DEPARTMEN ORTHOPEDIK & TRAUMATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
LAPORAN KASUS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
JUNI 2015
DISLOKASI POSTERIOR SENDI PANGGUL KANAN
OLEH: SHAZLEEN FARHANA BINTI KHAIRUL AZAM C11109868
ADVISOR: dr. MICHAEL HOREB dr. WENDELIN WIDIA
SUPERVISOR: dr. MUH PETRUS JOHAN, M.Kes, Sp.OT DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU ORTOPEDIK DAN TRAUMATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa : Nama
:
SHAZLEEN FARHANA BINTI KHAIRUL AZAM
NIM
:
C 111 09 868
Laporan Kasus
:
Dislokasi Posterior Sendi Panggul Kanan
Telah menyelesaikan tugas referat dengan judul tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ortopedik dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar, Juni 2015
Konsulen
dr. MUH PETRUS JOHAN, M. Kes, Sp.OT
Pembimbing
dr. Wendelin Widia
Pembimbing
dr. Michael Horeb
IDENTITAS PASIEN
II.
Nama
: Sitti Suhrah
Umur
: 56 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Masuk: 20 Mei 2015
No RM
: 712729
ANAMNESIS
Keluhan utama
: Nyeri pada lipat paha kanan
Anamnesis
: Dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit Wahidin Sudirohosodo akibat kecelakaan lalu lintas.
Mekanisme trauma
: Pasien sedang duduk di kiri depan sebuah
mobil yang telah menabrak tembok karena supir salah menginjak gas. Paha pasien terbentur pada sesuatu. Riwayat pingsan (+), mual (-), muntah (-). Riwayat penanganan awal di RS Pare-pare.
III.
PEMERIKSAAN FISIK PRIMARY SURVEY
Airway
: Paten, obstruksi (-)
Breathing
: RR= 18x/menit, simetris, spontan, tipe
thorakoabdominal
Circulation
: BP= 130/80 mmHg, P= 80x/menit regular dan kuat
angkat
Disability
: GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor ϕ 2.5mm/ 2.5 mm,
refleks cahaya +/+
Environment : suhu 36.6oC
SECONDARY SURVEY
Inspection
: Tampak deformitas adduksi, fleksi, rotasi internal hip
joint, hematom (-), udem (-), luka (-)
Palpation
: Nyeri tekan (+)
ROM
: Gerak aktif dan pasif dari hip joint sulit dievaluasi
karena nyeri.
NVD
: Sensibilitas baik, pulsasi arteri dorsalis pedis teraba,
capillary refill time <2 detik.
IV.
HASIL LABORATORIUM PEMERIKSAAN RBC HGB HCT PLT WBC BT
HASIL 4.08 11.6 35.8 211 9.11 3’00”
CT HbsAg II.
GAMBARAN KLINIS Regio Pelvis Dextra
V.
Tampak Anterior
Tampak Lateral
PEMERIKSAAN RADIOLOGI X-ray Pelvis AP
8’00” Non-reactive
VI.
RESUME
Perempuan, 56 tahun dengan nyeri panggul kanan akibat kecelakaan.
Dari pemeriksaan fisik: didapatkan deformitas dan nyeri tekan pada panggul kanan. Gerak aktif dan pasif dari hip joint terbatas kerana nyeri. NVD baik.
Dari pemeriksaan radiologi X-Ray Pelvis AP tampak dislokasi caput femoris dextra.
VII.
Hasil laboratorium dalam batas normal.
DIAGNOSIS
Dislokasi Posterior Sendi Panggul Kanan
VIII.
PENATALAKSANAAN
IVFD RL 20tpm
Analgetik
Closed Reduction
X-Ray Pelvis AP after Closed Reduction
DISKUSI DISLOKASI SENDI PANGGUL
I. PENDAHULUAN Dislokasi adalah pindahnya permukaan sentuh tulang yang menyusun sendi. Cedera ini dihasilkan oleh gaya yang menyebabkan sendi melampaui batas normal anatomisnya. Pindahnya ujung tulang yang incomplete disebut dislokasi tidak sempurna atau subluxation. Karena fungsi ligament adalah untuk mencegah perpindahan atau pergerakan sendi yang abnormal, semua sprains menghasilkan beberapa derajat subluxation. Dislokasi yang komplit, atau luxation, terjadi saat ada pemisahan yang komplit dari tulang. Dislokasi panggul traumatik hampir selalu disebabkan oleh trauma berenergi tinggi. Adanya cedera dislokasi meandakan bahwa ada gaya yang mencapai 90 oz. atau bahkan lebih pada mekanisme traumatik atau adanya patologi yang mendasari yang telah menyebabkan ketidakstabilan sendi. Penumpang yang tidak menggunakan sabuk pengaman memiliki resiko yang lebih untuk mengalaminya. Mekanisme klasik untuk dislokasi posterior adalah pada cedera dashboard, yaitu terjadi gaya yang menekan kepala femur melewati posterior acetabular rim saat lutut yang terfleksi dan panggul terhantam dashboard pada kecelakaan. Selain disebabkan oleh dashboard, dikatakan juga bahwa cedera ini bisa terjadi saat mekanisme mengerem. Dislokasi anterior terjadi disebabkan oleh rotasi eksternal dan abduksi panggul. Kasus dislokasi posterior mencapai 90% dari seluruh kasus, sementara dislokasi anterior hanya sebanyak 10% kasus. Cedera nervus skiatika mungkin terjadi pada 10-20% kasus dan lebh dari setengah pasien juga mengalami fraktur lain. II. EPIDEMIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Dislokasi panggul posterior lebih sering ditemukan dibanding dislokasi panggul anterior yaitu sekitar 90% dari semua jenis dislokasi panggul. Dislokasi anterior dan sentral terjadi sekitar 10% dari seluruh dislokasi panggul. Thompson-Eipstein Classification of Poesterior Hip Dislocation Type I
Simple dislocation with or without an insignificant posterior wall fragment
Type II
Dislocation associated with fracture of the posterior acetabular rim
Type III
Dislocation with a comminuted acetabular rim
Type IV
Dislocation with fracture of the acetabular floor
Type V
Dislocation with fracture of the femoral head (Pipkin Class)
Type I Type II
Stewart-Milford System Simple dislocation without fracture Dislocation with one or more rim fragments but with sufficient socket to ensure
Type III Type IV
stability after reduction Dislocation with fracture of the rim producing gross instability Dislocation with fracture of the head or neck of the femur
Type I Type II Type III Type IV
Pipkin Classification of Posterior Hip Dislocation Dislocation with femoral fracture caudal to fovea centralis Dislocation with femoral fracture cephalad to fovea centralis Type I or II + fracture of femoral head Type I or II + fracture of acetabulum Tabel 1. Klasifikasi Dislokasi Tulang Panggul Posterior(4)
Dislokasi panggul anterior lebih jarang terjadi dibandingkan dengan dislokasi posterior. Penyebab utamanya adalah kecelekaan lalu lintas atau kecelakaan penerbangan. Pada dislokasi anterior caput femoris ada pada bagian anterior dari acetabulum. Terjadi dislokasi dari caput femoris dalam hal ini dikarenakan hiperekstensi berlebihan dan abduksi dari kaki.
Type IA Type IB
Eipstein Classification of Anterior Hip Dislocation Type I Superior dislocations, including pubic & subspinous No associated features Associated fracture or impaction of the femoral head
Type IC
Associated fracture of the acetabulum Type II Inferior dislocations, including obturator & perineal No associated features Associated fracture or impaction of the femoral head Associated fracture of the acetabulum
Type IIA Type IIB Type IIC
Tabel 2. Klasifikasi Dislokasi Tulang Panggul Anterior
III. ANATOMI Articulatio coxae adalah persendian antara caput femoris yang berbentuk hemisphere dan acetabulum os coxae yang berbentuk mangkuk dengan tipe “ball and socket”. Permukaan sendi acetabulum berbentuk tampak kuda dan dibagian bawah membentuk takik disebut incisura acetabuli. Rongga acetabulum diperdalam dengan adanya fibrocartilago dibagian pinggirnya yang disebut sebagai labrum acetabuli. Labrum ini menghubungkan incisura acetabuli dan disini dikenal sebagai ligamentum trasversum acetabuli. Persendian ini dibungkus oleh kapsula dan melekat di medial pada labrum acetabuli. Simpai sendi jaringan ikat di sebelah depan diperkuat oleh sebuah ligamentum yang kuat dan berbentuk Y, yakni ligamentum ileofemoral yang melekat pada SIAI dan pinggiran acetabulum serta pada linea intertrochanterica di sebelah distal. Ligamentum ini mencegah ekstensi yang berlebihan sewaktu berdiri.
Gambar 1. Articulatio coxae
Di bawah simpai tadi diperkuat oleh ligamentum pubofemoral yang berbentuk segitiga. Dasar ligamentum melekat pada ramus superior ossis pubis dan apeks melekat dibawah pada bagian bawah linea intertrochanterica. Ligamentum ini membatasi gerakan ekstensi dan abduksi.
Gambar 2. Persendiaan pada panggul sudut anterior dan posterior
Di belakang simpai ini diperkuat oleh ligamentum ischiofemorale yang berbentuk spiral dan melekat pada corpus ischium dekat margo acetabuli. Ligamentum ini mencegah terjadinya hiperekstensi dengan cara memutar caput femoris ke arah medial ke dalam acetabulum sewaktu diadakan ekstensi pada articulatio coxae. Ligamentum teres femoris berbentuk pipih dan segitiga. Ligamentum ini melekat melalui puncaknya pada lubang yang ada di caput femoris dan melalui dasarnya pada ligamentum transversum dan pinggir incisura acetabuli. Ligamentum ini terletak pada sendi dan dibungkus membrana sinovial. Batas-batas articulatio coxae adalah m. illiopsoas, m. pectinus, m. rectus femoris pada bagian anterior. M. Illiopsoas dan m. pectinus memisahkan a.v. femoralis dari sendi. M. obturatorius internus mm. gemelli dan m. quadratus femoris pada bagian posterior yang memisahkan sendi dari n. Ischiadicus. Batas articulatio coxae pada bagian superior adalah m. piriformis dan m.
gluteus
minimus dan batasnya pada bagian inferior adalah tendo m. obturatorius externus.
Gambar 3. Persendian pada panggul sudut lateral
Nervus
Nervus femoralis yang bercabang ke m.rectus femoralis, nervus obturatorius (bagian anterior), nervus ischiadicus (nervus ke musculus quadratus femoris), dan nervus gluteus superior.
Gambar 4. Nervus pada panggul
Gambar 5. Nervus pada panggul
Vaskuler Cabang-cabang arteria circumflexia femoris lateralis dan arteria circumflexia femoris medialis serta arteri untuk caput femoris, cabang arteria obturatoria.
Gambar 6. Vaskularisasi pada panggul
Gerakan
Fleksi dilakukan oleh m. illiopsoas, m. rectus femoris, m. sartorius, dan juga mm. adductores.
Ekstensi dilakukan oleh m. gluteus maximus dan otot-otot hamstring.
Abduksi dilakukan oleh m. gluteus medius dan minimus, dan dibantu oleh m. Sartorius, m. tensor fascia latae dan m. piriformis.
Adduksi dilakukan oleh m. adductor longus dan m. adductor brevis serta serabut-serabut adductor dari m. adductor magnus. Otot-otot ini dibantu oleh m. pectineus dan m.gracillis.
Rotasi lateral
Rotasi medial
Circumduction merupakan kombinasi dari gerakan-gerakan di atas.
Gambar 7. Otot-otot pada panggul
IV.
MEKANISME TRAUMA Pada dislokasi posterior, caput femur keluar ke belakang acetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur dimana sendi panggul dalam posisi fleksi atau semifleksi. Trauma biasanya terjadi karena kecelekaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam keadaan fleksi dan menbrak dengan keras benda yang ada di depan lutut. Dislokasi anterior terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian atau trauma dari belakang pada saat berjongkok dan posisi penderita dalam keadaan abduksi yang dipaksakan, leher femur menabrak acetabulum dan terjungkir keluar, melalui robekan pada kapsul anterior. Bila sendi panggul dalam
keadaan fleksi maka akan terjadi dislokasi tipe obturator (inferior) dan jika sendi panggul dalam posisi ekstensi akan terjadi dislokasi tipe pubik atau iliaka (superior).
Gambar 8. Dislokasi posterior dan anterior
Inferior anterior dislokasi berhubungan dengan abduksi paksa, external rotasi, dan fleksi pada pinggul. Pada kasus ini, caput femoral keluar melalui kapsul anterior dibawah ligamentum pubofemoralis. Inferior dislokasi mudah dikenali dari gambaran radiografi oleh posisi caput femoris diatas foramen obturator dan posisi femur abduksi dan external fiksasi. Superior anterior dislokasi jarang terjadi, dengan prevalensi kurang dari 10%. Kasus ini berhubungan dengan abduksi paksa, rotasi external dan ekstensi femur. Ruptur dari caput femoralis melalui kapsul anterior diantara ligamentum ileofemoral dan pubofemoral dengan menarik SIAI. Dislokasi superior biasanya menjalar hingga dislokasi pubik.
Dislokasi terjadi apabila caput femur terdorong ke medial acetabulum pada rongga panggul kapsul tetap utuh. Fraktur acetabulum terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau jatuh dari ketinggian pada satu sisi aau suatu tekanan yang melalui femur dimana panggul dalam keadaan adduksi. V.
GAMBARAN KLINIS Secara khas, pasien dengan dislokasi pinggul posterior traumatic, tampak dengan pemendekan ekstremitas bawah yang terjadi pada posisi fleksi pinggul, adduksi, dan rotasi internal. Adanya caput femoris kadang-kadang dapat dipalpasi pada bokong ipsilateral. Hal ini dapat diandalkan pada pasien dengan dislokasi pinggul sederhana, kehadiran patah tulang atau fraktur pada femur ipsilateral atau pelvis dapat secara dramatis mengubah posisi pasien yang ditunjukkan pasien. Pada kasus yang jelas pada pasien dengan dislokasi posterior, diagnosis mudah ditegakkan yaitu kakipendek, dan sendi panggul teraba dengan jelas dalam posisi adduksi, rotasi internal dan fleksi. Namun, kadang pada fraktir tulang panjang, kelainan klinis ini dapat terlewat. Pada dislokasi anterior, kaki berada dalam posisi external rotasi, abduksi dan sedikit fleksi. Tidak terjadi pemendekan kaki pada kasus ini., dikarenakan perlekatan rectus femoris mencegah pemendekan caput bergeser ke atas. Jika dilihat dari samping tonjolan anterior pada caput yang berdislokasi sangat jelas. Caput yang menonjol mudah diraba dan gerakan pinggul tidak dapat dilakukan. Pada dislokasi sentral, didapatkan perdarahan dan pembengkakan di daerah tungkai bagian proksimal tetapi posisi tetap normal, hanya sedikit di bagian lateral. Pada perabaan, nyeri dirasakan pada daerah trokanter. Gerakan sendi panggul sangat terbatas.
VI.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologi konvensional AP dari pelvis biasanya digunakan untuk mendiagnosis dislokasi pada panggul. Pada foto anteroposterior caput femoris terlihat di luar mangkuknya dan diatas acetabulum, segmen atap acetabulum mingkin caput femoris mungkin telah patah atau bergeser. Gambaran radiologis pada dislokasi anterior hampir mirip dengan dislokasi posterior pada posisi anteroposterior. Keadaan yang membedakannya adalah letak trochanter yang lebih rendah. Pada sisi superior anterior, dislokasi panggul pada keadaan external rotasi dan letak trochanter yang lebih rendah sangat menonjol sedang pada dislokasi posterior femur dalam keadaan rotasi interna dan letak trochanter yang lebih rendah tidaklah menonjol. Pada foto anteroposterior biasanya jelas, namun tak jarang caput hampir berada di depan posisi normalnya, dan diperjelas dengan posisi lateral. Pada dislokasi sentral, terdapat adanya pergeseran dan caput femur menembus panggul. VII.
TATA LAKSANA Penanganan pada dislokasi caput femur adalah dengan melakukan reposisi, sesuai dengan tipe dan derajat severitasnya. Dislokasi Posterior Dislokasi tipe I harus direduksi secara cepat dengan general anestesi. Pada sebagian besar kasus dilakukam reduksi tertutup. Seorang asisten menahan pelvis manakala ahli bedah ortopedi memfleksikan pinggul dan lutut pasien sampai 90 derajat dan menarik paha ke atas secara vertikal. Setelah direposisi, stabilitas sendi panggul dapat didislokasi dengan cara menggerakkan secara vertikal. Secara umum reduksi stabil namun perlu dipasang traksi dan mempertahankannya selama 3 minggu. Gerakan dan latihan dimulai setelah nyeri reda. Pada dislokasi tipe II, cedera yang terjadi sering diterapi dengan reduksi terbuka dan fiksasi anatomis pada fragmen yang terkena. Terutama jika sendi
tidak stabil atau fragmen besar tidak tereduksi dengan reduksi tertutup, reduksi terbuka dan fiksasi internal dipertahankan selam 6 minggu. Dislokasi tipe III umumnya diterapi dengan reduksi tertutup, kecuali jika ada fragmen yang terjebak dalam acetabulum, maka dilakukan tindakan reduksi terbuka dan pemasangan fiksasi interna dan traksi dipertahankan selama 6 minggu. Dislokasi tipe IV dan V awalnya diterapi dengan reduksi tertutup. Fragmen caput femoris dapat berada tepat pada tempatnya dan dapat dibuktikan dengan foto atau ct-scan pasca reduksi. Jika fragmen tetap tidak tereduksi maka dilakukan reduksi terbuka denga caput femoris yang di dislokasikan dan fragmen diikat pada posisinya pasca operasi. Traksi dipertahankan selama 4 minggu, dan pembebatan ditunda selama 12 minggu. Dislokasi Anterior Manuver yang digunakan hampir sama seperti yang digunakan mereduksi dislokasi posterior, kecuali bahwa sewaku paha yang difleksikan ditarik ke atas, paha harus diadduksi. Dislokasi Sentral Apabila terjadi dislokasi sentral, diusahakan untuk mereposisi fraktur dan mengembalikan bentuk acetabulum ke bentuk normalnya. Pada fraktur acetabulum dengan penonjolan caput femur ke dalam panggul, maka dilakukan terapi konservatif dengan traksi tulang selama 4-6 minggu. Pada fraktur dimana caput femur tembus ke dalam acetabulum, sebaiknya dilakukan traksi pada dua komponen yaitu komponen longitudinal dan lateral selama 6 minggu dan setelah 8 minggu diperbolehkan berjalan dengan menggunakan penopang berat badan. 1.1 Tujuan Terapi •
Mengembalikan posisi dan pergerakan.
•
Fiksasi dapat membiarkan pergerakan pascaoperasi dari hal-hal yang tidak diinginkan.
1.2 Konsiderasi Umum Indikasi Operasi: • Gagal reposisi tertutup • Kedudukan caput femur tidak stabil • Terjadi fraktur kolum femoris • Adanya lesi pada nervus ischiadicus 1.3 Perawatan Pasca Reduksi Paisen tirah baring dan diimobilisasi dengan traksi kulit selama 2 minggu, kemudian mobilisasi non-weight bearing selama 3 bulan atau tirah baring hingga nyeri sendi panggul menghilang, kemudian segera mobilisasi partial weight bearing. 1.4 Follow-up Pengawasan posisi ekstremitas bawah dalam posisi neutral bila diimobilasisi dengan traksi kulit, latih isometric segera dilakukan dan latihan isotonic setelah 2 minggu. Atau dengan pemantauan hilangnya nyeri sendi panggul dan segera mobilisasi partial weight bearing.
VIII.
KOMPLIKASI
Tahap Dini a. Cedera nervus skiatikus Cedera nervus skiatikus terjadi 10-14% pada kasus dislokasi posterior selama awal trauma atau selama relokasi. Fungsi nervus dapat digunakam sebagai verfikasi sebelum dan sesudah relokasi untuk mendeteksi terjadinya komplikasi ini. Jika ditemukan adanya disfugsi atau lesi pada nervus ini setelah reposisi maka pembedahan eksplorasi dianjurkan untuk mengeluarkam dan memperbaikinya. Penyembuhan sering membutuhkan waktu yang lama,
minimal beberapa bulan dan sementara proses tersebut, tungkai harus dihindarkan dari cedera dan pergelangan kaki harus dibebat untuk menghindari kaki terkulai “foot drop”. b. Kerusakan pada caput femur Sewaktu terjadi dislokasi, sering terjadi kaput femur menabrak acetabulum sehingga pecah atau patah seperti pada kasus fraktur dislokasi. c. Kerusakan pada pembuluh darah Pada kebiasaannya, pembuluh darah yang mengalami robekan atau ruptur adalah arteri glutea superior. Kalau keadaan ini dicurigai maka perlu dilakukan pemeriksaan arteriogram. Pembuluh darah yang robek atau ruptur mungkin perlu dilakukan ligasi. d. Fraktur diafisis femur Bila terjadi bersamaan dengan dislokasi sendi panggul, fraktur ini biasanya terlewatkan. Kecurigaan adanya dislokasi panggul, bila mana pada fraktur femur ditemukan posisi fraktur proksimal dalam keadaan adduksi. Pemeriksaan radiologis sebaiknya dilakukan di atas dan di bawah daerah femur. Pemeriksaan CT-Scan dapat memberikan gambaran hasil yang lebih baik, sekaligus membantu dalam diagnose dan penatalaksanaan fraktur pada dislokasi. Tahap Lanjut a. Nekrosis avaskular Persediaan darah pada caput femoris sangat terganggu sekurang-kurangnya 10% pada dislokasi panggul traumatik, kalau reduksi ditunda menjadi beberapa jam maka kejadian meningkat menjadi 40%. Nekrosis avaskular terlihat dalam pemeriksaan radiologi konvensional sebagai peningkatan kepadatan caput femoris, tetapi perubahan ini tidak ditemukan sekurangkurangnya selama 6 minggu, bahkan ada yang ditemukan setelah 2 tahun
dengan ditemukan adanya fragmentasi atau sklerosis pada pemeriksaan radiologis. b. Misositis osifikans Komplikasi ini jarang terjadi. Mungkin berhubungan dengan beratnya cedera. Tetapi gerakan tidak dapat dipaksakan dan pada cedera yang berat, masa istirahat dan pemulihan dengan pembebanan mungkin perlu diperpanjang. c. Dislokasi yang tidak dapat direduksi Hal ini dikarenakan reduksi yang terlalu lama sehingga sulit dimanipulasi dengan reduksi tertutup dan diperlukan reduksi terbuka. Dengan kasus seperti ini, insidens kekakuan dan nekrosis avaskular sangat meningkat, dimana penatalaksanaan adalah dengan pembedahan rekonstruktif. d. Osteoartritis Osteoartritis sekunder sering terjadi dan diakibatkan oleh kerusakan kartilago saat dislokasi,adanya fragmen yang tertahan dalam sendi, atau nekrosis iskemik pada caput femoris.
DAFTAR PUSTAKA
1. Solomon Louis, Warwick David, Nayagam Selvadurai. Apley’s Consise System of Orthopaedics and Trauma. 4th Edition. London: Hodder Arnold. 2014. 2. Thompson, Jon C. Netter’s Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy. 2nd Edition. USA: Icon Learning System LLC. 2010. 3. Brinker Mark R. Review of Orthopaedic Trauma. 2nd Edition. USA: Lippincott Wittiams & Witkins. 2010.
4. Miller Mark D, Thompson Stephen R, Hart Jennifer H. Review of Orthopaedics. 6th Edition. USA: Elsevier Saunders. 2012. 5. Cleland Joshua, Koppenhaver Shane. Netter’s Orthopaedic Clinical Examination. 2nd Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2011. 6. Steelei, Joseph R., Edwards, John R. Traumatic Posterior Dislocation of the Hip : Spectrum of Plain Film and CT Findings. Journal 2007. http://www.ajronline.org 7. Moore, Keith L dan Anne M. R. Agur. Consise Clinical Anatomy. 2002. 8. Solomon Louis, Warwick David, Nayagam Selvadurai. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 9th Edition. London: Hodder Arnold. 2010. 9. Snell, Richard S. Clinical Anatomy. 3rd Edition. London: Learning System LLC. 2006. 10. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2002.