Angina Pektoris Tidak Stabil I. PENDAHULUAN
Angina pektoris adalah rasa tidak enak di dada sebagai akibat dari suatu iskemik miokard tanpa adanya infark. Klasifikasi klinis angina pada dasarnya berguna
untuk
mengevaluasi
mekanisme
terjadinya
iskemik.
Walaupun
patogenesa angina mengalami perubahan dari tahun ke tahun, akan tetapi pada umumnya dapat dibedakan 3 tipe angina: 1. Classical effort angina (angina klasik) Pada nekropsi biasanya didapatkan aterosklerosis koroner. Pada keadaan ini, obstruksi koroner tidak selalu menyebabkan terjadinya iskemik seperti waktu istirahat. Akan tetapi bila kebutuhan aliran darah melebihi jumlah yang dapat melewati obstruksi tersebut, akan tetapi iskemik dan timbul gejala angina. Angina pektoris akan timbul pada setiap aktifitas yang dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah dan atatus inotropik jantung sehingga kebutuhan O2 akan bertambah seperti pada aktifitas fisik, udara dingin dan makan yang banyak. 2. Variant angina (angina Prinzmetal) Bentuk ini jarang terjadi dan biasanya timbul pada saat istirahat, akibat penurunan suplai O2 darah ke miokard secara tiba-tiba. Penelitian terbaru menunjukkan terjadinya obsruksi yang dinamis akibat spasme koroner baik pada arteri yang sakit maupun yang normal. Peningkatan obstruksi koroner yang tidak menetap ini selama terjadinya angina waktu istirahat jelas disertai penurunan aliran darah arteri koroner. 3. Unstable angina (angina tak stabil / ATS) Istilah lain yang sering digunakan adalah Angina preinfark, Angina dekubitus, Angina kresendo, Insufisiensi koroner akut atau Sindroma koroner pertengahan. Bentuk ini merupakan kelompok suatu keadaan yang dapat berubah seperti keluhan yang bertambah progresif, sebelumnya dengan angina stabil atau anginapada pertama kali. Angina dapat terjadi
7
pada saat istirahat maupun bekerja. Padapatologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang mempunyai ciri tersendiri.
Pada kesempatan ini penulis akan membahas mengenai ATS, karena ATS adalah suatu sindroma klinik yang berbahaya dan merupakan tipe angina pektoris yang dapat berubah menjadi infark miokard ataupun kematian. Sindroma ATS telah lama dikenal sebagai gejala awal dari infark miokard akut (IMA). Banyak penelitian melaporkan bahwa ATS merupakan risiko untuk terjadinya IMA dan kematian. Beberapa penelitian retrospektif menunjukkan bahwa 60-70% penderita IMA dan 60% penderita mati mendadak pada riwayat penyakitnya mengalami gejala prodromal ATS. Sedangkan penelitian jangka panjang mendapatkan IMA terjadi pada 5-20% penderita ATS dengan tingkat kematian 14-80%.
II. DEFINISI
Angina pektoris tak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma iskemik miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil dan infark miokard akut. Terminologi ATS harus tercakup dalam kriteria klinis sebagai berikut :
Angina pertama kali Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami oleh penderita dalam priode 1 bulan terakhir
Angina progresif Angina timbul saat aktifitas fisik yang berubah polanya dalam 1 bulan terakhir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama, timbul dengan pencetus yang lebih ringan dari biasanya dan tidak hilang dengan cara yang biasa dilakukan. Penderita sebelumnya menderita angina pektoris stabil.
Angina waktu istirahat Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang dapat menimbulkan
peningkatan
kebutuhan
O2
miokard.
Lama
angina
sedikitnya 15 menit.
8
Angina sesudah IMA Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA. Kriteria penampilan klinis tersebut dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersama-sama tanpa adanya gejala IMA. Nekrosis miokard yang terjadi pada IMA harus disingkirkan misalnya dengan pemeriksaan enzim serial dan pencatatan EKG.
III. PATOFISIOLOGI
Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang tidak menetap akibat ketidak seimbangan antara kebutuhan dan suplai O2 miokard. Beberapa keadaan yang dapat merupakan penyebab baik tersendiri ataupun bersama-sama, yaitu : 1. Faktor di luar jantung Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan cadangan aliran koroner yang terbatas maka hipertensi sistemik, takiaritmia, tirotoksikosis dan
pemakaian
obatobatan
simpatomimetik
dapat
meningkatkan
kebutuhan O2 miokard sehingga mengganggu keseimbangan antara kebutuhan dan suplai O2. Penyakit paru menahun dan penyakit sistemik seperti anemi dapat menyebabkan tahikardi dan menurunnya suplai O2 ke miokard. 2. Sklerotik arteri koroner Sebagian besar penderita ATS mempunyai gangguan cadangan aliran koroner yang menetap yang disebabkan oleh plak sklerotik yang lama dengan atau tanpa disertai trombosis baru yang dapat memperberat penyempitan pembuluh darah koroner. Sedangkan sebagian lagi disertai dengan gangguan cadangan aliran darah koroner ringan atau normal yang disebabkan oleh gangguan aliran koroner sementara akibat sumbatan maupun spasme pembuluh darah. 3. Agregasi trombosit Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan stasis aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang
9
akhirnya membentuk trombus dan keadaan ini akan mempermudah terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah. 4. Trombosis arteri koroner Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah yang sklerotik sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas menjadi mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih distal. Trombosis akut ini diduga berperan dalam terjadinya ATS. 5. Pendarahan plak ateroma Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh darah kemungkinan mendahului dan menyebabkan terbentuknya trombus yang menyebabkan penyempitan arteri koroner. 6. Spasme arteri koroner Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya aliran koroner karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyebab ATS. Spame dapat terjadi pada arteri koroner normal atupun pada stenosis pembuluh darah koroner. Spasme yang berulang dapat menyebabkan kerusakan partikel, pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan trombus pembuluh darah.
Beberapa
faktor
risiko
yang
ada
hubungannya
dengan
proses
aterosklerosis antara lain adalah :
Faktor risiko yang tidak dapat diubah : Umur, jenis kelamin dan riwayat penyakit dalam keluarga.
Faktor risiko yang dapat diubah : Merokok, hiperlipidemi, hipertensi, obesitas dan DM.
IV. GEJALA KLINIS
Pasien biasa datang dengan keluhan rasa tidak enak di dada yang tidak selalu sebagai rasa sakit, tetapi dapat pula sebagai rasa penuh di dada, tertekan, nyeri, tercekik atau rasa terbakar. Rasa tersebut dapat menjalar pada leher, tenggorokan, daerah antara tulang skapula, daerah rahang ataupun lengan.
10
Sewaktu angina terjadi, penderita dapat mengalami sesak napas atau rasa lemah yang menghilang setelah angina hilang. Dapat pula terjadi palpitasi, berkeringat dingin, pusing ataupun pingsan. Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada sperti angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat atau pada aktivitas minimal. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ada yang khas.
V. DIAGNOSIS
Diagnosis angina pectoris tidak stabil ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan gejala yang telah disebutkan diatas. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan sesuatu yang khas, namun
adakalanya pada auskultasi dapat
terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap atau meningkat pada waktu serangan angina. Pemeriksaan Penunjang
EKG Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST, dengan atau disertai inversi gelombang T (penanda iskemia), terkadang elevasi segmen ST sewaktu ada nyeri, tidak dijumpai gelombang Q. Perubahan EKG pada ATS bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali kegambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.
Petanda Biokimia (darah rutin, CK, CK-MB, Troponin T, profil lipid) Pada ATS kadar enzim LDH dan CK dapat normal atau meningkat tetapi tidak melebihi nilai 50% di atas normal. CK-MB merupakan enzim yang paling sensitif untuk nekrosis otot miokard, tetapi dapat terjadi positif
11
palsu. Hal ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan kadar enzim secara serial untuk menyingkirkan adanya IMA. Bila troponin T atau I positif dalam 24 jam, maka dianggap ada minonekrosis.
Echocardiography Tes ini dapat menampakkan kelainan pada jantung seperti gangguan faal ventrikel kiri, insufisiensi mitral, abnormalitas gerakan dinding regional jantung, yang menyebabkan prognosis kurang baik.
Angiografi Koroner Bertujuan untuk menilai keadaan pembuluh darah koroner, apakah perlu dilakukan tindakan revaskularisasi atau tidak.
VI. PENATALAKSANAAN a. Obat Anti Iskemia
1. Golongan nitrat Nitrat merupakan obat pilihan utama pada serangan angina akut. Mekanisme kerjanya sebagai dilatasi vena perifer dan pembuluh darah koroner. Efeknya langsung terhadap relaksasi otot polos vaskuler. 2. Penyekat Beta Seperti propranolol, met oprolol, atenolol, dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Hanya dapat diberikan bila tidak ada kontraindikasi (asma bronkial dan bradiaritmia). 3. Ca- Antagonis Dibagi dalam 2 golongan besar, yang berefek vasodilatasi coroner dan menurunkan tekanan darah. Dihidropiridin
Nondihidropiridin
Nifedipin → efek vasodilatasi Diltiazem
dan
Verapamil
lebih kuat, penghambatan sinus
memperbaiki
maupun
mengurangi infark pada pasien
nodus
AV
lebih
survival
→ dan
12
sedikit,
dan
efek
inotropik
negative juga lebih kecil.
dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal.
b. Obat Antiagregasi Trombotik/Antitrombotik/Antiplatelet
Aspirin o
Aspirin terbukti mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien dengan angina pektoris tidak stabil.
o
Aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160 mg per hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg per hari.
o
Bila alergi/intoleransi/tidak responsif dapat diganti dengan tiklopidin atau klopidogrel.
Tiklopidin o
Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin.
o
Tiklopidin
memiliki
efek
granulositopenia,
sehingga
mulai
ditinggalkan sejak adanya klopidogrel yang lebih aman. Klopidogrel o
Klopidogrel juga merupakan derivat tienopiridin.
o
Efek samping lebih kecil dari tiklopidin dan terbukti dapat mengurangi stroke, infark, dan kematian kardiovaskular.
o
Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari.
Inhibitor Glikoprotein Iib/IIIa
13
o
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.
o
Terdapat 3 macam obat yang telah disetujui penggunaannya : absiksimab, eptitibatid, tirofiban.
c. Obat Trombolitik
Streptokinase o
Streptokinase 1,5 juta U dalam 1 jam atau aktivator plasminogen jaringan t-PA) bolus 15 mg, dilanjutkan dengan 0,75 mg/kgBB maksimal 50 mg) dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit.
d. Obat Antitrombin/Antikoagulan
Unfractionated Heparin o
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin,
akan
bekerja
menghambat
trombin
dan
faktor
Xa.
Kelemahannya adalah heparin juga mengikat protein plasma yang lain sehingga mengurangi bioavailibilitas, efek terhadap trombus yang kaya trombosit dan dapat dirusak faktor 4. o
Heparin 5000 unit bolus intravena, dilanjutkan drip 1000 unit/jam
14
sampai angina terkontrol dengan menyesuaikan aPTT 1,5 - 2 kali nilai kontrol yang dipantau setiap 6 jam setelah pemberian. Low Molecular Weight Heparin (LWMH) o
LWMH dibuat dengan melakukan depolimerasi rantai polisakarida heparin dan hanya bekerja pada faktor Xa. LMWH mempunyai ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavailibilitas lebih besar dan tidak mudah dinetralisir oleh faktor 4, lebih besar pelepasan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan kejadian trombositopenia lebih sedikit.
o
LWMH yang ada di Indonesia adalah dalteparin, nadroparin, enoksaparin, dan fondaparinux.
e. Direct Thrombin inhibitors
Obat ini secara teoritis mempunyai kelebihan karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet faktor 4. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin.
f.
Obat-obatan lainnya
Mengatasi rasa takut atau cemas o
Diazepam 3 x 2-5 mg oral atau intravena
Pelunak tinja o
Laktulosa (Laksadin) 2 x 15 ml
Penghambat ACE diberikan bila keadaan mengizinkan terutama bila sudah
15
ada infark miokard. Mengatasi komplikasi o
Fibrilisasi atrium : kardioversi elektrik, digitalisasi cepat, penyekat beta/diltiazem/verapamil, heparinisasi.
o
Fibrilisasi ventrikel : DC Shock unsynchronized
o
Takikardia ventrikel : DC Shock unsynchronize / Lidokain / Disopiramid / Amiodaron / Kardioversi elektrik synchronized
o
Bradiarittnia dan blok : Sulfas atropine / Isoproterenol sambil menunggu pacu jantung sementara
o
Gagal jantung akut, edema paru, syok kardiogenik : terapi sesuai standar
o
Perikarditis : Aspirin, Indometasin, Ibuprofen, Kortikosteroid
o
Komplikasi mekanik (ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel) : operasi
g. Tindakan Revaskularisasi Pembuluh Koroner
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemia berat, dan refakter dengan terapi medikamentosa. Coronary Artery Bypass Surgery dapat dilakukan pada pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah. Percutaneous Coronary Intervention dilakukan pada pasien dengan faal jantung yang masih balk dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau 2 pembuluh darah atau bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan.
16
Pada angina tidak stabil apa perlu tindakan invasif atau konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien: pada risiko tinggi perlu tindakan invasif dini. VII. Pencegahan
Diet sehat. Pasien dengan penyakit jantung koroner yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh, kolesterol, dan lalori dapat memperbaiki tingkat kolesterol mereka. Selain itu, pasien dengan penyakit jantung koroner yang mengonsumsi diet kaya buah, sayuran, dan rendah lemak produk susu, dan rendah daging merah dan makanan olahan dapat menurunkan tekanan darah mereka.
Berolahraga secara teratur: Latihan aerobik selama 20 sampai 30 menit setiap hari dapat mengurangi kadar kolesterol darah dan meningkatkan tekanan darah. Pasien dengan angina hams memeriksa dengan dokter mereka sebelum memulai program latihan.
Berhenti merokok: Merokok mempercepat perkembangan penyakit jantung koroner, mengurangi kemampuan darah untuk membawa oksigen ke jaringan tubuh, kerusakan dinding pembuluh darah, dan membuat darah lebih mungkin untuk membeku, yang menyebabkan serangan jantung dan stroke. Nikotin dan bahan kimia lain dalam asap rokok juga meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan denyut jantung. Dengan berhenti merokok sama sekali, risiko serangan jantung sangat berkurang.
Menurunkan berat badan: Penurunan berat badan sedikitnya 5 sampai 10
17
pon dapat membantu menurunkan tekanan darah tinggi dan meningkatkan kolesterol.
VIII. Prognosis
Tergantung dari daerah jantung yang terkena, beratnya gejala, ada atau tidaknya komplikasi. Prognosis buruk apabila terdapat hal-hal di bawah ini :
Gagal jantung kongestif berkelanjutan
Adanya riwayat fraksi ejeksi ventrikel kiri rendah (LVEF)
Ketidakstabilan hemodinamik
Angina berulang meskipun diterapi intensif anti-iskemik
Mitral regurgitasi baru atau memburuk
Ventrikel takikardi berkelanjutan
18
DAFTAR PUSTAKA
1. PAPDI. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta : Interna Publishing 2. Braunwald, E. 1992. Heart Disease : A Textbook of Cardiovascular Medicine.
Philadelphia : W.B. Saunders 3. Sudoyo, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta :
Pusat Penerbitan IPD DWI 4. Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasima Kedokteran Edisi 6. Jakarta
: EGC
5. Arif Mansjoer dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I . Jakarta : Fakuttas
Kedokteran Indonesia
19