1
BAB I
PENDAHULUAN
Trombosis vena dapat terjadi pada vena dalam maupun vena superfisial pada keempat ekstremitas.1 Pada 90% kasus, trombosis vena dalam dapat berkembang menjadi emboli paru, dan kondisi yang beresiko tinggi menyebabkan kematian.1,2 Trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru dikelompokkan menjadi satu dan sering disebut sebagai tromboemboli vena/ venous thromboembolism (VTE).1
Angka kejadian VTE mendekati 1 per 1000 populasi setiap tahunnya.3,4 Pada satu pertiga kasus VTE bermanifestasi sebagai emboli paru, sedangkan dua pertiga lainnya hanya sebatas DVT.1,3,4 Angka kematian pada kasus DVT sebesar 6% dan 12% pada kasus emboli paru terhitung sejak 1 bulan diagnosis DVT dan emboli paru ditegakkan.4 Pada sebuah studi didapatkan fakta bahwa angka kematian akibat emboli paru sebesar 30%, termasuk kasus emboli paru yang terdiagnosa dari autopsi.3
Pembentukan, pembesaran dan perombakan tromboemboli vena bergantung pada keseimbangan antara rangsangan trombogenik dan mekanisme protektif (trombolitik).1 Pada tahun 1859, Rudolph Virchow menyimpulkan bahwa faktor rangsangan trombogenik adalah stasis aliran darah, perubahan pada dinding pembuluh darah, dan hiperkoagulabilitas.1,2 Mekanisme terbentuknya trombus akibat faktor rangsangan trombogenik, terutama yang berkaitan dengan kerusakan dinding pembuluh darah, dapat tergambar secara jelas pada trombosis arteri, namun pada vena, mekanisme tersebut masih belum jelas.2 Contohnya pada penelitian Sevitt, tidak ada bukti rusaknya dinding pembuluh darah vena pada 49 dari 50 kasus.2 Hal ini menjadi menarik untuk diangkat, dan dibahas pada makalah ini untuk menjelaskan mekanisme terjadinya trombosis vena terutama pada vena-vena yang masih intak.
Manifestasi klinik dari trombosis vena antara lain nyeri pada kaki, tenderness, bengkak, diskolorasi, distensi vena, penonjolan vena superfisial, dan sianosis. Namun diagnosis DVT secara klinik tidak spesifik karena masing-masing gejala diatas dapat disebabkan oleh kelainan-kelainan nontrombotik.1,5 Bahkan pada beberapa kasus, DVT dapat terjadi tanpa gejala, hingga akhirnya berkembang menjadi emboli paru dan menimbulkan kematian secara tiba-tiba.1. Gejala klinik DVT yang tidak khas dan komplikasinya yang mengarah ada kematian, bahkan dapat terjadi secara tiba-tiba membuat DVT menjadi kasus yang menarik dan penting untuk dibahas, terutama untuk dapat mendiagnosa DVT secara tepat.
DVT dapat secara efektif diterapi dengan antikoagulan dan juga heparin dengan berat molekul rendah, namun pemberian terapi tersebut meningkatkan risiko terjadinya perdarahan masif.1,5 Penegakan diagnosa DVT secara objektif harus dilakukan untuk menghindari risiko terjadinya hal tersebut. Tes objektif yang dapat dipakai untuk mendeteksi DVT adalah penilaian D-Dimer, dan imaging (seperti: ultrasonografi vena, venografi, CT scan, atau MRI).1,5 Bila ditemukan faktor risiko terjadinya DVT pada suatu kasus yang asimptomatik, terapi profilaksis dapat diberikan. Penggunaan profilaksis terhadap DVT jauh lebih efektif untuk menekan angka kematian akibat DVT yang berkembang menjadi emboli paru dibandingkan penatalaksanaan yang baru dilakukan saat diagnosa ditegakkan.1 Karena itulah penatalaksanaan DVT dan profilaksis DVT juga menjadi hal yang menarik untuk dibahas pada makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Trombosis vena adalah terbentuknya bekuan darah di dalam vena, yang sebagian besar tersusun atas fibrin dan sel darah merah dengan sebagian kecil komponen leukosit dan trombosit.1,6,7,8 Trombosis vena paling banyak terjadi pada vena dalam dari tungkai (deep vein thrombosis/DVT ), dan dapat menjadi emboli paru.6
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian VTE mendekati 1 per 1000 populasi setiap tahunnya.3,4,6 Pada satu pertiga kasus, bermanifestasi sebagai emboli paru, sedangkan dua pertiga lainnya hanya sebatas DVT.1,3,4,6 Pada beberapa penelitian juga didapatkan bahwa kejadian VTE meningkat sesuai umur, dengan angka kejadian 1 per 10.000 – 20.000 populasi pada umur dibawah 15 tahun, dan meningkat secara eksponensial sesuai dengan umur hingga 1 per 1000 kasus pada usia diatas 80 tahun.3,4,6 Insidensi VTE pada ras Asia dan Hispanic dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan ras Kaukasians, Afrika-Amerika, Latin, dan Asia Pasifik.4 Angka insidensi yang lebih rendah ini masih belum dapat dijelaskan, namun diduga berkaitan dengan rendahnya prevalensi faktor predisposisi genetik, seperti faktor V Leiden.4 Tidak ada perbedaan insidensi antara pria dan wanita, walaupun penggunaan kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon post menopause merupakan faktor resiko terjadinya VTE.4
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Berdasarkan "Triad of Virchow", terdapat 3 faktor stimuli suatu tromboemboli yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah.1,2,6. Selain faktor stimuli, terdapat juga faktor protektif yang berperan yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah aktif (contoh: antithrombin yang berikatan dengan heparan sulfat pada pembuluh darah dan protein C yang teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi aktif dan kompleks polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar, serta enzim fibrinolisis. Terjadinya VTE merefleksikan ketidakseimbangan antara faktor stimuli dengan faktor protektif.1
Faktor risiko terjadinya VTE dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu faktor risiko didapat (acquired) dan faktor risiko yang diturunkan (inherited), seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Faktor Risiko Terjadinya VTE1,6
Didapat (aquired)
Diturunkan (inherited)
Campuran Keduanya
Bertambahnya usia
Defisiensi antitrombin
Tingginya kadar PCI (PAI-3)
Tindakan pembedahan (ortopedi, bedah saraf, laparotomi,dll)
Defisiensi Protein C
Tingginya kadar salah satu faktor pembekuan darah dibawah ini: VIII, IX, XI
Trauma
Defisiensi Protein S
Tingginya kadar fibrinogen
Kateter vena sentral
Faktor V Leiden (FVL)
Tingginya kadar TAFI (Thrombin Activated Fibrinolysis Inhibitor)
Keganasan
Prothrombin G20210A
Menurunnya kadar TFPI (Tissue Factor Pathway Inhibitor)
Sindrom antifosfolipid
Kelompok Golongan darah non-O
Resistensi protein C teraktivasi pada absennya FVL
Puerperium
Disfibrinogenemia
Hiperhomosisteinemia
Imobilisasi lama (tirah baring, paralisis ekstremitas)
Faktor XIII 34val
Kehamilan
Obesitas
Kontrasepsi oral
Terapi sulih hormon
Penyakit myeloproliferatif
Polisitemia vera
Infark miokard
Varises
Pengaruh beberapa faktor risiko didapat terhadap terjadinya trombosis vena dijelaskan sebagai berikut:
Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah.7,9 Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.10,11
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan operatif, adalah sebagai berikut7 :
Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada waktu di operasi.
Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preoperatif, operatif dan post operatif.
Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di daerah tersebut.
Kehamilan dan persalinan12
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX.
Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.
Infark miokard10
Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat total.
Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.
Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang mempermudah timbulnya trombosis vena.
Obat-obatan konstrasepsi oral
Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena, menurunnya aktifitas antitrombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.
Obesitas dan varises
Obesitas dan varises dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas fibrinolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.
Proses keganasan8
Sel tumor dapat menyebabkan upregulasi banyak faktor koagulasi, down regulasi sistem protein fibrinolitik dan mengekspresikan beberapa sitokin atau protein regulator yang berkaitan dengan pembentukan trombus, sehingga rentan terhadap keadaan protrombotik (gambar 1).
Gambar 1. Efek protombotik sel tumor.8
Keadaan ini menyebabkan gangguan keseimbangan sistem koagulasi/antikoagulasi, kerusakan endotel pembuluh darah dan mengaktivasi trombosit. Profil dari tumor juga berpengaruh, karena beberapa jenis sel tumor mensekresikan faktor koagulasi seperti TFs (faktor III) dan trombin (faktor IIa). Juga dijumpai peningkatan faktor koagulasi dan protein regulator pada peritoneum pasien dengan kanker ovarium (faktor XII, faktor XI, faktor XIII, faktor II-reseptor faktor II, faktor VII, faktor X dan faktor I, fibrin, heparin cofactor II dan reseptor endothelial protein-C.
2.4 Manifestasi Klinik
Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena superfisialis pada tungkai, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti v. poplitea, v. femoralis dan v. iliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang terjadi DVT .1,7
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis.1,7
Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat. Sebagian besar trombosis di daerah betis bersifat asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke proksimal. Trombosis vena dalam pada ekstremitas inferior dapat menimbulkan Homan's sign yaitu nyeri pada betis atau fosa poplitea saat dorsofleksi sendi pergelangan kaki, tanda ini sensitif namun tidak spesifik.1,6
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :
bendungan aliran vena.
peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
emboli pada sirkulasi pulmoner.
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa1,6,7,14,15
Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan anterior paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.
Pembengkakan
Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.
Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu.
Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai.
Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah betis yang timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat (venous claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah.
2.5 Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada pasien yang dicurigai menderita DVT secara klinis antara lain : penegangan atau robeknya otot, kaki terkilir, limfangitis atau obstrunsi limfatik, refluks vena, kista popliteal, selulitis, pembengkakan kaki pada paralisis ekstremitas, abnormalitas sendi lutut. Diagnosa DVT tidak dapat diekslusikan tanpa pemeriksaan objektif.1
2.6 Penegakan Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam pendekatan pasien dengan kecurigan mengalami DVT. Keluhan utama DVT biasanya adalah kaki bengkak dan nyeri. Pada pemeriksan fisik tanda-tanda klasik seperti edema kaki unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfisial teraba, dan Homans sign positf tidak selalu ditemukan.1,6
Pemeriksan laboratorium didapatkan peningkatan kadar D-dimer dan penurunan Antihrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin. Konsentrasi D-dimer dibawah level tertentu atau bahkan negatif mengindikasikan tidak adanya trombosis.6 Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan ELISA ataupun dengan latex agglutination assay. Hasil negatif dari pemeriksaan ini sangat berguna untuk eksklusi DVT, sedangkan nilai positif, walaupun dapat menandakan adanya trombosis, namun tidak spesifik untuk DVT.6
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis DVT. Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis trombosis vena dalam, yaitu:7,9,14
Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya.
Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan akan terlihat gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke v. iliaca.
Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femrlis dan iliaca dibandingkan vena di betis.
Ultra sonografi (USG) Doppler
Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler. Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%. Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar di deteksi dengan cara objektif lain.
BAB III
PATOFISIOLOGI DVT
Pada tahun 1859, Virchow mengemukakan bahwa faktor utama terbentuknya trombosis vena adalah (1)hiperkoagulabilitas, (2)perubahan / kerusakan pada dinding pembuluh darah, (3)stasis aliran darah, dan sampai saat ini ketiga faktor tersebut masih berperan penting pada trombosis vena dan dikenal sebagai Triad Virchow. 1,2
3.1 Perubahan Daya Beku Darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiper koagulasi, defisiensi antitrombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.13, 16
3.2 Kerusakan Dinding Pembuluh Darah
Permukaan vena maupun arteri yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Bila tidak ada kerusakan atau inflamasi pada dinding pembuluh darah, trombosit tidak akan melekat pada dinding pembuluh darah, hal ini terutama dikarenakan tidak adanya reseptor pada endotel yang utuh untuk berikatan dengan trombosit, selain itu juga karena endotel menghasilkan beberapa substansi yang menjaga trombosit pada kondisi tak teraktivasi, seperti prostasiklin dan nitrit oksida.2
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikrofibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan sitsaling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.13
Meskipun demikian, pada kasus-kasus terdiagnosa DVT, jarang ditemukan adanya kerusakan langsung pada dinding pembuluh darah. Terbentuknya trombosis pada vena yang masih intak diduga akibat pengaruh adanya inisiasi koagulasi oleh tissue factor (TF), sebuah protein transmembran tipe I, dan faktor koagulasi VIIa yang mengubah Faktor X menjadi Xa dan memulai sistem koagulasi seperti pada gambar 2. Sejumlah TF beredar dalam darah bersamaan dengan suatu membran mikrovesikel. Pada sebuah studi eksperimental didapatkan bahwa TF yang berikatan dengan mikrovesikel berperan dalam proses trombosis dengan mengikat trombosit pada lesi di dinding pembuluh darah. Selain berikatan dengan trombosit, mikrovesikel tersebut juga bergabung dengan trombosit aktif. Dengan menyatukan trombosit-trombosit, mikrovesikel tersebut mentransfer TF ke plasma membran dan kemudian memicu proses pembentukan trombin dan deposisi fibrin pada tempat trombosis. Selain itu, peningkatan jumlah TF-mikrovesikel juga berhubungan dengan hiperkoagulasi, dengan didukung sebuah studi yang menyatakan bahwa DVT tanpa kerusakan dinding pembuluh darah terjadi secara bilateral. Kompleks TF-mikrovesikel juga dapat berikatan pada sel endotel, karena sel endotel juga mempunyai P-selectin seperti pada trombosit/keping darah. Seperti pada platelet, sel endotel juga menghasilkan phospatydilserin yang membantu fusi dan ikatan TF dan menginisiasi proses koagulasi.2
Skema-skema diatas menerngkan bahwa sel endotelial menjadi aktif unutk menyokong pembentukan trombus vena. Terdapat beberapa stimuli yang dapat mengaktifkan sel endotel, diantaranya, infeksi, kateter intravaskular, inflamasi dan mediator lokal seperti TNF, serta stasis aliran darah.2
3.3 Stasis Vena2
Aliran darah pada vena cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis terutama pada daerah-daerah yang mengalami imobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Hal ini dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.
Gambar 2.Skema terbentuknya trombosis vena
Selain itu, stasis vena juga dapat menyebabkan desaturasi hemoglobin dan mengarah pada suatu keadaan hipoksia pada endotelium. Suplai nutrisi endotelium berasal dari perfusi langsung sel-sel darah di dalam lumen. Keadaan hipoksia pada endotelium dapat menyebabkan berbagai respon seluler, mulai dari tidak ada respon, aktivasi sel, hingga kematian sel. Keadaan iskemia dapat memicu aktivasi sel endotelial untuk mengekpresikan P-selectin, yang kemudian memungkinkan kompleks TF-mikrovesikel untuk menginisiasi koagulasi dan trombosis.
BAB IV
PENATALAKSANAAN DVT
Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius.10, 17,18 Penatalaksanaan DVT baik non-farmakologis dan farmakologis diarahkan untuk dapat mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut1,7,15:
Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.
Mengurangi morbiditas pada serangan akut.
Mengurangi keluhan post flebitis
Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses tromboemboli.
4.1 Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi morbiditas pada serangan akut. Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena pasien diajurkan untuk: istirahat di tempat tidur (bedrest), meninggikan posisi kaki, dan dilakukan pemasangan stoking dengan tekanan kira-kira 40mmHg.7,15,19
Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada pasien-pasien dengan bedrest, namun tujuan bedrest pada pasien-pasien dengan DVT adalah untuk mencegah terjadinya emboli pulmonal. Prinsipnya sederhana, pergerakan berlebihan dari tungkai yang mengalami DVT dapat membuat klot terlepas dan "berjalan" ke paru. Dahulu, pasien dengan DVT aktif diharuskan bedrest selama 7-10 hari. Namun, pada penelitian Patrtsch dan Blattler dengan design kohort melaporkan bahwa ambulasi dini dapat mengurangi nyeri dan pembengkakan segera. Ambulasi dini dilakukan pada pasien DVT yang belum terdiagnosa PE dan tidak memiliki kelainan kardiopulmoner. Ambulasi dini juga disarankan pada pasien dengan kondisi hiperkoagulasi dan dilakukan sekitar 24jam setelah menerima terapi antikoagulan.19
Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 – 48 jam serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di anjurkan tindakan embolektomi. Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau emboli, biasanya tidak di anjurkan.7,15
4.2 Farmakologis
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin. Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di pakai adalah heparin.
Prinsip pemberian anti koagulan adalah save dan efektif. Save artinya anti koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin perlu di pantau waktu tromboplastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu pembekuan.
4.2.1 Pemberian Heparin
Heparin 5000iu bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus 1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drip selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 – 2,5 kontrol.
Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.
Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.
Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.
Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.
4.2.2 Pemberian Low Molecular Weight Heparin (LMWH)1
Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin. Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan (Nandroparin Fraxiparin).
Tabel 2. Regimen LMWH dalam penatalaksanaan DVT1
Nama Obat
Dosis
Enoxaparin
1mg/kgBB, terbagi 2 dosis per hari
Dalteparin
200UI/kgBB, satu kali sehari
Tinzaparin
175UI/kgBB, satu kali sehari
Nadroparin
6150UI terbagi 2 dosis, untuk BB 50-70kg
4100 UI terbagi 2 dosis, bila BB <50kg
9200 UI terbagi 2 dosis, bila BB >70kg
Reviparin
4200 UI terbagi 2 dosis, untuk BB 46-60kg
3500 UI terbagi 2 dosis bila BB 35-45kg
6300 UI terbagi 2 dosis, bila BB > 60kg
Fondaparinux
7,5mg satu kali sehari untuk BB 50-100kg
5mg satu kali sehari untuk BB <50kg
10mg satu kali sehari untuk BB>100kg
LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari, dan lebih dipilih dibanding pemberian heparin kontinu secara intravena, terutama pada pasien-pasien dengan trombosis vena tanpa komplikasi yang dapat rawat jalan.
Walaupun demikian, unfractionated heparin intravena tetap menjadi antikoagulan inisial pada pasien dengan gagal ginjal. Beberapa regimen LMWH yang telah terbukti efektif dalam menatalaksana trombosis vena dapat dilihat pada tabel 2.
4.2.3 Pemberian Antikoagulan Oral1,7 , 16
Pemberian terapi antikoagulan jangka panjang diperlukan untuk mencegah rekurensi. Obat yang biasa di pakai adalah antagonis vitamin K, seperti sodium warfarin. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR (International Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 – 3,0
Cara penyesuaian dosis
INR
Penyesuaian
1,1 – 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.
Kembali : 1 minggu
1,5 – 1,9 hari 1, naikkan 5% – 10% dari total dosis mingguan.
Kembali : 2 minggu
2,0 – 3,0 tidak ada perubahan.
Kembali : 1 minggu
3,1 – 3,9 hari : kurang 5% – 10% dari dosis total mingguan.
Mingguan : kurang 5 – 150 dari dosis total mingguan
Kembali : 2 minggu
4,0 – 5,0 hari 1: tidak dapat obat
mingguan : kurang 10%-20% TDM
kembali : 1 minggu
> 50 :
- Stop pemberian warfarin.
- Pantau sampai INR : 3,0
- Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.
kembali tiap hari.
Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible. Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah7,10 :
Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
Perdarahan yang baru di otak.
Alkoholisme.
Lesi perdarahan traktus digestif.
Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin, akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin tunggal.
Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini, terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen activator (TPA). TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang cukup memuaskan.11, 16
Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan sereral. Untuk mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Kaushansky, K, MA Lichtman, E Beutler, TJ Kipps, U Seligsohn, JT. Prchal. 2010. Venous Thrombosis. Williams Hematology, 8th edition. China: The McGraw-Hill Companies, Inc. P. 2700 – 2720.
Lopez, JA, C Kearon, dan AYY Lee. Deep Venous Thrombosis. Hematology. ASH Education Book January 1, 2004 vol. 2004 no. 1 439-456
Cushman, M. Epidemiology and Risk Factors for Venous Thrombosis. Semin Hematol. 2007 April ; 44(2): 62–69.
White, R. The Epidemiology of Venous Thromboembolism. Circulation. 2003;107:I-4 – I-8. (dari http://circ.ahajournals.org/content/107/23_suppl_I/I-4, diakses pada tanggal 7 November 2014, pkl 20.00)
Bates, SM, R Jaeschke, SM Stevens, S Goodoacre, PS Wells, MD Stevenson, C Kearon, HJ Schunemann, M Crowther, SG Pauker, R Makdissi, dan GH Guyatt. Diagnosis of DVT: Antithrombotic Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed: American College of Chest Physicians. Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. CHEST 2012; 141(2)(Suppl):e351S–e418S
Fauci, AS, DL Kasper, DL Longo, E Braunwald, SL Hauser, JL Jameson, J Loscalzo. Venous Thrombosis. Dalam: Harrison's Principles of Internal Medicine 17th Edition. 2008. Chapter 111. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Hirsh, J dan J Hoak. Management of Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism. Circulation.1996; 93: 2212-2245 (dari: http://circ.ahajournals.org/ content/93/12/2212.full, diakses pada tanggal 5 November 2014, pkl 22.00)
Hirsh, J, RD Hull, dan GE Raskob. Epidemiology and Pathogenesis of Venous Thrombosis. J Am Coll CardioI 1986;8:104B-113B. (dari: http://content.onlinejacc.org/data/Journals/JAC/22739/00122.pdf, diakses tanggal 5 November 2014, pkl 22.05)
Kerr T.M et al : Upper Extremity Venous Thrombosis Diagnosed by Duplex Scanning, The Am J of Surgery 160:120-206, 1990.
Breddin HK et al. Effects of a LMH on Thrombus Regression and Recurrent Thrombo-embolism in Patient DVT. N. Engl J of Med 344:626-631, 2001.
Thomas J.H et al. Pathogenesis Diagnosis, and Treatment of Thrombosis. The Am J of Surgery 160:547-551, 1990.
Ginsberg J.S. et al. Use of Antithrombotic Agent During Pregnancy. CHEST ;119:122S–131S.2001
Prandoni et al : DVT and the incidence of Subsequent Symptomatic cancer N. Eng J Med. 327:1128-1133, 1992.
Brenner B et al. Quantiation of Venous Clot Lysis D – Dimer Immuboassay During Fibrinolytic Theraphy Requires Correction for Sluble Fibrin Dehidration. Circulation 81(6) : 1818-1825, 1990.
Strandness D.E. et al : Long-term Sequelae of Acute Venous Thrombosis. JAMA 250:1289-1292, 1983.
Anderson D.R. et al : Efficacy and Cost of LMH Compared with Standard Heparin for Prevention of DVT After Total Hip Arthrosplasty. Ann of Intern Med. 119: 1105 – 1112.1993.
Raju S et al : Saphenectomy in the Presende of Chornic Venous Obstruction. Surgery 123:637-644, 1999.
Runge M.S et al : Prevention of Thrombosis and Rethrombosis. Circulation 82:655-657, 1990.
Partsch, H dan Blattler W. Compression and walking versus bed rest in the treatment of proximal deep venous thrombosis with low molecular weight heparin. J Vasc Surg. 2000; 32:861-869