BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Salah satu sumber daya alam itu adalah tanaman. Tanaman bukan hanya dapat dijadikan sebagai sumber pangan tapi dapat dijadikan sebagai sumber pengobatan karena mengandung zat-zat berkhasiat didalamnya. Tanaman yang mengandung zat berkhasiat biasanya dikenal sebagai tanaman obat. Tanaman obat ini sangat bermanfaat dalam dunia farmasi baik sebagai bahan utama atau zat aktif dalam pembuatan obat maupun sebagai zat tambahan. Salah satu zat tambahan dalam industri pembuatan obat adalah zat pewarna. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman obat di dunia. Wilayah hutan tropika Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 di dunia setelah Brazil. Sebanyak 40.000 jenis flora yang ada di dunia, terdapat 30.000 jenis dapat dijumpai di Indonesia dan 940 jenis diantaranya diketahui berkhasiat sebagai obat dan telah dipergunakan dalam pengobatan tradisional secara turuntemurun oleh berbagai etnis di Indonesia. Jumlah tumbuhan obat tersebut sekitar 90% dari jumlah tumbuhan obat yang terdapat dikawasan Asia (Masyhud, 2010). Obat yang berasal dari tumbuhtumbuhan sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu sebagai obat tradisional (Tudjuka dkk., 2014:120). Salah satu dari sekian banyak tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional adalah tumbuhan jamblang (Eugenia cumini Merr merupakan nama dulu dari Syzygium cumini). Tumbuhan ini dikenal dengan berbagai macam nama seperti di India dan Malaysia dikenal dengan nama jaman, jambul, jambu, jamelong, di Indonesia
dikenal sebagai jambulan, jamblang (Jawa Barat), juwet atau duwet (Jawa Timur), dan jambu kaliang (Sumatra Barat) (Arifin, 2006). Tumbuhan jamblang ini dilaporkan mengandung senyawa kimia antara lain suatu alkaloid, flavonoid, resin, tannin, dan minyak atsiri (Arifin, 2006). Tumbuhan ini memiliki banyak khasiat tidak lain karena memiliki kandungan kimia yang fungsinya dapat mengobati suatu penyakit. Salah satunya adalah senyawa flavonoid. Flavonoid meru- pakan salah satu metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan. Senyawa ini dapat digunakan sebagai anti mikroba, obat infeksi pada luka, anti jamur, anti virus, anti kanker, dan anti tumor. Selain itu flavonoid juga dapat digunakan sebagai anti bakteri, anti alergi, sitotoksik, dan anti hipertensi (Sriningsih, 2008). Syzygium cumini termasuk kedalam keluarga suku jambu-jambuan (Myrtaceae). Jenis ini termasuk jenis asli kawasan Indo-Malaysiana, termasuk Indonesia. Masyarakat di kawasan ini telah lama mengenalnya sebagai tanaman buah yang dapat di konsumsi. Informasi terakhir menge- nai tumbuhan jenis ini adalah kegunaannya sebagai bahan baku obat diabetes militus (Mudiana, 2007). Menurut Mahmoud et. al (2001) bahwa secara umum genus Syzygium mengandung metabolit sekunder berupa flavonoid, alkaloid, tannin, terpenoid, yang digunakan di dalam dunia pengobatan antara lain untuk antiradang, penahan rasa sakit, dan anti jamur. 1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana klasifikasi tanaman Jamblang? b. Apa nama lain lain tanaman Jamblang? c. Apa kandungan kimia tanaman Jamblang? d. Apa khasiat tanaman Jamblang? e. Bagaimana morfologi tanaman Jamblang? f. Apa metode ekstraksi dan metode solasi tanaman Jamblang?
g. Bagaimana biosintesis salah satu senyawa pada tanaman Jamblang? h. Bagaimana cara penggunaan tanaman Jamblang? 1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui klasifikasi tanaman Jamblang b. Untuk mengetahui nama lain tanaman Jamblang c. Untuk mengetahui kandungan kima tanaman Jamblang d. Untuk mengetahui khasiat tanaman Jamblang e. Untuk mengetahu morfologi tanaman Jamblang f.
Untuk mengetahu metode ekstraksi dan metode isolasi tanaman Jamblang
g. Untuk mengetahui biosintesis salah satu senyawa pada tanaman Jamblang h. Untuk mengetahu cara penggunaan tanaman Jamblang
BAB II TEORI UMUM A. Klasifikasi Tanaman (Integrated Taxonomic Information System)
Regnum
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Dicotyledoneae
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Myrtales
Famili
: Myrtaceae
Genus
: Syzygium
Spesies
: Syzygium cumini L.
B. Nama Lain
Jamblang dikenal dengan berbagai macam nama seperti di India dan Malaysia dikenal dengan nama jaman, jambul, jambu, jamelong. Di Indonesia, dikenal sebagai jambulan, jamblang (Jawa Barat), juwet atau duwet (Jawa Timur), dan jambu kaliang (Sumatera Barat) (Arifin, 2006). Masyarakat Indonesia mengenal tumbuhan ini dengan berbagai nama, antara lain adalah Jambee Kleng (Aceh), Jambu Kling (Gayo), Jambu Kalang (Mink), Jamblang (Sunda), Juwet, Duwet, Duwet Manting (Jawa), Dhalas, Dhalas Bato, Dhuwak (Madura) (Mudiana, 2007). C. Morfologi
Jamblang biasa ditanam di pekarangan atau tumbuh liar, terutama di hutan jati. Jamblang tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Pohon dengan tinggi 10-20 m ini berbatang tebal, tumbuhnya bengkok, dan bercabang banyak. Daun tunggal, tebal, tangkai daun 1-3,5 cm. helaian daun lebar bulat memanjang atau bulat telur terbalik, pangkal lebar berbentuk baji, tepi rata, pertulangan menyirip,
permukaan atas menglap, panjang 7-16 cm, lebar 5-9 cm, warnanya hijau. Bunga majemuk dengan cabang yang berjauhan, bunga duduk, tumbuh di ketak daun dan di ujung percabangan (Jadhav dkk, 2009). Buahnya berbentuk lonjong, panjang 2-3 cm, masih muda hijau, setelah masak warnanya merah tua keunguan. Setiap buah berbiji satu, bentuk lonjong, keras, warnanya putih. Berakar tunggang, bercabangcabang, berwarna coklat muda (Dalimartha, 2003). Daun tunggal, tebal, tangkai berbatang tebal, tumbuhnya bengkok, dan bercabang banyak. Daun tunggal, tebal, tangkai daun 1-3,5 cm. Helaian daun lebar bulat memanjang atau bulat telur terbalik, pangkal lebar berbentuk baji, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan atas mengilap, panjang 7-16 cm, lebar 5-9 cm, warnanya hijau. Bunga majemuk bentuk malai dengan cabang yang berjauhan, bunga duduk, tumbuh di ketiak daun dan di ujung percabangan, kelopak bentuk lonceng berwarna hijau muda, mahkota bentuk bulat telur, benang sari banyak, berwarna putih, dan baunya harum. Buahnya buah buni, lonjong, panjang 2-3 cm, masih muda hijau, setelah masak warnanya merah tua keunguan. Biji satu, bentuk lonjong, keras, warnanya putih. Berakar tunggang, bercabang-cabang, berwarna cokelat muda. Biasanya, buah jamblang yang masak dimakan segar. Rasanya agak asam dan sepat. Kulit kayu bisa digunakan sebagai zat pewarna (Widyaningrum, 2011). Pohon, tinggi 10-20 m. Tangkai daun 1-3,5 cm; helaian daun lebar bulat memanjang atau bulat telur terbalik, dengan pangkal lebar berbentuk baji, 7-15 kali 5-9 cm, bagian atas hijau tua, mengkilat, sama sekali tidak bertitik tembus cahaya. Malai atau malai rata, panjang 5-10 cm; bunga berbau harum. Tabung kelopak lk 0,5 cm tingginya, pada pangkal menyempit berbentuk tangkai, bagian atas berbentuk corong; pinggir serupa selaput, tidak jelas dan bertaju 4 pendek, kuning kotor, keunguan. Daun mahkota bebas, berbentuk tudung, bulat telur sampai bulat melingkar, panjang 3 mm, segera rontok. Benang sari dan tangkai putik lk
0,5 cm panjangnya. Buah buni bundar memanjang, sering sedikit membelok, merah tua keungu-unguan, jarang putih. Apr.-Okt. Terutama dalam keadaan liar di hutan jati. Sebagai pohon buah-buahan ditanam dibawah 300 m (Steenis, 2006). Jamblang (Syzigium cumini (L.) Skeels) merupakan salah satu tanaman yang kaya akan kandungan golongan senyawa antioksidan. Jamblang (S. cumini)
merupakan salah satu buah lokal Indonesia. Buah
jamblang memiliki rasa sepat asam dan berwarna ungu jika telah matang (Dalimarta, 2003, Depkes RI, 1995). Buah duwet merupakan salah satu buah tropis yang juga banyak ditemui di Indonesia. Buah ini dapat ditemukan pada daerah dengan ketinggian 500m diatas permukaan laut. Buah duwet biasanya dikonsumsi secara langsung dalam bentuk buah segar, mempunyai rasa manis, asam, dan sedikit sepat (astringen). Buah ini berbentuk lonjong sampai bulat telur, sering agak bengkok, 1-5 cm, bermahkota cuping kelopak, dengan kulit tipis licin mengkilap, merah tua sampai ungu kehitaman, kadangkadang putih. Sering dalam gerombolan besar. Daging buah putih, kuning kelabu sampai agak merah ungu, hampir tak berbau, dengan banyak sari buah, sepat masam sampai masam manis. Biji lonjong, sampai 3,5 cm. Buahnya ada yang tak berbiji, ada juga yang berbiji dengan batas jumlah 5 (Sari et al ., 2009). D. Kandungan Kimia
Jamblang mengandung minyak asiri, fenol (methylxanthoxylin), alkaloid (jambosine), asam organic, triterpenoid, resin yang berwarna merah tua mengandung asam elagat dan tanin (Widyaningrum, 2011). Biji Jamblang (Syzygium cumini ) mengandung minyak berwarna kuning pucat, lemak, resin, albumin, klorofil, alkaloid- jambosine, tannin (3,6-hexahydroxydiphenoylglucose
dan
isomernya,
4,6-
hexahydroxydiphenoylglucose), 1-galloylglucose, 3-galloylglucose, asam
elagat, β-sitosterol, corilagin, ellagitannins, asam kafen, soquercetin, guaiacol, quercetin, gallic-acid, asam ferulat dan resorcinol dimethyl ether
(Modi dkk, 2010). Meluasnya penggunaan Jamblang dalam pengobatan tradisional mencerminkan pentingnya Jamblang dalam farmakologinya. Jamblang mengandung asam malat, asam oksalat, asam galat, asam betulik, tanin, flavonoid dan minyak esensial (Sah & Verma, 2011). Kandungan antosianin yang terdapat pada kulit buah duwet atau jamblang sendiri dipercaya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan manusia. Antosianin ini diketahui dapat diabsorbsi dalam bentuk molekul utuh dalam lambung menurut Passamonti et al., 2003 (Setyaningrum Arivianin 2010), meskipun absorbsinya jauh dibawah 1%, antosianin setelah ditransport ke tempat yang memiliki aktivitas metabolik tinggi memperlihatkan aktivitas sistemik seperti antineoplastik, antikarsinogenik, antiatherogenik, antiviral, dan efek anti-inflammatory, menurunkan permeabilitas dan fragilitas kapiler dan penghambatan agregasi platelet serta immunitas, semua aktivitas ini didasarkan pada peranannya sebagai antioksidan (Ariviani Setyaningrum, 2010). Antosianin yang tidak terabsorbsi memberikan perlindungan terhadap kanker kolon (Ariviani Setyaningrum, 2010). Antosianin merupakan senyawa flavonoid yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Umumnya senyawa flavonoid berfungsi sebagai antioksidan primer, chelator dan scavenger terhadap superoksida anion. Kulit duwet atau jamblang sendiri berwarna ungu, ini diakibatkan keberadaan antosianin. Antosianin dapat memberikan warna merah, ungu, violet dan biru pada bunga, buah, daun dan sayur. Buah duwet mengandung antosianin yaitu sianidin, petunidin, dan malvidin ramnoglikosida (Sari et al, 2005). Kadar dan keberadaan dari masing-masing jenis antosianin tersebut beragam pada varietas duwet atau jamblang yang berbeda. Dari hasil pengujian kandungan total antosianin monomerik
(metoe pH diferensial) buah duwet segar matang mengandung antosianin sebesar 161 mg/100g buah segar. Bagian kulit buah duwet matang mengandung rata-rata sebesar 731mg/100g kulit buah (bb) atau 3430mg/100g (bk). Kandungan antosianin pada kulit buah duwet 4,5 kali lebih banyak dibandingkan pada buah utuh yang segar. Hal ini menunjukan bagian kulit buah duwet berpotensi untuk digunakan sebagai sumber antosianin (Sari et al, 2009). Jamblang atau duwet (Syzygium cumini ) merupakan sumber pigmen antosianin yang dapat dijadikan sebagai zat pewarna. Jenis antosianin yang ada pada buah ini antara lain malvidin – 3-glukosida, petunidin – 3glukosida, petunidin – 3-rhamnosa, dan beberapa jenis lagi sesuai varietasnya. Pigmen antosianin ini berwarna merah, biru, atau violet tergantung pH. Untuk memperoleh suatu pigmen antosianin ini atau pigmen-pigmen lainnya diperlukan metode ekstraksi yang sesuai dengan sifat bahan (sumber pigmen), serta pemilihan jenis pelarut, agar diperoleh rendeman dan stabilitas pigmen yang tinggi (Sari, 2005). E. Khasiat
Dapat mengobati batuk kronik, TBC, diare pada anak, nyeri pada lambung, sariawan, diabetes melitus dan epilepsi (Widyaningrum, 2011). Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui manfaat dari daun Jamblang. Daun tumbuhan Jamblang telah diteliti secara in vitro menghasilkan metabolit sekunder yang berperan sebagai antibakteri, antivirus, antialergi dan antioksidan (Mukhopadhay & Chaudhary 2012) dan memiliki potensi yang baik sebagai obat herbal berbagai penyakit. Jamblang adalah pohon tropis hijau, sangat banyak tumbuh di Pakistan, India, Bangladesh dan Indonesia. Semua bagian tanaman ini digunakan untuk tujuan pengobatan. Studi praklinis menunjukan bahwa batang, daun dan buah dari tanaman jamblang memiliki aktivitas sebagai antioksidan, anti inflamasi, obat cacing, antikanker, antibakteri, dan
antidiabetes (Haroon, 2015). Pemanfaatan S.cumini secara empiris telah banyak digunakan dalam pengobatan secara tradisional. Beberapa penelitian melaporkan secara ilmiah bahwa bagian tanaman seperti daun dan buah dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Dimana hasil penelitian yang sudah ada menyatakan bahwa nilai IC50 daun jamblang sebesar 12,84 ppm dan buah jamblang sebesar 319,89. Aktivitas antioksidan sangat kuat ditunjukan oleh daun jamblang sehingga berpotensi dikembangkan sebagai antioksidan (Marliani et al, 2014). Aktivitas sebagai antioksidan diduga karena adanya senyawa flavonoid dan polifenol pada tanaman tersebut (Shankara, et al, 2014 dan Azima, et al, 2013 ). Tanaman jamblang (Syzygium cumini) berasal dari daerah subtropis Himalaya, India, Srilangka, Malaysia, Australia dan saat ini telah ditanam di seluruh daerah tropis dan subtropis (22) . Kulit batang jamblang berkhasiat mengobati diabetes dan diare (Herbal Indonesia Berkhasiat, 2012). F. Cara Penggunaan
Secara tradisional buah duwet atau jamblang digunakan untuk pengobatan kencing manis, diare, mengerem air seni (ngompol), batuk kronis, sesak napas, dan nyeri lambung. Duwet atau jamblang juga digunakan sebagai antidiabetes karena dapat menurunkan kadar gula darah, ini dibuktikan pada percobaan H. Romadhan Subakti, dkk (bagian farmakologi, FK UNPAD) menyatakan bahwa pemberian 10 % ekstrak biji jamblang mampu menurunkan kadar gula darah secara bermakna dengan p < 0,05 dan sangat bermakna dengan p < 0,01 tiga jam setelah perlakuan, sedangkan penelitian dari Atik Purwani, 1992 (Fakultas Biologi, UGM) menyatakan bahwa pemberian perasan daging buah jamblang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus diabetes pada dosis terendah (0,5ml/100g bb) (Dalimartha, Setiawan, 2004). Ini dikarenakan
adanya kandungan tanin yang diduga dapat menghambat metabolisme glukosa di dalam usus halus. Kandungan antosianin dalam buah duwet atau jamblang juga dapat mengobati berbagai penyakit seperti: antineoplastik, antikarsinogenik, antiatherogenik, antiviral, dan efek antiinflammatory, menurunkan permeabilitas dan fragilitas kapiler dan penghambatan agregasi platelet serta immunitas, semua aktivitas ini didasarkan pada peranannya sebagai antioksidan (Ariviani Setyaningrum, 2010). Menurut penelitian yang sudah dilakukan, pigmen antosianin dan senyawa-senyawa flavonoid lainnya terbukti memiliki efek positif terhadap kesehatan (Bridle dan Timberlake, 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Safitri pada tahun 2012, minuman sari buah jamblang dalam 100 ml memiliki aktivitas antioksidan setara dengan 74 mg vitamin C, dimana antosianin memiliki kontribusi paling besar pada aktivitas antioksidan minuman sari kulit buah jamblang dibandingkan vitamin C dan senyawa fenol. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Leimena, 2008 menyebutkan bahwa kulit buah jamblang mengandung antosianin yang tinggi dan tidak ditemukan adanya senyawa fenol dan vitamin C dalam kulit buah jamblang. G. Metode Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditentukan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan menggunakan tekanan (Ditjen POM, 1995).
Ekstraksi adalah suatu proses penyarian senyawa kimia yang terdapat didalam bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan menggunakan pelarut dan metode yang tepat. Sedangkan ekstrak adalah hasil dari proses ekstraksi, bahan yang diekstraksi merupakan bahan alam (Ditjen POM, 1986). Hal-hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan metode ekstraksi (Agoes, 2007 ) : 1.
Bentuk atau tekstur bahan yang digunakan.
2.
Kandungan air dari bahan yang diekstrasi.
3.
Jenis senyawa yang akan diekstraksi.
4.
Sifat senyawa yang akan diekstraksi.
Ekstraksi Secara Dingin Proses ektraksi secara dingin pada prinsipnya tidak memerlukan pemanasan. Hal ini diperuntukkan untuk bahan alam yang mengandung komponen kimia yang tidak tahan pemanasan dan bahan alam yang mempunyai tekstur yang lunak. Yang termasuk ekstraksi secara dingin adalah (Ditjen POM, 1986). a. Metode Maserasi Maserasi (macerase = mengairi, melunakkan) adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-potong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok kembali. Waktu lamanya maserasi berbedabeda, masing-masing farmakope mencantumkan 4-10 hari. Menurut pengalaman,
5
hari
telah
memadai,
untuk
memungkinkan
berlangsungnya proses yang menjadi dasar dari cara ini (R. Voigt, 1994).
Metode
ini
digunakan
untuk
menyari
simplisia
yang
mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang seperti benzoin, stiraks dan lilin. Penggunaan metode ini misalnya pada sampel yang berupa daun, contohnya pada penggunaan pelarut eter atau aseton untuk melarutkan lemak/lipid (Ditjen POM, 1986). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Selain itu, kerusakan pada komponen kimia sangat minimal. Adapun kerugian cara maserasi ini adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Ditjen POM, 1986). b. Metode Soxhletasi Soxhletasi
merupakan
penyarian
simplisia
secara
berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Proses ini berlangsung hingga penyarian zat aktif sempurna yang ditandai dengan beningnya cairan penyari yang melalui pipa sifon atau jika diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis tidak memberikan noda lagi. (Ditjen POM, 1986). Adapun keuntungan dari proses soxhletasi ini adalah cara ini lebih menguntungkan karena uap panas tidak melalui serbuk simplisia, tetapi melalui pipa samping. Kerugiannya adalah jumlah ekstrak yang diperoleh lebih sedikit dibandingkan dengan metode maserasi (Ditjen POM, 1986). c. Metode Perkolasi Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkanpenyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi dengan perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana
silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampel dalam keadaan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan tekanan penyari dari cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan gerakan ke bawah (Ditjen POM, 1986). Ekstraksi Secara Panas Ekstraksi secara panas dilakukan untuk mengekstraksi komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan seperti glikosida, saponin dan minyak-minyak menguap yang mempunyai titik didih yang tinggi, selain itu pemanasan juga diperuntukkan untuk membuka pori-pori sel simplisia sehingga pelarut organik mudah masuk ke dalam sel untuk melarutkan komponen kimia. Metode ekstraksi yang termasuk cara panas yaitu (Tobo, 2001). a. Metode Refluks Metode refluks adalah termasuk metode berkesinambungan dimana cairan penyari secara kontinyu menyari komponen kimia dalam simplisia cairan penyari dipanaskan sehingga menguap dan uap tersebut dikondensasikan oleh pendingin balik, sehingga mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan dan jatuh kembali ke labu alas bulat sambil menyari simplisia. Proses ini berlangsung secara berkesinambungan dan biasanya dilakukan 3 kali dalam waktu 4 jam (Ditjen POM, 1986). Simplisia
yang
biasa
diekstraksi
adalah
simplisia
yang
mempunyai komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan dan mempunyai tekstur yang keras seperti akar, batang, buah, biji dan herba (Ditjen POM, 1986). Keuntungan dari metode ini adalah dapat mencegah kehilangan pelarut oleh penguapan selama proses pemanasan jika digunakan
pelarut yang mudah menguap atau dilakukan ekstraksi jangka panjang. Dapat digunakan untuk ekstraksi sampel yang tidak mudah rusak dengan adanya pemanasan. Adapun kerugian dari metode ini adalah prosesnya sangat lama dan diperlukan alat-alat yang tahan terhadap pemanasan (Ditjen POM, 1986). b. Metode Destilasi Uap Air Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia yang mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal, misalnya pada penyarian minyak atsiri yang terkandung dalam tanaman Sereh (Cymbopogon nardus). Pada metode ini uap air digunakan untuk menyari simplisia dengan adanya pemanasan kecil uap air tersebut menguap kembali bersama minyak menguap dan dikondensasikan oleh kondensor sehingga terbentuk molekul-molekul air yang menetes ke dalam corong pisah penampung yang telah diisi air. Penyulingan dilakukan hingga sempurna (Ditjen POM, 1986). Prinsip fisik destilasi uap yaitu jika dua cairan tidak bercampur digabungkan, tiap cairan bertindak seolah-olah pelarut itu hanya sendiri, dan menggunakan tekanan uap. Tekanan uap total dari campuran yang mendidih sama dengan jumlah tekanan uap parsial, yaitu tekanan yang digunakan oleh komponen tunggal, karena pendidihan yang dimaksud yaitu tekanan uap total sama dengan tekanan atmosfer, titik didih dicapai pada temperatur yang lebih rendah daripada jika tiap-tiap cairan berada dalam keadaan murni (Ditjen POM, 1986). Keuntungan dari destilasi uap ini adalah titik didih dicapai pada temperatur yang lebih rendah daripada jika tiap-tiap cairan berada dalam keadaan murni. Selain itu, kerusakan zat aktif pada destilasi langsung dapat diatasi pada destilasi uap ini. Kerugiannya adalah
diperlukannya alat yang lebih kompleks dan pengetahuan yang lebih banyak sebelum melakukan destilasi uap ini (Ditjen POM, 1986). Pemilihan metode ekstraksi tergantung bahan yang digunakan, bahan yang mengandung mucilago dan bersifat mengembang kuat hanya boleh dengan cara maserasi. Sedangkan kulit dan akar sebaiknya di perkolasi. untuk
bahan
yang
tahan
panas
sebaiknya
diekstrasi
dengan
cara refluks sedangkan simplisia yang mudah rusak karena pemanasan dapat diekstrasi dengan metode soxhlet (Agoes, 2007). Simplisia kulit batang Jamblang diekstraksi dengan metode refluks. Simplisia dimasukkan dalam labu ekstraksi, kemudian ditambahkan dengan pelarut dan direfluks selama 3 jam. Ekstraksi kulit batang Jamblang dilakukan masing-masing dengan menggunakan 3 macam pelarut dengan kepolaran meningkat yaitu pelarut non polar (n-heksan) dilanjutkan dengan pelarut yang kepolarannya sedang (etil asetat) dan terakhir menggunakan pelarut polar (etanol), sehingga diperoleh masingmasing ekstrak dengan pelarut berbeda (Fitriyanti, 2016). Sampel basah kulit batang Jamblang ( Syzygium cumini ) yang telah dipotong kecil-kecil, diekstraksi secara sokletasi menggunakan pelarut air dengan perbandingan antara sampel dan air 1:5, ekstraksi dilakukan sampai sampel berwarna pucat (Nurhayati, 1997). Daun
Jamblang
yang
telah
dihaluskan
dimaserasi
dengan
menggunakan pelarut etanol 96% selama 3 x 24 jam dan dekstraksi sampai larutan ekstrak tidak berwarna (Mila Wati, 2017). Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-potong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi (Voigt, 1995 dalam Sjahid, 2008). Daun Jamblang dipilah untuk memisahkannya dari kotoran yang melekat, lalu dicuci sampai bersih. Kemudian dikeringkan dengan cara dikeringanginkan tanpa terkena sinar matahari langsung sampai kering
kira-kra selama tiga hari. Daun Jamblang yang telah kering, kemudain diblender sampai halus lalu direndam dalam etanol 70% selama dua hari. Fltrat yang dihasilkan dipekatkan dengan menggunakan rotary vacuum evaporator sampai pelarut menguap hingga diperoleh ekstrak dari daun Jamblang yang mengental (Delvy, 2017). Ekstraksi dilakukan terhadap simplisia daun dan buah Jamblang menggunakan metode refluks dengan pelarut air (Marliani, et al, 2014). Metode yang digunakan adalah metode maserasi dengan pelarut metanol yang diasamkan dengan HCl dan Asam sitrat (pH 1) (Menurut Fani Sari et al., 2013). Ekstraksi dilakukan menggunakan metode maserasi dan pelarut yang digunakan adalah air yang diasamkan dengan penambahan 1% HCL (Menurut Setyaningrum Ariviani, 2010). Antosianin di ekstrak dengam pelarut metanol yang mengandung 0,1% HCl (Francis, 1982) dan dengan metode maserasi (Menurut Puspita sari et al, 2009). H. Metode Isolasi
Proses pemisahan dan pemurnian dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom, yang sebelumnya dilakukan penentuan komposisi pelarut yang akan digunakan pada saat pemisahan dengan kromatografi kolom menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Isolat yang positif mengandung senyawa metabolit sekunder dan memberikan noda tunggal pada kromatogram, dimurnikan dengan metode rekristalisasi dengan menggunakan etil asetat panas yang kemudian didinginkan di dalam freezer sampa terbentuk Kristal kembali (Mila Wati, 2017). I. Biosintesis Salah Satu Senyawa Kimia
Antosianin adalah salah satu pigmen fenolik yang terekspresi sebagai karakter warna merah, biru (Lee dan Kevin 2002), dan ungu (Close dan Christopher 2003). Pigmen ini terdapat pada vakuola sel. Secara medis antosianin berfungsi sebagai antioksidan (Woodson 1991, Panhwar 2005, Close dan Christopher 2003).
Kandungan antosianin pada tanaman
mangga dapat ditemukan pada batang, buah, dan daun. Antosianin pada kulit buah mangga dijumpai sebagai paenoidin3-galactoside (Panhwar 2005). Antosianin banyak terdapat pada sel-sel palisade dan atau sel gabus mesofil (Gould dan Quinn 1999). Sintesis antosianin terjadi pada saat pertumbuhan daun (Lee dan Lowry 1980, Tuohy dan Choinski 1990, Choinski dan Johnson 1993, Woodall et al. 1998), selama periode senesens (Matile et al. 1992, Feild et al. 2001), dan pada saat tanaman merespons cekaman abiotik (Tevini et al. 1991, Krol et al. 1995, Burger dan Edward 1996, Close et al. 2000, 2001).
Biosintesis antosianin
pertama kali dipelajari dan diinformasikan oleh Holton dan Cornis 1990, kemudian diperbaharui oleh Brenda 2001. Tahap pertama, biosintesis antosianin dimulai dari produksi asam cinnamic dari phenil alanine pada siklus asam shikimic oleh enzim phenilalanine amoniliase (PAL) yang kemudian dikonversi menjadi asam coumaric dan mengalami modifikasi menjadi malonyl CoA. Tiga molekul malonyl CoA dan ρ -coumaroyl-CoA
membentuk naringenin chalcone yang selanjutnya dikonversi menjadi flavanone dan naringenin. Tahap kedua, reduksi formasi dihydroflavonol menjadi flaven-3,4 diol (leucoanthocyanin) yang kemudian dikonversi menjadi antosianin setelah ditambahkan molekul glukosa oleh enzim UDP glucose, yaitu flavonoid glucosyltransferase.
Biosintesis antosianin
dikendalikan oleh aktivitas beberapa enzim yang pada kondisi tertentu dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ekstrim. Oleh karena itu sampel tanaman mangga yang digunakan sebaiknya berasal dari satu tempat yang sama dan optimal pertumbuhannya. Antosianin adalah salah satu grup pigmen yang berwarna merah muda sampai biru/ungu, tersebar luas dalam tanaman dan larut dalam air (Effendi,1991). Antosianin disusun dari sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gugus gula (glikon). Kebanyakan antosianin ditemukan dalam enam bentuk antosianidin,yaitu pelargonidin ,sianidin, peonidin, delfinidin, petunidin,dan malvidin. Gugus gula pada
antosianin bervariasi namun kebanyakan dalam bentuk glukosa, ramnosa, galaktosa, atau arabinosa. Gugus gula ini bias dalam bentuk mono atau disakarida dan dapat diasilasi dengan asam fenolat atau asam alifatis. Terdapat sekitar 539 jenis antosianin yang telah diekstrak dari tanaman. Secara visual rumus struktur antosianin disajikan pada Gambar berikut :
Gambar 2. Struktur antosianin
Karakteristik antosianin pada kulit buah jamblang ditentukan dengan menggunakan
spektrofotometri
UV-VIS
dan
TLC
(Thin
Layer
Chromatography). Analisis spektrofotometri didasarkan pada prosedur yang dilakukan oleh Harborne (1967) dan Francis (1982). Pengukuran ini dilakukan
pada
ekstrak
kulit
buah
jamblang
menggunakan
spektrofotometer VWR UV-1600PC pada panjang gelombang antara 200 – 700 nm. Data karakteristik dari panjang gelombang maksimum (spektra) yang diperoleh kemudian dicocokkan dengan tabel data panjang gelombang maksimum untuk beberapa antosianidin (Harborne, 1967). Degradasi antosianin dapat terjadi selama proses ekstraksi, pengolahan makanan, dan penyimpanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas antosianin tersebut yaitu adanya modifikasi pada struktur spesifik antosianin (glikosilasi dengan asam alifatik atau aromatic), pH,
temperature, cahaya, keberadaan ion logam, oksigen, kadar gula, enzim,dan pengaruh sulfur dioksida. Substansi beberapa gugus kimia pada rangka antosianin dapat mempengaruhi
warna
yang
diekspreikan
oleh
antosianin
dan
kestabilannya. Penambahan gugus glikosida atau peningkatan jumlah gugus hidroksi bebas pada cincin A ( Gambar 2 ) menyebakan warna cenderung biru dan relative tidak stabil. Sebaliknya penambahan jumlah gugus metoksi atau metilasi akan menyebabkan warna cenderung merah dan relative stabil. Di dalam larutan, antosianin berada dalam lima bentuk kesetimbangan tergantung pada kondisi pH. Kelima bentuk tersebut yaitu kation flavilium, basa karbinol, kalkon ,basa quinonooidal, dan quinonoidal anionic.Pada pH sangat asam (pH 1-2 ), bentuk dominan antosianin adalah Kation flavilium. Pada bentuk ini,antosianin berada dalam kondisi paling stabil dan paling berwarna. Ketika pH meningkat di atas 4 terbentuk senyawa antosianin berwarna kuning (bentuk kalkon), senyawa berwarna biru (bentuk quinouid) atau senyawa yang tidak berwarna (basa karbinol). Oleh karena pigmen ini paling stabil di pH rendah, aplikasi pigmen antosianin sering
digunakan
untuk
produk-produk
seperti
minuman
ringan,manisan,saus,pikel ,makanan kalengan, dan yoghurt yang bersifat asam.
BAB III PENUTUP Kesimpulan
Buah duwet atau jamblang (Syzygium cumini ) merupakan salah satu buah tropis yang juga banyak ditemui di Indonesia. Buah ini memiliki banyak kandungan kimia seperti minyak atsiri, tanin, asam galat, gula, dan lain-lain. Salah satu kandungan kimia pada kulit buah duwet adalah antosianin. Antosianin adalah salah satu grup pigmen yang berwarna merah muda sampai biru/ungu, tersebar luas dalam tanaman dan larut dalam air. Karena antosianin merupakan pigmen berwarna dalam tumbuhan maka antosianin dapat digunakan sebagai pewarna alami dalam industri makanan ataupun industri farmasi yang akan lebih aman daripada penggunaan pewarna alami sintetik. Antosianin merupakan senyawa yang tidak stabil, kestabilan antosianin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, cahaya dan pH. Jenis antosianin dalam buah duwet atau jamblang adalah malvidin – 3glukosida, petunidin – 3-glukosida, petunidin – 3-rhamnosa, dan beberapa jenis lagi sesuai varietasnya. Antosianin dari buah jamblang atau duwet dapat diambil dengan cara ekstraksi menggunakan metode maserasi, kemudian ekstrak dimurnikan dengan kromatografi kolom. Setelah diperoleh isolat murni kemudian diidentifikasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Menurut beberapa penelitian juga dikatakan bahwa buah duwet atau jamblang juga dapat dijadikan sebagai obat antidiabetes dan antioksidan. Masyarakat Indonesia mengenal tumbuhan ini dengan berbagai nama, antara lain adalah
Jambee Kleng (Aceh), Jambu Kling (Gayo), Jambu Kalang
(Mink), Jamblang (Sunda), Juwet, Duwet, Duwet Manting (Jawa), Dhalas, Dhalas Bato, Dhuwak (Madura). Pohon, tinggi 10-20 m. Tangkai daun 1-3,5 cm; helaian daun lebar bulat memanjang atau bulat telur terbalik, dengan pangkal lebar berbentuk baji, 7-15 kali 5-9 cm, bagian atas hijau tua, mengkilat, sama sekali tidak
bertitik tembus cahaya. Malai atau malai rata, panjang 5-10 cm; bunga berbau harum. Tabung kelopak lk 0,5 cm tingginya, pada pangkal menyempit berbentuk tangkai, bagian atas berbentuk corong; pinggir serupa selaput, tidak jelas dan bertaju 4 pendek, kuning kotor, keunguan. Jamblang mengandung asam malat, asam oksalat, asam galat, asam betulik, tanin, flavonoid dan minyak esensial. Jamblang dapat mengobati batuk kronik, TBC, diare pada anak, nyeri pada lambung, sariawan, diabetes melitus dan epilepsy. Daun tumbuhan Jamblang telah diteliti secara in vitro menghasilkan metabolit sekunder yang berperan sebagai antibakteri, antivirus, antialergi dan antioksidan. Ekstraksi dilakukan terhadap simplisia daun dan buah Jamblang menggunakan metode refluks. Dan proses pemisahan dan pemurnian dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom. Pemanfaatan S.cumini secara empiris telah banyak digunakan dalam pengobatan secara tradisional. Beberapa penelitian melaporkan secara ilmiah bahwa bagian tanaman seperti daun dan buah dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Kandungan antosianin dalam buah duwet atau jamblang juga dapat mengobati berbagai penyakit seperti: antineoplastik, antikarsinogenik, antiatherogenik, antiviral, dan efek anti-inflammatory, menurunkan permeabilitas dan fragilitas kapiler dan penghambatan agregasi platelet serta immunitas, semua aktivitas ini didasarkan pada peranannya sebagai antioksidan Biosintesis antosianin dikendalikan oleh aktivitas beberapa enzim yang pada kondisi tertentu dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ekstrim.
Oleh karena itu sampel tanaman mangga yang digunakan
sebaiknya berasal dari satu tempat yang sama dan optimal pertumbuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes. Goeswin, 2007, “Teknologi Bahan Alam” . Penerbit ITB : Bandung.
Arifin, Helmi, Anggraini,Nelvi, Handayani, Dian, dan Rasyid, Roslinda . 2006. Standarisasi Ekstrak Etanol Daun Eugenia Cumini Merr. J. Sains Tek. Farmasi. Ariviani, Setyaninggrum. 2010. “Isolasi, Identifikasi, Dan Uji Antioksidan Senyawa Antosianin Dari Buah Sikaduduk (Melastoma malabathricum L.) Serta Aplikasi Sebagai Pewarna Alami”. Caraka Tani. 25 (1): 43-49
Bridle, P. Timberlake, C.F.,1997. Food Chemistry. Volume 58. Number 1. Elsevier. Burger, J. and G.E. Edwards. 1996. Photosynthetic Efficiency and Photodamage by UV and Visible Radiation, in Red Versus Green Leaf Coleus Varities. Pl. Cell Physiol. 37:395-399. Chaudhary, B. dan Mukhopadhay, K. 2012. Syzigium cumini (L) Skeels: A Potential Source of Nutraceuticals. Internatioal Journal of Pharmacy and Biological Sciences, 2(1): 46-53. Choinski, J.S. and J.M. Johnson. 1993. Changes in Photosynthesis and Wate Status of Developing Leaves of Branchystegia spiciformis Benth. Tree. Physiol. 13:17-27. Close, D. C and Christopher, L.B. 2003. The Ecophysiology of Foliar Anthocyanin. Botanical Review 69(2):149-161. Dalimartha, S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 3. Trubus Agriwidya. Jakarta. Dalimartha, Setiawan. 2004. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia . 3: 19-23. Trubus Agriwidya : Jakarta. Ditjen POM, 1986, “ Sediaan Galenik”. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta. Dijten POM, 1995, “Cara Pembuatan Simplisia” . Departemen Kesehatan
Republik Indonesia : Jakarta.
Effendi, W. 1991. “Ekstraksi Purifikasi, dan Karakteristik Antosianin dari Kulit manggis (Garcinia mangostana L.) ”. Fakultas Teknologi Pertanian
Institu Pertanian Bogor. Bogor. Feild, T.S., D.N. Lee, and N.M. Holbrook. 2001. Why Leaves Turn Red in Autumn: The Role of Anthocyanins in Sensing Leaves of Red-osier Dogwood. (Lancaster). Pl. Physio. 127:566-574. Fitriyanti, dkk, 2016. Uji Aktivitas Antoksidan dari Beberapa Ekstrak Kulit Batang Jamblang Menggunakan Metode Peredaman Radikal DPPH. STIFAR Makassar : Makassar. Francis, F.J., 1982. Analysis of Anthocyanins. Di dalam P. Markakis (ed). Anthocyanins as Food Colors. Academic Press, New York. Gould, K.S. and B.D. Quinn. 1999. Do Anthocyanin Protect Leaves of New Zealand Native Species from UV-B. New Zealand J. Bot. 37:175-178. Harborne, J.B., 1967. Comparative Biochemistry of The Flavonoids. Academic Press, London. Haroon, R., Jelani, S., Arshad, F.K. 2015. Comparative analysis of antioxidant profiles of bark, leaves dan seeds of syzigium cumini (Indian blacberry). Vol 3. IJRG. Holton, T.A. and E.C. Cornish. 1995. Genetics and Biochemistry of Anthocyanin Biosynthesis. Plant. Cell. 7:1071-1083. Krol, M., G.R. Gray, V.M. Hurry, L. Öquist, L. Malek, and N.P.A. Huner. 1995. Low Temperature Stress and Photoperiod Effect an Increased Tolerance to Photoinhibition in Pinus banksiana Seedlings. Cadad. J. Bot. 73:1119-1127 Lee D.W. and J.B. Lowry. 1980. Ultraviolet. Biotrop. 12:75-76.
Young-leaf Anthocyanin and Solar
Lee D. W and Kevin, S. Gould. 2002. Why Leaves Turn Red: Pigments Called Anthocyanins Probably Protect Leaves from Light Damage by Direct Shielding and by Scavenging Free Radicals. American Sci. 90(8):1-6.
Leimena, B. B., 2008. Karakterisasi dan Purifikasi Antosianin Pada Buah Duwet. IPB. Bogor Mahmoud I, Marzouk M, Moharram M, El-Gindi M, Hassan A. 2001. Acylated Flavonol Glycosides from Eugenia jambolana Leaves. Phytochemistry 58. Marliani, et al. 2014. Aktivitas Antioksidan Daun dan Buah Jamblang (Syzygium cumini (L.) Skeel). STIFAR Bandung : Bandung. Masyhud. 2010. Tanaman Obat Indonesia. http://www.dephut. go.id/indexphp? =id /node/54(diakses tanggal 27 April 2018). Matile, P., B. Flach, and B. Eller. 1992. Spectral Optical Properties, Pigments and Optical Brightenes in Autumn Leaves of Ginko boloba L. Bot. Acta. 105:13-17. Mila Wati. 2017. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Fraksi Etil Asetat pada Daun Berwarna Merah Pucuk Merah. Universitas Mulawarman : Kalimantan Timur. Mudiana, Deden. 2007. Perkecambahan Syzygium cumini (L) Skeels. Biodiversitas Vol.8 no.1.Tersedia dalam http://biodiversitas.mipa.uns.ac.idD/D0801/D08 0108.pdf. Nurhayati. 1997. Pemanfaatan Kulit Batang Acacia Auriculiforms Sebagai Zat Warna pada Pembuatan Kain Batik . Laporan Penelitian. Universitas Syiah Kuala : Banda Aceh. Panhwar, F. 2005. Post-harvest Technology of Mango Fruits, Its Development, Physiology, Pathology and Marketing in Pakistan. http://www.ChemLim.com.. [3 Februari 2007]. Safitri, D. E., 2012. Stabilitas Antosianin dan Aktivitas Antioksidan pada Minuman Sari Buah Duwet. IPB. Bogor. Sah, A. K. dan Verma, V. K. 2011. Syzygium cumini: An Overview. Journal of Chemical And Pharmateutical Research, 3(3): 108-113. Sari, Puspita et al . 2005. “ Ekstraksi dan Stabilitas Antosianin dari Kulit Buah Duwet (Sizygium cumini) . Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. XVI(2): 142-150.
Sari, Puspita et al . 2009.”Identifikasi Buah Duwet
( Syzigum cumini) Tinggi-Diode Aray
menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Detection” .Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. XX(2), 102-108.
Shankara.,R et al. 2014. Antioxidant activity of Syzygium cumini leaf gall extracts. BioImpacts.4(2).http://bi.tbzmed.ac.ir. 101-107. Sjahid, R. Landyyun. 2008. Isolasi dan Identifikasi Flavonoid dari Daun Dewandaru
(Eugenia
uniflora
L.).
Skripsi.
Tersedia
dalam
http://www.pdfport.com/view/638561-isolasi-danidentifikasi-flavonoiddari-daun-dewandaru-eugenia.html (diakses tanggal 28April 2018) Sriningsih. 2008. Analisa Senyawa Golongan Flavonoid Herba Tempuyung (SonchusarvensisL):www.indomedia.com/intisari/1999/juni/tempuyung.h tm. (diakses tanggal 27 April 2018). Tevini, M., J. Braun, and G. Pieser. 1991. The Protective Function of the Epidermal Layer of Rye Seedlings Against Ultraviolet-b Radiation. Photochem. & Photobiol. 53:329-333. Tobo,
Fachruddin,
(2001),
“ Buku Pegangan Laboratorium Fitokimia”.
Laboratorium Fitokimia Jurusan Farmasi UNHAS : Makassar. Tudjuka, K., Ningsih, S., dan Toknok, B. 2014. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat Pada Kawasan Hutan Lindung Di Desa Tindoli Kecamatan Pamona Tenggara Kabupaten Poso. Warta Rimba, 2(1): 120-128. Voigt, Rudolf, 1994. “Buku Pelajaran Teknologi Farmasi”. Gadjah Mada
University Press. Widyaningrum, H dan Tim Solusi Alternatif. 2011. Kitab Tanaman Obat Nusantara. MedPress : Yogyakarta. Woodall, G. S., I.C. Dodd, and G.R. Stewart. 1998. Contrasting Leaf Development Within The Genus Sygygium. J. Exp. Bot. 49:79-87. Woodson, W.R. 1991. Biotechnology of Floriculture Crops. HortSci. 26(8):1029-1033. Yuana Mustika, Delvy, dkk. 2017. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Jamblang (Syzygium cumini (L.) Skeel) Terhadap Glukosa Darah pada Tikus Putih
(Rattus norvegicus) Diabetes Melitus yang Diinduksi Streptozosin. Universitas Syiah Kuala : Banda Aceh.