BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang
Permasalahan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) tidak habis-habisnya dibahas mengingat besarnya kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotan dalam permasalahan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia adalah mengenai pengelolaan sektor pertambangan. Pasalnya, berbagai bahan tambang melimpah ruah di negeri ini. Sebagaimana dengan SDA lainnya, penguasaan maupun pengelolaan bahan tambang wajib diselenggarakan sebaik-baiknya demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Ada tiga peran negara dalam pengelolaan Sumber Daya Mineral yakni pengaturan, pengusahaan, dan pengawasan. Khusus dalam hal pengusahaan, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan bidang pertambangan kepada pihak swasta. Karakterisktik industri pertambangan yang unik dan keterbatasan negara dalam hal permodalan menjadi alasan utama diberikannya hak pengusahaan tambang kepada swasta. Secara historis, pemberian hak pengusahaan bidang pertambangan kepada pihak swasta dilakukan berdasarkan sistem kontrak yang dikenal dengan istilah Kontrak Karya (KK). Dimana sistem KK pertama kali diterapkan antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport pada tahun 1967. Berbicara tentang PT. Freeport Indonesia, tentu yang terbayang dibenak kita adalah kontroversi yang terus berlarut-larut. Mulai dari tarik ulur kesepakatan yang terjadi antara pihak pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport, jangka waktu kontrak yang sangat lama sampai dengan permasalahan tenaga kerja dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Baru-baru ini permasalahan yang sering terdengar di media masa mengenai PT. Freeport adalah mengenai disvestasi 51% saham PT. Freeport Indonesia oleh pemerintah Indonesia. Permasalahan disvestasi saham tersebut berawal dari Kontrak Karya (KK V), dimana Freeport wajib melakukan divestasi atas kepemilikan saham hingga 51% melalui proses pelepasan bertahap dalam jangka waktu 20 tahun. Kemudian, disusul dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) terkait perubahan skema izin perusahaan tambang dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Puncaknya, pada agustus tahun 2017, pemerintah Indonesia mengajukan beberapa tuntutan kesepakatan kepada Freeport, adapun isi kesepakatan tersebut antara lain divestasi 1
51% saham PT. Freeport Indonesia (PT. FI), kewajiban Freeport untuk membangun smelter di dalam negeri, stabilisasi keuangan, perubahan izin dari KK menjadi IUPK, serta perpanjangan operasi Freeport 2 x 10 tahun. Kesepakatan tersebut tidak serta se rta merta diterima oleh Freeport, karena dianggap merugikan mereka, ancaman untuk melakukan arbitrase internasional pun sempat dilontarkan oleh PT. Freeport. Sampai pada akhirnya, Freeport mengemumkan keputusan yang mengejutkan dengan menyetujui tawaran kesepakatan pemerintah Indonesia. Babak
baru
permasalahan
ini
terjadi
pada
tanggal
12
Juli
2018
dengan
ditandatanganinya pokok-pokok perundingan ( Head ( Head of Agreement – Agreement – HoA antara FreeportMcMoran Inc (FCX), Rio Tinto dan holding industri pertambangan PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Keberadaan PT. Inalum sendiri adalah sebagai BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan komersial dengan Freeport (business to business). business). Divestasi 51% saham PT. FI tersebut akan dilakukan dengan membeli 40% hak partisipasi ( Participating Interest – – PI) PI) dalam pengolahan tambang Grasberg milik Rio Tinto dan saham FCX di PT. Indocopper Investama yang memiliki 9,39% saham di Freeport Indonesia. Dimana sebelumnya PT. Inalum telah memiliki 9,36% saham pemerintah terhadap PT. FI dengan total dana yang harus dikeluarkan adalah sebesar USD 3,85 miliar. 1.2. Identifikasi Masalah
Keputusan divestasi 51% saham PT. FI tersebut tentunya menimbulkan permasalahan baru. Mulai dari isu politik terkait pemilihan presiden, sampai dengan nilai dana yang dikeluarkan yang terbilang cukup fantastis ditengah permasalahan ekonomi Indonesia. Di satu sisi keputusan divestasi ini akan memberikan keuntungan bagi Indonesia, pemerintah Indonesia dapat melakukan pengawasan dan pengelolaan SDA yang terdapat di tanah papua tersebut sesuai dengan amanat UUD 1945. Dengan ditandatanganinya HoA tersebut artinya lahir suatu perjanjian baru antara pemerintah Indonesia yang diwakili PT. Inalum dengan pihak Freeport. Dengan demikian, pemerintah Indonesia melalui PT. Inalum harus siap untuk menanggung permasalahan yang terjadi dan menjawab segala pertanyaan masyarakat. Banyak aspek yang harus dikaji oleh PT. PT. Inalum antara lain: 1). Dari segi aspek perjanjian/perikatan, sebagaimana yang disebutkan diatas penandatanganan HoA melahirkan suatu perjanjian awal antara PT. Inalum dengan pihak-pihak terkait, yang nantinya akan dilanjutkan dengan kontrak-kontrak perikatan lainnya, dengan demikian PT. Inalum harus melakukan pengkajian mengenai terpenuhinya aspek hukum perjanjian/perikatan yang 2
terjadi; 2). Dari segi aspek asuransi, mengingat dana yang dikeluarkan bernilai besar dan rencana peminjaman modal dari 11 bank baik dalam negeri maupun luar negeri, tentunya harus ada jaminan asuransi terhadap hutang peminjaman tersebut untuk mengantisipasi jika terjadi kegagalan PT. Inalum; 3). Dari segi aspek monopoli, pemerintah melalui PT. Inalum harus benar-benar mendapatkan keyakinan bahwa PT. Inalum memilik andil pengendalian dan pengawasan yang dapat berjalan dengan baik sesuai yang diamanatkan UUD 1945, mengingat kegiatan ekomomi wilayah Mimika, Papua sangat be rgantung pada kegiatan usaha Freeport, jangan sampai terjadi kegiatan monopoli didalamnya. 4). Dari segi aspek penyelesaian sengketa jika di kemudian hari terjadi pelanggaran terhadap kontrak kerja sama yang telah disepakati. 1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana aspek hukum perjanjian/perikatan terhadap kesepakatan disvestasi 51% saham antara PT. Freeport dan PT. Inalum? 2. Bagaimana jaminan asuransi terhadap peminjaman dana untuk disvestasi 51% saham tersebut? 3. Bagaimana kesepakatan disvestasi saham ini dilihat dari aspek anti monopoli? 4. Bagaimana penyelesaian sengketa jika terjadi pelanggaran terhadap perikatan yang telah dibuat? 4.1. Tujuan
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir semester pada mata kuliah Lembaga Bisnis dan Hukum Komersil. Secara khusus, tujuan dari penulisan makalah ini antara lain: 1. Untuk
mengetahui
bagaimana
aspek
hukum
perjanjian/perikatan
terhadap
kesepakatan disvestasi 51% saham antara PT. Freeport dan PT. Inalum. 2. Untuk mengetahui bagaimana jaminan asuransi terhadap peminjaman dana untuk disvestasi 51% saham tersebut. 3. Untuk mengetahui bagaimana kesepakatan disvestasi saham ini dilihat dari aspek anti monopoli. 4. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa jika terjadi pelanggaran terhadap perikatan yang telah dibuat.
3
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Profil Singkat PT. Freeport Indonesia
PT. Freeport Indonesia (PTFI) adalah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan (FCX) yang merupakan perusahaan tambang Internasional utama dengan kantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. PTFI menambang, memproses, dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak ke seluruh penjuru dunia. Pada tahun 1904-1905 suatu lembaga swasta dari Belanda Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig
Genootschap (KNAG) yakni lembaga geografi kerajaan Belanda,
menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang tujuan utamanya adalah mengunjungi pegunungan salju yang konon kabarnya ada di Tanah Papua. Catatan pertama tentang pegunungan salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz yang dalam perjalanan dengan dua kapalnya Aernem dan Pera ke “selatan” pada tahun 1623 di perairan sebelah selatan Tanah Papua, tiba-tiba jauh di pedalaman melihat kilauan salju dan mencatat di dalam buku hariannya pada tanggal 16 Februari 1623 tentang suatu pegunungan yang “teramat tingginya” yang pada bagian-bagiannya tertutup oleh salju. Catatan Carsztensz ini menjadi cemoohan kawan-kawannya yang menganggap Carstensz han ya berkhayal. Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal perhatian besar Belanda terhadap daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat dari hasil ekspedisi militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-ekspedisi militer ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk mendaki dan mencapai pegunungan salju. Beberapa ekspedisi Belanda yang terkenal dipimpin oleh Dr. HA.Lorentz dan Kapten A. Franzen Henderschee. Semua dilakukan dengan sasaran untuk mencapai puncak Wilhelmina (Puncak Sudirman sekarang) pada ketinggian 4,750 meter. Nama Lorentz belakangan diabadikan untuk nama Taman Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat di pantai selatan. Pada pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya adalah pegawai perusahaan minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita mereka untuk mencapai puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi langkah pertama bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian. 4
Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau disebut gunung bijih, lalu data mengenai batuan ini dibawa ke Belanda. Setelah sekian lama bertemulah seorang Jan Van Gruisen – Managing Director perusahaan Oost Maatchappij, yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengggara dengan kawan lamanya Forbes Wilson, seorang kepala eksplorasi pada perusahaan Freeport Sulphur Company yang operasi utamanya ketika itu adalah menambang belerang di bawah dasar laut. Kemudian Van Gruisen berhasil meyakinkan Wilson untuk mendanai ekspedisi ke gunung bijih serta mengambil contoh bebatuan dan menganalisisnya serta melakukan penilaian. Pada awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967). Pimpinan tertinggi Freeport pada masa itu yang bernama Langbourne Williams melihat peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dia bertemu Julius Tahija yang pada zaman Presiden Soekarno memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan dengan Jenderal Ibnu Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan tersebut adalah permohonan agar Freeport dapat meneruskan proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil pertemuan demi pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I). Kontrak karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius Tahija untuk memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal Asing ke Australia. Sebelum 1967 wilayah Timika adalah hutan belantara. Pada awal Freeport mulai beroperasi, banyak penduduk yang pada awalnya berpencar-pencar mulai masuk ke wilayah sekitar tambang Freeport sehingga pertumbuhan penduduk di Timika meningkat. Tahun 1970 pemerintah dan Freeport secara bersama-sama membangun rumah-rumah penduduk yang layak di jalan Kamuki. Kemudian dibangun juga perumahan penduduk di sekitar selatan Bandar Udara yang sekarang menjadi Kota Timika. Pada tahun 1971 Freeport membangun Bandar Udara Timika dan pusat perbekalan, kemudian juga membangun jalan-jalan utama sebagai akses ke tambang dan juga jalan-jalan di daerah terpencil sebagai akses ke desa-desa Tahun 1972, Presiden Soeharto menamakan kota yang dibangun secara bertahap oleh Freeport tersebut dengan nama Tembagapura. Pada 5
tahun 1973 Freeport menunjuk kepala perwakilannya untuk Indonesia sekaligus sebagai presiden direktur pertama Freeport Indonesia. Adalah Ali Budiarjo, yang mempunyai latar belakang pernah menjabat Sekretaris Pertahanan dan Direktur Pembangunan Nasional pada tahun 1950-an, suami dari Miriam Budiarjo yang juga berperan dalam beberapa perundingan kemerdekaan Indonesia, sebagai sekretaris delegasi Perundingan Linggarjati dan anggota delegasi dalam perjanjian Renville.
2.2. Profil Singkat PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum)
PT. Indonesia Asahan Aluminium atau lebih dikenal sebagai Inalum merupakan BUMN pertama dan terbesar Indonesia yang bergerak dibidang peleburan Aluminium. Besarnya potensi kelistrikan yang dihasilkan dari aliran Sungai Asahan membuat Pemerintah Indonesia mengundang perusahaan konsultan pembangunan asal Jepang, Nippon Koei untuk melakukan studi kelayakan pembangunan PLTA di Sungai Asahan. Studi kelayakan tersebut menyarankan agar produksi kelistrikan diserap oleh industri peleburan aluminium. Maka dengan itu, Pemerintah menindaklanjuti studi kelayakan ter sebut bersama pihak Jepang untuk secara bersama mendirikan perusahaan untuk mengelola proyek asahan dengan perusahaan yang bernama Indonesia Asahan Aluminium dengan ditandatanganinya kerjasama untuk pengelolaan bersama kawasan Sungai Asahan pada tanggal 7 Juli 1975. Perusahaan yang didirikan pada tanggal 6 Januari 1976 dengan status Penanam Modal Asing dibentuk oleh 12 perusahaan Kimia dan Metal dari Jepang. Keberadaan Inalum sebagai industri
peleburan
aluminium
telah
meletakkan
dasar
fondasi
yang
kuat
untuk
mengembangkan industri hilir peleburan bahan tambang yang berpengaruh, bernilai tambah dan berdaya saing. Pada tanggal 9 Desember 2013, status Inalum seba gai PMA dicabut sesuai dengan kesepakatan yang di tandatangani di Tokyo pada tanggal 7 Juli 1975. Sejak diakuisisi oleh Pemerintah, Inalum kini tengah mengembangkan produksi hilir aluminium dengan mendorong diversifikasi produk dari aluminium ingot ke aluminium alloy, billet dan wire rod, serta menggarap pabrik peleburan baru yang terintegrasi di Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional Tanah Kuning, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara dan mempersiapkan diri untuk menjadi induk holding BUMN bidang pertambangan yang direncanakan mengakuisisi Freeport Indonesia.
6
2.3. Sejarah Perjanjian Kerjasama PT. Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia
Secara historis, pemberian hak pengusahaan bidang pertambangan kepada swasta dilakukan berdasarkan sistem kontrak yang dikenal dengan istilah Kontrak Karya (KK). Sistem KK pertama kali diterapkan antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport pada tahun 1967. Penandatanganan KK pertama kali dilakukan pada tahun 1967 dengan sebutan KK I. Kontrak tersebut disepakati oleh Pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya PT. Freeport Indonesia. PT.FI menguasai usaha eksplorasi terhadap lahan seluas lebih dari 10.000 hektar. Selama berlakunya KK Freeport di Indonesia, para pengamat menilai bahwa rezim kontrak ini tidak memberikan manfaat secara proporsional bagi Indonesia. Sebagai contoh, Freeport diberikan berbagai kelonggaran perpajakan hingga bebas dari kewajiban sosial lingkungan. Ketiadaan manfaat secara proporsional berbanding terbalik dengan jumlah keuntungan yang diperoleh Freeport. Kondisi demikian terus berlangsung hingga perpanjangan KK II pada tahun 1991. Rezim KK II sebenarnya tidak jauh berbeda dengan KK I. Berbagai klausul kontrak yang merugikan pihak Indonesia masih bertahan tanpa adanya perubahan signifikan. Berdasarkan KK II, PT.FI dapat melakukan penambangan selama 30 tahun hingga masa akhir produksi tahun 2021. Pasal-pasal dalam KK II mengatur berbagai substansi yang merugikan pihak Indonesia baik secara ekonomi maupun secara sosial. Sebagai contoh, KK II tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan operasi dan fasilitas pemurnian. Bargaining position pemerintah Indonesia baru mengalami peningkatan pada masa KK V. Berdasarkan KK V, Freeport wajib melakukan divestasi atas kepemilikan saham hingga mencapai 51%. Divestasi wajib dilakukan dalam jangka waktu 20 tahun melalui proses pelepasan secara bertahap. Namun demikian dalam perjalanannya, kewajiban divestasi juga tidak terlepas dari persoalan. Problematika divestasi saham Freeport kembali mengemuka setelah proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan PT. FI tidak mencapai kesepakatan. Persoalan KK Freepot bahkan menjadi semakin rumit setelah pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 mengubah skema ‘izin’ pengusahaan tambang dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Secara mendasar penolakan Freeport terhadap perubahan status KK menjadi IUPK bukan tanpa alasan. Pasalnya jelas bahwa kedudukan Pemerintah Indonesia menjadi lebih kuat berdasarkan skema IUPK. 7
Skema IUPK memiliki perbedaan mendasar dibandingkan dengan skema KK. Berdasarkan skema KK, posisi pemerintah Indonesia dianggap setara dengan PT FI layaknya kesetaraan para pihak dalam suatu perjanjian. Hal demikian merupakan prinsip mendasar hukum kontrak yang berlaku secara universal. Sementara itu, skema IUPK memposisikan kedudukan Pemerintah Indonesia sebagai pihak pemberi izin. Posisi pemerintah selaku pemberi izin khusus tentu berimplikasi kepada ‘menurunnya’ posisi tawar Freeport. Inilah yang kemudian meningkatkan ketegangan antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport dalam proses renegosiasi yang turut menyebabkan munculnya wacana gugatan PT FI kepada Pemerintah Indonesia atas dasar pelanggaran KK. Keadaan semakin pelik menyusul pengunduran diri Direktur Utama PT FI beberapa waktu lalu.
2.4. Kelahiran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Sebagai Era Baru Pengaturan Bidang Pertambangan
Kelahiran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) dirasakan sebagai suatu tonggak perubahan bagi pembaruan hukum pertambangan di Indonesia. Sebagai wujud upaya pemerintah dalam memperbarui pengaturan minerba, pokok-pokok pikiran UU Minerba ini meliputi: 1) Mineral dan batu bara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha; 2) Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing; 3) Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah; 4) Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia; 5) Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan, dan 8
6) Dalam
rangka
terciptanya
pembangunan
berkelanjutan,
kegiatan
usaha
pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi dan partisipasi masyarakat. Materi penting UU Minerba yang merupakan perubahan besar dalam pengaturan sektor pertambangan mineral dan batubara adalah mengenai perubahan skema pengusahaan sektor pertambangan dari semula berbentuk Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya/Pengusahaan Pertambangan Batubara (KK/PKP2B) menjadi skema izin usaha. Skema izin usaha sektor pertambangan dimaksud meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Perubahan skema pengusahaan pertambangan dari KK menjadi skema izin dilakukan dengan beberapa dasar pertimbangan, antara lain: 1) Bentuk kontrak pertambangan melalui skema KK/PKP2B pada satu sisi telah berhasil menarik investor, akan tetapi pada sisi yang lain justru menimbulkan diskriminasi antara pihak swasta nasional dengan pihak swasta asing. Pasalnya, skema pengusahaan pertambangan melalui KK khusus diperuntukan bagi investor asing. 2) Terdapat perbedaan mendasar antara skema izin pertambangan dengan skema kontrak (KK). Pada skema izin, perizinan diberikan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan yakni eksplorasi, eksploitasi dan pengolahan serta pengangkutan. Sementara itu dalam skema KK, izin pengusahaan pertambangan diberikan secara sekaligus mulai dari eksplorasi hingga eksploitasi. 3) Terdapat pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang tidak taat kepada peraturan mengenai
pengawasan
KK/PKP2B.
Kewenangan
melakukan
pengawasan
terhadap KK/PKP2B sesungguhnya berada pada pemerintah pusat, namun pada kenyataannya justru pengawasan banyak dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. 4) Skema pengusahaan pertambangan oleh pihak non pemerintah melalui pemberian izin memiliki beberapa keunggulan apabila dibandingkan dengan skema pengusahaan berdasarkan KK.
2.5. Divestasi 51% Saham PT. Freeport Indonesia oleh Pemerintah Indonesia
Sebagaimana yang tertuang dalam KK V, bahwa PT. FI wajib melakukan divestasi atas kepemilikan saham hingga mencapai 51%, dimana hal tersebut wajib dilakukan dalam jangka waktu 20 tahun melalui proses pelepasan secara bertahap. Pada dasarnya divestasi tersebut 9
merupakan bentuk hasil dari regenosiasi yang terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar tercapainya kesepakatan baru yang lebih adil bagi kedua belah pihak. Setelah melalui proses yang panjang, tarik ulur kesepakatan antara PT. FI dengan pemerintah Indonesia pada bulan agustus tahun 2017, akhirnya divestasi tersebut memasuki babak baru, dengan ditandatanganinya pokok-pokok perjanjian ( Head of Agreement – HoA) pada 12 Juli 2018 antara Freeport-McMoran Inc (FCX), Rio Tinto dan holding industri pertambangan PT. Inalum. Keberadaan PT. Inalum adalah sebagai BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan hal-hal komersial dengan Freeport (urusan business to business). Cambridge Law Dictionary (2018) mengartikan Head of Agreemet (HoA) sebagai berikut: “Head of agreement is a document containing the main part of a business deal that that the companies or people involved must sign before they sign the main written agreement .” Dengan kata lain, dalam hal ini Head of Agreement (HoA) merupakan frame work untuk melakukan transaksi lanjutan guna mengakuisi 51% PT. FI. Adapun isi dari HoA tersebut adalah tentang pokok-pokok kesepakatan negosiasi sebelumnya, termasuk harga akuisisi. Serta poin utama negosiasi, yakni landasan hukum dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi (IUPK Op) bukan dalam bentuk Kontrak Karya (KK). Kemudian divestasi saham 51% untuk kepemilikan nasional Indonesia. Ketiga, Freeport membangun smelter di dalam negeri. Keempat, penerimaan negara secara agregat dan total lebih besar disbanding penerimaan negara melalui KK selama ini. Kelima, perpanjangan operasi 2 x 10 tahun hingga 2041, yang akan diberikan setelah Freeport memenuhi kewajiban IUPK Op Divestasi 51% saham PT. FI tersebut akan dilakukan dengan membeli 40% hak partisipasi ( Participating Interest – PI) dalam pengolahan tambang Grasberg milik Rio Tinto dan saham FCX di PT. Indocopper Investama yang memiliki 9,39% saham di Freeport Indonesia. Dimana sebelumnya PT. Inalum telah memiliki 9,36% saham pemerintah terhadap PT. FI. Untuk menguasai saham tambang emas itu, pemerintah melalui PT. Inalum harus merogoh kocek sebesar USD 3,85 miliar atau setara dengan Rp 55,44 triliun (mengacu kurs Rp 14.400). Dari total dana yang dibutuhkan tersebut, sebesar USD 3,5 miliar diperuntukkan untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto di PT. FI dan 100% saham FCX di PT. Indocopper
10
Investama, yang memiliki 9,39% saham di Freeport Indonesia. Sedangkan USD750 juta akan ditujukan untuk Freeport.
2.6. Hukum Perikatan / Perjanjian
Dalam prakteknya, antara perikatan dan perjanjian tidak dibedakan. Namun, dalam teorinya kedua istilah tersebut dibedakan. Definisi Perjanjian atau juga dinamakan persetujuan dapat kita temui dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), didalam pasal tersebut disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan. Dalam perjanjian setidaknya melibatkan 2 pihak yaitu pihak yang mengajukan penawaran dan pihak yang menerima penawaran tersebut. Dalam KUHPerdata disebutkan bahwa kedua belah pihak itu adalah pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi (debitur) dan pihak yang berhak menuntut terlaksananya prestasi tersebut (kreditur). Perikatan adalah hubungan hukum antara 2 pihak atau lebih, dimana satu pihak berhak menuntut, sementara pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan. Mengenai perikatan, disebutkan dalam Pasal 1233 KUHPerdata bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan atau perjanjian ( Pacta Sunt Servanda) atau karena Undang-Undang. Dengan kata lain, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lain. a. Asas-Asas Penting Dalam Hukum Perikatan
Adapun asas-asas penting dalam hukum perikatan antara lain: 1) Sistem terbuka dan asas konsensualisme (Pasal 1338 Ayat 1)
Sistem terbuka – sistem tertutup, berkaitan dengan aanvullend recht (optinal law) atau hukum pelengkap
Konsensualisme,
lahir
pada
saat
tercapai
kata
sepakat
dengan
pengecualiaan jika adanya perjanjian formal dan perjanjian riil 2) Asas kebebasan berkontrak, yaitu kebebasan untuk menentukan isi dan bentuk perjanjian 3) Asas kekuatan mengikat, yaitu asas yang menyatakan bahwa para pihak terkait untuk melaksanakan isi perjanjian termasuk terikat pada kebiasaan & kepatutan 4) Asas kepribadian, yaitu asas yang menyatakan bahwa perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal. 1315 jo 1340). Dengan pengecualiannya pasal. 1317 11
5) Asas itikad baik (Pasal 1388 Ayat 3), perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Dimana, itikad baik harus diartikan objektif yaitu berdasarkan keadilan, kepatutan, dan kesusilaan. Dalam buku II KUHPerdata i tikad baik juga didasarkan kepada kejujuran subjektif. 6) Pacta Sunt Servanda (Pasal 1338 Ayat 1), berkaitan dengan akibat perjanjian yaitu adanya asas kepastian hukum. b. Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata syarat-syarat sahnya suatu perjanjian antara lain: 1) Adanya kesepakatan (Consensus) 2) Kecakapan (Capacity) 3) Hal tertentu (Certanty of Term) 4) Sebab yang halal ( Legality).
2.7. Asuransi
Di Indonesia, pertanggungan adalah istilah asuransi sering digunakan, istilah ini tampaknya mengikuti istilah dalam bahasa Belanda yaitu assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan). Secara yuridis pengertian asuransi atau pertanggungan merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Bab Kesembilan Pasal 246 dan Undang-Undan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992. Menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan meneriman suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu. a. Unsur-Unsur Asuransi
Dalam pengertian yang terdapat dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) tersebut dapat di simpulkan adanya 3 (tiga) unsur penting dalam asuransi, yaitu:
Pihak tertanggung atau dalam bahasa Belanda disebut verzekerde mengikatkan kepada pihak penanggung atau dalam bahasa Belanda disebut verzekeraar .
Pihak penanggung mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada pihak tertanggung, karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. 12
Suatu kejadian atau peristiwa yang tidak tentu jelas akan terjadi.
Ada 2 (dua) pihak yang terlibat di dalam perjanjian asuransi, yaitu:
Penanggung atau verzekeraar , asuradur, penjamin; ialah mereka yang dengan mendapat premi, berjanji akan mengganti kerugian atau membayar sejumlah uang yang telah disetujui, jika terjadi peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya, yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung. Jadi penanggung adalah sebagai subjek yang berhadapan dengan (lawan dari); tertanggung. Dan yang biasanya menjadi penanggung adalah suatu badan usaha yang memperhitungkan untung rugi dalam tindakan-tindakannya.
Tertanggung atau terjamin, verzekerde, insured , adalah manusia dan badan hukum, sebagai pihak yang berhak dan berkewajiban, dalam perjanjiaan asuransi, dengan membanyar premi.Tertanggung ini dapat dirinya sendiri ; seorang ketiga; dan dengan perantaraan seorang makelar.
b. Fungsi Asuransi
Adapun fungsi dari asuransi adalah sebagai berikut:
Sebagai pemindahan resiko Tertanggung kemudian mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko
yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak saat itu risiko beralih kepada penanggung.Dengan membayar premi yang relatif kecil, seseorang atau perusahaan dapat memindahkan ketidakpastian atas hidup dan harta bendanya (risiko) ke perusahaan asuransi.
Kumpulan dana Premi yang diterima kemudian dihimpun oleh perusahaan asuransi sebagai dana
untuk membayar risiko atau pembayaran ganti kerugian yang terjadi.
Pembayaran ganti kerugian / Pembagian resiko Jika suatu ketika sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian(risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam praktiknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sunguh-sungguh diderita. 13
Dalam pembayaran ganti kerugian oleh perusahaan asuransi berlaku prinsip subrogasi (diatur dalam pasal 1400 KUH Perdata) dimana penggantian hak si berpiutang (tertanggung) oleh seorang pihak ketiga (penanggung/pihak asuransi) yang membayar kepada si berpiutang (nilai klaim asuransi) terjadi baik karena persetujuan maupun karena undang-undang. Ditinjau dari beberapa sudut, maka asuransi mempunyai tujuan dan teknik pemecahan yang bermacam-macam, antara lain :
Dari segi Ekonomi, maka : Tujuannya : mengurangi ketidakpastian dari hasil usaha yang dilakukan oleh seseorang atau perusahaan dalam rangka memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan. Tekniknya : dengan cara mengalihkan risiko pada pihak lain dan pihak lain mengombinasikan sejumlah risiko yang cukup besar, sehingga dapat diperkirakan dengan lebih tepat besarnya kemungkinan terjadinya kerugian.
Dari segi Hukum, maka : Tujuannya : memindahkan risiko yang dihadapi oleh suatu objek atau suatu kegiatan bisnis kepada pihak lain. Tekniknya : mellaui pembayaran premi oleh tertanggung kepada penanggung dalam kontrak ganti rugi (polis asuransi), maka risi ko beralih kepada penanggung.
Dari segi Tata Niaga, maka : Tujuannya : membagi riisko yang dihadapi kepada semua peserta program asuransi. Tekniknya : memindahkan risiko dari individu/perusahaan ke lembaga keuangan yang bergerak dalam pengelelolaan risiko (perusahaan asuransi), yang akan membagi risiko kepada seluruh peserta asuransi yang ditanganinya.
Dari segi Kemasyarakatan, maka : Tujuannya : menanggung kerugian secara bersama-sama antar semua peserta program asuransi. Tekniknya : semua anggota kelompok (kelompok anggota) program asuransi memberikan kontribusinya (berupa premi) untuk menyantuni kerugian yang dierita oleh seorang/beberapa orang anggotanya.
Dari Segi Matematis, maka :
14
Tujuannya : meramalkan besarnya kemungkinan terjadinya risiko dan hasil ramalan itu dipakai dasar untuk membagi risiko kepada semua peserta (sekelompok peserta) program asuransi. c. Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi
Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ada 4 (empat) syarat sah suatu perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal. Sedangkan syarat khusus yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang adalah pembayaran premi dan kewajiban pemberitahuan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung yang diatur dalam Pasal 246 dan Pasal 251 KUHD. d. Jenis-Jenis Asuransi
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dapat digolongkan sebagai berikut :
Usaha asuransi
Asuransi kerugian (non life insurance) merupakan usaha memberikan jasa dalam penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti. Adapun jenis asuransi ini antara lain asuransi kebakaran, asuransi kehilangan dan kerusakan, asuransi laut, asuransi pengangkutan, asuransi kredit, asuransi kendaraan bermotor, asuransi kerangka kapal, contrution all risk (car), property/industrial all risk, asuransi customs bond, asuransi surety bond
Asuransi jiwa (life insurance) merupakan suatu jasa yang diberikan oleh perusahaan asuransi dalam penanggungan resiko yang dikaitkan dengan jiwa atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Adapun jenis asuransi ini antara lain asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, asuransi jiwa kredit
Reasuransi (reinsurance) merupakan suatu system penyebaran resiko dimana penanggung menyebarkan seluruh atau sebagian dari pertanggungan yang ditutupnya kepada penanggung yang lain.
Usaha penunjang
Pialang asuransi, merupakan usaha yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaiaan ganti kerugian asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
15
Pialang reasuransi, memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penangganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
Penilai kerugian asuransi, memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang dipertanggungkan.
Konsultan aktuaria, merupakan usaha memberikan jasa konsultan aktuaria.
Agen asuransi, merupakan pihak yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.
2.8. Anti Monopolistik
Berdasarkan UU NO 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Larangan untuk praktek monopoli diatur secara khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adapun kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang ini antara lain: a. Monopoli Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. b. Monopsoni Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. c. Penguasaan pasar Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau 16
Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
d. Persekongkolan Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak l ain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Pada dasarnya praktek monopoli tidak dibenarkan di Indonesia, terutama menyangkut hal-hal krusial yang menyangkut hajat hidup orang banyak salah satunya adalah dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), dimana hal ini tercermin dalam UUD 1945 Pasal 33, yang berbunyi: Ayat (1) : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Ayat (2) : Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Ayat (3) : Bumi air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ayat (4) : Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 17
Ayat (5) : Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Sumber kebijakan tentang pengelolaan SDA adalah Pasal 33 ayat (3), secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan SDA ditangan orang ataupun seorang. Dengan kata lain, monopoli tidak dapat dibenarkan.
2.9. Penyelesaian Sengketa dan Berakhirnya Perjanjian
Dasar hukum alternatif penyelesaian sengketa di Indoneia adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan. Adapun jenis-jenis APS antara lain: a. Negosiasi Adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dan pihak yang lain; penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang bersengketa. b. Mediasi Adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Jenis mediasi antara lain mediasi untuk perbankan, mediasi untuk sengketa pertanahan, mediasi di pengadilan. c. Konsiliasi Proses penyelesaian sengketa dimana terdapat pihak ketiga yang memfasilitasi komunikasi diantara pihak-pihak yang bersengketa dengan tujuan untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketa dan masalah diantara mereka. Proses konsiliasi serupa dengan mediasi yaitu bentuk penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga, yaitu mediator dan konsiliator. Perbedaannya, konsiliator aktif memfasilitasi komunikasi diantara dua pihak dan memberikan solusi penyelesaian. Sedangkan, mediator tidak selalu aktif memfasilitasi komunikasi diantara pihak ketiga. d. Pendapat mengikat Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase (kepada BANI) atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Terhadap pendapat yang mengikat tidak dapat dilakukan perlawanan melalui 18
upaya hukum apapun. Pendapat yang mengikat misalnya mengenai penafsiran ketentuan/pasal dalam kontrak, penambahan/perubahan ketentuan kontrak, dan lain-l ain. e. Penilaian/pendapat ahli Yaitu dimana para pihak menunjuk seorang ahli untuk meneliti masalah (sengketa) yang mereka hadapi dan membutuhkan pendapat ahli khusus ( experts determination – experts appraisal ). f. Ajudikasi Cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang ditunjuk para pihak yang bersengketa untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul diantara pihak dimaksud. g. Arbitrase Adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam rangka menjawab permasalahan dalam kajian ini adalah studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan, mempelajari serta menganalisis berbagai sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan penelitian.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data-data sekunder terkait permasalahan. Sumber data diperoleh dari baik dari sumber data tertulis seperti buku-buku pengetahuan, artikel-artikel di internet, berita online, dan peraturan-peraturan yang terkait dengan permasalahan, maupun sumber tidak tertulis seperti berita di televisi.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penulisan makalah ini adalah dengan cara mengumpulkan sumber-sumber tertulis maupun yang tidak tertulis, yang didapat dari buku buku pengetahuan, berita-berita dan artikel-artikel dari media elektronik (internet dan televisi), dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
20
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Aspek Hukum Perjanjian/Perikatan a. Kontrak Karya (KK)
Secara mendasar, kekuatan mengikat suatu kontrak tunduk pada asas pacta sun servanda. Berdasarkan asas pacta sunt servanda, setiap pihak yang membuat suatu perjanjian harus mematuhi perjanjian tersebut. Setiap pihak dalam perjanjian harus melaksanakan perjanjian yang mereka buat. Asas pacta sunt servanda timbul dari anggapan bahwa secara alamiah sifat mengikatnya kontrak didasarkan pada dua hal yang salah satunya adalah adanya sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus bekerjasama dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini masing-masing orang harus memiliki rasa saling percaya yang pada akhirnya mengakibatkan orang untuk memberikan kejujuran dan kesetiaan pada janji yang dibuat. Menurut asas ini pula maka kesepakatan para pihak mengikat sebagaimana undangundang bagi para pihak yang membuatnya.30 Hal demikian juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa setiap kesepakatan yang dibuat secara sah31 berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas pacta sunt servanda ini berkaitan pula dengan asas kebebasan berkontrak ( freedom of contract ) yang juga berlaku universal.33 Artinya, kekuatan mengikatnya suatu kontrak juga berkaitan dengan sejauh mana para pihak memiliki kekebasan di dalam membuat suatu kontrak, mementukan dengan pihak mana hendak membuat suatu kontrak serta kebebasan di dalam menentukan isi kontrak. sebagaimana berlaku secara universal, maka KK Freeport secara hukum sah dan mengikat bagi kedua belah pihak. Dengan demikian, posisi Indonesia dalam KK Freeport sama dengan posisi para pihak dalam suatu kontrak sehingga wajib untuk taat dan patuh terhadap isi kontrak. b. H ead of Agreement (HoA)
Dalam proses pengambilalihan saham diperlukan beberapa langkah hukum untuk mencapai tujuan divestasi 51% oleh Inalum tersebut, Head of Agreement (HoA) merupakan bentuk proses langkah hukum pertama yang harus dilakukan untuk memperoleh divestasi tersebut. HoA harus ditindaklanjuti dengan perjanjian lain untuk sampai pada tujuan divestasi, dengan demikian berarti HoA belum mengikat. 21
Secara hukum HoA mengikat sejauh apa yang telah disepakati di dalam HoA tetapi bahwa kesepakatan tersebut belum bisa serta-merta efektif terjadi mengingat HoA belum dikonversi dalam perjanjian utama. Untuk menjadi mengikat, HoA akan dikonversi dalam Share Purchase Agreement (perjanjian jual-beli saham), Share Holder Agreement (perjanjian antar pemegang saham), dan Exchange Agreement (pertukaran informasi).
4.2. Aspek Asuransi
Aspek asuransi ditinjau untuk jaminan pendanaan yang direncanakan akan dilakukan melalui 11 bank baik dalam maupun luar negeri. Mengingat jumlahnya yang cukup besar yaitu senilai USD 3,85 miliar, maka perlu adanya jaminan terhadap dana pinjaman tersebut jika terjadi kegagalan PT. Inalum untuk mengembalikannya. Adapun asuransi yang dapat digunakan dalam hal ini adalah asuransi yang dikaitkan dengan dunia perbankan yang lebih dititikberatkan pada asuransi jaminan kredit merupakan bidang asuransi kerugian (general insurance). Asuransi kredit adalah proteksi yang diberikan oleh Asuransi kepada BankUmum/Lembaga Pembiayaan Keuangan atas risiko kegagalan Debitur di dalam melunasi fasilitas kredit atau pinjaman tunai (cash loan) seperti kredit modal kerja, kredit perdagangan dan lain-lain yang diberikan oleh BankUmum/Lembaga Pembiayaan Keuangan. Kredit adalah pinjaman uang yang akan diberikan oleh pemberi kredit (Bank,Lembaga Keuangan) kepada nasabahnya. Sejak kredit diberikan kepada nasabah, pemberi kredit oleh nasabah atau tidak diperolehnya kembali kredit tersebut dari nasabah, sehingga pemberi kredit menderita kerugian.Untuk melindungi diri dari kemungkinan kerugian tersebut, pemberi kredit menutup asuransi atas kredit yang diberikannya kepada nasabah. Dalam asuransi kreit, tertanggung adalah pemberi kredit (Bank atau lembaga keuangan) dan yang ditanggung oleh penanggung adalah resiko kredit dimana tidak diperolehnya kembali kredit kepada para nasabahnya. Asuransi kredit bertujuan :
Melindungi pemberi kredit dari kemungkinan tidak diperolehnya kembali kredit yang diberikan kepada nasabahnya
Membantu kegiatan, pengarahan, dan keamanan perkreditan baik kredit perbankan maupun kredit lainnya di luar perbankan Pengelolaan asuransi kredit di Indonesia dipercayakan oleh pemerintah kepada PT.
Asuransi Kredit Indonesia yang berpusat di Jakarta, yang menjadi tertanggung adalah bank bank pemerintah, bank-bank swasta dan lembaga keuangan lainnya. Pada asuransi kredit 22
yang menjadi tertanggung adalah BankUmum/Lembaga Pembiayaan Keuangan yang mengajukan permintaan asuransi kredit bukan debitur yang meminjam dana dari BankUmum/Lembaga Pembiayaan Keuangan tersebut. Dengan demikian asuransi kredit adalah merupakan bi-party agreement dimana hanya ada dua pihak yang terlibat yaitu perusahaan asuransi sebagai penanggung dan bank umum atau lembaga pembiayaan sebagai tertanggung. Adapun yang menjadi objek pertanggungan pada asuransi kredit adalah resiko timbulnya kerugian yang dialami oleh BankUmum/Lembaga Pembiayaan Keuangan karena adanya kredit macet dari debitur. Pihak asuransi yang dapat melakukan penjaminan adalah asuransi yang mempunyai izin untuk melakukan penjaminan asuransi kredit dari Departemen Keuangan. Kriteria kredit yang dapat dijamin pada asuransi kredit adalah kredit yang diberikan antara lain:
Berdasarkan norma-norma perkreditan yang sehat, wajar dan berlaku umum
Sesuai dengan Manual Pemberian Kredit yang sesuai SE Bank Indonesia
Ke debitur yang memiliki izin usaha yang ditentukan oleh pihak yang berwenang dan tidak bertentangan dengan hukum.
Ke debitur yang tidak sedang dalam proses kepailitan atau telah dinyatakan pailit atau bubar demi hukum
Ke debitur yang tidak memiliki tunggakan kredit yang digolongkan kualitas kredit diragukan.
Dalam hal kredit massal (berkelompok), kriteria kredit yang dapat dijamin adalah kredit yang:
Mempunyai sektor ekonomi sama
Ditinjau dari aspek manajemen, pemasaran, pembelanjaan dan aspek teknis, usaha tersebut memerlukan pengelolaan yang terkait satu dengan lainnya. Resiko yang dapat dijamin pada asuransi kredit adalah resiko yang timbul karena
debitur tidak melunasi kredit pada saat kredit yang bersangkutan jatuh tempo dengan ketentuan usaha debitur sudah tidak ada / tidak berjalan lagi. Plafond untuk asuransi kredit sebagai berikut:
Kredit Usaha Mikro ( maks. s/d Rp. 50 Juta)
Kredit Usaha Kecil ( > Rp. 50 Juta s/d Rp. 500 Juta)
Kredit Usaha Menengah ( > Rp. 500 Juta s/d Rp. 5 Miliar)
23
Kredit Massal (berkelompok) jumlah debitur/plafond harus memenuhi kriteria sebagai berikut : Untuk sektor Pertanian dalam arti luas adalah kredit yang diberikan kepada lebih dari
100 debitur atau plafond kredit keseluruhan lebih dari Rp. 500 Juta.
Untuk bidang non pertanian adalah kredit yang diberikan kepada lebih dari 50 debitur atau plafond kredit keseluruhan lebih dari Rp. 1 M.
4.3. Aspek Anti Monopoli
Seperti yang telah dikemukakan di bab sebelumnya, Sumber kebijakan tentang pengelolaan SDA adalah Pasal 33 ayat (3), secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan SDA ditangan orang ataupun seorang. Dengan kata lain, monopoli tidak dapat dibenarkan. Operasi PT. Freeport yang terkait dengan pertambangan SDA tentunya harus mendapatkan pengawasan khusus, mengingat selama ini Freeport seolah memiliki kendali yang besar terhadap pengelolaan pertambangan di Mimika, Papua karena tidak ada perusahaan lain yang ikut mengelola pertambangan SDA di sana dan perekonomian masyarakat sekitar yang sangat bergantung pada kegiatan operasi bisnis Freeport. Oleh sebab itu, divestasi saham yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui PT. Inalum pada dasarnya sangat menguntungkan Indonesia, melalui Inalum pemerintah dapat lebih turut mengambil andil yang lebih besar dalam proses pengelolaan dan pengawasan pertambangan SDA ini. Sehingga, praktek-praktek monopoli yang dilarang sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat dicegah. Dengan demikian, pengelolaan SDA tersebut akan sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945.
4.4. Penyelesaian Sengketa dan Berkahirnya Perjanjian
Apabila terjadi sengketa di kemudian hari terhadap perjanjian yang dibuat, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase internasional jika upaya perdamaian tidak menemui titik terang. Adapun tahapan penyelesaian sengketa yang harus dilalui sebelum terjadinya arbitrase adalah sebagai berikut:
Negosiasi
Mediasi
Konsoliasi
Arbitrase. 24
Mengingat saat ini tahapan yang dilalui baru sebatas HoA, maka ada baiknya kontrakkontrak perjanjian tersebut mencantumkan poin-poin penting yang jelas, yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak.
25
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Kewajiban divestasi atau pelepasan saham PT. Freeport Indonesia sebesar 51% kepada pemerintah Indonesia melalui PT. Inalum berawal dari Kontrak Karya V. Disvestasi itu sendiri merupakan upaya renegosiasi pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan Freeport. Proses disvestasi ini dilakukan dengan dengan membeli 40% hak partisipasi ( Participating Interest – PI) dalam pengolahan tambang Grasberg milik Rio Tinto dan saham FCX di PT. Indocopper Investama yang memiliki 9,39% saham di Freeport Indonesia. Dimana sebelumnya PT. Inalum telah memiliki 9,36% saham pemerintah terhadap PT. FI. Babak baru dalam permasalahan Freeport ini ditandai dengan ditandatanganinya Head of Agreement (HoA) pada tanggal 12 Juli 2018. Dari proses disvestasi ini ada banyak hal yang perlu dikaji oleh PT. Inalum, diantaranya terpenuhinya aspek perjanjian/perikatan, asuransi, anti monopoli, penyelesaian sengketa dan berakhirnya perjanjian. Untuk tahapan awal belum ada bentuk perikatan yang mengikat pihak terkait, karena kesepakatan yang dibuat baru sebatas HoA, dari segi asuransi dapat diberlakukan asuransi jaminan kredit. Dengan adanya disvestasi saham ini pemerintah melalui PT. Inalum dapat melakukan pencgahan terhadap tindakan monopoli oleh Freeport terkait pengelolaan SDA. Jika terjadi sengketa di kemudian hari, tindakan penyelesaian dapat dilakukan melalui arbitrase internasional dengan terlebih dahulu melakukan upaya-upaya perdamaian.
5.2
Saran
Dengan adanya disvestasi 51% saham Freeport ini sesungguhya akan memberikan keuntungan bagi Indonesia. Beberapa hal yang mungkin harus dipertimbangkan oleh PT. Inalum adalah bagaimana mereka dapat menjamin kemampuan dana untuk menutupi biaya produksi Freeport yang besar, jangan sampai hal tersebut malah menjadi boomerang bagi PT. Inalum sendiri yang mengancam keberlangsungan usaha PT. Inalum sendiri. Hal lain yang harus jadi pertimbangan adalah mengenai banyaknya pelanggaran etika bisnis yang dilakukan oleh Freeport selama ini, mulai dari permasalahan tenaga kerja sampai hasil audit BPK terhadap pelanggaran kerusakan lingkungan hidup sebesar Rp 185 triliun, dimana dengan adanya disvestasi ini kerugian negara atas pelanggaran kerusakan lingkungan hidup tersebut jga harus ikut ditanggung oleh PT. Inalum. Selanjutnya, PT. Inalum juga harus memastikan keterlibatan penuh mereka dalam proses pengendalian operasi Freeport nantinya. 26
Karena persoalan dengan Freeport sudah beralih menjadi proses business to business melalui PT. Inalum. Diharapkan pemerintah dapat lebih fokus untuk menjadi pengawas atas terselenggaranya pengelelolaan SDA di Indonesia agar dapat memenuhi amanat UUD 1945.
27