MAKALAH DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN
Disusun Oleh Kelompok 9: 1. SAFITRI IN INDRAYANTI
(2007310002)
2. BE BETTINA EMA P. R.
(2007310045)
3. TIYARA SARI
(2007310049)
4. AINUN FAUZIAH
(2007310060)
5. KARTIKA TRIANA P.
(2007310083)
6. HESTI PUTRI A.
(2007310103)
KELAS F STIE PERBANAS SURABAYA JL. NGINDEN SEMOLO NO. 34-36 TELP. 031-5947151-52 TAHUN PELAJARAN 2007-2008
1
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga tugas makalah Perekonomian Indonesia tentang “Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan” ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Makalah ini kami susun berdasarkan sumber-sumber laporan berupa literatur. Kami menyusun makalah ini sangat sederhana agar mudah dimengerti oleh mahasiswa lainnya. Kami mengucapkan terima kasih khususnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam memberikan petunjuk-petunjuk untuk menyusun makalah ini, dan kepada seluruh tim kelompok kami yang telah banyak membantu memberikan ide dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa untuk meningkatkan kemampuannya dalam menggali informasi dan membantu tugas-tugas dalam rangka penilaian. Akhirnya kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan makalah kami. Mohon maaf apabila ada kesalahan baik dalam penulisan maupun penggunaan bahasa yang kurang tepat dalam makalah ini.
Surabaya, 28 Mei 2008
TIM PENYUSUN
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul..............................................................................................1 Kata Pengantar..............................................................................................2 Daftar Isi........................................................................................................3 Pendahuluan..................................................................................................4
Latar Belakang............................................................................................................... 4
Permasalahan................................................................................................................. 7 Pembahasan............................................ ............................................................... 8 1. Konsep-konsep Distribusi Pendapatan.............................................8 2. Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan.........................................9 2.1 Ketidakmerataan Pendapatan Nasional..................................10 2.2 Ketidakmerataan Pendapatan Spasial.....................................10 2.3 Ketidakmerataan Pendapatan Regional..................................11 3. Ketimpangan Pembangunan...........................................................12 4. Kesenjangan Sosial...........................................................................13 5. Tingkat Kemiskinan.........................................................................14 6. Mengapa Timpang?..........................................................................15 Kesimpulan................................................................. ....................................... 16 Daftar Pustaka........................................................................................................17
3
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Prestasi pembangunan dapat dinilai dengan berbagai macam cara dan tolak ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan non-ekonomi. Penilaian dengan pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non-pendapatan. Perekonomian Indonesia dapat ditinjau berdasarkan aspek pendapatan, dengan tolak ukur pendapatan per kapita. Pertumbuhan ekonomi secara mengejutkan berhasil pulih dengan cepat dari kekacauan yang terjadi pada paruh pertama dekade 1960-an, yaitu mencapai pertumbuhan dua digit untuk pertama kalinya pada tahun 1968. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi yang cepat, paling sedikit 5% per tahun, tetap dipertahankan hingga tahun 1982, yaitu ketika melemahnya pasar minyak bumi dunia menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun drastis. Pertumbuhan yang lambat ini terus berlangsung hingga tahun 1986 (kecuali pada tahun 1984, sejalan dengan berdatangannya investasi minyak bumi dan gas dalam jumlah besar, menggenjot pertumbuhan industri hingga 10%), ketika perubahan kebijakan yang diterapkan pada pertengahan dekade 1980an mulai terlihat hasilnya. Diakhir dekade tersebut,pertumbuhan Indonesia telah pulih kembali dan tingkat pertumbuhan sebesar 6% 7% kembali berhasil dicapai, tidak terlalu jauh bedanya dibanding pertumbuhan yang tinggi pada periode kejayaan minyak bumi. Fenomena yang berlawanan terjadi sepanjang dekade 1980an, dengan dilakukannya devaluasi besar sebanyak dua kali, yang mengakibatkan terjadinya depresiasi riil yang tajam selama dekade tersebut, dan pada gilirannya menyebabkan penurunan dalam deret data pendapatan perkapitajika diukur dalam dolar AS deret data ini memberikan penjelasan tentang apa sebab, misalnya, pada tahun 1980 Indonesia mendapat berbagai pujian resmi dan dinaikkan peringkatnya ke bagian bawah dari kelompok “negara berpenghasilan menengah” versi Bank Dunia. Walaupun demikian, akibat terjadinya devaluasi sepanjang dekade 1980an, pada tahun 1987 Indonesia kembali menduduki posisi teratas kelompok negara-negara berpenghasilan rendah.
4
Berbagai agregat sektoral yang luas ini, mencerminkan trend dari Neraca Pendapatan
Nasional
(nilainya
dalam
rupiah),
dengan
beberapa
pengecualian.
Pertumbuhan sektor industri adalah yang paling tidak merata dibanding semua sektor lainnya, dengan pertumbuhan yang spektakuler pada beberapa waktu sebelum tahun 1980. Semua kasus (kecuali satu) pertumbuhan super (dua digit) terjadi pada tahun 1968 hingga 1977. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu peningkatan yang dramatis dalam kapasitas industri pengolahan akibat berhasil di atasinya kekurangan permintaan konsumen, eksploitasi sumber daya mineral yang lebih efektif, dan sebagai akibat pesatnya kenaikan kegiatan konstruksi. Sebaliknya, industri lambat pertumbuhannya pada tahuntahun tertentu, khususnya sepanjang akhir dekade 1970an dan awal dekade 1980an, yaitu ketika Indonesia mematuhi kuota produksi OPEC. Pertumbuhan industri manufaktur juga sangat lambat pada tahun 1982 dan 1983. Dengan demikian, industri tidak bisa disebut sebagai “sektor utama” sepanjang periode ini. Indusrti merupakan sektor yang paling cepat pertumbuhannya sepanjang periode kejayaan minyakbumi dan industri manufaktur nonmigas terkena dampak pemulihan ekonomi yang terjadi pada akhir dekade 1980an. Tetapi hingga masa pertumbuhan industri berbasis luas dan berorientasi ekspor yang terjadi akhir-akhir ini, sektor industri cenderung mengalami pertumbuhan yang naik turun. Tidak mengejutkan jika pertumbuhan sektor pertanian bersifat lebih lambat dan lebih stabil. Pertumbuhannya hanya beberapa kali melebihi 5%, yaitu tingkat tertinggi yang pernah dicapai sepanjang waktu. Angka ini terjadi pada tahun-tahun pemulihan sudah terjadi keterpurukan, misalnya pada tahun 1968, 1973 dan 1992. Tetapi periode yang paling penting sepanjang sejarah pertanian Orde Baru adalah tahun 1978 hingga 1981, ketika pertumbuha yang tinggi berhasil meletakkan dasar bagi keberhasilan mencapai swasembada beras pada tahun 1985. Prestasi ini sangat berlawanan dengan kinerja yang lambat sepanjang dekade 1960an hingga 1970an, ketika kebijakan yang tidak tepat, ditambah dengan buruknya musim dan serangan hama, menyebabkan krisis beras yang berulang-ulang. Krisis ini secara khusus sangat serius ketika dibarengi dengan panen yang buruk di negara-negara penghasil beras utama lainnya. Dari ketiga sektor utama, sektor jasa adalah yang paling dekat berhubungan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Setelah dengan cepat pulih dari stagnasi pada dekade 1960an, sektor jasa tumbuh paling sedikit 8% dalam hampir semua tahun antara 1968 dan 1981. Tingkat pertumbuhannya kemudian melambat, mengikuti melambatnya tingkat perekonomian secara keseluruhan, sebelum akhirnya kembali normal pada akhir dekade 1980an. Sesuai dengan teori pembangunan ekonomi, output sektor jasa tumbuh 5
lebih cepat dari GDP, dan sektor tersebut pada saat ini hampir tidak bisa dibandingkan dengan situasinya pada dekade 1960an. Tetapi orang juga enggan menyebutnya sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, karena sepanjang masa kejayaan minyak bumi, pertumbuhan sektor ini sangat terkait dengan belanja pemerintah. Meskipun begitu, akhirakhir ini pertumbuhan sektor jasa yang cepat, diperoleh terlepas dari belanja pemerintah, khususnya dengan berkembangnya turisme dan semakin luasnya jenis usaha di sektor jasa. Pembangunan ekonomi sejak Pelita I hingga krisis tahun 1997 memang telah memberi hasil positif bagi perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi kinerja ekonomi makro. Tingkat PN riil rata-rata perkapita mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari hanya sekitar US$ 50 pertengahan 1960-an menjadi lebih dari US$ 1000 pertengahan 1990-an, dan bahkan Indonesia sempat disebut sebagai calon negara industri baru di Asia Tenggara, satu tingkat di bawah NICs. Namun, dilihat dari sisi kualitasnya, ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde Baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk ketimpangan dalam distribusi pendapatan
antarkelompok
maupun
kesenjangan
ekonomi/pendapatan
antardaerah/provinsi. Pembangunan ekonomi yang tidak merata antarprovinsi membuat sebagian masyarakat di banyak daerah di luar pulau Jawa seperti Aceh, Irian Jaya(Papua), dan Riau ingin melepaskan diri dari Indonesia. Bahkan dapat dikatakan bahwa menangnya kelompok prokemerdekaan di Timor Timur tidak lepas dari kekecewaan dari sebagian besar masyarakat melihat kenyataan bahwa bergabungnya mereka dengan Indonesia selama Orde Baru tidak menghasilkan pembangunan ekonomi yang berarti di wilayah mereka.
6
PERMASALAHAN Dalam bab ini kita akan membahas bagaimana pembangunan ekonomi daerah di Indonesia, terutama pada Distribusi PDB nasional dan bagaimana tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia.
7
PEMBAHASAN 1. KONSEP-KONSEP DISTRIBUSI PENDAPATAN Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Terdapat berbagai kriteria atau tolak ukur untuk menilai kemerataan (parah atau lunaknya ketimpangan) distribusi dimaksud. Tiga di antaranya yang paling lazim di gunakan adalah: 1. Kurva Lorenz; 2. Indeks atau Rasio Gini; 3. Kriteria Bank Dunia. Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk, secara kumulatif pula. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata. Indeks atau Rasio Gini adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka 0 hingga 1, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pandapatan nasional. Semakin kecil (semakin mendekati nol) koefisiennya, pertanda semakin baik atau merata distribusi. Di lain pihak, koefisien yang kian besar (semakin mendekati satu) mengisyaratkan distribusi yang timpang atau senjang. Kriteria ketidakmerataan
versi Bank Dunia didasarkan atas porsi
pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan terendah (penduduk termiskin); 40% penduduk berpendapatan menengah; serta 20% penduduk berpendapatan tertinggi (penduduk terkaya). Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia ini sering pula dipakai sekaligus sebagai kriteria kemiskinan relatif. Kemerataan distribusi pendapatan nasional bukan semata-mata
“pendamping”
pertumbuhan
ekonomi
dalam
menilai
keberhasilan
pembangunan. Ketidakmerataan sesungguhnya tak lepas dari masalah kemiskinan. Keduanya ibarat dua sisi pada sekeping mata uang.
8
2. KETIDAKMERATAAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Upaya untuk memeratakan pembangunan dan hasil-hasilnya baru tampak nyata sejak Pelita III, manakala srtategi pembangunan secara eksplisit diubah dengan menempatkan pemerataan sebagai aspek pertama dalam trilogi pembangunan. Semenjak itu dikenal kebijaksanaan delapan jalur pemerataan, meliputi: a. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang, dan perumahan; b. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; c. Pemerataan pembagian pendapatan; d. Pemerataan kesempatan kerja; e. Pemerataan kesempatan berusaha; f. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; g. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh tanah air; h. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan. Dalam kaitan khusus dengan pemerataan pembagian pendapatan (jalur ketiga), kita dapat memilah tinjauan permasalahan dari tiga segi yaitu: a. Pembagian pendapatan antarlapisan pendapatan masyarakat; b. Pembagian pendapatan antardaerah, dalam hal ini antara wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan; c. Pembagian pendapatan antarwilayah, dalam hal ini antarpropinsi dan antarkawasan (barat, tengah, timur).
9
2.1 KETIDAKMERATAAN PENDAPATAN NASIONAL
Distribusi atau pembagian pendapatan antarlapisan pendapatan masyarakat dapat ditelaah dengan mengamati perkembangan angka-angka Rasio Gini. Koefisien Gini itu
sendiri, perlu
dicatat, bukanlah merupakan indikator
paling ideal
tentang
ketidakmerataan (ketimpangan,kesenjangan) distribusi pendapatan antarlapisan. Namun setidak-tidaknya ia cukup memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola pembagian pendapatan. Angka-angka koefisien Gini dihitung berdasarkan pendekatan pengeluaran. Dalam perbandingan internasional, distribusi pendapatan nasional Indonesia tidak lebih buruk bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di Asia. Dibandingkan dengan Republik Rakyat Cina; Malaysia; Filipina dan Thailand, distribusi pendapatan nasional Indonesia relatif lebih merata. Porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh lapisan 40% penduduk berpendapatan terendah, lebih besar.
2.2 KETIDAKMERATAAN PENDAPATAN SPASIAL Ketidakmerataan distribusi pendapatan antarlapisan masyarakat bukan saja berlangsung secara nasional. Akan tetapi hal itu juga terjadi secara spasial atau antardaerah, yakni antardaerah perkotaan dan daerah pedesaan. Di Indonesia pembagian pendapatan relatif lebih merata di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan. Ketidakmerataan pendapatan yang berlangsung antardaerah tidak hanya dalam hal distribusinya, tapi dalam hal tingkat atau besarnya pendapatn itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan cara membandingkan persentase penduduk pedesaan terhadap penduduk perkotaan untuk tiap-tiap golongan pendapatan. Porsi penduduk pedesaan yang berada dalam rentang pendapatan lapis bawah lebih besar daripada porsi penduduk perkotaan. Sebaliknya, pada rentang pendapatan lapis atas, porsi penduduk pedesaan lebih kecil.
10
2.3 KETIDAKMERATAAN PENDAPATAN REGIONAL Secara regional atau antarwilayah, berlangsung pula ketidakmerataan distribusi pendapatan antarlapisan masyarakat. Bukan hanya itu, di antara wilayah-wilayah di Indonesia bahkan terdapat ketidakmerataan tingkat pendapatan itu sendiri. Jadi, dalam perspektif antarwilayah, ketidakmerataan terjadi baik dalam hal tingkat pendapatan masyarakat antar wilayah yang satu dengan yang lain, maupun dalam hal distribusi pendapatan
di kalangan penduduk masing-masing wilayah. Dalam hal tingkat
pendapatannya sendiri, terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara wilayahwilayah di tanah air. Pembandingan untuk ini dapat dilakukan melalui angka-angka Produk Domestik Bruto (PDRB) per kapita antarpropinsi. Di antara 27 propinsi di tanah air, per tahun 1991 hanya ada 6 propinsi yang PDRB per kapitaaya lebih besar daripada PDB per kapita Indonesia. Angka PDB per kapita Indonesia di sini termasuk minyak bumi dan hasil-hasilnya. Keenam propinsi dimaksudkan adalh Daerah Istimewa Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya. Berarti keenam propinsi inilah yang pendapatannya per kapita penduduknya lebih tinggi daripada pendapatan per kapita ratarata Indonesia. Perhatikan, tidak semua propinsi yang menghasilkan minyak bumi memiliki PDRB per kapita lebih besar daripada PDB per kapita. Di lain pihak, di antara enam propinsi yang pendapatan per kapita lebih besar daripada pendapatan per kapita Indonesia, ada yang tidak menghasilkan minyak bumi yakni DKI Jakarta. Lebih besarnya pendapatan per kapita penduduk Jakarta daripada penduduk Indonesia sebagai keseluruhan, meskipun propinsi ini tidak menghasilkan minyak bumi, rasanya mudah dimaklumi. Jakarta merupakan ibukota negara. Wilayah ini bukan saja pusat pemerintahan, tapi sekaligus juga menjadi pusat perekonomian. Kegiatan ekonomi Indonesia bertumpu di sini. Demikian halnya dengan PDRB per kapita Bali, propinsi yang juga tidak menghasilkan minyak bumi, lebih besar daripada PDB per kapita Indonesia. Mudah diduga, hal itu adalah berkat keberhasilannya meraup pendapatan dari sektor pariwisata. Seperti diketahui, Bali merupakan daerah tujuan wisata utama di tanah air.
11
3.
KETIMPANGAN PEMBANGUNAN
Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja berupa ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan per kapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antardaerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional. Tersedia cukup bukti yang bisa diajukan untuk menunjukkan betapa ketimpangan masih memprihatinkan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun bukti tersebut bisa terlihat dengan kasat mata dan dirasakan. Bermunculannya kawsan-kawsan kumuh ( slumps) di tengah beberapa kota besar, serta (sebaliknya, di lain pihak) hadirnya kantong-kantong permukiman mewah di tepian kota atau bahkan di daerah pedesaan, adalah satu bukti nyata ketimpangan yang langsung dapat kita saksikan dan rasakan. Perbedaan mencolok dalam gaya hidup masyarakat merupakan bukti lain lagi. Secara “akademik”, berbagai ketimpangan yang ada dapat disimak dengan menelaah sejumlah data statistis. Upaya untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, menurut penilaian beberapa kalangan, sebetulnya sudah mulai dirintis sejak awal Pelita III. Ketika itu urutan trilogi pembangunan dirasionalisasikan dengan menempatkan pemerataan sebagai prioritas pertama. Ini bahkan dipertahankan terus hingga Repelita IV, namun hasilnya belum tidak sesuai harapan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa, secara umum, kesejahteraan orang-orang Indonesia dewasa ini lebih baik dibandingkan masa-masa sebelumnya. Akan tetapi peningkatan kesejahteraan secara umum tidaklah dengan sendirinya mengurangi ketimpangan. Ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional dalam pembangunan dapat ditengarai antara lain dengan menelaah perbedaan mencolok dalam aspek-aspek seperti penyebaran tenaga kerja, alokasi dana perbankan, investasi dan pertumbuhan.ketimpangan pertumbuhan antarsektor bukan saaja terjadi pada masa lalu sejak Pelita I hingga Pelita V. Akan tetapi juga memang “ direncanakan” untuk masa-masa yang akan datang. Ketimpangan sektoral dalam aspek pertumbuhan ini sangat mencolok apabila kita membandingkan sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan.
12
4. KESENJANGAN SOSIAL
Ketimpangan antardaerah di tanah air dapat pula diungkap melalui berbagai variabel selain pendapatan, bahkan variabel non-ekonomi. Dengan mengenali berbagai ketimpangan dalam variabel-variabel non-ekonomi dapat tersingkap adanya kesenjangan sosial di Indonesia. Dilihat
berdasarkan berbagai indikator, terlihat
masih
berlangsung
kesenjangan kesejahteraan antara orang-orang di desa dan orang-orang kota. Bahakan untuk beberapa variabel atau indikator, sekalipun skor kesejahteraan mengisyaratkan adanaya perbaikan, perbedaan itu cukup mencolok. Persentase penduduk berusia 10 tahun ke atas yang melek-huruf lebih besar di kota daripada di desa. Keadaan bayi dan anak-anak balita di kota lebih baik daripada mereka yang tinggal di desa. Indeks mutu hidup di kta juga jauh lebih baik daripada di desa. Semua ini cukup untuk membuktikan betapa masih memprihatinkannya kesenjangan sosial antara masyarakat desa dan masyarakat kota. Kesenjangan sosial pun bukan hanya berlangsung antardaerah, tetapi juga antarwilayah. Ketidakmetaraan atau ketimpangan atau kesenjangan diukur dengan berbagai variabel serta dalam berbagai dimensi agaknya merupakan fenomena atau produk sampingan yang tak terelakan dalm PJP I. Ketimpangan-ketimpangan yang ada bersifat majemuk dan berskala nasional. Pengurangan kemiskinan memang perlu. Kemiskinan, sampai kadar tertentu, memang bertalian dengan ketimpangan. Akan tetapi pengurangan kemiskinan tidak selalu berarti pengurangan ketimpangan. Sebagai suatu bangsa, kita bukan hanya ingin hidup lebih makmur (tidak miskin), tetapi juga mendambahkan kebersamaan dalam kemakmuran; kesejahteraan bersama yang relatif setara, tanpa perbedaan mencolok satu sama lain. Kesejahteraan atau keadaan tidak miskin merupakan keinginan lahiriah setiap orang. Kesetaraan kemakmuran, dalam arti perbedaan yang ada tidak terlalu mencolok, merupakan salah satu sarana yang memungkinkan orang-orang bisa hidup bermasyarakat dengan baik dan tenang, tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Kemerataan sama pentingnya dengan kemakmuran. Pengurangan ketimpangan atau kesenjangan sama pentingnya dengan pengurangan kemiskinan.
13
5. TINGKAT KEMISKINAN Persentase penduduk yang yang hidup di bawah garis kemiskinan digunakan sebagai salah satu alat ukur tingkat ketimpangan ekonomi antardaerah. Jika dilihat distribusi dari jumlah penduduk miskin di Indonesia, lebih dari 55%-nya terdapat di pulau Jawa. Pulau Jawa memang merupakan pusat kemiskinan di Indonesia, dan hal ini erat kaitannya dengan angka kepadatan penduduk yang memang di pulau Jawa paling tinggi dibandingkan dengan di provinsi-provinsi lain di Indonesia. Fakta ini memberikan kesan adanya suatu korelasi positif antara kepadatan penduduk dan tingkat kemiskinan di ladang untuk bertani atau lokasi untuk membangun pabrik atau melakukan kegiatankegiatan ekonomi lainnya, semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, yang berarti juga semakin besar persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Ada dua hal yang menarik. Pertama, provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta merupakan pusat kemiskinan di IKB, sedangkan NTB dan NTT di IKT. Paling besarnya kemiskinan di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta tersebut erat kaitannya dengan kenyataan bahwa tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia adalah di dua wilayah tersebut. Sedangkan di Nusa Tenggara dikarenakan oleh tingkat pembangunan yang rendah, bukan karena kepadatan penduduk, karena jumlah penduduk di wilayah tersebut relatif sedikit. Kedua, sebagian besar dari provinsi-provinsi di Indonesia mengalami penurunan bervariasi per provinsi, yang erat kaitannya dengan kinerja perekonomian regional yang juga bervariasi menurut provinsi. Selain dengan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan atau sebagai suatu persentase dari jumlah populasi, besarnya kemiskinan di suatu wilayah dapat juga di ukur dengan sejumlah variabel lain seperti jumlah rumah tangga yang membayar listrik (PLN), yang memiliki kendaran bermotor, atau yang memiliki sambungan telepon per 1000 rumah tangga.BPD dkk. (2001), membuat suatu indeks yang disebut indeks kemiskinan manusia (IKM) yang terdiri dari 5 unsur utama, yakni suatu proporsi dari jumlah populasi yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun, yang buta huruf, yang tidak memiliki akses terhadap ait bersih dan sarana kesehatan, dan balita kurang gizi.
14
6. MENGAPA TIMPANG ? Ada dua faktor yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama adalah karena ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) di antara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua adalah strategi pembangunan dalam era PJP I lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan (growth). Sebagian dari ketidaksetaraan anugerah awal itu bersifat alamiah (natural) atau bahkan ilahiah. Akan tetapi sebagian lagi bersifat struktural. Ketidaksetaraan anugerah awal tersebut berakibat peluang dan harapan untuk berkiprah dalam pembangunan menjadi tidak seimbang. Ada yang dapat dengan cepat menyergap peluang membangun, ada pula yang lamban. Pada gilirannya, sepanjang kurun prmbangunan, timbul ketidakmerataan. Sebagai bukti bahwa dalam praktiknya selama ini kita lebih peduli akan pertumbuhan dibandingkan pemerataan, dapat dicermati melalui sasaransasaran pembangunan yang pernag ditetapkan. Sepanjang PJP I kita senantiasa hanya menetapkan target-target tingkat pertumbuhan yang hendak dicapai. Kita tidak pernah menetapkan target mengenai tingkat kemerataan, misalnya dengan menetapkan bahwa pada tahun tertentu Indeks Gini (salah satu ukuran kemertaan) harus mencapai angka rendah tertentu.
15
KESIMPULAN Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Tiga tolak ukur untuk menilai kemerataan distribusi pendapatan adalah Kurva Lorenz, Indeks atau Rasio Gini, dan Kriteria Bank Dunia. Distribusi atau pembagian pendapatan antarlapisan pendapatan masyarakat dapat ditelaah dengan mengamati perkembangan angka-angka Rasio Gini. Dalam perbandingan internasional, distribusi pendapatan nasional Indonesia tidak lebih buruk bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di Asia. Di Indonesia pembagian pendapatan relatif lebih merata di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan. Dalam perspektif antarwilayah, ketidakmerataan terjadi baik dalam hal tingkat pendapatan masyarakat antar wilayah yang satu dengan yang lain, maupun dalam hal distribusi pendapatan di kalangan penduduk masing-masing wilayah. Ketimpangan pembangunan di Indonesia berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Tidak saja berupa ketimpangan hasil, misalnya dalam hal pendapatan per kapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan. Tidak pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antardaerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional. Upaya untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, menurut penilaian beberapa kalangan, sebetulnya sudah mulai dirintis sejak awal Pelita III. Persentase penduduk yang yang hidup di bawah garis kemiskinan digunakan sebagai salah satu alat ukur tingkat ketimpangan ekonomi antardaerah. Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta merupakan pusat kemiskinan di IKB, sedangkan NTB dan NTT di IKT. Ada dua faktor yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama adalah karena ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) di antara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua adalah strategi pembangunan dalam era PJP I lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan (growth).
16
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Erlangga : Jakarta.
Tumbunan, Tulus T.H. 1996. Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia : Jakarta.
17