Agama dan Kesehatan Mental (Psikologi Agama) Judul : Agama dan Kesehatan Mental Mata Kuliah : Psikologi Agama
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada zaman dahulu ketika tekhnologi belum dikenal oleh masyarakat umum secara luas setiap penyakit penyakit yang diderita oleh oleh manusia sering sering sekali dikait -kaitkan dengan dengan hal-ha hal -hall yang berbau spiritual dan alam gaib, setiap penyakit dihubung -hubungkan dengan dengan gangguan gangguan makhluk halus, oleh karena itu orang yang sakit lebih memilih berobat kedukun atau orang pintar yang dianggap bisa berkomunikasi langsung dengan makhluk halus ketimbang berobat ke tabib yang mengerti tentang jenis penyakit berdasarkan ilmu perobatan.
Pergeseran zaman dan kemajuan tekhnologi tidak dapat terelakkan lagi, saat ini penyakit sudah dapat dilihat dan diobati dengan obat obat -obatan yang bagus dengan menggunakan metode pengolahan canggih, perkembangan ilmu pengetahuan dapat lebih menspesifikkan penyakit-penyakit tersebut. tersebut. Ada penyakit yang bersumber bersumber dari dari virus, bakteri atau baksil baksil sehingga untuk mengobatinya mengobatinya membutuhkan obat obat -obatan medis, tetapi tetapi ada juga penyakit yang bersumber dari jiwa atau hati suatu individu, jadi secara fisik individu tersebut tidak terkena virus, bakteri atau baksil -baksil, namun pada kenyataannya kenyataannya individu tersebut tersebut sakit.
Penyakit tersebutlah yang dinamakan dengan penyakit hati atau penyakit mental, untuk mengatasi mengat asi penyakit tersebut diperlukan diperlukan menejemen menejemen hati atau mental yang b aik sehingga sehingga dapat membentuk kesehatan mental yang berimbas pada kesehatan secara fisik individu tersebut.
Sejak awal-awal abad kesembilan belas boleh dikatakan para ahli kedokteran mulai menyadarii akan adanya hubunga menyadar hubungan n antara penyakit penyakit dengan dengan kondisi psiki s manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikosomatik). Dan di antara factor mental yang diidentifikasikan sebagai sebagai potensial potensial dapa dapatt menimbu menimbulakan lakan gejala -gejal -gejala a tersebut adalah
keyakinan agam. Hal ini antara lain disebakan sebagian besar dokter fisik melihat bahwa penyakit mental (mental illness) sama sekali tak ada hubungannya dengan penyembuhan medis, serta berbagai penyembuh penderita penyakit mental dengan menggunakan pendekatan agama.
B. Permasalahan Selanjutnya timbul pertanyaan, sejauh manakah agama memiliki hubungan dengan kesehatan kesehata n mental ? Lalu apa sajakah sajakah kontribusi kontribusi pendekatan pendekatan agama dalam dalam kesehat kesehatan an mental?
C. Tujuan Berdasarkan permasalah yang timbul, maka makalah ini bertujuan untuk membahas mengenai hubungan antara agama dengan kesehatan mental dan kontribusi pendekatan agama dalam kesehatan mental ?
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama dan Kesehatan Mental Pengertian agama menurut J.H. Leuba, agama adalah cara bertingkah laku, sebagai system kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak khusus. Sedangkan definisi agama menurut Thouless Thoule ss adalah hubungan hubungan praktis yang dirasakan dirasakan dengan ap a yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.(1)
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis neurosis maupun psikosis (penyesuaian (penyesuaian diri diri terhadap lingkunga lingkungan n sosial). Keseh atan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.(2)
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki memiliki mental sehat berarti mampu menahan menahan diri dari tekanan -tekana -tekanan n yang datang dari dirinya dirinya sendiri dan lingkunga lingkungannya. nnya. Noto Soedirdjo, Soedirdjo, menyatakan menyatakan bahwa bahwa ciri -ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) (Susceptibi lity) Keberadaan Keberadaan seseoran seseorang g terhadap stressor berbeda -bed -beda a karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang
diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
B. Manusia dan Agama Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli pskologi terhadap peran agama dalam kehidupan dan kejiwaan manusia. Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal itu masih menunjukkan batapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala -gejala psikologis. Dalam beberapa bukunya Sigmun Freud yang dikenal sebagai pengembang psikoanalisis mencoba mengungkapkan hal itu. Agama menurut Freud tampak pada prilaku manusia sebagai sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada Tuhan.(3)
Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidak berdayaan menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk pri laku keagamaan merupakan prilaku manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhinadar bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pemikirannya.
Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Skiner, salah seo rang tokoh Behaviorisme melihat agama sebagai isme social yang lahir dari dua faktor penguat. Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi factor penguat sebagai prilaku yang meredakan ketegangan. Lembaga lembaga social termasuk lembaga keagamaan, bertugas menjag a dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan lewat cara mengikuti aturan -aturan yang telah baku.(4)
Prilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaita nnya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berprilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. (pahala). Manusia hanyalah sebuah robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah.
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Alquran yang artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atsa fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS. Ar Ruum:30)
Dalam Alquran dan terjemahannya (Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak beragama tauhid hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.(5)
C. Kesehatan Mental dan Gangguan Mental Pada abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan medi s, namun pada perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikomatik).
Memasuki abad 19 konsep kesehatan mental mulai berkembang dengan pesatnya namun apabila ditinjau lebih mendalam teori -teori yang berkembang tentang kesehatan menta l masih bersifat sekuler, pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental tersebut adalah kehidupan di dunia, pribadi yang sehat dalam menghadapi masalah dan menjalani kehidupan hanya berorientasi pada konsep sekarang ini dan disini, tanpa memikirkan adanya hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Hal ini jauh berbeda dengan konsep kesehatan berlandaskan agama yang memiliki konsep jangka panjang dan tidak hanya berorientasi pada masa kini sekarang serta disini, agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan.
Solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah -masalah kesehatan mental adalah dengan mengamalkan nilai -nilai agama dalam kehidupan sehari -hari, kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT, serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.
Hal ini dapat ditarik kesimpulan karena pada dasarnya hidup adalah proses penyesuaian diri terhadap seluruh aspek kehidupan, orang yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan gagal d alam menjalani kehidupannya. Manusia diciptakan untuk hidup bersama, bermasyarakat, saling membutuhkan satu sama lain dan selalu berinteraksi, hal ini
sesuai dengan konsep sosiologi modern yaitu manusia sebagai makhluk Zoon Politicon.
Gangguan mental dapa t dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma -norma yang berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena ada nya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku ini sesuai dengan Al -Quran :
(QS. Al-Baqoroh 2:10) Artinya: Dalam hati mereka a da penyakit [1] lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
Adapun gangguan mental yang dijelaskan oleh A. Scott, meliputi beberapa hal : 1. Salah dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan m ental perilakunya bertentangan dengan kelompok dimana dia ada. 2. Ketidak bahagiaan secara subyektif 3. Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan 4. Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit, namun ada sebagian yang tida k mendapat pengobatan tersebut.
Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain harus mengetahui potensi individunya juga harus melihat konteks sosialnya.
D. Agama dan Kesehatan Mental Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor -faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing -masing. Namun untuk menutupi atau me niadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia da lam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, ma ka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam :
(QS Ar Ruum 30:30) Artinya: 30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manus ia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip -prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C. Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta pri nsip-prinsip yang terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.
Beberapa temuan dibidang kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan jiwa (psyche) dan badan (soma). Orang yang merasa takut , langsung kehilangan nafsu makan, atau buang -buang air. Atau dalam keadaan kesal dan jengkel, perut seseorang terasa menjadi kembung. Dibidang kedokteran dikenal beberapa macam pengobatan antaralain dengan menggunakan bahan -bahan kimia tablet, cairan sunt ik atau obat minum), electro-therapia (sorot sinar, getaran, arus listrik), chitro practic (pijat), dan lainnya. Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional seperti tusuk jarum (accupunctuur), mandi uap, hingga ke cara pengobatan perdukunan.(6)
Sejak berkembang psikoanalisis yang diperkenalkan oleh Dr. Breuer dan S. Freud, orang mulai mengenal pengobatan dan hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara hipnotis. Dan kemudian dikenal pula adanya istilah psikoterapi atau autotherapia (penyembuhan diri sendiri) yang dilakukan tanpa menggunakan bantuan obat -obatan biasa. Sesuai dengan istilahnya, maka psikoterapi dan autotherapia digunakan untuk menyembuhkan pasien yang menderita penyakit ganguan ruhani (jiwa). Usaha yang dilakukan untuk mengobati pasien yang menderita penyakit seperti itu, dalam kasus -kasus tertentu biasanya dihubungkan dengan aspek keyakinan masing -masing.
Sejumlah kasus menunjukkan adanya hubungan antara faktor keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan b eberapa abad yang lalu. Misalnya, pernyataan ³Carel Gustay Jung´ diantara pasien saya setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama´.(7)
Mahmud Abd Al -Qadir seorang ulama ahli biokimia, memberi kan bukti akan adanya hubungan antara keyakinan dengan agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikan orang. Dengan adanya gerakan Christian Science, kenyataan itu diperkuat oleh pengakuan ilmiah pula. Dalam gerakan ini dilakukan pengobatan pasien melalui kerja sama antar dokter, psikiater, dan ahli agama (pendeta). Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu jiwa agama. Sejak abad ketujuh hijriyah, Ibn Al-Qayyim Al-Jauzi (691-751) pernah mengemukakan hal it u. Menurutnya, dokter yang tidak dapat memberikan pengobatan pasien tanpa memeriksa kejiwaannya dan tidak dapat memberikan pengobatan dengan berdasarkan perbuatan amal saleh, menghubungkan diri dengan Allah dan mengingat akan hari akhirat, maka dokter ters ebut bukanlah dokter dalam arti sebenarnya. Ia pada dasarnya hanyalah merupakan seorang calon dokter yang picik.
Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicin tai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.
E. Terapi Agama pada Kesehatan Mental Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah :
(QS An Nahl 16:97) Artinya : Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki -laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka S esungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.
(QS Ar Ra¶ad 13:28) Artinya : (yaitu) orang -orang yang beriman dan hati me reka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah -lah hati menjadi tenteram.
Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam. Sebagaimana diketahui bahwa ajaran agama Islam mengandung tuntunan bagaimana kehidupan manusia bebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Dalam doa -doa, misalnya, intinya adalah memohon agar kehidupan manusia diberi ketenangan, kesejahteraan, keselamatan, baik dunia dan akhirat.(8)
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa a man dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkar an manusia terhadap agama mungkin karena faktor -faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing -masing. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. K alau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara keyakinan dan kesehatan jiwa terletak pada sikap penyerah an diri seseorang terhadap suatu kekuasaan yang maha tinggi sehingga akan dapat memunculkan perasaan positif pada kesehatan mental seseorang.
Dari uraian di atas, yaitu mengenai Agama dan Kesehatan mental dapat kita tarik kesimpulan:
Agama adalah hubung an praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa. Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya den gan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul per asaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.
B. Kritik dan Saran Pemakalah menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pemakalah guna mengingatkan dan memperbaiki setiap kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa pemakalah mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terima kasih kepada pihak -pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah.
FOOT NOTE
1. Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Hal 4. 2. Ibid, Hal 142. 3. Ibid, Terbitan Tahun 2007. Hal 154. 4. Ibid. 5. Ibi, Hal 159-160. 6. Ibid, Hal 161. 7. Ibid. 8. Dadang Hawari, Alquran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Jasa, 1995, Hal 66-74.
DAFTAR PUSTAKA
Casmini dkk. 2006. Kesehatan Mental. UIN SUKA (www.archiv.com)
Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental. 1995. Penerbit : Gunung Agung Hawari, Dadang. Alquran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. 1995. Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Jasa Jalaludin. Psikologi Agama. 2007. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Soedirjo, Moeljono, dan Latipun. Kesehatan Mental Konsep dan Terapi. 2005. UMM Press Sururin. Ilmu Jiwa Agama. 2004. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Pengertian Psikologi Agama dan Masalahnya Diposting Oleh: Abdul Katar Al-Ghazali on 9.11.10 PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa serta berkehendak dimana perilakunya mencerminkan apa yang difikir, yang dirasa dan yang dikehendakinya. Manusia juga makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus, disamping ia dapat menghayati perasaan keagamaan dirinya, ia juga dapat meneliti keberagamaan orang lain. Tetapi apa makna agama secara psikologis pasti berbeda-beda, karena agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, agama adalah ritual ibadah, seperti salat dan puasa, bagi yang lain agama adalah pengabdian kepada sesama manusia bahkan sesama makhluk, bagi yang lain lagi agama adalah akhlak atau perilaku baik, bagi yang lain lagi agama adalah pengorbanan untuk suatu keyakinan, berlatih mati sebelum mati, atau mencari mati (istisyhad) demi keyakinan. Di sini kita berhadapan dengan persoalan yang pelik dan rumit, yaitu bagaimana menerangkan agama dengan pendekatan ilmu pengetahuan, karena wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu, akal saja tidak sanggup mengadili agama. Para ulama sekalipun, meski mereka meyakini kebenaran yang dianut tetapi tetap tidak berani mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh karena tu mereka selalu menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu bissawab, bahwa hanya Allah lah yang lebih tahu mana yang benar. Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima dengan logika. Meski demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik menarik dan berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya akur, bekerjasama atau sama-sama kerja, terkadang saling menyerang dan menghakimi sebagai sesat, agama memandang ilmu sebagai sesat, sebaliknya ilmu memandang perilaku keagamaan sebagai kedunguan. Belakangan fenomena menunjukkan bahwa kepongahan il mu tumbang di depan keagungan spiritualitas, sehinga bukan saja tidak bertengkar tetapi antara keduanya terjadi perkawinan, seperti yang disebut oleh seorang tokoh psikologi tranpersonal, Ken Wilber; Pernikahan antara Tubuh dan Roh, The Marriage of Sence and Soul. (Ken Wilber, The Marriage of Sence and Soul, Boston, Shambala, 2000). Pengertian agama itu sangat kompleks. Psikologi agama mencoba menguak bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia, tetapi keberagamaan seseorang juga memiliki keragaman corak yang diwarnai oleh berbagai cara berfikir dan cara merasanya. Seberapa besar Psikologi mampu
menguakkeberagamaan seseorang sangat bergantung kepada paradigma psikologi itu sendiri. Bagi Freud (mazhabPsikoanalisa) keberagamaan merupakan b entuk ganguan kejiwaan,bagi mazhab Behaviorisme, perilaku keberagamaan tak lebih sekedar perilaku karena manusia tidak memiliki jiwa. Mazhab Kognitip PENGERTIAN Psikologi secara etimologi memiliki arti ³ilmu tentang jiwa´. Dalam Islam, istilah ³jiwa´ dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda. Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia, seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya. Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi. Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya Secara operasional, psikologi agama dapat didefinisikan sebagai: ³Cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi, jadi merupakan kajian empiris´. Psikologi Agama mempelajari psikis manusia dalam hubungannya dengan manifestasi keagamaannya, yaitu kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Kesadaran agama: hadir dalam pikiran dan dapat dikaji dengan introspeksi. Pengalaman agama: perasaan yang hadir dalam keyakinan sebagai buah dari amal keagamaan semisal melazimkan dzikir. Jadi, obyek studinya dapat berupa: (1) Gejala-gejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan; dan (2) Proses hubungan antara psikis manusia dan tingkah laku keagamaannya. Psikologi Agama tidak bermaksud untuk melakukan penilaian (to evaluate) atau kritik (to criticize) terhadap ajaran agama tertentu, tetapi semata untuk memahami dan melukiskan (to describe) tingkah laku keagamaan sebagai ekspresi dari alam pikiran, perasaan dan sebagainya akibat adanya keyakinan agama. Jadi psikologi agama tidak mencampuri dasar-dasar keyakinan agama tertentu. Tidak melakukan penilaian benar-salah, baik-buruk, masuk akal atau tidaknya suatu kepercayaan tertentu.
Theodore Flournoy menyusun prinsip-prinsip studi psikologi agama: (1) prinsip menjauhkan studi dari transenden; (2) prinsip mempelajari perkembangan; (3) prinsip dinamika; dan (4) prinsip perbandingan. Sementara itu masih terdapat isu perdebatan seputar istilah psychology of religion dan religious psychology. Yang pertama dirujukkan pada corak aliran yang memberi penekanan pada bagaimana psikologi seharusnya mencerahkan pemahaman kita tentang agama. Sedangkanyang kedua lebih menekankan pada interpretasi keagamaan tentang psikologi.
SABTU,
23
OKTOBER
2010
kesurupan dalam tinjauan agama Psychological Shock and ´ Kesurupanµ : First Aid and Emergency Care in Psychology Of Islam Pendahuluan Konsep kesurupan adalah sebuah fenomena tentang mahluk halus yang menguasai pikiran, perasaan, dan intelek (kesanggupan untuk membuat keputusan) pada diri seseorang dengan menyatu pada kesadarannya . Hasilnya adalah mahluk halus ini bisa menguasai tindakan seseorang. Orang mengalami kesurupan ketika badannya dimasuki oleh mahluk h alus yang menguasai jiwanya. Oleh karena itu, tingkah laku seseorang yang kesurup an akan dikuasai oleh mahluk halus. Hampir pada setiap kasus kesurupan, seseor ang yang kesurupan tidak tahu atau tidak ingat bahwa dia kesurupan . Konsep kesurupan telah ada selama beribu-ribu tahun yang lalu, di seluruh penjuru duni a. Kasus kesurupan terjadi pada orang Eskimo di Kutub Utara maupun orang Nguni Bantu di Afrika Selatan. Bentuk dan interpretasi kesurupan merubah-rubah dari kebudayan yang satu ke kebudayaan yang lain. Kesurupan adalah fenomena yang dapat ditemuka n dalam banyak agama dan di berbagai masyarakat di seluruh dunia. Dalam tradisi agama dan dongeng, seseorang yang dikuas ai oleh mahluk halus kelakuannya akan menjadi tidak normal dan kepribadiannya akan berubah. Meskipun demikian, kesurupan bisa diseb abkan oleh bermacam-macam unsur seperti narkotika, stres, dan hipnose . Gejala-gejalanya adalah badan ringan, berteriak histeris, menjerit-jerit dengan k ata-kata tidak jelas, kejang-kejang pingsan, muka datar, bibir pucat, sering menutup mata deng an kelopak mata berkedip-kedip secara otomatis, atau perubahan lain. Orang yang kesurupan merasa sepertinya badannya mengecil atau menjadi lebih besar dari badannya dalam keadaan normal. Di tengah masyarakat fenomena kesurupan semakin menj adi peristiwa hangat. Sebab peristiwa ini sudah mewabah ke tingkat sekolah, seperti kasus ksur upan massal siswa SMA Palupuah Kab. Agam, kesurupan massal siswa di MTsN Gunung Pangilun Padang. Terakhir kita mendengar kesurupan Massal Mahasiswa STAIKIP Ahlus Sunnah Bukittinggi bulan September 2009. Tentunya kita ingin tahu kesurupan itu bagaimana hal ihwal sebenarnya? Apa b enar kesurupan tersebut sebagai peristiwa dirasukinya tubuh seseorang oleh jin atau hannya berupa ge jolak jiwa bawah sadar seseorang? Lalu bagaimana pula psikologi dalam menjawab permasalahan ini? Dalam makalah ini dibahas tentang itu semua. A. Pengertian Kesurupan a. Kesurupan dalam Pandangan Psikolog 1. Prof. Dr. Dadang Hawari, psikiater dari Universitas Indonesia, menjelaskan, k esurupan adalah
reaksi kejiwaan yang dinamakan reaksi disosiasi atau reaksi yang mengakibatkan hilangnya kemampuan seseorang untuk menyadari realitas di sek itarnya, yang disebabkan oleh tekanan fisik maupun mental (berlebihan). Tetapi kalau kesurup annya massal, itu melibatkan sugesti. Reaksi disosiasi dapat terjadi sec ara perorangan atau bersama-sama, saling memeng aruhi, dan tidak jarang menimbulkan histeria massal. 2. Sama juga dengan y ang dikatakan oleh Prof. Dr. dr. H. Soewadi, MPH, Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Dia yakin kesurupan bukan disebabkan oleh masuknya makhluk halus, sep erti jin, kuntilanak, atau lainnya. Soewadi memandang tekanan sosial sebagai biang kesurupan. K esurupan, menurut ahli jiwa ini adalah gejala gangguan jiwa pada seseorang yang diikuti orang lain dan mengakibatkan hilangnya kepribadian yang asli. 3. Menurut Sartono Mukadis, pakar Psikologi Universitas Indonesia, munculnya fenomena kesurupan jika dilihat dari sudut pandang psikologi disebabkan oleh faktor labilitas kepribadian. ´Yang terkena pada umumnya orang-orang yang labil dan yang mencari pegangan. Anak badung sekali pun biasanya tidak ada yang kena,µ. 4. Penjelasan soal kesurupan tidak bisa tungg al. Menurut psikolog Setiyo Purwanto, S. Psi, MSi, dalam psikologi fenomena kesur upan itu bisa dijelaskan dalam tiga hal: pertama, ke adaan disosiasi, saat seseorang seaka n terpisah dari dirinya; kedua, histeria, saat seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya, dan ketiga, split personality, saat diri seseorang tampil dengan beragam perilaku yang dimunculkan oleh ´pribadiµ yang berbeda. 5. Dunia kedokteran, khususn ya psikiatri mengakui fenomena kesurupan sebagai suatu kondisi yang ditandai oleh perubahan identitas pribadi. Banyak orang mengatakan kesurupan disebabkan oleh suatu roh atau kekuatan, namun dalam dunia medis hal-hal seperti itu tidak dikenal. Beberapa pakar psikiater meny ebutkan tekanan sosial dan mental yang masuk ke dalam alam bawah sadar sebagai biang penyebab kesur upan. Banjir, tsunami, gizi buruk, ketidakadilan, upah kecil, kesenjangan yang sangat mencolok dan lainnya adalah beberapa contoh tekanan tersebut. Seperti dikutip dari Psychnet ada beberapa gejala yan g biasanya menyerang orang kesurupan diantaranya: 1. Bertindak lepas kontrol dan berbeda d ari biasanya 2. Hilang kesadaran akan sekitarnya dan tidak sadar dirinya sendiri 3. Sulit membedakan kenyataan atau fantasi pada waktu yang sama 4. Perubahan nada s uara 5. Kesusahan berkonsentrasi 6. Kadang-kadang hilang ingatan. Kondisi seperti itu dipengaruhi oleh banyak faktor s eperti spiritual, sosial, psikologi dan lainnya. Dengan melakukan screening dan pemeriksaan secara keseluruhan, faktor penyebabnya pun bisa diketahui. Gejala-gejala beberapa waktu sebelum kesurupan antara lain kepala terasa berat, badan dan kedua kaki lemas, penglihatan kabur, badan terasa ringan, dan ngantuk. Perubahan ini biasanya masih dis adari oleh subjek, tetapi se telah itu ia tiba-tiba tidak mampu mengendalikan dirinya. Melakukan sesuatu di luar kemampuan dan beber apa di antaranya merasakan seperti ada kekuatan di luar yang mengend alikan dirinya.Mereka yang mengalami kesurupan merasakan bahwa dirinya bukanlah dirinya lagi, tetapi ada suatu kekuatan yang mengendalikan dari luar. Keadaan saat kesurupan ada yang menyadari sepenuhnya, ada yang menyadari sebagian, dan ada pula yang tidak menyadari sama sek ali. Dalam keadaan kesurupan
korban melakukan gerak an-gerakan yang terjadi secara otomatis, tidak ada beban mental, dan tercetus dengan bebas. Saat itu merupakan kesempatan untuk mengekspresikan hal-hal yang terpendam melalui jeritan, teriakan, gerakan menari seperti keadaan hipnotis diri. Setelah itu, fisik mereka dirasa lelah tetapi, mental mereka mendapat kep uasan hebat. Frigerio menyatakan, ada tiga stadium yang dialami orang kesurupan. Pertama, irradiation (subjek tetap menyadari dirinya tetapi ada perubahan yang dirasakan pada tubuhnya. Kedua being diside, subjek berada d alam dua keadaan yang berbeda, namun ada sebagian yang dialaminya disadarinya. Stadium ketiga disebut stadium incorporation, subjek sepenuhnya dikuasai oleh y ang memasukinya dan semua keadaan y ang dialami tidak diingatnya. b. Kesurupan dan hubungannya dengan kejiwaan Kesurupan merupakan salah satu gejala kejiwaan. Seseorang mengalami kesurupan apabila mengalami kegoncangan kejiwaan. Yang berarti dia memiliki masalah dengan kesehatan mental. Sehinga dengan demikian di a memiliki jiwa yang tidak sehat. Adapun ciri-ciri individu yang normal atau sehat adalah: 1. Bertingkah laku menur ut norma-norma sosial yang diakui. 2. Mampu mengelola emosi. 3. Mampu mengaktualkan po tensi-potensi yang dimiliki 4. Dapat mengikuti kebiasaan-kebiasan sosial. 5. Dapat mengenali resiko dari setiap perbuatan dan kemampuan terseb ut digunakan untuk menuntun tingkah lakunya. 6. Mampu menunda keinginan sesaat untuk mencapai tujuan jangka p anjang. 7. Mampu Belajar dari pengalaman 8. Biasanya gembira. Adapun indikator kesehatan mental menurut WHO 1. Bebas dari ketegangan dan kecemasan 2. Menerima kekecewaan sebagai pelajaran dikemudian hari. 3. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan meskipun kenyataan itu pahit. 4. Dapat merasakan kepuasan dari perjuangan hidupnya 5. Mempunyai rasa kasih sayang dan butuh disayangi 6. Mempunyai spiritual atau agama. Menurut zakiah darajat indikator kesehat an mental adalah: 1. Terbebas dari gangguan dan peny akit jiwa. 2. terwujudnya keserasian antara unsure-unsur kejiwaan 3. mempunyai kemampuan dalam mengembangkan potensi yang di milikinya serta memanfaatkannya untuk dirinya dan orang lain. Istilah yang sama untuk kesurupan adalah kerasuk an, kerawuhan, keranjingan. Kata surup, rasuk, rawuh, ranjing menggambarkan keadaan sesuatu yang berasal dari luarmasuk ke d alam dan mengisi ruang dalam. Pengertian seperti ini sejalan dengan kamus Bes ar Bahasa Indonesia, yang mengartikan kesurupan sebagai kemasukan setan atau roh sehingga bertindak yang aneh-aneh. Psikologi memberikan penjelasan menge nai fenomena kesurupan sebagai : 1. Keadaan disosiasi, saat seseorang seakan terpisah dari dirinya; 2. Hysteria , saat seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya, atau ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan dan pertentangan
batin. Dalam menghadapi kesukaran itu orang tidak mampu menghadapinya deng an cara yang wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak sadar kepada gejala-gejala hysteria yang tidak wajar. 3. Split personality , saat pada diri seseorang tampil beragam perilaku yang dimunculkan oleh pribadi yang berbeda. Penjelasan ini seringk ali mengalami benturan dengan kenyataan-kenyataan budaya. Kesurupan, harusnya kita tahu bahwa ada dua jenis kesurupan. yaitu ledakan emosi dan pengambilalihan emosi. Ledakan emosi: yang dimaksud dengan ledakan emosi adalah melepasnya sistem kontrol diri karena tekanan psikologis kuat secara internal. faktor eksternal. misalnya karena marah, seseorang langsung mengamuk seperti banteng haus. Pengambilalihan emosi: Yang dimaksud dengan peng ambilalihan disini adalah lepasnya kontrol kita dari akal sehat dan kesadaran kita, lalu ada pihak lain yang mengontrol dan me ngendalikan kita. B. Kesurupan dalam Pandangan Budaya di Indonesia. Dari beberapa peristiwa kesurupan di Tanah Pasundan yang diamati, ada pola dalam kesurupan . Pelaku sebelum mengalami kesurupan mengalami peristiwa yang penuh tekanan. Pen anganan menggunakan cara-cara normal dipandang pelaku malah membawa ke jalan buntu. Di sisi lain dalam budaya Sunda ada ketidaksadaran kolektif menyatakan bahwa tersedia jalan keluar untuk hal-hal yang sudah buntu, yaitu kesurupan. Pilihan yang n yurup pun sedemikian terbatas, yaitu beberapa tokoh yang dik enal dalam mitologi Sunda dan Harimau. Harimau diyakini sebagai alihwujud dari Silihwangi yang ngahiang/moksa. Permintaan sang tokoh saat surup dapat diperkirakan, yaitu meminta sejumlah hal kecil s eperti kopi, tembakau, sirih dan p ermintaan lain yang merupakan simbolisasi dari masalah pelaku. Di Bali, kesurupan atau kerawuhan dipandang sebagai hal netral. Dalam alam budaya Bali, manusia adalah jagat alit dan semesta adalah jagat agu ng. Insan-insan suci seringkali dipilih oleh ruh suci untuk mengkomunikasikan hal yang harus dan tidak boleh dilakukan kepada komunitas disuatu wilayah. Peranan pedanda (tetua agama) di Bali adalah mengalihbahasakan apa yang disampaikan ruh yang surup di diri pelaku kepada komunitas. Di Jawa, kesurupan seringkali diyakini sebagai masuk nya ruh-ruh jahat yang diyakini be rada di teritori tertentu yang merasakan bahwa dirinya terganggu oleh pelaku. Ada se jumlah cara yang dilakukan agar sang ruh jahat segera keluar dari diri pelaku . Ad a sejumlah sesaji dan ritual yang harus disiapkan agar sang pelaku selanjutnya aman. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia yang disusun oleh Hassan Shadily, John M. Echols.(Gramedia:1988) menyatakan Trance = kes urupan. Pengertian ini dapat kita analisis bahwa penyamaan Trance dengan kesurupan tidaklah tepat. Karena Trance kebiasaannya terjadi pada seseorang yang memaikan suatu kesenian. Dalam artian keadaanTrance dikondisikan sedemikian rupa. Berbeda dengan kesurupan yang seseorang yang sebelumnya tidak berusaha menginginkan terjadinya hal tersebut, tetapi karena factor kejiwaany yang lemah dan terganggu. Trance berbeda dengan kesurupan. Dalam fenomena kesurupan, s eseorang mengalami keadaan trance akan tetapi tidak setiap keadaan trance adalah kesurup an. Trance dapat terjadi saat seseorang fokus, relaks, menikmati, larut dan berminat atas sesuatu. Trance bisa terjadi kapan pun mulai anda menikmati membaca tulisan ini, main games, m enikmati olahraga atau menari, bermain atau mendengarkan musik. Fenomena trance mudah dilihat pada saat orang Aceh sedang menarikan Saman atau
mendendangkan kisah p erang sabil, Saat orang Batak sedang bagondang, s aat penari piring dari ranah minang asyik menari hingga nyaman berdiri dan menggerakkan kaki di atas tumpukan beling, saat para Jawara memainkan debus di Banten, saat Ak i-aki dari Garsela (Garut Selatan) ngengklak surak ibra, saat penari jaran kepang tegang dan mengunyah beling, s aat penari Reog Ponorogo tubuhnya kuat membawa topeng macan de ngan bulu merak sambil memanggul warok, saat penari barong di Bali mencabut keris, memejamkan mata dan menusukk an keris ke dadanya, saat penari bugis membakar tubuhnya dengan api, saat pe nari Maluku memainkan bambu gila, dan saat tarian perang dilakukan para pemuda dari papua.
C. Kesurupan sebagai salah satu gangguan kep ribadian dalam Psikologi Dalam kategori diagnostik utama, psikopatologi secar a garis besar dibagi menjadi d ua bagian, yaitu neurosis dan psikosis. Neorosis pada mulanya diartikan sebagai gangg uanµ ketidakberesan susunan syarafµ, tetapi para psikolog akhirnya mengubah pengertiann ya dengan gangguan-gangguan yang terdapat pada jiwa seseorang.µ Perubahan pengertian ini diakibatkan oleh hasil penelitian bahwa penyebab neurosis bukan hannya ketidakberesan syaraf, tetapi juga ketidakberesan sikap, perilaku, atau aspek mental seseorang. Ciri utama neurosis ditandai dengan; (1) wawasan yang tidak lengkap meng enai sifat-sifat dan kesukarannya, 2) konflik; 3) reaksi kecemasan; 4) kerus akan parsial atau sebagian dari kepribadiannya; 5) seringkali disertai fobia, gangguan pencernaan dan tingkah laku obsesif-kupulsif. Bentuk-bentk neurosis adalah hysteria, reaksi kecemasan, ne urasthenia (ditandai dengan kelemahan yang berlebihan, k elelahan, keluhan-keluhan, cacat fungsi pada jeroan dan dalam rongga perut, serta kecemasan. Kesurupan bisa kita p ahami secara ilmiah sebagai tindakan alam bawah sadar seseorang sebagai reaksi terhadap tekanan yang dihadapi. Sehingga dengan demikian kesurupan bukanlah akibat masuknya makhluk halus tetapi dia merupakan sebab dari lemah jiwa seseorang. D. Kajian Psikologi tentang Kesurupan Dalam kajian psikologi ada dua perspektif yang dapat digunakan un tuk melihat kasus kesurupan yaitu kajian psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Salah seorang pakar dalam psikoanalisa adalah Carl Bustav Jung. a. Ketidaksadaran dalam pandangan Jung C.G. Jung (Swis, 1875-1961) adalah tokoh yang paling penting untuk psiko analisis (psikologi dalam) di samping Sigmund Freud dan Alfred Adler. Psikologi dalam (depth psyc hology) menemukan ketegangan antara hidup sadar dan tidak sadar dan m enganalisa ´ketidaksadaranµ sebagai suatu lapisan psikologi manusia (di samping pikiran yang disadarinya) yang mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan manusia. Ketidaksadaran itu mu ncul misalnya dalam mimpi-mimpi atau juga dalam mitos-mitos dan gambar-gambar religius. Menurut C.G. Jung, ketidaksadaran p unya dua lapisan, yaitu ketidaksadaran individual yang isinya dibentuk oleh pengalaman-pengalaman pribadi yang digeserkan ke b awah sadar, dan ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness) y ang isinya merupakan warisan yang dimiliki semua manusia sebagai bagian dari kodratnya. Kedikaksadaran adalah ´segala endapan pengalaman nenek moyang yang diturunkan sejak berjuta tahun yang tak dapat disebut yang sepenuhnya mengendalikan, gema peristiwa dari dunia prasejarah, yang oleh zaman selanjutnya ditambah sedikit demi sedikit penganekaragaman d an pembedaan-pembedaanµ. Adanya ketidaksadaran itu bisa menjelaskan keny ataan bahwa baik dalam mimpi-mimpi individual maupun d alam budaya-
budaya dan agama-agama yang berbeda, muncul motif-motif yang sama tanpa adanya hubungan tradisi satu sama lain atau diakibatkan oleh pengalaman konkret. Ketidaksadaran adalah tempat di mana agama dan simbol-simbol religius berakar. J adi, ketidaksadaran bukan hanya dasar kemampuan manusia untuk mengembangkan agama dan simbolsimbol religius dan ´pintu masukµ yang membuka lubuk jiwa manusia untuk pengalaman religius, tetapi juga menyediakan materi-materi untuk gagasan-gagasan keagamaan. Materi yang disediakan oleh ketidaksadaran untuk pros es itu, oleh C. G. Jung disebut ´arketipeµ, yaitu ´gambaran arkais, kuno dan universal, yang sudah ada sejak z aman yang amat silam. Dalam kata Jung, arketipe ¶merupakan bentuk atau g ambaran yang bersifat kolektif yang terjadi praktis di seluruh bumi sebagai unsur kisah suci dan d alam waktu yang sama merupakan hasil asli dan individual yang asal-usulnya tidak disadari·. Arketipe itu secara laten t ersembunyi dalam semua orang dan akan diberi ungkapan s imbolis menurut situasi historis di mana orang itu tercakup. Konsep arketipe itu me ngambil bentuk simbolis dalam berbagai ungkapan religius, dan menggambarkan solidaritas terdalam antara berbagai tradisi keagamaan umat manusiaµ. Jadi, simbol-simbol dasar dari agama-agama (misalnya: Tuhan, ay ah/ibu, simbol-simbol untuk keberadaan transenden dan keseluruhan/keesan dll.) sudah berada di dalam ketidaksadaran setiap individu, mereka merupakan ide-ide yang pra-sadar dan primordial, dan merupakan d asar untuk pengalaman-pengalaman religius yang langsung. Mereka me ncermrinkan struktur kepribadian manusia dan menunjuk kepada keberadaan yang transenden. b. Unsur kepribadian dalam paradigma Psikoanalitik Jung Doktrin Jung yang dikenal dengan psikologi analitis (analytical psychology), sangat dipengaruhi oleh mitos, mistisisme, metafisika, dan pengalaman religius. I a percaya bahwa hal ini dapat memberikan keterangan yang memuask an atas sifat spiritual manusia, sedangkan teori-teori Freud hanya berkecimpung dengan hal-hal yang sifatnya keduniaan semata. Jung mendefinisikan ke mbali istilahistilah psikologi yang dipakai pada saat itu, khususnya yang dipak ai oleh Freud. Ego, menurut Jung, merupakan suatu kompleks yang terletak di tengah-tengah kesadaran, yakni keakuan. Istilah Freud lainnya yang didefinisikannya kembali adalah libido. Bagi Jung, libido bukan hanya menandak an energi seksual, tetapi semua proses kehidupan y ang penuh energi: dari aktivitas seksual sampai penyembuhan. Id, ego, dan superego, adalah istilah istilah yang tak pernah dipakai oleh Jung. Seb agai gantinya, ia menggunakan istilah concio usness (kesadaran), personal unconciousness (ketidaks adaran pribadi), dan collective unconciousness (ketidaksadaran kolektif) Conciousness dan personal unconciousness sebagian dapat diperbandingkan dengan id d an ego, tetapi terdapat perbedaan yang sang at berarti antara superego-nya Freud dengan collective unconciousness, karena Jung percaya bahwa yang terakhir ini adalah wilayah kekuatan jiwa (psyche) yang paling luas dan dalam, yang mengatur akar dari empat fungsi psikologis, yaitu sensasi, int uisi, pikiran, dan perasaan. Selain itu, juga mengandung warisan memori-rasial, leluhur dan historis.
c. Kajian teori Jung terhadap Kasus Kesurupan Indonesia merupakan bangsa kaya budaya termasuk budaya kesurupan, bahkan di daerah daerah tertentu malah sengaja untuk k esurupan, dan menjadi tontonan menarik seperti re og, kuda lumping, debus dan tari kecak. Budaya ini lah yang me njadi arketip arketip yang tersimpan dalam ketidaksadaran kolektif dan inilah yang banyak mempengaruhi terjadinya k esurupan di indonesia. Setiap kita memiliki potensi untuk kesurupan karena memang bawah sadar kita dalam collective
unconciousness berisi mitos mitos seperti memedi pocong, wewe gombel, jin penunggu rumah, jin penunggu sungai, dan banyak lagi, bahkan penunggu laut selatan. Mitos inilah yang turun menurun dari jaman dulu terus hingga sekarang. Ditambah lagi pengalaman masa kecil yang sering ditakut takuti dengan berbagai macam hantu dan seg ala varian nya, yang kemudian tersimpan dalam personal unconciousness sehingga kedua kenyataan itu klop membentuk suatu sistem keyakinan dan kepercayaan yang setiap saat bisa muncul bila ada pemicunya (precipitating event). Dalam kasus kesurupan masal yang menjadi precipitating event adalah teman yang s udah kesurupan, dalam istilah hipnotisme teman y ang sudah kesurupan menginduksi bawah sadar teman lainnya sehingga seperti penyakit menular yang bila tidak diisolasi akan mewabah ke yang lain. Seringkali orang yang kesurupan memiliki kekuatan yang melebihi kemampuan biasanya, dalam beberapa kasus kesurupan dia bisa berteriak teriak hingga berjam jam, atau bisa melemparkan beberapa orang yang sedang memeganginya. Ada lagi kesurupan mampu berbicara seperti bukan dia yang bicara, dalam keadaan seperti ini seseorang y ang kesurupan sedang memasuki alam bawah sadarnya tepatnya di alam ketidaksadaran kolektif dimana menurut fre ud ketidaksadaran tersebut mengandung kekuatan jiwa (psyche) sehingga di a memiliki kekuatan yang melebihi seperti biasanya Mengapa orang bisa masuk kedalam alam bawah sadarnya ? sebab utamany a adalah lemahnya kesadaran seperti orang mau masuk tidur, ken apa bisa tidur jawabnya tentunya karena lemahnya kesadaran karena faktor mengantuk. Beberapa Cara menangani kasus kesurupan; 1. Isolasi sesegera mungkin anak yang terkena kesurupan 2. Tenangkan suasana, karena kesurupan cenderung membuat suasana menjadi gaduh, ketakutan, dan crowded atau ramai. 3. Tenangkan anak yang mengalami kesurupan d engan membiarkannya, jangan dipaksa atau dipegang apalagi diteriaki terlebih di pukul pukul, 4. Kalau membaca Qur·an bacakan dengan penuh kekhusyuan dan dengan nada pelan sehingga akan menenangkan si sakit, kalau dibaca dengan menghentak hentak anak yang terkena akan semakin histeris dan teriakan dari pembacaan quran tadi akan memperk eruh keadaan. Dalam hal ini kita harus bijak dalam mendudukkan al quran jangan melecehkan quran dengan menggunakannya yang bukan pada tempatnya, gunakan quran sebagai petunjuk hidup bukan seb agai alat pengusiran jin. 5. Tempatkan si anak di tempat tertutup namun yang aman dan udara bisa keluar masuk dalam ruangan dengan baik 6. Jika keadaan semakin tidak terkendali, jangan memanggil paranormal, atau memanggil dukun dan sejenisnya. Namun panggilah dokter untuk memberik an obat penenang kepada si anak, dan jika sudah dampingi anak dengan orang tuanya 7. Mistis disekolah. Kesurupan sering terjadi biasanya di tempat yang bekas kubur an, atau dekat kuburan, karena nuansa mistis bisa menjadi condtioning event atau keadaan yang mengkondisikan terjadinya kesurupan. 8. Para guru jangan b ersikap tahayul dan khurafat misalnya dengan mendatangkan ahli pengusir jin karena itu bukannya menghilangkan jin malah lingkun gan sekolah menjadi tersugesti untuk kembali ke jaman animisme yaitu mempercayai Jin dan sebangsanya y ang pada akhirnya akan melemahkan tauhid dan akibatnya adalah munculnya kesurupan. E. Perawatan Terhadap Korban Kesurupan Dalam Tinjauan Psikologi Islam Bagaimanapun kesurupan merupakan salah satu fenomena kejiwaan yang bermasalah. Terjadinya peristiwa tersebut tidak lain karena labilnya jiwa seseorang. Untuk terhindar dari hal tersebut k ita harus memiliki jiwa yang sehat. Ada tiga langkah yang ditempuh dalam mencapai kesehatan mental yakni pengobatan (kuratif), pencegahan (preventif), dan pembinaan (ko nstruktif).
Langkah pengobatan ialah usaha yang ditempuh untuk menyembuhkan dan merawat orang yang mengalami gangguan kejiwaan, sehingga ia dapat menjadi sehat dan wajar kembali. Langkah pencegahan adalah metode yang digunakan untuk menghadapi diri sendiri dan orang .lain, guna meniadakan atau mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan sehingga ia d apat menjaga dirinya dan orang lain dari kemungkinan jatuh kepada kegon cangan dan ketidaktentraman batin. Usaha ini, di samping usaha pribadi seseor ang, juga termasuk usaha pemerintah dan masyarakat dalam memperbaiki dan mempertinggi sistim kebudayaan dan peradaban. Langkah pembinaan di samping bertujuan untuk me njaga kondisi mental yang sudah baik, juga meliputi cara yang ditempuh or ang untuk meningkatkan rasa gembira, bahagia dan kemampuannya dalam mempergunakan segala potensi yang ada seop timal mungkin, seperti apa yang dilakukan orang dalam memperkuat ingatan, fantasi, kemauan, dan kepribadian. Kondisi mental seseo rang yang sehat berbanding lurus dengan kedalaman cara b eragamanya. Dia memiliki keimanan yang kokoh, s ehingga dia tidak mu dah dirasuki pikiran-pikiran yang tidak wajar. Disinilah diharapkan berfungsinya ketauhidan dalam diri seseorang. Kita meyakini bahwa dalam surat al-Ikhlas ayat 2 Allah sudah m enjelaskan pada kita bahwa Dialah sandaran hidup d an tempat kita mengadukan persoalan seluruh masalah kita. Tertancapnya keimanan seseorang, akan mengendalikan sifat emosinya. Dengan tauhid akan mampu menstabilkan tekanan pada amygdale ( system s araf emosi), sehingga emosi selalu terkendali. Emosi yang tenang terkendali akan mengh asilkan optimalisasi pada fungsi kerja God Spot pada lobus temporal serta mengeluarkan su ara hati ilahiah dari dalam bilik peristirahatannya. Perlu kita melihat orientasi Spiritualisme Tauhid, yaitu: 1. Ketika terjadi masalah pada dimensi fisik, 2. Maka akan terjadi rangsangan pada dimensi emosi (EQ). Namun karena aspek mental telah dilindungi oleh prinsip tauhid, maka emosi akan tetap tenang terkendali. 3. Akibatnya, suara hati ilahiah pada dimensi spiritual (SQ) bekerja dengan nor mal. Keimanan merupakan solusi untuk menen tramkan jiwa. Sehingga dapat membentengi jiwa dari segala pengaruh negatif. Berbicara tentang keimanan tidak terlepas dari ajaran agama Islam. Menurut Hasan al-Banna sebagaimana dikutip oleh Yahya Jaya, bahwa agama Islam merupak an semulia-mulia jalan bagi perbaikan dan pembinaan jiwa manusia, k arena ajaran agama memenuhi kebutuhan jiwa dan mengendalikan manusia dalam pemenuhan k ebutuhan jiwanya. Untuk lebih jelasnya Psikologi Ag ama sudah memberikan sol usi dalam masalah gangguan jiwa ini yaitu metode Tazkiyatul Nafs. a. Tazkiyatul al-Nafs sebagai Metode Bimbingan dan konseling dalam Agama Islam. Tazkiyah memiliki dasar y ang kuat dan mantap dalam agama Isl am. Dalam al-Qur·an ditegaskan bahwa tazkiyah adalah misi utama risalah para r asul Allah, pokok pangkal ketaatan man usia, tujuan tertinggi kehidupan jiwa orang yang beriman dan bertaqwa serta padany a banyak bergantung kebahagian dan k esesengsaraan hidup m anusia di dunia dan di akhirat. Seperti yang dijelaskan alQur·an:
Artinya: Sesungguhnya Allah SW T telah member karuni a kepada orang-orang yang b eriman, ketika Allah megutus kepada mereka seorang rasul dari golon gan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa mereka (tazkiyah) serta mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Sesungguhny a sebelum kedatangan rasul, mereka benar-benar
berada dalam kesesatan yang nyata. ( Ali Imran ayat 164) . Dalam penyucian jiwa tersebut tidak terlepas dari peranan al-Qur·an sebagai panduan hidup u mat Islam. Al-Qur·an sebagai sumber utama ajaran I slam berfungsi sebagai petunjuk, obat, r ahmat, dan mau·izat (pengajaran) bagi kehidupan jiwa manusia dalam menuju kebahagiaan dan peningkatan kualitasnya sebagaimana yang ditegaskan oleh ayat berikut:
Artinya: sesunguhnya al-Qur·an ini memberikan petunjuk ke pada (jalan) yang lurus dan memberikan khabar gembira kepada orang-orang yang beriman yan g mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka adalah pahala yang besar. (QS. Al-Isra· 9)
Berdasarkan ayat tersebut dipahami bahwa untuk pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dan bahagia mesti dekat denga n agama. Dengan dalamnya jiwa keagamaan seseorang maka dia akan memiliki jiwa yang se hat. Kebahagian dan ketenangan hidup akan diraih dengan diamalkannya tuntunan Ilahi. b. Psikoterapi dalam penanganan gangguan kejiwaan (kesu rupan) Psikoterapi berarti penerapa n teknik khusus pada penyembuhan penyakit mental atau kesulitankesulitan penyesuaian diri setiap hari. Metode dan teknik psikoterapi biasanya dilakukan deng an wawancara. Dalam wawancara, penderita dibimbing ke sasaran yang antara lain mengub ah pola kelakuan penderita dengan jalan menunjang perkembangan positif pada kepribadiannya dengan menghilangkan hambatan dalam kepribadiannya. Teknik utama yang digunakan oleh para psikoterapis mencakup interview kedalaman, pengkodisian, sugesti dan penafsiran. Pengusahaan kom unikasi yang akrab,baik monologis maupun dialogis, antara terapis dengan pasiennya. Dalam kondisi demikian pasien didorong serta diberanikan untuk mendiskusikan segala kecemasan dan pe ngalamannya yang paling intim (rahasia) tanpa ada pertimbangan moral atau kritsme di pihak ter apis. Sebaliknya, terapis memperlihatkan sikap yang hangat dan memahami keadaan pasien atau kliennya untuk meng ekspresikan diri serta meminimalisir rasa malu. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa psikoterapi merupakan upaya pengobatan d an pemulihan kesehatan (fisik, psikis, iman dan k albu) orang yang terganggu atau sakit melalui bantuan kejiwaan. Sehingga terciptalah pribadi yang kokoh s ecara emosi dan kematangan jiwanya. F. Kesimpulan Kesurupan merupakan reaksi kejiwaan yang dinamakan reaksi disosiasi atau reaksi yang mengakibatkan hilangnya kemampuan seseorang untuk menyadari realitas di sekitarnya, y ang disebabkan oleh tekanan fisik maupun mental (berlebihan). Tetapi kalau kesurupan nya massal, itu melibatkan sugesti. Reaksi disosiasi dapat terjadi secara p erorangan atau b ersama-sama, saling memengaruhi, dan tidak jarang menimbulkan histeria massal. Kesurupan hannya terjadi pada diri orang y ang memiliki jiwa yang lemah, sehingga ketika mendapat tekanan tidak mampu untuk mengatasinya. Orang yang lemah dari segi jiwa atau mental
melepaskan ketidak berdayaanya dengan tanpa disadarinya masuk ke d alam bawah sadarnya. Ketika berada dalam wilayah bawah sadarnya tersebut terjadilah letupan-letupan emosinya yang tertahan selama ini. ketika hal itu terjadi, diiringi dengan daya kekuatan y ang lahir dari dorongan kejiwaannya. Dia meronta dan melabrak orang disekelilinginya. Saat ini yang terjadi adalah dia berada dalam alam bawah sadar. Dengan demikian dipahami bahwa kesurupan merupakan s ebab dari lemahnya jiwa seseorang dalam menghadapi realitas social. Menurut penulis kesurupan yang marak terjadi buk anlah akibat diri seseorang dirasuki oleh jin. Namun justru karena adanya letupan emosi b awah sadarnya. Kesurupan jangan dipelihara. Bagaimanapun ini merupakan masalah kejiwaan. Oleh karenanya solusi bagi masalah ini adalah bagaimana kita menciptakan jiwa yang sehat. Dengan kondisi y ang sehat dan tenang akan membuat diri seseorang memiliki ketahanan di dalam menghadapi kerasnya hidup ini. Jiwa yang tenang hanya akan didapat dari ajaran-ajaran agama. Pengamalan ajaran agama akan menjauhkan seseorang dari keputus asaan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 20 06) AN. Ubaedy dan Abdul Kohar-Majalah Edukasiah, ttp://www.voa-islam.com/news/seasia/2009/07/22/420/. Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Suks es Membangkitkan ESQ Power, (Jakarta: Arga, 2004) Departemen Agama, Al-Qur·an dan terjemahnya, (Jakart: PT Syaamil Cipta Media, 2004) Detik.com (25/3/2006). Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) Htt/ id.shvoong.com/social/sciences Ramayulis, Psikologi Agama, (Jak arta: Kalam Mulia, 2004)
Siswanto, Kesehatan Mental; konsep, Cakupan dan Perkembangan nya, (Yogyakarta: Andi Offset, 2007) http://andrew-setiawan.blogspot.com/2009/02 Setiyo Purwanto, Kesurupan dalam tinjauan psikologi Islam, Google. Com, 19 Desember 2008 Winarno Surakhmad, Murray Thomas, Perkembangan Pribadi dan K eseimbangan Mental, (Bandung: Jemmars, 1980) www.religion-cult.com Wallace, Alfred Russel. On Miracles and Modern Spiritualism: Rise of Victorian Spiritualism. United Kingdom: Routledge, 2001 Walker, Sheila S. Ceremonial spirit possession in Africa and Afro-America: Forms, meanings, and functional significance for individuals and so cial groups. Brill Archive, 1973 Yahya Jaya, Bimbingan Konseling Ag ama Islam, ( Padang: Angkasa Raya, 2004) Yahya Jaya, Spritualisasi; dalam menumbuhkembangkan Kepribadian dan Keseh atan Mental, (Jakarta: CV Ruhama, 1994) Zakiah Darajat, Perawatan Jiwa, (Jakarta: B ulan Bintang, 1977) Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: CV Haji Masaagung, 1969)
MAKALAH
Psychological Shock and ´ Kesurupanµ : First Aid and Emergency Care in Psychology Of Islam Dipresentasikan pada Perkuliahan Psikologi Agama Islam
29 November 2010 MISTIS ISME
DALAM KAJ IAN PSIKOLOGI AGA MA
1. PENGERTIAN MISTISISME
Kata mistisisme berasal dari bahasa Yunani Meyein, yang artinya menutup mata. Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hala yang berkaitan denganpengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas, mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil. Mistisisme dalam Islam disebut dengan tasawuf, dan oleh para orientalis Barat disebut dengan sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis khusus dipakai dalam mistisisme Islam, dan tidak dipakai dalam agama-agama lain. Tasawuf atau mistisismesebagaimana dengan mistisisme di luar agama Islam mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disad ari dengan Tuhan,
sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. 1 Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Tujuan dari mistisisme adalah memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang barada dihadirat Tuhan. 2 Cirri khas mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik, atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan (wihdah, dalam istilah tasawuf Islam). 3
2.
KARAKTERISTIK MISTISISME
William
James, menjelaskan tentang kondisi mistisisme. Menurutnya, kondisi tersebut ditandai dengan empat karakteristik: 4 Ia merupakan sustu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan, kondisi tersebut merupakan perasaan (stste of feeling) yang sulit dilakukan pada orang lain dengan detail kata seteliti apa pun. a.
Ia merupakan merupakan suatu kondisi pemahaman (neotic), sebab bagi para pelakunya ia merupakan kondisi pengetahuan. Dalam kondisi tersebut tersingkap hakikat realitas yang baginya merupakan ilham dan bukan pengetahuan demonstratif. b.
Ia merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak langsung tinggal lama pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan yang sangat kuat dalam ingatan. c.
d.
Ia merupakan kondisi pasif (passivity).
Sedangkan menurut Al-Taftazani mengungkap lima karakteristik, di mana karakteristik tersebut memiliki cirri-ciri yang bersifat psikis, moral, dan epistimologis. Karakteristik tersebut adalah:5 a. Peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk merealisasikan nilai -nilai itu. b. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana yaitu, bahwa dengan latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pa da kondisi psikis tertentu. Di mana dia sudah tidak lagi merasakan adanya diri ataupun kekuatannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam realitas tertinggi. c. Pengetahuan intuitif langsung, yaitu metode pemahaman hakikat realitas di balik persepsi inderawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasfy atau intuisi, maka dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi ataupun mistikus. d. Ketentraman atau kebahagiaan. Seorang sufi atau mistikus akan tebebas dari semua rasa takut dan merasa intens dalam ketentraman jiwa, serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.
e. Penggunaan symbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud dengan penggunaan symbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi atau mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harfiah kata -kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisis serta pendalaman. Tasawuf atau mistisisme adalah kondisi-kondisi yang khusus, mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dan ia pun bukan kondisi yang sama pada semua orang.
3.
SUFISME DALAM KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA
Aspek-aspek psikis dalam mistisisme telah banyak dikaji oleh para ahli ilmu jiwa agama. Seperti William James, James Leuba, Roger Bastide, evelyn Underhill dan Robert Thouless. Nama yang terakhir ini, misalnya, membahas mistisisme dengan mengawalinya pada arti penting mistisisme bagi psikologi agama, yaitu sebagai rangsangan kreatif dalam pemikiran keagamaan. Kontemplasi merupakan bagian dari kehidupan para mistikus. Terdapat dua tipe kontemplasi yaitu, pertama, sebagai system latihan mental seperti meditasi; kedua, sebagai system aturan perilaku yang disebut asketik. Dalam tipe keduasebagai system aturan perilakumempunyai cirri sebagai penolakan untuk melakukan tindakan-tindakan instingtif atau adat istiadat dan pembiasaan melakukan perbuatan-perbuatan menyakitkan. Latihan-latihan mental para mistikus diarahkan pada pengekangan-pengekangan perilaku. Mereka dilatih berpikir tentang tentang keterkaitan antara makanan dan minuman dengan akibat yang tidak menyenangkan dan tranformasinya dalam tubuh, sehingga mereka tidak lagi memilki keinginan untuk makan dan minum. Pada tahap berikutnya adalah sampai pada tingkat bersau (kemanunggalan) yang biasanya terungkap lewat syair-syair atau doa mis tik. Dalam hal ini Santa Teresa melukiskan empat tahap doa mistik, yaitu doa ketenangan, doa penyatuan, ekstasi, dan perkawinan spiritual. Mengenai hubungan antara mistisisme dengan gangguan mental itu dikemukakan oleh para tokoh mistik yang menunujukan bukti hysteria dan bukti tanda-tanda penyakit yang dikaitkan dengan sugestibilitas tingkat tinggi. Para tokoh mistik dalam upaya menyucikan diri membersihkan jiwa dari keterikatan akan kenikmatan dunia adalah dengan mengasingkan diri (uzlah) dan kontemplasi. Sikap demikian juga dialami oleh penderita ganguan jiwa. Di mana dalam kondisi jiwa yang tertekan, Ia mengambil sikap menarik diri dari lingkungan atau kehidupan special. Perasaan sebagaimana tersebut di atas yang kemudian memunculkan anggapan, bahwa penderita ganguan jiwa dan perilaku tokoh-tokoh mistik yang mempunyai kesamaan. Pada bagian lain, teradap empat aspek yang dapat dikatagorikan dalam mistisisme yaiu ilmu ghaib, ilmu kebathinan, magis, dan parapsikologi. Aspek yang disebut terakhir, misalnya, membahas gejal-gejal jiwa yang terjadi tanpa peran panca indera, serta
perubahan yang bersifat fisik yang digerakan oleh jiwa tanpa menggunakan kekuatan yang terkait dengan tubuh manusia. Gejala-gejala jiwa paranormal ini dimiliki seseorang berdasarkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, tanpa dipelajari sehingga memiliki kemampuan melebihi gejala jiwa yang normal seperti: 1) Kemampuan mengetahui Sesutu peristiwa yang belum terjadi, telepati, ramalan, meilihat sesuatu tanpa menggunakan mata dan sebagainya. 2) Kemampuan melakukan pebuatan tanpa menggunkan kekuatan yang terdapat dalam fisik, pengobatan, stigmasi dan sebagainya. Kemampuan tersebut menjadi wajar bila dimiliki oleh para pelaku sufi yang telah mencapai derajat tinggi, khususnya sampai pada tahap makrifat, sebab salah satu dari aspek makrifat adalah pencapaian hal-hal yang gaib dari Allah. Orang yang telah mencapai makrifat maka akan tersingkap tabir yang menghalanginya dengan Allah, ia akan menemukan banyak hal tentang rahasia-rahasia alam yang merupakan ilmu Allah.6
DAFTAR PUSTAKA
Jalauddin dan Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia, 1993, cet. ke -2 Sururin. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, cet. ke-1 Thouless, Robert H. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995, cet. ke-2