Sangat diperlukan proses yang terus-menerus untuk membuka kesadaran bersama dalam pengelolaan politik. Salah satu poin yang terpenting dalam hal itu adalah persoalan perspektif pilihan sadar dan sengaja dari tiap insan politik alias manusia itu sendiri yang sejatinya merupakan m ahluk politik. 3. Konsep Alkitab terhadap Politik
Menurut Alkitab, politik adalah suatu upaya dan proses sadar untuk memahami dan memaknai realitas politik dari cara pandang dan pola pikir Alkitab. Pertanyaan kuncinya jelas: apa kata Alkitab terhadap politik? Bagaimana konsepsi dan sistem politik yang sesungguhnya dikandung Alkitab? Bagaimana penerjemahannya secara tepat ke dalam realitas? Atau lebih pas: bagaimana konsep atau doktrin politik itu mengalami ‘pemanusiaan’ dan ‘penduniaan’?. Berangkat dari pertanyaan itulah penjelajahan menyangkut konsepsi politik Alkitab dilakukan. 3.1.Politik Kesejahteraan
Perkatan politik (city) muncul dengan tegas dalam Yeremia(29:7): And seek the peace of the city … and pray to the Lord for it ( city :red); for in its ( city: red.) peace you will have peace. (Holy Bibel: Gideon International, 1980). Mencari atau mengupayakan kesejahteraan kota (politik), jelas merupakan amanat Alkitab pada umat Tuhan. Dengan demikian, penataan politik tidak bisa dilepaskan dari urusan Tuhan di segala tempat, ruang dan waktu.
Amanat atau perintah Alkitab untuk berpolitik bagi umat di dalam kitab Yeremia itu, tidak serta merta diikuti dengan suatu bentuk atau sistem, apalagi yang menyangkut prosedur dan mekanisme penataan politik yang detail. Pertanyaan penting muncul: Apakah Alkitab memberi konsep kosong atau memberi keleluasaan kepada umat terutama para pemimpinnya? Tampaknya, jawaban yang ‘imaniah’ adalah: keleluasaan. Alkitab tidak memberikan suatu paku mati, konsep baku dan menyeluruh menyangkut upaya perealisasian dari politik itu. Formula politik itu tidak menjadi urusan Alkitab, tetapi menjadi suatu keharusan yang dirumuskan umat Tuhan. Alkitab hanya memberikan suatu konsepsi yang sangat fundamental: to seek peace (mengupayakan kesejahteraan politik). Kepada umat Tuhan, Alkitab memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk merumuskan suatu formula politik, baik itu menyangkut dasar dan sistem politik, bentuk, prosedur dan mekanisme pemerintahan. Alkitab hanya memberi satu tekanan dan kepastian: kesejahteraan. 3.2.Realitas dan Pemaknaan Teokrasi 3.2.1. Regnum Sacerdotale, Sacerdotal Kingdom
Merujuk kepada naskah yang lebih muda di Alkitab, kisah penciptaan memberikan suatu konsepsi menyangkut citra dan peran manusia di dalam proses dan realitas politik. Pencitraan manusia sebagai imago dei (Kej. 1:28) merupakan konsepsi politik Alkitab untuk menjelaskan hubungannya dengan semesta alam. Demikian juga pemberian kuasa dan mandat bagi manusia untuk menata dan mengelola alam, sangat jelas sifat politisnya. Suatu bentuk dan ciri politik dinyatakan kepada Musa. ‘ Engkau akan menjadi kerajaan imamat d an bangsa yang kudus…’ (Kel 19:6). Di sini jelas ada suatu progres dari pengelolaan politik yang disampaikan kepada bangsa Israel. Pernyataan Tuhan kepada Musa mengenai penataan politik itu tidak dapat dilepaskan dari proses awal eksodus yang dialami bangsa Israel. Mereka hidup dalam situasi ‘tohu wavohu’ , (campur baur dan kosong) dalam arti politik. Status budak yang melepaskan diri melalui perlawanan, digiring menuju tanah perjanjian yang bagi sebagian besar kaum awamnya tidak jelas kapan tibanya. Paling tidak kita dapat menangkap tiga hal dari teks kerajaan imamat itu, yakni: a) bentuk politik itu adalah kerajaan; b) ciri dari kerajaan itu adalah imamat dan memiliki ciri dan jati diri tersendiri. Artinya kerajaan yang harus berbeda (kudus) dari segala kerajaan atau bentuk politik yang lain di dunia ini; c) istilah kerajaan imamat dari perspektif politik pasti membawa kita pada pemikiran bahwa penguasa politik atau pemimpin pemerintahan adalah para orang kudus yang disebut Imam. Sumber kader kepemimpinan atau penguasa politik sudah
jelas: para imam. Inilah yang disebut regnum sacerdotale atau sacerdotal Kingdom. Undang-Undang Dasar dalam bentuknya yang sangat embrional diberikan kepada bangsa yang secara politik belum memiliki wilayah itu. Dasar titah dapat dilihat pada dua bagian, Kel. 20:1-17 dan Ul. 5:6-21. Untuk yang lebih praktis dalam pengaturan kebutuhan keseharian pada masa itu (semacam penjabaran dari UUD) diberikan hukum ringkas berupa ritual decalog dan ethical decalog (Kel. 34:12-16). Termasuk kewajiban memperingati hari bersejarah secara ritual (34:18). Realitas politik yang berangkat dan mengacu dari penelusuran Alkitab di atas, sangat dipahami, bahkan diyakini sebagai teokrasi (pemerintahan Tuhan). Kenyataan yang demikian dapat menggiring kita kepada kesimpulan bahwa kelihatannya Alkitab tidak memberi penjelasan mengenai suatu bentuk pemerintahan. Rumusan atau penjelasan yang tiba kepada kita adalah: Tuhan menjadi penguasa tunggal dan manusia berada dalam naungan kedaulatanNya. 3.2.2. Ketegangan Pengangkatan Melekh (Raja)
Israel sebagai komunitas pilihan Tuhan, pada tahap yang sangat awal kelihatannya baru mulai belajar untuk membentuk diri menjadi identitas politik. Tatanan sosialnya sebagai suatu bangsa, belum memiliki kesanggupan untuk menjadi perangkat politik. Suku-suku yang ada, hanya diikat dan terikat pada satu keyakinan terhadap Yahwe yang membebaskan mereka dari penindasan Mesir. Dari tinjauan politik, keterikatan tersebut jelas sangat longgar. Namun, berangkat dari fondasi satu-satunya itu, yakni keyakinan pada Yahwe tersebut, suku-suku Israel terbentuk atau membentuk diri menjadi aliansi politik. Liga suku-suku itulah yang kemudian menjadi konfederasi Israel. Keterikatan politik yang didasari keyakinan agamiah itu yang menjadikan para Imam sebagai pemimpinnya, disadari atau tidak menjadi satu perangkat politik dalam tatanan sosial keagamaan Israel. Gerakan bagi adanya seorang raja manusia (melekh) mulai muncul. Gerakan ini, tanpa disadari merupakan suatu perlawanan terhadap tradisi pewarisan turuntemurun berdasarkan garis darah dalam kepemimpinan selama ini, terutama untuk imam (dari garis suku Lewi). Dua anak Samuel, Yoel dan Abia, yang diangkat Samuel menjadi hakim di Bersyeba, digugat para tetua Israel (1 Sam: 8:4). Kualitas moral kedua anak Samuel menjadi dasar dari gugatan para tetua itu: ‘mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan’ (1.Sam 8:3).
Kelompok Imam dan kaum konservatif dengan keras menolak aspirasi gerakan ‘melekh’ tersebut. Hal itu sangat jelas tercermin dalam pernyataan Samuel dengan mengangkat dasar legitimasi tertinggi konfederasi Israel sendiri, yakni: Yahwe.“sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah (Yahwe: red) yang mereka tolak, supaya jangan Aku (Yahwe: red) menjadi raja atas mereka.’ (1 Sam. 8:7 b). Dengan kemenangan gerakan ‘melekh’, konsekuensi politisnya adalah dekonstruksi doktrinal atau ‘amandemen UUD’. Itu berarti, pemaknaan dan perumusan menyangkut kerajaan Allah atau teokrasi mengalami perubahan. Dasar hukum dari pengadaan dan pengangkatan “melekh’ harus ditetapkan. Persoalan mengenai ketertautan Yahwe dengan Israel atas adanya seorang raja, mau tidak harus dirumuskan. Saul dari keluarga Matri, kaum Kish dari suku yang terkecil keturunan Benyamin dipilih Tuhan menjadi raja di hadapan suku-suku Israel. Dengan merujuk pada proses keterpilihan dan pengangkatan Saul sebagai raja dan sekaligus pelaksanaan kekuasaannya sebagai raja (1 Sam. 9-15), penggantinya raja Daud (16-24), dan pengangkatan Salomo (1. Raja. 1), ada berapa hal yang berkaitan dengan pemaknaan teokrasi: Pertama, pada proses Saul, kedaulatan Yahwe (teokrasi) atas Israel tetap dipertahankan dan diakui. Yahwe sendiri yang memilih, menentukan dan mengurapi Saul (1. Sam. 9 dan 10). Pencabutan mandat atas Saul juga dilakukan Yahwe (15) dan sekaligus pilihan atas penggantinya, Daud (16) yang berasal dari suku Efrata. Kedua, perjanjian Sinai bahwa Yahwe adalah sumber dan dasar Israel (teokrasi), tetap dipertahankan. Meskipun aspirasi gerakan ‘melekh’ diterima sebagai realitas politik, namun hal itu diakui sebagai dosa dan bangsa Israel meminta ampun untuk itu (12: 17-19). Ketiga, fungsi Imam sebagai perantara (medium) Yahwe dan sekaligus pengawas atas tugas-tugas raja juga tetap dipertahankan. Kedudukan Imam sebagai medium dan advisori, inilah yang sekaligus menandai hakikat teokrasi itu. Keempat, proses peralihan kekuasaan dari Saul kepada Daud tidak berjalan mulus. Saul tetap mempertahankan kekuasaannya dan berupaya melenyapkan Daud. Dalam konteks ini, lembaga kerajaan (Saul) mengabaikan dan mengebiri lembaga Imam dan dengan itu menjadikan dirinya juga medium (perantara) langsung dengan Yahwe (teokrasi).
Kelima, dalam garis teokrasi yang demikian terjadi peralihan kekuasaan dari Daud ke penggantinya. Daud sendiri yang menetapkan Salomo, anak haram, hasil perselingkuhannya dengan Batsyeba, setelah melampaui persaingan internal keluarga. Fungsi Imam, nabi Natan kelihatan hanya melaksanakan seremoni bagi legitimasi kekuasaan raja. Bermula dari hanya ‘mezbah’ sebagai medium bagi Yahwe menyatakan kedaulatan dan titahnya, teokrasi Israel bergerak membentuk ‘tahta’ yang juga mediumNya. Keduanya tetap eksis, pada waktu dan tempat yang sama, bergayut pada Allah yang sama: Yahwe. 3.3.Berasal dari Allah
Berangkat dari keyakinan teokratis, dengan Yahwe yang perkasa, Israel kemudian Yahudi mengembangkan doktrin messianis: kejayaan bangsa dengan datangnya pemimpin nan digdaya untuk menaklukkan semua orang dan memerintah atas seluruh dunia. Namun, pada akhirnya, Israel sebagai entitas agama dan politik, patah terkulai, dilanda kemunduran dan kehancuran. Kelahiran Yesus (yang dimaknai sebagai awal kehadiran gereja) memasuki era yang sangat berbeda. Gereja tidak hanya bergumul dengan pemikiran dan perumusan politik teokrasinya, tetapi hidup di dalam dan dan berhadapan realitas politik yang sama sekali tidak mengenal Allah. Para pengikut Yesus, yang hidup dan menjadi bagian dari politik negaranya, menuntut pemahaman terutama menyangkut loyalitas. Kepada siapa loyalitas tertinggi ditaruh dan dipertaruhkan: kepada raja atau kepada Allah. Berhadapan dengan realitas yang demikian, teologia politik dirumuskan Yohanes bin Zebedeus, manakala kekaisaran imperium Romawi di tangan raja Dominiatus. Persekusi besar-besaran terhadap seluruh pengikut Kristus diperintahkan di seluruh imperium Romawi itu. Terhadap realitas itu kitab Wahyu memberi makna teologis menyangkut sifat dan hakikat kekuasaan yang kuat, sadis dan kejam. Namun semua itu bukanlah akhir, bukanlah bentuk final dari segala-galanya. Kuasa Allah ada di ujung, yang mengatasi dan mengakhiri semua itu. Karenanya, inti teologia politik kitab Wahyu adalah: orang Kristen sama sekali tidak boleh tunduk menyembah raja atau ilah manapun, selain Tuhan. Paulus memberikan panduan teologis berupa pemahaman yang sangat positif mengenai pemerintah. Pemaknaan secara teologis dengan muatan teokrasi diberikan: ‘… sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah- pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah’ (Roma 13: 1b) ... ’karena pemerintah adalah hamba Allah …’ (13:4a). Dalam garis pemikiran itulah kepada tiap orang diarahkannya untuk ‘takluk’ dengan batasan yang jelas: ‘…
barangsiapa yang melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah …’ (Roma 13:2). 4. Teologi Politik Kristen di Indonesia
Upaya berteologia politik telah lama ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatat sejarah pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidak berangkat dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari kalangan publicans, seperti Pattimura yang melakukan gerakan politik dengan mengangkat senjata di Maluku dan Manullang dan kawan-kawan di tanah Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadaran dan pengorganisasian yang mengusung tema-tema kemandirian dan kerja keras. Pada masa-masa pembebasan diri dari penjajahan, orang-orang kristen juga telah melakukan bentuk-bentuk teologia yang operasional dengan mendirikan organisasiorganisasi kemasyarakatan dan sebagain merubah diri menjadi partai politik. Kita dapat mencatat perkumpulan sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai Perserikatan Kaum Kristen (PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), dll. Hal yang sama juga terjadi pada saat Indonesia merdeka. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hadir sebagai bagian dari upaya dan proses berteologia politik secara operasional. Hanya saja, proses-proses tersebut mengalami pasang surut disebabkan faktor internal dan situasi politik negara. Muatan atau tema-tema yang diusung dan dikomunikasikan kepada orang-orang kristen adalah dari dan demi kepentingan ‘orang kristen’. Sesuatu yang seringkali dikatakan orang sebagai lebih berpolitik ‘teknis’ ketimbang berpolitik ‘etis’. Disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan dalam tataran konseptual teologia politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak dalam tabung ‘independensi’ gererja, dalam realitasnya seringkali diterjemahkan sebagai netralitas dan sterilisasi politik dalam semua ruang gereja. Tidaklah mengherankan bila kekristenan mengalami kegamangan demi kegamangan menghadapi pelbagai realitas politik di Indonesia. Sesungguhnya, independensi tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab politik gereja. Perumusan menyangkut keterlibatan dalam konteks independensi harus dirumuskan batasan-batasannya secara teologis. Berangkat dari pemahaman dan kesadaran yang demikian, gereja-gereja akan terdorong dan dimampukan melahirkan teologia politiknya yang otentik.
5. Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen
Orang kristen harus menghormati kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada undangundang yang berlaku. Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah. Bagaimana seharusnya orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi negara yang mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan keadilan kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan. Respon yang benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap kita terhadap berbagai gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang kristen taat kepada pemerintah, sesuai dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah. Tentunya pmerintah harus mempertanggungjawabkannya kepada pemberi kekuasaan yaitu Allah sendiri (ayat 1). Jika orang kristen tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang kristen harus mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah (ayat 1). Panggilan tersebut tentu menuntut peran aktif, yang harus dimulai dari pasal 12, yaitu penyerahan diri kepada Allah (Roma 12:1, 2) sehingga tidak menjadi serupa dengan dunia. Dengan demikian pemerintah dapat berperan sebagai hamba Allah (Roma 13:4). Ayat 5, ”… dengan suara hati”. Justru di sinilah tugas dan tanggung jawab gereja (dalam pengertian umat Allah, bukan dalam pengerrtian organisasi) supaya memampukan pemerintah menjadi hamba Allah. Ini dapat terjadi hanya apabila orang kristen memenuhi panggilannya. Jadi sudah seharusnya kita menjawab panggilan itu, untuk menjadi garam dan terang dunia, biar melalui diri kita citra Kristus boleh terpancar sehingga semua orang memuji dan memuliakan Allah.
6. Implikasi-implikasinya
Sikap orang kristen dalam kehidupan politik hendaknya didasari atas penghayatan: a. Kekuasaan sebagai anugerah Allah Kekuasaan bukan sesuatu yang buruk. Dengan demikian, jabatan dan kekuasaan itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan Tuhan . b. Keberpihakan kepada yang lemah Para politikus kristen dipanggil karena memiliki keberpihakan kepada yang lemah, karena dua alasan penting yaitu: 1) kelompok masyarakat inilah yang sering kali menjadi korban penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Keberpihakan mereka tidak boleh dilandasi oleh sentimen yang bersifat primodial (suku, ras, atau agama). Namun, keberpihakan itu juga tidak membuat, dalam arti bahwa aturan dan hukum tidak berlaku bagi kelompok ini. c. Memiliki visi dan misi yang berorientasi pada rakyat dan kerajaan Allah Visi dan misi para politikus kristen hendaknya tidak hanya dibatasi oleh lingkup dan waktu. Maksudnya kiprah dalam dunia politik tidak hanya dibatasi oleh konstituennya saja (kelompok pemilihnya) ataupun jangka waktu memiliki jabatan itu. Bahkan lebih jauh lagi para politikus kristen juga sekaligus adalah agen-agen eskatologis dan seharusnya ikut serta dalam menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah (keadilan, kebenaran, perdamaian dan keutuhan ciptaan) sampai dengan sepenuhnya. d. Mendorong perubahan yang benar dalam masyarakat Indonesia Para politikus kristen hendaknya juga menjadi agen-agen perubahan. Untuk itu dibutuhkan keteladanan sikap perilaku yang baik. Setiap politikus kristen harus berani mengatakan “tidak” atas semua tawaran, bujukan, atau strategi-strategi yang dapat membuat jatuh pada tindak korupsi, kolusi ataupun nepotisme; menjauhi segala bentuk premanisme dan menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen. 7. Sikap terhadap Pemerintah yang Salah Menggunakan Otoritas
Berkaitan dengan pemerintah (kepatuhan kepada pemerintah), Roma 13:1-7 menyatakan bahwa pemerintah adalah hamba Allah. Kekuasaan pemerintah berasal dari Allah, oleh karena itu pemerintah wajib menjalankan kehendak Allah untuk mengupayakan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Maka titik tolak pelaksanaan tugas-tugas pemerintah (hukum atau undang-undang) haruslah bersesuaian dengan
kehendak Allah. Sehubungan dengan itu, pemerintah berhak dan wajib menjalankan hukuman kepada orang yang bersalah. Sebagai umat yang telah mengenal kebenaran di dalam Kristus, tentunya setiap orang percaya bisa menilai apakah sesuatu itu benar atau tidak. Kematian Kristus adalah untuk menghancurkan kerajaaan kegelapan dan menegakkan Kerajaan Allah, dan orang kristen dipanggil untuk menyatakan kehendak Allah dan memuliakan nama-Nya dalam segala bidang kehidupan. Di dalam kemenangan Kristus, bumi menjadi pusaka orang rendah hati, sehingga orang kristen tidak boleh menyianyiakan perkara yang di bumi termasuk kebangsaan. Kebangsaan itu tidak lahir dari si iblis, tetapi dari Tuhan Allah. Kecintaan kepada bangsa itu tidak boleh dipisahkan dengan kecintaan hal kita. Demikian menurut pengajaran dari natur dan pengajaran Alkitab. Oleh sebab itu, orang kristen mempunyai kewajiban yang lebih berat dalam perkara politik daripada orang lain. Sebab di bidang politik dan pemerintahan, peran orang kristen bukan semata-mata demi kesejahteraan bangsa, tetapi yang terutama semuanya dilakukan untuk kemuliaan nama Tuhan. Otoritas yang berkuasa ditunjuk oleh Tuhan adalah Rasul Paulus pernah membuat pernyataan yang jelas mengenai bagaimana kita seharusnya berespon terhadap otoritas. Dalam hal ini kita seharusnya berespon terhadap otoritas “tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya” (Roma 13:1). Frasa setiap orang menyatakan tidak adanya pengecualian. Kita sebagai orang kristen tidak boleh menentang otoritas yang sah di dalam kehidupan kita. Sebab tidak ada pemerintah yang tidak ditetapkan oleh Allah. Pada zaman kita, otoritas memiliki reputasi negatif. Banyak pemimpin, baik dalam negara maupun kalangan sosial, salah menggunakan otoritas yang dimiliki. Tidak heran rasa hormat terhadap otoritas tampak seperti kebodohan yang naif. Namun kembali lagi, Tuhan mengatakan kalau kita harus menghormati otoritas yang sah, tidak peduli bagaimanapun otoritas tersebut karena “semua otoritas berasal dari Tuhan”. Bahkan dengan lebih tegas lagi, semua otoritas ditetapkan oleh Allah. Banyak orang yang benar-benar bergumul dengan arti dari ayat ini, perintah ini bisa tampak begitu sangat tinggi untuk mungkin ditaati oleh setiap orang kristen. Tetapi itulah tantangan untuk menjadi seorang pengikut Kristus. 8. Etika Politik
Arena politik merupakan ruang yang sangat memungkinkan bagi pemberlakuan syalom Kerajaan Allah, tetapi sekaligus juga menjadi wilayah yang sangat terbuka bagi terjadinya pemberontakan terhadap Allah. Absolutisme yang merupakan
prerogatif Allah semata dan tidak terbagi terhadap siapapun, ternyata dalam sejarah bisa ditarik dan diambil paksa oleh manusia. Namun, selalu ada konsekuensi dari sikap pemberontakan itu, yang selalu merugikan pihak manusia, termasuk orangorang yang saleh. Etika politik sesungguhnya berbicara pada tatanan nilai tentang negara dan proses-proses yang manusiawi di dalamnya. Kesadaran tentang keberdosaan manusia dan kecenderungannya untuk menjadi ilah, membuka kesadaran perlunya batas-batas etis menyangkut proses dan perilaku politik dalam suatu negara. Karena itu politik tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja, hanya sekadar diurus orang-orang tertentu atau diserahkan kepada para politisi semata. Lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok kepentingan, termasuk lembaga keagamaan, merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang ada itu dapat mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di tengah-tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut. Pendidikan politik suatu bangsa akan berjalan dengan baik di dalam dan melalui proses kesadaran kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat untuk terus menerus membiasakan diri melakukan kritik dan kontrol terhadap proses politik yang sedang berjalan. Suatu bangsa atau negara, yang berjalan dalam situasi demikian, akan membiasakan dirinya terbuka dan siap melakukan perbaikan. Di samping itu, politik tidak akan menjadi suatu potret seram yang menakutkan, tetapi sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Kritik tidak akan dianggap sebagai ancaman, dan para pengritik tidak diperlakukan sebagai musuh. Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir kebiasaan-kebiasaan yang positif, yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik yang terbuka dan mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Kebiasaan-kebiasaan baik yang berjalan dalam pemerintahan itu, akan menjadi etika politik suatu bangsa.
DAFTAR PUSTAKA Sampitmo H.dkk, 2017. Pendidikan Agama Kristen.Medan: CV. Pertama Mitra Sari. Sinulingga, Risnawaty,2006. Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum. Medan: Pustaka Bangsa Press.