Dermatitis Eksfoliatif
-
Dermatitis eksfoliatif (DE) deijelaskan sebagai eritema difus dan pembentukan sisik yang terjadi pada lebih dari 90% permukaan kulit tubuh
-
Komplikasi yang mengancam jiwa termasuk ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan thermoregulator, demam, takikardi, kegagalan pompa jantung, hipoalbuminemia, dan septikemia.
-
Etiologi yang mendasari terjadinya DE adalah psoriasis, dermatitis atopik, dan dermatosis spongiosis lainnya, reaksi hipersensitivitas obat, dan limfoma sel T kutaneus. Penyebab terjadinya DE masih belum diketahui (idiopatik) pada 20% kasus.
-
Penegakan diagnosis meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap dengan analisis tanda-tanda klinis yang teliti disertai pemeriksaan dermatohistopatologi. Pemeriksaan laboratorium lain biasanya diperlukan untuk menemukan tanda-tanda klinis lain.
-
Penatalaksanaan DE meliputi gabungan antara pengobatan gejala dan menangani etiologi yang mendasari serta komplikasi sistemik yang dapat timbul.
-
Prognosis bergantung pada etiologi yang mendasarinya. DE yang timbul akibat obat-obatan memiliki prognosis yang paling baik, sedangkan DE yang berkaitan dengan keganasan memiliki angka kematian yang paling tinggi. Epidemiologi
Beberapa studi melaporkan insidensi DE yang beragam, berkisar antara 0.9 hingga 71.0 per 100.000 pasien. Terjadinya DE pada laki-laki lebih banyak telah dilaporkan, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan kira-kira kir a-kira 2:1 hingga 4:1.DE dapat terjadi pada segala usia. Banyak penelitian menemukan onset yang beragam antara 41 hingga 61 tahun, dengan pengecualian kasus pada anak. DE merupakan penyakit yang langka pada anak-anak, dan hanya sedikit data epidemiologis yang tersedia untuk populasi anak. Suatu penelitian menemukan 17 pasien, yang telah diobservasi selama 6 tahun, mendapatkan umur mean dari onset 3.3 tahun dan perbandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 0.89:1. DE dapat terjadi pada seluruh jenis ras. Dermatosis yang telah ada sebelumnya berperan pada lebih dari setengah kasus DE. Psoriasis merupakan etiologi yang paling banyak ditemukan (hampir pada seperempat kasus). Pada penelitian psoriasis baru-baru ini, DE dilaporkan pada 87 dari 160 kasus. Etiologi dan Patogenesis Patogenesis
Menetapkan penyebab dari DE merupakan suatu tantangan, mengingat penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai jenis penyakit sistemik dan kutaneus. Dari penggabungan 18 penelitian yang telah dipublikasikan dari berbagai negara menunjukkan bahwa dermatosis yang sudah ada sebelumnya merupakan penyebab paling banyak pada orang dewasa (52% dari kasus DE; dengan rentang 27%-68%) disusul dengan raksi hipersensitivitas obat (15%), dan limfoma sel T kutaneus atau Sindrom Sezary (5%). Tidak ditemukan etiologi yang mendasari pada 20% kasus DE (dengan rentang 7%-33%) dan kasus ini dikategorikan sebagai kasus idiopatik. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang paling sering menyebabkan DE (23% dari keseluruhan kasus), diikuti dengan dermatitis spongiosis (20%). Faktor pencetus terjadinya DE psoriatik termasuk: -
Medikasi, seperti litium, terbinafin, dan anti malaria
-
Iritan topikal seperti tar
-
Penyakit sistemik
-
Diskontinuitas kortikosteroid poten oral maupun topikal, metotreksat, ataupun biologics (efalizumab)
-
Infeksi, termasuk infeksi human immunodeficiency virus (HIV)
-
Kehamilan
-
Stres emosional
-
Luka bakar akibat fototerapi
Penyebab terjadinya DE yang jarang ditemukan termasuk penyakit immunobulosa; penyakit jaringan ikat; infeksi, termasuk skabies dan infeksi oleh dermatofit; pityriasis rubra piliaris (PRP) (4% dari dermatosis); dan keganasan. Walaupun pada pasien telah didapatkan dermatosis sebelumnya, perlu dipertimbangkan kemungkinan penyebab lainnya. Pada suatu kasus, DE yang berkaitan dengan keganasan ditemukan pada tujuh pasien yang lima diantaranya telah ditemukan dermatosis sebelumnya. Pada 5%-10% dari kasus DE idiopatik, ditegakkan diagnosis CTCL eritrodermis. Keganasan organ solid dan juga keganasan hematologik dan retikuloendotelial juga dapat menyebabkan DE. Pada bayi baru lahir, diagnosis banding termasuk di dalamnya dermatosis (seperti psoriasis, dermatitis atopi, dan dermatitis seboroik), obat-obatan, dan infeksi (terutama staphylococcal scaled-skin syndrome). Sebagai tambahan, beberapa penyakit kongenital
seperti iktiosis, baik eritroderma kongenital iktiosiform bullosa maupun non-bullosa. Sindroma Netherton, dan immunodefisiensi juga patut dipertimbangkan. Diagnosis Banding DE Mirip dengan
-
Dermatitis spongiotik (20%-24%) (atopik, 9%; dermatitis kontak, 6%; dermatitis seboroik, 4%; dermatitis aktinik kronik, 3%)
-
Psoriasis (23%)
-
Reaksi hipersensitivitas obat (15%)
-
Limfoma sel T kutaneus (5%)
-
Idiopatik (sekitar 20%)
Dapat dipertimbangkan
-
Dermatitis kontak
-
Penyakit immunobullosa (pemphigus superfisial, pemphigoid bullosa, dan pemphigus paraneoplastik)
-
Infeksi (skabies, dermatofitosis)
-
Diperantarai oleh toksin (toxic shock syndrome, staphylococcal scaled skin syndrome)
-
Dermatitis aktinik kronik
-
Pityriasis rubra pilaris
-
Penyakit vaskuler kolagen
-
Paraneoplastik (tumor solid dan hematologik)
-
Immunodefisiensi primer
-
Iktiosis kongenital Patut dibedakan
-
Limfoma sel T kutaneus
-
Sindroma hipersensitivitas yang dipicu oleh obat
-
Paraneoplastik Pengobatan topikal dan sistemik juga terlibat pada persentase kasus DE (15%; rentang, 4%-39%) dan pada pengenalan obat-obatan baru dapat meningkatkan insidensi DE. Kedua pengobatan allopatik dan naturopatik telah dipercaya menyebabkan DE, dan penyebab-penyebab lainnya masih terus diteliti. Beberapa obat yang terlibat termasuk di
dalamnya calcium channel blocker , antiepilepsi, antibiotik (golongan penisilinm sulfonamid, vankomisin), allopurinol, emas, litium, quinidin, simetidin, dan dapson. Namun sebagian besar dari obat-obatan ditemukan dalam satu laporan tunggal. Sebagai tambahan pada obatobatan, medium kontras iodixanol (Visipaque) yang digunakan pada intervensi koroner perkutaneus juga telah dilaporkan sebagai penyebab terjadinya DE. Saat ini, mekanisme patogenik dari Demasih belum dapat dijelaskan. Masih belum diketahui bagaimana dermatosis yang sudah ada sebelumnya dapat berkembang menjadi DE, bagaimana sebuah penyakit yang sudah ada sebelumnya berkembang menjadi DE, atau bagaimana DE terjadi kembali. Meskipun temuan klinis pada pasien DE memiliki kemiripan dengan etiologi yang berbeda, dipercayai terdapat mekanisme yang berbeda dalam terjadinya rekrutmen sel-sel peradangan pada kulit. Sitokin, kemokin, dan teseptor-reseptornta dipercayai memiliki peran penting dalam patogenesis DE. Sebuah penelitian profil sitokin pada infiltrat kulit menunjukkan kemungkinan-kemungkinan mekanisme patofisiologik yang berbeda antara DE dan Sindroma Sezary — sitokin T helper 1 ditemukan pada DE jinak sementara sitokin T helper 2 ditemukan pada Sindroma Sezary. Pada penemuan belakangan ini, overekspresi reseptor kemokin baik dari T helper 1 dan T helper 2 (CCR4, CCR5, dan CXCR3) ditemukan pada DE yang didasari dari proses peradangan, sementara overekspresi selektif CCR ditemukan pada Sindroma Sezary, yang menunjukkan bahwa Sindroma Sezary terjadi akibat gangguan T helper 2 dan mekanisme lainnya berkontribusi dalam reaktivasi limfosit pada beberapa penyebab DE yang berbeda. Penelitian lain menunjukkan bahwa Sindroma Sezary dan DE yang disertai inflamasi memiliki ciri khas berupa himpunan reaksi sel T memori yang berbeda yang kemudian dapat menunjukkan mekanisme patofisiologis lain. Interaksi antara molekul adhesi dengan molekul di sekitarnya sangat penting pada peradangan dan respon imunologis. Peningkatan kadar molekul adhesi pada sirkulasi (molekul adhesi interselular 1, molekul adhesi sel vaskuler 1, dan E-selektin) dilaporkan pada DE sekunder reaktif jinak yang didasari oleh psoriasis dan dermatitis atopik. Sebaliknya, tidak ditemukan perbedaan tingkat ekspresi molekul-molekul ini pada sel-sel endotel yang didapatkan pada DE jenis lainnya, yang menimbulkan hipotesis adanya kesamaan pada jalur imunologis tingkat akhir tipe-tipe lain dari DE. Interaksi kompleks antara molekul adhesi dan sitokin juga berperan dalam meningkatnya mitosis dan pergantian lapisan kulit pada DE. Timbulnya kerak pada kulit
yang mengalami DE emncerminkan berkurangnya waktu tansit antar lapisan epidermis yang mengakibatkan hilangnya protein, asam amino, dan asam nukleat. Kehilangan protein dapat meningkat pada 25%-30% melalui kerak pada DE psoriatik, dan 10%-15% pada DE nonpsoriatik.
Sebagai
tambahan,
hilangnya
protein
juga
dapat
menimbulkan
hipoalbuminemia. Beberapa pasien dengan DE idiopatik kronik telah dilaporkan membentuk CTCL yang menuntun kita bahwa pasien dengan DE idiopatik kronik terdapat peningkatan resiko berkembangnya penyakit menjadi mikosis atau Sindroma Sezary. Stimulasi sel T kronik pada pasien-pasien ini menunjukkan kemungkinan terbentuknya CTCL. Belakangan, kondisi pra keganasan atau kondisi yang menyerupai pra Sezary telah dijelaskan pada pasien lanjut usia dengan DE kronik atau relaps tanpa perkembangan menjadi keganasan hematologik yang ditandai dengan ekspansi monoklonal limfosit CD4 +CD7-CD26-. Istilah diskrasia monoklonal sel T pada signifikansi yang belum ditentukan, adanya ekuivalensi sel T terhadap gammopati monoklonal telah diusulkan pada kondisi seperti ini, yang dipercayai sebagai kasus jinak. Walaupun begitu, pada DE idiopatik kronik juga dapat ditemukan CTCL kronik primer yang belum terdiagnosis. Tentunya, pada hampir 10% kasus DE idiopatik, diagnosis CTCL eritrodermik dapat ditegakkan. Peran immunoglobulin (Ig) E pada DE telah dikatakan menjadi dasar penelitian peningkatan IgE pada banyak tipe DE. Sebagai contoh, telah terdapat teori yang mengatakan peningkatan IgE pada DE psoriatik dapat mengakibatkan berubahnya sitokin T helper 1 pada psoriasis menjadi sitokin T helper 2 DE psoriatik. Mekanisme sekunder ini berbeda dengan overproduksi IgE pada dermatitis atopi. Sindroma Hyper-IgE adalah perubahan sistem imunitas yang berhubungan dengan DE dan memiliki tingkat IgE yang tinggi akibat dari tidak cukupnya sekresi interferon-γ. Mekanisme yang berhubungan dengan meningkatnya IgE mungkin berkaitan dengan perjalanan penyakit yang mendasarinya atau manifestasi DE itu sendiri. Sekali lagi, mekanisme peningkatan IgE berbeda pada tipe-tipe DE yang berbeda pula. Belakangan telah terdapat teori bahwa kolonisasi Staphylococcus aureus atau antigen lainnya, seperti toxic shock syndrome toxin-1, dapat berperan dalam patogenesis DE. Penelitian imunopatogenesis pada infeksi yang dimediasi oleh toksin menunjukkan adanya sekumpulan superantigen patogenitas staphylokokal. Kumpulan ini membawa gen pada toksin toxic shock syndrome dan staphylococcal scaled-skin syndrome. 83% dari pasien DE
dicatat memiliki kolonisasi S.aureus pada luabng hidungsementara 17% memiliki kolonisasi pada kulit, walupun begitu, hanya terdapat satu dari enam pasien dengan enterotoksin positif S. aureus. Temuan Klinis Riwayat
Riwayat pasien yang datang dengan DE sangat penting dalam diagnosis penyakit yang mendasarinya. Pasien munkin memiliki riwayat dermatosis (psoriasis, dermatitis atopik) atau kondisi medis sistemik. Riwayat pengobatan harus diperoleh, termasuk pengobatan yang didapatkan tanpa resep dokter. Pasien dengan riwayat psoriasis dan dermatitis atopi harus ditanyakan khsusnya riwayat penggunaan kortikosteroid topikal dan sistemik, metotrexat, dan pengobatan sistemik lainnya; iritan topikal; penyakit sistemik; infeksi; luka bakar fototerapi; kehamilan; dan stres emosional. Pasien DE biasanya ditemukan dengan gangguan thermoregulator, malaise, kelelahan, dan gatal-gatal; gejala ini tidak spesifik pada etiologi apapun. Onset dari gejala penting dalam menentukan penyebab lain yang mendasari ED. Penyakit kulit primer menunjukkan perjalanan yang lebih lambat sedangkan reaksi akibat obat biasanya menunjukkan onlet yang lebih cepat diikuti dengan resolusinya. Terkecuali DE yang diakibatkan oleh antikonvulsan, antibiotik, dan allopurinol. Reaksi terbentuk dalam 2-5 minggu setelah pemberian obat dan mungkin akan tetap terbentuk setelah pemberhentian obat. Tanda yang berhubungan dengan etiologi akibat reaksi obat termasuk di dalamnya demam, limfadenopati, organomegali, edema, leukositosis dengan eosinofilia, setra gangguan hati dan ginjal. Riwayat dan temuan klinis belum cukup dalam mendiagnosis DE akibat keganasan. Hal-hal penting yang perlu diingat adalah tidak adanya riwayat penyakit kulit primer, onset yang perlahan, dan kurangnya respon terhadap terapi. Riwayat transplantasi juga meningkatkan kecurigaan terhadap CTCL, dimana ditemukan lebih banyak DE yang diakibatkan oleh CTCL pada pasien yang telah menjalani transplantasi. Lesi kutaneus
Ciri khas DE adalah bercak eritema yang bertambah besar dan kemudian bergabung menjadi eritema generalisata dengan penampakan yang berkilau. Menurut definisinya, DE
melibatkan lebih dari 90% permukaan kulit pasien. Beberapa hari setelah timbulnya eritema, pembentukan sisik putih atau kekuningan dimulai, terutama pada daerah lipatan. Sisik yang menyerupai plat dapat terjadi secara akut pada telapak tangan dan kaki. Proses pembentukan sisik lebih lanjut mengakibatkan kulit tampak merah dan kusam. Kronisitas edema dan likenifikasi dapat menyebabkan pengerasan permukaan kulit. Ektropion dan epifora dapat terjadi pada keterlibatan daerah periorbital yang kronis. Keratoderma palmoplantar juga dijumpai pada hampir 80% pasien dengan DE kronik. Beberapa pasien juga mengalami DE pada rambut dan kuku. Pembentukan sisik pada kulit kepala, alopesia, dan pada beberapa kasus, effluvium dapat dijumpai. Peerubahan kuku yang dimaksud dapat berupa onikolisis, hiperkeratosis subungual, perdarahan splinter, paronikia, garis Beau, dan terkadang onikomadesis. Garis tepi pada kuku disertai diskontinuitas bentuk kuku merupakan gambaran klinis dari DE yang disebabkan oleh obatobatan. Keterlibatan hidung dan daerah perinasal (nose sign) juga telah dijelaskan pada beberapa penelitian. Keterlibatan areola juga telah ditemukan pada beberapa kasus CTCL, reaksi obat-obatan, dermatitis, psoriasis, fotosensitivitas, dan PRP. Secara khusus, tidak ditemukan adanya keterlibatan mukosa. Keratosis seboroik eruptif dapat timbul pada pasien dengan DE. Keratosis biasanya sembuh dengan sendirinya seiring dengan meredanya DE. Lesi kutaneus dapat menunjukkan penyebab yang mendasari terjadinya DE. Sebagai contoh, pada awal DE psoriatik, plak psoriasis klasik dapat ditemukan. Gottron’s papules, ruam heliotropik (menyerupai bunga), dan kelemahan otot dapat dijumpai pada DE yang disebabkan oleh dermatomiositis. Papuloeritroderma Ofuji dapat dijumpai khususnya pada daerah lipatan kulit perut (deck hair sign). Temuan Klinis Lainnya
Penemuan klinis lain yang ditemukan pada DE termasuk -
Takikardi akibat meningkatnya aliran darah ke kulit dan kehilangan cairan akibat gangguan fungsi barier epidermal.
-
Gagal jantung juga pernah dilaporkan sebagai akibar sekunder pada DE berat.
-
Gangguan termoregulasi dapat menyebabkan hipertermia dan beberapa kasus hipotermia; walaupun begitu sebagian besar dari pasien mengeluhkan rasa kedinginan.
-
Limfadenopati generalisata dapat ditemukan pada lebih dari sepertiga pasien.Klinisi harus dapat membedakan antara limfadenopati dermatopatik dan limfoma. Jika limfadenopati baynya ditemukan, biopsi kelenjar mungkin diperlukan.
-
Hepatomegali dapat muncul pada sepertiga kasus dan lebih banyak ditemui pada DE yang disebabkan oleh obat-obatan.
-
Splenomegali jarang dilaporkan dan sebagian besar berhubungan dengan limfoma.
-
Edema pretibial dapat terjadi pada 54% pasien. Edema fasial juga pernah dilaporkan pada DE yang disebabkan oleh obat-obatan.
Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan lab biasanya tidak spesifik dan tidak dapat menegakkan diagnosis. Kelainan lab yang biasa ditemukan pada pasien DE termasuk anemia, leukositosis, limfositosis, eosinofilia, peningkatan IgE, penurunan serum albumin, dan peningkatan laju endap darah. Kehilangan cairan mungkin menyababkan timbulnya gangguan elektrolit dan gangguan fungsi ginjal (peningkatan kadar kreatinin) Peningkatan IgE ditemukan pada beberapa pasien DE yang tidak berkaitan dengan dermatitis atopik, termasuk 81.3% pasien DE psoriatik. Eosinofilia tidak dapat menegakkan diagnosis dan hanya ditemukan pada 20% pasien DE. Meskipun begitu, ketika eosinofil meningkat secara drastis, kemungkinan terjadinya penyakit yang berhubungan dengan Hodgkin harus diinvestigasi. Sangat penting untuk membedakan peradangan eritroderma jinak dengan sindroma Sezary. Pada kasus eritroderma yang dicurigai disertai CTCL, evaluasi darah dan kelenjar limfa diperlukan dalam penegakan diagnosis. Penelitian menunjukkan jika terdapat 20% atau lebih sel Sezary dalam sirkulasi merupakan kriteria yang penting dalam diagnosis sindroma Sezary, dimana bila terdapat kurang dari 10% tidak dapat menunjukkan apa-apa. Pengecualian dapat terjadi pada reaksi obat yang berat yang dapat menyerupai sindroma Sezary (seperti hipersensitivitas hidantoin). Beberapa dermatosis jinak termasuk psoriasis, dermatitis atopik, lupus diskoid, liken planus, dan parapsoriasis menunjukkan adanya sel Sezary sebanyak kurang dari 10%. Demonstrasi susunan reseptor sel T klonal direkomendasikan pada pembedaan sensitifitas dan spesisifitas sindroma Sezary dengan etiologi lain DE. Pada beberapa studi belakangan, reaksi rantai polimerase kuantitatif pada lima gen (STAT4, GATA-3, PLS3, CDID, dan
TRAIL) terbukti berguna pada diagnosis molekuler
sindroma Sezary. Beberapa pertanda molekular sel Sezary belakangan diteliti (Twist, EphA4,
T-plastin). Pada satu kasus, CD158K/KIR3DL2, reseptor yang menyerupai imunoglobulin pembunuh biasanya dikeluarkan oleh subset CD8 limfosit T dan sel natural killer ditemukan berguna sebagai pertanda molekular pada sindroma Sezary pada sampel kulit pasien DE. Penelitian lain menunjukkan banwa sindroma Sezary dapat dibedakan dari DE dengan peradangan yang didasari oleh ekspresi subset sel T memori yang lain dan ekspresi CD27 mungkin berguna dalam penegakan diagnosis. Fenotipisasi imunitas pada limfosit kulit mungkin berguna dalam pembedaan sindroma Sezary dari retikuloid aktinik. Pasien Sezary menunjukkan predominasi CD4 + klonal sementara pada pasien dengan retikuloid aktinik, didapatkan predominasi limfosit CD8+. Lebih spesifik lagi, sel T CD28 +/CD5+/Nka-/CD4+ dengan reduksi CD3, CD4, CD7, CD2, dan/atau resptor sel T α/β mendukung diagnosis s indroma Sezary pada pasien DE. Indeks kontur nuklear juga mungkin membantu investigasi dengan diferensiasi yang sama. Histopatologi
Penemuan histopatologis berbeda-beda berdasarkan etiologi yang mendasari. Multiple punch biopsy diperlukan sebagai tambahan dalam evaluasi klinis dalam menegakkan diagnosis.
Spesimen
biopsi
biasanya
menemukan
gambaran
nonspesifik
termasuk
hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, dan infiltrat radang kronik, yang dapat mengaburkan etiologi yang mendasari. Penemuan histopatologis juga bervariasi tergantung pada keparahan penyakit, dan beratnya peradangan. Sepertiga dari spesimen biopsi eritroderma ditemukan tidak berhasil dalam menentukan penyakit yang mendasari terjadinya DE. Penemuan histologis pada penyakit yang mendasari mungkin lebih halus pada penyakit yang tidak berhubungan dengan DE. Penelitian immunoflorosensi langsung, menggunakan pewarnaan yang berbeda, penelitian imunoperoksidase, fenotipisasi imun, dan susunan gen juga mungkin diperlukan dalam menentukan penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan lab didasarkan pada klinis dan riwayat penyakit pasien sebelumnya. Sebagai tambahan biopsi kulit multipel, biopsi kelenjar limfe mungkin diperlukan untuk membedakan limfadenopati dermatopatik dari adanya keterlibatan limfomatosa. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan pada kondisi adanya paraneoplastik. Apabila sebuah penyakit limfeproliferatif dicurigai sebagai penyebab DE, maka evaluasi perbandignan CD4:CD8,
penghitungan sel Sezary, dan fenotipisasi imun pada kulit dan darah, serta analisis sel T klonal melalui sitogenetik atau analisa gen reseptor sel T. Komplikasi
Berbagai perubahan metabolik dan fisiologik dapat terjadi pada DE, termasuk imbalans cairan dan elektrolit, gangguan thermoregulasi, gagal jantung, syok kardiogenik, acute respiratory distress syndrome, dekompensasi penyakit hati kronis, dan ginekomasti. Hipoalbuminemia umum terjadi akibat kehilangan protein melalui pembentukan sisik (10%15% pada ED nonpsoriatik dan mencapai 25%-30% pada DE psoriatik) dan peningkatan metabolisme disertai berkurangnya sintesis protein. Proses ini mengakibatkan balans nitrogen negatif, muscle wasting , dan edema. Komplikasi umum lain pada DE adalah gangguan regulasi temperatur tubuh. Peningkatan perfusi kulit disertai meningkatnya kehilangan air transepitel dan kehilangan panas akibat peningkatan metabolisme dapat mengakibatkan hipotermia. Lebih lanjut lagi, kapiler tidak dapat merespon dengan baik terhadap perubahan suhu melalui vasokonstriksi dan vasodilatasi. Kehilangan cairan dan elektrolit melalui kebocoran kapiler mengakibatkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Pirau darah pada kulit dapat mengakibatkan kegagalan jantung, terutama pada pasien dengan gangguan jantung dan pasien lanjut usia. Terdapat peningkatan kerentanan terjadinya kolonisasi bakteri pada DE akibat adanya inflamasi, fisura, dan ekskoriasi kulit. Sepsis mungkin terjadi. Sepsis staphylokokal dapat menjadi resiko pada pasien DE dengan CTCL dan HIV. Prognosis dan Perjalanan Penyakit
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit dan prognosis dari DE, seperti penyakit yang mendasarinya, komorbiditas pasien, umur, laju onset, dan pengobatan sebelumnya. DE yang ditimbulkan oleh obat-obatan, perjalanannya biasanya berlangsung cepat dan dengan penghentian obat yang menyebabkannya dapat menghilangkan DE dan pasien dapat sembuh dengan tuntas. Pengecualian yang penting pada kasus ini adalah reaksi hipersensitivitas berat sistemik yang biasanya terbentuk dalam 2-5 minggu setelah pemberian obat dimulai dan mungkin dapat bertahan hingga beberapa minggu setelah pemberhentian obat. Apabila penyakit yang mendasarinya merupakan penyakit kulit primer seperti pada DE atopik dan psoriatik, perbaikan membutuhkan waktu beberapa minggu
hingga bulan; meskipun begitu, beberapa kasus kronik dan persisten dapat terjadi. Rekurensi dari DE psoriatik dapat terjadi pada 15% pasien setelah resolusi pertama. DE dapat menjadi fatal terutama pada pasien yang masih sangat muda dan pada pasien lanjut usia. Rata-rata variabel mortalitas (dari 3,73% hingga 64%) telah dilaporkan pada penelitian selama lebih dari 51 tahun. Pada beberapa rangkaian DE, tingkat mortalitas yang tinggi ditemukan pada pasien dengan reaksi obat berat, keganasan limfaproliferatif, foliaseus pemfigus, dan DE idiopatik. Penyebab terjadinya kematian adalah komplikasi seperti sepsis, pneumoni, dan gagal jantung. Angka mortalitas yang lebih rendah dilaporkan pada penelitian baru-baru ini dengan penyebab terbanyak adalah DE yang berhubungan dengan keganasan, biasanya akibat dari progresi penyakit yang mendasari, komplikasi pengobatan, atau sepsis. Pada penelitian terakhir, dengan follow up 80 pasien DE selama kurang lebih 30 bulan menunjukkan angka kematian sebesar 3,75% (3 dari 80 pasien) dengan penyebab kematian seperti pneumonia pada pasien foliaseus pemfigus dan sindroma Sezary. DE akibat keganasan termasuk CTCL adalah penyebab tersering perjalanan penyakit yang kronis dan sulit diatasi. Pada DE yang berkaitan dengan mikosis fungoides dan sindroma Sezary, faktor yang memberikan prognosis baik termasuk umur dibawah 65 tahun, lamanya gejala dirasakan selama lebih dari 10 tahun sebelum diagnosis, tidak adanya keterlibatan kelenjar getah bening seperti limfoma, dan ketidakadaan sel Sezary pada mikosis fungoides. Angka bertahan hidup rata-rata berkisar antara 1,5 hingga 10,2 tahun berdasarkan indikator prognosis ini. DE idiopatik biasanya memiliki gejala kronik dan rekurensi yang membutuhkan terapi steroid jangka panjang. Remisi sempurna terjadi pada sepertiga dari pasien DE idiopatik dan terjadi remisi parsial pada setengah dari pasien DE idiopatik. Pasien dengan DE idiopatik kronik memiliki resiko lebih tinggi untuk berkembang menjadi CTCL. Proporsi pasien dengan DE kronik menunjukkan adanya diskrasi sel T monoklonal, yang mengindikasikan adanya premalignansi atau kondisi yang menyerupai Sezary (diskrasia sel T monoklonal pada signifikansi yang belum ditentukan). Pada pasien pediatrik dengan DE dan demam, beberapa kondisi (umur yang lebih tua, muntah, adanya infeksi fokal, dan penemuan lab spesifik) dapat digunakan untuk memprediksi pasien yang mungkin akan mengalami deteorisasi hemodinamis. Prediksi terbentuknya toxic shock syndrome pada populasi ini termasuk umur ≥ 3 tahun, penampakan sakit pasien, peningkatan kreatinin, dan hipotensi.
Pengobatan
Pasien yang datang dengan DE akut mungkin memerlukan rawat inap akibat imbalansi elektrolit dan kehilangan cairan yang signifikan, serta gangguan respirasi dan hemodinamis. Meskipun begitu, sebagian besar pasien dapat ditangani cukup dengan rawat jalan. Terlepas dari etiologinya, penanganan awal meliputi penggantian cairan dan ekektrolit, serta nutrisi. Pasien dengan eritroderma dan demam harus dirawat inap dan ditangani secara aktif mengingat keasaan ini dapat menimbulkan deteoriasi hemodinamis. Perawatan pasien harus dilakukan pada lingkungan yang hangat (dianjurkan 30-32 0) dan lembab untuk menjaga kelembaban kulit dan mencegah hipotermi. Perawatan kulit lokal, termasuk mandi gandum dan waslap diperlukan untuk mengangkat lesi yang mengering, pemberian emolien, dan steroid topikal potensi rendah dapat dimulai. Steroid topikal potensi tinggi dan imunomodulator topikal, seperti tacrolimus harus dihindari karena kemungkinan adanya penyerapan sistemik akibat peningkatan permeabilitas kulit dan luasnya area yang terlibat. Iritan topikal lainnya, seperti anthralin, tar, pelembab asam hidroksil, dan analog vitamin D juga perlu dihindari. Antihistamin dapat diberikan sebagai sedasi pada efek pruritus. Antibiotik sistemik diperlukan pada pasien dengan infeksi sekunder lokal maupun sistemik. Septikemia sekunder akibat infeksi Staphylococcus merupakan komplikasi dari DE dan memerlukan pengobatan antibiotik dan pengobatan suportif. Bahkan terapi antibiotik sistemik pada pasien tanpa infeksi sekunder juga dapat mengatasi kemungkinan adanya eksaserbasi DE oleh kolonisasi bakteri. Edema pedal dan periorbital harus ditangani dengan pemberian diuretik dan pemberian cairan yang adekuat harus dipertahankan. Seluruh pengobatan yang tidak diperlukan dan mungkin memperberat penyakit harus dihentikan, termasuk obat-obatan seperti lithium dan antimalaria yang mungkin memperberat kondisi pasien dengan psoriasis. Suplementasi folat dan diet protein 130% dari kebutuhan harian dianjurkan untuk menggantikan kehilangan nutrien. Penentuan etiologi yang mendasari sangat penting dalam penanganan DE, dimana DE mungkin tidak mengalami perubahan dengan terapi sampai penyebab yang mendasarinya ditangani. Rekomendasi terapi konsensus pada eritroderma psoriasis telah diajukan oleh National Psoriasis Foundation. Terapi yang diberikan harus sesuai dengan keparahan penyakit dan faktor komorbiditas yang ada. Pengobatan sistemik seperti methotrexate, cyclosporine, acitretin, mycophenolate mofetil, dan azathioprine berguna sebagai pengobatan
tunggal maupun campuran. Beberapa penelitian kecil menganjurkan infliximab sebagai terapi tunggal maupun campuran dengan methotrexate dapat mempercapat penyembuhan dan pengontrolan DE psoriatik dan angka remisinya yang tinggi. Terdapat beberapa data yang menunjukkan keefektifan penggunaan etanercept, begitu juga dengan adalimumab dan alefacept yang sukses digunakan pada pasien DE psoriat ik. Saat ini, belum ada data mengenai keberhasilan terapi dengan ustekimumab pada eritroderma psoriatik, walaupun begitu kegunaannya telah terbukti pada psoriasis tipe plak. Pemberian steroid sistemik harus dihindari untuk mencegah terjadinya rebound erythrodermic flare dan eksaserbasi penyakit. Beberapa penelitian kasus terakhir mendukung penggunaaninfliximab pada pasien eritroderma dan psoriasis kronik tipe plak yang gagal setelah pemberian beberapa terapi termasuk terapi biologis. Etanercept juga telah digunakan sebagai pembantu steroid dalam meringankan gatal sindrom Sezary pada dua pasien. Walaupun begitu, penggunaan etanercept harus diwaspadai pada pasien karena kemungkinan timbulnya imunosupresi lebih lanjut. Pilihan terapi CTCL termasuk di dalamnya kortikosteroid topikal, psoralen plus ultraviolet A (UVA), iradiasi elektron kulit total, kemoterapi sistemik seperti regimen yang menyerupai CHOP (cyclophosphamide, fotokemoterapi
hydroxydaunomycin,
ekstrakorporeal,
dan
vincristine,
terapi
biologis
dan
prednisone),
seperti
antibodi
interferon- α, monoklonal
(alemtuzumab), bexarotene (retinoid reseptor X selektif), serta denileukin difitox. Kortikosteroid sistemik berguna pada reaksi hipersensitivitas obat. Pada beberapa kasus persisten, Ig intravena dapat digunakan. Cyclosporine, methotrexate, azathioprime, mycophenolate mofetil, dan kortikosteroid sistemik mungkin berguna untuk dermatitis spongiotik. PRP biasanya merespon terhadap terapi retinoid sistemik atau methotrexate. Beberapa laporan dan rangkaian kasus akhir-akhir ini menunjukkan bahwa antagonis tumor necrosis factor (TNF)-α (infliximab, etanercept, adalimumab) dengan atau tanpa kombinasi terapi lain sangat berguna dalam mengobati PRP pada orang dewasa dan remaja. Papuloeritroderma Ofuji telah diobati dengan kortikosteroid sistemik maupun oral, cyclosporine, interferon, etretinate, serta kombinasi retinoid kaya psoralen dengan cahaya UVA. Rituximab telah terbukti berguna dalam mengobati foliaseus pemfigus eritrodermik pada beberapa laporan kasus. Ketika penyebab yang mendasari DE tidak diketahui, terapi empirik dengan agenagen sistemik seperti methotrexate, cyclosporine, acitretin, mycophenolate mofetil, dan
kortikosteroid sistemik telah digunakan. Pertimbagan penggunaan kortikosteroid sistemik perlu ditekankan pada DE psoriatik karena resiko terjadinya rebound flare. Obat-obatan imunosupresif tidak dapat digunakan sampai CTCL telah disingkirkan dengan beberapa pemeriksaan laboratorium. Pencegahan
Pencegahan DE tergantung pada pengendalian penyebab yang mendasarinya. Pengobatan dan iritan yang sebelumnya telah menyebabkan DE harus dihindari. Penting bagi pasien untuk mencatat riwayat alergi termasuk kemungkinan terjadinya reaksi silang pengobatan, seperti agen topikal (seperti DE akibat penggunaan gentamicin sistemik pada pasien yang alergi terhadap neomycin dan DE akibat penggunaan pseudoephedrine pada pasien yang alergi terhadap phenylephrine). Penggunaan steroid sistemik perlu dihindari pada pasien dengan psoriasis untuk menghindari rebound flares. Pemberian edukasi pada pasien dengan penyakit pendahulu (seperti psoriasis, dermatitis atopi) tentang pemicu DE (iritan, penghentian penggunaan obat secara tiba-tiba) juga berguna pada pencegahan DE.