DISKRESI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
A. Pendahuluan
Negara Indonesia adalah sebuah negara yang menjunjung tinggi
supremasi hukum. Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia mempunyai
konstitusi yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang telah mengalami perubahan hingga empat kali karena suatu pergolakan
besar yaitu reformasi. Konstitusi kita selalu melihat pada pembukaannya,
yang di dalamnya mengandung tujuan negara. Prof. Sudikno berkata bahwa
hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai
tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena rangsangan dari luar
hukum. Faktor-faktor di luar hukum itulah yang membuat hukum itu
dinamis[1].
Berbicara hukum, kita juga tidak dapat mengabaikan kekuasaan, karena
hukum itu adalah suatu produk dari kekuasaan. Penguasa yang baik dan
berkualitas tentu akan melahirkan produk hukum yang baik dan berkulitas
pula, begitu pula sebaliknya, penguasa yang korup dan buruk, maka akan
menghasilkan hukum yang korup pula.
Seperti kata Prof. Sudikno tadi bahwa 'hukum adalah suatu alat untuk
mencapai tujuan', maka hukum pun dapat diciptakan untuk membuat sesuatu
yang buruk menjadi legal karena ada hukum yang memperbolehkan padahal dari
kacamata keadilan, hal tersebut jauh dari kata adil.
Dalam usaha untuk mencapai kesejahteraan, ketertiban atau upaya
menyelamatkan bangsa seringkali penguasa atau pengambil keputusan mengambil
langkah-langkah yang bertentangan dengan hukum. Misalnya saja yang terjadi
pada masa lalu yang kita kenal dengan sebutan Petrus atau Penembak
Misterius dimana pada masa itu para preman ditembak satu persatu oleh orang
misterius yang ternyata diketahui adalah bagian dari upaya kepolisian untuk
meningkatkan rasa keamanan warga.
Dari sisi hukum hukum, jelas apa yang dilakukan pihak kepolisian
tersebut merupakan tindakan yang sewenang-wenang, tapi ternyata dampaknya
dirasakan masyarakat. Masyarakat mulai merasa aman, tingkat kriminalitas
menurun. Itu adalah salah satu contoh dari tindakan aparat yang berwenang
dalam menggunakan asas diskresi.
Saat ini dikenal istilah diskresi atau kewenangan aparat birokrasi
untuk menentukan keputusan diluar dari aturan baku yang ada, seringkali
menjadi solusi alternatif dalam merespon kondisi dalam pelayanan publik,
namun juga memiliki implikasi adanya penyimpangan kewenangan (abuse of
power) jika diskresi yang dimilikinya tidak diiringi dengan adanya etika
dan akuntabilitas.
Namun karena kompleksnya persoalan seputar pemerintahan, saat ini
kewenangan berupa diskresi tersebut seringkali menjadi tututan oleh
pemerintah daerah. namun disisi lain, terkadang diskresi yang dilakukan
tingkat pemerintah daerah kemudian bermasalah pada sisi hukum. Maka tidak
hal ini berimplikasi dengan adanya keragu-raguan kepala daerah untuk segera
menggunakan kewenangan diskresi yang dimilikinya, sebagai upaya pemenuhan
layanan yang merupakan tuntutan masyarakatnya.
Diskresi yang dimiliki oleh seorang kepala daerah untuk menentukan
keputusan didaerahnya, yang mana keputusan itu mendesak untuk dilakukan
seringkali tidak dilakukan oleh kepala daerah bersangkutan. Disinyalir
bahwa belum adanya payung hukum mengenai diskresi kepala daerah tersebut,
ditakutkan oleh kepala daerah jika itu dilakukan maka akan berhadapan
dengan aturan hukum yang berlaku. Disamping itu juga, karena kekhawatiran
tersebut menjadikan kepala daerah cenderung mengikuti pada aturan yang
baku, sehingga daerah seringkali dikatakan kurang responsif, tidak inovatif
dan tidak efektif efisien terutama hal ini dalam pelayanan publik di
daerah.
Dalam artikel ini kemudian akan lebih melihat bagaimana perspektif
kebijakan diskresi dari sudut pandang hukum administrasi negara, serta
kondisi peluang dan tantangan diskresi pemerintah daerah praktek
pemerintahan saat ini.
B. Pembahasan
A. Pengertian Asas Diskresi atau Freies Ermessen
Pemerintah dalam mengguhnakan wewenang publik wajib mengikuti aturan-aturan
hukum administrasi negara agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.[2]
Keputusan-keputusan tersebut terikat pada tiga asas hukum yakni
rechtmatigheid, wetmatigheid, dan discretie atau freis ermessen.[3]
Freies Ermessen berasal dari kata fres yang artinya bebas, lepas,
tidak terikat, dan merdeka, sementara itu ermessen diartikan sebagai
mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies Ermessen
berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan
mempertimbangkan sesuatu. Sedangkan Nata Saputra mengartikan Freies
Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi,
yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi Negara
mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari pada berpegang teguh
kepada ketentuan hukum.[4]Dengan kata lain Freies Ermessen adalah kebebasan
bertindak dari pejabat Negara tanpa harus terikat kepada undang-undang.
Namun kebebasan ini harus berdasarkan hukum. Ada juga yang mengatakan bahwa
Freies Ermessen sama dengan diskresi, yaitu kebebasan untuk dapat bertindak
atas inisiatif sendiri, terutama dalam menyelesaikan persoalan yang
memerlukan penanganan segera tetapi peraturan untuk penyelesaian persoalan
itu belum ada karena belum dibuat oleh badan yang diserahi tugas
legislatif.
Freies Ermessen (Jerman), pouvoir discretionnaire (Perancis) ,
discretionary power (Inggris) atau diskresi menurut Kuntjoro Purbopranoto
(1981) adalah kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah dalam
menghadapi situasi yang konkrit (kasustis). Dalam pandangan Kuntjoro,
freies ermessen harus didasarkan pada asas yang lebih luas yaitu asas
kebijaksanaan, yang menghendaki bahwa pemerintah dalam segala tindak
tanduknya itu harus berpandangan luas dan selalu dapat menghubungkan dalam
menghadapi tugasnya itu gejala-gejala masyarakat yang harus dihadapinya,
serta pandai memperhitungkan lingkungan akibat-akibat tindak
pemerintahannya itu dengan penglihatan yang jauh ke depan.Sedangkan menurut
SF. Marbun dan Ridwan dalam makalahnya berjudul "Tinjauan Umum Atas RUU
Administrasi Pemerintahan" (2005) menyatakan diskresi merupakan kewenangan
bebas (vrije bevoegheid) yang melekat pada pemerintah atau administrasi
negara. Diskresi muncul secara insidental, terutama ketika peraturan
perundang-undangan belum ada/ mengatur atau rumusan peraturan tertentu
bersifat multitafsir atau bersifat samar, dan diskresi tidak dapat
diprediksi sebelumnya.[5]
2. Diskresi Dalam Pelaksanaan Pemerintahan
Pada tataran pemerintah daerah, saat ini pengertian mengenai diskresi
sebenarnya sudah tertuang dalam UU Administrasi Pemerintahan Tahun 2014,
yakni keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan,
tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan.
Namun disisi lain, kondisi yang ada bahwa kepala daerah dinilai kurang
responsif dalam berinovasi. Hal ini diakibatkan rendahnya kepastian dalam
penegakan hukum, sehingga banyak kepala daerah ketakutan dalam penggunaan
kebijakan diskresi yang sangat rentan menyeret kepala daerah atau pejabat
daerah kedalam tindak pidana penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan yang
dimilikinya.
Menurut Isran Noor (2012) Rendahnya perlindungan hukum atas inovasi
atau kebijakan diskresi kepala daerah ini berimplikasi pada banyaknya
penyelenggara pemerintahan yang mengambil sifat pasif dan kurang responsif
terhadap pemenuhan kepentingan publik (http://www.pikiran-
rakyat.com/node/232214, diakses 20 mei 2013) 5. Hal ini menjelaskan bahwa,
adanya kecenderungan bahwa terdapat keraguan dari para kepala daerah dalam
menjalankan haknya dalam diskresi, sekalipun itu kemudian berakibat baik
untuk daerah.
Akan tetapi, sejumlah kekhawatiran mengenai adanya diskresi di daerah
ini terhadap proses pelayanan publik masih saja terus dicemaskan. Disatu
sisi diskresi dapat menjadi jawaban terhadap adanya pelayanan publik yang
stagnan, kaku, terlalu birokratis dan sejumlah patologi birokrasi lainnya.
Namun disisi lain, juga penggunaan diskresi ini akan menyebabkan adanya
penyalahgunaan kewenangan, perilaku korupsi, dan penyimpangan lainnya jika
diskresi tersebut tidak dikawal dengan mekanisme akuntabilitas pemerintah
daerah.
Sehingga jika kemudian kewenangan diskresi ini tidak dilakukan
mekanisme pengawasan atau kontrol terhadap akuntabilitasnya, maka hal ini
akan diperhadapkan berbagai masalah struktural maupun hukum. Dimana
diskresi yang dilakukan bisa saja menjadi bumerang bagi kepala daerah dalam
sejumlah kasus korupsi. Menurut Mendagri Gawaman Fauzi, mengatakan diskresi
itu ada batasannya dan diatur agar apa yang dikhawatirkan tidak terjadi.
Ada beberapa syarat, termasuk (melakukan inovasi) tidak melanggar hukum,
Sejumlah kekhawatiran yang muncul dengan diaturnya hak diskresi tersebut,
antara lain kepala daerah dapat menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk
kepentingan pribadi.
Penyalahgunaan kewenangan dan korupsi adalah hal yang paling krusial
terhadap implikasi negatif diskresi, apalagi dengan adanya payung hukum
mengenai diskresi pemerintah daerah dalam pelayanan publik tersebut.
Gawaman Fauzi mengungkapkan modus baru korupsi yang sering menjadi batu
sandungan bagi kepala daerah seperti menahan setoran pajak ke pusat dengan
menyimpannya di rekening pribadi. Juga, modus meminjam dari kas daerah,
mark-up maupun cash back dari rekanan proyek (http://www.kemendagri.go.id,
diakses 21 mei 2013).
Tantangannya kemudian adalah bagaimana melihat diskresi tersebut dalam
kerangka akuntabilitas pemerintah daerah. hubungan antara diskresi
pemerintah daerah dan kaitanya dengan akuntabilitas pemerintah memang cukup
kompleks. Namun menarik melihat kondisi yang menggambarkan keterkaitan
antara diskresi pemerintah daerah dan akuntabilitas, yang dikemukakan
Yilmaz, Serdar., Yakup Beris and Rodrigo Serrano Berthet (2010; 259-293),
dalam Development Policy Review dengan artikelnya berjudul Linking Local
Government Discretion and Accountability in Decentralisation. Mengemukakan
3 dimensi yang akan mempengaruhi bentuk akuntabilitas terkait diskresi yang
dimiliki pemerintah daerah, yaitu :
a. Diskresi Politik Lokal, yang mengemukakan pandangan bahwa untuk
menciptakan kondisi diskresi yang akuntabel dari pemerintah daerah
harus memperhatikan beberapa hal yakni bagaimana pembagian kekuasaan
eksekutif dan legislatif, model pemilihan umum di tingkat daerah untuk
memilih pemimpin, dan fungsi partai politik di daerah. disisi lain
juga penguatan dilakukan dengan membatasi masa jabatan pemimpin untuk
menghindari budaya patronase politik dan membentuk kontrol publik
terhadap kinerja pemerintah daerah.
b. Diskresi Administratif, disisi desentralisasi administrasi perlu
diperhatikan hal menyangkut aparatur pemerintah dalam hal kemampuan
mengatur, diskresi untuk mengelola pelayanan, diskresi dalam pelayanan
publik dan pengaturan kebijakan. Dan untuk melakukan penguatan
terhadap kondisi ini adalah memuat struktur kontrol publik sehingga
lebih melembaga dan adanya informasi pelayanan yang bisa diakses oleh
masyarakat.
c. Diskresi Fiskal (Keuangan), dalam diskresi pada posisi ini menyangkut
bagaimana pemerintah daerah mengatur pengeluaran, mengatur pendapatan
daerah, mengelola fiscal gap antar daerah, dan Infrastruktur keuangan
daerah. disamping itu untuk memperkuat hal ini maka perlu diperhatikan
adanya manajemen yang efektif dan efisien dan juga keterbukaan
informasi terhadap akuntabilitas penggunaan anggaran.
Seperti yang dikemukakan diatas bahwa tantangannya kemudian dalam
penerapan diskresi di daerah, hal tersebut kemudian menyangkut kapasitas
yang dimiliki kepala daerah. Sekalipun kemudian banyak implikasi negatif
yang hadir dengan adanya diskresi tersebut sudah selayaknya bahwa diskresi
kemudian tidak meninggalkan ranah akuntabilitas. Diskresi yang disesuaikan
dengan jalur hukum yang berlaku dan mengusahakan bagi kebaikan dalam
pelaksanaan pelayanan publik didaerah, maka kedepan diskresi bisa menjadi
solusi dalam permasalah pelayanan publik yang saat ini dinilai tidak
responsif dan tidak inovatif.
Disisi lain, Diskresi yang dimiliki Kepala Daerah jangan dijadikan
sebagai peluang para pejabat jadi kebal hukum. Agar jelas dan tegas, serta
tidak membuat peluang multi-tafsir, RUU Pemda harus mengatur jelas soal
diskresi ini. Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek,
mengatakan dengan diskresi tersebut diharapkan dapat melindungi kepala
daerah yang kreatif menerobos aturan perundangan, namun tak sampai bikin
negara rugi (Koran Rakyat Merdeka, Edisi Minggu, 19 Mei 2013 dalam
Koranmedia_online.com).
Untuk itu, Kepala daerah dalam mengambil kebijakan untuk melaksanakan
urusan pemerintahan yang didesentralisasikan kepadanya, diperlukan adanya
pengaturan diskresi kepala daerah agar penyelenggaraan pemerintahan daerah
dapat berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan, pada saat kepala daerah
menemukan adanya regulasi, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
tidak jelas, kabur, multi-tafsir, atau bahkan tidak ada ketentuannya.
Sejalan dengan itu oleh Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi
Regional (PATTIRO) Sad Dian Utomo, mengatakan pengaturan tentang diskresi
kepala daerah ini mesti melibatkan beberapa ketentuan, diantaranya adalah
Pengertian, definisi, atas diskresi kepala daerah menegaskan adanya ruang
lingkup atau batas-batas wilayah dimana kebijakan kepala daerah yang
bersifat diskresi dapat dirumuskan, ditetapkan, dan dijalankan. Dengan
demikian, tidak membuka adanya upaya diskresi diluar ruang lingkup yang
ditentukan (http://pattiro.org/?p=1933, diakses 21 mei 2013).
Sejumlah kekhawatiran dalam penerapan diskresi ini bagi kepala daerah
memang cukup banyak, sekalipun kemudian alasan untuk memberikan ruang
kreatifitas dan inovasi dari pemerintah daerah dalam pelayanan publiknya
didaerah, selama hal itu tidak bertentangan dengan aturan hukum yang
berlaku. Hanya saja, jika kemudian diskresi ini cenderung digunakan untuk
hal-hal yang merugikan negara, maka kecenderungan diskresi ini akan
merugikan negara bahkan bisa menjerat kepala daerah dalam praktek korupsi.
Untuk itu, pengaturan mengenai hak diskresi ini perlu diperhatikan
dengan cermat. Sehingga dalam pelaksanaannya kemudian dapat digunakan
kepada daerah sebagai ivovasi dalam pemerintah daerah. Mendagri Gamawan
Fauzi mengatakan, dikresi itu ada batasannya dan diatur agar apa yang
dikeluarkan tidak terjadi. Ada beberapa syarat, termasuk (melakukan
inovasi) tidak melanggar hukum. Hal ini untuk menjawab, Sejumlah
kekhawatiran yang muncul dengan diaturnya hak diskresi itu, antara lain
kepala daerah dapat menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk kepentingan
pribadi.
Ditambahkan pula, Pada Pasal 269 RUU Pemda, yang saat ini masih
dibahas di DPR, disebutkan bahwa dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah
menjadi kebijakan pemda dan inovasi tidak mencapai sasaran yang telah
ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat dipidana. Namun sejumlah pihak
mengatakan, klausul itu bisa diasumsikan bahwa kepala daerah dapat kebal
terhadap hukum dan bisa berlindung di balik alasan inovasi atas perbuatan
korupsi. Selain itu, pasal itu bisa digunakan sebagai upaya berlindung dari
hukum bagi para kepala daerah (Koran Rakyat Merdeka, Edisi Minggu, 19 Mei
2013/Koranmedia_online.com).
Dengan melihat realitas tersebut diatas, dapat ditarik benang merah
bahwa peluang dan tantangan diskresi berada pada kepala daerah, dalam hal
ini kemudian bagaimana penafsiran kepala daerah terhadap kewenangan
diskresi yang dimilikinya melakukan inovasi dalam pelayanan publik
didaerahnya. Kecenderungan ini lahir karena banyaknya persoalan yang muncul
dari salah tafsirnya regulasi yang dibuat, terutama dalam mendukung inovasi
dan kreatifitas kepala daerah dalam menjalankan pemerintahannya. Kondisi
ini juga perlu didukung dengan regulasi yang jelas, jika kemudian diskresi
tersebut dilaksanakan didaerah sebagai upaya mengakomodasi kreatifitas
kepala daerah dalam melakukan inovasi dan tidak melanggar aturan yang ada.
3. Pembatasan Diskresi
Diskresi ibarat dua buah mata pedang yang mempunyai dua akibat yang
baik maupun yang buruk jika di gunakan. Diskresi di satu sisi menimbulkan
kesewenang-wenangan tapi di sisi lain jika diskresi tidak dilakukan maka
dikhawatirkan tujuan pembangunan nasional akan sulit dilaksankan. Sehingga
asas ini ketika berlaku dapat dikatakan dilematis mengingat dua akibat yang
dapat timbul tersebut.
Dalam politik hukum asas diskresi ini harus dibatasi. Dalam
perkuliahan Politik Hukum, Prof. Muchsan menjelaskan ada 4 pembatasan asas
diskresi ini:
1. Asas Diskresi dapat diberlakukan jika pada saat itu terjadi
kekosongan hukum (rechtvakum). Apabila terjadi kekosongan
hukum dan tidak segera diambil sebuah tindakan dari aparat
yang berwenang, maka dapat berpotensi menimbulkan keadaan
yang anarkis.
2. Ada kebebasan penafsiran/interpretasi. Apabila hal ini
terjadi maka aparat dapat melakukan diskresi karena merujuk
pada peraturan yang mana dapat ditafsirkan berbeda-
beda(multi-tafsir).
3. Ada delegasi perundang-undangan (delegatie van wetgeving)
demi pemenuhan kepentingan umum.
Pembatasan yang terakhir yaitu demi kepentingan umum pun berpotensi
untuk disalahgunakan. Aparat bisa saja melakukan kesewenangan dengan dalih
kepentingan umum. Maka dari itu Prof. Muchsan mengemukakan pendapat bahwa
apa yang disebut kepentingan umum yaitu kepentingan umum berupa proyek
pembangunan dan juga kepentingan umum yang berupa proyek tersebut mempunyai
3 syarat yaitu kepentingan umum dilaksanakan oleh pemerintah, kepentingan
umum digunakan oleh rakyat, dan kepentingan umum tidak berorientasi pada
keuntungan(non-profit oriented).[6]
Selain itu terdapat beberapa alasan terjadinya diskresi yaitu:
1. Mendesak dan alasannya mendasar serta dibenarkan motif
perbuatannya;
2. Peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam menetapkan
kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan umum, bencana
alam dan keadaan darurat, yang penetapannya dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum;
3. Untuk lebih cepat, efisien, dan efektif dalam mencapai tujuan
yang diamanatkan UUD 1945 dan Undang-undang, penyelenggaraan
pemerintahan Negara, dan untuk keadilan serta kesejahteraan
masyarakat.
Menurut Prof. Muchsan didalam membuat suatu produk hukum aparat yang
berwenang dapat menggunakan dua (2) dasar untuk mengukur produk hukum itu
benar atau tidak, yaitu :
1. Wetmatig ( dasar hukum positif ), ini merupakan dasar yang ideal,
karena produk hukum yang akan dibuat oleh aparat yang berwenang
merupakan produk hukum yang berpatokan atau berlandaskan peraturan
perundang – undangan yang lebih tinggi secara hirarki peraturan
perundangan.
2. Doelmatig ( kebijakan / kearifan lokal )ialah produk hukum yang
dibuat tanpa adanya landasan hukum peraturan perundang – undangan
yang lebih tinggi secara hirarki peraturan perundangan.
Maka konsekuensinya, jika produk hukum itu berupa wetmatig, maka harus
melihat dasar hukumnya. Tetapi jika produk hukum tersebut berupa
doelmatigharus melihat unsur-unsur dariAlgemene Beginselen Van Behoolijk
Bestuur / The Principle Of Good Public Administration atau disebut Asas
–Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.[7]
Dalam perkuliahannya Prof. Muchsan menjelaskan ada 5 butir asas-asas
umum pemerintahan yang baik:
1. Asas Kepastian Hukum, asas ini menghendaki agar aparat yang
berwenang membuat keputusan yang sama terhadap kasus yang
kondisinya sama.
2. Asas Permainan yang Layak, agar pemerintah dalam membuat produk
hukum, memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada pihak
terkait.
3. Asas Kecermatan, agar aparat pemerintah dalam membuat hukum
memperhatikan semua gejala/fenomena yang terkait sehingga produk
hukumnya bersifat dinamis. Minimal memperhatikan 3 norma yaitu
norma agama, norma etika, dan norma hukum.
4. Asas Keseimbangan, agar aparat pemerintah dalam membuat produk
hukum menyeimbangkan antara hukum dan kewajiban pihak yang
terkait.
5. Asas Ketepatan Dalam Menentukan Sasaran, agar dalam membuat suatu
produk hukum harus memperhatikan semua gejala sosial dan segala
aspek di masyarakat.
3. Penggunaan Diskresi Dalam Kebijakan Pemerintahan
Dalam prakteknya, tak jarang penggunaan diskresi ini melahirkan ekses
yang tidak sedikit baik bagi organisasi pemerintahan maupun pejabat yang
melakukan kebijakan dikresi. Konsekwensi-konsekwensi yang ditimbulkan juga
tak sedikit, termasuk konsekwensi hukum.
Dalam Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan (AP) yang
disahkan DPR RI tanggal 26 September 2014 persoalan diskresi ini pada
dasarnya telah diatur dalam peraturan perundangan tersebut, untuk
menghindari peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat
pemerintah.
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(PANRB) Eko Prasojo mengatakan, dalam praktek di lingkungan pejabat
pemerintah, pemahaman diskresi sebagai kewenangan bebas (fries ermessen).
Kewenangan bebas itu juga dipahami menurut pendapat sendiri (subyektif).
Dikatakan, diksresi pada dasarnya dipahami sebagai pertimbangan dan
dibuat atas dasar amanat undang-undang dalam bentuk kata 'dapat', atau
'boleh. Pejabat Pemerintah,lanjutnya, dalam membuat keputusan diskresi
berpedoman pada petunjuk teknis atas peraturan pelaksanaan terkait dengan
pasal dalam peraturan perundangan.
Lahirnya Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur
penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintahan akan menjadi pedoman dalam
pengambilan keputusan. Diskresi tidak didasarkan pada kebebasan bertindak.
Diskresi wajib didasarkan pada hukum iktikad baik dan ditetapkan oleh
pejabat yang memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan dan atau
tindakan pemerintah.
Sebagai contoh digambarkan, seorang polisi lalu lintas dapat melakukan
melakukan diskresi dalam pengaturan lalu lintas di perempatan yang sudah
ada traffic light. Dia bisa menahan kendaraan untuk tidak berjalan, meski
lampu hijau sudah menyala. Polisi lalu lintas juga bisa memerintahkan
kendaraan untuk berjalan, meski saat itu lampu merah menyala. Tapi semua
itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan untuk kepentingan umum, bukan
semaunya sendiri.
Urgensi terkait UU Administrasi Pemerintahan tak lepas dari
ketimpangan hukum materiil, kekosongan hukum, termasuk hukum yang mengatur
sumber kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat. Sejak tahun 1986
Indonesia telahmemiliki UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
sebagai hukum formal. UU ini kemudian disempurnakan tahun 2004 dan 2009. Di
sini ada ketimpangan hukum, karena putusan hakim tidak didasarkan pada
hukum materiil yang diaturter sendiri dalamUndang-Undang. Dengan UU
Administrasi Pemerintahan, kelak penyelesaian gugatan lebih mendahulukan
hukum administrasi, sebelum dibawa keranah pidana.
Bukan itu saja, kehadiran UU Administrasi Pemerintahan juga mengisi
kekosongan hukum. UU ini menjadi instrument standardisasi administrasi
negara, dan kodifikasi (pengaturan) undang-undang tunggal sebagai payung
yang member pedoman di semuasektorpemerintahan. Lebih dari itu, UU ini
mengatur syarat sahnya keputusan pemerintahan. Selain dibuat oleh pejabat
yang berwenang, keputusan pemerintahan juga harus sesuai standar prosedur,
dan substansi juga harus sesuai dengan obyek keputusan.
C. Penutup
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan
terhadap penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di
Indonesia, yaitu pada dasarnya diskresi muncul karena adanya tujuan
kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara
kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk
negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam
paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas
tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara
tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan
upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya.
Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri
bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang
mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil
keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-
undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak,
diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak
yang seringkali disebut fries ermessen ataupun pouvoir discretionnaire.
Kebebasan bertindak sudah tentu berpeluang lebih besar untuk
menimbulkan kerugian kepada warga masyarakat karena berpotensi untuk
disalah gunakan. Oleh karena itu terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya
batas toleransi. Batasan toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari
pemahaman yang diberikan oleh Prof. Muchsan, S.H.,yaitu : Diskresi bisa
digunakan apabila terjadi kekosongan hukum, adanya kebebasan penafsiran /
intrepretasi, diskresi bisa digunakan apabila ada delegasi perundang –
undangan (delegatie van wetgeving), dan diskresi bisa digunakan demi
pemenuhan kepentingan umum. Penggunaan asas diskresi harus memperhatikan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Daftar Pustaka
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta
Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmo Sudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1983,
Ghalia Indonesia, Jakarta
Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, 1988, Rajawali, Jakarta
http://www.miftakhulhuda.com/2010/09/freies-ermessen.html
www.menpan.go.id,(tanggal akses 29 April 2015)
-----------------------
[1]Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,
Yogyakarta, 2005. hal 40
[2]Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmo Sudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1983,
Ghalia Indonesia, Jakarta. Halaman 84
[3]Ibid. halaman 85
[4]Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, 1988, Rajawali, Jakarta.Halaman
15
[5] http://www.pikiran-rakyat.com/node/232214
[6]Muchsan, Perkuliahan "Politik Hukum", 2012, Magister Hukum, UGM
[7]Muchsan, Perkuliahan "Politik Hukum", 2012, Magister Hukum, UGM