Bai'at Kepada Jamaah Minal Muslimin Bukan BId'ah
Apr 21, '09 2:22 AM for everyone
Apakah Berbaiat Kepada Jamaah Minal Muslimin Merupakan Bid’ah? Raddusy Syubuhat 25/12/2006 | 3 Dhul-Hijjah 1427 H | Oleh: Abi AbduLLAAH (Hal Al-Bay’ah Lil Jama’ah Minal Muslimin Hiyal Bid’ah?) Bai’ah Menurut Arti Lughah Berasal dari kata ba-ya-’a yang artinya menjual atau juga membeli. Dikatakan bi’tusyai’in artinya syaraytuhu (aku telah menjualnya); ia juga bisa berarti isytaraytuhu (aku telah membelinya), sehingga ia memiliki arti ganda [1]. Juga dapat bermakna ketaatan, ke taatan, al-bay’ah (Indonesia: bai’ah atau bai’at) artinya almutaba’ah (mengikuti) wa ath-tha’ah (mentaati) [2]. Disebut Al-Bay’ah karena kesiapan sang penerima bay’ah tersebut untuk mengikuti & taat [3]. Juga berarti akad atau janji, al-aqdu / al-’ahdu, sebagaimana dalam hadits disebutkan: Dosa yang paling besar dari dosa-dosa besar adalah kalian memerangi kaum yang ada perjanjian dengan kalian [4]. Ia juga dapat berarti gereja, al-bii’ah, sebagaimana dalam kitab Shahih Al-Bukhari, dalam bab “Ash-Shalatu fil Bi’ah (Hukum Shalat di dalam Gereja) [5]” Bai’ah Dalam Al-Qur’an Kedua makna bai’ah di d i atas dapat kita temukan dalam Al-Qur’an Al-Karim, sementara makna yang ketiga kita dapatkan dalam Al-Hadits. Dalam makna pertama (jual-beli), seperti dalam QS Al-Baqarah 2/282 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu) jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya, janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya, yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan, jika kamu lakukan (yang d emikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” Dalam makna kedua (ketaatan & mengikuti perintah) terbagi menjadi 2, yaitu bay’ahnisa’ (hanya mendengar & taat) sebagaimana dalam QS Al-Mumtahanah 60/12 sbb: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dalam QS Al-Fath 48/10 dan ayat 18-nya sbb: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia [6] kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka [7], maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” “Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) [8].” Bai’ah Dalam As-Sunnah Bai’ah yang disebutkan dalam As-Sunnah adalah sangat banyak, di antaranya adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits had its-hadits shahih & hasan berikut ini: 1. “Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh ALLAH SWT pada Hari Kiamat… dan orang yang telah mem-bai’at seorang Imam lalu jika Imam itu memberi kepadanya maka iapun setia dan jika Imam itu tidak memberinya maka iapun tidak setia kepadanya. [9]” 2. “Barangsiapa mem-bai’at seorang Imam lalu Imam tersebut memberikan buah hatinya dan mengulurkan tangannya, maka hendaklah ia mentaatinya sedapat mungkin dan apabila ada Imam lain yang menyainginya maka hendaklah mereka memukul leher Imam
yang datang belakangan itu. [10]” 3. “Adalah Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi, tiap kali sang nabi wafat, maka digantikan oleh Nabi berikutnya. Dan sesungguhnya tidak ada lagi Nabi setelahku, tetapi akan ada para Khalifah, mereka banyak jumlahnya. Para sahabat bertanya: Apa yang Anda perintahkan kepada kami? Nabi SAW bersabda: Patuhilah bai’ah pertama, berikanlah hak mereka, karena ALLAH akan menanyakan kepada mereka apa yang menjadi tanggungjawab mereka. [11]” 4. “… Lalu apa yang anda perintahkan kepadaku wahai RasuluLLAH? Maka Nabi SAW bersabda: Penuhilah bai’ah yang pertama karena itulah yang utama dan berikanlah pada mereka hak mereka, karena sesungguhnya ALLAH SWT akan menanyakan pada mereka tentang tanggungjawab mereka. [12]” 5. “Barangsiapa mem-bai’at seorang Amir tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin, maka tidak ada bai’at baginya dan tidak ada bai’at bagi yang mem-bai’at-nya. [13]” 6. “Apabila di-bai’at 2 orang Khalifah, maka bunuhlah Khalifah yang terakhir dari keduanya. [14]” 7. “Barangsiapa yang meninggal dan di lehernya tidak ada bai’ah maka ia mati dalam keadaan Jahiliyyah. [15]” Bai’ah Boleh Dilakukan Kepada Selain Imamah-’Uzhma Pada Masa As-Salafus-Shalih 1. Sebagian kaum muslimin mem-bai’ah Mu’awiyah – semoga ALLAH meridhoinya saat Ali bin Abi Thalib – semoga ALLAH meridhoinya - masih menjabat sebagai khalifah yang sah [16], dan hal ini tidak diingkari oleh Nabi – semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau -, beliau hanya menyebut Ali – semoga ALLAH meridhoinya - “lebih dekat pada kebenaran” [17]. [17]. 2. Bahkan sebagian Ulama yang tajam bashirahnya, menyatakan bahwa terdapat hikmah besar dari peristiwa peperangan di masa Ali – semoga ALLAH meridhoinya - karena dengan keluhuran & keluasan ilmunya sebagai sahabat generasi pertama kita dapat meletakkan dasar-dasar & kaidah-kaidah syariat yang amat berharga tentang jika terjadi perselisihan antara 2 kelompok kaum muslimin serta hukum-hukum fiqh di sekitar peperangan antara sesama Ahli Kiblat [18]. 3. Sebagian kaum muslimin ber-bai’ah pada Ummul Mu’minin Aisyah – semoga ALLAH meridhoinya - dan berperang bersamanya melawan Khalifah Ali – semoga ALLAH meridhoinya - dan Nabi – semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau - tidak mencaci Aisyah – semoga ALLAH meridhoinya - bahkan meminta Ali – semoga ALLAH meridhoinya - agar memperlakukannya dengan halus [19]. 4. Sebagian kaum muslimin juga mem-bai’ah Al-Hasan bin Ali – semoga ALLAH meridhoinya - di masa pemerintahan Mu’awiyyah – semoga ALLAH meridhoinya -
masih berkuasa, dan tidak diingkari oleh para shahabat yang lainnya – semoga ALLAH meridhoinya [20]. Dan Nabi – semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau menamakan kedua kelompok tersebut keduanya muslim, sebagaimana dalam sabdanya: “Cucuku ini adalah pemimpin pemuda Ahli Syurga, semoga ALLAH mendamaikan 2 kelompok kaum muslimin yang berselisih melalui dirinya. [21]” 5. Sebagian kaum muslimin juga mem-bai’ah Yazid bin Mu’awiyah, sementara sebagiannya mem-bai’ah Al-Husein bin Ali – semoga ALLAH meridhoinya [22]. 6. Kaum muslimin mem-bai’ah para tokoh selain Khalifah, seperti yang dilakukan oleh qabilah Nakha’i terhadap Al-Asytar, menjelang perang Shiffin [23]. Menolak Ber-Bai’ah Pada Penguasa Yang Sah Karena Sesuatu Hal Juga Tidak Diingkari Oleh As-Salafus-Shalih As-Salafus-Shalih 1. Ali – semoga ALLAH meridhoinya - berkata pada Sa’ad bin Abi Waqqash – semoga ALLAH meridhoinya: “Ber-bai’atlah Engkau!” Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan ber bai’at sebelum orang-orang semua ber-bai’at. Tapi demi ALLAH tidak ada persoalan apa-apa bagiku.” Mendengar itu Ali – semoga ALLAH meridhoinya - berkata: “Biarkanlah dia.” Lalu Ali – semoga ALLAH meridhoinya - menemui Ibnu Umar – semoga ALLAH meridhoinya - dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar – semoga ALLAH meridhoinya: “Aku tidak akan ber-bai’at sebelum orang- orang semua ber bai’at.” Jawab Ali – semoga ALLAH meridhoinya: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar – semoga ALLAH meridhoinya: “Aku tidak p unya orang yang mampu memberi jaminan.” Lalu Al-Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab A li – semoga ALLAH meridhoinya: “Akulah jaminannya, biarkan dia. [24]” 2. Imam Al-Waqidi mencatat ada 7 orang shahabat besar – semoga ALLAH meridhoinya - yang tidak memberikan bai’at pada Khalifah Ali – semoga ALLAH meridhoinya yaitu: Sa’d bin Abi Waqqash, AbduLLAH bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Aqwa’ dan Usamah bin Zaid – semoga ALLAH meridhoinya [25]. Keluar dari Ketaatan dan Memberontak Kepada Imamah ‘Uzhma Juga Dibenarkan Oleh As-Salafus-Shalih Sepanjang Bisa Menghasilkan Mashlahat Da’wah yang Lebih Besar 1. Sa’id bin Jubair, Syurahbil bin Amir Asy-Sya’biy, dan Al-Asy’ats bin Qays memerangi Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafiy, di antaranya pada peperangan yang terkenal sebagai peristiwa Dairul Jamahim [26]. 2. Bahkan di dalam kitab-kitab Ash-Shahih selain hadits-hadits tentang perintah agar kaum muslimin bersabar kepada penguasa yang zhalim, dibolehkan juga memberontak kepada Khalifah jika telah ditemui tanda-tanda kekufuran yang terang-terangan [27]. Batasan Sahnya Jumlah Orang yang Mem-Bai’at Menurut Para Ulama Ushul 1. Sebagian Ahli Ushul berpendapat bahwa bai’ah shah dilakukan oleh minimal 5 orang, baik kelimanya yang mengusulkan maupun salah satu mengusulkan dan disepakati oleh
yang lainnya, hal ini berdasarkan dalil pengangkatan Abubakar – semoga ALLAH meridhoinya - dilakukan oleh 5 orang shahabat. Bahkan para fuqaha Kufah berpendapat 3 orang sudah sah, karena didasarkan pada sahnya akad nikah [28]. 2. Imam Al-Mawardi berkata bahwa pengangkatan Imam ini hukumnya fardhu kifayah, dan kewajiban ini sejajar dengan kewajiban jihad & menuntut ilmu. Sehingga jika seseorang telah melakukannya dan ia memang mememnuhi syarat sesuai syari’ah, maka lepas kewajiban masyarakat pada umumnya [29]. Bahayanya Berpegang Kepada Zhahir Hadits Saja dan Mengabaikan Fiqh MaqashidSyari’ah dalam Masalah Ini Disebutkan dalam hadits-hadits shahih bahwa jika kaum muslimin saling berperang maka kedua kelompok yang berperang tersebut masuk neraka, sbb: 1. “Apabila 2 orang muslim berhadapan dengan pedangnya masing-masing maka yang membunuh & terbunuh di neraka.” [30] 2. “Dunia ini tidak tidak akan Kiamat sebelum datang pada manusia suatu zaman saat pembunuh tidak tahu kenapa ia membunuh & yang dibunuh pun tidak tahu kenapa ia dibunuh. Tanya para sahabat – semoga ALLAH meridhoinya: “Bagaimana nasib mereka wahai RasuluLLAH?” Jawab Nabi – semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau: “Binasa! Pembunuh & yang dibunuh akan masuk neraka.” [31] Jelaslah jika kita hanya berpegang kepada zhahir hadits saja, tanpa mendalami ilmu fiqh, maka berdasarkan zhahir hadits di atas kedua kelompok para sahabat – semoga ALLAH meridhoinya - yang berperang sebagaimana disebutkan di atas, keduanya akan masuk neraka, kita berlindung kepada ALLAH – Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi - dari pemahaman seperti ini.. Wahai ikhwan wa akhwat fiLLAH, takutlah kepada ALLAH dari sikap su’uzhan kepada sesama kaum muslimin yang berijtihad, dan hendaklah kita berperasangka baik kepada saudara-saudara kita dari kelompok muslimin yang lain, karena ilmu itu bukan monopoli seseorang atau sekelompok orang saja, wa fawqa kulla dzii ‘ilmin ‘aliim.. WaLLAHu a’lam bish Shawab Catatan Kaki: [1] Ash-Shihhah fil Lughah, Al-Jauhary, I/60; Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, VIII/23; Tajul ‘Arus, Az-Zubaidi, I/5119 [2] Al-Mukhashshish, Ibnu Sayyidihi, I/276 [3] Tahdzibu Al-Lughah, Al-Azhariy, I/392
[4] Al-Qamus Al-Fiqhi, I/213 [5] Al-Jami’us-Shahih, Al-Bukhari, II/213 [6] Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti da n mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. Mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang Karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman Telah dibunuh. Karena itu nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau. Merekapun mengadakan janji setia kepada nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama nabi sampai kemenan gan tercapai. perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, Karena itu disebut Bai’atur Ridwan. Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah. [7] Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan, caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu, hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya. [8] Yang dimaksud dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar. [9] HR Al-Bukhari, V/9; lih. juga dalam Al-Fath, XIII/35 [10] HR Muslim III/1472-1473; Nasa’i, VII/152-153; Abu Daud, IV/97; Ibnu Majah, II/1306 [11] HR Bukhari, V/401; Muslim, III/1471; Ibnu Majah, II/958; Ahmad, II/297 [12] HR Muslim, III/1472 ini adalah lafazh-nya; Bukhari, V/403; A l-Fath, VI/495; Ibnu Majah, II/958-959; Ahmad, II/297 [13] HR Ahmad dalam Al-Musnad, dan ini adalah lafzh-nya; Al-Fath, XII/145 [14] HR Muslim, III/1480; Ahmad, III/95 [15] HR Muslim, III/1478
[16] Usud Al-Ghabah, Ibnul Atsir, I/113 [17] HR Muslim, VII/168 [18] At-Tamhid fi Ar-Radd ‘alal Mulhidah, Al-Baqillani, hal. 229 [19] HR Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, III/119 [20] Ibid, I/265 [21] HR Al-Bukhari, VIII/94 [22] Ibid, II/193 [23] HR Ibnu Abi Syaibah & Al-Hakim, dari Umar bin Sa’id An-Nakha’i [24] Al-Milal wa An-Nihal, Ibnu Hazm, IV/103 dari riwayat Imam At-Thabari [25] Tarikh Ar-Rusul, Al-Waqidi, IV/429 [26] Tarikh Ar-Rusul wal Mulk, At-Thabary, VI/346 [27] HR Al-Bukhari, VIII/88 [28] Tarikh Ar-Rusul wal Mulk, At-Thabary, IV/497-498 [29] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 4 [30] Fathul Bari’, Ibnu Hajar, XIII/34 [31] Fathul Bari’, XIII/34
http://www.al-ikhwan.net/apakah-ber-baiat-kepada-jamaah-minal-muslimin-merupakan perbuatan-bidah-108/
Bai’at dan Kedudukannya Dalam Islam Mukadimah Kita patut bergembira atas bergairahnya kehidupan berislam hari ini, di pelosok dunia, termasuk di negeri kita baik desa maupun kota , kesadaran beragama menunjukkan kemajuan. Walau kita akui, kekuatan kejahiliyahan juga mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh maraknya acara-acara keislaman di sekolah-sekolah, berbagai kajian keislaman keislaman di kampus-ka kampus-kampus mpus dan perkantora perkantoran, n, gelombang gelombang jilbabisas jilbabisasi, i, kesadaran kesadaran terhadap terhadap ekonomi ekonomi
syariah, syariah, keinginan keinginan yang tinggi tinggi untuk menerapkan menerapkan syariat syariat Islam, dan maraknya maraknya kelahiran kelahiran kelompokkelompokkelompok keislaman yang hendak memperjuangankan memperjuangankan Islam. Di tengah rasa syukur tersebut, terbersit juga rasa khawatir, yakni ketika semangat beragama tidak dibarengi oleh ilmu yang memadai yang akhirnya justru membawa kerusakan dibanding manfaat. Di antaranya adalah sikap saling menyerang sesama aset umat, sesama aktifis Islam, hanya karena tidak sejalan, sepemikiran, dan beda kelompok. Fitnatut Takfir (fitnah pengkafiran) ini sering dilakukan oleh orang atau kelompok muslim yang memiliki pemahaman agama secara tidak utuh ( juz’i), juz’i), dalam menyikapi berbagai teks agama. Di antaranya adalah pemahaman yang tidak utuh terhadap bai’at . Kita melihat, ada dua kelompok umat ini yang telah bersikap zalim terhadap bai’at. Pertama, ada di antara mereka yang menyalahgunakan bai’at, menjadikan bai’at sebagai upaya mensucikan diri sendiri dan mengkafirkan orang lain yang belum berbai’at dengan pemimpinnya. Kedua, ada pula di antara umat Islam yang sama sekali anti bai’at, bahkan sangat alergi dan ketakutan dengan istilah ini. Keduanya sama-sama keliru, tidak seimbang dan keluar dari manhaj Ahlus Sunnah wa Jamah yang pertengahan.
Penulis Syarh al Aqidah al Wasithiyah mengatakan, “Umat Islam adalah pertengahan antara agama-agam agama-agamaa (milal ), ), sebagaim sebagaimana ana firman firman Allah Allah Ta’ala, “Dan kami kami jadika jadikan n kalian kalian sebaga sebagaii umat umat Ta’ala, “Dan pertengahan (umatan wasathan).” (QS. Al Baqarah:143), sedangkan Ahlus Sunnah adalah pertengahan antara firaq antara firaq (kelompok-kelompok) yang disandarkan kepada Islam. (Said bin Ali bin Wahf al Qahthany, Syarh al Aqidah al Wasithiyah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah, hal.48. muraja’ah. Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin. Cet.2, Rabiul Awal 1411H. Penerbit: Ri-asah Idarat al Buhuts al ‘Ilmiyah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad) Lalu bagaimanakah sebenarnya bai’at itu?
Definisi (Arti) 1. Secara Bahasaٍ
ًاأيضَ ءلشر عْ َبلو ءلشر دّ ُع ل ب
A. Syira’) dan juga berarti jual beli)
قدها ة وللت
(Al Bai’u (menjual), lawan dari membeli (Asy
(Lisanul ‘Arab, Juz. 8, Hal. 23. Al Maktabah As Syamilah)
B. At Tauliyah wa ‘aqduha artinya menjadikannya sebagai wali (pemimpin) dan ikatan terhadapnya ( Munjid Munjid Fil Lughah wal A’lam, Hal. 57) C. Perjanjian dan saling bersepakat, dikatakan
ةَي ُم ب ا ي يَا
(baaya’ahu ‘alahi
mubaaya’atan) yakni saling mengadakan perjanjian. ( Lisanul Lisanul ‘Arab, Juz. 8, hal. 23. Al Maktabah Asy
Syamilah)
2. Makna Menurut Syariat Imam Ibnu Khaldun
berkata: “Ketahuilah bahwasanya bai’at adalah berjanji dalam ketaatan, seakan seorang yang berbai’at tidak akan menentang sedikitpun serta akan selalu mentaatinya dalam semua perkara yang dibebankan baik dalam keadaan giat maupun malas. Dan mereka ketika berbai’at kepada seorang pemimpin serta mengokohkan ikatan janjinya meletakkan tangan mereka dalam tangannya sebagai penguat atas janji mereka, yang demikian itu sama dengan perilaku penjual dan pembeli, maka disebutkan bai’at yang merupakan bentuk masdar dari baa’a, sehingga proses bai’at akhirnya selalu dilakukan dengan berjabat berjabat tangan. Inilah Inilah landasan landasan bai’at dalam dalam dalam dalam konteks konteks bahasa bahasa dan syari’at syari’at sebagaimana sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits bai’at. Lafadz ini juga tampak dalam beberapa riwayat di antaranya bai’atul Khulafa (pembaiatan para pengganti Rasulullah) dan Aimaanul Bai’ah (sumpah setia bai’at) seakan-akan para pengganti Rasulullah bersumpah setia dalam janji dan mereka memahami bahwasanya sumpah setia seluruhnya hanyalah untuk baiat itu, pemahaman inilah yang akhirnya dikenal dengan sebutan Aimaanul Bai’ah.” (Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Hal. 229)
Hukum Bai’at
Tidak ragu lagi bai’at memiliki masyru’iyah (pensyariatan) yang kuat di dalam Islam. Bai’at merupa merupakan kan salah salah satu satu proses proses pentin penting g dari dari pengan pengangka gkatan tan seoran seorang g pemim pemimpin pin di dalam dalam Islam, Islam, baik baik kepemimpinan kubra (Khalifah) atau sughra (selain khalifah). Hal ini di tunjukkan oleh berbagai dalil sebagai berikut. Allah Ta’ala berfirman:
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada kepada Allah. Allah. tangan tangan Allah Allah di atas tangan mereka, mereka, Maka Barangsiapa Barangsiapa yang melanggar melanggar janjinya janjinya niscaya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (QS. Al Fath : 10) Pada Pada bulan bulan Zulkai Zulkaidah dah tahun tahun keenam keenam Hijriy Hijriyyah yah Nabi Nabi Muham Muhammad mad s.a.w. s.a.w. besert besertaa pengik pengikutut pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan 'umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah telah dibunuh. dibunuh. karena itu Nabi menganjurk menganjurkan an agar kamu muslimin melakukan bai'ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai'atur Ridwan. Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah. Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakanakan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya. Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ًة ِهِ جاَ ًةَتمِ َ ماَ ةٌ َ ْ َ ِقِنُُ فِ س َ ْلَوَ َ ماَ ْ مَوَ
“Baran “Barangsi gsiapa apa yang yang mati mati dan dilehe dileherny rnya a tidak tidak ada bai’at bai’at maka maka dia mati mati dalam dalam keada keadaan an jahiliyah.” (HR. Muslim, Juz. 9, Hal. 393, No. 3441. Al Maktabah Asy Syamilah) Hadits ini menunjukkan kewajiban berbai’at jika telah ada imamatul ‘uzhma yakni khalifah bagi seluruh umat Islam, bukan amir sebuah jamaah yang umat Islam secara umum tidak mengenalnya.
Mati Jahiliyah = Kafir?
Banyak manusia dan kelompok Islam teracuni pemikiran takfir (mudah takfir (mudah mengkafirkan) gara-gara permasalahan ini. Hal ini terjadi terjadi karena penafsiran mereka yang yang keliru dan menyimpang terhadap terhadap makna hadits tersebut, dan tidak merujuk kepada penafsiran para Ahli, yakni para ulama, tapi merujuk tafsiran guru ngaji mereka dan bujuk rayuan yang membius. Kita lihat, apa sih apa sih makna miitatan jahiliyah (mati dalam keadaan jahiliyah) dalam hadits tersebut. Apakah orang yang belum berbai’at lalu dia mati, matinya terhukum kafir. Sebagaimana sangkaan sebagian kelompok? Saya Saya akan kutip syarah syarah (penjela (penjelasan) san) yang dilakukan dilakukan bebeapa imam terperca terpercaya ya umat ini, di antaranya Al Imam An Nawawi dalam Syarah-nya Syarah-nya atas Shahih Muslim, tentang makna miitatan jahiliyah berikut:
ْ َُل ا ماَإ ِ َ ىَ ْ فَ ْ هُ ثُ ْحَ ْ مِ ْ ْ مَ ةَص ِ ىَ َ : ْ َأ ، ِلْ رِ ْ كَ ِ َ هِ
Dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian
(Syarah An Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Juz. 6, Hal. 322, No. 3436. Al Maktabah Asy Syamilah) Sekarang penjelasan Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar ,sebagai berikut: mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah).
ِ هْ أَ ِ ْ َ َ ِ ْ َْل ف فِ ُلُحاَ َ كُيَ ْ أَ ِ ِلْ رِ ْ كَ ِ َ هِ وَ ةِ ِهِ اَ ل ْ ةِتَ ِلْاِ ُرَ ُلْوَ ْ أَ ُرَ ُلْ س َ ْلَوَ ، َ لِذَ َ فُرِ ْ يَ َ ُاَ ْ ُ َِ ٌ طاَ مُ ٌماَإ ُلَ س َ ْلَوَ ٍ َ َ ىَ َ ةِ ِهِ اَ ل ْ . اًص ِ اَ َ ُيَ ْ َ رًفِاَ َ ُيَ
Dan yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat. (Imam Asy Syaukani, Nailil Authar, Authar, Juz. 11, Hal. 399. Al Maktabah Maktabah
Asy Syamilah)
Saya kutipkan Fatwa Lajnah Da’imah (Komisi Tetap Fatwa) di Saudi Arabia , tentang makna hadits di atas:
ًر ن من ر ير أ أإ (ر (مر ل ول) ا ال ى و لخرو زي ي أ أ :ث :ديثل نىوم و يؤمرو أ مة أ ى ي يأ ا أ ،ل ل ديثل ف ف ل ا جاء ذل ،حًا .ق .ظ حقي وي ل الى مير ر ًر أ م
“Makna hadits tersebut: bahwa tidak boleh keluar dari kepemimpinan Al hakim (waliyul amri pemimpin) kecuali jika dilihat dari pemimpin itu perilaku kufur yang jelas, sebagaimana diterangkan hal itu dalam hadits shahih, sebagaimana wajib pula bagi umat untuk mengangkat amir (pemimpin) bagi mereka supaya terjaga maslahat mereka dan hak-hak mereka.” (Al Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil
Buhuts wal Ifta’, Juz. 6, Hal, Hal, 323, No fatwa. 8225)
Dengan demikian, jika ada umat Islam yang tidak berbai’at kepada khalifah yang sah, maka jika dia mati, matinya seakan manusia jahiliyah yang dahulu tidak miliki imam, dan bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Bukan kafir sebagaimana tuduhan sebagian manusia. Itu pun jika berbai’at kepada khalifah yang sah dan diakui seluruh dunia Islam, lalu bagimana dengan pemimpin sebuah kelompok dari umat Islam, yang kita tidak mengenalnya? Tentu berbai’at kepada mereka tidak wajib!
Kepada Siapa Kita Wajib Berbai’at?
Sebelumnya, akan saya bagi dulu, bahwa kepemimpinan dalam Islam ada dua macam. 1. Imamah Al Kubra,yakni Khalifah yang memimpin seluruh umat Islam. 2. Imamah Al Sughra, yakni pemimpin selain itu seperti pemimpin rombongan haji (Amirul Haj), pemimpin dalam safar, pemimpin dalam jihad, pemimpin dalam organisasi. Dalil untuk ini sangat banyak.
Imamah Al Kubra
Kepada pemimpin yang menaungi seluruh umat Islam, maka bai’at hukumnya wajib berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim di atas. Dan penjelasan atas hadits tersebut sudah kami paparkan. Namun, apakah saat ini ada khalifah yang menaungi seluruh umat Islam? Jawabannya: tidak! Karena itu, bai’at jenis ini, untuk realita saat ini belum bisa dijalankan, karena ketiadaan khalifah. Yang mejadi kewajiban kita kita saat saat ini adalah adalah bahu-m bahu-mem embah bahu u agar agar kekhil kekhilaf afaha ahan n kembal kembalii terwuj terwujud. ud. Bagaim Bagaimana ana bisa bisa bai’a bai’at, t, khalifahnya saja belum ada? Maka, Maka, pemikiran pemikiran yang mengkafirkan mengkafirkan sesama sesama umat Islam sebagaima sebagaimana na yang dilakukan oleh beberapa kelompok Islam –semoga Allah meluruskan mereka- dengan alasan umat Islam saat ini belum berbai’at kepada pemimpin mereka, adalah pemikiran yang keliru, menyimpang, bahkan menyesatkan. Mereka telah mewajibkan yang Allah Ta’ala tidak wajibkan. Tidak memiliki dasar dan pijakan atas Al Quran dan As Sunnah, perjalanan sejarah Islam, dan pandangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Berkata Al Imam Abul hasan al Mawardi dalam kitabnya Al Ahkam As Sultahniyah:
ُقُ يَ ْ َلِ هاَ دُققْ َ َو ، اَ ْ د ل ِة َ اَ ِ وَ ِ دي ل ِة َ رَحِ فِ ِ نُبل ِفةَ َ خِ لِ ةٌَ ُ ْ مَ ةُمَماَِْ ِاَج ْ ِْ اِ ٌ جِ وَ ةِم ُْ فِ ا َ ِ “Al Imamah (kepemimpinan) merupakan tema yang diadakan dalam rangka mengambil peran kenabian dalam upaya menjaga agama dan mengatur dunia. Menegakkan kepemimpinan bagi siapa yang
wajib wajib menuru menurutt ijma’ ijma’ Sulthaniyah, Hal. 3. Al Maktabah Asy Syamilah)
mampu mampu melaku melakukan kannya nya untuk untuk umat umat adalah adalah
(kesepakatan).”
(Al Ahkam As
Nah, Nah, sekarang sekarang kita harus tahu bagaimana bagaimana kriteria kriteria seorang khalifah? khalifah? Hal ini penting penting saya sampaikan agar kelompok-kelompok Islam itu mau menyadari kekeliruan mereka. Bahwa pemimpin yang mereka anggap khalifah itu, bukan khalifah sesungguhnya , hanya sekedar pemimpin jamaah saja. Demikian ini syarat-syarat syarat-syarat Khalifah:
اَ ِ روُ ُ ىَ َ ةُلَدَ َْل : هاَ دُحَ أَ : ةٌ َبْ َ ْ ِ فِ ُرَبَتَ ْ ُلْ ُ روُش لَفة اِ م َماَِْ ُهْ أَ ما وَأَ . ةِ َمِاَ ل ْ . ِكاَحْ َْ وَ ِ زِ َ نل ف ِف ِاَ تِجْ ِ َىلإ َؤ ُلْ ُ ْ ِل ْ : ِا لَو . اَ ِ ُ َدْيُ ماَ ُرَ َ باَمُ اَ َمَ ِ َلِ ِ اَ لَو رِ َ بَلْوَ عِ ْ ل ْمِ َ َ لْ ةُمَ َ َ ثُ لِا لَو . ِ ُنل ِةَ رْ ُ وَ ةِ َرَ َ لْ ءِ اَ تِ ْ ْ َ عُ نَ ْ يَ ٍ قْ َ ْ مِ ءِ ضاَ ْ َْ ةُمَ َ َ : عُ ِر ل َو . ِ لِاَ َلْ رِ ِدْ َوَ ةِ ِر ل ِة َ اَ ِ َلىإ ض ض ِ ْ ُلْ ُ أْر ل : ُمسِ خاَ لْوَ . و ُد َلْ ِاَ جِ وَ ةِضَ ْبَلْ ةِيَاَح ِ لىَة إُيَ َؤ ُلْ ُُدَ ْ نلَو ةَُ اَ ش ل : ُ ِا لَ و ، ِ ْ َ َ ِ اَ جْ ِْ ِقاَ ِ ْوَ ِفِ نل ِ وُ ُلِ ٍ يْرَ ُ ْ مِ َ كُيَ ْ أَ َ هُ وَ ُ َ نل : ُع ِ ا لَ و ُ َ ِ َ ِ دي ل ٍركْ َ اَأ َ َِ ، ِ نال ِع ِجَ فِ هاَ زَ َ فَ َ َ حِ ٍرَضِ ِ َباَتِْ َ وَ َ َباَُ َ ْ دَ ْ َ ُيَ اَ ا َةلِفَ َ خِ لْ ْ َ ْ ِ ِفْ َ فِ ِاَ َْْ ى ََ ةِ َقِ ل َ ْ يَ حَتْ ُنَْ اَ ِ ِر َتل ْ َ ُ َْ َفَ { ٍ يْرَ ُ ْ مِ ةُ ِئَْ } َ َ وَ ِ ْ َ َ ُُ ىص َ نِبل ِ ْ قَ ِ اَ ْ َ َ قاًديِ ْ َوَ ِتِيَوَ رِلِ اً ِ ْ َ رٌمِأَ ْ كُنْمِوَ رٌمِأَ نا ِم لُا َ َ حِ اَ فِ ةِ َ َشاَ ُلْ ْ َ ُجَ َوَ : َ َ وَ ِ ْ َ َ ُُ ىص َ نِبل َ اَ وَ ، ءُ َزَ ُ لْ ْ تُ ْ أَوَ ءُ رَمَُْ ُ ْ َ : ِلِ ْ قَ ِ ُ َوَ ِرِبَخَ لِ . { اَهمُد َق َ َ وَ شاً يْرَ ُ م مُد َ } . ُلَ ٍ لِخاَ ُلِ ٌ ْ َ َ وَ ِفِ ٍ زِناَ ُل ِ ةٌ َ بْ ُ ِ َ ُلْ نل َهَ عَ مَ س َ ْلَوَ
Ada pun syarat-syarat Imamah yang legal, yang harus ada pada mereka ada tujuh: 1. Adil dengan syarat-syaratnya syarat-syaratnya yang menyeluruh 2. Berilmu yang membuatnya dapat berijtihad terhadap permasalahan dan hukum-hukum 3. Sehatn Sehatnya ya inder inderawi awi (telin (telinga, ga, mata, mata, dan mulut mulut), ), yang yang dengan dengan itu dia bias bias langsu langsung ng menang menangani ani permasalahan yang telah diketahuinya 4. Sehat organ tubu dari cacat yang bias menghalanginya bertindak secara sempurna dan cepat 5. Pandangan yang luas yang dengannya mampu memimpin rakyat dan mengurus kemaslahatan mereka 6. Berani dan berwibawa, yang dengannya dia mempu melindungi wilayah Negara dan mampu melawan musuh 7. Keturunan dari Quraisy berdasarkan nash-nash yang ada dan ijma’ (kesepakatan) ulama. Kita tidak perlu hiraukan kerusakan yang disampaikan disampaikan dengan pendapat yang janggal janggal yang membolehkan imamah imamah (khalifah (khalifah)) dipegang dipegang oleh setiap orang. orang. Karena Karena Abu Bakar Bakar Radhialla Radhiallahu hu ‘Anhu ‘Anhu meminta meminta kaum Anshar (bukan Quraisy) yang telah mebai’at Sa’ad Sa’ad bin Ubadah untuk mundur dari jabatan imamah (khalifah) pada peristiwa saqifah peristiwa saqifah,, karena Abu Bakar berdalil dengan hadits Rasulullah Shallallahu Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Pemimpin-pemimpin “Pemimpin-pemimpin itu berasal dari Quraisy.” Kemudian kaum Anshar mengurungkan keinginan terhadap jabatan khalifah dan mundur darinya. Mereka berkata: “ Para gubernur dari kami, dan pemimpin dari kalian.” Mereka menerima riwayat riwayat dari Abu Bakar dan membenarkan informasinya. Mereka menerima dengan lapang dada ucaoan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, “ Para pemimpin berasal dari kami, sedangkan menteri-menteri menteri-menteri berasal dari kalian.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dahulukanlah Quraisy, dan jangan kalian mendahuluinya.” Terha Terhadap dap nash nash yang yang kuat kuat ini, ini, kita kita tidak tidak meneri menerima ma pengab pengabura uran n dan pendap pendapat at orang orang yang yang menentangnya. (Imam Abul Hasan al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah Sulthaniyah, Hal. 5. Al Maktabah As
Sulthaniyah)
Sekarang Sekarang bandingkan bandingkan kriteria kriteria khalifah khalifah di atas, atas, dengan dengan ‘khalifa ‘khalifah’ h’ jadi-jadi jadi-jadian an zaman zaman sekarang. sekarang. Mereka majhul (tidak (tidak dikenal dikenal identitasn identitasnya, ya, nama, kecerdasan, kecerdasan, keberani keberanian, an, fisiknya fisiknya,, bahkan bahkan bisa jadi tetangganya sendiri tidak tahu kalau dia itu dianggap ‘khalifah’ oleh jamaahnya sendiri, dan ditambah lagi dia bukan Quraisy). Dari sini maka jelaslah kesalahan yang dilakukan jamaah-jamaah tersebut. Seandainya satu saja yakni syarat ketujuh, mereka bukan orang Quraisy tetapi orang Indonesia , sudah cukup untuk menyingkap kekeliruan (bahkan kebohongan mereka). Maka tertipulah orang-orang awam yang masuk ke dalamnya …
Imamah Ash Shughra
Yakni kepemimpinan tidak setaraf khalifah. Seperti pemimpin haji, jihad, perjalanan, organisasi, jamaah, jamaah, atau direktur, direktur, kepemimpinan kepemimpinan seperti ini diakui diakui keberadaa keberadaannya nnya oleh syariat, syariat, karena mereka mereka hakikatnya bukanlah negara di dalam Negara. Kita mengetahui bahwa pegawai ketika awal memasuki masa kerja pun memiliki sumpah jabatan, yang hakikatnya adalah bai’at. Nah, bai’at kepada mereka hukumnya mubah, bukan wajib. Ada beberapa dalil yang menunjukkan pengakuan syariat atas kepemimpinan Ash Shughra ini, yakni:
ْ مَ َدأُريِيُ { ةِقَفْر ل ُرم ِأَ ُ َضْ ُْل } : َ اَ ُ َأ َ َ وَ ِ ْ َ َ ُُ ىص َ نِبل ْ َ َ وِ ُوَ . ِرِ ْ َ ِ و روُ ِ يَ ْ أَ ِ ْ قَْل ىَ َ َ اَ ُتُ َ ْ َ ُ َ
Dan diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa dia bersabda: “Yang dianggap lemah adalah menjadi pemimpin bagi teman seperjalanan.” Maksudnya: barangsiapa yang membawa kendaraan hewan yang lemah, hendaknya manusia berjalan mengikuti jalannya hewan tersebut. (Ibid, Hal.
59)
Hadits di atas berbicara tentang pengangkatan pemimpin dalam perjalanan. Adapun tentang Amirul Haj (pemimpin haji) Imam Abul Hasan al Mawardi berkata:
. ِ ِ َ لْ رِ ِ ْ َ ىَ َ َ كُ َ ْ أَ اَ هُ دُحَ أَ : ِ اَ رْ َ َ ْل ى ََ ةُيََ ِ لْ ِِ ِهَ . رٍ ِدْ َوَ ةٍمَاَ زَوَ ةٍ َ اَ ِ ةُيََ وِ َ ُفَ ِ ِ َ لْ رُ ِ ْ َ ما َفَ ، َ لْ ةِمَاَ إ ى ََ : ِا لَو . ةٍيَدَهِ وَ ةٍبَ ْ هَ وَ ةٍَ اَ َ وَ ٍ أْ َ ذَ اً طاَ مُ َ كُيَ ْ َأ : لى َ ُْل ف فِ ُرَبَتَ ْ ُلْ ُ روُش لَ و Kepemimpinan haji ini ada dua wewenang: Pertama, memudahkan para jamaah haji. Kedua, menyelen menyelenggara ggarakan kan haji. Adapun Adapun memudahka memudahkan n para jamaah haji itu merupakan merupakan kekuasaan kekuasaan poltik poltik dan kepemimpinan. Syarat yang harus ada pada amirul haj agar dia ditaati adalah cerdas, berani, berwibawa, dan memiliki kemampuan untuk membimbing. (Ibid, Hal. 193) Nah, dari dua contoh ini jelaslah bahwa Imamah Ash Shughra memang diakui syariat Islam. Namun, bai’at kepada mereka bukan wajib syariat, melainkan boleh boleh saja. Sekali pun wajib, itu hanyalah kewajiban yang sifatnya administratif organisasi, seperti kontrak kerja dengan perusahaan, pada hakikatnya itu adalah bai’at seorang pegawai terhadap pimpinan perusahaannya.
Realita saat ini Kenyataan hari ini tidak ada Jama’atul Muslimin (Jamaah seluruh kaum muslimin) yang hakiki, yang ada hanyalah jamaah minal muslimin (jamaah dari kelompok umat Islam), seperti adanya Ikhwanul Muslimin, Muslimin, Hizbut Hizbut Tahrir, Tahrir, Ansharus Ansharus Sunnah Sunnah Muhamamdi Muhamamdiyah, yah, Nahdhatul Nahdhatul Ulama’, Ulama’, Jamaatul Jamaatul Muslimin Muslimin (dulunya Hizbullah) dan lain-lain.
Berbai’at kepada mereka dalam rangka beramal memperjuangkan Islam dan berjihad, boleh-boleh saja, selama tidak dianggap berbai’at sebagaimana Imamatul Kubra. Namun, demikian juga tidak ada kewajiban. Tetapi, jika sudah membai’at maka dia wajib memnuhi tuntutannya yakni memperjuangankan Islam dan berjihad. Maka, sikap sebagian jamaah yang mengkafirkan jamaah lain karena tidak membai’at pemimpinnya adalah tindakan keliru, melampaui batas, dan tidak mamahami syariat, dan membawa benih perpecahan umat. Semua itu merupakan perjanjian (mubaya’ah) (mubaya’ah) antar manusia yang harus ditepati, dalam rangka ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
ة ؛ِ ِئ َْ ل ِ ةِ َ ْبَلْ ِقُُ وَ ؛ ِوُن لَو ، ِ ُ ُل ْوَ ، ِ باَ ِ ل ْوَ ، ِ ُبُلْ ِ روُ ُ فِ َ َوَ ؛ َ لِذَ ِ اَ مْ أَوَ ، ِ ئِباَقَلْوَ ِ اَ َْْ ِ هْ أَ ِقُُ وَ ، ِ ْ َ ِ آ تَ ُل ْ ِقُُ وَ ِ؛ شاِيَ َلْ ِقُُ وَ
ِ ةَ َ ِ ْ مَ َ نِتَ ْ يَوَ ء ؛ٍ ْ َ ُ فِ ُلَ ُ َوَ َ عَ طِ يُ ْ أَ دٍحَ أَ ُ ىَ َ ُ ِ يَ ُ ِفَ ُ َ كُيَ ْ أَ ُ ِ يَوَ . ِ لِخاَ لْ ةِ َ ِ ْ مَ فِ ِ ُخْ َلِ ةََ اَ َ وَ ء ؛ٍ ْ َ ُ فِ ِلِ ُ َوَ . ُ َْ أَ ُ َوَ . ِلِ ُ َوَ ِ َاِ َ مَ ْ مَ ع إُ طِ يُ َ وَ ، ءٍ ْ َ ُ ْ مِ ِ ْلَإ أ َحَ ُلُ ُ َوَ “Demikian juga dalam syarat-syarat jual beli, hibah, wakaf, nazdar, baiat kepada para imam dan para masyayikh (para tokoh agama ), perjanjian persaudaraan, akad anggota keluarga, suku atau kabilah serta perkara-perkara yang lain , semua itu wajib dalam kerangka mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam segala hal, serta menjauhi kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk mendurhakai Khaliq. Dan wajib mencintai Allah dan RasulNya lebih dicintainya di atas segalanya segalanya.. Dan tidak ada ketaatan ketaatan kecuali bagi siapa saja yang beriman beriman kepada Allah dan RasulNya. RasulNya. Wallahu A’lam (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa’ , Juz. 9, Hal. 211. Al Maktabah Asy
Syamilah)
Dari keterangan Imam Ibnu Taimiyah ini, menunjukkan bolehnya berbai’at dan bermu’ahadah kepada selain khalifah, namun sekedar boleh. Karena itu, sekali lagi, tidak benar dan melampaui batas jika ada sekelompo sekelompok k jamaah jamaah mengkafir mengkafirkan kan umat Islam lainnya lainnya yang tidak masuk dan berbai’at berbai’at dengan dengan pemimpin kelompoknya.
ْ إِ اَ هُ دُحَ أَ اَ ِ ءَ اَ دْقَفَ ُرِافَ ياَ ِ ِ َِ َ اَ ٍ رِْم اَ ي َأ َ َ وَ ِ ْ َ َ ُُ ىص َ ِ ُ ُ َ َ اَ ِ ْ َ َ ْ َجَ َ وِإَ َ اَ اَ َ َ اَ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai Kafir,” maka itu akan kembali kepada satu dari mereka berdua jika benar seperti yang dia katakan, jika tidak benar maka kekafiran itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Muslim, Juz.1, Hal. 195,
No.
92.
Ahmad,
Juz.
10,
Hal.
328,
No.
Wallahu
Sumber: http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/36
4792.
Al
Maktabah
Asy
Syamilah) A'lam