Dialektika Hukum Progresif
2
Dialektika Hukum Progresif
2
3
Dialektika Hukum Progresif Obrolan Ringkas Buku-buku Satjipto Rahardjo
Diandra Preludio R • Benny Prasetyo • Unu P Herlambang • Muhtar Said • AP Edi Atmaja • Benny Karya Limantara • Syandi Rama Sabekti • Alfajrin A Titaheluw • Rian Adhivira • Nindi Achid Arifki • Rahmad Syahroni Rambe • Lilik Haryadi • James Marihot Panggabean
Kaum Tjipian 2014
4
Dialektika Hukum Progresif Obrolan Ringkas Buku-buku Satjipto Rahardjo Diandra Preludio R, Benny Prasetyo, Unu P Herlambang, Muhtar Said, AP Edi Atmaja, Benny Karya Limantara, Syandi Rama Sabekti, Alfajrin A Titaheluw, Rian Adhivira, Nindi Achid Arifki, Rahmad Syahroni Rambe, Lilik Haryadi, James Marihot Panggabean © Kaum Tjipian, 2014 Diterbitkan pertama kali dalam format buku digital (e-book ) Desember 2014 140 halaman; 12 x 18 cm 1. Ilmu Hukum 2. Satjipto Rahardjo 3. Hukum Progresif Penyunting: AP Edi Atmaja Perancang Sampul: AP Edi Atmaja Penata Isi: AP Edi Atmaja Kaum Tjipian d/a Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro Jalan Imam Bardjo, SH, Nomor 1, Semarang Cetakan I: 2014
5
Sekapur Sirih
BUKU ini memuat serampai karangan mengenai sebagian (kecil) buku-buku anggitan Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH. Sang begawan hukum yang karib disapa Prof Tjip itu mewariskan banyak sekali buku pasca-wafatnya, bahkan ada buku yang terbit benar-benar setelah Prof Tjip meninggal dunia. Karangan-karangan dalam buku ini tidak (pernah) berpretensi untuk memfatwakan kebenaran. Bahkan dari teks yang paling terang-benderang pun pasti tersembunyi keremang-remangan. Bukan maksud buku ini untuk meringkus dan meringkas pemikiran Prof Tjip dalam sebutir tablet yang siap-minum—kendati mesti diakui bahwa para pengarang (kami menyebutnya “pemantik”) terdiri dari golongan yang boleh dibilang “penafsir garda depan” pemikiran Prof Tjip. Para pemantik yang seluruhnya merupakan mahasiswa dan alumnus Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, itu tergabung dalam komunitas diskusi yang menamakan diri Kaum Tjipian. Kaum Tjipian, entah generasi yang keberapa, saban Senin sore, tepat pukul 15.00 WIB, menyelenggarakan diskusi (kami menyebutnya “jagongan”) perihal buku-buku Prof Tjip. Lokasinya nomaden, sesuai pesanan. Di ruang kelas yang suntuk, di bawah pohon beralaskan tikar ditemani semilir angin sepoi-sepoi laiknya Rabindranath
6
Tagore dan murid-muridnya, hingga di emperan gedung di mana para gadis berseliweran menggoda iman pun jadilah. Alhasil, dari kongko-kongko yang mempertaruhkan iman itu lahirlah buku mungil yang tak bisa lebih tebal dari Nietzsche (2012) ini. Barangkali terasa kasip mengingat karangan-karangan ini berhasil dijilid dan terbit lebih dari dua tahun setelah mereka disampaikan dalam jagongan rutin. Namun, adakah yang terlambat untuk ide-ide? Kami hanya coba merawat pemikiran guru kami, Profesor Satjipto Rahardjo. Syukursyukur kalau buku ini dapat memantik letupan lanjutan yang jauh lebih bermutu. Akhirnya, buku ini hanyalah kado dari anak-anak muda ingusan yang mengaku-aku sebagai penafsir garda depan Prof Tjip, yang lahir pada 15 Desember 1930. Tapi apalah arti penafsir garda depan jikalau memperkenankan pikiran menampik penolakan, kritik, dan makian. Oleh sebab itu, melalui penerbitan buku ini, kami Kaum Tjipian mengharap penolakan dari siapa pun Anda. Pekanbaru, 28 Desember 2014
Penyunting
7
Senarai Isi
Sekapur Sirih — 6 Senarai Isi — 8 Bab I Sebelum Hukum dalam Jagat Ketertiban — 11 Diandra Preludio R Diskursus mengenai Hukum dan Masyarakat — 23 Benny Prasetyo Mempelajari Keteraturan, Menjumpai Ketidakteraturan: Pembacaan Seorang Cantrik — 36 Unu P Herlambang Sosiologi Hukum: Pengamat atau Pemberi Solusi? — 43 Muhtar Said Bab II Semasa Kapita Selekta Hukum Progresif: Pada Mulanya adalah Koran — 56
AP Edi Atmaja Dasar-dasar Hukum Progresif — 65 Benny Karya Limantara Hukum Progresif dan Keberanian Kita — 73 Syandi Rama Sabekti
8
Kredo Penegakan Hukum Progresif — 78 Alfajrin A Titaheluw Bab III Sesudah Dinamika dalam Mengikuti Perubahan Sosial — 85 Rian Adhivira Mendudukkan Undang-Undang Dasar? — 94 Nindi Achid Arifki Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia — 105 Rahmad Syahroni Rambe Polisi Indonesia di Tengah Perubahan Sosial — 115 Lilik Haryadi Rakyat Bahagia di Negara Hukum — 122 James Marihot Panggabean Para Pemantik — 135
9
Bab I Sebelum
10
Hukum dalam Jagat Ketertiban
1
DIANDRA PRELUDIO RAMADA
“… Law grows with the growth, and strengthens with the strength of the people, and finally dies away as a nation loses its nationality …” –Karl Von Savigny
SUNGGUH, penulis menyimpan kedukaan yang sangat mendalam ketika tanpa alasan yang jelas penulis memilih buku ini untuk diceritakan kembali menurut pemahaman penulis sendiri. Kesedihan itu datang saat penulis merasa bahwa penulis belum sanggup menyerap seluruh inti sari dari buku Hukum dalam Jagat Ketertiban ini. Jadi, penulis mengharap pemakluman yang teramat sangat bagi Anda yang telanjur membaca tulisan ini. Apa yang dipaparkan dalam kumpulan tulisan Prof Satjipto Rahardjo ini merupakan penjelajahan yang tak kunjung henti dari seorang musafir pencari kebenaran. Keprihatinan Prof Tjip (sebutan akrab bagi Prof Satjipto Rahardjo) terhadap keterpurukan hukum di Indonesia, yang dinyatakan baik berupa lisan maupun tulisan, sering membuat banyak kalangan, para akademisi, serta praktisi
1
Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Hukum dalam Jagat Ketertiban (Jakarta: UKI Press, 2006) anggitan Satjipto Rahardjo, ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 19 November 2012 di Beranda Auditorium Imam Bardjo, SH, Universitas Diponegoro.
11
hukum terhenyak dan mengerutkan kening. Salah satu kritiknya adalah hukum telah cacat sejak dilahirkan—yang 2 dianggap Prof Tjip sebagai tragedi hukum. Modernisasi, industrialisasi, rasionalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam beberapa dekade terakhir dipengaruhi gelombang besar di mana negaranegara di dunia berusaha mencapai status yang lebih baik. Tak dapat dimungkiri, kita masih berada pada keterbelakangan ekonomi, politik, sosial, ilmu, dan sebagainya sehingga, mau tidak mau, hukum modern itulah yang kemudian dijadikan pisau bedah terhadap masalahmasalah hukum yang timbul. Tatkala para praktisi “latah” membaca dan memaknai undang-undang dari perspektif yuridis-normatif belaka dan berujar bahwa hukum harus diutamakan agar membawa ketertiban, ketenteraman, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Prof Tjip mengambil sikap berbeda. Menurut dia, hukum itu menempati satu sudut 3 kecil dalam jagat ketertiban.
2
Masyarakat diatur oleh hukum yang penuh cacat, karena ketidakmampuannya merumuskan secara tepat hal-hal yang ada di masyarakat. Tentu saja kritik tersebut merupakan palu godam bagi lembaga legislatif, penegak hukum, dan insan hukum yang hanya melandaskan hukum hanya sebagai peraturan perundang-undangan. Padahal menurut refleksi kritis Prof Tjip, hukum dilukiskan sebagai perilaku manusia, yang didasarkan pada pemikiran filosofis bahwa hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya. Satjipto Rahardjo, “Tidak menjadi Tawanan Undang-undang”, dalam Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hlm 120. 3 Hukum tidak bisa menepuk dada dalam menyelesaikan segala persoalan. Ilmu hukum harus membuka diri terhadap ilmu-ilmu lain agar dapat memosisikan diri menurut jati dirinya. Bandingkan dengan Francis Fukuyama yang mempertanyakan “Where do norms come from ?” dalam Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order (London: Profile Books, 1999), hlm 143153).
12
Wajah Hukum dalam Perkembangan Buku Hukum dalam Jagat Ketertiban ini berisi kumpulan karya tulis Prof Tjip. Dia mengawalinya dengan sebuah konstruksi tentang sejarah hukum. Dimulai dengan Rene Descartes yang memisahkan manusia sebagai makhluk “yang mengetahui” dari alam “yang untuk diketahui”, dengan ucapan terkenalnya cogito ergo sum . Descartes ingin menyatakan bahwa manusia baru memperoleh makna 4 setelah dengan rasionya memberi arti. Pemikiran tersebut memberi pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan teorisasi ilmu pengetahuan. Logika dan rasionalitas menjadi sesuatu yang sangat bermakna dalam pencarian manusia terhadap dirinya. Namun, seiring dengan perkembangan pengetahuan tentang manusia sebagai makhluk seutuhnya yang berperasaan dan berketuhanan, kecerdasan intelektual (IQ) yang dulu begitu dibanggakan harus diimbangi dengan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dalam rangka membangun
Satjipto Rahardjo (1930-2010) 4
Liek Wilardjo, Realita dan Desiderata (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), hlm 246.
13
kecerdasan berlipat (multiple intelligence ). Positivisme menanamkan kaki ilmu pengetahuan dengan mengamati alam dan kehidupan di sekelilingnya. Sekalian peristiwa yang tidak terdapat di situ tidak boleh dijadikan objek ilmu pengetahuan. Semua harus bisa diamati secara fisik, diukur dan ditimbang. Menggunakan rasio sebagai alat analisis sejak Francis Bacon (metode induksi) dan Descartes (metode rasional) di Abad Pencerahan (Enlightment, Aufklarung ), maka ilmu pengetahuan mulai secara agresif berusaha menguasai objeknya dengan cara mengotakkotakkan, memisah-misahkan, memfragmentasi, menyistemisasi, mengorganisasi, dan sebagainya. Ilmu pengetahuan memang berkembang dengan sangat pesat dengan metode seperti itu, namun perkembangannya membawa problem tersendiri. Ternyata, dengan hilangnya keutuhan itu, hilang pulalah kebenaran sejati. Akhirnya, suatu entitas utuh tidak berhasil didekati, apalagi dijelaskan oleh sains atau teori yang telah mereduksi keutuhan itu menjadi kepingan-kepingan yang terbatas. Agar teori seperti itu tetap bisa digunakan, dilakukanlah manipulasi kebenaran, yaitu dengan cara membuang sebagian realitas sehingga menyisakan realitas yang hanya bisa dijelaskan oleh teori itu. Tidak ketinggalan ilmu hukum juga ikut menggunakan model positivisme tersebut. Apabila abad kesembilan belas disebut sebagai abad positivisme, itu akan sangat bisa dimengerti seiring kehadiran hukum modern yang menjadi bagian penataan masyarakat secara rasional. Sejak saat itu, hukum menjadi institusi yang terang (distinct ), baik dalam
14
5
substansi, metodologi, maupun administrasinya. Studi hukum di awal abad keduapuluh diawali dengan perkembangan menarik, yakni studi hukum yang ditarik keluar dari ranah peraturan perundang-undangan dengan kemunculan aliran sociological jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound. Berkembanglah sistem produksi ekonomi kapitalis yang mendasarkan pada perhitungan efisiensi yang bercirikan semuanya harus bisa dihitung dengan jelas dan pasti. Berapa barang dan ongkos produksi, penjualan, pembelian, dan sebagainya. Ini berbeda dengan sistem ekonomi lama yang didasarkan atas kebutuhan, bukan perhitungan. Rasionalisasi sistem ekonomi tersebut membutuhkan orde sosial baru yang harus dapat dimasukkan ke dalam komponen produksi dan bisa dihitung. Sedangkan orde sosial lama dengan konsep struktur yang tidak eksak dan terkesan kacau (chaotic ) dapat mengganggu kelancaran sistem produksi ekonomi yang telah menjadi rasional dan kapitalis. Hukum modern tampil menjawab kebutuhan zaman itu. Capaian hukum modern yang menjawab tantangan tersebut adalah tertulis dan publik. Ini sangat mendukung kebutuhan sistem ekonomi baru yang membutuhkan prediktabilitas. Negara dan hukum modern adalah sebuah rekonstruksi rasional yang dibangun di atas puing-puing tatanan lama. Namun, seperti diketahui, modernisme sejak awal telah menyimpan bibit penyakit dari modernisasi itu sendiri. Semakin jauh berjalan, cacat dan penyakit itu semakin
5
Dalam hal substansi, hukum mengandalkan peraturan yang ia produksi sendiri, yaitu legislated rules. Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society (New York: Free Press, 1976).
15
terlihat dan terbuka. Hukum modern dengan asas kepastian hukumnya meluluh-lantakkan orde sosial lama yang bersifat lebih otentik, alami, dan sosiologis. Hukum modern secara gamblang menyamaratakan eksistensi tiap-tiap kelompok masyarakat yang nyata-nyata berbeda. Pondasi hukum modern yang dibangun berdasarkan rasionalitas dianggap tidak mampu untuk melingkupi segala bentuk permasalahan yang terjadi di masyarakat. Boaventura de Sousa Santos berpendapat bahwa kita sekarang berada di tengah-tengah dinamika ketidakseimbangan, antara prinsip regulasi dan emansipasi yang oleh dia disebut sebagai transisi paradigmatik 6 (paradigmatic transition ). Posmodernisme dimulai dari pemikiran kritis mengenai modernitas itu sendiri. Balkin berpendapat bahwa posmodernisme adalah kelanjutan dalam bentuk perkembangan dan reaksi terhadap suatu 7 periode dalam sejarah manusia yang disebut modernitas.
Hukum dalam Jagat Ketertiban Bagian kedua buku ini memuat kajian Prof Tjip mengenai jagat ketertiban. Jagat ketertiban menampilkan suatu 6
Menurut Santos, kita sekarang berada dalam masa transisi yang selama duaratus tahun berlangsung ekses regulasi atas kerugian emansipasi. Titik berat ada pada regulasi, istilah yang dipakai Santos untuk modernisme, yang mencoba untuk mengubah keadaan chaos menjadi tertib. Arah emansipasi adalah dari ketidaktahuan menuju keadaan tahu, yang oleh Santos disebut dari kolonialisme menuju solidaritas. Di sini, posmodernisme ingin membalikkan keadaan dinamika ketidakseimbangan itu menjadi keuntungan emansipasi ( to reassess the knowledge-as-emancipation and grant its primacy over knowledge-asregulation). Boaventura de Sousa Santo, Toward A New Common Sense: Law, Science, and Politics in Paradigmatic Transition (New York: Routledge, 1995). 7 JM Balkin, “What is Postmodern Constitutionalism?” dalam Dennis Patterseon (ed.), Postmodern and Law (Darmouth: Aldershot, 1994).
16
jaringan yang kompleks. Jagat ketertiban itu meliputi dan menerima kehadiran komunitas yang majemuk sehingga ketertiban juga menjadi kompleks. Kompleksitas inilah yang menjadi basis ketertiban-ketertiban lain. Ketertiban ekonomi, misalnya, juga tidak dapat meminggirkan ketertiban lain, seperti hukum dan politik. Sejak hukum menempati satu sudut saja dalam jagat ketertiban yang jauh lebih luas dan sejak hukum negara ingin memegang hegemoni, kita pantas mempertanyakan bagaimana hukum negara itu berinteraksi dengan 8 komunitas-komunitas lain dalam jagat ketertiban. Komunitas lain tersebut ternyata tidak bisa ditundukkan oleh kekuasaan dan kedaulatan hukum negara. Saat berbicara tentang akses terhadap keadilan, Marc Galanter berbicara tentang apa yang ia sebut sebagai “ justice in many 9 rooms ”. Sekalipun perkara dibawa ke pengadilan untuk diselesaikan, tidak selalu pengadilan yang benar-benar memutus. Ellickson mengatakan bahwa yang lebih menentukan bagaimana ketentuan-ketentuan dalam hukum diwujudkan bukanlah hukum itu sendiri, melainkan rakyat sebagai 10 adressat hukum. Ellickson menambahkan, betapa banyak 8
Komunitas lain ini adalah kaidah-kaidah sosial yang didukung oleh komunitasnya masing-masing. Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban (Jakarta: UKI Press, 2006), hlm 100. 9 Tulisan Galanter memberitahu kita tentang kompleksitas dari institusi pengadilan yang tidak bisa dimonopoli oleh pengadilan negara. Kalau dikatakan bahwa orang mencari keadilan bagi perkara yang dihadapi, muncul pertanyaan: di mana keadilan itu? Di mana tempatnya? Siapa atau apa yang memberikan keadilan itu? Marc Galanter, “Justice in Many Rooms” dalam Mauro Cappelletti (ed.), Acces to Justice and the Welfare State (Sijthoff: Alphen aan den Rijn, 1981). 10 Peraturan hanya sebagai titik tolak. Rakyatlah yang akan menawar peraturan itu untuk keuntungan mereka. Robert C Ellickson, Order
17
segmen kehidupan sosial itu tidak dibentuk oleh atau merupakan karya hukum, melainkan oleh komunitas itu sendiri. Jadi tidak benar ungkapan “hukum dan ketertiban” di mana digambarkan bahwa negara mengontrol perilaku 11 anggota masyarakat. Itu bohong sama sekali. Hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks sosio-kultural. Itulah awal dari apa yang kita sebut sebagai budaya hukum. Bagaimanapun, hegemoni hukum negara itu tidak pernah sepenuhnya berhasil memastikan apa yang diwajibkan berlaku dalam masyarakat. Masyarakat akan menuntun, membatasi, dan menentukan seberapa jauh dan bagaimana hukum itu akan nyata-nyata berjalan, bekerja, dan berlaku dalam masyarakat. Mengatur masyarakat tidak berarti harus melakukannya secara penuh atau total. Maka dari itu, pengaturan tidak perlu melakukan intervensi dan penetrasi penuh ke dalam kehidupan masyarakat. Jika kepedulian kita adalah manusia dan masyarakat, maka bisa dengan membuat suatu skema besar, sedangkan prosesproses nyata diserahkan kepada masyarakat. Inilah yang 12 disebut mengatur kehidupan yang sudah berjalan.
without Law: How Neighbors Settle Disputes (Cambridge: Harvard University Press, 1991). 11 Ketertiban lebih sering muncul secara serta merta. Peraturan yang dibuat oleh negara akan dilengkapi bahkan isinya bisa diganti dengan aturan menurut mereka sendiri. Ellickson menepis anggapan bahwa negara atau pemerintahlah yang mengendalikan koordinasi dan mengarahkan. Loc. cit . 12 Jepang merupakan contoh bagus untuk penggambaran tentang ini. Dengan keteguhan mempertahankan tradisi nilai-nilai Jepang, penegakkan hukum formal di Jepang tergolong lemah. Hukum memang ada, tetapi ia hanya sebatas kekuasaan untuk mengatur, sedangkan pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat. Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm 89.
18
Dari segala pemaparan di atas, sampailah kita pada apa yang selalu Prof Tjip dengung-dengungkan. Ya, benar: hukum progresif. Dijelaskan oleh Prof Tjip dalam buku ini, bahwa yang akan secara penuh diorientasikan untuk dibicarakan adalah mengenai penafsiran hukum yang progresif. Sejak hukum dikodifikasikan menjadi teks, pembacaan terhadap teks menjadi penting sekali. Maka, penafsiran hukum tidak dapat dihindarkan, dan hampir tidak mungkin hukum dapat dijalankan tanpa membuka pintu bagi penafsiran. Lalu diajukanlah sebuah adagium, “membaca hukum adalah menafsirkan hukum”, dan yang mengatakan bahwa teks hukum sudah jelas adalah suatu cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diamdiam mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk 13 memberikan penjelasan. Pertama , persoalan bahasa. Pertanyaan dasarnya, mampukah bahasa mewadahi pemikiran yang akan kita sampaikan? Menurut saya tidak. Hemat saya, tiap kali suatu pemikiran akan dituangkan ke dalam kalimat, ia akan mengalami risiko kegagalan. Artinya, pemikiran tersebut menjadi kurang utuh begitu dirumuskan ke dalam bahasa. Selalu ada nuansa, makna yang tercecer, atau tidak terwadahi dalam bahasa tulis. Kemudian, yang mengejutkan, jika bahasa menjadi kendaraan untuk menyampaikan pemikiran ke dalam undang-undang, maka sesungguhnya hukum Indonesia pascakolonial harus dibaca lewat teks yang asli, yaitu bahasa Belanda. Dengan demikian, teks-teks terjemahan dari bahasa Belanda itu tidak sah, baik secara linguistik maupun 13
Ibid., hlm 163.
19
secara hukum. Jadi selama ini hukum di Indonesia itu dijalankan berdasarkan konvensi atau tradisi saja. Sebagai akibatnya, andaikata ada dua orang menerjemahkan teks asli Belanda ke bahasa Indonesia, kemungkinan besar akan ada dua naskah terjemahan yang berbeda dan keduanya adalah “sah”. Dalam bukunya tentang Mahkamah Agung Indonesia, Sebastian Pompe menunjuk pada kemampuan berbahasa Belanda di kalangan para hakim yang hampir nol, sebagai salah satu penyebab menurunnya 14 kualitas putusan pengadilan di Indonesia. Kedua , penafsiran itu sendiri dalam membaca teks peraturan hukum tertulis. Pembuatan dan penafsiran merupakan dua sisi dari barang yang sama, yaitu hukum. Teks hukum tidak lain adalah suatu rumusan bentuk konseptualisasi dari apa yang terjadi di alam. Misalnya, pencurian yang merupakan peristiwa alam yang dirumuskan ke dalam teks hukum. Setiap perumusan adalah pencitraan tentang suatu hal. Pencitraan adalah pembuatan konsep. Pembuatan konsep melahirkan pembeda antara apa yang dirumuskan dengan yang tidak. Sedangkan perumusan konsep pemikiran menjadi tekstual akan berhadapan dengan risiko kegagalan yang hampir pasti. Menurut Jakob Sumardjo, dalam adat Jawa terdapat setidaknya limabelas macam pencurian. Hal itu berarti untuk komunitas Jawa, Pasal 362 KUHP mengandung cacat besar, karena pasti tidak mampu merumuskan kelimabelas macam 15 itu secara benar hanya dalam satu kalimat. Sehingga, di 14
Sebagai negeri bekas jajahan Belanda, banyak teks hukum yang berbahasa Belanda, yang sialnya masih dirujuk oleh para hakim dengan pengetahuan bahasa Belanda yang sangat rendah. S van Hoeij Schilthouwer Pompe, The Indonesia Supreme Court: Fifty Years of Judicial Development , Disertasi, 1996. 15 Jakob Sumardjo dalam Satjipto Rahardjo, op. cit.., hlm 166.
20
sinilah peran penafsiran sebagai jembatan untuk jurang yang menganga antara objek yang dirumuskan dan perumusannya. Pekerjaan merumuskan akan melibatkan penilaian. Ini mengapa legislatif mereduksi kenyataan menjadi seperti ini atau itu, yang ditentukan oleh penilaian manusia-manusia di belakangnya. Oleh karena itu, rumusan yang diproduksi tidak bebas nilai, dan karena itu terbuka untuk penilaian yang berbeda. Maka dari itu, penafsiran adalah pekerjaan untuk dapat “membenarkan”, “meluruskan”, “membumikan”, dan “mengadilkan” hukum. Memasuki ranah penafsiran adalah memasuki ranah yang luas yang di dalamnya dipenuhi pemikiran dan aliranaliran. Ada pendapat yang mengatakan bahwa menafsirkan hukum tidak boleh melalui batas-batas yang sudah dibuat oleh legislatif dalam ranah rumusan hukum tersebut. Pendapat ini menganggap bahwa teks hukum memiliki otonomi mutlak sehingga tidak boleh ada hal baru dalam penafsiran. Pemikiran tersebut melebarkan jurang yang memisahkan hukum dengan masyarakat. Hukum benarbenar menjadi dunia yang esoteris. Kekakuan pandangan seperti itu menjauhkan hukum dari keadilan dan kebutuhan masyarakat. Kemudian, pendapat kedua yang menganggap bahwa hukum hanya sebagai aturan yang kadang bisa ditepiskan. Melihat hukum sebagai institusi yang ada dalam masyarakat, pendapat yang dipelopori aliran realisme ini memilih untuk melakukan pembebasan penafsiran yang bisa keluar dari lingkup rumusan peraturan yang ada. Maka, Paul Scholten
21
mengatakan bahwa “keadilan dalam hukum itu ada, tetapi 16 masih harus ditemukan”. Hukum progresif berpegangan pada paradigma “hukum untuk manusia”. Kemanusiaan menjadi primus pada saat kita memberi kedudukan terhadap hukum dan masyarakat. Hukum berawal tidak dari hukum itu sendiri, melainkan dari manusia dan kemanusiaan. Membicarakan hukum haruslah lebih dahulu diawali dengan membicarakan dan menuntaskan pembicaraan mengenai kemanusiaan. Kita pun tidak dapat membicarakan hukum dengan menutup pintu bagi kemanusiaan karena kemanusiaan akan terus mengalir memasuki hukum. Maka, jadilah hukum bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk mengabdi dan melestarikan kemanusiaan. Demikian sang begawan telah merintis jalan pembuka bagi penerus-penerusnya. Kini tinggal kita para penerus Prof Tjip melakukan apa yang kita harus dan bisa lakukan. Kerinduan yang sangat sederhana dan lugas tapi sangat dalam dari dirinya adalah agar para mahasiswanya menjadi lilin-lilin pembawa terang dalam kegelapan yang menyelimuti nuansa keilmuan di dunia, khususnya ilmu hukum. Dengarlah pesan terakhir Sang Guru: “...di pundak saudara-saudaralah hukum progresif itu memperoleh bentuknya. Saya hanya merintis jalan…” []
16
Paul Scholten dalam Satjipto Rahardjo, op. cit ., hlm 171.
22
Diskursus mengenai Hukum dan 17 Masyarakat BENNY PRASETYO
BAGI negara-negara yang sedang berkembang, yaitu negara yang memperoleh kemerdekaannya sesudah Perang Dunia II, pembangunan merupakan semacam panacea , satusatunya jalan yang harus ditempuh untuk memerdekakan diri dari segala tuntutan dan kesulitan. Indonesia juga tidak merupakan kekecualian dalam hal ini. Sejak Soeharto mengambil alih tampuk kekuasaan, secara pasti negara ini menempatkan diri di barisan negara sedang berkembang yang memberikan prioritas pertama kepada pembangunan. Memperhatikan fungsi hukum dalam masyarakat, yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang efektif antaranggota masyarakat, kiranya sulit bagi kita untuk memikirkan suatu masyarakat yang dapat berjalan tanpa menerima pelayanan hukum. Keadaan ini menjadi lebih jelas lagi apabila kita berhadapan dengan masyarakat yang ridak lagi tradisional di mana kontak-kontak pribadi serta konflikkonflik kepentingan terjadi lebih intensif. Keadaan ini tidak berubah pada masyarakat yang sedang berada dalam masa
17
Karangan, yang merupakan ringkasan dari buku Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980) anggitan Satjipto Rahardjo, ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 15 Oktober 2012 di Ruang C104, Gedung Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.
23
pembangunan. Sekalipun demikian, di masa seperti itu, kedudukan hukum menjadi problematis berhubungan dengan adanya pergeseran dalam prioritas kegiatan negara. Lalu, sampailah pada masalah hubungan antara hukum dan pembangunan. Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu sebagai sarana untuk melayani hubungan di antara sesama anggota masyarakat, sehingga terdapat kepastian dalam lalu lintas hubungan itu. Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya perubahan pada hukum yang harus melayani masyarakat itu. Apabila untuk keperluan pembangunan dibutuhkan masuknya modal luar negeri, perombakan susunan kepemilikan tanah, penyediaan tanah untuk pembuatan jalan-jalan, pabrik, jembatan, dan sebagainya, maka hukum akan diminta jasanya untuk menyusun peraturan-peraturan atau sistem peraturan baru yang memungkinkan dilaksanakannya rencana tersebut. Pada 1972, suatu pertemuan yang menghimpun ahli-ahli yang menaruh minat pada studi tentang hukum dan pembangunan (law and development ) telah mencoba untuk menyusun satu kesepakatan pendapat mengenai selukbeluk penelitian di bidang hukum dan pembangunan. Disebutkan bahwa pertalian antara hukum dan pembangunan sebagai suatu proses mengubah masyarakat itu dapat bermacam-macam. Hukum dapat dilihat sebagai 24
suatu alat yang digunakan secara sadar oleh manusia untuk mengubah lingkungan hidupnya. Pendapat tadi mempunyai banyak pengikut sekalipun mereka tidak sepaham mengenai kegunaan dan pentingnya hukum untuk menimbulkan perubahan sosial. Kelompok lain lagi berpendapat bahwa hukum merupakan suatu nilai, atau suatu proses yang fundamental dalam perwujudan nilai-nilai tertentu, sehingga ia menjadi terkait erat dengan nilai-nilai itu sendiri. Misalnya saja, banyak orang percaya bahwa hukum itu penting untuk melindungi perorangan serta perwujudan kesamaan. Mereka juga percaya bahwa pengembangan lembaga-lembaga hukum serta prosesprosesnya, sehingga menjadi efektif, akan dapat memberikan bantuannya untuk memperkuat hak-hak seseorang dan untuk mencapai kesamaan. Dari pendapat para ahli tersebut dapat diketahui bahwa orang mulai mengkaji tentang fungsi hukum di masyarakat. Dan pada itu juga dapat dilihat bahwa sasaran pembicaraan bukan berkisar pada hukum sebagai suatu sistem yang konsisten, logis, dan tertutup, melainkan sebagai sarana untuk menyalurkan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan atau perubahan masyarakat. Dengan demikian, pembicaraan mengenai hukum telah membaurkan diri dengan pembicaraan tentang aksi-aksi sosial, tentang hukum sebagai proses dan sebagainya. Tingkat studi tentang hukum dewasa ini masih lebih banyak berkisar pada pemahaman dan analisis hukum secara dogmatis: melihat hukum terutama sebagai suatu sistem yang logis dan konsisten. Keadaan yang demikian itu menyebabkan bahwa dewasa ini dibutuhkan adanya perubahan dalam pemahaman kita mengenai hukum atau
25
secara lebih tepat mengenai hubungan antara hukum dan masyarakat.
Studi terhadap Hukum dan Masyarakat Pemikiran hukum sosiologis Pemikiran hukum sosiologis mulai dikembangkan tidak lebih awal dari permulaan abad keduapuluh. Sebelum itu, apabila orang memikirkan tentang hukum dan keadilan, ia tidak segera melihat perkaitannya dengan tertib masyarakat yang lebih luas di mana hukum itu berlaku atau di mana ideide tentang keadilan itu dianut. Rescoe Pound membedakan antara ahli hukum dengan kerangka berpikir sosiologis dan ahli hukum dari aliran yang lain. Perbedaan itu, menurut Pound, adalah bahwa mereka yang termasuk aliran sosiologis ini:
lebih mengarahkan penglihatannya kepada beker janya hukum daripada kepada isinya yang abstrak; memandang hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat dikembangkan melalui usaha manusia dan menganggap kewajiban mereka untuk menemukan cara–cara terbaik dalam memajukan dan mengarahakan usaha sedemikian itu; lebih menekankan kepada tujuan-tujuan sosial yang dilayani oleh hukum daripada sanksinya; menekankan bahwa aturan-aturan hukum itu harus lebih dipandang sebagai pedoman untuk mencapai hasil-hasil yang dianggap adil oleh masyarakat dan tidak sebagai kerangka yang kaku.
26
Hukum dan nilai-nilai masyarakat Tentang bekerjanya hukum di masyarakat, Robert B Seidman menguraikan dalil-dalil sebagai berikut.
Setiap peraturan hukum memuat tentang bagaimana pemegang peranan (masyarakat/ r ole occupant ) diharapkan untuk bertindak. Bagaimana seorang pemegang peranan akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain-lainnya. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksisanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, dan lainnya, yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik (feedback ) yang datang yang datang dari pemegang peranan. Bagaimana para pembuat undang-undang akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, ideologis, dan lain-lain, mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi.
Dari dalil-dalil tersebut, dapatlah diketahui bahwa setiap anggota masyarakat sebagai pemegang peranan ditentukan tingkah lakunya oleh peranan yang diharapkan, baik oleh norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan di luar hukum.
27
Regenerasi atau penerapan hukum hanya dapat terjadi melalui manusia sebagai perantaranya. Masuknya faktor manusia ke dalam pembicaraan tentang hukum, khususnya dalam hubungan dengan bekerjanya hukum, membawa kita kepada penglihatan mengenai hukum sebagai karya manusia di masyarakat. Dalam pembentukan hukum, di mana dijumpai pertentangan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan, Schuyt menunjukkan bahwa ada dua kemungkinan yang dapat timbul, yakni (1) sebagai sarana untuk mencairkan pertentangan (conflict loosing ) dan (2) sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut (conflictversterking ). Hukum diciptakan untuk dijalankan. “Hukum yang tidak pernah dijalankan pada hakikatnya telah telah berhenti menjadi hukum,” demikian Scholten. Hukum tidak dapat bekerja atas dasar kekuatannya sendiri. Dengan perkataan lain, hukum itu hanya akan dapat berjalan melalui manusia. Manusialah yang menciptakan hukum, tetapi juga untuk pelaksanaan hukum yang telah dibuat masih diperlukan campur tangan manusia. Schuyt menambahkan, tujuan hukum yang kemudian harus diwujudkan oleh organ-organ pelaksananya itu adalah sangat umum dan kabur sifatnya. Ia menunjuk pada nilainilai keadilan, keserasian, dan kepastian hukum sebagai tujuan-tujuan yang harus diwujudkan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena kekaburan dalam tujuan yang hendak dilaksanakan hukum inilah, sekalipun organisasi-organisasi yang dibentuk bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum, organ-organ itu dipakai untuk mengembangkan pendapatnya sendirisendiri mengenai tujuan hukum. Dengan demikian,
28
organisasi-organisasi seperti pengadilan, kepolisian, lembaga legislatif, dan sebagainya, menjalani kehidupannya sendiri, serta mengejar tujuannya sendiri pula. Selznick mengatakan, dewasa ini dapat dikenali adanya konflik antara dua pandangan hukum: yang pertama melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja, sementara yang kedua berpendapat bahwa hukum itu mencita-citakan tercapainya tujuan-tujuan moral. Dalam konsep hukum yang normatif, yaitu yang membebani hukum dengan tugas-tugas untuk mewujudkan nilai-nilai, kehadiran hukum di masyarakat itu tidak hanya sekadar didorong oleh keharusan sosial, melainkan juga karena ada tugas-tugas yang harus dijalankannya. Konsep tersebut selanjutnya menerima adanya nilai-nilai laten yang terdapat dalam hukum, yang akan bekerja sebagai sumber referensi bagi penilaian terhadap hukum. Nilai-nilai yang menjadi dasar penilaian itu bukannya diadakan oleh orang yang melakukan pengamatan, melainkan ia berada secara inheren dalam fenomena ketertiban itu sendiri (inner order of the phenomenon ). Dalam pengertian rule of law , Selznick melihat adanya ide hukum yang dikaitkan dengan suatu tertib tertentu. Sekalipun ungkapan rule of law itu hanya dimaksudkan untuk hanya bekerja secara deskriptif dan bebas dari nilai tertentu, ungkapan tersebut sebetulnya bersifat konotatif dan merupakan ide yang sarat dengan nilai.
29
Hukum dan Perubahan Sosial Perubahan sosial Timbulnya golongan menengah telah merubah susunan dan keseimbangan masyarakat yang semula ditentukan oleh golongan ningrat, perwira, dan agama. Selanjutnya, timbulnya golongan buruh sebagai buah perindustrian telah kuasa pula mengubah susunan masyarakat pada masanya. Pranata-pranata sosial juga disesuaikan pada perubahanperubahan tersebut, sehingga menimbulkan kultur hukum yang memiliki karakteristik untuk zamannya. Bermacam-macam alasan dapat dikemukakan, yang dapat dipandang sebagai bagian dari timbulnya suatu perubahan di masyarakat. Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial. Penemuanpenemuan baru di bidang teknologi tidak hanya memberikan tambahan kekayaan kebudayaan material, melainkan juga menimbulkan kebutuhan untuk melakukan penyesuaian pada penggunaan hasil teknologi yang baru tersebut. Keadaan perubahan sebagai perkembangan itu merupakan suatu hal yang kini banyak banyak dipikirkan di negara sedang berkembang, sekarang dalam ungkapan pembangunan, modernisasi, dan istilah lainnya lagi. Masalahnya dapat lebih jelas apabila kita mengarahkannya pada perubahan tertentu pada masyarakat negara sedang berkembang tersebut, yaitu perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat yang modern. Komitmen pada modernisasi adalah komitmen pada usaha perubahan sosial yang mendalam dan sangat jauh jangkauannya, sebagaimana dikatakan Huntington, bahwa untuk dapat
30
melaksanakan modernisasi dengan berhasil suatu sistem politik itu pertama-tama harus mampu untuk melakukan pembaruan kebijakan, yaitu untuk memajukan kehidupan sosial dan ekonomi dengan perombakan melalui tindakantindakan kenegaraan. Kita juga tidak dapat melihat kehidupan hukum, yang merupakan salah satu sistem dalam kehidupan sosial, terlepas dari bidang-bidang yang lain, serta juga dari perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Hukum, di samping mempunyai kepentingannya sendiri untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu di masyarakat, tetap terikat pada bahan-bahan yang dapat disediakan oleh masyarakatnya. Dengan demikian, secara singkat hendak dikatakan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan di sekelilingnya. Sekalipun hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan sosial, satu hal yang menarik adalah bahwa justru ia hampir senantiasa tertinggal di belakang objek yang diaturnya. Ketika peraturan-peraturan menjadi kompleks sifatnya, justru dengan semakin meluasnya pengaturan oleh hukum itu dan hubungan-hubungan sosial lebih banyak dituangkan ke dalam bagan-bagan yang abstrak, semakin besar pula kemungkinan bagi tertinggalnya hukum di belakang peristiwa dan perikelakuan yang nyata. Kenyataan mengenai tertinggalnya hukum di belakang masalah yang diaturnya sering dikatakan sebagai ciri hukum yang khas. Menurut Yehezkel Dror, ketertinggalan itu hanya akan terjadi apabila terjadi lebih dari sekadar ketegangan yang tertentu, apabila hukum itu secara nyata tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang timbul dari perubahanperubahan sosial yang besar yang apabila tingkah laku sosial dan kesadaran akan kewajiban yang biasanya tertuju
31
kepada hukum berbeda dengan jelas dari tingkah laku yang dikehendaki oleh hukum. Hukum represif dan restitutif Durkheim membuat perbedaan antara hukum yang menindak (repressive ) dan hukum yang mengganti (restitutive ). Hukum yang menindak ini adalah hukum pidana. Hukum yang menindak mencerminkan masyarakat yang bersifat kolektif. Hukum restitutif mencerminkan masyarakat yang memiliki diferensiasi dan spesialisasi fungsi-fungsinya. Dalam konsep hukum restitutif, hukum yang dibutuhkan bukan lagi hukum yang cara bekerjanya adalah dengan cara menindak, membatasi, tetapi yang memberikan penggantian sehingga keadaanya menjadi pulih lagi seperti semula. Yang membedakan sanksi ini adalah bahwa ia tidak bersifat mengenakan denda tetapi semata-mata hanya untuk memulihkan pada keadaan semula. Apakah hukum mempunyai kemampuan untuk menggerakkan perubahan dalam masyarakat? Savigny, pelopor aliran sejarah, dengan tegas menyangkal kemungkinan penggunaan hukum sebagai sarana untuk melakukan perubahan. Pendapatnya didasari oleh konsepsinya mengenai hukum, yang melihat hukum sebagai sesuatu yang tumbuh secara alamiah dari dalam pergaulan masyarakat itu sendiri. Dalam bentuk lebih modern, kita dapat menjumpai pendapat yang sealiran dengan pandangan yang dikemukakan dalam teori Marx. Marx mengakui bahwa bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat lambat laun akan tecermin pula di dalam hukumnya, tetapi ia sama sekali menolak kemungkinan penggunaan hukum
32
untuk menimbulkan perubahan di bidang teknologi dan ekonomi yang menjadi basis dari adanya hukum itu sendiri. Apapun dikemukakan oleh teori-teori yang menentang penggunaan hukum sebagai sarana untuk menggerakkan perubahan sosial secara sadar, namun kenyataan yang kita hadapi sekarang menunjukkan bahwa perundangperundangan merupakan sandaran negara untuk mewujudkan kebijaksanaannya. Seperti yang dikatakan Seidman, tata hukum itu merupakan saringan yang menyaring kebijaksanaan pemerintah, sehingga menjadi tindakan yang dapat dilaksanakan. Hukum sebagai sarana rekayasa sosial Ada dua fungsi yang dapat dijalankan oleh hukum di dalam masyarakat, yaitu (1) sebagai sarana kontrol sosial dan (2) sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering ). Sebagai sarana kontrol sosial, hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap berada dalam pola-pola tingkah laku yang diterima olehnya. Dalam perannya yang demikian itu, hukum hanya mempertahankan apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap diterima di masyarakat—atau hukum sebagai penjaga status quo . Tetapi di luar itu, hukum masih dapat menjalankan fungsinya yang lain dengan tujuan untuk mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat. Dalam kaitannya dengan rekayasa sosial, dapat digambarkan sebagai berikut: Orang mempelajari lahirnya undang-undang, efek sampingnya yang negatif ataupun positif, orang mempelajari apakah tujuan yang dicantumkan di dalam undang-undang itu seringkali merupakan endapan dari perjuangan politik atau keinginan-keinginan politik. Ia merupakan sarana yang dipergunakan orang untuk
33
mencoba menimbulkan suatu keadaan tertentu di dalam masyarakat, atau untuk mengendalikan keadaan. Kadangkadang, orang ingin menggunakan undang-undang itu untuk menimbulkan suatu perubahan sosial yang nyata. Penguasaan atau pengarahan proses sosial ini disebut sebagai rekayasa sosial.
Batas-batas Kemampuan Hukum Edwin M Schrur berpendapat bahwa para penulis hukum biasanya mengakui bahwa peraturan-peraturan hukum itu memberikan pengarahan, pengaruh dan efek yang memperkuat. Pertanyaannya adalah seberapa banyak? Pada umumnya, pengaruh hukum terhadap bidangbidang kehidupan sosial adalah tidak sama. Ada bidangbidang yang dengan mudah menerima pengaruh perubahan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan bidang yang lain tidak dapat dipengaruhi semudah itu atau bahkan tidak dapat dipengaruhi sama sekali. Yehezkel Dror berpendapat bahwa tindakan-tindakan di dalam masyarakat yang semata-mata bersifat instrumental, seperti dalam kegiatan komersial, dengan nyata sekali dapat menerima pengaruh dari peraturan-peraturan hukum yang baru. Sebaliknya, bidang-bidang kehidupan sosial yang erat hubungannya dengan kepercayaan dan lembaga-lembaga yang bersifat dasar, serta yang berhubungan dengan tindakan-tindakan yang merupakan ekspresi dari keyakinankeyakinan akan mengalami perubahan yang kecil sekalipun dikeluarkan peraturan yang mencoba memberi bentuk dan pengarahan kepada bidang-bidang tersebut, termasuk ke dalam bidang-bidang ini adalah kehidupan keluarga dan perkawinan.
34
Sekalipun banyak diakui bahwa bidang-bidang yang bersifat “bebas dari unsur keyakinan, kepercayaan dan nilainilai” lebih mudah digarap dan diarahkan oleh hukum, penyelidikan membuktikan bahwa dalam bidang-bidang yang netral pun hukum tidak dapat sepenuhnya menguasai keadaan sesuai dengan apa yang dikehendakinya. []
35
Mempelajari Keteraturan, Menjumpai Ketidakteraturan: Pembacaan Seorang Cantrik 18 UNU P HERLAMBANG
JALAN yang dilalui seorang pendekar silat yang waskita tidak pernah mulus. Untuk sampai pada pikiran yang lurus, jalan yang lempeng-mulus adalah mustahil. Demikian Pak Tjip: Awal perjalanannya memasuki dunia ‘persilatan’, sekitar tahun 1950-an, dimulai di Fakultas Paedagogi Universitas Gajah Mada; tidak lama kemudian, karena merasa kurang puas, beliau pindah ke Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia. Dalam babakan kedua di bangku akademisi inilah yang kemudian mengantarkan Pak Tjip menjadi suhu besar. Sedari awal, hukum tidak dilihatnya sebagai media profesi, namun sebagai objek keilmuan berdasarkan rasa keinginan tahu (curiosity ). Sehingga, pada waktu belajar hukum, beliau “selalu berusaha untuk melihat kaitan dengan hal-hal di belakang hukum” (hlm 192). Keinginannya untuk melihat logika sosial dari hukum lebih besar daripada logika hukum atau peraturan perundang18
Karangan, yang merupakan ulasan dari pidato mengakhiri masa jabatan sebagai Guru Besar Tetap yang berjudul “Mengajarkan Keteraturan, Menemukan Ketidakteraturan” dalam buku Sosiologi Hukum: Esai-esai Terpilih (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), anggitan Satjipto Rahardjo, ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 5 November 2012 di Beranda Auditorium Imam Bardjo, SH, Universitas Diponegoro.
36
undangan. Walaupun konsekuensi dari kepo hukum itu, beliau harus memakan waktu selama delapan tahun untuk menyelesaikan pendidikan dan menjadi meester in de rechten (sebutan untuk sarjana hukum waktu itu). Dengan berbekal ijazah meester in de rechten , Pak Tjip mulai memasuki kancah sebagai guru untuk ‘mengajarkan hukum’ di Universitas Diponegoro. Menjadi bagian dari sistem pendidikan hukum yang berlaku, mulanya beliau juga turut meyakinkan mahasiswa bahwa hukum itu satu sistem peraturan yang tersusun secara logis, bahwa hukum menciptakan keteraturan, kepastian hukum, dan lain-lain (lihat hlm 192). Disadari sepenuhnya bahwa berdiri di depan mahasiswa yang nantinya akan mengisi profesi di bidang hukum— jaksa, advokat, dan hakim—beliau pun ikut melarutkan diri ke dalam wacana profesional: hukum sebagai sistem yang rasional. Kerena itu beliau “turut memasukkan ke dalam pikiran mahasiswa tentang berbagai keharusan, dogma, adagia, doktrin, asas, dan sebagainya yang biasa menjadi kelengkapan bagi para profesional di bidang hukum” (hlm 194). Diakuinya sendiri, pada masa awal-awal itu beliau belum banyak mempunyai waktu untuk merenungkan secara lebih saksama kebenaran dari yang diajarkan kepada mahasiswa. “Artinya, yang dapat diajarkan sebetulnya barulah berada pada aras konteks positif atau peraturan perundangundangan saja. Tetapi para mahasiswa saya tentu masih ingat betapa saya senantiasa membedakan antara ‘fakultas hukum’ dan ‘fakultas perundang-undangan’. Di situ sudah 37
dapat dikenali adanya kegelisahan kecil terhadap ilmu hukum yang diajarkan kepada para mahasiswa” (hlm 194). Cara berhukum (modern) ini, yang kita terima sebagai warisan penjajahan Belanda, membuat perundangundangan memiliki kedudukan sangat sentral dalam kehidupan berhukum Indonesia. Padahal, hukum dibaca sebagai undang-undang. Hukum yang berkelindan dengan undang-undang, adalah fenomena yang relatif baru dibanding masa ribuan tahun sebelumnya: selama masa ribuan tahun itu cara berhukum manusia tidak berputar di seputar undang-undang, melainkan di seputar keadilan itu sendiri. Seiring mengalirnya waktu, akumulasi dari ‘kegelisahan kecil’ itu lantas beliau tularkan kepada para mahasiswa melalui buku Ilmu Hukum yang terbit pada awal 1980an: “Esensi yang dituangkan ke dalam buku tersebut merupakan semacam otokritik terhadap paham-paham absolut legaldogmatik yang waktu lalu turut saya komunikasikan kepada mahasiswa” (hlm 195). Lewat Ilmu Hukum, mahasiswa dan masyarakat umum diajaknya untuk melihat hukum sebagai suatu institusi manusia dan bukan semata-mata media profesi. Dengan nada provokatif beliau memaparkan bahwasanya hukum modern yang kita terapkan bukan merupakan hasil dari perkembangan di ‘alam’ Indonesia, melainkan sebagai sesuatu yang ‘imposed from outside’ .
Hukum: Perdebatan antara Profesi dan Ilmu Tentunya saya (atau kita?) pernah berpikiran praktis, yang dulu ketika memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Program Strata-1 (S1) di Fakultas Hukum hanya sebagai batu loncatan untuk masuk ke bidang profesi: jaksa, hakim, advokat, notaris, dan lain sebagainya. Sebagai awam38
hukum, kita (atau saya?) melihat hukum adalah hukum yang “ada untuk dirinya sendiri”. Sebuah sistem rasional yang punya logika internalnya sendiri: logis, matematis, dan kakupositivistik. Hukum semata-mata mengenai ‘peraturan’ dan ‘sanksi’ dalam cita-citanya untuk mewujudkan keteraturan. Tidak salah memang, nampaknya demikian yang terjadi dalam sistem pendidikan tinggi hukum (dan pendidikan tinggi lain). Program S-1 adalah program ketrampilan (skill ), sedangkan program pascasarjana (S-2 dan S-3) adalah program keilmuan. Program yang disebut belakangan ini “pada intinya adalah perburuan terhadap kebenaran (searching for truth ) ” (hlm 199). Maka, program S-1 tidak dapat disebut pendidikan keilmuan dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekadar ilmu praktis (practical science ) . Menyangkut hal ini, lebih lanjut secara ringkas beliau menjelaskan: “Hukum sebagai objek studi program profesi adalah lawyer’s law atau law for the lawyer atau law for the professionals yang berbeda sekali dari hukum sebagai objek studi program ilmu. Kebenaran mengenai hukum jauh lebih luas dan dalam daripada hukum yang sudah direduksi menjadi (sekadar) lawyer’s law ” (hlm 199). Dengan demikian, sejak dibuka pendidikan tinggi hukum di Indonesia (program pascasarjana baru lahir pada pertengahan 1980an), maka hukum yang menjadi kajian intelektual di negeri ini mulai saat itu hingga berpuluhpuluh tahun kemudian sesungguhnya adalah lawyer’s law atau law for the lawyer atau law for the professionals. Maka tidak mengherankan, konsep hukum para profesionallah yang dominan, tidak hanya di kalangan mereka sendiri, melainkan meluas sampai ke masyarakat. Dengan lain kata, bagi masyarakat, hukum yang lawyer’s law itulah yang diterima sebagai hukum yang sebenarnya. Bicara mengenai 39
hukum adalah bicara mengenai hukum sebagai profesi. Di luar itu tidak ada hukum. Untuk mendiskusikan masalah tersebut, Pak Tjip membuat konsep yang mampu menerangi masalah yang dihadapi. Konsep itu adalah tatanan (order ). Tatanan (order ) merupakan suatu wilayah yang amat luas dan sangat pantas menjadi rujukan dalam mempelajari hukum secara ilmiah. Tatanan adalah ‘hukum’ yang lebih utuh, sedangkan hukum positif atau lawyer’s law hanya menempati satu sudut kecil saja dalam peta tatanan yang utuh dan besar tersebut. Beliau membagi ‘tatanan’ menjadi tiga bagian, yaitu (1) tatanan transendental (transcendental order ) ; (2) tatanan sosial (social order ); (3) tatanan politik (political order ). Secara luas, pembicaraan mengenai hukum akan berada dalam tiga tatanan tersebut: “Maka tentu saja, apabila kita berada dalam ranah keilmuan, kita tidak dapat meniadakan salah satu dari tiga itu, semata-mata karena tidak benar lagi” (lihat hlm 201). “Kalau ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai institusi pencarian kebenaran,” demikian kata Pak Tjip, “maka pada waktu yang sama kita juga harus mengatakan, pencarian kebenaran adalah proses yang dramatis” (hlm 204). Dalam perburuannya, ilmu pengetahuan menyadari bahwa, kebenaran itu sendiri (kebenaran absolut), tidak akan pernah ditemukan. Seperti runtuhnya era fisika Newton yang digantikan fisika kuantum. Sehingga garis perbatasan ilmu pengetahuan, dalam misinya memburu kebenaran, selalu berubah, bergeser labih maju.
Mencari Sebuah Keutuhan Suasana akademis dan intelektual menjelang peralihan ke abad ke-21 menunjukkan sebuah pergerakan
40
meninggalkan cara berpikir yang linear dan terkotak-kotak menuju kepada pemikiran yang lebih utuh (wholism, wholistic ). Pak Tjip melihat puncaknya dengan diterbitkannya buku Danah Zohar dan Ian Marshall yang berjudul Spiritual Intellegence pada tahun 2000. Sejak permulaan abad ke-20, IQ-lah yang menjadi pusat perhatian. Manusia dijebak dan dibuai oleh rasionalitas yang kemudian memerangkap dirinya sendiri ke dalam situasi yang irrasional. Hukum yang legal-dogmatis-positivistik dianggap telah jauh meninggalkan tujuannya: keadilan. Hal ini disebabkan kecongkakan hukum sebagai sistem rasional, menyingkirkan unsur-unsur lain yang dianggap tidak rasional sebagai bukan hukum. Spiritual Intellegence mengakomodasi pentingnya perangkat emotional qoutient (EQ) dan spiritual qoutient (SQ), selain IQ, dalam mengukur kualitas manusia. Saya menduga (sekali lagi: menduga ) bahwa Pak Tjip mengutip Zohar dan Marshall untuk menjelaskan konsepnya mengenai ‘tatanan’. Bahwa tatanan politik (social order), yang meliputi lawyer’s law di dalamnya, adalah representasi dari penggunaan IQ; tatanan transenden (transcendental order ) representasi penggunaan SQ; dan tatanan sosial (social order ) adalah representasi penggunaan EQ. Ketiga perangkat kecerdasan itu mestinya digunakan bersamasama dalam menjalankan ketiga tatanan tadi. Sehingga tercapai apa yang disebut sebagai ultimate intellegence untuk membawa kita kepada puncak pemahaman, yaitu menjangkau sampai ke konteks makna. Sedangkan teori hukum positif hanya menyoroti sebagian dari tatanan yang besar, yaitu apa yang termasuk ke dalam tatanan politik, atau lebih khusus lagi tatanan yang berbasis pada negara. Tak dapat diterima kehadiran tatanan lain yang tidak dapat dikaitkan kepada tatanan negara 41
tersebut, meskipun jenis tatanan ini ada dan hidup dalam tatanan masyarakat. penerimaan suatu tipe tatanan lain di luar yang positif tersebut akan mengganggu kebenaran sistem rasional dari teori tersebut. Jika dilihat dari optik ini, maka ketiadaan atau kegagalan dari hukum positif (tatanan politik negara) berarti keambrukan bagi ‘tatanan’. Padahal ini tidak berarti dari keambrukan seluruh tatanan yang besar. Karena itu, ketika hukum negara tidak dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, orang akan bingung dan kehabisan cara (dan kata), yang lantas menyalahkan hukum sebagai biang keladi kemunduran negara ini. Tentu hal ini disebabkan karena pandangan sempit masyarakat yang menganggap hukum negara adalah satu-satunya pemegang legitimasi sebagai ‘hukum’, sehingga apabila hukum negara gagal bekerja, ‘hukum’ (dalam arti luas dan sebenarnya) adalah ketidakaturan itu sendiri. []
42
Sosiologi Hukum: Pengamat atau 19 Pemberi Solusi? MUHTAR SAID
JUJUR, pertama kali masuk fakultas hukum, saya bangga sekali, karena saya bermimpi bisa menjadi dewa penyelamat. Sebab, semua persoalan di masyarakat dalam impian saya langsung bisa teratasi dengan mudah. Permasalahan pidana, perdata, sampai urusan rumah tangga akan saya selesaikan dengan menggunakan pengetahuan hukum yang saya punyai, terutama dengan penguasaan undang-undang. Undang-undang menjadi alat untuk melancarkan pergerakan saya dalam menyelesaikan permasalahan, sebab waktu itu yang saya ketahui bahwa hanya orang-orang yang belajar di fakultas hukum itulah yang mengerti tentang undang-undang. Inilah yang membuat saya bangga dan menjadikan diri saya seolah-olah mempunyai nilai lebih daripada orang lain. Impian yang indah itu ternyata berubah menjadi cerita yang berbeda dari angan-angan yang ada di mimpi saya itu. Dimulai dari datangnya persoalan-persoalan nyata yang menghampiri saya (terutama permasalahan yang berkaitan dengan sengketa yang melibatkan orang yang mempunyai 19
Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), anggitan Satjipto Rahardjo, ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 27 September 2012 di Ruang C104, Gedung Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.
43
kuasa dan modal lebih, seperti kasus tanah di Bandungan, penggusuran pedagang kaki lima di Semarang, sertifikat tanah ganda yang kebanyakan mucul di pedesaan). Saat itu, sebagai orang yang mengenyam pendidikan fakultas hukum, pertama kali yang saya jadikan senjata adalah dalildalil yang tertulis dalam perundang-udangan. Dengan wajah agak sombong saya berharap permasalahan tersebut langsung bisa selesai. Namun, walaupun segenap pengetahuan saya tentang hukum sudah saya keluarkan, permasalahan belum juga dapat selesai, malah menjadi tambah semrawut tak karuan. Niatnya ingin menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah, bertambah pusing lagi ketika berhadapan dengan orang-orang yang sama, lulusan fakultas hukum. Pasal-pasal yang saya keluarkan bisa dilawan dengan pasal, asas dilawan dengan asas, dan lain sebagainya. Begitu juga sebaliknya, ketika dia mengeluarkan dalil-dalilnya saya juga membantah dengan dalil-dalil saya, terus seperti itu sampai pertemuan buntu. Padahal, persoalan yang kami perdebatkan adalah masalah kecil yang seharusnya bisa langsung diselesaikan secara singkat, namun malah menjadi sangat rumit dan memakan waktu yang lama. Sungguh memakan waktu dan energi yang hebat. Persoalan yang hampir sama juga pernah menjadi topik panas di negeri ini, gara-gara sandal jepit yang harganya lebih murah daripada rokok Sampoerna Mild (rokok kesukaan saya) ternyata cara penyelesaiannya memakan waktu yang lama, malah bisa menimbulkan permusuhan yang berkelanjutan. Peristiwa terjadi di lembaga penegak hukum yang seharusnya bisa mengatasi masalah dengan mudah, namun masalah tersebut malah menimbulkan masalah lain serta memakan banyak biaya, transportasi, 44
memberikan kesibukan pada hakim, seolah-olah masalah kecil seperti itu mengesampingkan permasalahan yang lebih besar namun tidak teratasi secara tuntas, seperti korupsi dan lain sebagainya. Seharusnya, kasus pencurian sandal seperti itu cukup diselesaikan dengan memberi sanksi kepada pelaku untuk menguras kamar mandi, misalnya. Pencurian sandal jepit tersebut saya anggap sebagai permasalahan kecil dan seharusnya tidak dibawa kemeja hijau yang akan membutuhkan waktu lama. Penyelesaian permasalahan seperti ini sungguh disesalkan, apalagi peristiwa tersebut terjadi di negara yang menjunjung tinggi asas musyawarah mufakat. Perlu diketahui, di Greenland (Denmark), kasus ringan seperti itu sanksinya tidak sampai masuk penjara, namun hukumannya berupa sanksi sosial: terpidana dihukum dengan hukuman sosial. Dari pengamatan kasus tersebut, diri saya agak tercerahkan. Ternyata penegakan hukum memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Penegakan hukum dilaksanakan guna menjaga ketertiban dan kedamaian masyarakat. Orang lain boleh bilang, penegakan hukum itu tinggal menerapkan pasalpasal perundang-undangan terhadap orang yang membuat masalah, supaya permasalahan langsung selesai. Walaupun sudah mengikuti pedoman undang-undang, permasalahan masih juga belum selesai. Hal itu disebabkan di dalam permasalahan itu terdapat banyak permasalahan lain yang sangat kompleks.
45
Permasalahan itulah yang dikesampingkan oleh kebanyakan ahli hukum, pengacara, polisi, dan lain sebagainya, yang hanya berpegang teguh pada kaidah hukum normatif, dengan tidak mempertimbangkan ilmu lainnya, terutama sosiologi hukum. Padahal, sosiologi hukum merupakan ilmu yang empiris, yang bisa memberikan data dan fakta mengenai permasalahan tersebut. Marc Galanter menggambarkan sosiologi hukum dapat melihat hukum dari ujung teleskop yang lain (from 20 the other end of the telescope ). Jika aliran normatif mengamati permasalahan dengan sudut kacamata undangundang, maka sosiologi hukum memandang permasalahan tersebut dengan menggunakan banyak cara. Inilah yang membedakan cara berpikir sosiologi hukum dengan cara berpikir positivistik-legalistik, di mana cara berpikir positivistik-legalistik berangkat dari peraturan hukum, sedangkan sosiologi hukum berangkat dari kejadian yang nyata dari lapangan. Di sinilah letak perbedaan sosiologi hukum terhadap cara berpikir positivistik21 legalistik. Perlu diketahui juga bahwa sosiologi hukum 20
Marc Galanter, dalam Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hal 190. 21 Bukan bermaksud menyingkirkan aliran positivistik-legalistik. Aliran ini memang mempunyai pengaruh besar terhadap tegaknya hukum, karena tersirat adanya kepastian hukum. Namun, untuk mencapai kebenaran yang subtantif, aliran sosiologi hukum lebih mempertimbangkan banyak hal, termasuk budaya yang berkembang di masyarakat. Inilah yang tidak dilakukan oleh aliran positivistik-legalistik. Tidak berarti aliran ini tidak juga membahas mengenai keadilan. Aliran ini juga membahas mengenai nilai-nilai keadilan, tetapi keadilan yang bersifat formal. Dari kajian tersebut, bukan berarti sosiologi hukum dalam mengkaji hukum dan menganalisis sebuah kasus meninggalkan undang-undang. Sosiologi hukum juga menggunakan peraturan normatif sebagai pintu masuk guna menyelami akar permasalahan yang timbul, sebab di mana ada konflik di situlah sosiologi hukum berada. Misalnya, seseorang mencuri sandal di
46
merupakan ilmu yang boleh dibilang masih muda. Karena masih muda, ilmu ini kurang mendapat tempat di perguruan tinggi, terutama di strata satu (S-1). Sebab mahasiswa strata satu memang diarahkan untuk menjadi seorang profesional, pengacara, hakim, jaksa, dan lain sebagainya. Jadi, dituntut untuk mempunyai keahlian dalam menerapakan pasal-pasal. Keahlian yang dipunyai bukan berarti tidak bermanfaat bagi penegakan hukum, melainkan sangat bermanfaat guna menegakkan kepastian hukum dan juga memunculkan keadilan. Namun, keadilan itu bersifat formal karena diperoleh atau dicari dengan menaati prosedur-prosedur yang telah ditetapkan oleh hukum. Hukum adalah undang-undang, merupakan pemaknaan hukum yang terlalu sempit, bahkan bisa merendahkan hukum itu sendiri. Jika memang hukum dimaknai sebagai undang-undang saja, maka tidak perlu bertahun-tahun belajar di fakultas hukum, cukup dengan mengikuti perkembangan undang-undang baru yang akan dibuat oleh lembaga legislatif dan kemudian membaca serta menghafalkannya, pasti akan menjadi pakar hukum yang terkenal. Saat ini, hukum yang berkembang adalah hukum dari para professional. Jadi, seolah-olah hukum dikeluarkan untuk menjadi alat para profesional, bukan hukum masjid. Dalam kasus tersebut akan segera ditanggapi oleh orang yang beraliran positivistik-legalistik dengan hanya berpedoman pada Pasal 362 KUHP: “Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Namun, lain cerita jika kasus tersebut dilihat oleh orang yang beraliran sosiologi hukum. Ia akan membongkar akar permasalahan, mengapa bisa terjadi kasus seperti itu, dan mengkaji sanksi yang akan diterapkan itu bermanfaat ataukah tidak.
47
dikeluarkan untuk menjaga ketertiban. Jadi, ilmu hukum saat ini sudah melenceng jauh dari kodratnya, yaitu dari memberikan pengayoman kepada masyarakat menjadi memberikan pundi-pundi uang bagi para pekerja profesional. Hakim dalam aliran positivistik-legalistik hanya terpaku pada undang-undang belaka sehingga mengesampingkan dasar keyakinan hakim sebagai dasar untuk melakukan vonis. Padahal, untuk memberikan rasa yakin pada hati nurani hakim dibutuhkan penggalianpenggalian yang lebih mendalam lagi, bahkan bisa saja keluar dari peraturan-peraturan perundang-undangan. Jika memang peraturan perundang-undangan dirasa belum cukup memberikan keyakinan hakim, maka bisa keluar dari itu. Hal ini juga dilakukan seorang polisi yang mengatur lalu lintas yang padat dan macet. Untuk memberi kelancaran bagi pengguna jalan, seorang polisi bisa melakukan terobosan untuk melanggar perundang-undangan lalu lintas, karena mengabaikan lampu lalu lintas. Cara seperti itu dilaksanakan sebab bisa berguna bagi masyarakat banyak. Mengulas lagi mengenai aliran positivistik-legalistik yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-19, aliran ini bisa besar karena memang mendapatkan dukungan dari kaum profesional. Jika dilihat secara kasat mata, aliran ini dirasa bisa dengan cepat dan praktis digunakan untuk memecahkan masalah. Akan tetapi, pada kenyataannya, permasalahan belum juga berakhir walaupun sudah ada 22 vonis dari hakim. Seperti kasus yang dulunya sangat 22
Penggunaan sosiologi hukum memang sangat ampuh untuk menyelesaiakan permasalahan. Namun, hal itu membutuhkan waktu yang lama dan juga niat dan ketulusan yang dibarengi dengan konsistensi yang tinggi. Di Solo, jarang terdengar pertengkaran antara Satpol PP dan para pedagang kaki lima, karena Wali Kota Solo (waktu itu) Joko Widodo dalam menertibkan pedagang kaki lima tidak menggunakan kekuatannya dengan mengerahkan pasukan Satpol PP, namun melalui pendekatan
48
moncer, yaitu masalah pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Prita Mulyasari terhadap Rumah Sakit Omni International. Permasalahan tidak akan berlarut-larut dan menjadi terkenal apabila tidak dibawa ke lembaga yang berwenang, melainkan diselesaikan dengan tatap muka. Pemikiran hukum yang terlalu kaku juga membuat para intelektual hukum merasa dirinya terpenjara dalam kekakuan hukum pada saat itu. Padahal zaman sudah berubah dan tentunya harus ada inovasi terhadap hukum itu sendiri. Tidak mungkin cara-cara lama bisa digunakan pada permasalahan yang baru muncul. Harus ada modifikasi dan pemikiran baru untuk menerapkan cara-cara tersebut. Sekarang, sudah tidak mempan lagi seorang laki-laki ketika ingin mendapatkan wanita pujaannya hanya melakukan lobi-lobi cinta kepada orang tua wanita yang dia incar. Strategi seperti itu kurang bisa secara langsung mendapat targetnya jika tidak ada terobosan selain itu, seperti melakukan pendekatan kepada wanita incarannya itu sendiri. Zaman dahulu mencari jodoh itu mudah: jika orang tua setuju, anaknya pasti ngikut . Namun, cara seperti itu tidak berlaku di zaman sekarang. Oleh karena itu, harus mempersiapkan banyak strategi. Begitu juga dengan ilmu hukum dalam mengatasi permasalahan yang selalu berkembang. Pada abad ke-18-19, mungkin, pemikiran normatif sangat ampuh diterapkan. Namun, bisa jadi hal itu
antarmanusia. Pemindahan pedagang kaki lima memakan proses waktu yang lama, sampai bertahun-tahun, dan Joko Widodo datang langsung. Cara seperti ini tidak akan ditiru oleh para hakim, di mana hakim harus turun ke lapangan untuk mencari akar permasalahan guna menciptakan vonis yang adil secara subtantif, karena cara pandang hakim adalah didatangi (pasif).
49
tidak mempan lagi jika diterapkan pada zaman sekarang karena semakin kompleksnya permasalahan. Untuk menjawab itu semua para penegak hukum dituntut untuk tidak mengandalkan teks-teks perundang-undangan semata, harus ada perkembangan terhadap ilmu pengetahuan yang akan digunakan. Berbicara masalah perkembangan ilmu pengetahuan, tidak akan melupakan nama Thomas Kuhn, yang mengemukakan bahwa ilmu dari waktu ke waktu selalu mengalami revolusi dimulai dengan perubahan dalam paradigma yang digunakan. Contoh peristiwa besar mengenai revolusi ilmu, yaitu berakhirnya era Newton melalui suatu revolusi. Padahal, pada zaman itu, menurut fisika dan paradigma Newton yang baru, seluruh alam dianggap telah dapat dilihat dalam suatu susunan yang tertib. Tetapi era Newton bukan akhir segalanya. Alam masih menyimpan kompleksitas yang tidak dapat dijelaskan atau 23 dijangkau oleh teori Newton. Memang pada waktu teori Newton dirasa tidak bisa menjawab persoalan fisika, muncullah teori kuantum yang pada kenyataannya lebih mampu menjawab persoalanpersoalan fisika yang sebelumnya tidak bisa dipecahkan. Kejadian tersebut memberi dampak pada dunia pemikiran mengenai realitas alam. Gambaran pergeseran dari teori Newton ke kuantum seolah-olah memosisikan ilmu pengetahuan dalam posisi yang selalu labil, karena akan terfalsifikasi oleh ilmu pengetahuan yang akan datang yang muncul akibat tuntutan zaman.
23
Satjipto Rahardjo, Merintis Visi Program Doktor Hukum Undip (Semarang, 2003), hlm 9.
50
Perselingkuhan Hukum dengan Ekonomi Mencermati kondisi perkembangan ilmu pengetahuan seperti yang dijelaskan tadi, kemudian ditangkap dengan jeli oleh Satjipto Rahardjo yang memasukan ide-ide tersebut ke dalam ilmu hukum. Ketika pemikiran pada umumnya memosisikan hukum sebagai disiplin ilmu yang independen, tidak bisa dimasuki oleh disiplin ilmu lain, Satjipto berani memasukan antardisiplin ilmu ke dalam pembahasan ilmu hukum. Memang pada kenyataannya ilmu akan selalu berputar dan saling menyambung antara ilmu satu ke ilmu yang lain. Hal itu juga diamini oleh Wilson, yang berpendapat bahwa kemajuan sains merupakan awal untuk melajukan penyatuan (unifikasi) antara sains alam, sains sosial, dan sain kemanusiaan. Pencarian hubungan antardisiplin merupakan tugas penting, dan Wilson 24 menghimpun beberapa disiplin secara luas dan anggun. Sebab ilmu hukum saat ini bukan hanya mengkaji mengenai masalah pencarian keadilan, sekarang posisi hukum juga dijadikan alat untuk melakukan perubahan sosial, seperti yang didermakan oleh Roscoe Pound. Di negara-negara modern, peranan hukum sangat penting untuk memberikan legitimasi bekerjanya negara. Dalam melaksanakan kinerjanya, aparat negara harus mempunyai payung hukum. Dalam situasi ini, hukum mempunyai peranan sebagai pencegah agar negara tidak terlalu otoriter terhadap masyarakatnya. Namun, dalam pandangan kritis seperti yang diutarakan oleh Karl Marx, hukum merupakan tatanan peraturan untuk
24
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan, dan Pencerahan (Yogyakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), hlm 18.
51
25
kepentingan kelas yang berpunya dalam masyarakat. Derma Marx mungkin patut dibetulkan, karena bangunan hukum rawan dengan perselingkuhan dengan ekonomi yang cenderung kapitalistik. Golongan borjuis sudah sadar bahwa untuk melancarkan misinya dalam mengeksploitasi kekayaan alam demi kekayaan dirinya, mereka harus mempunyai landasan hukum supaya dianggap sah dan apabila ada perlawanan mereka bisa menunjukkan surat keterangan sahnya itu. Suap kepada aparat negara menjadi alat ampuh untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan agar memberikan keuntungan bagi golongan borjuis. Kekuatan ekonomi yang dipunyai oleh kalangan borjuis jelas sangat ampuh untuk bisa memengaruhi kinerja birokasi atau penguasa setempat untuk memberikan kebijakankebijakan yang condong atau melanggengkan usahanya agar tidak tersaingi oleh kalangan kecil yang akan merintis usahanya. Hukum dijadikan penghambat bagi kalangan kecil yang ingin merintis usahanya. Penelitian yang dilakukan oleh De Soto di Peru menemukan hasil bahwa untuk memulai usaha secara sah (legal) dibutuhkan biaya yang mahal. Inilah yang tidak bisa dijangkau oleh rakyat kecil, namun bisa dijangkau oleh kelas borjuis. Akhirnya, karena tidak bisa memenuhi biaya yang disyaratkan oleh hukum, mereka melakukan usaha secara ilegal dan apabila ketahuan oleh pemerintah mereka akan digusur dan dirampas dagangannya. Contoh ini memberi opini bahwa hukum sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya memang benar-benar terjadi.
25
Satjipto Rahardjo, op. cit ., hlm 74.
52
Bagi penganut Marxis klasik, untuk melawan kezaliman semacam itu, harus dilakukan revolusi. Sebab, tidak ada celah lagi bagi kaum proletar untuk bisa membuat jalan atau berjuang untuk memperbaiki nasibnya secara legal: selamanya mereka akan menjadi kaum buruh di pabrikpabrik kapital. Di Indonesia, sudah bukan rahasia lagi bahwa produk hukum jika tidak ada yang mensponsori pembuatannya tidak akan pernah jadi walaupun rancangan undang-undang tersebut dinilai sangat urgen untuk masyarakat. Seperti permasalahan Konsep KUHP yang sudah bertahun-tahun tidak pernah disahkan oleh lembaga legislatif. Lembaga ini malah lebih senang mengeluarkan undang-undang yang berbau komersial dan politik. Hal itu disebabkan konsep KUHP bukanlah proyek yang menghasilkan uang untuk mereka. Inilah menjadi bukti bahwa hukum tidak akan pernah terlepas dari nilai-nilai yang berada di luar hukum itu sendiri. Banyak faktor yang memengaruhi pembentukan hukum, dan saat bekerjanya hukum itu sendiri. Orang selalu sibuk dengan perdebatan mengenai penerapan pasal-pasal perundang-undangan, namun jarang membahas mengenai bekerjanya hukum. Wilayah ini merupakan ranah di mana ilmu sosiologi hukum menampakan dirinya. Dalam ranah bekerjanya hukum, akan banyak faktor yang memengaruhi peraturan perundang-undangan itu dapat diberlakukan secara maksimal atau tidak. Polisi mempunyai semboyan sebagai pengayom masyarakat dan itu selalu dikampanyekan oleh mereka lewat iklan, baliho, serta spanduk yang tertempel di jalan raya. Namun, jika menggunakan analisis sosiologi hukum, maka akan muncul sebuah pertanyaan yang mempertanyakan kinerja kepolisian
53
sebagai pengayom masyarakat, karena dalam sosiologi memberikan pertanyaan kepada polisi: masyarakat yang mana yang akan diayomi. Banyak peritiwa yang terjadi seperti di Bima dan Mesuji, di dua daerah tersebut “seolaholah” memberikan gambaran bahwa polisi melindungi kelas bojuis. Padahal, di lembaga-lembaga hukum yang ada di negara ini, kepolisian merupakan lembaga yang paling memperlihatkan sifat sosiologisnya dalam bekerja. Hal itu disebabkan polisi mempunyai keterlibatan langsung dengan masyarakat secara intens. Dalam masyarakat terdiri dari berbagai individu. Tetapi, masing-masing individu tidak bisa dikatakan langsung bisa bermasyarakat. Hal itu disebabkan ada juga individu yang tidak mempunyai rasa sosial. Oleh karena itu, untuk menggabungkan mereka dalam masyarakat dibutuhkan suatu tindakan yang bisa dikatakan sebagai pemaksaan untuk menjadikan individu tersebut bermasyarakat. Sesunggunya, tindakan inilah yang merupakan hakikat dari pekerjaan polisi, sebab tugas polisi sesuai dengan Pasal 13 butir (c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah “memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.” Memasyarakatkan individu merupakan salah satu fungsi dari pengayoman. Karena, ketika individu sudah bisa hidup bermasyarakat, akan tercipta iklim yang harmonis. Namun, tugas seperti ini ternyata terpinggirkan. []
54
Bab II Semasa
55
Kapita Selekta Hukum Progresif: 26 Pada Mulanya adalah Koran AP EDI ATMAJA
DULU, dulu sekali, saya benar-benar mengagumi (almarhum) Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH. Sosok yang kemudian kita kenal sebagai Prof Tjip itu begitu melegenda di Fakultas Hukum, lalu Universitas Diponegoro, lalu Jawa Tengah. Belakangan, Prof Tjip ternyata—meminjam frasa Prof Arief Hidayat—“aset nasional”. Artinya, dia telah menjadi “kekayaan” bangsa Indonesia. Lebih belakangan lagi, saya semakin takjub, sebab Prof Tjip ternyata juga “aset internasional”: pendekar hukum Indonesia yang kepakarannya bahkan dikagumi (almarhum) Prof Daniel S Lev, Indonesianis terkemuka asal Amerika Serikat. Prof Lev, tutur Prof Tjip, suatu kali pernah berkata kepadanya, “Saya tidak bisa menulis lagi soal hukum Indonesia, karena tidak bisa mencium aromanya. Aroma itu saya baca dari tulisan27 tulisan Anda.” Baik, itu dulu. Kini, kekaguman itu barangkali telah menghilang. Namun, hilangnya kekaguman itu bukan berarti 26
Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Penegakan Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 8 Oktober 2012 di Ruang C104, Gedung Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro. 27 Subur Tjahjono, “Satjipto, 33 Tahun Menulis Artikel”, dalam http://nasional.kompas.com/read/2008/06/27/05383141/satjipto.33.tah un.menulis.artikel (diakses pada 1 Oktober 2012).
56
buruk. Kini, seiring bertambahnya usia, semakin beragamnya bacaan yang mengenalkan saya pada pemikir-pemikir (hukum) lain di dunia, kekaguman saya kepada Prof Tjip berubah menjadi rasa hormat. Hormat pada perjuangan tak kenal lelah Prof Tjip dalam menyebarkan ilmu yang dipopulerkannya sebagai sosiologi hukum itu: ilmu yang mencoba mengawinkan hukum dengan kemasyarakatan, dus kemanusiaan. Pemikir hukum yang berjuang di jalan itu, 28 sepengetahuan saya, bahkan di dunia, masih amat langka. Perjumpaan saya buat kali pertama dengan Prof Tjip terjadi dalam ruang kelas yang suntuk. Perkuliahan mahasiswa tingkat sarjana (S-1), kita tahu, demikian menjemukannya. Adalah sangat langka dosen yang mampu meramu kuliah yang dapat merangsang keingintahuan mahasiswa akan persoalan hukum kontemporer. Kuliah hukum lebih sering saya habiskan dengan melamun, paling sial tertidur. Ini, saya ketahui belakangan, ternyata pernah 29 jadi sasaran kritik Prof Tjip.
28
Segelintir yang bisa disebut antara lain Brian Z Tamanaha, Roberto M Unger, Paul Scholten, William J Chambliss, Robert D Seidman, Marc Galanter, Philippe Nonet, Philip Selznick, dan Talcott Parsons. 29 Lihat Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia: Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin (Yogyakarta: Genta, 2009). Dalam bab bertajuk “Peranan Baru dari Pendidikan Hukum dan Ahli Hukum” (hlm 127), Prof Tjip menyigi riwayat pendidikan hukum Indonesia sejak zaman penjajahan hingga pascakemerdekaan. Pendidikan hukum kita yang berambisi untuk menciptakan “tukang-tukang” (craftmanship ) ditengarai Prof Tjip sebagai warisan kolonial yang tak mudah dihapuskan bahkan oleh pemimpin serevolusioner Soekarno. Tersebab orientasi pendidikan pada soal bagaimana sarjana hukum memperoleh pekerjaan, bukan mengembangkan keilmuan hukum, materi hukum yang dikuliahkan adalah yang menunjang atau berguna bagi pekerjaan. Jadilah dosen, ketika menyampaikan kuliah, cenderung monoton, mengulang-ulang materi yang pernah dipakai bergenerasi-generasi sebelumnya, sebagai hafalan yang kebal dari daya kritisisme.
57
Dalam suasana hati yang sebal dengan suasana kuliah di kampus itulah saya mengenal Prof Tjip. Malam-malam, di rumah, saya iseng baca-baca majalah usang koleksi bapak saya. Majalah Tempo edisi 15 Desember 1990. Baru sebentar membaca, di halaman 26, saya mendapati artikel, sebuah kolom, berjudul The Dirty Harry. Pengarangnya lamat-lamat saya ingat pernah disinggung dosen matakuliah Pengantar Ilmu Hukum tadi pagi. Sepertinya kenal, saya membatin. Saya teruskan membaca. Luar biasa. Cara orang ini merangkai kata demikian ciamik - nya. Renyah. Esainya—berkisah tentang seorang polisi yang gandrung puisi—disajikan dengan manusiawi. So human . Tulisannya adalah sebentuk kritikan terhadap pemerintah Orde Baru yang waktu itu melarang pementasan penyair WS Rendra. Nama pengarang esai itu, tertera di bawah judul, tercetak tebal: Satjipto Rahardjo. Sejak saat itu, saya memburu segala informasi tentang pria kelahiran Banyumas, 15 Desember 1930, itu. Dalam perburuan, saya menemukan bahwa nama Prof Tjip, dalam industri media cetak, rupanya bukanlah anak ingusan kemarin sore. Tulisan opininya mengenai persoalan hukum tersebar di mana-mana. Di harian Kompas , misalnya, tulisan Prof Tjip mencapai angka ratusan. Belum di Suara Merdeka , Tempo , dan media lain yang belum lagi saya ketahui. Tentang “kegilaannya” itu, saya baca satu reportase tentang Prof Tjip, mengenang kepulangannya pada awal 2010 lalu: Dengan menulis di surat kabar, akademisi bisa membagi pengetahuannya ke publik yang luas, tidak terbatas seperti pada jurnal ilmiah. Dengan kemampuannya membuat tulisan ilmiah populer di suratkabar itu, Pak
58
Tjip membuktikan, ilmu hukum bukanlah ilmu yang kering dan tidak menarik. Hukum kalau ditulis dari sisi teknis memang tidak menarik, tetapi kalau dilihat dalam hubungan dengan masyarakatnya, hal itu tidak akan ada habis-habisnya. Berbagai macam ide segar menyangkut bidang yang ditekuninya itu ditumpahkannya pula dalam 30 artikel-artikelnya. *** PADA mulanya adalah koran. Pengantar yang bernuansa sedikit curahan hati di atas tentu ada relevansinya dengan materi yang hendak saya bahas dalam kesempatan kali ini. Ya, pada mulanya adalah koran. Buku bersampul warna cokelat berhias wajah Satjipto Rahardjo yang kita bedah dalam kesempatan kali ini bisa dikatakan adalah buku pertama Prof Tjip yang terbit setelah dia wafat. Mengapa pertama? Sebab, saya yakin, buku-buku lain akan lekas terbit kendati pengarangnya telah tiada. Pertama , karena nama Prof Tjip sebagai akademisi-cum pengarang telah demikian masyhur sehingga buku-buku lamanya kemungkinan besar akan dicetak ulang dan bakal laris manis tanjung-kimpul. Kedua , karena kebanyakan buku 31 Prof Tjip adalah kumpulan artikelnya di koran-koran. Padahal, kita tahu, artikelnya itu berjumlah ratusan, yang belum semuanya diterbitkan dalam bentuk buku. Buku Penegakan Hukum Progresif ini—berisi artikelartikel yang pernah dimuat di harian Kompas —adalah buku 30
Subur Tjahjono, op. cit . 31 Andreas Harsono punya sebutan jenaka untuk buku jenis ini, yaitu “buku-bukuan”: buku berisi artikel lepas yang awalnya tidak dimaksudkan sebagai buku dalam pengertian umum. Lihat Andreas Harsono, Agama Saya adalah Jurnalisme (Yogyakarta: Kanisius, 2010).
59
Prof Tjip paling gres yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Sebelumnya telah terbit, antara lain, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (2003), Membedah Hukum Progresif (2006), Biarkan Hukum Mengalir (2007), dan Hukum dan Perilaku (2009). Menurut editornya, Aloysius Soni BL de Rosari, buku Penegakan Hukum Progresif ini adalah “kapita selekta Satjipto Rahardjo”, sebab isinya artikel 32 pilihan dari buku-buku itu. Lantaran pada awalnya tidak ditujukan sebagai buku utuh (babon), buku ini lekat dengan pengulangan di sejumlah tempat. Apalagi mengingat bahwa ia juga merupakan “perulangan” dari buku-buku yang telah terbit sebelumnya. Sehingga, kadang cukup sulit bagi kita untuk tidak merasa “bosan” dengan pengulangan itu, alih-alih menjadi semakin terjelaskan. Namun, buku ini tetap kita anggap berharga untuk memahami sekaligus memetakan teori hukum progresif yang digagas Prof Tjip. Buku Penegakan Hukum Progresif terbagi ke dalam lima bab. Kelima bab itu adalah Apa dan Bagaimana Penegakan Hukum Progresif , Implementasi Penegakan Hukum Progresif di Indonesia , Penguasa dan Penegakan Hukum Progresif , Penegakan Hukum Progresif , dan Peran Masyarakat dalam Penegakan Hukum Progresif .
32
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif (Yogyakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm ix.
60
Dala Dalam m tuli tulisan san berta bertaju juk k “Di “Di Luar Luar Penga Pengadil dilan an”, ”, Prof Prof Tjip Tjip mengka mengkaji ji soal soal penyele penyelesai saian an perkara perkara yang yang dapat dapat dilakuk dilakukan an tan tanpa me mela lalu luii me meka kan nisme isme pera peradi dila lan n forma ormall. Bagi Bagi para para pemiki pemikirr formal formal-leg -legali alistik stik,, demikia demikian n Prof Prof Tjip, Tjip, penyele penyelesai saian an perkara di luar pengadilan (out of cou court sett ettleme men nt ) dianggap sebagai sesuatu yang aneh, tabu, dan luar biasa. Namu Namun, n, bagi bagi me mere reka ka yang yang me meli liha hatt pers persoa oala lan n itu itu me mela lalu luii opti optik k sosi sosiol ologi ogi hu hukum kum,, itu adala adalah h hal hal yang yang biasa biasa,, lu lumra mrah h adanya. Sebab, penganut sosiologi hukum mengutamakan fungs ngsi, buk bukan bentu entuk k sepert pertii halny nya a pemikir kir forma rmallegalistik. Tatkala hukum dibakukan dalam sebuah teks peru perunda ndang ng-u -und ndan angan gan,, maka maka pang panggu gung ng hu huku kum m berga berganti nti menjadi panggung hukum tertulis. Hukum yang tertulis itu erat kaitannya dengan negara modern yang embrionya telah 33 ada sej sejak aba abad keke-18. 18. Se Seja jak k saat saat itu, itu, selu seluru ruh h in inst stit itu usi kemasy kemasyara arakata katan n didomin didominasi asi negara. negara. Terjadi Terjadilah lah hegemon hegemonii nega egara, ra, mu mula laii dari dari hukum kum negar egara, a, pen pengadi gadila lan n neger egeri, i, undang-undang, dan seterusnya. Padahal, menurut Prof Tjip, ketika hukum diundangkan dan dan dia dialih lih-ben -bentu tuk k me men njadi jadi teks teks (legi legisl slat ated ed law ), ) , baha bahasa sa (talig ) memegang kendali. Saat itu, cara berhukum mema me masu suki ki dime dimen nsi baru baru,, yakn akni cara cara berh berhu ukum kum me mela lalu luii skema—yang terdiri dari kalimat dan kata-kata. Kalimat dan kata kata-k -kat ata a me memi mili liki ki day daya jan jangkau gkau yang yang terba erbata tass untu ntuk menc me ncer erap ap realit realitas as.. Jadi Jadi,, berhu berhuku kum m denga dengan n skema skema me mela lalu luii baha bahasa sa seja sejati tiny nya a teng tengah ah me mere redu duks ksii makn makna a hu huku kum m yan yang hakiki. Hukum pun lalu segera cacat kala dilahirkan, ketika diutarakan dalam kalimat dan kata-kata.
33
Ibid ., ., hlm 4.
61
Sudah Suda h bara baran ng tent tentu u ada yang ang terc tercec ecer er di san sana, dari dari hukum yang diformulasikan menjadi kalimat dan kata-kata itu. Prof Tjip memisalkan memisalkan munculnya munculnya konsep “pencurian” “pencurian” dari Kita Kitab b Unda Undan ng-u g-unda ndang Huku Hukum m Pidan idana. a. Pen Pencuri curian an yan yang konon dalam masyarakat Jawa terdiri dari sepuluh macam, seperti maling , jambret , copet , ngutil , nggarong , dan seterusnya, dirum rumuskan kem emb bali oleh KUH KUHP me men njadi “bar “baran angs gsia iapa pa deng dengan an seng sengaj aja a me meng ngam ambi bill bara baran ng mi mili lik k orang lain”. Dan hukumannya juga disamaratakan: tidak lagi meli me liha hatt kadar kadar (kua (kuant ntit itas as dan/ dan/at atau au kualit kualitas as)) bara barang ng yang yang “dicuri”. Lebih ebih lan lanju jut, t, Prof Prof Tjip jip me meng nga ataka takan n, bua buat me men ngat gatasi asi kete keterc rcec ecer eran an tadi tadi,, hu huku kum m me mest stii dipa dipaha hami mi pula pula seba sebaga gaii perilaku. Hukum adalah perilaku kita sendiri. Di sini, hukum yang oleh kaum positivis dilihat sebagai teks yang mengel mengelimi imina nasi si faktor faktor dan peran peran manusi manusia a dikoreks dikoreksii besarbesarbesa besara ran n deng dengan an me mene nemp mpat atka kan n manu manusi sia a seba sebaga gaii posi posisi si sent sentra rall cara cara berh berhuk ukum um.. Maka Maka,, kons konsep ep hu huku kum m yang yang tela telah h mapan mesti diubah: bukan lagi semata aturan (rule ( rule ), ), tetapi juga perilaku (behavior ). ). Dalam “Biasa dan Luar Biasa dalam Berhukum”, Prof Tjip mengemu mengemukaka kakan n gagasan gagasan radikal radikal tapi sejatin sejatinya ya diperlu diperlukan kan dala dalam m prak praksi siss hukum kum dewa dewasa sa ini. Kead Keada aan dun dunia tida tidak k sela selama many nya a berj berjal alan an dala dalam m suas suasan ana a yang yang ayem ayem-- tentrem , normal tanpa gejolak. Ada kalanya, hukum bekerja di ruang yang yang penu penuh h gejol gejolak ak,, konfl konflik, ik, dan dan keka kekacau cauan an (chaos ). ) . Saat Saat itulah sesungguhnya diperlukan suatu cara berhukum yang luar lu ar bias biasa. a. Apab Apabil ila a cara cara-c -car ara a bias biasa a atau atau norm normal al dise disebu butt sebagai rule rule makin making g , maka cara luar bia biasa dis disebut but rule breaking . Berhukum dengan cara luar biasa berarti melakukan suatu penerobosan hukum yang ada.
62
Ilmu yang berkembang sekarang ini, baik eksak maupun sosial, kata Prof Tjip, semakin mendewasa: tidak lagi berpikir seca secara ra hi hita tamm-pu puti tih, h, me mela lain inka kan n me meng ngak akui ui komp komple leks ksit itas as,, ketida ketidakpa kpastia stian, n, kekelab kekelabuan uan,, atawa atawa relativ relativita itas. s. Era Newton, Newton, Descartes, dan Bacon di abad ke-17, yang sarat kepastian, rasionalitas, dan determinisme, sudah berlalu. Struktur dunia fisik fisik tidak tidak lagi lagi mekani mekanis-m s-masi asinal nal ibarat ibarat mesin mesin yang yang bekerja bekerja otom otomat atis is,, mel melain ainka kan n sudah sudah menja menjadi di kenya kenyata taan an yang yang nonnonmekani mekanis. s. Ketertib Ketertiban an (order ) tidak tidak lagi lagi berla berlawan wanan an deng dengan an kekacauan (chaos (chaos ), ), tetapi berjalin kelindan dan sama-sama dipe diperl rluk ukan an.. Hukum Hukum tida tidak k perna pernah h lagi lagi otono otonom, m, mel melai aink nkan an sena senant ntia iasa sa dipe dipen ngaru garuhi hi oleh oleh sega segala la hal hal yang yang bera berada da di dalam dalam ataupun ataupun di luar dirinya. Sebetu Sebetulny lnya, a, cara cara berpiki berpikirr yang mengaku mengakuii komple kompleksit ksitas as dan dan rela relati tivi vita tass tela telah h jauh jauh me mera rasu suk k di lu lubu buk k hati hati bang bangsa sa-bangsa Timur. Namun, hal itu terpinggirkan oleh dominasi (pera (perada daba ban) n) Barat Barat,, oleh oleh arus arus domin dominan an cara cara berp berpiki ikirr yang yang rasion rasionalal-Cart Cartesi esian an dan eksperim eksperiment entalal-Bac Baconi onian an.. Ikon Ikon sains sains saat ini, yang mengedepankan relativisme dan keti ketida dakp kpas asti tia an, sesu sesun nggu gguhn hnya ya amat amat lazi lazim m di kalan alanga gan n bang bangsa sa-b -ban angs gsa a Timu Timur, r, yang yang me mema mand ndan ang g segal segala a hal hal tidak tidak den dengan gan kece kecerd rdas asan an em emos osio ion nal, al, me mela lain inka kan n kece kecerd rdas asan an spiritual. Dengan menyinggung cara berpikir bangsa Timur, akan terbuka uka ruang bag bagi kit kita untuk lebih ebih jauh auh me mem mahami bagaimana tujuan hukum bagi kita, bangsa Indonesia. Prof Tjip Tjip pun mel melont ontarka arkan n pertany pertanyaan aan:: “Kita “Kita bernega bernegara ra hukum hukum untuk apa? Hukum itu mengatur masyarakat semata-mata untuk mengatur atau untuk suatu tujuan yang lebih besar?” Di sini sinila lah h titik titik me mena narik rikny nya. a. Bahw Bahwa, a, kata kata Prof Prof Tjip, Tjip, “Huk “Hukum um hendakn aknya me mem mberi kebahagiaan kep kepada raky rakya at dan bangsanya.” Ini menarik, karena tujuan hukum ternyata tidak
63
hanya kepastian, kemanfaatan, atau keadilan, melainkan juga kebahagiaan. Prof Tjip meramalkan kebuntuan, kemacetan, kegagalan, dan akhirnya kematian hukum. Sebab hukum buntu, macet, gagal, lalu mati, menurut Prof Tjip, adalah ketidakmampuan hukum (yang diperlakukan) otonom untuk mengakomodasi perubahan sosial yang bergerak dinamis. Hukum terlalu berasyik-masyuk dengan diktum “hukum ada untuk hukum itu sendiri”, terjebak dalam urusan kepastian, sistem, dan logika peraturan yang tak bisa memberi respons yang baik atas problem sosial. Buat mengatasi sekalian persoalan itu, Prof Tjip merumuskan semacam manifesto atau tesis tentang hukum yang mampu memerdekakan manusia—yang disebutnya dengan hukum progresif. Hukum progresif mengandung 34 empat karakteristik utama. Pertama , paradigma hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia. Kedua , hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo (mapan) dalam berhukum. Ketiga , jika diakui bahwa peradaban hukum tertulis akan memunculkan sekalian akibat dan risiko, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan hukum tertulis tersebut. Keempat , hukum progresif memberi perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. []
34
Ibid ., hlm 61-66.
64
35
Dasar-dasar Hukum Progresif BENNY KARYA LIMANTARA
PEMBENAHAN perundang-undangan bukannya tidak perlu, tetapi bukanlah satu-satunya cara. Di tengah kesibukan membenahi perundang-undangan, gerakan supremasi hukum ternyata kurang memberi hasil. Dunia dan kehidupan hukum kita masih berjalan di tempat dengan segala karutmarutnya. Lalu, di mana salahnya? Apanya yang salah? Dari pengamatan terhadap praktik hukum selama ini tampak “intervensi perilaku” terhadap normativitas hukum. Orang membaca peraturan dan berpendapat bahwa orang harus bertindak semacam itu. Tetapi yang terjadi ternyata berbeda atau tidak persis seperti yang dimengerti orang. Inilah yang disebut sebagai intervensi perilaku. Kemudian, dibangun teori bahwa hukum bukan hanya urusan peraturan (a business of rules ), tetapi juga perilaku (matter of behavior ). Dalam suatu peraturan, misalnya, jelas tercantum secara limitatif bahwa yang boleh mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap perkara pidana adalah terpidana atau ahli warisnya. Tetapi, suatu kali jaksa pernah mengajukan PK dan diterima pengadilan. Jadi, perwujudan hukum PK telah diintervensi oleh perilaku jaksa. 35
Karangan, yang merupakan ringkasan dari buku Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006) anggitan Satjipto Rahardjo, ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 22 Oktober 2012 di Kompleks Pedagang Kaki Lima Universitas Diponegoro, Pleburan, Semarang.
65
Van Doorn, seorang sosiolog hukum, mengutarakan secara lain. Hukum yang merupakan skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia itu sendiri ternyata cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya. Ini disebabkan oleh faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain, yang memengaruhi dan membentuk perilakunya. Maka, dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia, kita perlu menaruh perhatian yang saksama terhadap masalah perilaku bangsa. Kehidupan hukum tidak hanya menyangkut urusan teknis, seperti pendidikan hukum, tetapi juga menyangkut soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu sosial yang lebih luas. Sebenarnya, ada contoh dalam UndangUndang Da-sar 1945 (UUD): “Sekalipun dibuat UUD yang bersifat perseorangan, UUD tidak ada gunanya.” Ini adalah satu isyarat untuk memberi perhatian kepada aspek perilaku dan kultur konstitusi. Dengan pencantuman kata-kata seperti itu, sesungguhnya para penyusun UUD sudah melakukan suatu tindakan yang jenius karena sudah merambah ke wilayah “kultur hukum”. Jenius karena pada saat itu (1940an) kultur hukum belum banyak dibicarakan, bahkan di dunia akademis. Ilmu hukum baru diperhitungkan sebagai unsur sistem pada 1960an. Maka, meski perubahan UUD sudah beres, sebetulnya masalah masih jauh dari selesai. Kita masih akan berurusan dengan aspek perilaku dari orang-orang
66
yang akan menjalankannya. Seseorang pernah mengatakan, ”Berikan pada saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan.” Jadi, sekali lagi diingatkan mengenai pentingnya faktor perilaku atau manusia dalam kehidupan hukum. Dengan membicarakan perilaku, sampailah pada aspek human capital (HC). Pertanyaannya, apakah kita memiliki HC untuk bangun dari keterpurukan bangsa? Jawabannya, kita punya. Tapi, jumlah mereka terlalu sedikit dan tenggelam dalam potret hukum kita. Mereka ada di kejaksaan, pengadilan, atau di tempat lain. Seorang mantan jaksa mengatakan kepada rekan-rekannya yang sibuk mengumpulkan sejumlah bukti-bukti bahwa hanya dengan beberapa bukti ia dapat membawa orang itu ke pengadilan. Kita sering menyatakan kebanggaan diri sebagai bangsa yang berbudi luhur, bermoral, bersifat kekeluargaan, kebersamaan, dan semacamnya. Tetapi, semua itu tidak menyentuh sampai kultur hukum kita. Kultur hukum malah cenderung ke individualisme dan moralitas belum menjadi social capital (SC). Hukum membutuhkan SC-nya sendiri dan setiap bangsa membawa bekal SC masing-masing. Malangnya, kita tidak mampu menunjukkan SC dan baru sampai pada omongan, kendati sudah didorong proyek penataran Pancasila dan segala macam yang bernilai miliaran rupiah. Jepang dan Amerika Serikat memiliki SC masing-masing sebagai penyokong konsepsi negara hukumnya. Orang AS amat rasional dalam menjalankan hukum, sedangkan Jepang menggunakan hati nuraninya. Diceritakan bahwa ada dua orang, berkewarganegaraan AS dan Jepang, akan menyeberang jalan tetapi tertahan lampu merah. Ketika sudah tidak ada kendaraan lewat, orang AS mengajak
67
menyeberang saja. Tetapi, orang Jepang mengatakan, “Kalau saya menyeberang, sedangkan lampu masih merah, muka saya mau ditaruh mana?” Itulah perbedaan dalam SC antarbangsa yang membawa kepada perilaku dan kultur yang berbeda. Perilaku merupakan modal amat penting sebelum kita berbicara tentang hukum. Tanpa perubahan cara berhukum seperti itu, hukum hanya akan menjadi permainan kepentingan dan gagal membawa bangsa ini kepada kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan, dan kemuliaan.
Hukum Hendaknya Membuat Bahagia Karakteristik hukum modern yang menonjol adalah sifat rasional dan bisa berkembang pada tingkat “rasionalitas di atas segalanya” (rationality above else ). Tidak mengherankan jika para penyelenggara hukum, baik legislator, penegak hukum, dan lainnya, akan mengambil “sikap rasional” seperti itu pula. Bukan keadilan yang diciptakan “cukup” agar dijalankan dan diterapkan secara rasional. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata masyarakat tidak puas dan ingin agar hukum aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Jadi, kelahiran hukum modern (yang liberal) bukan akhir dari segalanya, tetapi alat untuk meraih tujuan lebih jauh, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dorongan ke arah kebahagiaan dapat kita amati pada negara-negara Timur seperti Tiongkok, Korea, Jepang, dan Indonesia. Kendati Jepang menggunakan hukum modern, itu dilakukannya karena tidak ingin ketinggalan dari masyarakat-masyarakat lain di dunia. Ini terlihat saat struktur kehidupan Jepang yang terdiri dari omote (bagian muka) dan ura (bagian belakang) atau latemae (luar) dan honne
68
(dalam) ditarik juga ke bidang hukum. Maka, meski di luar menerima penggunaan hukum modern, bila sudah sampai tahap pelaksanaannya, mereka mendahulukan penyelesaian dengan cara-cara Jepang. Kemajuan ilmu pengetahuan tentang cara berpikir manusia sudah menampilkan keragaman. Seratus tahun lalu, hanya ada satu ukuran yang dipakai untuk mengukur kemampuan berpikir seseorang, yaitu IQ (intellectual quotient ). Namun, selain kecerdasan rasional, kini ditemukan dua macam cara berpikir lain, yang memakai (1) perasaan dan (2) spiritualitas. Sekitar akhir abad ke-20, muncul model berpikir yang memasuki dimensi kedalaman, yaitu mencari makna dan nilai yang tersembunyi dalam objek yang sedang ditelaah, yang disebut cara berpikir spiritual atau kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual tidak berhenti menerima keadaan dan beku, tetapi kreatif dan membebaskan. Dalam kreativitasnya, ia mungkin dapat bekerja dengan mematahkan patokan yang ada (rule breaking ) sekaligus membentuk yang baru (rule making ). Menarik apa yang dikatakan Paul Scholten bahwa hukum memang ada dalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan. Kini, pendapat itu memperoleh dukungan dan pembenaran kuat berdasar psikologi dengan ditemukannya suatu macam kecerdasan manusia yang tertinggi, yaitu kecerdasan spiritual. Hukum bukan buku telepon yang hanya memuat daftar peraturan dan pasal, melainkan sesuatu yang sarat makna dan nilai. Penggunaan kecerdasan spiritual untuk membangkitkan keterpurukan hukum memberi pesan penting kepada kita untuk berani mencari jalan baru (rule breaking ) dan tidak membiarkan diri terkekang dengan cara menjalankan hukum yang lama dan “tradisional”, yang jelas-jelas lebih
69
banyak melukai rasa keadilan. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum. Kita semua dalam kapasitas masingmasing (sebagai hakim, jaksa, birokrat, pendidik, dan lainlain) didorong untuk selalu bertanya kepada hati nurani tentang makna hukum lebih dalam. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan semangat keterlibatan (compassion ) terhadap bangsa. Segala daya dan upaya hendaknya dilakukan untuk bangkit dari keterpurukan dan menggugat cara berpikir yang membuat susah. Mendorong bangkitnya orang-orang baik di sektor publik adalah salah satu usaha untuk mengatasi kerisauan atas fenomena kekasaran dan kekerasan massa yang kian meningkat akhir-akhir ini. Demokrasi belum memunculkan golongan rakyat yang memiliki standar kualifikasi mental, tetapi lebih berupa “massa tanpa standar kualifikasi”. Lembaga-lembaga yang seharusnya terhormat telah diduduki oleh mereka yang tidak memiliki kualifikasi. Meski mungkin jumlah orang-orang baik di negeri ini tidak sedikit, umumnya mereka tidak atau tidak bisa muncul. Istilah “baik” dipakai untuk menyebut mentalitas dan kualitas yang terpuji. Manusia-manusia Indonesia yang baik kurang memperoleh kesempatan untuk tampil sebagai pemimpin dan pengatur masyarakat. Kita amat senang dengan pergumulan untuk memunculkan elite, pemimpin, dan golongan yang benar-benar berkualitas, bagaimana pun cara untuk mencapai hal itu
Bernegara dengan Makna Lebih dari setengah abad Indonesia berdiri, namun terus saja negara ini mengalami gejolak dan pergolakan kendati,
70
dalam kapasitas formal, negara ini tetap berdiri dan diterima oleh komunitas negara-negara (system of states ) di dunia. Bernegara secara spasial-formal tidak cukup. Diinginkan juga negara yang bisa membuat rakyat bahagia. Wilayahwilayah yang semestinya sakral, seperti pendidikan, pengadilan, parlemen, dan pelayanan publik, dijarah oleh nafsu menumpuk materi dengan semangat kapitalis. Hampir semuanya menjadi komoditas yang dihargai sebagai barang ekonomi dan diburu serta diperjualbelikan. Sejak didirikan, negara yang bernama Indonesia ini sarat dengan ideologi, sarat dengan kehendak untuk melakukan pencitraan diri (self defining ) secara kultural, seperti UUD yang bersifat kekeluargaan dan kemudian menyusul membangun Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Hal itu berarti bahwa kita tidak ingin sekadar bernegara secara spasial dan memenuhi standar formal saja. Negara, pemerintahan, dan bangsa yang berusaha untuk membangun citra diri hanya bisa didukung dan diawaki oleh pelaku-pelaku penuh dedikasi, empati, dan kreasi. Pelakupelaku semacam itulah yang senantiasa ingin memberi arti penuh kepada jabatan dan profesinya. Untuk mencapai standar tersebut memang sangat berat, karena sudah masuk ke dalam dimensi bernegara secara spiritual. Bekerja tidak untuk mencari imbalan keduniaan, tetapi semata-mata pengabdian: hanya ikhlas kepada Tuhan.
Penutup Hukum progresif harus dimaknai sebagai pemahaman skala besar dari sebuah ideologi baru yang sejatinya timbul dari segala pergolakan realitas sosial. Esensi hukum progresif berawal dari sikap dan perilaku manusia yang diimbangi dengan harapan tentang nilai moral dan
71
kecerdasan spiritual. Tujuan akhir hukum progresif adalah menciptakan masyarakat yang bahagia. Dasar pemikiran hukum progresif sebenarnya masih berupa konstruksi berpikir yang dini. Berupa embrio dari sebuah aliran besar yang bisa ditarik ke belakang ataupun ke depan. Hubungannya bisa diimbuhkan dengan kehidupan bernegara yang penuh makna. Dalam hubungannya dengan kehidupan bernegara, makna progresivitas harusnya dapat menjadi pemicu untuk dapat mengubah cara pandang para penegak hukum. Segala hal-ihwal dari hukum progresif perlu didalami lebih lanjut karena hukum progresif masih dalam taraf pengembangan. Mungkin saja ke depan dapat kita temukan hukum neoprogresif atau posprogresif. Dan itulah tugas kita sebagai penerus Prof Satjipto Rahardjo. Mari berjuang. []
72
Hukum Progresif dan Keberanian 36 Kita SYANDI RAMA SABEKTI
TIDAK berbeda. Mungkin hal ini yang awalnya terlintas dalam pikiran saya, seperti layaknya diskusi-diskusi sebelumnya. Saya termasuk baru dalam urusan hukum progresif. Saya mengenal istilah ini setelah menduduki bangku Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, bersama-sama dengan para sahabat yang memiliki ciri khas, pemikiran, opini, dan suku yang berbeda-beda. Dalam pikiran saya, hukum progresif merupakan suatu gagasan paling menantang dan menarik dalam literatur hukum Indonesia saat ini. Betapa tidak. Hukum progresif secara berani menggugat keberadaan hukum modern yang dianggap telah mapan. Pesona dari hukum progresif, menurut pemahaman saya, terletak pada adanya suatu tawaran alternatif dalam cara berhukum kita saat ini. Hukum progresif membongkar, dari berbagai sudut pandang, mengenai hukum yang dianggap telah mapan dan tidak tersentuh. Ketika hukum, saat ini, dianggap tidak lagi dapat menyelesaikan persoalan yang
36
Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 10 Desember 2012 di Beranda Gedung Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.
73
dihadapi oleh bangsa Indonesia, malah semakin menambah potret buram tentang hukum di Indonesia. Dalam kesempatan kali ini, saya berusaha memberi sedikit ulasan tentang pemikiran yang terkandung dalam buku Prof Tjip, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia ini. Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final, melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Sebab, manusia adalah penentunya meski dalam menghadapkan manusia pada hukum akan menimbulkan pilihan-pilihan yang rumit. Oleh karenanya, hukum harus terus berkembang. Hukum secara terus menerus harus membangun dan mengubah dirinya menuju suatu tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi” (law as a process, law in the making) . Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order ) hanya bekerja melalui institusi-insititusi kenegaraan. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada hukum ideal dan menolak status quo , karena hukum progresif tidak ingin menjadikan hukum sebagai suatu teknologi yang tidak bernurani melainkan sebagai institusi yang bermoral. Hukum progresif selalu berlawanan dengan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek karena aliran tersebut hanya memandang ke dalam hukum hukum dan menyibukkan diri dengan pembahasan ke dalam hukum yang dipandang sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Sementara hal-hal yang berada di luar hukum seperti manusia, masyarakat, dan kesejahteraan ditepis oleh tradisi ini. Hukum progresif lebih
74
berbagi paham dengan legal realism dan freirechtslehre karena, menurut paham itu, hukum tidak dilihat hanya dari kacamata hukum, melainkan juga dari tujuan sosial yang hendak dicapai beserta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Hukum progresif tidak bergerak pada arah legalistikdogmatis, analitis positivistik, tetapi lebih pada arah sosiologis. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau peraturan perundang-undangan, tetapi hukum juga bisa bergerak pada arah nonformal. Hukum progresif merupakan papan penunjuk yang selalu memperingatkan bahwa hukum harus terus menerus merobohkan, mengganti, dan membebaskan hukum yang mandek karena tidak mampu melayani lingkungan yang selalu berubah. Kehidupan manusia yang selalu penuh dengan dinamika dan berubah dari waktu ke waktu tidak mungkin bisa diwadahi secara ketat ke dalam satu hukum yang dianggap selesai dan tidak boleh diubah. Memasuki Era Reformasi sejak tumbangnya Orde Baru pada 1998 tidak membuat Indonesia berhasil dalam membangun sistem hukum yang mendekati taraf ideal, malah menimbulkan kekecewaan, meski pada pemerintahan Habibie tercapai rekor produksi peraturan perundangundangan dalam masa transisi yang pendek. Saat itu, ada anggapan bahwa dengan memproduksi peraturan perundang-undangan secara massal telah dapat menyelesaikan masalah. Tetapi, fakta berbicara berbeda karena reformasi hukum bahkan tidak bergeming sesudah
75
diterbitkannya sejumlah undang-undang baru. ada kekeliruan dalam cara bangsa ini berhukum.
Saya kira,
Salah satu cara berhukum yang dirisaukan oleh hukum progresif adalah ketika hukum secara mutlak berpegangan pada kata-kata atau kalimat dalam teks hukum. Hukum adalah suatu skema dan suatu skema yang final (finite scheme ) . Hukum adalah teks dan akan tetap seperti itu sebelum diubah oleh lembaga legislatif. Cara berhukum semacam itu menjadikan hukum tidak mudah untuk mengikuti dinamika kehidupan. Memang, untuk menjadi seorang yang menjalankan hukum secara bermakna, menemui banyak halangan. Hal ini disebabkan oleh karena mengikuti apa yang tertulis dianggap sebagai cara berhukum yang benar, sedangkan menggali makna dari apa yang tertulis akan menyebabkan seorang tersebut menemui masalah yang lebih besar. Oleh karenanya, dibutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan untuk menjalankan hukum progresif, yakni keberanian. Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari status quo . Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri pelaku (aktor) hukum, yaitu keberanian. Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu tidak hanya mengedepankan aturan, tetapi juga melihatnya dari segi perilaku. Berhukum tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal. Berdasarkan pemahaman tadi, progresivitas menyangkut peran pelaku maupun sistem itu sendiri, karena hukum progresif memiliki dua ranah, yaitu sistem dan manusia. Sistem hukum tidak kunjung menjadi progresif apabila kita
76
tidak memiliki badan pembuat undang-undang yang progresif pula. Apabila produk legislatif tidak memberi peluang kepada muncul dan berperannya kekuatankekuatan progresif dalam hukum, maka sistem hukum hanya akan menjadi sumber dari ketidakprogresifan. Hukum progresif menghendaki cara berhukum yang aktif mencari dan menemukan avenues baru sehingga manfaat kehadiran hukum dalam masyarakat menjadi lebih meningkat. Oleh karenanya, hukum progresif sangat setuju dengan pikiranpikiran yang inovatif dalam hukum untuk menembus kebuntuan dan kemandekan. Hukum progresif memang muncul dari kerisauan masyarakat mengenai cara berhukum bangsa ini untuk memecahkan problem-problem besar bangsa dan negara kita. Cara-cara berhukum yang lama, yang hanya mengandalkan penerapan undang-undang, sudah waktunya ditinjau kembali. Selama ini, cara berhukum tersebut dirasa kurang mampu untuk memecahkan problem sosial. Penegakan hukum memang sudah dilakukan, tetapi belum menyelesaikan problem sosial. Suatu cara berhukum yang baru perlu dilakukan untuk menembus kemacetan. Sejak hukum progresif menyimpan banyak alternatif terhadap cara berhukum yang lama, semua inti dan pokok dari hukum progresif sendiri perlu dikeluarkan, mulai dari pengkonsepan kembali hukum, paradigma, penegakan hukum, pembuatan hukum, pendidikan hukum, dan lain-lain. Melihat dan memahami, terlebih menerapkan, hukum progresif mungkin akan membuat orang lain berpikir betapa sulitnya menerapkan hukum progresif itu. Padahal, yang kita butuhkan hanya kejujuran, empati, dan dedikasi, serta keberanian. Pertanyaannya, beranikah kita? []
77
Kredo Penegakan Hukum 37 Progresif ALFAJRIN A TITAHELUW
REFORMASI serta kritik-kritik negatif terhadap sistem dan penegakan hukum Indonesia memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan tentang apa yang akan kita lakukan untuk keluar dari situasi buruk. Tetapi, bagaimana pun, suasana keterpurukan masih menyisakan berkah, yaitu memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan perubahan secara tidak tanggung-tanggung pada akar 38 filsafatnya. Pada hakikatnya, hukum mengandung ide atau konsepkonsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak, termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial (Radbruch, 1961: 36). Hukum yang masih abstrak tersebut perlu untuk diwujudkan atau dijabarkan pada tatanan inilah yang disebut dengan penegakan hukum. Penegakan hukum adalah rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita 37
Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 29 Oktober 2012 di Beranda Auditorium Imam Bardjo, SH, Universitas Diponegoro. 38 Satjipto Raharadjo, Penegakan Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm 36.
78
yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum ke dalam masyarakat. Ketika hukum dibuat dan wajib dilaksanakan, penegakan hukum kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan. Oleh sebab itu, hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat sebagai basis dari bekerjanya hukum. Hukum berada di antara dunia nilai-nilai atau ide-ide yang bersifat abstrak dengan dengan dunia kenyataan sehari-hari. Oleh karena hukum bergerak di antara dua dunia yang berbeda, akibatnya sering terjadi ketegangan pada saat hukum diterapkan. Saat hukum yang sarat dengan nilai-nilai atau ideide hendak diwujudkan, hukum sangat terkait erat dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi dari lingkungan seperti politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di mana hukum itu diberlakukan. Misalnya saja kejadian di masa lalu ketika Undang-Undang Pornografi mendapat tantangan dan penolakan oleh warga Papua dikarenakan kondisi budaya masyarakatnya berbeda dan bertolak belakang dengan undang-undang tersebut. Dalam proses penegakan hukum, dibutuhkan sebuah organisasi yang bisa menerapkan atau mengkonkretkan hukum tersebut ke dalam masyarakat, seperti pengadilan, kepolisian, dan lain-lain. Karena pada dasarnya hukum tidak dapat dijalankan tanpa adanya sebuah organisasi yang berfungsi mewujudkan atau merealisasikan hukum di masyarakat.
79
Pembahasan penegakan hukum lebih dikhususkan pada organisasi pengadilan. Penegakan hukum mengandung supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Namun, semenjak hukum modern digunakan, pengadilan bukan lagi menjadi tempat untuk mencari keadilan (searching of justice ), tetapi malah bergeser menjadi lembaga yang berkutat pada aturan main dan prosedur. Dengan kata lain, pengadilan hanya sebagai lembaga penerapan peraturan undang-undang dan prosedur. Dalam hukum modern, lembaga peradilan telah kehilangan ruhnya sebagai house of justice . Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahkan pada tatanan substansi hukum pun dibuat secara khusus oleh lembaga khusus dan mengikuti prosedur khusus yang disebut dengan legislasi. Metode yang dipakai juga unik, yang didasarkan pada kredo “peraturan dan logika”. Jadi, wajar saja jika pengadilan sebagai organiasasi yang mewujudkan hukum yang bersifat abstrak itu dikonkretisasi dalam kehidupan nyata bergeser fungsinya menjadi lembaga penerapan peraturan perundang-undangan atau, dengan kata lain, hakim adalah corong undang-undang yang kadang dibutakan oleh kredo peraturan tadi. Menggunakan hukum modern tidak begitu saja menjamin keadilan dapat diberikan secara otomatis. Hal ini sangat tergantung pada bagaimana aparat penegak hukum “menggunakan” atau “tidak menggunakan hukum”. Walaupun aparat penegak hukum terlihat begitu sibuk bekerja siang dan malam, situasi dunia berhukum kita tidak berubah dan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Hukum tetap gagal memberikan keadilan di tengah penderitaan dan kemiskinan yang hampir melanda sebagian besar masyarakat, supremasi hukum yang didengung-dengungkan hanyalah menjadi tanda (sign ) atau simbol tanpa makna. 80
Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (language game ) yang cenderung menipu dan mengecewakan karena lebih mementingkan kaum borjuis atau kaum setan pemuja kekayaan dan kekuasaan (istilah penulis untuk koruptor), salah satunya adalah Gayus Tambunan yang bisa menonton tenis di Bali dan masih banyak lagi koruptor-koruptor lainnya yang tidur dan makan dengan nyenyak hasil merampok uang penguasa negeri ini, yaitu rakyat. Sungguh menyedihkan cara berhukum kita! Lebih memalukan lagi, korupsi sudah merajalela pada tingkatan lembaga penegak hukum yang melibatkan aktor penegak hukum, mulai dari jaksa, hakim, panitera, dan advokat, serta masyarakat pencari keadilan. Berbagai perilaku kolutif sudah menjadi ciri khas ketika orang berurusan dengan aparat penegak hukum, mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Kejahatan ini merupakan bagian kecil dari potret gelap dunia penegakan hukum kita, yang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan tumbangnya keadilan. Sehingga, muncul perkataan atau pernyataan bahwa “berikan saya jaksa dan hakim (penegak hukum) yang baik, maka dengan jaksa dan hakim baik tersebut saya akan mengubah hukum yang buruk”. Melihat realitas cara berhukum kita tadi, pada tatanan penyelesaian hukum kita membutuhkan cara berhukum yang luar biasa. Salah satu cara luar biasa yang ditawarkan oleh sang begawan hukum Indonesia, Prof Satjipto Rahardjo, untuk menghadapi kemelut dalam dunia penegakan hukum kita adalah suatu tipe penegakan hukum progresif.
81
Seyogianya hukum ditempatkan pada dimensi hakiki atau filosofinya, sehingga hukum bisa menjadikan dirinya sebagai anak yang tidak durhaka atas ibu (baca: masyarakat) yang melahirkan serta membesarkannya. Penegakan hukum progresif mengajak kita untuk melihat hukum secara komprehensif atau utuh dan tidak memakai kacamata kuda atau parsial. Penegakan hukum progresif menekankan pada dua hal, yaitu, pertama , hukum ada untuk manusia dan bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa bekerja sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya. Manusia merupakan suatu unikum, sehingga hukum tidak lagi bekerja seperti mesin otomat yang tinggal memencet tombol saja. Hukum bukan hanya urusan peraturan atau undang-undang semata, melainkan juga mengenai peranan manusia atau perilaku manusia sebagai bagian dari perwujudan hukum. Melibatkan peranan manusia adalah cara berhukum untuk keluar dari stagnasi dominan yang membabi buta kepada teks undang-undang. Kedua , hukum seyogianya tidak mempertahankan status quo . Kita tidak harus terpenjara dalam undang-undang. Jika undang-undang memiliki kontradiksi dengan pencapaian keadilan, maka pilihan mengesampingkan undang-undang bisa dilakukan demi menciptakan keadilan hukum dalam masyarakat. Karena sesungguhnya semua teks tertulis membutuhkan penafsiran, menjadi keliru jika mengatakan hukum atau undang-undang itu sudah jelas. Undangundang cacat sejak lahir karena undang-undang memiliki banyak kelemahan terutama masalah penggunaan bahasa. Bahasa tulisan tidak bisa mengakomodiasi semua gagasan, ide, cita hukum yang murni dalam masyarakat, yang sering disebut oleh Prof Satjipto Rahardjo sebagai makna yang tercecer.
82
Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekadar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter ), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning ) dari undangundang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan. Ide penegakan hukum progesif bukan muncul sebagai sekadar latah yang diakibatkan kegemasan intelektual untuk menjawab hiruk pikuk kemelut dunia berhukum kita yang buta serta tuli dengan perasaan penguasa negara ini, yaitu rakyat, melainkan ide penegakan hukum progresif lahir dari refleksi intelektual yang cukup panjang. Pembahasan penegakan hukum progresif tadi merupakan salah satu rekam jejak refleksi intelektual yang menjadi titik awal kenapa penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif. Tibalah kita pada sebuah kesimpulan bahwa “Kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undangundang“. Teruskan semangat penegakan hukum progresif untuk kemaslahatan bangsa tercinta dan kebahagiaan masyarakat. Salam Merah-Putih! []
83
Bab III Sesudah
84
Dinamika Hukum dalam Mengikuti 39 Perubahan Sosial RIAN ADHIVIRA
HUKUM tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat, begitulah yang saya tangkap ketika membaca Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis serta PengalamanPengalaman-pengal pengalaman aman di Indonesia Indonesia . Dalam menjelaskan peruba perubahan han yang yang terjadi terjadi,, Satjipt Satjipto o Rahard Rahardjo, jo, sang sang begawan begawan,, men me nggun gguna akan kan keran erangk gka a berp berpik ikiir Pars Parson onsi sian an,, di mana mana tindakan menurut Parsons dapat diuraikan dalam beberapa subsistem yang masing-masing subsistem tersebut memiliki fungsi pokoknya.
39
Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia , (Yogyakarta: Genta Genta Publishing, Publishing, 2009), ini disampaikan disampaikan pada jagongan rutin Kaum Tjipian pada 26 November 2012 di Beranda Auditorium Imam Bardjo, SH, Universitas Diponegoro.
85
Terdapat hubun bungan gan di anta ntara keempa mpat subsistem tem tersebut dengan fungsinya masing-masing, yaitu hubungan antara tingkat informasi di mana subsistem sosial memiliki tingkat yang paling tinggi, dan tingkat energi yang dimiliki oleh oleh organisme organisme kelakua kelakuan n yang yang disebu disebutt sebagai sebagai hu hubun bungan gan 40 sibernetika. Jadi, satu subsistem bersifat dependen karena terpengaruh oleh subsistem-subsistem lainya. Sebagaimana telah kita ita meng engerti bersama, ma, hukum dalam ker kerangka berp berpik ikir ir Pars Parson onss me menu nuru rutt Satj Satjip ipto to Rah Rahardj ardjo o terle erleta tak k di tengah-tengah proses keluaran dan masukan yang berasal 41 dari subsistem-subsistem tersebut. Deng Dengan an demi demiki kian an,, hu huku kum, m, sebag sebagai aima mana na disa disamp mpaik aikan an pula pula pada pada kese kesemp mpat atan an lain lain oleh oleh Satji Satjipt pto o Raha Rahard rdjo jo dalam dalam Ilmu Hukum , adalah bidang ilmu yang senantiasa 42 terp terpeng engar aruh uh oleh oleh bidan bidang g keil keilmu muan an lain lain,, in inter terde depen penden den.. Kare Karena na hu huku kum m tida tidak k bisa bisa dipi dipisa sahk hkan an dari dari kond kondis isii fakt faktua uall yang hendak diaturnya, hukum tidak dapat dilepaskan pula 40
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm 25. 41 Ibid ., ., hlm 27. Lihat lebih jauh pada hlm 28-29. Masukan di bidang ekonomi adalah bagaimana penyelesaian sengketa itu dilihat sebagai suatu proses untuk mempertahankan kerjasama yang produktif dan menghasilkan keluaran berupa pengorganisasian atau penstrukturan masyarakat. Pada bidang politik, masukan dan keluarannya adalah petunjuk tentang apa dan bagaimana menjalankan fungsinya berupa proses politik. Masukan bidang budaya adalah adanya sosialisasi untuk menerima kehadiran institusi-institusi hukum yang keluarannya berupa keadilan. 42 “lmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner di mana berbagai disiplin ilmu pengetahuan diperlukan untuk membantu menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di masyarakat.” Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm 7.
86
dari perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, di mana dalam perubahan sosial tersebut menimbulkan pula permasalahan-permasalahan sosial. Terdapat beberapa aspek perubahan sosial yang berhubungan pula dengan perubahan hukum, antara lain pendudukan, habitat fisik, teknologi, dan struktur masyarakat dan kebudayaan. Rasanya, ketiga perubahan sosial yang disebutkan di awal tidak perlu dijelaskan lagi. Yang menarik untuk dibicarakan adalah struktur masyarakat dan kebudayaan. Dalam masyarakat dan struktur kebudayaan terjadi diferensiasi, yang mengurai masyarakat pada bidang spesialisasi masing-masing. Perkembangan masyarakat menjadi kompleks ketika diferensiasi ke dalam komponen-komponen yang baru tersebut menimbulkan daya adaptasi yang lebih besar dibandingkan dengan kemampuan dari komponen-komponen yang digantikannya dalam menjalankan fungsi-fungsi primernya. Berarti yang harus dilakukan di sini adalah bagaimana menyatukan kembali komponen-komponen baru tersebut dalam rangka mempertahankan stabilitas sosial. Di sinilah diperlukan adanya hukum formal, terlebih dengan adanya alat tukar universal, yaitu uang. Satjipto Rahardjo menambahkan, masyarakat pada negara berkembang mengalami perubahan yang kurang sempurna yang disebut sebagai masyarakat prismatik, yang sudah mulai bergerak meninggalkan struktur asli yang menyatu, namun belum sampai kepada struktur masyarakat yang terpecah secara baik. Artinya, fungsi-fungsi primer belum memperoleh
87
otonominya ataupun 43 sempurma.
diferensiasi
internalnya
secara
Lalu, bagaimana dengan posisi hukum dalam menghadapi perubahan sosial tersebut? Mengharapkan perubahan pada hukum tertulis akan memakan waktu dan proses politik yang lama dibandingkan dengan kenyataan faktual yang terus berubah. Perubahan hukum dituntut untuk hadir apabila kesenjangan antara perubahan sosial dan peraturan tertulis mencapai suatu titik tertentu yang menimbukan kebutuhan mendesak. Karena apabila kesenjangan tersebut dibiarkan, jarak yang ada antara hukum dan kenyataan faktual membuat hukum tertulis menjadi tidak berfungsi. Mengingat fungsinya sebagai sarana pengintegrasi, sebenarnya ada fungsi lain yang melekat pada hukum selain sebagai sarana kontrol sosial, yaitu hukum sebagai sarana konstruksi sosial (social engineering ). Hukum sebagai sarana konstruksi sosial berarti selain menjadi alat untuk meredam konflik, juga merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki. Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai hal tersebut, pembicaraan mengenai perubahan hukum menurut Satjipto Rahardjo akan berkaitan dengan perbincangan seputar lembaga pembentuk perundang44 undangan dan lembaga peradilan. Di antara kedua lembaga tersebut, dalam menghadapi perubahan sosial, Satjipto Rahardjo menaruh harapannya pada lembaga 45 peradilan. Dibandingkan dengan lembaga pembentuk 43
Satjipto Rahardjo, op. cit ., hlm 49. Ibid ., hlm 57. 45 “Berhadapan dengan keadaan tersebut, maka memang beralasan kiranya untuk berpendapat, perubahan hukum yang timbul sebagai jawaban terhadap tuntutan perubahan sosial itu relatif lebih lancar apabila terjadi melalui pengadilan.” Ibid ., hlm 59. 44
88
perundangan (legislatif) yang memakan waktu lebih lama dan proses politik yang panjang, lembaga peradilan dapat menyesuaikan perubahan sosial dengan hukum yang ada tanpa mengubahnya dengan melakukan penafsiran atasnya yang kemudian terjawantahkan dalam bentuk putusan atau yurisprudensi.
Dua Aspek Hukum Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya, menurut Satjipto Rahardjo, terdapat dua aspek hukum, yaitu sebagai sarana kontrol sosial dan konstruksi sosial. Hukum sebagai sarana kontrol sosial memiliki fungsi sebagai, pertama , pembuat norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dan orang. Kedua , penyelesaian sengketa. Ketiga , menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal 46 terjadi perubahan-perubahan. Mengingat kembali kerangka Parsons, maka kita tidak dapat lagi melihat hukum secara otonom saja. Dalam konteks bagaimana hukum berhadapan dengan perubahan-perubahan yang ada, maka bukan lagi bagaimana mempengaruhi tingkah laku orang agar sesuai dengan harapan masyarakat dalam keadaan sekarang ini, melainkan menyangkut masalah perubahan47 perubahan yang dikehendaki. Yang demikian itu adalah hukum sebagai sarana konstruksi sosial. Hukum sebagai sarana kontrol sosial lebih menitikberatkan pada pengaturan tingkah laku masyarakat, yaitu sekadar mempertahankan pola-pola hubungan yang ada pada masa sekarang. Meski demikian, hukum sebagai sarana kontrol sosial juga turut pula berperan dalam
46
Ibid ., hlm 111. 47 Ibid ., hlm 112.
89
perubahan sosial yang terjadi, yaitu dengan penentuan perilaku-perilaku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki oleh lembaga legislatif yang berujung pada peraturan dan penggunaannya berupa putusan pengadilan. Di sisi lain, hukum sebagai sarana konstruksi sosial adalah hukum yang secara sadar digunakan untuk mencapai suatu keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau 48 untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Menurut Hart, terdapat dua sistem hukum, yaitu, pertama , adalah primary rules of obligations, yang menyandarkan dirinya pada peraturan moral sehingga mengandung beberapa kelemahan. Yang kedua adalah secondary rules of obligations. Di sini, Hart memandang bahwa secondary rules ini lebih dapat memberi kemanfaatan sebagai hukum modern dibandingkan dengan primary rules . Menurut Satjipto Rahardjo, fungsi hukum sudah mengalami pergeseran untuk menjadi lebih aktif yang tidak merupakan 49 suatu perkembangan yang berdiri sendiri. Maka, mengingat kurun waktu kemerdekaan Indonesia sampai dengan saat ini, dapat dikatakan bahwa telah terjadi 50 pergeseran hukum melalui kurun waktu tersebut.
48
Ibid ., hlm 129. Ibid ., hlm 131. 50 Di sini, Satjipto Rahardjo menyadur Roscoe Pound mengenai enam kriteria yang harus diamati sebagai sosiologi hukum antara lain (1) mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaranajaran hukum; (2) melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan peraturan perundangan [...] dengan turut pula mempertimbangkan efek yang ditimbulkan; (3) melakukan studi tetntang bagaimana membuat peraturan-peraturan hukum menjadi efektif (4); memperhatikan sejarah hukum; (5) penyelesaian individual; (6) segala tuntutan sebelumnya merupakan arena untuk mencapai suatu tujuan, yaitu tentang bagaimana mengusahakan secara lebih efektif agar tercapai tujuan-tujuan hukum itu. Ibid ., hlm 135. 49
90
Jadi, pandangan hukum sebagai sarana konstruksi sosial memandang hukum sebagai sarana untuk menimbulkan akibat tertentu yang dikehendaki. Namun, tentu saja tujuan tersebut tidak dapat dicapai semata dari segi peraturan perundangan, melainkan pula mencakup pula aktivitas birokrasi pelaksanaannya. Contoh yang diberikan dalam buku ini mengenai hukum sebagai sarana konstruksi sosial adalah pada Undang-Undang Dasar 1945 yang selain berfungsi sebagai dasar negara juga merupakan tiang pancang tujuan yang hendak dicapai. Selain itu, contoh lain yang diberikan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang hendak menghilangkan corak kepemilikan tanah sebelumnya agar kebih sesuai dengan perkembangan zaman.
Modernisasi dan Pembangunan Hukum Sebagaimana disinggung di awal, kerangka berpikir Parsonsian dalam menjelaskan perihal perubahan sosial menjelaskan bahwa perubahan sosial diiringi pula dengan diferensiasi di mana struktur-struktur masyarakat menjadi semakin mengkhususkan diri membentuk unit-unit khusus. Modernisasi Indonesia tidak berasal dari dalam, melainkan berawal dari sentuhan dengan pihak luar, yaitu saat terjadinya kolonialisasi di mana budaya asli berhadapan 51 dengan pendatang. Pada masa itu, dengan proses liberalisasi, turut memberikan dampaknya pada kehidupan Indonesia, yaitu melalui perdagangan dan industrialisasi yang pada awalnya lebih banyak dipegang oleh masyarakat etnis Tionghoa. Keadaan berubah ketika Indonesia memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945. Proses 51
Ibid ., hlm 185.
91
perubahan yang tadinya berasal dari luar kini berasal dari dalam, termasuk perihal pembangunan hukum. Pembangunan hukum menurut Satjipto Rahardjo mengandung makna ganda. Pertama , dia diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbarui hukum positif. Sementara, kedua , pada sisi lain dapat pula diartikan sebagai suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan turut mengadakan perubahanperubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh masyarakat 52 yang sedang membangun. Dalam pembangunan hukum tersebut, hal yang tidak dapat dihindarkan adalah bahan dasar dari pembangunan tersebut, di mana nilai-nilai Indonesia asli berhadapan dengan nilai-nilai modern. Maka, terdapat sebuah hubungan di mana sistem hukum dan perubahan sosial adalah dua hal yang saling memengaruhi. Ada hal paradoksal yang dapat diangkat di sini. Pada satu sisi, hukum adat menurut Satjipto Rahardjo memiliki kelemahan dalam penggunaannya untuk mencapai tujuantujuan pembangunan dan modernisasi. Namun, di sisi lain, mengingat perubahan sosial yang terjadi karena modernisasi dan pembangunan yang melahirkan masyarakat plural, pada hukum positif yang berlaku bisa jadi tidak diakui karena tidak sesuai dengan nilai-nilai asli. Mengingat semakin sebuah peraturan terinstitusionalisasi, semakin jauh pula jaraknya dari kenyataan masyarakat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengatasi permasalahan tersebut? Satjipto Rahardjo mencontohkan kondisi masyarakat negara berkembang di Afrika yang terpecah menjadi tiga bagian: traditional societies , traditional-modernized , dan wholly modernized. Pada masyarakat Afrika tersebut terjadi suatu proses adaptif, 52
Ibid ., hlm 203.
92
di mana norma-norma dan lembaga-lembaga adat ternyata dapat melayani kebutuhan akan modernisasi dan 53 pembangunan. Maka, dalam konsep pembangunan hukum, terdapat beberapa unsur yang harus diperhatikan, antara lain:
pembuatan peraturan; penyampaian isi peraturan; kesiapan para pelaksana hukum untuk menjalankan peranannya; kesiapan warga negara untuk berbuat sesuai dengan peranan yang diharapkan darinya; pengamatan mengenai bekerjanya hukum dalam masyarakat sehari-harinya.
Dengan menggunakan teori-teori sosial, Satjipto Rahardjo dalam Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia , menggambarkan bagaimana keterkaitan antara hukum dan hal yang hendak diaturnya, yang tidak dapat dipisahkan. Demikianlah, maka giliran kita sekarang untuk meneruskan semangat beliau. Suatu tugas yang berat. []
53
Ibid ., hlm 210.
93
Mendudukkan Undang-Undang 54 Dasar? NINDI ACHID ARIFKI
BAGAIKAN sayur tanpa garam, itulah salah satu lirik dari penyanyi Inul Daratista yang dulu sempat menjadi tren pecinta lagu dangdut di Indonesia. Ungkapan tersebut setidaknya cocok untuk menjelaskan fungsi undang-undang dasar dengan tujuan dan cita bangsa. Undang-undang dasar merupakan suatu tipe perundang-undangan yang khas, yang sifatnya umum, sehingga mempunyai konsep yang lebih luas dibandingkan dengan peraturan perundangundangan yang lain. Konsep ini berada dalam konteks hukum dan masyarakatnya, sehingga tidak lagi dibatasi sebagai urusan peraturan semata. Berdasarkan pemikiran tersebut, undang-undang dasar dalam kedudukannya sebagai dasar dari peraturan perundang-undangan yang ada merupakan konstitusi yang mengekspresikan sejarah dan cita-cita bangsa. Sejarah pembentukan undang-undang dasar ini diawali dengan adanya pembentukan komunitas politik oleh
54
Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Mendudukkan UndangUndang Dasar: Suatu Pembahasan dari Optik Ilmu Hukum Umum , (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007), ini disampaikan pada jagongan rutin Kaum Tjipian pada 12 November 2012 di Beranda Auditorium Imam Bardjo, SH, Universitas Diponegoro.
94
55
manusia dalam suatu wilayah tertentu. Yang dimaksud di sini bukan hanya hadir secara fisik melainkan ada secara bersama-sama. Komunitas manusia ini tidak hanya menata diri sendiri dari kelompoknya melainkan berinteraksi dengan komunitas di luar kelompok tersebut. Komunitas politik yang besar bisa disebut suatu negara. Negara modern, dalam hal ini, merupakan bangunan manusia dan politik dengan batas-batas yang jelas serta mempunyai warga negara yang jelas pula, sehingga melahirkan apa yang disebut kedaulatan. Seperti halnya Indonesia, bertolak dari masa pelepasan penjajahan, Indonesia lahir sebagai bangsa baru di mana dalam melakukan pembentukan bangunan manusia dan bangunan politiknya pertama tersebut menghasilkan Proklamasi dan Undang-Undang Dasar, di mana undang-undang dasar tersebut adalah dokumen yang menentukan arah dan citacita suatu bangsa.
Kedudukan Undang-Undang Dasar Undang-undang dasar merupakan konstitusi yang bersifat sakral, yang mempunyai nilai-nilai sejarah sampai persoalan cita-cita bangsa. Hal ini yang menjadikan undangundang dasar sebagai sesuatu yang masih dipertahankan kesakralannya karena ikatan emosional yang ada, meskipun sekarang adalah era modern, di mana hal-hal semacam irasional dan sakral mulai bergeser keberadaannya. Begitu pun yang terjadi pada konstitusi Indonesia yang berbentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
55
Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar: Suatu Pembahasan dari Optik Ilmu Hukum Umum (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007), hlm 9.
95
Hal yang terus dipertahankan adalah mengenai makna dari undang-undang tersebut, dilihat dari nilai historis dan tujuan dari undang-undang dasar, sehingga akan terasa khidmat bila kita mengerti apa yang terpenting dari makna sebuah undang-undang dasar tersebut. Tidak hanya di Indonesia, banyak negara yang mengangkat masalah latar belakang historis mereka, sampai cita-cita bangsa tertuang dalam sebuah konstitusi. Dengan demikian, dapat dimengerti fungsi konstitusi itu sendiri adalah untuk 56 mengutuhkan kembali bangunan hukum suatu bangsa. Undang-undang dasar merupakan suatu perjanjian khidmat yang dibuat oleh bangsa Indonesia, sehingga ia lebih merupakan dokumen rohani 57 daripada teks hukum. Hal ini dikarenakan sifatnya yang bersifat umum. Hans Kelsen menyebutkan bahwa semakin tinggi posisi dalam orde normatif akan semakin kaya akan kandungan moral atau asasasas umum dan semakin rendah posisi itu menjadi semakin konkret 58 dan makin tipis kandungannya. Teori Hans Kelsen ini dikenal dengan teori stufenbau , yaitu teori mengenai hierarki dari peraturan perundangundangan. Teori stufenbau menyebut mengenai norma dasar dari suatu sistem hukum. Menurut Hans Kelsen, sistem norma yang disebut sebagai tata hukum adalah suatu sistem
56
Ibid ., hlm 31. Ibid ., hlm 34. 58 Ibid ., hlm 35. 57
96
yang dinamis. Dalam hal ini, validitas norma hukum tidak karena dirinya sendiri atau karena norma dasar memilikinya dan, dengan demikian, memiliki kekuatan mengikat dengan 59 sendirinya. A norm is a valid legal norm by virtue of the fact that it has been created according to a definite rule and 60 by virtue theoreof only. Sehingga, dalam hal ini, norma dasar merupakan suatu tata aturan hukum yang digunakan sebagai norma pada tahap menerima atau kehilangan suatu validitas. Dalam konteks hukum di Indonesia, norma dasar dimaksud adalah UUD 1945, yang merupakan suatu aturan yang bersifat superior. UUD 1945 merupakan landasan utama dalam sistem hukum terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. UUD 1945 bersifat sebagai norma superior karena ia menentukan pembuatan norma yang lain, sementara peraturan di bawahnya merupakan norma inferior. Kaitan antara norma superior dan inferior merupakan titik dasar dari sistem hierarki pada teori stufenbau dari Hans Kelsen. Hans Kelsen menyebutkan bahwa “the relation between the norm regulating the creation of another norm and this other norm may be presented as a relationship of super- and sub-ordination, which a spatial figure of speech. The norm determining the creation of and other norm is the superior, the norm created 61 according to this regulation, the inferior norm.” Mengenai hierarki tersebut, Hans Kelsen membagi ke dalam dua bentuk, yaitu Grundnorm dan Norm . Grundnorm lebih diarahkan kepada Staatsfundamentalnorm , sedangkan 59
Jimly Asshiddiqie dan M Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI 2006), hlm 96. 60 Ibid ., hlm 113. 61 Ibid., hlm 124.
97
Norm meliputi Staatsgrundgesetz , Fornelle Gesetz , Verordnung , dan Autonome Satzung, seperti yang dikemukakan oleh muridnya, Hans Nawiasky. Jika dihubungkan dengan hierarki peraturan perundangundangan menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, jenis dan hierarki peraturan perundangundangan terdiri atas (a) UUD 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Jika bentuk hierarki ini dihubungkan dengan teori stufenbau , dapat dilihat seperti pada bagan sebagai berikut.
Menurut Hans Kelsen, norma dasar adalah norma yang menjadi sumber utama dan pengikat di antara semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tatanan
98
62
norma. Sehingga, undang-undang dasar merupakan norma dasar yang berupa konstitusi formal yang merupakan suatu dokumen resmi. Yang dimaksud dokumen resmi di sini adalah seperangkat norma hukum yang dapat diubah di bawah pengawasan ketentuan khusus, yang tujuannya adalah untuk membentuk norma-norma hukum yang bersifat umum. Prof Satjipto Rahardjo dalam bukunya, Mendudukkan Undang-Undang Dasar , menyebutkan bahwa reduksi dari sebuah norma dasar akan mengalami sebuah perubahan yang sangat besar, yang mendegradasikan suatu ide menjadi semata-mata bentuk. Kaitannya dengan hukum modern adalah bahwa undang-undang dasar lebih diarahkan dalam bentuk hukum positif dan kehilangan isinya sebagai sesuatu yang bernilai, seperti moral dan 63 kebenaran.
Konstitusi dan Perwujudan Moral Buku Mendudukkan Undang-Undang Dasar ini menyebutkan mengenai tujuan hukum adalah untuk 64 manusia, sehingga yang menjadi objek permasalahan adalah manusianya, bukan hukum atau peraturannya. Sehingga pada hakikatnya kita memakanai hukum adalah dengan menempatkan manusia pada titik pusat permasalahannya. Ini dimaksudkan agar manusia terlindungi harkat dan martabatnya sebagai manusia, sehingga tidak terjadi reduksi dalam penggunaan skema hukum. Melihat keadaan tersebut, Prof Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa sebaiknya hukum, undang-undang dasar, dan 62
Hans Kelsen,General Theory of Law and State (Massachusetts: Harvard University Press, 1949) hlm 159. 63 Satjipto Rahardjo, op. cit .., hlm 47. 64 Ibid ., hlm 36.
99
konstitusi dimaknai sebagai suatu dokumen antropologi, karena begitu dalam dan luas dalam menyentuh kehidupan 65 manusia. Membaca undang-undang tidak hanya sekedar membaca teksnya, dalam arti mengeja undang-undang. Diartikan bahwa membaca undang-undang haruslah ditekankan pada pendalaman maknanya. Undang-undang dasar berisikan tentang hal-hal atau asas-asas umum 66 (general principle ), sehingga dalam membaca undangundang tidak seperti membaca suatu dokumen moral, yang menurut Prof Satjipto, dokumen moral cenderung bersifat 67 konkret, eksperimental dan kuantitatif. Sehingga, jika terjadi demikian, pemaknaan undang-undang dasar menjadi dangkal. Hukum hidup di masyarakat, setiap ada kehidupan manusia hukum itu ada (ubi societas ibi ius ), sehingga keberadaan hukum sifatnya abadi. Tetapi, ketika hal yang terkandung dalam kehidupan tersebut diwujudkan dalam 68 sebuah hukum tertulis, ia menjadi tidak abadi lagi. Karena ketika hukum berbentuk tertulis, keadaan yang ada hanyalah bersifat abstrak, tidak dapat sesuai dengan nilai dasar dan ideal yang ada di masyarakat yang sifatnya dimungkinkan terjadi perubahan pada tatanan sosialnya, seperti yang dikatakan Lon Fuller bahwa salah satu kegagalan membuat hukum adalah apabila peraturan itu sering diubah-ubah, 69 sehingga “the subject can not orient his action by them.” Sehingga permasalahannya lebih ditekankan kepada eksistensi hukum dalam keberadaannya mengatur bangsa 65
Ibid ., hlm 40. 66 Ibid ., hlm 42. 67 Ibid ., hlm 42. 68 Ibid ., hlm 43. 69 Ibid ., hlm 45.
100
dan negara. Undang-undang dasar adalah hukum yang mengatur eksistensi bangsa dan negara untuk tetap hadir selama-lamanya, sehingga tidak mudah untuk 70 mengubahnya. Undang-undang, dalam keberadaannya, merupakan hasil dari produk legislasi. Menurut Trubeck, sejak hukum menjadi produk legislatif, maka ia tergolong ke dalam hasil dari suatu pekerjaan yang dilakukan dengan sengaja 71 (purposive human action ). Hukum dalam keberadaannya telah mulai bergeser dari suatu ide menjadi suatu bentuk, sehingga dalam memaknai hukum sekarang ini hanyalah terfokus pada sebuah bentuk semata, sehingga akan kehilangan makna nilai yang terkandung di dalamnya, seperti nilai keadilan dan moral. Hukum tidak lagi diartikan sebagai bentuk nilai yang bertujuan untuk keadilan, melainkan diartikan sebagai bentuk format, prosedur, dan pasal-pasal dalam undang-undang, sehingga makna hukum yang sebenarnya telah tereduksi dalam sebuah bentuk semata-mata, dan terjadi amputasi pada pemaknaan hukum tersebut. Berangkat dari hal tersebut, hukum sekarang ini tidaklah utuh keberadaannya, bentuknya sudah terkotak-kotak, yang sering dalam penyebutannya adalah perundang-undangan 72 yang terkotak-kotak dan mempunyai logikanya sendiri. Pemaknaan hukum yang terkotak-kotak tersebut menjadikan hukum cenderung memisahkan diri satu dengan yang lainnya. Ketika keutuhan hukum menjadi hilang atau setidaknya tereduksi pemaknaannya, tujuan hukum yang sebenarnya pun tidak akan tercapai.
70
Ibid ., hlm 46. Ibid ., hlm 47. 72 Ibid ., hlm 50. 71
101
Prof Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum yang semula utuh dalam kepala pembuat hukum hilang keutuhannya menjadi teks undang-undang. Teks undangundang ini hanyalah skeleton atau skema belaka dari sesuatu yang pada awalnya utuh, sehingga dalam hal ini seharusnya mengusahakan seperti yang disinggung Tamanaha “the jurisprudence ” menjadi “a general 73 jurisprudence of law and society ”. Di atas telah dikatakan bahwa undang-undang dasar merupakan general jurisprudence , sehingga dapat diartikan berfungsi sebagai pemersatu peraturan perundangundangan yang terpisah-pisah atau terkotak-kotak tadi. Dalam hal ini, asas-asas umum yang lebih ditekankan bukan konkret pada memuat aturan suatu permasalahan, sehingga kualitasnya disebut Prof Satjipto Rahadjo sebagai teks moral. Mengacu pada undang-undang dasar sebagai asas umum, hendaknya peraturan perundang-undangan yang lain lebih berperspektif ke arah undang-undang dasar ini. Sehingga, kedudukan undang-undang dasar sangat sentral dan strategis, baik bagi pembuatan hukum maupun 74 pelaksanaannya. Dalam hal keberadaannya, undang-undang dasar merupakan tipe undang-undang yang memuat kaidah serta arah kepada produk-produk legislatif yang ada. Tetapi, sekalipun dikehendaki bahwa undang-undang dasar seharusnya dirumuskan kepada bahasa asas, kaidah, atau 75 moralitas, tetapi tidak selalu mudah berbuat seperti itu.
73
Ibid ., hlm 54. Ibid ., hlm 61. 75 Ibid ., hlm 65. 74
102
Melihat kenyataan tersebut, ada sedikit asumsi yang menyatakan bahwa undang-undang dasar dalam keberadaannya sebagai suatu asas dan kaidah, merupakan pandangan yang spesifik bersifat filsafat pada sebuah negara. Meskipun disebutkan bahwa hukum tertulis tidak abadi keberadaannya, diharapkan undang-undang dasar lebih lama bertahan dibandingkan peraturan perundangundangan yang lain, karena sifat kaidah yang dikandungnya itu. Prof Satjipto Rahardjo menyinggung amendemen konstitusi Amerika Serikat. Bahwa amendemen tersebut dituangkan dalam bahasa yang khas, yaitu bahasa asas, sehingga lebih difungsikan sebagai penutup kekurangan pada undang-undang dasar, dan nantinya tidak memorosotkan kualitas undang-undang dasar menjadi peraturan biasa. Selain itu, disinggung juga mengenai tesis Ronald Dworkin. Pendapat Dworkin lebih menekankan pada pembacaan konstitusi sebagai pembacaan terhadap asas atau moralitas politik, sehingga Dworkin sering terjatuh pada apa yang namanya interpretasi. Dikarenakan, moralitas politik yang dijadikan rujukan itu bukan sesuatu yang jelas dan intinya tidak pasti serta penuh dengan hal-hal yang kontroversial karena merujuk pada kaidah moral yang abstrak. Tetapi, Dworkin telah melakukan pembelajaran yang baik tentang bagaimana konstitusi mampu menjalankan fungsinya untuk memberikan panduan. Dalam pembentukan konstitusi saat ini terjadi sindrom struktur dan organisasi, sehingga sejarah kehidupan manusia memasuki era formalisme. Undang-undang dasar pun dianggap sebagai dokumen dasar yang menggerakkan kehidupan bernegara dalam hal strukturasi konstitusi.
103
Namun, sekarang ini terdapat kelemahan dalam karakteristik undang-undang dasar yang demikian itu, yang menyebabkan batas antara undang-undang dasar dan undang-undang biasa menjadi kabur. []
104
Pendidikan Hukum sebagai 76 Pendidikan Manusia RAHMAD SYAHRONI RAMBE
Membangun Fakultas Hukum sebagai Kekuatan Sosial Fakultas hukum adalah lembaga pembelajaran hukum tingkat universiter. Dalam lembaga tersebut, berhimpun tenaga-tenaga yang berijazah sarjana hukum yang disebut 77 sebagai dosen. Beberapa dekade terakhir, Indonesia menghadapi banyak persoalan besar, bahkan mendasar. Tetapi respons Fakultas Hukum belum terasa memadai. Fakultas hukum juga belum tampil sebagai suatu kekuatan sosial, waktu bangsa diterpa badai korupsi. Padahal, orang sudah mulai bicara mengenai adanya suatu keadaan darurat. Fakultas hukum belum tampil dengan mengatakan, “Di sinilah saya, saya berdiri di sini, dan saya akan turut aktif 78 memberikan gagasan pemberantasan korupsi.” Urusan Indonesia tidak dapat hanya diserahkan kepada pemerintah, partai-partai politik, dan kekuatan sosial lainnya 76
Karangan, yang merupakan ringkasan dari buku Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 7 Januari 2013 di Warung Burjo, Pleburan, Semarang. 77 Satjipto Rahardjo, Pendidikan hukum sebagai Pendidikan Manusia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm 1. 78 Ibid., hlm 4.
105
dalam masyarakat. Dunia akademis juga perlu merebut tempat dan menampilkan diri sebagai suatu kekuatan sosial yang juga merasa memiliki saham untuk membantu secara aktif agar Indonesia keluar dari kesulitan dan keterpurukannya. Akademisi perlu membangun kepercayaan diri karena akademisi adalah suatu komunitas dan suatu kekuatan sosial yang tidak boleh diabaikan. Untuk itu, akademisi perlu secara aktif menyampaikan kontribusi, dimulai dengan kepedulian terhadap permasalahan bangsa, 79 khususnya di bidang hukum dan sosial.
Hukum dan Pendidikan Hukum dalam Masa Pembangunan Pendidikan hukum sebaiknya secara sistematis dibicarakan dalam konteks sosialnya. Pendidikan hukum sebagai konteks sosial memberikan isyarat bahwa sifatnya terbuka untuk menampung dan memantau perkembangan yang berlangsung dalam masyarakat. Dalam suasana perubahan sosial, bidang yang pertama sekali terkena imbasnya adalah hukum. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, sehingga karakteristik yang menonjol dari manajemen berdasarkan hukum adalah selalu berusaha untuk mencari landasan keabsahan suatu tindakan pada hukum yang berlaku. Manajemen tersebut mempunyai ciri prosedural yang sangat kuat. Tolok ukur yang dikenakan kepada suatu tindakan adalah apakah tindakan itu mempunyai dasar peraturan yang jelas. Dasar hukum lebih luas dari dasar peraturan, dan dasar peraturan termasuk ke 80 dalam dasar hukum.
79
Ibid., hlm 5-6. 80 Ibid ., hal. 7-8.
106
Apabila dikaitkan dengan pembangunan, pembangunan membutuhkan kebebasan yang lebih besar daripada yang diberikan oleh hukum yang lebih bersifat mengikat. Sekalipun Indonesia berdasarkan hukum, sifat otonominya mengalami pertukaran dengan kekuatan-kekuatan di luar hukum, di mana sifat otonominya mengalami pertukaran yang tinggi antara hukum dan kekuasaan. Hukum menonjolkan ciri instrumentalnya karena hukum menjadi saluran untuk menjalankan keputusan-keputusan politik yang diambil. Hukum sebagai sarana rekayasa sosial 81 merupakan contoh yang baik mengenai hal tersebut. Sistem hukum mempunyai strukturnya sendiri yang dibangun dari asas, konsep, keterpaduan antarunsur, bidang, dan bagian, dan sebagai kekuatan yang membentuk bangunannya adalah prinsip konsistensi logis. Terdapat dua kategori yang termasuk dalam pembangunan hukum, yakni, pertama , sebagai upaya menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban. Kedua , untuk memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasilhasilnya. Mengkaitkan secara sistematik hukum kepada pembangunan merupakan cara pendekatan terhadap hukum secara antardisiplin. Dalam hubungannya, muncul pengertian sarjana hukum sebagai “arsitek sosial”, yang menunjuk kepada peranannya, baik sebagai pengendali maupun perekayasa masyarakat pada umumnya dan pembangunan pada khusunya. Fungsi pengendalian sosial menunjuk kepada keadaan yang bersifat statis, yaitu 81
Ibid ., hlm 9.
107
mempertahan mempertahankan kan struktur struktur tertentu dalam masyarakat. masyarakat. Di sini hukum kum me men njalan alanka kan n fungsi ngsi pel pelayan ayana an, yang ang me memb mber erii kera kerang ngka ka hu huku kum m terh terhad adap ap pros proses es yang yang suda sudah h me memi mili liki ki 82 bentuk bentuk yang sedikit banyak sudah mapan.
Masy asyara arakat kat dan dan pemb pemba angun gunan adala dalah h pen pengert gertia ian n abstrak. Oleh karena itu, apabila hukum ingin masuk serta melibatkan diri secara aktif ke dalam pembangunan, maka kedu kedua a penger pengerti tian an itu haru haruss diko dikonk nkret retkan kan.. Peran Peranan an hu hukum kum dalam pembangunan berkaitan dengan kemampuan hukum dalam me men nangani ani permasa masallahan dalam masyarak rakat. at. Pemikiran tentang hukum dalam pembangunan dituangkan dala dalam m bebe bebera rapa pa hal hal pokok pokok,, yakn yaknii sifat sifat kons konsept eptua ual,l, secar secara a sistematis berorientasi kepada masa depan, kajiannya tidak hany hanya a norma ormati tif, f, teta tetapi pi in inte terd rdis isip ipli line ner, r, dan dan stud studii hukum ukum merupakan kajian yang ter terbuka dan peka terha rhadap 83 perubahan.
Pendidikan Pendidikan Hukum Indonesia Peme Pemeri rint ntah ah kolo koloni nial al Be Bela land nda a tergo tergolo long ng lamb lambat at dala dalam m memban membangun gun institu institusi si pendidik pendidikan an meneng menengah ah dan tinggi tinggi di Indon Indonesi esia. a. Dari Dari sekita sekitarr 300 tahun tahun penjaj penjajah ahann annya ya terhad terhadap ap Indonesia, hanya lebih kurang 25 tahun terakhir digunakan untuk membangun pendidikan menengah dan tinggi. Dan, 82
Ibid ., ., hlm 9-12. 83 Ibid ., ., hlm 13-16.
108
pembelajaran hukum dilakukan melalui pemahaman secara abst abstra rak k dan um umum um un untu tuk k kemud kemudia ian n turun turun me membi mbica cara rakan kan halhal-h hal yang yang lebi lebih h kon konkret kret.. Namu Namun n demi demiki kian an,, sega segala lany nya a berl berla angsu gsung dala dalam m bin bingkai gkai sist sistem em hukum kum posi posittif atau atau pera peratu tura ran n peru perund ndan angg-un unda dang ngan an.. Pemb Pembel elaj ajar aran an hu huku kum m diawali dari konsep-konsep abstrak yang harus “dikunyah” para mahasiswa muda, jauh dari realitas hukum di 84 masyarakat. Rechtshogeschool di didirikan kan di Jakarta pada 1924. Peme Pemeri rint ntah ah kolo koloni nial al me memb mban angu gun n seko sekola lahh-se seko kola lah h dan dan pend pendid idika ikan n tingg tinggii seba sebagai gai balas balas jasa jasa terha terhada dap p Indon Indones esia ia yan yang tela telah h dike dikeru ruk k keka kekaya yaan anny nya a sela selama ma ratu ratusa san n tahu tahun. n. Indonesia pada waktu itu menjadi pilar-pilar Belanda. Hal ini dapat dilihat dari kalimat “Indi Indie e verl verlor oren en ruin ruinps pspo poed ed geboren” geboren” (kehilan (kehilangan gan Indones Indonesia ia berarti berarti malapet malapetaka aka). ). Pada Pada awal pembukaan pendidikan hukum di Indonesia, pend pendid idika ikan n diran diranca cang ng un untu tuk k menyi menyiap apan an tenaga tenaga teram terampi pill dala dalam m menggu mengguna naka kan n hu huku kum m posi positi tif. f. Lulu Lulusan sanny nya a berge bergela larr meester in de rechten (Mr) (Mr) yang berlaku untuk para lulusan samp sampai ai tahu tahun n 1962 1962.. Ran Rancang cangan an ters terseb ebut ut terc tercer ermi min n dari dari nama Ilogeschool (se (seko kola lah h tin tinggi) ggi) yan yang berk berkon onot otas asii pendidik dikan ket keteramp rampiilan lan (skil skilll deve develo lopm pmen ent t ), bukan pendidikan ilmu hukum (rechtswetenschap ) yang 85 sebenarnya. Pada awal kemerdekaan, Indonesia memiliki dua fakultas hukum negeri, yaitu Universitas Indonesia (Jakarta), sebagai kelanj kelanjuta utan n dari dari Rechtshogeshool Rechtshogeshool dan dan Unive Univers rsit itas as Gadj Gadjah ah Mada Mada (Yog (Yogya yaka kart rta) a).. Be Berb rbed eda a deng dengan an poli politi tik k pend pendid idik ikan an huku hu kum m dima dimasa sa kolon kolonia ial,l, di masa masa kemer kemerde deka kaan an diras dirasak akan an perlun perlunyap yaperub erubaha ahan n sesua sesuaii dengan dengan situasi situasi sebagai sebagai negara negara 84
Ibid ., ., hlm 17. 85 Ibid ., ., hlm 18-20.
109
merdeka. Perubahan-perubahan penting baru dirasakan dua dekade setelah kemerdekaan di mana pola mempertahankan status status quo quo sudah sudah mul mulai ai diubah diubah menjad menjadii lebi lebih h dina dinami mis. s. Pend Pendid idik ikan an hu huku kum m di Indo Indone nesi sia a beru beruba bah h menjadi Indonesian-based menjadi Indonesian-based policy , atau society-based policy atau development-based atau development-based policy . Pen Pendidi didika kan n hu huku kum m pada pada tahu tahun n 1970 1970-a -an n me meng ngal alam amii dinamika tidak hanya pada ranah substansi, melainkan juga meto me todo dolo logi gi pembel pembelaj ajar aran an.. Pada Pada ranah ranah subs substan tantif tif,, hu huku kum m tidak lagi hanya dipahami dalam batas-batas hukum positif tetapi juga dilihat, dipahami, dan dipelajari dalam konteks sosial yang lebih luas. Pada metode pembelajaran, konsep dan teori teori hu hukum kum klasik klasik serta serta cara-ca cara-cara ra pembel pembelaja ajaran ran yang yang mene me neka kank nkan an pada pada lecturing, mula mulaii ban banyak me men ndapa dapatt guga gugata tan n dan dan dipe diperk rken enal alk kann annya me meto tode de clin clinic ical al lega legal l education education yang yang me meli liba batk tkan an para para maha mahasi sisw swa a seca secara ra akti aktif f 86 untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum yang nyata. Pada Pada pert perten enga gaha han n tahu tahun n 1980 1980-a -an n terj terjad adii peru peruba baha han n sangat besar dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini dikaren dikarenaka akan n adanya adanya tipe tipe pembela pembelajar jaran an baru yang yang disebut disebut sebagai pendidikan keilmuan (scientific ( scientific education, scientific program ). Dokumen hukum yang menjadi dasar pembentukan pendidikan pascasarjana tidak mencantumkan pendidik dikan kei keilmu muan an,, tetap etapii Uni Universi rsitas Diponegoro menafs menafsirk irkanny annya a sebaga sebagaii pendidi pendidikan kan keilmu keilmuan. an. Pendidik Pendidikan an keilmuan tidak menekankan pada pengembangan kete ketera ramp mpil ila an, me mela laiinkan kan lebi lebih h kepa kepada da pen pencari carian an dan dan 87 pengungkapan kebenaran.
86
Ibid., hlm 23-28. 87 Ibid., hlm 30-31.
110
Memperbarui Pendidikan Hukum Indonesia: Untuk Apa dan Ke Arah Mana? Pendidikan bukanlah lembaga yang otonom mutlak, melainkan merupakan bagian dari proses sosial besar yang melingkupinya. Pertukaran antara dunia pendidikan dan lingkungan sosial itulah yang menyebabkan timbulnya dinamika dan tuntutan perubahan terhadap lembaga tersebut. Pendidikan hukum merupakan sekolah profesional dan lembaga ilmu, yakni lembaga tempat suatu bidang ilmu dikaji dan dikembangkan. Oleh karena itu, fakultas hukum tidak hanya menyiapkan keterampilan, melainkan berurusan dengan metode-metode yang dipakai dalam mempelajari objeknya. Pemikiran hukum rechtsdogmatiek tidak akan mampu menjangkau dan menjelaskan proses transformasi sosial yang terjadi. Hal ini dikarenakan pemikiran hukum yang dogmatis memang tidak disiapkan untuk mengamati interaksi antara proses perubahan di semua bidang hukum. Kita dapat melakukannya jika kita mampu memahami hukum dan proses-prosesnya sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar. Hukum adalah lembaga yang kompleks, sehingga tidak hanya dipahami dengan saksama 88 apabila menggunakan satu cara pendekatan saja. Ciri lain dari pendidikan hukum yaitu sebagai suatu pendidikan umum, artinya membentuk manusia berkualitas yang lengkap daripada sekedar teknokrat. Fakultas hukum membekali alumninya dengan suatu sikap dan pengetahuan dasar untuk nantinya dapat mengembangkan dirinya sebagai seorang intelektual. Jadi, pendidikan hukum juga
88
Ibid., hlm 39-43.
111
berciri pendidikan suatu kualitas manusia dan intelektual berkemampuan hukum yang luas. Sifat pendidikan yang memberikan bekal untuk menjadi seorang intelektual dengan kemampuan atau potensi yang luas, pasti akan lebih berguna daripada pendidikan yang sempit. Dalam hal ini, diperlukan tenaga-tenaga yang tidak hanya profesional, tetapi juga memiliki dedikasi yang cukup. Jenjang pendidikan di Indonesia bisa disebut dengan tiga jenjang pendidikan, yang masing-masing disebut program. 89 Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Program
Tujuan
Sifat Pendidikan
S-1
Tenaga terampil untuk masuk ke pasaran kerja
Vocational training yang ilmiah
S-2
Pengembangan ilmiah
Melihat hukum dengan pandangan kritis ke arah theory building
S-3
Pengembangan ilmiah lebih lanjut
SDA.
Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia Sejak ribuan tahun sebelum kehadiran hukum modern, berbicara mengenai hukum adalah berbicara mengenai keadilan dan pencarian keadilan. Hukum dianggap muncul secara alami dalam interaksi antara para anggota 89
Ibid., hlm 46-51.
112
masyarakat dengan nama yang bermacam-macam. Selama ribuan tahun dikenal apa yang disebut hukum alam, di mana dunia hukum menjadi tempat pertarungan hati (keadilan) daripada pikiran (ratio ) . Kelahiran hukum modern telah merombak secara fundamental tatanan sosial yang lama menjadi suatu tatanan yang terstruktur secara rasional. Salah satu hal yang terpenting adalah tergusurnya keadilan sebagai satu-satunya parameter. Sehingga, memasuki dunia hukum bukan lagi berburu keadilan melainkan mengoperasikan substansi hukum modern, baik peraturan maupun prosedurnya. Pengadilan tidak lagi menjadi “rumah 90 keadilan”, melainkan rumah undang-undang dan prosedur. Perlahan-lahan, hukum semakin bergeser menjadi teknologi. Pekerjaan hukum yang sudah sarat dengan penerapan undang-undang berikut prosedur, membutuhkan skill yang bersifat teknis dan teknologis. Maka dapat dibicarakan tentang teknologi berperkara. Tidak ada satu pun hal yang berhubungan dengan keadilan, empati, kejujuran, dan modalitas spiritual lainnya. Pembelajaran hukum yang menjadi pabrik tempat memproduksi ahli-ahli hukum tidak dapat secara bebas menentukan apa yang ingin diajarkannya. Pembelajaran hukum harus menyiapkan tenaga-tenaga yang nanti menjadi operator yang menjalankan mesin hukum modern. Lembaga pendidikan hukum harus mengacu kepada peta besar hukum modern. Apabila hukum modern sudah bergeser menjadi teknologi, kurikulum pendidikannya pun menjadi demikian. Dengan demikian, hukum sudah kurang dapat dipercaya untuk menjaga kemanusiaan. Selain itu, masuknya kapitalisme dalam hukum dari pembelajaran hukum menyebabkan hukum menjadi komoditas di mana 90
Ibid., hlm 57-59
113
persoalan pokoknya adalah bagaimana hukum menjadi alat dan teknologi untuk mendapatkan keuntungan material. Orang menjalankan pendidikan hukum untuk menjadi ahli hukum dengan cita-cita dan harapan untuk mendapat keuntungan dan kemewahan material, serta memenangkan suatu perkara dibanding memikirkan dimensi kemanusiaan 91 hukum. Dengan demikian, salah satu gagasan untuk mengubah itu semua adalah “pendidikan hukum berbasis manusia”. Untuk itu, pertama harus diusahakan agar pendidikan hukum bergeser dari profesional menjadi pro-manusia. Maka, setiap berhadapan dengan masalah hukum kita tidak langsung berhadapan dengan “perkara hukum”, melainkan dengan “masalah manusia dan kemanusiaan”. Pendidikan hukum dijadikan tempat untuk mematangkan kemanusiaan di mana pendidikan didahulukan untuk menjadi manusia serta bagaimana menolong manusia yang susah dan menderita. Pertamatama, para mahasiswa baru sudah dihadapkan kepada persoalan kemanusiaan yang akan menjadi modal dan landasan mereka begitu melangkah ke dunia hukum. Gagasan tentang pendidikan hukum berbasis manusia dan kemanusiaan mendorong para pengelola program pendidikan hukum untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi hal-hal dan cara-cara yang selama ini 92 dijalankan. []
91
Ibid., hlm 59-64. 92 Ibid., hlm 65-67.
114
Polisi Indonesia di Tengah 93 Perubahan Sosial LILIK HARYADI
BUKU berjudul Membangun Polisi Sipil karangan Prof Satipto Raharjo ini agaknya menuju kepada pembahasan wajah hukum dengan kajian sosial. Bagi Prof Tjip, menjadi semacam khayalan belaka ketika seseorang yang mempelajari hukum dan pada saat yang bersamaan menyepelekan faktor sosial. Kajian mengenai kepolisian juga sempat menjadi hal menarik yang dilakukan di lingkungan Universitas Diponegoro, yaitu di Pusat Studi Kepolisian, namun namanya belakangan seakan terlupakan tanpa ada kajian lagi dan ditinggalkan seperti ruangannya yang tidak tersentuh lagi. Padahal, Prof Tjip dalam kurun waktu 19912000 menulis sebanyak 178 artikel tentang hukum, sebanyak 36 tulisan dimuat surat kabar selain harian Kompas dan 142 lainnya dimuat di Kompas . Prof Tjip menulis secara khusus mengenai polisi Indonesia dalam 33 artikel. Polisi diibaratkan sebagai wajah hukum kita sehari-hari. Seperti kita ketahui, menurut Friedman, setidaknya ada tiga faktor, yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum. Polisi dalam perubahan sosial seperti sekarang ini ditempatkan ke
93
Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 17 Desember 2012 di Taman Budaya Raden Saleh, Semarang.
115
dalam salah satu cabang dari struktur hukum. Meskipun seharusnya hukum bukan hanya melulu pada struktur, perilaku dan kelembagaan polisi kerap dianggap sebagai keadaan hukum di Indonesia. Dalam membahas polisi di Indonesia, Prof Tjip agaknya berada pada kondisi pemakaian ilmu sosial sebagai penelaah permasalahan hukum. Sosiologi digunakan sebagai tool of analysis dalam berbagai fenomena hukum yang dikaji. Dalam buku ini, sosiologilah yang dipakai sebagai alat untuk menjabarkan polisi dalam dua bidang, yaitu kelembagaan dan perilaku polisi. Polisi didudukkan sebagai subjek dalam pengkajian perubahan atau dinamika sosial yang terjadi dalam dunia hukum. Perubahan dinamika sosial dalam masyarakat dijadikan aspek untuk membaca kepolisian Indonesia. Dengan perubahan sosial yang dipengaruhi oleh pemikiran modern dan melahirkan perkembangan ilmu, paradigma terhadap keadaan hukum berubah. Kemajuan di bidang teknologi juga menjadi tanda bergeraknya pola kehidupan, dan juga batas-batas wilayah yang semakin mengglobal memaksa dunia hukum dan kepolisian Indonesia segera mengubah paradigma jika lembaga kepolisian Indonesia tidak mau menjadi sangat usang dalam menghadapi masyarakat Indonesia yang menuju ke arah globalisasi.
116
Dalam masa demokrasi yang sarat dengan benturan kepentingan untuk mempertahankan status quo , polisi juga dihadapkan pada dua pilihan: membela rezim ataukah berada pada masyarakat yang pro-rakyat. Ini dikatakan pilihan sulit bagi polisi untuk mendudukan dirinya pada transisi perubahan sosial. Akankah harus keluar dari militer dan mencoba membangun karakter sipil sebagai a civilian in uniform atau masih berada dalam penyambung kekuasaan. Sejarah panjang polisi yang dipaksa berkarakter militer sekarang berangsur harus bertindak sebagai sipil. Menurut Prof Tjip, tantangan perubahan dalam diri polisi Indonesia adalah bagaimana ia bertindak dan memperlakukan masyarakat sebagai orang sipil. Polisi harus menempatkan diri kapan bertindak dengan karaker a strong hand of society dan kapan harus bertindak dengan karaker soft hand of society . Paradigma ganda yang dimaksud yang pertama adalah paradigma kekuasaan. Paradigma ini menunjukkan, polisi dalam jenjang vertikal berhadapan dengan rakyat. Oleh hukum, polisi diberi kewenangan untuk menegakkan hukum. Di sini, hubungan polisi dengan rakyat adalah atas-bawah atau hierarkis, di mana polisi ada pada kedudukan yang memaksa, sedangkan rakyat wajib mematuhi. Paradigma yang kedua adalah kemitraan dan kesejajaran. Di sini, polisi dan rakyat berada pada aras yang sama atau hubungan yang bersifat horisontal. Tugas yang oleh hukum diberikan kepada polisi adalah mengayomi, melindungi, membimbing, dan melayani masyarakat. Yang terjadi sekarang, polisi masih dalam proses menuju, belum sampai pada sesuatu yang dituju. Kita lihat sekarang ini makin banyak permasalahan kompleks yang ditimbulkan oleh polisi Indonesia, tindakan represif pun masih terlihat.
117
Semua itu tidak terlihat mudah begitu saja untuk dijalankan. Beberapa permasalahan seperti sumber daya polisi yang belum mampu memahami sepenuhnya makna hukum secara mendetail, menjadikan hukum berjalan sesuai dengan tangan polisi yang memegangnya, padahal polisi itu merupakan tangan pertama dalam penegakan hukum. Apabila polisi masih berparadigma pemaksaan kekuasaan negara terhadap rakyat, maka hukum masih dimaknai pula sebagai perintah penguasa terhadap rakyatnya yang dalam hal ini masih berada dalam konteks negara jajahan. Lembaga kepolisian masih berupa lembaga yang eksklusif bagi penegakan hukum yang berbasis keadilan. Masih banyak perkara hukum sehari-hari yang dibengkokkan di depan polisi yang tidak mengerti arti keadilan. Keadilan acapkali dikesampingkan daripada kepastian hukum sesuai dengan peraturan tertulis yang dipegang oleh polisi. Padahal, kehidupan masyarakat yang dinamis semakin berkembang seiring perkembangan zaman itu sendiri. Tumbuhnya kreasi modern dengan perkembangan teknologi mengubah pola kehidupan modern yang pada akhirnya juga melahirkan tatanan institusi baru seperti demokrasi, hukum modern, dan birokrasi. Kepolisian akhirnya dituntut untuk mampu berakomodasi dengan kemajuan dalam teknologi dan juga derivat sosialnya tersebut, atau memilih untuk menjadi kuno dan ketinggalan. Sedikit menilik ke belakang, sejarah panjang kepolisian Indonesia yang pada awalnya diposisikan sebagai militer bergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan paradigma militer. Kesalahan mendasar apabila polisi diposisikan ke dalam tataran militer. Kesalahan mendasar ini diakhiri dengan dipisahkannya Polri dari ABRI, dan ini menjadi tonggak perubahan polisi baru. Prof Tjip 118
memberikan pandangan bahwa lebih dari itu harus ada tonggak baru di mana peralihan dari polisi baru itu ke dalam polisi sipil dalam masyarakat sekarang ini.
Mengembangkan Polisi Sipil Lembaga kepolisian terus bertransformasi seiring dengan perkembangan masyarakat yang dinamis. Namun, pekerjaan menjadikan polisi Indonesia sebagai polisi sipil membutuhkan waktu yang panjang, karena posisi Polri dalam ABRI di masa lalu telah memperparah kerusakan profesionalisme polisi. Paradigma kepolisian masih belum sepenuhnya menjadikan polisi berjiwa sipil. Segi sumber daya polisi juga belum mampu memenuhi kebutuhan untuk menegakkan hukum; rekrutmen yang dilakukan polisi saat ini masih rendah. Dalam buku ini, dijelaskan pula tingkat pendidikan mempengaruhi manusia untuk menerima tentang keterbukaan, hak asasi manusia, dan perubahan. Makna polisi yang berwatak sipil dapat dikatakan dengan sederhana sebagai suatu cara perpolisian yang menempatkan pada titik pusat perhatian. Artinya, cara-cara polisi menjalankan pekerjaannya tidak boleh menyebabkan manusia kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Sehingga, dimensi moral menjadi kental dalam pekerjaan polisi. Bukan hanya menjalankan pekerjaan secara pendek dengan menggunakan cara yang gampang memaksa dan menggunakan kekerasan belaka, tetapi juga bersedia mendengarkan dan mencari tahu hakikat dari penderitaan manusia. Polisi yang berjiwa pada nilai-nilai dan bukan menjadi boneka yang bergerak atas dasar komando searah dari atasan kepada bawahan. Tetapi yang terjadi masih banyak polisi yang tunduk pada peraturan-peraturan yang mengatur tugas polisi tanpa mau menangkap makna menyeluruh dari fungsi polisi. Diistilahkan dalam buku ini
119
sebagai “robot-robot hukum belaka” yang bergerak dengan kaku mendasarkan pada patokan pasti yang itu justru menjadikan polisi makin jauh dari jiwa sipil. Polisi kerap kali dikaitkan dengan hak asasi manusia, seperti dalam sejarah kelam kepolisian Indonesia, di mana polisi-polisi terlibat dalam Tragedi Trisakti, dan sampai sekarang masyarakat tidak pernah tahu siapa yang sebenarnya bertanggung jawab dalam tragedi yang menewaskan empat mahasiswa itu. Belakangan, polisi juga menjadi lembaga yang bersinggungan dengan lembaga lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses penyidikan dan penyelidikan dalam kasus korupsi. Dalam bab akhir buku ini, berjudul “Polisi yang Progresif”, disebutkan bahwa arah pembangunan kepolisian Indonesia di masa yang akan datang menjadi polisi yang progresif yang berjiwa sipil. Pekerjaan polisi sulit diatur hukum. Mengapa demikian? Karena ia bergelimang interaksi dengan manusia dan masyarakat. Disebutkan bahwa karakteristik polisi sebagai penegak hukum jalanan. Polisi berbeda dari jaksa dan hakim yang disebut sebagai penegak hukum gedongan . Polisi adalah petugas lapangan, bekerja tanpa sarung tangan, dan tidak berdiri di belakang loket. Mereka berada langsung di tengah masyarakat baik dan jahat. Di Amerika Serikat, jika seorang polisi berpamitan kepada istri untuk berangkat bekerja, itu menjadi pertanda salam perpisahan selamanya. Bagaimana dengan di Indonesia? Maka dari itu, polisi harus progresif. Nihil apabila polisi hanya didasarkan kepada peraturan hukum yang ada. Berapa ratus undang-undang dibutuhkan, berapa ribu halaman kitab hukum harus disediakan jika pekerjaan polisi ingin diatur secara tuntas dan rinci. Wacana diskresi dalam
120
kepolisian menjadi contoh keleluasaan dan kelonggaran yang diperlukan bagi pekerjaan polisi. Kekakuan pengaturan polisi bisa fatal. Untuk mewadahi keleluasaan dan kelonggaran itulah, maka ada pilihan untuk melakukan tindakan (course of action ). Semisal bagaimana polisi harus bertindak ketika ada seorang dekil, miskin, dan kurus melakukan kejahatan kecil: mungkin bisa saja polisi membiarkannya pergi dan bahkan memberikannya uang. Maka, hukum progresif bisa dilaksanakan oleh polisi, dan berpeluang besar karena hukum menyediakan banyak peluang agar polisi dapat menjadi pahlawan bagi bangsanya, dengan bertindak progresif, membuat pilihanpilihan tepat dalam pekerjaannya. Namun, peluang itu jika tidak dijiwai dengan nilai-nilai dapat menjerumuskan polisi itu ke jurang “kenistaan” dengan menjadi polisi korup, suka melakukan kekerasan, pelecehan (harassment ), dan lain sebagainya. Pertanyaan yang diajukan sekarang ini adalah apakah kepolisian kita sudah memenuhi keadaan dan panggilan masa, yaitu menjadi alat suatu negara yang merdeka dan demokratis, dan bukan alat kekuasaan? Dapatkah polisi bertindak secara sipil dengan hukum yang progresif berlandaskan nilai-nilai dan tidak sebatas pada prosedural? Hal itulah yang perlu kita diskusikan bersama. Prof Tjip tidak memaksakan untuk mengartikan polisi sebagai apa, namun tetap membiarkan wacana pemikiran terus bergerak sesuai dengan dinamika sosial agar hasil dari pemikiran memang benar-benar bermuara kepada tujuan menyejahterakan rakyat dengan hukum. []
121
Rakyat Bahagia di Negara Hukum
94
JAMES MARIHOT PANGGABEAN
MESKI rezim telah berganti, penegakan hukum di negeri ini semakin terpuruk dan, suka tidak suka, keterpurukan itu berpengaruh terhadap sektor kehidupan lain, terutama sektor perekonomian. Sejak dilengserkannya Soeharto dan bergantinya pemimpin yang baru dalam pemerintahan berlabel demokrasi dengan landasan negara hukum, semakin besarlah peran yang diharapkan dari Mahkamah Agung. Institusi yang dikenal sebagai Mahkamah Agung (di negara-negara berbahasa Inggris disebut sebagai The Supreme Court dan negara-negara berbahasa Belanda disebut sebagai Hoge Raad ) merupakan instrumen yang terpenting dalam upaya pencarian keadilan, dan bukan sekadar sebagai tempat di mana hukum formal berproses. Penulis ingin menyatakan bahwa meski rezim Soeharto telah runtuh secara formal, namun dalam kenyataan sosiologis, roh rezim Soeharto masih berkuasa dan hidup dalam jiwa kepemimpinan saat ini. Soeharto bersama anak-cucunya masih memiliki kekuasaan yang masih sangat besar, di mana dengan 94
Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 11 Oktober 2012, di Ruang C104, Gedung Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.
122
kekuasaan tersebut mereka masih dapat melakukan banyak hal yang memengaruhi perjalanan kehidupan di negeri ini. Selain itu, dalam pemerintahan yang sering menamakan diri sebagai pemerintahan Reformasi ini, dalam kenyataannya masih terikut sosok-sosok rezim otoriter Soeharto, sosoksosok yang sangat terlibat dalam penentuan kebijakan dalam era Soeharto, sehingga suka tidak suka, mereka turut mempunyai saham yang cukup besar dalam kehancuran perekonomian dan moral bangsa Indonesia, yang dilakukan selama lebih dari tiga dasawarsa. Penulis akan memulai diskusi yang diambil dari buku Prof Satjipto Rahardjo yang berjudul Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya dengan, pertama , berangkat dari pernyataan beliau dalam kata pengantar buku Membedah Hukum Progresif yang 95 menyatakan bahwa: “Mendirikan negara hukum tidak sama dengan memancangkan sebuah papan nama dan sim-salabim semuanya selesai. Itu baru awal dari pekerjaan besar membangun sebuah proyek raksasa yang bernama negara hukum. Tanpa memahaminya sebagai demikian, kita akan mengalami kekecewaan, bahkan mungkin rasa frustrasi. Disebut proyek raksasa, oleh karena yang kita hadapi adalah sebuah pekerjaan yang melibatkan begitu banyak sektor kehidupan, seperti hukum, ekonomi, 95
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hlm xvii.
123
politik, sosial dan last but not least perilaku kita sendiri. Dengan demikian, sejak pagi kita perlu bersiap-siap untuk melakukan pekerjaan yang memakan waktu lama, membutuhkan kecerdasan, kearifan, keuletan, kesabaran, dan tentu saja pengerahan energi yang amat besar.” Dan penulis juga memasukkan suatu pernyataan mantan hakim Indonesia, yaitu Prof Baharudin Lopa, dalam penegakan hukum Indonesia yang sangat berkaitan ketika berbicara mengenai membahagiakan rakyat di negara 96 hukum, yang menyatakan: “Dalam membicarakan persoalan integritas moral tak dapat dipisahkan budaya malu yang dimiliki seseorang. Mengapa? Karena, tidak mungkin seseorang tidak merasa malu melakukan perbuatan tidak terpuji, kalau ia sudah bermoral sebagaimana diajarkan oleh setiap agama, bahwa malu adalah sebagian dari iman (moral). Hanya orang yang bermoral yang malu melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut. Mereka tidak melakukan perbuatan itu, bukan karena takut ditangkap atau dihukum, tetapi karena malu kepada sesama, terutama malu dan takut kepada Allah. Orang yang berkepribadian inilah yang mampu menjadi teladan. Sedangkan unsur keteladanan ini sangat mutlak dimiliki oleh kalangan atas agar dapat dicontoh dan diikuti oleh seluruh jajarannya.” Oleh karena itu, untuk memperbaiki penegakan hukum demi mencapai kebahagiaan rakyat di negara hukum Indonesia, beliau menyatakan perlunya terlebih dahulu dilakukan pembenahan internal secara optimal di dalam
96
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2005), hlm 42.
124
institusi-institusi penegakan hukum, terutama di puncaknya masing-masing, seperti di kalangan petinggi Kepolisian, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan 97 Mahkamah Agung. Kedua , saya akan memulai diskusi saat ini dengan berangkat dari beberapa gagasan, yaitu (1) konsep negara hukum antara Rechtstaat dan the Rule of Law dan (2) bagaimana membahagiakan rakyat di negara hukum.
Konsepsi Negara Hukum Rechtstaat dan the
Rule
of Law
Dalam khazanah ilmu hukum, terdapat dua istilah Rechtstaat and the Rule of Law yang dalam bahasa Indonesia memiliki kesamaan arti, yaitu negara hukum. Namun, di balik kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan antara Rechtstaat and the Rule of Law. Sebagaimana diidentifikasikan oleh Roscoe Pound, Rechtstaat memiliki karakter administratif, sedangkan the Rule of Law 98 berkarakter yudisial. Rechtstaat bersumber dari tradisi hukum negara-negara Eropa kontinental yang bersandar pada civil law dan legisme, yang menganggap hukum adalah hukum tertulis. Kebenaran hukum dan keadilan dalam Rechtstaat terletak pada ketentuan, bahkan pembuktian, yang tertulis. Hakim yang baik menurut paham civil law dalam Rechtstaat adalah yang dapat menerapkan atau membuat putusan sesuai dengan bunyi undang-undang. Pilihan pada hukum tertulis
97
Loc. cit. Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstutusi (Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES, 2006), hlm 24. 98
125
dan paham legisme di Rechtstaat didasari oleh penekanan 99 pada kepastian hukum. The Rule of Law berkembang pada tradisi hukum negara-negara Anglo Saxon yang mengembangkan common law (hukum tak tertulis). Kebenaran hukum dan keadilan dalam the Rule of Law bukan semata-mata hukum tertulis, bahkan di sini hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum sendiri melalui yurisprudensi tanpa harus terikat secara ketat kepada hukum-hukum tertulis. Putusan hakimlah yang dianggap hukum yang sesungguhnya daripada hukum-hukum tertulis. Hakim diberi kebebasan untuk menggali nilai-nilai keadilan dan membuat putusanputusan sesuai dengan rasa keadilan yang digalinya dari masyarakat. Hakim yang baik adalah hakim yang dapat membuat keputusan berdasarkan nilai keadilan yang digalinya dari masyarakat. Keleluasaan diberikan kepada hakim untuk tidak terlalu terikat pada hukum-hukum tertulis, karena penegakan hukum ditekankan pada pemenuhan rasa keadilan, bukan pada hukum-hukum formal. Perbedaan konsepsi tersebut terletak pada operasionalisasi atas substansi yang sama, yakni perlindungan atas hak-hak asasi manusia, di mana kedua konsepsi negara hukum tersebut sama-sama bertujuan memberikan perlindungan atas hakhak asasi manusia. Perbedaan itu sebenarnya lebih banyak dilatarbelakangi oleh sejarah hubungan antara raja (yang ketika itu menjadi personifikasi pemerintah) dan hakim dalam memutus perkara yang masuk ke pemerintah. Rechtstaat yang berkarakter administratif dilatarbelakangi oleh kekuasaan 99
Loc. cit.
126
raja pada zaman Romawi yang ketika itu mempunyai kekuasaan menonjol dalam membuat peraturan-peraturan melalui berbagai dekrit. Raja kemudian mendelegasikan kekuasaan tersebut kepada pejabat-pejabat administratif untuk membuat pengarahan tertulis kepada hakim tentang cara memutus sengketa. Peran besar administratif seperti inilah yang kemudian mendorong tampilnya sistem kontinental sebagai rahim pertama yang melahirkan cabang baru dalam bidang hukum, yakni hukum administrasi yang berintikan hubungan antara administrasi dan rakyat. Sedangkan dalam the Rule of Law yang mulanya berasal dari Inggris, kekuasaan menonjol raja adalah memutuskan perkara yang kemudian dikembangkan menjadi sistem peradilan. Raja mendelegasikan kekuasaannya kepada hakim untuk mengadili dan hakim menerima delegasi itu, tetapi dalam bertugas mengadili ia bukan melaksanakan kehendak raja. Ketika itu di Inggris (sebagai induk the Rule of Law ) hakim tidak mengadili berdasarkan dekrit tentang peraturan seperti yang terjadi di Romawi (sebagai induk Rechtstaat ) melainkan mengadili berdasar “the common custom of 100 England”. Jika di Eropa kontinental yang terjadi adalah bertambah besarnya peranan administrasi, maka di Anglo Saxon yang terjadi adalah bertambah besarnya peranan peradilan dan hakim. Jika Eropa kontinental yang kemudian dipikirkan adalah cara untuk membatasi kekuasaan administrasi melalui pembentukan hukum administrasi, maka di Inggris dan Anglo Saxon yang kemudian dipikirkan adalah cara-cara untuk membangun peradilan yang adil. 100
Loc. cit.
127
Negara hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengambil konsep prismatik atau integratif dari dua konsepsi tersebut, sehingga prinsip kepastian hukum dalam Rechtstaat dipadukan dengan prinsip “keadilan” dalam the Rule of Law . Indonesia tidak memilih salah satunya melainkan memakai atau memasukkan unsur-unsur baik keduanya. Indonesia telah melakukan empat kali amendemen terhadap UUD 1945, dan saat ini tidak lagi tercantum istilah “rechstaat ” 101 secara eksplisit. Istilah rechtstaat semula tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 pada bagian Umum, subbagian Sistem Pemerintahan Negara, yang menyebutkan istilah rechtstaat sampai dua kali, yakni Angka 1 yang berbunyi “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat ), tidak berdasar kekuasaan belaka (Machtstaat ).” Namun, setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyepakati bahwa dalam melakukan amendemen Penjelasan UUD 1945 ditiadakan dari UUD 1945 dan isinya yang bersifat normatif dimasukkan dalam pasal-pasal, maka istilah rechtstaat ikut 102 ditiadakan. Pada perubahan Ketiga UUD 1945 (tepatnya pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001), prinsip Negara Hukum kemudian dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (3) dengan istilah yang netral (tanpa menyebut Rechtstaat atau The Rule of Law ), yang persisnya berbunyi: “Negara Indonesia adalah 103 negara hukum.”
101
Loc. cit. Loc. cit. 103 Loc. cit. 102
128
Bahagia di Negara Hukum Pada 17 Agustus 1945, Indonesia lahir sebagai negara baru di tengah masyarakat dunia. Kecuali pengumuman tentang bentuk negara, yaitu republik, Indonesia juga menyatakan diri sebagai negara berdasar hukum (negara hukum). Lebih dari setengah abad kemudian, Republik Indonesia masih harus bergulat dengan berbagai masalah mendasar yang timbul sebagai akibatnya. Eksistensi Republik Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata masih 104 harus terus dibina dan dipertahankan. Selain itu, pembangunan negara hukum ternyata belum juga selesai dengan baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya: Indonesia menjadi terkenal di dunia sebagai negara dengan sistem hukum sangat buruk. Yang dimaksud dengan pembangunan yang belum kunjung selesai di sini adalah bagaimana menghadikan negara hukum itu suatu organisasi yang secara substansial mampu menjadi rumah yang menyenangkan, menyejahterakan, dan membahagiakan bagi bangsa Indonesia. Selama ini, negara hukum hanya dipahami sebatas pada bagaimana suatu negara mengakui bahkan mengklaim telah memiliki berbagai syarat-syarat normatif dan secara otomatis negara tersebut dikatakan sebagai negara hukum. Ukuran negara hukum ada atau tidak hanya diukur dari terpenuhinya berbagai unsur-unsur kategoris, seperti supremasi hukum, persamaan dalam hukum, proses hukum yang adil, peradilan bebas dan tidak memihak, dan lain sebagainya. Dan, sebenarnya, kategori-kategori tersebut belum dianggap selesai.
104
Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm 46.
129
Pemahaman negara hukum tersebut telah mengubur sosok negara hukum yang seharusnya tampil ke permukaan. Kita terjebak dalam konsep pemahaman yang serbanormatif-positivistik, padahal negara hukum tidak menjadi sempurna dan menjadi akhir dari segalanya. Tetapi, negara hukum merupakan sebuah sosok yang terus menjadi dan mengada.
Berkaca dari Jepang Kita dapat melihat pada Jepang yang dulunya berhasil menutup diri terhadap dunia luar akhirnya mengambil sikap untuk membuka diri karena adanya todongan meriam dari Komodor Matthew Perry pada 1853. Itulah awal Jepang membuka diri dengan dunia dan bangsa-bangsa di luar Jepang. Pada saat Jepang membuka diri dengan negara lain, diperkenalkan pula konsep negara hukum dan negara 105 modern. Jepang harus berhadapan dengan hukum dan negara yang berbeda daripada yang selama ini mereka kenal. Dan, dapat ditafsirkan, bagi bangsa Jepang, hukum memiliki makna jalan air, arus yang mengaliri suatu jalan yang dilalui bersama-sama oleh para anggota masyarakat dalam suasana harmoni. Tetapi, pemahaman yang demikian itu segera diguncang oleh masuknya konsep Barat mengenai hukum dan negara. Dalam kosakata hukum Jepang asli, tidak ada konsep dan kata hak . Yang ada hanyalah kewajiban dan tanggung jawab dan selebihnya berupa karunia yang diberikan oleh raja. Negara dalam tradisi Jepang adalah Sang Kakak (Big
105
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm 32.
130
Brother ) yang selalu memikirkan kesejahteraan untuk para adiknya. Mereka tidak perlu bersusah-susah berjuang untuk mencapai kesejahteraan, karena Sang Kakak sudah menyediakan semua yang diperlukan. Untuk memahami mengapa negara dianggap sebagai Sang Kakak yang selalu memperhatikan kebutuhan rakyat tanpa harus diminta, kita perlu mencari penjelasan pada karakteristik kejiwaan orang Jepang. Takeo Doi adalah seorang psikiater Jepang yang dibesarkan di Jepang dan sesudah Perang Dunia II memperdalam ilmu di Amerika Serikat. Di situlah Doi dihadapkan pada perbedaan 106 karakteristik antara orang Jepang dan Amerika Serikat. Amae adalah sikap kejiwaan yang menggantungkan diri kepada orang lain dan percaya bahwa orang lain akan berbuat baik kepadanya. Di sisi lain, kata Sumanai (rasa bersalah), yaitu ketika tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dikerjakan, menimbulkan gangguan kepada hubungannya dengan orang lain. Sekalian karakteristik kejiwaan tersebut membantu menjelaskan, mengapa rakyat Jepang begitu percaya kepada negara dan menyerahkan 107 nasib sepenuhnya kepada negara. Hal tersebut mereka lakukan karena mereka percaya, negara akan memberikan apa yang mereka butuhkan, tanpa harus menuntutnya. Di lain pihak, negara akan merasa bersalah apabila tidak berbuat baik kepada rakyatnya. Pembelajaran lain yang diberikan kepada kita adalah konsistensi dan persistensi bangsa Jepang dalam memegang tradisi budayanya. Lalu pertanyaan yang timbul pula, apakah Indonesia tidak memiliki budaya sehingga
106
Ibid., hlm 56. 107 Loc. cit.
131
pemimpin negara (pemerintah) tidak pernah mendengar dan melihat penderitaan rakyat selama ini? Jika demikian di negara Jepang, lalu bagaimana di negara Indonesia dalam membawa kesejahteraan dan perlindungan kepada masyarakat? Seperti yang sudah saya sampaikan dalam awal penulisan ini, bahwa digunakan kata “negara hukum yang meng-Indonesia”, sekedar untuk menegaskan, betapa pentingnya untuk menyadari, negara hukum Indonesia tidak hanya sebuah merek, melainkan benar-benar dimaknai sebagai proses menjadi Indonesia.
Indonesia Akan Bahagia Kalau pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kelahiran negara hukum Republik Indonesia, maka yang ada dalam pikiran kita waktu itu adalah sejak hari pertama itu kita sudah menjadi negara hukum secara “tuntassempurna”. Ide bagus, namun terlalu bagus sehingga sebetulnya kita bermimpi. Secara formal memang begitu, tetapi substansial perjalanannya masih jauh. Membangun negara hukum adalah proyek yang sangat besar. Hal ini penting untuk direnungkan sebagai modal membangun bangsa dari suatu negara hukum. Negara hukum tidak instan, tetapi harus dibangun. Negara hukum adalah konsep modern yang tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Proses menjadi negara hukum bukan merupakan bagian dari sejarah sosial-politik bangsa kita di masa lalu, seperti terjadi di Eropa. Negara hukum adalah bangunan yang “dipaksakan dari luar”. Dengan demikian, membangun negara hukum
132
adalah membangun perilaku bernegara 108 membangun suatu peradaban baru.
hukum,
Di sini, penulis juga akan mengajak untuk melihat bagaimana kondisi di Eropa hingga sampai menjadi negara konstitusional seperti yang termuat dalam tulisan Prof Satjipto Rahardjo. Eropa harus mengalami keambrukan sistem sosial yang satu disusul keambrukan berikutnya, dari feodalisme, staendestaat , negara absolut, dan baru kemudian menjadi negara konstitusional. Masing-masing keambrukan itu memberikan jalan kepada lahirnya Negara hukum modern. Eropa, sebagai ajang persemaian konsep negara hukum, membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh abad, sebelum kelahiran rule of law dan negara konstitusional. Gagasan bernegara hukum, menjalankan hukum, janganlah direduksi dan dipersempit menjadi praktik menjalankan undang-undang secara hitam putih atau menurut kalimat dalam pasal undang-undang belaka. Negara hukum juga jangan direduksi menjadi negara prosedur hukum. Inilah yang membuat kita menjadi tidak sejahtera dan bahagia hidup di negara hukum. Sekali lagi dikatakan bahwa membangun negara hukum adalah proyek yang sangat besar dan karena itu memakan waktu yang sangat lama dan pengerahan energi yang besar pula. Negara hukum yang membahagiakan rakyatnya cenderung untuk menjadi negara hukum yang progresif, bila dilihat dari inisiatif yang selalu datang dari pihak negara. Untuk mewujudkannya, negara akan selalu aktif mengambil inisiatif untuk bertindak. Bukan rakyat yang harus “memintaminta” untuk dilayani oleh negara, melainkan negaralah 108
Satjipto Raharjo, op. cit .., hlm 48.
133
yang aktif datang kepada rakyat. Di sini, gambaran tentang negara hukum Indonesia yang dicita-citakan menjadi dekat dengan “benevolent state ” pada bangsa Jepang. Sudah enampuluh tahun lebih Indonesia merdeka dan bernegara hukum, tetapi sesudah negara itu berdiri ternyata masih banyak tugas yang harus kita kerjakan ke depan untuk terus menerus dibangun. Kita bernegara hukum untuk membawa rakyat merasa bahagia hidup dalam negara hukum Indonesia dengan adanya penegak hukum yang memiliki integritas dan moral. Penulis yakin, Indonesia pasti akan lebih baik di masa depan! []
134
Para Pemantik
DIANDRA PRELUDIO R. Menamatkan studi pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2014); Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (2011); SMA Negeri 1 Semarang; SLTP Negeri 3 Semarang; dan SD Negeri Kembang Paes. Lahir di Tuban pada 7 September 1988, ia pernah menjadi Kepala Departemen Hubungan Masyarakat, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Dapat dihubungi melalui
[email protected] dan 085640197797. BENNY PRASETYO. Menamatkan studi pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2014); Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (2011); SMA Negeri 1 Semarang; dan SMP Negeri 8 Semarang. Lahir di Semarang pada 21 Maret 1989, ia dapat dihubungi melalui
[email protected]. UNU P HERLAMBANG. Menamatkan studi pada Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (2012). Lahir di Madiun pada 16 Desember 1989, ia pernah menjadi Pimpinan Penelitian dan Pengembangan Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan periode 2010-2011. Sekarang sedang
135
menempuh studi di Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, sembari menjadi peneliti Satjipto Rahardjo Institute. Menamatkan pendidikan dasar di SD Negeri Kartoharjo 1 Madiun (2002), SMP Negeri 1 Madiun (2005), dan SMA Negeri 2 Madiun (2008). Dapat dihubungi melalui
[email protected], @unuherlambang, dan 085645929805. MUHTAR SAID. Lahir di Semarang pada 5 Desember 1988, ia kini adalah Manajer Riset Democracy Watch Organization (Dewa Orga); Kepala Sekolah Tan Malaka, Semarang; pendiri Satjipto Rahardjo Institute; dan penggagas Pusat Studi Tokoh Hukum (Pustokum). Menamatkan studi pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2013). Dapat dihubungi melalui 085640283987. AP EDI ATMAJA. Menamatkan studi pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2013); Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (2012); SMA Negeri 5 Semarang (2008); SMP Negeri 28 Semarang (2005); dan MI Ianatusshibyan Semarang (2002). Lahir di Kendal pada 17 Juni 1990, ia pernah menjadi Pimpinan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan periode 2010-2011. Dapat dihubungi melalui
[email protected], @jagunk55, dan 08562690222. BENNY KARYA LIMANTARA. Menamatkan studi pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2014); Fakultas Hukum, Universitas Bandar Lampung; SMA Negeri 4 Bandar Lampung; SMP Negeri 23 Bandar Lampung; dan SD Negeri 2 Tanjung Gading,
136
Bandar Lampung. Lahir di Bandar Lampung pada 23 Mei 1990, ia dapat dihubungi melalui 081957464621. SYANDI RAMA SABEKTI. Menamatkan studi pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2014); Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara (2011); SMA Negeri 1 Bebesen; SMP Negeri 1 Takengon; dan SD Negeri Buntul Kubu Takengon. Lahir di Takengon pada 22 Februari 1989, ia dapat dihubungi melalui
[email protected], 082325579467, dan 082365690022. ALFAJRIN A TITAHELUW. Menamatkan studi pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2014); Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945, Semarang; SMA Negeri 1 Ternate; SMP Negeri 7 Ternate; dan SD Negeri Pertiwi 2 Ternate. Lahir di Nuku pada 16 Februari 1991, ia dapat dihubungi melalui
[email protected] dan 081228264459. RIAN ADHIVIRA. Menamatkan studi pada Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (2013). Lahir di Semarang pada 14 Juli 1990, ia adalah pendiri Komunitas Payung dan peneliti Satjipto Rahardjo Institute. Sekarang sedang menempuh studi di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro sembari merampungkan studi pada Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata. Menamatkan pendidikan dasar di SD Negeri Perumnas Krapyak Semarang, SMP Negeri 1 Semarang, dan SMA Negeri 1 Semarang, ia
137
dapat dihubungi melalui
[email protected], @rianadhivira, dan 085741918065. NINDI ACHID ARIFKI. Menamatkan studi pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2014); Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang (2011); SMA Negeri 1 Godong; SMP Negeri 1 Godong; dan SD Negeri 4 Godong. Lahir di Godong pada 1 Agustus 1989, ia pernah menjadi Kepala Biro Pendidikan Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Dewan Perwakilan Cabang Semarang. Dapat dihubungi melalui
[email protected],
[email protected], dan 089669166554. RAHMAD SYAHRONI RAMBE. Menamatkan studi pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2014); Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara (2010); SMA Negeri 3 Plus Rantauprapat; SMP Negeri 2 Rantauprapat; dan SD 112143 Rantauprapat. Lahir pada 18 April 1988, ia dapat dihubungi melalui melalui
[email protected] dan 085297022833. LILIK HARYADI. Menamatkan studi pada Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (2012). Lahir di Klaten pada 10 Mei 1990, ia pernah menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro periode 2010-2011. Sekarang sedang menempuh studi di Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro. Menamatkan pendidikan dasar di SD 1 Pundungsari (2002),
138
SMP Negeri 1 Cawas (2005), dan SMA Negeri Cawas (2008), ia dapat dihubungi melalui
[email protected] dan 085729225161. JAMES MARIHOT PANGGABEAN. Menamatkan studi pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2014); Fakultas Hukum, Universitas Trunojoyo (2011); SMA St Thomas 2 Medan; SMP St Thomas 3 Medan; dan SD St Thomas 2 Medan. Lahir di Medan pada 25 Maret 1989, ia dapat dihubungi melalui
[email protected] dan 082165008618.
139