KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Konflik Besar di Indonesia Periode 1959-1965 ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Drs. Ibnu Qoyim M.Si selaku Dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai manfaat mempelajari sejarah Indonesia periode 1959-1965 bagi diri kita selaku masyarakat Indonesia dan juga negara Indonesia. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami susun ini di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang mempelajarinya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Jakarta, September 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................................... 3
Rumusan Masalah ..................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................. 6
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 16
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ir. Soekarno pernah mengeluarkan sebuah slogan, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah, atau yang lebih kita kenal dengan "Jas Merah". Beliau mengingatkan kepada kita betapa pentingnya sejarah Indonesia bagi masyarakat Indonesia, sama seperti pentingnya sejarah hidup kita bagi diri kita sendiri untuk memperbaiki diri sendiri, sejarah ini bisa menjadi pelajaran bagi kita selaku masyarakat Indonesia untuk memperbaiki negara Indonesia.
Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul "Pengantar Ilmu Sejarah", sejarah adalah rekonstruksi sejarah dari apa saja yang sudah diajarkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh orang. Rekonstruksi sejarah ini dilakukan oleh sejarawan, Kuntowijoyo mengibaratkan sejarawan adalah seseorang yang sedang merancang sesuatu dari korek api yang berserakan. Yang mengikat sejarawan hanyalah "batang korek api" yang berupa fakta sejarah.
Banyak sejarawan merekonstruksi masa lalu daripada negara Indonesia. Hasil-hasil rekonstruksi tersebut membuat kita mengetahui secara kronologis apa saja yang terjadi di masa lampau, mulai dari jaman pra-aksara sampai sekarang.
Indonesia telah melewati berbagai fase kehidupan mulai dari jaman pra-aksara, aksara, kerajaan hindu-buddha, kerjaan islam, penjajahan eropa, penjajahan jepang, kemerdekaan indonesia, pemerintahan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru, pemerintahan presiden-presiden setelah Presiden Soeharto, sampai sekarang.
Pada jaman pra-aksara, ditemukan beberapa jenis manusia purba yang hidup di Indonesia, salah satunya adalah Homo Wajakensis yang diperkirakan sebagai nenek moyang dari suku Aborigin di Australia. Pada masa aksara, banyak prasasti-prasasti kerajaan hindu-buddha yang sebagian besar menggunakan bahasa sangsekerta dengan huruf palawa, masa aksara dan masa kerajaan-kerajaan ini sangat berhubungan karena prasasti dari kerajaan-kerajaan inilah yang menunjukkan bahwa pada saat itu masyarakat telah mengetahui aksara/huruf.
Masa kerajaan-kerajaan Islam memiliki hubungan yang sangat erat dengan kerajaan hindu-buddha, banyak dari kerajaan islam yang ada di Indonesia merupakan kerajaan hindu-buddha dahulunya sebelum akhirnya diambil alih oleh kerajaan islam. Penjajahan eropa dan penjajahan jepang yang dialami Indonesia telah menciptakan masyarakat Indonesia yang rindu kemerdekaan dan akhirnya memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Setelah kemerdekaan Indonesia, perwakilan rakyat Indonesia telah mempercayai Indonesia di tangan Ir. Soekarno dan Hatta serta setuju untuk menunjuk Ir. Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia kala itu, dan masuklah Indonesia ke masa Orde Lama. Orde Baru sendiri merupakan peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Letnan Jenderal Soeharto yang saat itu telah menggandeng Surat Perintah Sebelas Maret.
Pada tahun 1998, krisis moneter mengungkapkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan pemerintahan Orde Baru. Mahasiswa dan masyarakat turun ke jalanan, demonstrasi besar-besaran terjadi saat itu yang mengakibatkan tewasnya mahasiswa-mahasiswa trisakti yang ikut berdemonstrasi akibat bentrok mahasiswa dengan pihak berwajib. Akhirnya Presiden Soeharto turun, dan digantikan oleh Presiden Habibie yang tidak memerintah lama karena laporan pertanggung jawaban beliau tidak disetujui oleh fraksi-fraksi MPR saat itu.
Setelah laporan pertanggung jawaban Presiden Habibie ditolak, pemilihan umum dilakukan, dan terpilihlah Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dengan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden. Presiden Abdurrahman Wahid digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah beliau mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak masuk akal, tidak disetujui oleh MPR, dan juga melanggar ketetapan MPR. Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, muncul kebijakan-kebijakan yang menjawab masalah-masalah yang dialami negara Indonesia saat itu, namun Megawati kalah pada pemilu 2004 dan digeser oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai presiden selama 2 kali masa jabatan atau sekitar 10 tahun, banyak pula kebijakan-kebijakan yang membantu Indonesia menghadapi masalah-masalah yang dialami saat itu dan kembali bangkit dari keterpurukan akibat krisis moneter yang masih terasa hingga saat itu.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan sejarah lengkap, konflik-konflik, dan juga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi saat pemerintahan Indonesia pada periode (1959-1965) ini.
Banyaknya konflik yang terjadi dalam periode ini yang dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penyusun ingin mengupas lebih lanjut sejarah Indonesia pada periode 1959-1965.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penyusun merumuskan masalah sebagai berikut.
Konflik apa saja yang terjadi di Indonesia pada periode 1959-1965 ?
Apa saja kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa Orde Lama dalam menanggapi konflik-konflik yang terjadi saat itu ?
Apa tanggapan masyarakat tentang kebijakan yang dilakukan pemerintah pada masa Orde Lama dalam menanggapi konflik-konflik yang terjadi saat itu ?
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia periode 1959 - 1965 adalah saat-saat dimana negara Indonesia mengalami konflik-konflik serta ketidakstabilannya politik dan ekonomi. Banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Periode inilah saat dimana Indonesia mengalami era Demokrasi Terpimpin dan juga mengalami era Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Dan di masa inilah Presiden pertama Indonesia digulingkan, yang juga menandakan dimulainya 32 tahun masa kepemimpinan Presiden kedua Indonesia, Soeharto.
Banyak yang terjadi pada periode ini, termasuk kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia. Tri Tuntutan Rakyat yang mengarah pada Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang dikeluarkan Presiden Soekarno tanggal 11 Maret 1966 untuk Jenderal Soeharto. Dan lagi ekonomi yang sangat buruk, inflasi yang mencapai 500% - 1000% per tahun membuat pemerintah melakukan kebijakan sanering atau pemotongan uang yang dilakukan pada tanggal 19 Maret 1950, walau dilakukan tahun 1950 tetapi dampaknya terasa sampai pada saat kesatuan-kesatuan aksi di Indonesia turun dan menyerukan Tri Tuntutan Rakyat.
Berikut konflik-konflik yang terjadi di Indonesia pada periode 1959-1965.
Dekrit Presiden
Dalam setiap sidangnya, Konstituante tidak pernah menghasilkan apa-apa. Perpecahan antara partai atau golongan dalam tubuh Konstituante tampak semakin jelas, karena setiap wakil partai ingin memaksakan pendapatnya sesuai dengan kehendak partai yang diwakilinya. Akibatnya, sidang-sidang Konstituante selalu diwarnai perdebatan yang tidak ada habisnya dan berujung pada kegagalan untuk menyusun UUD baru.
Kegagalan konstituante mendorong Presiden Soekarno mengemukakan gagasan untuk kembali ke UUD 1945. Hal ini didukung oleh A.H. Nasution selaku pemimpin ABRI (TNI). Ia menggerakan Dewan Menteri untuk mendesak Dewan Konstituante agar menetapkan UUD 1945 secara konstitusional. Pada tanggal 19 Februari 1959, Dewan Menteri pun segera mengadakan sidang dan menghasilkan keputusan mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945.
Keputusan Dewan menteri itu mengandung tiga hal pokok, yaitu :
Tentang UUD 1945
Prosedur kembali ke UUD 1945
Tentang masuknya golongan fungsional ke dalam DPR.
Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno berpidato di hadapan Konstituante yang isinya menganjurkan untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini pemerintah berdasarkan keputusan Dewan Menteri, menganjurkan Dewan Konstituante menetapkan UUD 1945 berlaku kembali. Sesuai Pasal 137 UUDS, maka diadakan pemungutan suara untuk menentukan sikap atas anjuran pemerintahan tersebut.
Namun, hingga pemungutan suara dilakukan sebanyak tiga kali (30 Mei, 1 Juni, dan 2 Juni 1957), hasil tetap tidak mencapai dua per tiga suara. Dengan demikian, Konstituante juga gagal menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Terjadilah suasana tegang yang diperburuk dengan adanya penolakan dari partai politik tertentu untuk menghadiri sidang lagi. Perkembangan ini dianggap sebagai keadaan darurat. Sebab, jika hal ini tidak diselesaikan maka akan bisa menimbulkan perpecahan bangsa dan konflik horizontal.
Presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 melalui suatu upacara resmi di Istana Negara. Hal ini ditempuh guna menyatukan kembali berbagai unsur bangsa Indonesia agar terhindar dari perpecahan nasional.
Adapun isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut :
Membubarkan badan Konstituante
Pencabutan UUDS 1950 dan pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia
Presiden akan segera membentuk MPR Sementara dan DPA Sementara.
Secara umum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mendapat dukungan luas dari masyarakat. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) segera mengeluarkan Perintah Harian yang ditujukan kepada seluruh anggota TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) juga membenarkan tindakan presiden tersebut.
Tindakan yang diambil oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden tersebut memang memenuhi harapan rakyat. Namun, pemerintah Indonesia saat itu menggunakan Sistem Demokrasi Terpimpin. Bukti bentuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin lainnya adalah pidato presiden 17 Agustus 1959 yang berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita". Pidato itu dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia yang kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara atas usulan DPA yang bersidang pada tanggal 23-25 September 1959. Inti Manipol adalah Usdek (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).
Kedudukan Presiden dan MPRS
Demokrasi Terpimpin yang dilakukan oleh pemerintah sebagian besar menyimpang dari UUD 1945 yang diberlakukan kembali saat itu, contohnya seperti kedudukan presiden yang dalam UUD 1945 yang seharusnya berada di bawah MPRS tapi pada kenyataannya MPRS-lah yang justru tunduk kepada Presiden, Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal ini terlihat jelas dari pembentukan MPRS yang dilakukan oleh Presiden Soekarno berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, dan dalam pengangkatan wakil-wakil ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana menteri III dan pengangkatan wakil-wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan partai-partai besar (PNI, NU, PKI) serta wakil ABRI yang masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen. Selain itu juga kebijakan MPRS yang menetapkan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup dengan gelar Pemimpin Besar Revolusi.
Tindakan-tindakan Presiden Soekarno ini bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam UUD 1945 ditetapkan bahwa pengangkatan anggota MPR sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum, sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyatlah yang anggotanya berhak duduk di MPR.
Politik Luar Negeri yang Condong ke Timur
Pelaksanaan politik luar negeri yang dilakukan pada masa Demokrasi Terpimpin juga condong ke arah timur, hal ini menyimpang dari politik luar negeri bebas aktif yang seharusnya dijalankan oleh negara Indonesia. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini, diberlakukan politik konfrontasi yang mengarah kepada negara-negara kapitalis, seperti negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik konfrontasi dilandasi oleh pandangan tentang Nefo dan Oldefo. Nefo (New Emerging Forces) merupakan kekuatan baru yang sedang muncul, yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang antiimperialis dan antikolonialis. Sedangkan, Oldefo (Old Established Forces) merupakan kekuatan lama yang telah mapan, yaitu negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (nekolim). Sebagai poros antiimperialis dan antikolonialis dibentuklan Poros Jakarta-Pnom-Penh-Hanoi-Peking dan Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di forum internasional menjadi sempit.
Keberpihakan Soekarno terhadap negara-negara Nefo membuat Indonesia menjadi condong ke arah ideologi sosialis-komunis. Kebijakan politik ini semakin menguat setelah unsur-unsur PKI memengaruhi Soekarno untuk melakukan hubungan diplomatik terhadap negara-negara sosialis-komunis terutama Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Contohnya adalah kebijakan Soekarno melakukan pembelian senjata kepada Uni Soviet untuk perjuangan pembebasan Irian Barat. Selain itu, Soekarno juga aktif dalam forum-forum internasional yang diselenggarakan oleh Uni Soviet. Inilah yang menyebabkan pemerintahan rezim Orde Lama identik dengan pemerintahan yang bernuansa diktator sebagaimana karakter ideologi sosialis-komunis.
Pemerintahan Orde Lama juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal itu disebabkan karena pemerintan tidak setuju dengan pembentukan negara Federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara Blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi itu, Presiden Soekarno mengucapkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya sebagai berikut.
Perhebat ketahanan revolusi Indonesia
Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Malaysia.
Pelaksanaan Dwikora itu diawali dengan pembentukan komando siaga di bawah pimpinan Marsekal Omar Dhani. Komando Siaga itu bertugas mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat. Hal ini menunjukan adanya campur tangan Indonesia pada masalah-masalah dalam negeri Malaysia.
Pembubaran DPR
Penyimpangan dari UUD 1945 lainnya yang dilakukan saat pemerintahan Presiden Soekarno adalah pembubaran anggota DPR. Anggota DPR hasil pemilu I yang mencoba untuk melaksanakan fungsinya dengan menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan oleh presiden justru dibubarkan dan diganti dengan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh beberapa partai besar, seperti PNI, NU, dan PKI. Ketiga partai ini dianggap telah mewakili seluruh golongan seperti golongan nasionalis, agama, dan komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pada periode ini memiliki hubungan dengan kudeta yang dilakukan PKI. Konsep Nasakom (Nasionalis, Sosialis, dan Komunis) yang dilakukan Presiden Soekarno mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan PKI, Dwipa Nusantara Aidit karena konsep ini memberi peluang yang besar kepada PKI untuk memperluas dan mengembangkan pengaruhnya. Secara perlahan dan hati-hati PKI berusaha untuk menggeser kekuatan-kekuatan yang menghalangi di depannya dan untuk selanjutnya berusaha menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 serta mengambil alih kedudukan pemerintahan yang sah. Bahkan melalui Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno bahwa Presiden Soekarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.
Pada tahun 1963, PKI berusaha semakin keras untuk memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis dengan polisi dan militer. Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" sebagai subjek karya-karya mereka.
Di akhir tahun 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara petani dengan polisi dan para pemiliki tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, dimana di sana rakyat dan para komunis menyita miliki Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak miliki Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jenderal-jenderal tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Soekarno disamakan dengan setingkat menteri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatan (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Soekarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat". Aidit juga memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Tidak lama PKI yang mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer menyatakan keperluan untuk pendirian "Angkatan Kelima" di dalam angkatan bersenjata. Pada tahun 1965, PKI menyarankan Bung Karno untuk membuat "Angkatan Kelima" yang terlepas dari ABRI. Walau banyak yang tidak setuju dan pembentukan Angkatan Kelima ini tidak dilakukan, tapi PKI tetap melancarkan pembentukan Angkatan Kelima ini dengan mempersenjatai masyarakat dengan senjata yang diselundupkan dari RRC atau Tiongkok dan melatih masyarakat dengan dalih latihan dalam bentuk sukarelawan untuk Dwikora.
Selain Angkatan Kelima, PKI juga menuntut agar dibentuk Kabinet Nasakom, karena anggota PKI hanyasedikit yang duduk di kabinet dengan menteri-menteri PI, (DN, Audit, NH, Lukman, Nyoto) yang tidak memegang departemen.
Dan pada tanggal 21 September 1965, PKI berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno untuk mengeluarkan keputusan Presiden Nomor 291 Tahun 1965 yang membubarkan partai pendukung Pancasila, bernama Partai Murba, yang berniat ingin membuat perhatian Presiden Soekarno berpaling dari PKI dengan membentuk Barisan Pendukung Soekarno (BPS). Pembubaran Partai Murba adalah salah satu puncak usaha PKI untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya dalam usahanya menggeser Pancasila.
Dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia saat itu yang condong ke arah sosialis-komunis, dan dengan keberpihakan Presiden Soekarno kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), partai tersebut semakin leluasa melebarkan sayapnya. Tanggal 30 September 1965, PKI akhirnya melakukan kudeta-nya.
Pada 30 September 1965, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta. Berikut keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut.
Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
Mayjen TNI Mas Tritodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat).
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang disebut sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu, berikut beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban :
Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena)
Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Kemudian, Jenderal Soeharto mengadakan penumpasan terhadap Partai Komunis Indonesia. Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1965 sore hari. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sasaran di arahkan ke Halim Perdana Kusuma setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada di sekitar daerah itu. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Jenderal Soeharto. Pada pukul 12 siang seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI-AD.
Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha pencarian perwira TNI-AD dipergiat dan atas petunjuk dari Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G 30 S/PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI-AD tersebut dibawa ke Lubang Buaya. Setelah daerah tersebut diselidiki secara intensif, akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1965 ditemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh tersebut. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris tengah ¾ meter dengan kedalaman kira-kira 12 meter, yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.
Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjurkan kembali (karena ditunda pada tanggal 3 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan hari) dan diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO-AL dengan disaksikan pimpinan sementara TNI-AD Jenderal Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI-AD tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Pada tanggal 6 Oktober, dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang Kabinet Dwikora, para perwira TNI-AD tersebut ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)
Kudeta yang dilakukan oleh PKI melalui Gerakan 30 September ini membuat kekacauan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Keadaan saling curiga dan saling tikam mewarnai kehidupan politik saat itu. Perekonomian Indonesia pun semakin memburuk seiring kekacauan yang terjadi. Oleh karena itu, berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi-demonstrasi menuntut kepada pemerintah untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya. Akan tetapi pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tegas terhadap PKI yang telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Hal ini yang melatarbelakangi munculnya kesatuan-kesatuan aksi di dalam masyarakat.
Pada tanggal 25 Oktober 1965 terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Selanjutnya diikuti oleh kesatuan-kesatuan aksi yang lain. Misalnya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI).
Ketika gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin keras pemerintah tidak segera mengambil tindakan. Oleh karena itu, pada tanggal 10 Januari 1966, KAMI dan KAPPI mempelopori kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila segera mendatangi DPR-GR menuntut Tiga Tuntutan Hari Nurani Rakyat yang terkenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Adapun isi Tri Tuntutan Rakyat itu adalah sebagai berikut :
Pembubaran PKI
Pembersihan kabinet dari unsur-unsur PKI
Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
Setelahnya, pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah surat perintah untuk Letjen Soeharto. Surat perintah itu kemudian dikenal dengan istilah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Istilah Supersemar ini juga digunakan oleh Presiden Soekarno di berbagai kesempatan, termasuk di dalam dokumen pelengkap pidato Nawaksara yang diserahkan kepada MPRS. Menurut Presiden Soekarno dalam pidato tanggal 17 Agustus 1966, mandat yang berupa surat perintah itu bukan merupakan pengalihan kekuasaan pemerintahan. Berdasarkan surat perintah itu, Letjen Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi menandatangani Keppres No. 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 yang menyatakan pembubaran PKI. Langkah selanjutnya yang diambil oleh pengemban Supersemar adalah pada tanggal 18 Maret 1966 mengamankan menteri-menteri yang tergabung dalam Kabinet Dwikora.
Selanjutnya dalam rangka menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka pada tanggal 20 Juni – 5 Juli 1966 dilaksanakan Sidang Umum IV MPRS. Sidang ini menghasilkan ketetapan-ketetapan penting berikut.
Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966, tentang Kedudukan Lembaga-lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.
Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966, tentang Pemilihan Umum.
Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966, tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijakan Politik Luar Negeri.
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966, tentang Pemimpin Besar Revolusi.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia.
Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan bahwa PKI sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia.
Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966, tentang Pahlawan Ampera.
Ketetapan MPRS No. XXX/MPRS/1966, tentang Pencabutan Bintang Mahaputra Kelas III dari D.N. Aidit.
Penyerahan Kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto
Perubahan politik penting mulai terjadi sejak Letjen Soeharto diberi tugas untuk membentuk Kabinet Ampera. Hal ini merupakan awal terjadinya dualisme kepemimpinan nasional. Pada tanggal 23 Februari 1967, bertempatan di Istana Negara, Jenderal Soeharto menerima penyerahan kekuasaan pemerintah dari Presiden Soekarno, sebagai Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Penyerahan kekuasaan ini dilakukan atas prakarsa Presiden Soekarno demi mengatasi politik yang belum stabil. Penyerahan kekuasaan didasarkan pada Ketetapan MPRS No. XV/1966 yang menyatakan bahwa apabila Presiden berhalangan, maka pemegang Surat Perintah Sebelas Maret yang memegang jabatan presiden.
Pada tanggal 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan atas nama pemerintah di depan Sidang DPR-GR tentang peristiwa penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada dirinya.
Soeharto menegaskan bahwa penyerahan kekuasaan merupakan salah satu upaya mengatasi situasi politik yang sedang terjadi demi keselamatan bangsa dan negara. Jenderal Soeharto juga menegaskan bahwa pemerintah tetap memerlukan penyelesaian secara konstitusional melalui sidang MPRS. Jenderal Soeharto secara resmi dilantik sebagai pejabat Presiden pada tanggal 12 Maret 1967. Hal ini dikukuhkan dengan Tap No. XXXIII/MPRS/1967 dalam Sidang Istimewa MPRS bulan Maret 1967. Dengan dilantiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden, berakhirlah masa Orde Lama dan Indonesia memasuki masa Orde Baru.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa konflik-konflik besar di Indonesia pada periode 1959-1965 disebabkan penyimpangan sistem Demokrasi Terpimpin yang dilakukan pemerintah Indonesia saat itu dari UUD 1945, selain itu kebijakan-kebijakan pemerintahan yang tidak mementingkan kepentingan rakyat tetapi mementingkan kepentingan kelompok/partai, dan penyebab lain konflik-konflik pada masa itu adalah politik luar negeri serta kebijakan-kebijakan yang dilakukan Presiden Soekarno lebih condong ke arah sosialis-komunis.
Kebijakan-kebijakan pemerintah pada saat itu yang lebih condong ke arah nasionalis-komunis membuat PKI leluasa dan mulai melakukan kudetanya. Rakyat Indonesia yang kebingungan akhirnya turun ke jalanan dan meminta tiga permintaan yang hingga kini dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Hingga akhirnya, pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto yang berupa surat perintah yang dikenal dengan istilah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Surat Perintah Sebelas Maret yang bukan merupakan peralihan kekuasaan menimbulkan kebingungan di masyarakat karena terjadi dua kekuasaan di Indonesia. Akhirnya Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto dan berakhirlah masa Orde Lama yang digantikan oleh masa Orde Baru.
Berikut kejadian-kejadian penting yang terjadi di Indonesia pada periode 1959-1965.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berisi Manifesto Politik Republik Indonesia yang berintikan Usdek (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).
Pembentukan MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
Pelaksaan politik luar negeri Indonesia yang lebih condong ke arah negara-negara sosialis-komunis.
Pembubaran DPR dan pembentukan DPR-GR
Perampasan tanah yang dilakukan petani pada akhir tahun 1964-1965 yang membuat bentrokan-bentrokan besar terjadi antara petani dengan polisi.
Buruh-buruh yang menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika pada awal tahun 1965.
Pembubaran Partai Murba melalui ketetapan Presiden no 291 Tahun 1965 tanggal 21 September 1965.
Kudeta yang dilakukan PKI pada 30 September 1965.
Penumpasan terhadap PKI pada tanggal 1 Oktober 1965 sampai 5 Oktober 1965 yang kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
25 Oktober 1965, terbentuknya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang selanjutnya diikut oleh kesatuan-kesatuan aksi yang lain.
10 Januari 1966, Tritura.
Supersemar yang dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966.
Penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tanggal 20 Februari 1967.
12 Maret 1967, dilantiknya Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dapur Kreatif Graha Pustaka. Sejarah (IPA) Untuk SMA/MA Kelas XI Semester 2. Jakarta: Graha Pustaka.
Tim Dapur Kreatif Graha Pustaka. Sejarah (IPA) Untuk SMA/MA Kelas X Semester 1. Jakarta: Graha Pustaka.
Kuntowijoyo. 2001. Penghantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Mustopo, Habib, dan kawan. 2007. Sejarah SMA Kelas XII Program IPA. Jakarta: Yudhistira.
http://lananda365.blogspot.co.id/2014/05/makalah-ekonomi-pada-masa-demokrasi.html
https://hestiyanisarah96.wordpress.com/tugas-tugas/pkn/sejarah-demokrasi-terpimpin-di-indonesia/
https://rizkyfaul.wordpress.com/2013/12/31/sejarah-demokrasi-terpimpin-di-indonesia/
https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
https://id.wikipedia.org/wiki/Penumpasan_Pengkhianatan_G_30_S_PKI
http://caffri10.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-dan-kronologis-peristiwa-g-30.html
http://abstrak.web.id/contoh-makalah-yang-benar-rapi-lengkap
http://www.skipnesia.com/2014/10/contoh-kata-pengantar-makalah-yang-baik.html
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1999/10/17/0077.html
8