DAUR ULANG SAMPAH DAN PEMBUATAN KOMPOS
Oleh : Ir Martin Darmasetiawan MSi
Penerbit :
EKAMITRA ENGINEERING
Ekamitra Engineering didirikan pada tahun 1993, sebagai perusahaan nasional yang bergerak dalam bidang jasa konsultasi, perusahaan ini dikelola oleh tenaga-tenaga yang profesional dan telah terbina dalam prinsip-prinsip efisiensi yang mengutamakan kualitas . Sejak berdirinya hingga saat ini, Ekamitra Engineering telah banyak mendapat kepercayaan baik dari instansi pemerintah maupun swasta untuk berperan serta secara proaktif dalam penanganan bidang-bidang pekerjaan yang meliputi perencanaan, manajemen, dan pelatihan peningkatan sumberdaya manusia. Dengan kemampuan manajemen yang dimilikinya Ekamitra Engineering telah mempunyai tenaga ahli yang profesional dan peralatan yang memadai sebagai penunjang dalam melayani pekerjaan yang akan ditangani, terutama dalam bidang-bidang yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : • •
• •
Pengembangan Kota Pengembangan infrastruktur kota: • Air Minum • Air Limbah dan Sanitasi Persampahan • Drainase • Konservasi Lingkungan Pemetaan
Adapun lingkup yang dikerjakan meliputi: •
Studi kelayakan
•
Rekayasa dan rancang bangun
•
Supervisi Konstruksi
•
Bantuan teknis monitoring dan evaluasi
•
Manajemen dan pelatihan
•
Pengembangan sumberdaya manusia
•
Sistem Informasi dan Manajemen
Alamat Keresponden:
Jl Kerinci 1/12 Jakarta Selatan Kebayoran Baru 12120 Tilp 021 725 4302 FAX 021 725 4008 Website : http://Ekamitra.cjb.net Email:
[email protected]
KATA PENGANTAR Selain dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah juga dapat diadur ulang. Pada saat iniliteratur mengenai daur ulang sampah yang komprehensif yang dapat dipakai sebagai panduan dalam perencanaan maupun operasional masih terbatas. Umumnya yang ada sebagian besar merupakan modul modul training dan panduan operasional yang sifatnya parsial.
Oleh sebab itu kami memberanikan diri untuk merangkum literatur dan tulisan tersebut dalam suatu buku yang lebih komprehensif dan dapat dipakai sebagai panduan prsoses belajar, panduan untuk perencanaan maupun untuk pelaksanaan di lapangan.
Adapun tulisan yang menjadi referensi utama dalam buku ini adalah materi training yang dikeluarkan Departemen Kimpraswil pada tahun 1997, yang isi tujuannya adalah untuk melatih para operator persampahan dan TPA di lapangan. lapangan.
Secara garis besar buku ini berisi mengenai m engenai : •
Konsep Zero Waste
•
Pembuatan Kompos
•
Pengelolaan Pembuatan Kompos
•
Pembiayaan Pengkomposan
Kami berharap buku ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa , praktisi maupun halayak ramai yang ingin memahami Persampahan dan Pengelolaannya.
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir Elisabet Pasaribu dan Ir Agus Riadi yang telah membantu menyelesaikan buku ini.
Di akhir kata, kami menyadari bahwa perangkuman ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan masukan demi berkembangnya ilmu persampahan sangat kami harapkan.
Jakarta, Juni 2004
Ir Martin Darmasetiawan MS
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Umum
Masalah sampah sebagai hasil aktivitas manusia di daerah perkotaan memberikan tekanan yang besar terhadap lingkungan, terutama bila tidak sampai terangkut dan akhirnya terakumulasi di tempat-tempat terbuka maupun badan air. Selain itu sampah yang diamankan di TPA, ternyata tidak mampu mengamankan lingkungan sekitarnya akibat pengelolaan yang kurang baik. Permasalahannya antara lain adalah:
Sampah yang dibuang di TPA 60-70% adalah materi organik yang mudah terurai. Sampah organik akan terdekomposisi dan dengan adanya limpasan air hujan terbentuk leachate (lindi/air sampah) yang akan mencemari sumber daya air baik air tanah maupun permukaan sehingga mungkin saja sumur-sumur penduduk di sekitarnya ikut tercemar.
Lindi yang terbentuk mengandung nilai BOD ( Biological Oxygen Demand = Kebutuhan Akan Oksigen Biologis) mencapai ribuan bahkan puluhan ribu ppm. Selain itu dalam lindi juga mengandung bibit penyakit patogen, seperti tifus, hepatitis, dan sebagainya.
1
Lindi mungkin juga mengandung logam berat, mengingat sampah yang diamankan di TPA tersebut masih tercampur antara sampah domestik B3 seperti batu baterai dengan sampah domestik biasa.
Proses dekomposisi yang terjadi di TPA bersifat anaerobik, sehingga terbentuk gas-gas berbahaya seperti metan, H 2S, dan gas-gas merkaptan lainnya. Kebakaran yang sering terjadi di TPA, salah satu pencetusnya adalah karena keberadaan gas-gas tersebut yang kemudian disulut oleh hal-hal kecil seperti puntung rokok yang masih menyala.
Kebakaran yang biasanya sulit untuk dipadamkan, akan meluas dan menimbulkan menyebabkan
asap disertai bau yang menyengat, sehingga gangguan
pernapasan
baik
petugas
maupun
masyarakat sekitar.
Kepulan asap hasil pembakaran sampah harus dicermati, mengingat kemungkinan mengandung zat berbahaya lainnya yaitu dioksin, zat karsinogenik penyebab kanker yang merupakan hasil pembakaran tidak sempurna dari sampah plastik.
Selain masalah-masalah teknis seperti di atas, masalah non teknis pun menjadi kendala bagi pengelola sampah kota, antara lain:
Keterbatasan lahan, terutama bagi kota-kota raya dan besar, sering menimbulkan masalah, karena itu sampah harus dibuang ke wilayah tetangga.
2
Masalah kebersihan belum menjadi program prioritas di daerah. Hal ini berdampak pada alokasi biaya kebersihan yang masih sangat terbatas.
Masyarakat masih belum memahami bahwa masalah kebersihan adalah
tanggung
jawab
bersama
antara
pemerintah
dengan
masyarakat.
Hukum dan peraturan perundang-undangan belum dilaksanakan atau ditegakkan.
1.2.
Paradigma Pengelolaan Sampah
Semua permasalahan di atas terjadi akibat hampir semua pemerintah daerah di Indonesia, masih menganut paradigma lama pengelolaan sampah kota, yang menitikberatkan hanya pada pengangkutan dan pembuangan akhir. TPA dengan sistem lahan urug saniter ( sanitary landfill ) yang ramah lingkungan, ternyata tidak ramah dalam aspek pembiayaan, karena membutuhkan biaya yang tinggi untuk investasi, konstruksi, operasi dan pemeliharaan.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, sudah saatnya pemerintah daerah mau merubah pola pikir yang lebih bernuansa lingkungan. Konsep pengelolaan sampah yang terpadu sudah waktunya diterapkan, yaitu dengan meminimasi sampah serta maksimasi kegiatan daur-ulang dan pengomposan disertai dengan TPA yang ramah lingkungan. Paradigma baru yang diharapkan dapat mulai dilaksanakan adalah dari orientasi pembuangan sampah ke 3
orientasi daur-ulang dan pengomposan. Melalui paradigma baru ini pengelolaan sampah tidak lagi merupakan satu rangkaian yang hanya berakhir di TPA (one-way street ), tetapi lebih merupakan satu siklus yang sejalan dengan konsep ekologi. Energi baru yang dihasilkan dari hasil penguraian sampah maupun proses daur-ulang lainnya tidak hilang percuma. Berdasarkan perhitungan Direktorat Bintek-Dept. PU (1999), bila konsep pengelolaan sampah terpadu dengan strategi 3-M (mengurangi, menggunakan kembali, mendaurulang) dilaksanakan, maka sampah yang akan masuk ke TPA berupa residu hanya sebesar 15%.
Sampah yang dapat dikomposkan
±
40%, didaur-ulang (20%), dan dibakar dengan menggunakan insinerator 25%. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan paradigma lama pengelolaan sampah.
Pewadahan
Pengumpulan dan
Pen an kutan
Sumber Sampah Pembuan an Akhir
GAMBAR 1.1. PARADIGMA LAMA PENGELOLAAN SAMPAH
4
Keberhasilan penerapan paradigma baru ini dapat tercapai tentu melalui koordinasi yang baik dengan instansi terkait seperti Dinas Pertamanan, Dinas Pasar, Bapedalda, Kelurahan, dsb. Masyarakat tentu saja harus terlibat aktif, misalnya dalam kegiatan pemilahan dan pengumpulan sampah di sumber.
Pewadahan pemilahan dan pengolahan di rumah tangga : kompos, daur-ulang
Pengumpulan, Pemindahan, pengolahan skala
Pengangkuta Pengolahan: -Daur-ulang -Kompos -Pembakaran
Sumber Sampah
Pembuangan Akhir
GAMBAR 1.2. PARADIGMA BARU PENGELOLAAN SAMPAH
5
1.3.
MINIMASI SAMPAH
Minimasi limbah/sampah adalah upaya untuk mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi dengan reduksi dari sumber dan/atau pemanfaatan limbah.
Pada dasarnya minimasi limbah/sampah merupakan bagian dari pengelolaan limbah dan dapat mengurangi penyebaran limbah di lingkungan, meningkatkan efisiensi produksi dan dapat memberikan keuntungan ekonomi, antara lain:
a. Mengurangi biaya pengangkutan ke pembuangan akhir; b.
Mengurangi biaya pembuangan akhir;
c. Meningkatkan
pendapatan
karena
penjualan
dan
pemanfaatan limbah.
Usaha minimisasi limbah di Indonesia telah dimulai di sektor industri pada tahun 1995 dengan membuat suatu komitmen nasional dalam penerapan strategi produksi bersih dalam proses industri. Walaupun demikian usaha serupa belum dimulai di sektor domestik/rumah tangga dan baru terbatas pada kegiatan pengumpulan dan sedikit daur-ulang.
Salah satu bagian dari minimasi limbah yang perlu diperhatikan adalah limbah atau sampah padat yang dihasilkan dari pengemasan (packaging ) karena jumlah yang dihasilkan akan semakin meningkat
6
di masa mendatang. Upaya minimisasi limbah padat rumah tangga antara lain melalui kegiatan daur-ulang dan produksi kompos.
Sangat disayangkan bahwa Pemerintah Daerah belum memiliki komitmen yang kuat mengenai minimisasi limbah rumah tangga. Komitmen ini sudah seharusnya dituangkan dalam kebijaksanaan Pemda dan diperkuat dengan peraturan daerah. Di tingkat Pusat kegiatan 3-M (Mengurangi, Menggunakan kembali, Mendaur-ulang) sudah dibakukan melalui kebijaksanaan, strategi dan dijabarkan dalam pelaksanaan kegiatan yang lebih konkrit. Pelaksanaan kegiatan tersebut antara lain berupa pemberian paket bantuan proyek perintisan UDPK (Usaha Daur-ulang dan Produksi Kompos) di 50 kota Dati II di Indonesia. Petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan tata cara tentang kegiatan 3-M sudah disusun dan disebarluaskan melalui diseminasi-diseminasi oleh Ditjen Cipta Karya Dept. PU. Tetapi harapan untuk dapat merangsang Pemda melakukan kegiatan pengomposan dan daur-ulang sehingga dapat mengefisienkan biaya pengelolaan sampah kota ternyata belum dapat tercapai.
1.4.
Penanganan Sampah 3-M
Penanganan sampah 3-M adalah konsep penanganan sampah dengan cara mengurangi (M1), menggunakan kembali (M2), dan mendaur-ulang sampah (M3) mulai dari sumbernya (Dit, Bintek DJCK, 1999). Penanganan sampah 3-M sangat penting untuk dilaksanakan dalam rangka pengelolaan sampah padat perkotaan yang efisien dan efektif sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya pengelolaan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. 7
Berdasarkan perhitungan di atas kertas, bila sampah kota dapat ditangani melalui konsep 3-M, maka sampah yang akan sampai di TPA hanya
±
20% saja. Hal itu berarti akan sangat mengurangi biaya
pengangkutan dan pembuangan akhir. Penanganan sampah 3-M akan lebih baik lagi bila dipadukan dengan siklus produksi dari suatu barang yang akan dikonsumsi. SAMPAH 100 %
Sampah Organik ± 70%
Pemanfaat an Lain ± 2%
Sampah Anorganik ±
Pengomposan ±
Residu ± 30%
38%
28%
±
Daur-ulang
Residu ± 8%
±
20%
Pembakaran
Residu ±
B3
4%
±
±
10%
25%
Residu ±
2,5%
±
5%
TPA Gambar 2.3. Potensi 3-M Dalam Pengelolaan Sampah (Bintek DJCK,1999) Langkah-langkah pengerjaan penanganan sampah 3-M dapat disesuaikan dengan sumber penghasil sampah, seperti daerah perumahan, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan daerah komersial.
8
2%
Tabel 1,2, dan 3 berikut menjelaskan tentang upaya penanganan sampah 3-M di beberapa sumber sampah. Tabel 2.1. Upaya 3-M di Daerah Perumahan dan Fasilitas Sosial
Penanganan
Cara Pengerjaan
3-M
M-1
M-2
M-3
Hindari pemakaian dan pembelian produk yang menghasilkan sampah dalam jumlah besar Gunakan produk yang dapat diisi ulang Kurangi penggunaan bahan sekali pakai Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada pihak yang memerlukan.
Gunakan kembali wadah/kemasan untuk fungsi yang sama atau fungsi lainnya Gunakan wadah/kantong yang dapat digunakan berulangulang. Gunakan baterai yang dapat diisi kembali.
Pilih produk dan kemasan yang dapat didaur-ulang dan mudah terurai Lakukan penanganan untuk sampah organik menjadi kompos dengan berbagai cara yang telah ada (sesuai ketentuan) atau manfaatkan sesuai dengan kreatifitas masing-masing. Lakukan penanganan sampah anorganik menjadi barang yang bermanfaat.
9
Tabel 2.2. Upaya 3-M di Fasilitas Umum
Penanganan
Cara Pengerjaan
3-M
M-1
M-2
M-3
Gunakan kedua sisi kertas untuk penulisan dan fotokopi. Gunakan alat tulis yang dapat diisi kembali. Sediakan jaringan informasi dengan komputer (tanpa kertas) Maksimumkan penggunaan alat-alat penyimpan elektronik yang dapat dihapus dan ditulis kembali. Khusus untuk rumah sakit, gunakan insinerator untuk sampah medis. Gunakan produk yang dapat diisi ulang. Kurangi penggunaan bahan sekali pakai.
Gunakan alat kantor yang dapat digunakan berulangulang. Gunakan peralatan penyimpan elektronik yang dapat dihapus dan ditulis kembali.
Olah sampah kertas menjadi kertas kembali. Olah sampah organik menjadi kompos.
10
Tabel 2.3. Upaya 3-M di Daerah Komersial (Pasar, Pertokoan, Restoran, Hotel) Penanganan 3-M
Cara Pengerjaan
M-1
M-2
M-3
Berikan insentif oleh produsen bagi pembeli yang mengembalikan kemasan yang dapat digunakan kembali. Berikan tambahan biaya bagi pembeli yang meminta kemasan/bungkusan untuk produk yang dibelinya. Memberikan kemasan/bungkusan hanya pada produk yang benar-benar memerlukannya. Sediakan produk yang kemasannya tidak menghasilkan sampah dalam jumlah besar. Kenakan biaya tambahan untuk permintaan kantong plastik belanjaan. Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada yang memerlukannya. Gunakan kembali sampah yang masih dapat dimanfaatkan untuk produk lain, seperti pakan ternak. Berikan insentif bagi konsumen yang membawa wadah sendiri, atau wadah belanjaan yang diproduksi oleh swalayan yang bersangkutan sebagai bukti pelanggan setia. Sediakan perlengkapan untuk pengisian kembali produk umum isi ulang (minyak, minuman ringan). Jual produk-produk hasil daur-ulang sampah dengan lebih menarik. Berilah insentif kepada masyarakat yang membeli barang hasil daur-ulang sampah. Olah kembali buangan dari proses yang dilakukan sehingga bermanfaat bagi proses lainnya, Lakukan penanganan sampah organik menjadi kompos atau memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan. Lakukan penanganan sampah anorganik.
11
1.5.
Daur-Ulang dan Pengomposan
Secara garis besar, sampah dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik dapat terurai secara alamiah karena banyak berasal dari sisa daun-daunan, buah-buahan, sayuran, dan sisa makanan lainnya. Sementara itu sampah anorganik berasal dari bahan sintetis yang sukar terurai.
Kedua golongan sampah mempunyai potensi yang tinggi untuk didaur-ulang. Sampah organik didaur-ulang menjadi kompos, dan sampah anorganik didaur-ulang dalam proses selanjutnya pada industri daur-ulang.
Daur-ulang menggunakan prinsip 2-M dari 3-M yang ada yaitu menggunakan kembali (reuse ) dan mendaur-ulang (recycle ).
1.5.1. Menggunakan Kembali
Barang-barang yang habis dipakai dan tidak bermanfaat lagi disebut sampah. Anggapan ini berbeda bila benda-benda yang dianggap sampah karena sifat dan karakteristiknya dapat dimanfaatkan kembali tanpa melalui proses produksi. Sebagai contoh: berbagai jenis botol, perabotan rumah tangga, dan lainnya yang sudah tidak terpakai lagi. Melalui proses pencucian, perbaikan, maupun sedikit penggantian, benda-benda tersebut dapat digunakan kembali seperti semula. Dengan demikian fungsi benda-benda tersebut sebagai sampah menjadi tertunda. Sehingga pada saat itu jumlah sampah 12
akan berkurang sebesar jumlah benda yang dapat dimanfaatkan kembali.
1.5.2. Mendaur-ulang
Sampah didaur-ulang (recycled ) untuk dijadikan bahan baku industri (raw
material )
remanufacture ).
dalam
proses
produksi
(reprocessing
dan
Dalam proses ini, sampah sudah mengalami
perubahan baik bentuk maupun fungsinya. Sebagai contoh sampah plastik, karet, kertas, besi, tembaga, alumunium, dengan melalui proses mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi produk akhir yang dapat digunakan kembali.
Kegiatan daur-ulang dan pengomposan dengan sampah perkotaan sebagai bahan baku mempunyai banyak keuntungan dan dapat diuraikan sebagai berikut :
1.5.3. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah perkotaan.
Komposisi sampah di Indonesia sebagian besar terdiri atas sampah organik, sekitar 50% sampai 60% dapat dikomposkan sedangkan sampah anorganik sekitar 20% dapat didaur-ulang. Apabila hal ini dapat direalisasikan sudah tentu dapat membantu dalam pengelolaan sampah di perkotaan, yaitu :
Memperpanjang umur tempat pembuangan akhir (TPA), karena semakin banyak sampah yang dapat dikomposkan, semakin sedikit sampah yang dikelola. 13
Meningkatkan efisiensi biaya pengangkutan sampah, disebabkan jumlah sampah yang diangkut ke TPA semakin berkurang.
Meningkatkan kondisi sanitasi di perkotaan.
Semakin banyak sampah yang dibuat kompos, diharapkan semakin sedikit pula masalah kesehatan lingkungan masyarakat yang timbul. Dalam proses pengomposan, panas yang dihasilkan dapat mencapai 600C, sehingga kondisi ini dapat memusnahkan mikroorganisme patogen yang terdapat dalam masa sampah.
a.
Dari segi sosial kemasyarakatan, daur-ulang dan pengomposan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah kota dan meningkatkan pendapatan keluarga.
b.
Daur-ulang
dan
pengomposan
berpotensi
mengurangi
pencemaran lingkungan perkotaan, karena jumlah sampah yang dibakar atau dibuang ke sungai menjadi berkurang. Selain itu aplikasi kompos pada lahan pertanian berarti mencegah pencemaran karena berkurangnya kebutuhan pemakaian pupuk buatan dan obat-obatan yang berlebihan.
c.
Membantu melestarikan sumber daya alam. Pemakaian kompos pada perkebunan akan meningkatkan kemampuan lahan kebun dalam menahan air, sehingga lebih menghemat kandungan air. Selain itu pemakaian humus sebagai media tanaman dapat digantikan oleh kompos, sehingga eksploatasi humus hutan dapat dicegah. Selain itu pemenuhan bahan baku pabrik dari hasil pemulungan sampah menyebabkan penggunaan bahan
14
baku yang berasal dari alam menjadi berkurang dan dapat ditekan
e. Pengomposan juga berarti menghasilkan sumber daya baru dari sampah, yaitu kompos, yang kaya akan unsur hara mikro.
1.6.
KEBIJAKSANAAN
Dalam rangka meningkatkan upaya daur-ulang dan pengomposan, maka Pemerintah dalam Agenda 21 Indonesia mengusulkan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pengelolaan sampah dalam periode 1998-2020 sebagai berikut:
1.6.1. Tahap I : 1998 – 2003
Meningkatkan komitmen pemerintah pada kegiatan daur-ulang dan pengomposan dengan cara:
•
Menetapkan daur-ulang dan pengomposan sebagai salah satu tujuan utama dalam strategi pengelolaan limbah padat;
•
Memantapkan kebijakan dan mengembangkan program proaktif untuk kegiatan daur-ulang dan pengomposan dalam program pengelolaan sampah nasional;
•
Mengembangkan
program
daur-ulang
untuk
kemasan
dan
memberi perhatian khusus kepada bahan yang limbahnya menjadi masalah yang aktual, seperti botol plastik; •
Menetapkan target nasional untuk daur-ulang dan pengomposan.
15
1. Memberi contoh perwujudan komitmen Pemerintah pada kegiatan daur-ulang dan pengomposan dengan mendorong instansi Pemerintah dan Badan Usaha Pemerintah untuk menggunakan produk-produk daur-ulang/pengomposan.
2. Mengkoordinasikan dan/atau mengintegrasikan kegiatan daurulang sektor informal seperti pemulung, pengusaha UDPK, dengan sektor formal seperti Pemerintah Daerah, dan juga Pemerintah Pusat. Kegiatan-kegiatannya dapat berupa:
•
Menyebarluaskan informasi tentang manfaat kegiatan koordinasi tersebut;
•
Melakukan analisis terhadap alternatif struktur koordinasi atau kerjasama yang sesuai;
•
Melakukan pendekatan terhadap terhadap anggota DPR, Walikota, dan lembaga terkait lannya;
•
Memantapkan kriteria daur-ulang dan pengomposan dalam penilaian kebersihan kota Nasional;
•
Memperbolehkan kegiatan daur-ulang dan pengomposan di lokasi TPS dan TPA, dan mengkoordinasikan rute transportasi dengan lokasi daur-ulang dan pengomposan;
•
Mengupayakan subsidi bagi kegiatan daur-ulang yang didasarkan
pada
analisis
penghematan
biaya
transportasi; •
Mempertimbangkan kemungkinan subsidi oleh Pemda untuk pembentukan badan usaha atau koperasi yang melakukan kegiatan daur-ulang dan pengomposan.
16
3. Meneruskan pemberian dukungan secara berkelanjutan kepada pelaku sektor informal seperti pemulung dan lapak dengan memberikan akses pinjaman untuk pengadaan peralatan pembuat kompos dan daur-ulang.
4. Mengembangkan
program
pendidikan
dan
penyadaran
masyarakat yang:
•
Mempromosikan pemakaian produk yang menggunakan bahan daur-ulang melalui kampanye nasional, seminar, dan pemberitaan oleh media massa, dan;
•
Menumbuhkan
peran
serta
aktif
masyarakat
dalam
kegiatan daur-ulang dan pengomposan pada tingkat rumah tangga seperti pemisahan pada sumber sampah untuk sampah basah/organik dan sampah kering/anorganik.
5.
Mengembangkan dan menerapkan strategi pemasaran yang dapat meningkatkan jumlah pemakai kompos. Strategi ini dapat dibedakan atas strategi untuk pemakai jumlah besar seperti pertanian, perkebunan, pembibitan, dan sebagainya, dan pemakai jumlah kecil seperti rumah tangga.
6. Meninjau kembali kebijakan impor limbah untuk memastikan bahwa impor tadi tidak mengganggu industri daur-ulang lokal.
7. Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi produk-produk baru yang dapat dihasilkan melalui usaha daur-ulang.
17
8. Menyediakan insentif bagi konsumen yang menggunakan produk hasil daur-ulang dan produsen yang mengemas produknya secara minim melalui instrumen seperti subsidi, product charge, dan deposit refund.
Program kegiatan yang diusulkan untuk dilaksanakan pada tahun 2003– 2020 adalah sebagai berikut:
1.6.2. Tahap II : 2003 – 2020
1. Menerapkan sistem pengelolaan limbah yang mengintegrasikan minimasi, daur-ulang dan pengomposan, pengumpulan, serta pembuangan akhir yang akrab lingkungan. 2. Mengembangkan dan melaksanakan sistem pemisahan sampah, bila layak secara ekonomis, yang memisahkan sampah ke dalam beberapa kategori seperti bahan organik, gas, kertas, logam, dan sebagainya.
3. Melanjutkan penelitian tentang pemakaian dan pemasaran produk daur-ulang.
4. Menganalisis kelayakan ekonomi, keuangan, dan teknologi serta menerapkannya bila layak, seperti pemisahan/pemilahan mekanik berskala besar dan peralatan mekanik pembuatan kompos.
5. Mengevaluasi dan memperbaiki insentif dan disinsentif untuk daur ulang dan pengomposan sampah yang diterapkan di periode sebelumnya. 18
6. Melanjutkan dan memperbaiki program penataan dan penyuluhan masyarakat secara berkesinambungan yang mempromosikan pemakaian produk yang menggunakan bahan daur-ulang dan kompos.
Menyikapi dan sebagai tindak lanjut dari Agenda 21 Indonesia, Ditjen PUOD
Depdagri
mengeluarkan
Draft
Kep.Mendagri
tentang
Pengelolaan Sampah (April 1997) yang menetapkan dasar hukum dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam rangka pelayananan sampah/kebersihan kota. Kepmen ini antara lain merekomendasikan sektor informal daur-ulang sampah (SIDUS) terdiri atas pemulung, lapak, dan bandar harus diintegrasikan ke dalam sistem pengelolaan sampah kota dan SIDUS diperbolehkan untuk menggunakan fasilitas kebersihan yang ada, seperti TPS-TPS yang ada. Selain itu kerjasama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta juga diatur dalam Kepmen ini. Prinsip utamanya adalah kerjasama yang seimbang akan menghasilkan keuntungan yang berkualitas.
Target daur-ulang sampah kota adalah sebagai berikut: -
Daur-ulang 50% dari berat sampah sampah tahun 2000 dan 75% sampai dengan tahun 2005.
-
Pembuatan kompos diharapkan dapat mencapai 25% dari total sampah organik sampai tahun 2000 dan 50% sampai tahun 2005.
1.7. SARANA PELAKSANAAN Menurut
Agenda
21
Indonesia,
sarana
pelaksanaan
sangat
dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan program daur-ulang dan 19
pengomposan. Sarana-sarana tersebut meliputi aspek pendanaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan sumber daya manusia, serta kelembagaan dan instrumen hukum.
1.7.1. Aspek Pendanaan
Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah melalui otonomi daerah, maka pembiayaan dari Pemerintah Daerah sangat dibutuhkan terutama untuk program kampanye, pemasaran, pelatihan dan pemberian akses kepada pinjaman untuk unit pengomposan. Untuk kegiatan daur-ulang
1.7.2. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
•
Mengembangkan
teknologi
tepat
guna
daur-ulang
dan
pengomposan. •
Mengembangkan teknologi tepat guna untuk pemilahan sampah
•
Mengembangkan pengetahuan mengenai ekonomi lingkungan untuk mengetahui instrumen ekonomi dan hukum seperti apa yang dapat mendorong pengurangan volume kemasan dan limbah dalam proses produksi.
1.7.3. Pengembangan Sumberdaya Manusia
•
Memasukkan sistem daur-ulang dan pengomposan ke dalam program pelatihan bidang pengelolaan sampah untuk aparat pemerintah daerah. 20
•
Melakukan pelatihan yang berkaitan dengan pembiayaan, teknologi, operasi dan pemasaran produk daur-ulang dan pengomposan terhadap pelaku sektor informal seperti pemulung dan lapak, masyarakat dan aparat pemda terkait.
•
Mengembangkan berbagai program penyuluhan dalam usaha mempromosikan
penggunaan
produk
daur-ulang
dan
pengomposan.
1.7.4. Kelembagaan dan Instrumen Hukum
Meningkatkan kemampuan dan peran Pemda untuk mendukung pelaku sektor informal dan komersial, dengan cara misalnya:
-
Meningkatkan koordinasi di antara aparat Pemda terkait, sehingga dapat mengembangkan sistem koordinasi yang tepat antara sektor formal dan informal;
-
Meningkatkan pengetahuan aparat Pemda mengenai sistem daur-ulang dan pengomposan;
-
Menyediakan forum pertemuan dan diskusi antara pelaku dan instansi terkait.
Mendukung koperasi pemulung dan LSM yang bergerak di bidang daur-ulang dan pengomposan melalui misalnya pemberian akses terhadap pinjaman untuk pembelian peralatan daur-ulang dan pengomposan.
21
BAB II PENERAPAN KONSEP ZERO WASTE DALAM PENGELOLAAN SAMPAH PERKOTAAN 2.1.
Umum
Masalah sampah perkotaan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan baik di Indonesia maupun kota – kota di dunia, karena hampir semua kota menghadapi masalah persampahan.
Meningkatnya pembangunan kota, penambahan penduduk, tingkat aktifitas dan tingkat sosial ekonomi masyarakat, diiringi dengan meningkatnya jumlah timbulan sampah dari hari ke hari serta sarana dan
prasarana
pemerintah
yang
terbatas
akan
menambah
permasalahan sampah yang semakin kompleks. Terlebih lagi dengan masa krisis yang melanda Indonesia saat ini.
Dari hasil evaluasi kebersihan kota – kota di Indonesia bahwa tidak seluruh sampah dapat diangkut oleh kendaraan pengangkut sampah untuk dibuang ke TPA. Hal ini disebabkan masih terbatasnya sarana dan prasarana yang dipunyai oleh Pemerintah Daerah, sehingga pada beberapa wilayah atau kawasan masih tampak sampah berceceran tidak terangkut yang apabila dibiarkan akan menimbulkan berbagai dampak negatif baik dari segi lingkungan, kebersihan, dan pada akhirnya berpengaruh pada kesehatan masyarakat. Dilain pihak 1
lahan untuk pembuangan akhir sampah di perkotaan semakin terbatas dan semakin mahal. Dengan demikian diperlukan suatu upaya
terobosan
pengelolaan
sampah
efektif
dalam
rangka
meningkatkan efesiensi dan pengurangan sampah semaksimal mungkin melalui pemanfaatan sampah melalui teknologi pengolahan tepat guna secara terintegrasi dan sedekat mungkin dari sumbernya.
2.2.
Sampah Sebagai Limbah
Sampah sebagai sumber pencemar lingkungan apabila tidak dikelola dengan
baik
akan
mengakibatkan
pengotoran
lingkungan,
pencemaran air, tanah, tempat berkembangnya bibit penyakit, penyumbat saluran air yang menyebabkan banjir. Selain itu sering pula timbunan sampah merusak keindahan kota dan menimbulkan bau yang kurang enak.
Pengertian sampah diatas, sampah dapat diartikan sebagai limbah pada sisa aktivitas manusia/masyarakat, tidak terpakai, dapat bersifat
organik
maupun
anorganik;
karena
membahayakan
kesehatan lingkungan harus dibuang/ disingkirkan/dikelola dari lingkungan. Dengan demikian diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk mengelola sampah perkotaan.
2.3.
Sampah Sebagai Sumberdaya
Dilain pihak terdapat pengertian bahwa sampah merupakan potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai
2
tambah sebagai produk daur ulang maupun produk baru. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan pendapatan.
Penerapan konsep zero waste dalam pengelolaan sampah dalam hal ini mengikuti pengertian pada butir kedua yaitu memanfaatkan sampah semaksimal mungkin dengan cara pengolahan yang terintegrasi, sedekat mungkin dari sumber sampah, dan dapat menghasilkan produk baru atau bahan daur ulang dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
2.4.
Komposisi dan Karakteristik Sampah
Komposisi dan karakteristik sampah merupakan hal yang terpenting dalam memilih teknologi pengolahan sampah. Komposisi sampah rata – rata di Indonesia mayoritas adalah organik dengan komposisi 73.98%, selanjutnya diikuti oleh bahan anorganik 26.48%.
Tabel 2.1. Komposisi dan karakteristik sampah rata – rata
No
Komponen
%
Kadar Air
N. Kalor
(%)
(kkal/kg)
1
Organik
73.98
47.08
674.57
2
Kertas
10.18
4.97
235.55
3
Kaca
1.75
4
Plastik
7.86
2.28
555.46
5
Logam
2.04
6
Kayu
0.98
0.32
38.28
3
7
Kain
1.57
0.63
42.64
8
Karet
0.55
0.02
7.46
9
Baterai
0.29
10
Lain – lain
0.86 55.3
1553.96
Total
100
Sumber : Studi Komposisi Dan Karakteristik BPPT, 1994 Dari penelitian yang pernah dilakukan, komposisi sampah bervariasi antara 70 – 80 %, nilai kalor sampah bervariasi antara 1000 – 2000 kkal/kg dan kadar air bervariasi antara 50 – 70 %. Dari data tersebut maka komponen organik masih merupakan komponen terbesar dan menyebabkan sampah kota mempunyai kadar air yang cukup tinggi. Karakteristik sampah diatas, maka sehari saja sampah dibiarkan menumpuk, maka akan terjadi kegiatan mikroorganisme anaerobik yang menyebabkan sampah berbau tidak sedap. Disisi lain sampah yang
tidak
terkelola
dengan
baik
akan
mengakibatkan
berkembangnya vektor penyakit.
2.5.
Penerapan Teknologi Pengolhan dan Pemanfaatannya dalam Pengelolaan Sampah
Salah satu untuk mengurangi jumlah sampah di perkotaan dan menunjang penerapan zero z ero waste adalah dengan melakukan pengolahan sampah. Saat ini pengurangan/reduksi sampah hanya dilakukan melalui kegiatan pemulungan sampah (daur ulang) yang secara sporadis telah dilakukan oleh sektor informal (pemulung). Pengomposan sampah baru dilakukan dalam tahap skala kecil melalui Unit Daur Ulang dan Produksi Kompos (UDPK) yang ada 4
umumnya terletak di TPA, sehingga merupakan beban dan tugas yang harus dilakukan oleh Pemda untuk mengangkut sampah ke TPA.
Program daur ulang di Indonesia yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1986 baru dapat mencapai 1,8 %, kondisi ini belum cukup untuk mengurangi laju pertumbuhan jumlah sampah yang akan meningkat lima kalinya pada tahun 2020.
Dengan demikian penerapan teknologi pengolahan sampah sudah waktunya untuk dimulai, sehingga sampah sisa yang harus dibuang ke lahan pembuangan akhir hanya sedikit dan penggunaan lahan pembuangan akhir lebih lama, selain itu pencemaran lingkungan dapat ditekan.
Ada tiga jenis teknologi yang saat ini banyak diterapkan yaitu teknologi pengomposan sampah, teknologi pembakaran sampah dan teknologi daur ulang sampah.
2.5.1. Pengomposan Sampah
Pengomposan merupakan salah cara dalam mengolah bahan padatan organik untuk menjadi kompos yang secara nasional ketersediaan bahan organik dalam sampah kota cukup melimpah yaitu antara 70 – 80 %. Sayangnya, sebagian besar sampah kota belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai kompos. Pada dasarnya pengomposan merupakan proses degradasi materi organik menjadi stabil melalui reaksi biologis mikroorganisme dalam kondisi 5
yang terkendali. Teknologi pengomposan sampah yang dilakukan saat ini sangat beragam ditinjau dari segi teknologi maupun kapasitas produksinya antara lain :
−
Pengomposan dengan cara aerobik,
−
Pengomposan dengan cara semi aerobik,
−
Pengomposan dengan reaktor cacing, dan
−
Pengomposan dengan menggunakan additive .
Kompos sebenarnya mempunyai nilai pasar, akan tetapi studi BPP Teknologi pada tahun 1990 menemukan bahwa hanya 4% dari pedagang tanaman hias yang menjual kompos karena kompos ini kurang populer pada masyarakat.
Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah ini dapat digunakan untuk :
−
Menguatkan struktur lahan kritis;
−
Menggemburkan kembali tanah pertanian;
−
Menggemburkan kembali lahan pertamanan;
−
Sebagai bahan penutup sampah di TPA;
−
Reklamasi pantai, pasca penambangan ;
−
Sebagai media tanaman, mengurangi pupuk kimia.
2.5.2. Pembakaran Sampah
6
Teknologi pembakaran sampah dalam skala besar/skala kota dilakukan di instalasi pembakaran yang disebut juga dengan insinerator. Dengan teknologi ini, pengurangan sampah dapat mencapai 80 % dari sampah yang masuk, sehingga hanya sekitar 20% yang merupakan sisa pembakaran yang harus dibuang ke TPA. Sisa pembakaran ini relatif stabil dan tidak dapat membusuk lagi, sehingga lebih mudah penanganannya.
Keberhasilan penerapan teknologi pembakaran sampah sangat tergantung dari sifat fisik dan kimia sampah serta kemampuan dana maupun manajemen dari Pemerintah Daerah. Sifat fisik dan kimia sampah yang sesuai diolah dengan teknologi ini menurut instalasiinstalasi yang sudah beroperasi terdahulu adalah :
−
Nilai kalor sampah campuran antara 950 – 2.100 kkal/kg,
−
Kadar air antara 35 – 55 % dan
−
Kadar abu antara 10 – 30 %.
Pemanfaatan sisa abu hasil pembakaran ini dapat digunakan antara lain :
−
Sebagai pengganti tanah penutup lahan TPA, pasca penambangan.
−
Sebagai tanah urug.
−
Sebagai campuran bahan konstruksi (batako, paving block , dsb). 7
−
Sebagai campuran kompos.
2.5.3. Daur Ulang Sampah
Kegiatan daur ulang sampah sudah dimulai sejak beberapa tahun terakhir ini yang dilakukan oleh sektor informal. Para pemungut barang bekas yang disebut pula dengan pemulung, melaksanakan kegiatan
pemungutan
sampah
dihampir
seluruh
subsistem
pengelolaan sampah. Komponen sampah yang mempunyai nilai tinggi untuk dimanfaatkan kembali, berdasarkan penelitian BPP Teknologi tahun 1990, adalah sampah kertas, logam dan gelas. Prosentase sampah tersebut (dari jumlah awal) yang diambil oleh pemulung adalah seperti pada Tabel berikut ini :
Tabel 2.1. Prosentase Pengambilan Sampah Oleh Pemulung
No.
Komponen Sampah
%
1.
Kertas
71,20
2.
Plastik
67,05
3.
Logam
96,09
4.
Gelas
85,05
Beberapa pemanfaatan sampah kering yang dapat dihasilkan dari pengolahan sampah untuk daur ulang dan mempunyai nilai ekonomis antara lain :
8
A. Sampah Kertas
Jenis kertas bekas serta produk daur ulang yang dapat dihasilkan dari hasil pengolahan kertas dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
No. 1.
Jenis Kertas Bekas Kertas
komputer
dan
kertas tulis
Sumber
Produk Recycling
Perkantoran,
Kertas komputer, kertas
percetakan
dan
tulis dan art paper
dan
Kertas
sekolah 2.
Kantong kraft
Pabrik,
pasar
pertokoan 3.
Karton dan box
Pabrik,
kraft
dan
art
paper pertokoan
Karton dan art paper
dan pasar 4.
5.
Koran, majalah dan buku
Kertas bekas campuran
Perkantoran,
Kertas
pembungkus
makanan
Kertas koran dan art
dan rumah tangga
paper
Rumah
Kertas
perkantoran,
6.
pasar
tangga, LPS/
tulis
tissue, kualitas
TPA dan Pertokoan
dan art paper
Pertokoan,
rumah
Tidak
dan
ulang
tangga
dapat
kertas rendah
di
daur
perkantoran 7.
Kertas tissue
Rumah
tangga,
Kertas
perkantoran, rumah
sangat
makan
dapat
dan
pertokoan
tissue jarang didaur
kembali)
Sumber : Kajian Pengelolaan Kertas, Dep. PU, DTW, 1999
9
(tetapi yang ulang
B. Sampah Plastik
Pada umumnya sampah plastik sebagian besar dapat diolah baik menjadi: a. Produk baru ; alat rumah tangga seperti ember, bak tali plastik. b. Digunakan kembali seperti pembungkus, pot tanaman, tempat bumbu. c. Sebagai bahan industri daur ulang seperti pellet, biji plastik.
C. Logam Logam yang dihasilkan dari sampah kota dapat dimanfaatkan antara lain :
−
Digunakan kembali seperti kaleng susu.
−
Dijadikan produk baru, seperti tutup botol kecap, mainan.
−
Sebagai bahan tambahan atau bahan baku industri seperti industri logam.
D. Bahan lain Bahan lain seperti, gelas, karet mempunyai prosentase yang cukup kecil dalam komponen sampah kecuali pada kasus tertentu. Oleh karena itu dalam skala kecil tidak ekonomis untuk diolah.
10
Aplikasi teknologi pengolahan sampah, sedikitnya dapat memberikan solusi pada permasalahan kesulitan lahan untuk TPA. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dengan matang untuk menerapkan teknologi diatas. Teknologi yang saat ini digunakan untuk pengolahan sampah skala besar, baik itu pengomposan maupun pembakaran sampah, rata-rata menggunakan teknologi yang cukup canggih, melalui sistem mekanis/hidrolis yang bekerja semi atau bahkan otomatis penuh. Instalasi pengolahan tersebut biasanya memerlukan dana yang cukup besar untuk operasi maupun investasi dan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian tertentu.
Beberapa pertimbangan tersebut antara lain :
−
Dana yang cukup, baik untuk investasi maupun operasi instalasi pengolahan.
−
Dana untuk pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia
dari
tingkat
masyarakat
sampai
tingkat
pengelolaan kota. −
Kelembagaan yang sudah mapan termasuk didalamnya sumber daya manusia.
−
Sarana dan prasarana yang memadai sebagai pendukung kelancaran operasi sistem pengelolaan sampah.
−
Partisipasi masyarakat dalam sistem pengelolaan persampahan termasuk didalamnya kesediaan membayar iuran sampah, menjaga kebersihan lingkungan dan lain-lain.
−
Perangkat hukum dan peraturan.
11
Secara umum penerapan teknologi pengolahan sampah perkotaan
dan
pemanfaatannya
dapat
dilihat
gambar TEPUNG PROTEIN
dibawah ini :
GAS KOMPOS GAS ORGANI
TPS
COMPOS
SISA
SANITA SARANA REKREAS
Pengumpulan
Pengangkut
DAU SAMP AH KOTA
BAHAN BAKU SISA YANG TIDAK DAPAT
REKLA AN-
PENAMB AHAN LUAS DARATAN
TPS SISA YAN G
Pengumpul
INSTAL ASI PEMBA KARAN
SISA GAS
ATMOS
KUALITA S AIR YANG TIDAK ENERGI
GAMBAR
2.1
DIAGRAM
PENERAPAN
TEKNOLOGI
PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN DAN PEMANFAATANNYA
12
2.6.
Penerapan Zero Waste dalam Industri Daur Ulang Sampah ( Model Kawasan 2 – 4 Ton/Hari )
Sejalan dengan Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Pembangunan Bidang Persampahan yaitu ditekankan perlunya melakukan proses pengurangan volume sampah dan penanganan sampah sedekat mungkin dengan sumbernya, maka konsep ini dilakukan dengan mendirikan industri kecil daur ulang sampah di daerah kawasan melalui pemberdayaan masyarakat sekitar untuk diajak berperan aktif dalam membentuk usaha daur ulang.
Pemberdayaan masyarakat dalam industri daur ulang sampah merupakan salah satu sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat dengan menggunakan sistem pengolahan secara terpadu yaitu menerapkan beberapa jenis pengolahan secara simultan untuk menghasilkan produk maupun bahan daur ulang.
2.6.1. Teknologi Pengolahan Sampah Sampah yang dihasilkan dari setiap sumber di kawasan tersebut diangkut menuju ke lokasi industri, selanjutnya dilakukan pemisahan sampah organik dan anorganik.
Proses pengolahan yang dilakukan adalah pengomposan ( windrow/ vermi/additive ), daur ulang kertas, plastik dan logam. Sisa bahan yang tidak dapat didaur ulang direduksi dengan instalasi pembakaran skala kecil. Sisa abu hasil pembakaran diproses sebagai bahan
13
konstruksi maupun campuran kompos untuk menaikkan karbon pada produk tertentu. Dibawah ini digambarkan material balance pengolahan sampah secara terpadu skala kawasan dengan kapasitas 2 ton (10 m 3) sampah perhari dalam industri kecil daur ulang sampah
Kompos/Vcompo Pengenalan Ke Masyarakat gratis di DP 0.08 ton(4%)
0.4 ton (20%)
Organik
Berat hilang
1,6 ton (80%)
0.96 ton
Keperluan Pemda, Pertanian, Perkebunan, Komersial 0.3 ton (16%)
Terbakar Sisa proses
Sumber sampah
0.24 ton
2 ton (100%)
0.29 ton Instalasi Pembakaran Sampah 0.36 ton
Sisa daur
Sisa
0.12 ton (6%)
0.07 ton
An-organik Camp. 0.4 ton (20%) 0.07 ton Dimanfaatka 0.28 ton
Gambar.2.2. Diagram sistem pengelolaan sampah skala pelayanan 1000 KK (2 ton/hari) 14
2.6.2. Produk yang dihasilkan Produk yang dihasilkan industri kecil daur ulang sampah skala kawasan dengan kapasitas 10 m 3 sampah adalah :
A. Kompos/Vermi Compost 0,4 ton/hari atau 12 ton/bln.
1. Bahan daur ulang 0,28 ton/hari atau 84 ton/bln yang terdiri dari kertas karton, biji plastik dan logam. 2. Cacing tanah sebagai reaktor sampah.
B. Kemana Produk Akan Diserap
Untuk menampung dan memasarkan produk daur ulang dan cacing tanah dari industri kecil tersebut antara lain : −
Industri dapat memasarkan sendiri produknya.
−
Terdapatnya lembaga penyangga produk daur ulang yang bertugas untuk mengembangkan dan mengatur, menampung dan menyalurkan hasil produk daur ulang dengan menyusun jaringan pemasaran nasional dan internasional. Lembaga penyangga dalam hal ini dapat berbentuk koperasi atau forum komunikasi yang dapat mengakomodasi antara produk dan permintaan pasar, serta salah satu pemberi masukan ke Pemerintah guna menunjang keberhasilan dalam bidang kebersihan lingkungan, dan
pemberdayaan
masyarakat
kecil
menengah
dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
15
C. Lokasi Industri Kecil Daur Ulang Sampah
Wilayah kegiatan penerapan zero waste dapat dilakukan di setiap kawasan pelayanan sampah seperti permukiman, komersial, industri, perkantoran dan pasar.
Besar kecilnya kapasitas produksi industri kecil daur ulang sampah tergantung pada luas lahan dan kondisi setempat yang terdapat di kawasan tersebut. Pada umumnya untuk satu depo sampah yang telah disediakan oleh Pemda adalah 250 – 500 m 2 untuk melayani 5000 – 8000 jiwa (1000 KK) dengan kapasitas sampah masuk adalah 10 – 20 m 3 perhari.
Industri kecil daur ulang sampah daerah kawasan ini akan melakukan pengolahan sampah dengan kapasitas tampung minimal 10 m 3 /hari dengan kebutuhan lahan minimal 400 m 2 per modul.
D. Organisasi
Organisasi pengelola industri kecil ini terdiri dari Pemda, masyarakat dan pemulung yang berada di depo tersebut.
Dalam satu industri daur ulang terdiri dari : •
1 orang kepala unit
•
4 orang bidang teknik
16
•
1 orang administrasi dan keuangan
•
4 orang tenaga lepas/pemulung (disesuaikan)
E. Pendanaan
Untuk menjalankan industri kecil daur ulang sampah ini dana yang didapat meliputi :
1. Dana investasi awal berasal antara lain Pemda, swasta, koperasi maupun dari sumber lain.
2. Dana untuk menjalankan industri daur ulang yang secara bergulir dapat dikembangkan dapat berasal dari iuran kebersihan warga yang telah berjalan, sebagian dana penghematan operasional Pemda, hasil penjualan produk daur ulang bahan anorganik, kompos/kacing (vermicompost ) dan cacing.
Beberapa keuntungan dan kendala dalam penerapan industri kecil dalam pengolahan sampah terpadu model kawasan antara lain :
Keuntungan : 1. Mengatasi permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah kota. 2. Mengurangi beban Pemda dalam penanganan sampah kota.
17
3. Melakukan pengolahan sampah kota untuk diolah menjadi produk yang mempunyai nilai jual. 4. Mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA. 5. Menciptakan usaha pengolahan sampah dalam suatu industri kecil daur ulang dan kompos.
Kendala yang dihadapi :
1. Kurang populernya kompos di masyarakat menyebabkan kompos sebagai
produk
utama
merupakan
faktor
yang
perlu
diperhitungkan dalam tujuan komersial. 2. Telah terdapatnya mata rantai penjualan bahan daur ulang anorganik hasil pemulung.
2.7.
Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut : −
Masalah pembuangan sampah sudah merupakan masalah yang cukup pelik bagi Pemerintah Daerah, terutama dalam penyediaan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
−
Aplikasi beberapa jenis teknologi pengolahan sampah secara terpadu
seperti
pengomposan
dan
pembakaran
dapat
mengurangi kebutuhan lahan TPA dan efisiensi pengangkutan sampah. −
Penerapan industri kecil daur ulang merupakan salah satu alternatif penciptaan produk dari sampah perkotaan yang dapat 18
dikembangkan menjadi usaha komersial yang dapat dilakukan oleh masyarakat maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat. −
Dengan belum populernya kompos pada masyarakat, sistem pengolahan
terpadu
dapat
menjembatani
dengan
mendistribusikan sebagian kompos kemasyarakat.
19
BAB III PEMILAHAN SAMPAH PERKOTAAN 3.1.
Umum
Pemilahan sampah adalah langkah yang sangat penting dalam proses
pembuatan
kompos.
Tujuan
utamanya
adalah
untuk
memperoleh bahan baku atau material sampah yang baik untuk dibuat kompos. Keuntungan dari pemilahan yang baik adalah proses pembuatan kompos dapat berlangsung lebih cepat, karena bahan yang terpilih untuk pengomposan sesuai dengan kondisi yang ideal, sehingga dengan sendirinya kualitas komposnyapun menjadi lebih baik.
Apabila dalam suatu tumpukan bahan yang akan dikomposkan mengandung bahan berbahaya seperti obat-obatan kadaluarsa, bahan kimia, logam berat, dan sebagainya yang dapat membunuh jasad renik pengurai, maka proses pembuatan kompos tidak dapat berjalan dengan baik bahkan dapat terhenti sama sekali. Kompos yang dihasilkan, apabila ada, mungkin sudah tercemar, sehingga kualitasnya menjadi rendah atau tidak dapat digunakan karena dapat membahayakan lingkungan termasuk manusia. Selain bahan atau material sampah yang berbahaya, sampah organik yang berserat tinggi
seperti
batang
pohon,
pelepah
pisang,
kulit
durian,
tempurung/sabut kelapa, dan sebagainya dapat menghambat proses 1
pengomposan karena keras dan sukar terurai. Sampah jenis ini digolongkan ke dalam sampah residu.
Untuk mendapatkan proses dan hasil pengomposan yang baik, perlu diketahui jenis material sampah yang dapat dikomposkan dengan cepat. Jenis bahan yang memerlukan waktu lama untuk membusuk, maupun yang membahayakan proses pengomposan perlu dikenali, karena harus dihindarkan.
Proses pemilahan dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada
proses
pengolahan
sampah
selanjutnya.
Pada
proses
pengomposan atau daur-ulang sampah skala besar, biasanya pemilahan sampah dilakukan secara mekanik, sedangkan untuk pembuatan kompos skala lingkungan (misalnya: skala kelurahan, RT/RW) dan skala rumah tangga, pemilahan dilakukan secara manual dengan menggunakan tenaga manusia. Proses pemilahan sampah memerlukan ketelitian dan keterampilan yang dapat dikembangkan melalui pengalaman dan kebiasaan.
3.2. Klasifikasi Sampah
Sampah rumah tangga dapat dipisahkan menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu:
A.
Barang Lapak
Barang lapak adalah barang/benda/sampah yang masih dapat dimanfaatkan atau diperjualbelikan, sehingga merupakan salah satu 2
sumber penghasilan bagi pengusaha kompos atau ibu rumah tangga. Jenis sampah yang
termasuk golongan ini adalah: segala jenis
kertas, karton, besi bekas, kaleng, plastik, botol, berbagai jenis karet, dll. Barang-barang ini dapat disimpan dalam suatu wadah sebelum dijual atau diberikan kepada yang memerlukan.
B.
Bahan organik yang dapat dikomposkan
Sampah yang termasuk dalam ketegori ini adalah material organik yang mudah atau cepat membusuk. Contoh bahan organik yang dapat dikomposkan adalah sebagai berikut: rumput, daun-daunan, sisa makanan, buangan dapur, sisa sayuran, sisa buah-buahan, serbuk gergaji, dll.
C.
Residu
Jenis sampah yang termasuk dalam kelompok ini adalah material yang tidak kita butuhkan lagi, baik untuk pengomposan maupun sebagai bahan lapak (dapat didaur-ulang). Termasuk di dalam kategori ini adalah material organik yang sukar terurai, seperti: kulit telur, kulit durian, dsb. Selain itu adalah barang lain yang tidak termasuk
bahan
lapak,
dan
barang-barang
yang
dianggap
berbahaya, seperti batu baterai, pecahan lampu neon, dsb.
3
Gambar 3.1. Material sampah yang dapat dipilah 3.3.
Metode Pemilahan Sampah
3.3.1. Pemilahan sampah pada sumbernya
Pemilahan sampah di sumber sampah misalnya di rumah tangga, sangat membantu proses pengolahan sampah selanjutnya, di lain pihak juga memudahkan pemulung untuk mengambil benda-benda yang masih bernilai ekonomis tanpa merusak/mengganggu sistem
4
pewadahan,
misalnya
sampah
dibongkar
kembali
sehingga
berserakan dan pada akhirnya mengurangi nilai estetika lingkungan.
Pemilahan sampah di sumbernya diharapkan dapat berjalan baik dengan syarat pola pengelolaan sampah juga harus dirubah. Sistem pengumpulan sampah, diatur sedemikian rupa sehingga sampah organik dan anorganik dapat dikumpulkan dan diangkut pada hari yang berbeda.
Masyarakat penghasil sampah dan pemulung harus diberi informasi terlebih dahulu mengenai tata cara pemilahan sampah antara lain melalui penyuluhan. Apabila tidak ada pemberitahuan awal, para pemulung akan tetap mengacaukan sistem pewadahan di rumah tangga. Informasi untuk pemulung dapat diberikan melalui ketua kelompok, bandar (lapak), atau mereka dapat langsung dikumpulkan di suatu tempat dan diberi penjelasan. Pemilahan di sumber sampah juga merupakan cara yang baik bagi pemulung untuk melindungi kesehatan mereka dari kemungkinan terkontaminasi penyakit yang berasal dari sampah.
Salah satu cara meningkatkan peranserta masyarakat adalah melalui pemberian insentif, bila mereka telah melakukan pemilahan dengan baik dan benar. Pemberian insentif dapat berupa potongan pembayaran iuran kebersihan atau bentuk-bentuk lain yang dapat meningkatkan minat ibu-ibu rumah tangga akan pemilahan sampah.
Metode ini diterapkan untuk memisahkan benda-benda yang sukar dipilah dengan mesin. Fasilitas yang dibutuhkan antara lain: 5
•
Ban berjalan (conveyer belt ), para pekerja berdiri di salah satu atau kedua sisi ban berjalan sambil mengambil barang/benda yang telah ditentukan.
•
Kontainer/wadah khusus untuk menampung benda-benda yang masih bernilai.
•
Fasilitas keamanan dan sanitasi, seperti sarung tangan, masker, dll.
Sistem ventilasi yang baik dalam ruangan pemilahan sangat dibutuhkan oleh para pekerja dan juga pengaturan waktu istirahat serta pergantian waktu kerja (shift ) sangat diperlukan untuk menjaga kondisi kesehatan mereka.
3.4.
Pemilahan Sampah di Lokasi Pengolahan
Proses pemilahan sampah di lokasi pengolahan sampah pada umumnya dilakukan secara mekanis, yaitu antara lain dengan menggunakan tenaga angin, tenaga magnetik, getaran, perbedaan densitas, dll. Selain itu dapat juga dikombinasikan dengan tenaga manusia (manual) dengan tujuan untuk memisahkan sampah yang sukar dipilah secara mekanik.
3.5.
Pemilahan Sampah Berdasarkan Ukuran Partikel
Proses ini dilaksanakan berdasarkan ukuran partikel sampah. Cara ini dapat lebih efektif apabila sebelum dipisahkan, sampah diproses terlebih dahulu dengan cara memperkecil ukuran partikel sampah. 6
Apabila biaya yang ada terbatas, biasanya pemrosesan awal dapat diabaikan. Terdapat dua tipe pemisahan
berdasarkan ukuran
partikel, yaitu pemisahan dengan getaran (vibrating screen ), dan pemisahan pemutaran alat tapis berlubang (rotary screen ). Kedua cara pemisahan ini merupakan
cara yang sangat sederhana
pengoperasiannya. Rotary screen berbentuk seperti drum dengan lubang-lubang dengan ukuran bervariasi di dindingnya. Sampah yang berukuran lebih kecil dari lubang akan lolos dan ditampung dengan bin/kontiner di bawahnya. Demikian pula yang terjadi pada vibrating screen yang cara kerjanya berdasarkan atas timbulnya getaran.
loading Vibrator motors Spreader deck
Screer deck
Spring mounting
reject
motion
Gambar 3.2. Vibrating Screen
7
Feed Blades or Prongs used as bag breshers Feed
Oversize material Underflow material (size 1)
Underflow material (size 2)
Waste lears
Oversize material
Gambar 3.3. Rotary Screen (Trommel )
3.6.
Pemisahan Sampah Berdasarkan Densitas
Pemisahan sampah berdasarkan densitas disebut juga pemisahan dengan metode zig-zag. Cara pemisahan ini merupakan salah satu cara yang umum digunakan untuk memisahkan sampah berdasarkan atas densitas (berat jenis) sampah. Material yang sifatnya ringan akan terbawa aliran udara yang dialirkan dari dasar alat ke atas, sedangkan material yang berat akan jatuh dan dikumpulkan di dasar alat (lihat Gambar. 3).
8
Udara keluar
Aliran untuk komponen ringan
Pemisah siklon In feed conveyor Komponen yang ringan Rotary air lock Alat pemisah dengan udara
Path of heavy material
Ban berjalan
Komponen yang berat Udara keluar Ban berjalan
Gambar 3.4. Zigzag Clarifier
3.7.
Pemisahan Magnetik
Pemisahan sampah dengan tenaga magnet biasanya digunakan untuk memilah partikel-partikel metal-ferous yang terdapat dalam komponen sampah. Terdapat dua jenis alat pemisah sampah magnetik yang sering digunakan, yaitu:
3.7.1. Pemisah Magnetik TipeTersuspensi TipeTersuspensi
Terdiri dari magnet / elektromagnet yang letaknya permanen di bawah ban berjalan. Sampah yang mengandung metal ferous akan ditangkap oleh magnet yang dikumpulkan dalam wadah yang telah ditentukan.
9
Suspended stationary magnet
Ban berjalan
Ferrous material
conveyor
sampah
Gambar 3.5. Pemisah Magnet Tipe Tersuspensi Tersuspensi 3.7.2. Pemisah Magnet Tipe Drum
Terdiri dari magnet/elektromagnet yang letaknya permanen di ujung ban berjalan dan dapat langsung memisahkan partikel-partikel metalferous dari komponen sampah.
Magnet Sampah
Conveyor belt
Ferrous material Nonferrous material
Gambar 3.6. Pemisah Magnetik Tipe Drum 10
Gambar 3.6. Ilustrasi Pusat Daur-ulang Sistem Sistem Terpadu 11
BAB IV PEMBUATAN KOMPOS DAN PERMASALAHANNYA 4.1.
Umum
Pengomposan didefinisikan sebagai suatu proses dekomposisi (penguraian) secara biologis dari senyawa-senyawa organik yang terjadi karena adanya kegiatan mikroorganisme yang bekerja pada suhu
tertentu.
Pengomposan
merupakan
salah
satu
metoda
pengelolaan sampah organik menjadi material baru seperti humus yang relatif stabil dan lazim disebut kompos. Pengomposan dengan bahan baku sampah domestik merupakan teknologi yang ramah lingkungan, sederhana dan menghasilkan produk akhir yang sangat berguna bagi kesuburan tanah atau tanah penutup bagi landfill . 4.2. Keuntungan Pengkomposan
Pengomposan dengan sampah perkotaan sebagai bahan baku mempunyai banyak keuntungan dan dapat diuraikan sebagai berikut :
A. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah perkotaan. Komposisi sampah di Indonesia sebagian besar terdiri atas sampah organik, sekitar 50% sampai 60% dapat dikomposkan. Apabila hal ini dapat direalisasikan sudah tentu dapat membantu dalam pengelolaan sampah di perkotaan, yaitu :
1. Memperpanjang umur tempat pembuangan akhir (TPA), karena semakin banyak sampah yang dapat dikomposkan, semakin sedikit sampah yang dikelola. 1
2. Meningkatkan
efisiensi
biaya
pengangkutan
sampah,
disebabkan jumlah sampah yang diangkut ke TPA semakin berkurang. 3. Meningkatkan kondisi sanitasi di perkotaan. 4. Semakin banyak sampah yang dibuat kompos, diharapkan semakin
sedikit
pula
masalah
kesehatan
lingkungan
masyarakat yang timbul. Dalam proses pengomposan, panas yang dihasilkan dapat mencapai 60 0C, sehingga kondisi ini dapat memusnahkan mikroorganisme patogen yang terdapat dalam masa sampah.
B. Dari
segi
meningkatkan
sosial
kemasyarakatan,
peranserta
masyarakat
pengomposan dalam
dapat
pengelolaan
sampah kota dan meningkatkan pendapatan keluarga.
C. Pengomposan berpotensi mengurangi pencemaran lingkungan perkotaan, karena jumlah sampah yang dibakar atau dibuang ke sungai menjadi berkurang. Selain itu aplikasi kompos pada lahan pertanian berarti mencegah pencemaran karena berkurangnya kebutuhan pemakaian pupuk buatan dan obat-obatan yang berlebihan.
D. Membantu melestarikan sumber daya alam. Pemakaian kompos pada perkebunan akan meningkatkan kemampuan lahan kebun dalam menahan air, sehingga lebih menghemat kandungan air. Selain itu pemakaian humus sebagai media tanaman dapat digantikan oleh kompos, sehingga eksploatasi humus hutan dapat dicegah. 2
E. Pengomposan juga berarti menghasilkan sumberdaya baru dari sampah, yaitu kompos, yang kaya akan unsur hara mikro.
Pengomposan merupakan salah satu solusi teknis yang baik bagi negara berkembang dalam rangka mereduksi sampah domestik, terutama bagi negara-negara dengan iklim arid dan mempunyai masalah dengan tanah yang kurang subur. Selanjutnya WHO ( World Health Organization) menyatakan bahwa agar pengomposan dengan bahan baku sampah domestik dapat berjalan dengan sukses, maka harus dapat dicapai beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Jenis sampah sesuai untuk pengomposan; 2. Pangsa pasar untuk kompos maksimal berjarak 25 km dari kota; 3. Dukungan dari instansi yang terkait dengan pertanian; 4. Harga kompos terjangkau oleh petani.
4.3. Prinsip Prinsip Biologis
Pada dasarnya proses pengomposan adalah suatu proses biologis. Hal ini berarti bahwa peran mikroorganisme pengurai sangat besar. Menurut Tchobanoglous et al . (1993) dan Polprasert (1989), prinsipprinsip proses biologis yang terjadi pada proses pengomposan meliputi 1) kebutuhan nutrisi untuk mikroorganisme; 2) jenis-jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan; 3) kondisi lingkungan ideal; dan d) fase transformasi biokimia.
3
4.3.1. Kebutuhan Nutrisi Untuk perkembangbiakan dan pertumbuhannya, mikroorganisme memerlukan sumber energi, yaitu karbon untuk proses sintesa jaringan baru dan elemen-elemen anorganik seperti nitrogen, fosfor, kapur, belerang dan magnesium sebagai bahan makanan untuk membentuk
sel-sel
tubuhnya.
Selain
itu,
untuk
memacu
pertumbuhannya, mikroorganisme juga memerlukan nutrien organik yang tidak dapat disintesa dari sumber-sumber karbon lain. Nutrien organik tersebut antara lain asam amino, purin/pirimidin, dan vitamin.
4.3.2. Mikroorganisme Mikroorganisme pengurai dapat dibedakan antara lain berdasarkan kepada struktur dan fungsi sel, yaitu:
1. Eucaryotes , termasuk dalam dekomposer adalah eucaryotes bersel tunggal, antara lain : ganggang, jamur, protozoa. 2. Eubacteria , bersel tunggal dan tidak mempunyai membran inti, contoh: bakteri.
Beberapa hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) seperti cacing tanah, kutu juga berperan dalam pengurai sampah.
Sesuai dengan peranannya dalam rantai makanan, mikroorganisme pengurai dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :
a. Kelompok I (Konsumen tingkat I) yang mengkonsumsi langsung bahan organik dalam sampah, yaitu : jamur, bakteri, actinomycetes. 4
b. Kelompok II (Konsumen tingkat II) mengkonsumsi jasad kelompok I, dan; c. Kelompok III (Konsumen tingkat III), akan mengkonsumsi jasad kelompok I dan Kelompok II.
Gambar 4.1 : Rantai makanan yang Terjadi dalam Tumpukan Pembuatan Kompos (Dindal dalam Polprasert, 1989)
4.3.3. Kondisi Lingkungan Ideal
Efektivitas proses pembuatan kompos sangat tergantung kepada mikroorganisme pengurai. Apabila mereka hidup dalam lingkungan 5
yang ideal, maka mereka akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula. Kondisi lingkungan yang ideal mencakup :
1. Keseimbangan nutrien ( C / N ratio ); 2. Kelembaban; 3. Derajat keasaman; 4. Suhu; 5. Ukuran partikel; dan 6. Homogenitas campuran.
4.3.4. Keseimbangan Nutrien (Rasio C/N).
Parameter nutrien yang paling penting dalam proses pembuatan kompos adalah unsur karbon dan nitrogen. Dalam proses pengurai terjadi reaksi antara karbon dan oksigen sehingga menimbulkan panas (CO2). Nitrogen akan ditangkap oleh mikroorganisme sebagai sumber makanan. Apabila mikroorganisme tersebut mati, maka nitrogen akan tetap tinggal dalam kompos sebagai sumber nutrisi bagi makanan.
Besarnya perbandingan antara unsur karbon dengan nitrogen tergantung pada jenis sampah sebagai bahan baku. Perbandingan C dan N yang ideal dalam proses
pengomposan
yang
optimum
berkisar antara 20 : 1 sampai dengan 40 : 1, dengan rasio terbaik adalah 30 : 1.
6
4.3.5. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) ideal dalam proses pembuatan kompos secara aerobik berkisar pada pH netral (6 – 8,5), sesuai dengan pH yang
dibutuhkan
tanaman.
Pada
proses
awal,
sejumlah
mikroorganisme akan mengubah sampah organik menjadi asamasam organik, sehingga derajat keasaman akan selalu menurun. Pada proses selanjutnya derajat keasaman akan meningkat secara bertahap yaitu pada masa pematangan, karena beberapa jenis mikroorganisme memakan asam-asam organik yang terbentuk tersebut.
Derajat keasaman dapat menjadi faktor penghambat dalam proses pembuatan kompos, yaitu dapat terjadi apabila :
pH terlalu tinggi (di atas 8) , unsur N akan menguap menjadi NH 3. NH3 yang terbentuk akan sangat mengganggu proses karena bau yang menyengat. Senyawa ini dalam kadar yang berlebihan dapat memusnahkan mikroorganisme.
pH terlalu rendah (di bawah 6), kondisi menjadi asam dan dapat menyebabkan kematian jasad renik.
4.3.6. Suhu (Temperatur)
Proses biokimia dalam proses pengomposan menghasilkan panas yang sangat penting bagi mengoptimumkan laju penguraian dan dalam menghasilkan produk yang secara mikroorganisme aman digunakan. Pola perubahan temperatur dalam tumpukan sampah 7
bervariasi sesuai dengan tipe dan jenis mikroorganisme. Pada awal pengomposan, temperatur mesofilik, yaitu antara 25 – 45 °C akan terjadi dan segera diikuti oleh temperatur termofilik antara 50 - 65 °C. Temperatur
termofilik
dapat
berfungsi
untuk
a)
mematikan
bakteri/bibit penyakit baik patogen maupun bibit vektor penyakit seperti lalat; b) mematikan bibit gulma. Tabel 1 menunjukkan suhu dan waktu yang dibutuhkan untuk mematikan beberapa organisme patogen dan parasit. Kondisi termofilik, kemudian berangsur-angsur akan menurun mendekati tingkat ambien. Tabel 4.1. Suhu dan Waktu yang Dibutuhkan Untuk Mematikan Organisme Patogen No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Suhu dan Waktu yang Dibutuhkan Organisme Patogen Waktu (menit) Suhu (°C) Salmonella typhosa 55-60 30 60 20 Salmonella sp. 55 60 60 15-20 Shigella sp. 55 60 Escerichia coli 55 60 60 15-20 Entamoeba hystolitica 45 beberapa menit Taenia saginata 55 beberapa detik Trichinella spiralis sp. 55 beberapa saat Brucella abortus 62-63 3 55 60 Micrococcus pyogenes var 50 10 aureus 54 10 Srteptococcus pyogenes 66 15-20 Mycobacterium tubercolosis 67 Sesaat setelah varhominis pemanasan 55 45 Corynebacterium diphtheriae 45 50 Necator americanus 50 <1 Ascaris lumbricoides (telur) 8
4.3.7. Ukuran Partikel Sampah
Ukuran partikel sampah yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos harus sekecil mungkin untuk mencapai efisiensi aerasi dan supaya lebih mudah dicerna atau diuraikan oleh mikroorganisme. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan yang dicerna sehingga pengurai dapat berlangsung dengan cepat.
4.3.8. Kelembaban Udara
Kandungan kelembaban udara optimum sangat diperlukan dalam proses pengomposan. Kisaran kelembaban yang ideal adalah 40 – 60 % dengan nilai yang paling baik adalah 50 %. Kelembaban yang optimum
harus
terus
dijaga
untuk
memperoleh
jumlah
mikroorganisme yang maksimal sehingga proses pengomposan dapat berjalan dengan cepat. Apabila kondisi tumpukan terlalu lembab, tentu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena molekul air akan mengisi rongga udara sehingga terjadi kondisi anaerobik yang akan menimbulkan bau. Bila tumpukan terlalu kering (kelembaban kurang dari 40%), dapat mengakibatkan berkurangnya populasi mikroorganisme pengurai karena terbatasnya habitat yang ada.
4.3.9. Homogenitas Campuran Sampah
Komponen sampah organik sebagai bahan baku pembuatan kompos perlu dicampur menjadi homogen atau seragam jenisnya, sehingga diperoleh pemerataan oksigen dan kelembaban. Oleh karena itu 9
kecepatan pengurai di setiap tumpukan akan berlangsung secara seragam.
4.4.
TRANSFORMASI BIOKIMIA
Berdasarkan atas kebutuhan oksigen, transformasi biokimia proses pengomposan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Transformasi Aerobik
Transformasi aerobik pada proses pengomposan dapat digambarkan dalam persamaan reaksi sebagai berikut : -2
CHON + O2 + Nutrien → Sel – Sel Baru + CO2 + H2O + NH3 + SO4 + Panas + kompos
Pada prinsipnya hasil akhir proses ini adalah sel-sel baru, CO 2, air, amoniak, sulfat dan senyawa organik baru bersifat stabil yang dinamakan kompos. Kompos biasanya mengandung unsur lignin yang sukar terurai dalam jangka waktu singkat.
2. Transformasi Anaerobik ( Anaerobic Digestion )
Proses penguraian senyawa organik yang berasal dari sampah dapat berlangsung dalam kondisi anaerobik menjadi gas-gas
yang
mengandung karbon dioksida dan metan. Perubahan tersebut dapat dijelaskan melalui persamaan reaksi sebagai berikut : CHON + O2 + Nutrien → Sel – Sel Baru + CO 2 + CH4 + NH3 + H2S + Panas + Kompos
10
Pada prinsipnya produk akhir yang dihasilkan adalah karbondioksida, gas methan, amoniak, hidrogen sulfida dan kompos. Karbondioksida dan methan yang dihasilkan biasanya mencapai 99% dari total gas yang diproduksi.
4.5. Teknologi Pembuatan Kompos
Berdasarkan ada tidaknya asupan udara, pembuatan kompos dapat dibedakan menjadi pengomposan secara aerobik dan pengomposan anaerobik yang lazim disebut digesti anaerobik. Pada pengomposan aerobik, adanya udara dapat mempercepat proses pembusukan oleh mikroorganisme aerobik, proses berlangsung cepat dan tidak menimbulkan bau. Sebaliknya oksigen tidak diperlukan dalam pengomposan anaerobik, proses berlangsung lama, biasanya menimbulkan bau dan akhir yang terpenting adalah gas methan sebagai sumber energi baru.
4.5.1. Berdasarkan Kebutuhan Oksigen
1. Pengomposan Aerobik Pengomposan Sistem Windrow
Merupakan metode yang paling sederhana dan sudah sejak lama
dilakukan.
Untuk
mendapatkan
aerasi
dan
pencampuran, biasanya tumpukan sampah tersebut dibalik (diaduk). Hal ini juga dapat menghambat bau yang mungkin timbul. Pembalikan dapat dilakukan baik secara mekanis maupun
manual.
Sistim
windrow seperti
ini
sudah
11
berkembang di Indonesia untuk skala kecil, disebut dengan sistim UDPK.
Aerated Static Pile Composting Udara disuntikkan melalui pipa statis ke dalam tumpukan sampah. Untuk mencegah bau yang timbul, pipa dilengkapi dengan
exhaust
fan.
Setiap
tumpukan
biasanya
menggunakan blower untuk memantau udara yang masuk.
In-veseel Composting System Sistim pengomposan dilakukan di dalam kontainer/tangki tertutup. Proses ini berlangsung secara mekanik, untuk mencegah bau disuntikkan udara, pemantauan suhu dan konsentrasi oksigen.
Vermicomposting Merupakan langkah pengembangan pengomposan secara aerobik
dengan
memanfaatkan
cacing
tanah
sebagai
perombak utama atau dekomposer, inokulasi cacing tanah dilakukan pada saat kondisi material organik sudah siap menjadi media tumbuh (kompos setengah matang). Dikenal 4 (empat) marga cacing tanah yang sudah dibudidayakan, yaitu Eisenia, Lumbricus, Perethima dan Peryonix (Yayasan Kirai Indonesia, 1996: 2)
Effective Microorganisms (EM) EM merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman yang dapat 12
diaplikasikan
sebagai
inokulan
untuk
meningkatkan
keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah dan tanaman, yang selanjutnya dapat meningkatkan kesehatan, pertumbuhan, kuantitas dan kualitas produksi tanaman. EM dapat memfermentasikan bahan organik dan memanfaatkan gas serta panas dari proses pembusukan sebagai sumber energi. Manfaat yang dapat diambil dalam teknologi EM pada pengolahan sampah kota adalah berkurangnya bau busuk dan panas yang keluar dari tumpukan sampah, berkurangnya lalat dan hama lain di tempat pembuangan sampah, gundukan sampah cepat menurun sehingga daya tampung sampah dalam lubang penampungan dapat ditingkatkan lebih dari 30%, dan masalah-masalah lingkungan serta kesehatan pekerja. Selain itu sampah dapat dijadikan kompos dalam jangka waktu hanya 2 minggu. (Wididana, 1998: 5).
2. Pengomposan Anaerobik
Proses ini disebut juga dengan proses digesti anaerobik yang dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
Digesti Anaerobik dengan Tingkat Kepadatan Rendah Konsentrasi kepadatan antara 4-8%, menggunakan bahan baku sampah domestik, kotoran manusia dan hewan. Proses ini menghasilkan gas methan dan direncanakan untuk skala besar.
Digesti Anaerobik dengan Tingkat Kepadatan Tinggi 13
Konsentrasi kepadatan mencapai 22%. Keuntungan utama dari proses ini ialah bahwa air yang dibutuhkan jauh sedikit dari digesti anaerobik dengan tingkat kepadatan rendah.
Mengingat mahalnya biaya maka kedua proses di atas tidak direkomendasikan sebagai upaya daur-ulang energi dari sampah domestik tetapi dapat lebih baik diterapkan untuk penanganan sampah pertanian dan peternakan.
Sistim pengubah sampah domestik menjadi energi, yaitu gas methan merupakan salah satu alternatif reduksi sampah yang menghasilkan sumber daya baru. Menurut Ridlo (1998: E-30), waktu tinggal sampah organik sekitar 30 hari di dalam reaktor. Biogas yang dihasilkan oleh reaktor didominasi oleh gas methan
±
55-60 % dan
sisanya CO2. Biogas yang dihasilkan dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti memasak dan penerangan. Selain menghasilkan biogas, reaktor juga menghasilkan produk samping berupa padatan dan cairan yang memiliki kualitas seperti pupuk.
4.5.2. Berdasarkan Lokasi Pembuatan Kompos
1.
Sistem Setempat (On-site System)
Merupakan pembuatan kompos yang mengambil tempat di sumber sampah, misalnya di halaman rumah, di pasar, dan lain-lain. Sebagai contoh adalah pengomposan dengan menggunakan komposter skala rumah tangga, berbentuk bin/tong yang berukuran 100 - 250 liter, ditanam di tanah (
±
10 cm dari permukaan tanah ) atau dapat pula
yang dapat diputar, proses berlangsung secara anaerobik. Sampah 14
dapur sebagai bahan baku dapat dikombinasikan dengan sampah kebun seperti rumput, daun-daunan, dsb. Kompos dapat dihasilkan dalam jangka waktu 1 bulan untuk komposter aerobik dan 6 bulan sampai dengan 1 tahun untuk komposter anaerobik.
2.
Sistem Terpusat (On-site System)
Pembuatan kompos dipusatkan di suatu lokasi yang memiliki jarak dengan sumber sampah. Sebagai contoh adalah pengomposan dengan metode UDPK (Usaha Daur-Ulang dan Produksi Kompos).
4.6. PERMASALAHAN PEMBUATAN KOMPOS
Pengomposan dengan menggunakan bahan baku sampah organik domestik dalam pelaksanaannya mengalami beberapa kendala. Permasalahan yang muncul meliputi 1) dampak terhadap kualitas lingkungan; 2) masalah pemasaran; 3) pembiayaan; 4) teknis operasional dan 5) aplikasi secara tepat guna di negara berkembang.
4.6.1. Dampak Terhadap Kualitas Lingkungan
Permasalahan yang mungkin muncul adalah masih terdapatnya organisme patogen/parasit, berkembangnya vektor penyakit dan masalah estetika.
1. Organisme Patogen dan Parasit Organisme patogen seperti virus, bakteria, protozoa, jamur yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia, hewan maupun tumbuhan kemungkinan masih terkandung dalam di kompos yang disebabkan 15
oleh masalah teknis, seperti tidak tercapainya suhu yang mematikan organisme tersebut. Permasalahan ini dapat dihindari dengan pengawasan mutu kompos pada setiap langkah produksinya, antara lain dengan pemantauan suhu setiap hari.
2. Vektor Penyakit Vektor penyakit yang sering terdapat pada proses pengomposan adalah lalat, tikus, dan kecoa. Lalat sering dijumpai pada bahan baku kompos, yaitu sampah domestik yang tidak segar (berumur lebih dari dua hari) sedangkan tikus dan kecoa sangat menyukai tumpukan kompos yang tidak segera dikemas atau dipasarkan serta tumpukan residu yang tidak segera diangkut ke TPA. Pemasokan bahan baku dan pengangkutan residu yang teratur dan tepat waktu serta pemeliharaan sarana/prasarana pengomposan yang memadai dapat menghindari gangguan vektor penyakit.
3. Estetika Bau
dan
kenampakan
fisik
yang
kurang
baik
dari
fasilitas
pengomposan merupakan masalah estetika yang sering muncul, sehingga menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitar, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar fasilitas tersebut. Bau disebabkan
oleh
1)
kondisi
anaerobik
yang
terjadi
akibat
pengoperasian pengomposan tidak sesuai dengan prosedur, seperti kurangnya asupan oksigen (pekerja kurang rajin membalik tumpukan pada pengomposan dengan sistem Windrow); 2) bahan baku kompos tidak segar sehingga sebelum diolah, sampah tersebut sudah mengalami pembusukan. Kenampakan visual fasilitas pengomposan yang kurang baik, disebabkan pemeliharaan terhadap fasilitas tidak 16
dilaksanakan dengan baik, sehingga menimbulkan kesan kotor. Hal ini dapat diantisipasi dengan pengendalian dan pemeliharaan fasilitas dengan lingkungan luar antara lain dengan mendirikan tembok atau pagar tanaman.
4. Logam Berat
Salah satu masalah penting adalah kemungkinan kontaminasi logam berat dalam kompos yang diproduksi. Hal ini terjadi bila pemilahan tidak dilaksanakan sebelumnya sehingga bahan baku masih tercampur dengan sampah yang mengandung logam berat. Aktivitas pemilahan sampah sebelum pengomposan dilaksanakan sangat penting untuk dilakukan dan lebih baik lagi bila pemilahan telah dilakukan di sumber sampah.
4.6.2. Masalah Pemasaran
Masalah
pemasaran
kompos
muncul
disebabkan
sebelum
perencanaan fasilitas pengomposan tidak dilakukan studi tentang situasi pasar terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengetahui situasi pasar adalah kebutuhan akan aplikasi kompos; jarak tempuh antara produsen kompos dengan calon pelanggan dan informasi tentang pangsa pasar. Masalah pemasaran pupuk kimia membuat suatu anti propaganda melawan aplikasi kompos yang berasal dari sampah domestik. Sulitnya pemasaran kompos, menyebabkan biaya operasi dan pemeliharaan menjadi kendala yang sangat penting.
17
4.6.3. Masalah Pembiayaan Dalam perencanaan suatu instalasi pengomposan di negara berkembang biasanya terbentur pada masalah pembiayaan terutama bagi instalasi skala besar yang banyak menggunakan peralatan mekanis. Bagi negara berkembang instalasi pengomposan yang murah dan tepat guna sangat baik untuk diaplikasikan, lebih baik lagi bila instalasi tersebut masuk dalam sistem pengelolaan sampah kota. Masalah
pemasaran
kompos
muncul
disebabkan
sebelum
perencanaan fasilitas pengomposan tidak dilakukan studi tentang situasi pasar terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengetahui situasi pasar adalah kebutuhan akan aplikasi kompos; jarak tempuh antara produsen kompos dengan calon pelanggan dan informasi tentang pangsa pasar. Masalah pemasaran pupuk kimia membuat suatu anti propaganda melawan aplikasi kompos yang berasal dari sampah domestik. Sulitnya pemasaran kompos, menyebabkan biaya operasi dan pemeliharaan menjadi kendala yang sangat penting. Biaya investasi awal diperlukan sebesar Rp. 11,6 juta untuk instalasi skala kecil (luas lahan 450 m 2) dengan modal kerja Rp. 1,2 juta setiap bulan (CPIS, 1992: 6-14) untuk melayani 14 m3 sampah setiap hari. Pada tahun 1998, estimasi biaya meningkat menjadi Rp. 45 juta untuk biaya investasi dan modal kerja Rp. 3 juta setiap bulan.
4.6.4. Masalah Perencanaan dan Teknis Operasional
Kesalahan yang paling umum terjadi dalam pendirian suatu instalasi pengomposan adalah akibat perencanaan yang salah, yaitu antara lain mencakup kesalahan dalam melihat dan mengkaji situasi pasar, 18
kesalahan dalam menentukan lokasi instalasi pengomposan juga penerimaan masyarakat terhadap keberadaan instalasi tersebut.
19
BAB V
PEMBUATAN KOMPOS DENGAN TEKNOLOGI FERMENTASI 5.1.
Umum
Teknologi pengolahan bahan organik dengan cara fermentasi (peragian) pertama kali dikembangkan di Okinawa Jepang oleh Profesor Dr. Teruo Higa pada tahun 1980. Teknologi ini dikenal dengan teknologi EM (Effective Microorganisms ).
Sebelum tahun 1980, penelitian dan penerapan proses fermentasi masih terbatas pada proses fermentasi untuk pembuatan bahan makanan, termasuk pakan ternak, dan belum banyak dilakukan untuk pengolahan limbah organik serta penyuburan tanah. Di Indonesia kita sudah mengenal proses fermentasi ini melalui proses peragian kedelai dalam pembuatan tempe, tauco, kecap; fermentasi singkong menjadi tape; fermentasi susu menjadi keju, yogurt; serta masih banyak lagi produk fermentasi hasil kerja mikroorganisme fermentasi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Fermentasi merupakan proses penguraian atau perombakan bahan organik yang dilakukan dalam kondisi tertentu oleh mikroorganisme fermentatif. Kondisi lingkungan yang mendukung proses fermentasi antara lain adalah (1) derajat keasaman atau pH rendah, antara 3-4; (2) kadar garam dan kandungan gula yang tinggi; (3) kadar air sedang antara 30-50%, (4) kandungan antioksidan dari tanaman rempah dan obat, serta (5) adanya mikroorganisme fermentasi. 1
5.2.
Teknologi Effective Microorganisme
Teknologi effective microorganisme adalah suatu kultur campuran berbagai mikroorganisme yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Effective microorganisme diaplikasikan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme dalam tanah.
Kultur
effective
microorganisme
tidak
mengandung
mikroorganisme yang secara genetis telah dimodifikasi, melainkan campuran berbagai spesies mikroba yang terdapat dalam lingkungan alami.
Effective microorganisme yang diaplikasikan dengan
sampah
organik kota dapat dikembalikan ke tanah dalam bentuk pupuk organik untuk meningkatkan kualitas tanah. Effective microorganisme bertindak sebagai agen pengendali secara biologis dengan cara menghambat
efek
fitopatogenik
mikroorganisme
tanah
dan
memfasilitasi dekomposisi senyawa beracun dalam tanah.
Teknologi fermentasi ini dapat digunakan untuk meningkatkan keanekaragaman
biologi
tanah,
meningkatkan
kualitas
air,
mengurangi kontaminasi tanah dan merangsang penyehatan dan pertumbuhan tanaman yang semua itu berarti meningkatkan hasil.
Beberapa keuntungan aplikasi effective microorganisme adalah bahwa EM dapat:
A. Menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen atau yang merugikan tanah dan tanaman; 2
B. Mempercepat penguraian limbah atau sampah organik baik padat maupun cair dan sekaligus menghilangkan bau yang ditimbulkan dari proses penguraian bahan organik;
C. Meningkatkan ketersediaan nutrisi dan senyawa organik pada tanaman;
D. Meningkatkan
aktivitas
mikroorganisme
indigenus
yang
menguntungkan, misalnya Mycorrhiza, Rhizobium, bakteri pelarut fosfat, dll;
E. Mengikat nitrogen;
F. Mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia;
G. Menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen yang selalu merupakan masalah pada budidaya monokultur dan budidaya tanaman senjenis secara terus-menerus (continous cropping ). EM bukanlah
merupakan
pestisida,
biologis
dalam
pengendali hama/penyakit
tanaman
meningkatkan
aktivitas
melalui
tetapi
lebih
merupakan
menekan/mengendalikan proses
komposisi
alami
antagonistik
dengan pada
mikroorganisme dalam inokulan EM;
H. Menghilangkan panas pada tanah dasar tambak dan gas-gas beracun yang timbul akibat akumulasi sisa-sisa pakan dan udang/ikan yang telah mati melalui fermentasi. 3
Hasil fermentasi bahan organik tanah dapat menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan jamur pemangsa nematoda (cacing) parasit, sehingga dapat menurunkan populasi cacing parasit tanaman di dalam tanah.
5.3. Kandungan Mikroorganisme
Kandungan mikroba dalam effective microoganisme terdiri dari mikroorganisme aerob dan anaerob yang bekerjasama menguraikan bahan organik secara terus menerus. Hasil fermentasi bahan organik dengan inokulasi EM dikenal dengan istilah bokashi. Istilah bokashi sendiri berasal dari bahasa Jepang yang artinya bahan organik terfermentasi dengan EM, tetapi dapat pula diakronimkan sebagai Bahan
Organik
Kaya
Akan
Sumber
Kehidupan.
Effective
microorganisme merupakan cairan berwarna coklat dan berbau khas, apabila muncul bau busuk menandakan bahwa mikroorganisme yang terkandung di dalamnya telah rusak atau mati.
Effective
microorganisme
mengandung
beberapa
jenis
mikroorganisme, yaitu:
5.3.1.
Bakteri Fotosintetik
Bakteri fotosintetik adalah mikroorganisme yang mandiri. Bakteri ini membentuk senyawa-senyawa yang bermanfaat dari sekresi akar tumbuh-tumbuhan, bahan organik dan/atau gas-gas berbahaya seperti hidrogen sulfida, dengan dibantu sinar matahari dan panas sebagai sumber energi. Zat-zat bermanfaat tersebut meliputi asam 4
amino, asam nukleat, zat-zat bioaktif, dan gula, yang semuanya dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Hasil-hasil metabolisme yang dihasilkan oleh bakteri ini dapat diserap langsung oleh tanaman dan juga berfungsi sebagai substrat bagi
mikroorganisme
lain
sehingga
jumlahnya
terus
dapat
bertambah.
5.3.2. BAKTERI ASAM LAKTAT
Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat dari gula, dan karbohidrat lain yang dihasilkan oleh bakteri fotosintetik dan ragi. Bakteri asam laktat dapat menghancurkan bahan-bahan organik seperti lignin dan selulosa, serta memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa-senyawa beracun yang ditimbulkan dari pembusukan bahan organik.
5.3.3.
Ragi
Ragi dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman dari asam amino dan gula di dalam tanah yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik atau bahan organik melalui proses fermentasi. Ragi juga menghasilkan senyawa bioaktif seperti hormon dan enzim.
5.3.4.
ACTINOMYCETES
5
Actinomycetes merupakan suatu kelompok mikroorganisme yang strukturnya merupakan bentuk antara dari bakteri dan jamur. Kelompok ini menghasilkan zat-zat anti mikroba dari asam amino yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik dan bahan organik. Zat-zat yang
dihasilkan
oleh
mikroorganisme
ini
dapat
menekan
pertumbuhan jamur dan bakteri yang merugikan tanaman, tetapi dapat hidup berdampingan dengan bakteri fotosintetik. Dengan demikian kedua spesies ini sama-sama dapat meningkatkan kualitas lingkungan tanah dengan meningkatkan aktivitas anti mikroba tanah.
5.3.5. JAMUR FERMENTASI
Jamur fermentasi seperti Aspergillus dan Penicillium menguraikan bahan organik secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester, dan zat-zat anti mikroba. Pertumbuhan jamur ini berfungsi dalam menghilangkan bau dan mencegah serbuan serangga serta ulat-ulat yang
merugikan
dengan
cara
menghilangkan
penyediaan
makanannya.
Setiap jenis effective microorganisme mempunyai fungsi masingmasing dalam proses fermentasi bahan organik, namun bakteri fotosintetik adalah pelaksana kegiatan EM yang terpenting. Bakteri ini mendukung kegiatan mikroorganisme lain, di lain pihak bakteri ini memanfaatkan zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme lain. 5.3.6. Bokashi Sampah Kota Bokashi sampah kota merupakan hasil fermentasi sampah organik kota dengan menggunakan EM. Fermentasi bahan organik terjadi bila 6
kita menginokulasikan EM dalam larutan gula dengan dosis 0,1 – 1% ke dalam tumpukan sampah sekali dalam seminggu, yang dapat dilakukan dengan mesin penyemprot atau sprayer .
Berdasarkan pengalaman, dibutuhkan 1 liter EM dan 1 liter gula atau molas untuk memfermentasikan 1 ton sampah organik. Untuk dapat menekan biaya, larutan molas difermentasikan terlebih dahulu dalam tangki fermentasi selama satu minggu. Larutan ini dikenal sebagai FM atau Fermentasi Molas. Cara menyiapkan Fermentasi Molas (FM) adalah sebagai berikut:
A. Siapkan 20 liter air dalam galon/tangki; B. Campurkan 1 liter EM dan 1 liter molas dengan 20 liter air; C. Tutup tangki/galon tersebut, dan diamkan selama 1 minggu; D. Setelah 1 minggu kita mendapatkan 20 liter FM; E. Untuk mendapatkan larutan 0,1% FM; 10 liter FM harus dilarutkan ke dalam 1.000 liter air. Gambar berikut ini adalah skema pembuatan cairan FM (Fermentasi Molas).
1 lt EM + 1 Air lt. Molas
EM
20 liter Fermentasi Molas
Fermentasi Molas 20 liter Disimpan 1 minggu di dalam tangki
Air 1000
Semprotkan ke dalam tumpukan sampah or anik
Gambar 5.1. Skema Pembuatan dan Penerapan Fermentasi Molas (FM)
7
Cara pembuatan bokashi sampah kota adalah sebagai berikut:
Langkah 1 : Pemilahan Sampah
Sampah yang masuk ke lokasi pengomposan dipilah terlebih dahulu
untuk mendapatkan bahan organik pilihan sebagai
bahan baku kompos. Untuk mempermudah pekerjaan, akan lebih baik lagi bila sampah yang masuk sudah dalam keadaan terpilah (pemilahan di sumber sampah). Satu hal yang harus diperhatikan adalah, sampah yang akan diolah menjadi kompos harus sampah segar dan pemilahan harus segera dilakukan. Bila hal ini tidak dilaksanakan dengan baik, maka pembusukan liar akan terjadi dan akan timbul bau yang dapat mengganggu lingkungan sekitarnya. Langkah 2 : Pemotongan Sampah Organik Pilihan
Untuk mempercepat proses pengomposan, sebaiknya ukuran sampah diperkecil terlebih dahulu. Pemotongan sampah dapat menggunakan alat pemotong/pencacah (shredder ), dan dapat pula dicacah secara manual.
Langkah 3 : Penumpukan Sampah Organik Pilihan
Proses pengomposan dapat berjalan dengan cepat dan baik bila perbandingan antara kandungan karbon dan nitrogen dalam sampah atau rasio C/N adalah 30 : 1. Secara teoritis rasio C/N sampah rumah 8
tangga adalah
15 : 1, maka untuk mendapatkan rasio C/N ideal
sampah tersebut harus dicampur dengan material yang memiliki rasio C/N lebih tinggi, seperti serbuk gergaji. Perhitungannya adalah sebagai berikut: - C/N sisa makanan = 15 : 1 - C/N serbuk gergaji = 500 : 1 -
X = bagian sisa makanan
-
Y = bagian serbuk gergaji
(X . 15) + (Y . 500)/ X + Y = 30 X = 1 (1 . 15) + (Y . 500)/ 1 + Y = 30 15
+ 500Y = 30 + 30Y
500Y - 30 Y = 30 - 15 470 Y = 15 Y = 15 : 470 Y = 0,03
Ini berarti dibutuhkan 1 bagian sisa makanan dan 0,03 bagian serbuk gergaji untuk mencapai rasio C/N ideal 30 : 1.
Kemudian campuran sampah tersebut ditumpuk dengan ketinggian 30 - 50 cm, panjang tumpukan basah
±
±
0,75 - 1 meter, berat sampah
1 ton.
Langkah ini dapat berlangsung selama dua hari, misalnya karena bahan/sampah tidak mencukupi.
Langkah
4
: Inokulasi EM Melalui Penyiraman Larutan 9
Fermentasi Molas (FM)
Larutan 0,1% FM yang telah disiapkan disiramkan secara perlahanlahan ke dalam adonan secara merata sampai kandungan air mencapai
±
30%. Kemudian tumpukan tersebut ditutup dengan
karung goni. Penyemprotan dengan larutan FM dilakukan setiap seminggu sekali.
Langkah 5 : Pemantauan Suhu
Pada tahap ini suhu tumpukan perlahan-lahan akan meningkat mencapai 650C. Suhu setinggi ini selama 1-2 hari diperlukan untuk mematikan
gulma
dan
mikroba
patogen,
serta
membantu
memperlunak bahan yang dikomposkan. Suhu tinggi ini tidak boleh dipertahankan lama (lebih dari 2 hari), karena akan mematikan jasad renik yang diperlukan untuk proses pengomposan. Pemantauan suhu dilakukan setiap hari, dan dipertahankan antara 40 - 50 0C. Bila suhu mencapai lebih dari 50 0C, maka karung penutup harus dibuka dan gundukan adonan dibolak balik, kemudian ditutup kembali dengan karung goni. Perlakuan ini berlangsung selama
±
2 minggu, sampai
suhu mendekati suhu kamar dan stabil.
Langkah 6 : Pematangan Kompos
Untuk meyakinkan bahwa kompos telah matang dan dapat menjamin bahwa kompos benar-benar aman ketika dipakai oleh pengguna kompos, maka perlu dilakukan langkah pematangan kompos. Pematangan ini ditandai dengan suhu rata-rata tumpukan semakin 10
menurun dan stabil mendekati suhu kamar ( 27 - 30 0C), bahan telah lapuk dan menyerupai tanah dengan warna coklat kehitaman. Tahap pematangan memerlukan waktu 5 – 7 hari dan suhu tumpukan tetap diukur.
Langkah 7 : Pemanenan dan Pengemasan
Setelah seluruh tahapan proses dilalui dan sampah sudah menjadi kompos matang, maka kompos sudah bisa dipasarkan. Untuk itu kompos perlu dikemas dalam ukuran yang sesuai dengan kehendak pembeli.
Untuk
mendapatkan
ukuran
butiran
kompos
yang
diinginkan, maka kompos tersebut harus disaring/diayak memakai saringan kawat dengan ukurang lubang saringan bervariasi, yaitu:
- Kompos halus - Kompos ukuran sedang - Kompos kasar
: lubang saringan = 1 cm x 1 cm : lubang saringan = 2 cm x 2 cm : lubang saringan = 4 cm x 4 cm
Kompos yang sudah disaring dikemas ke dalam kantung/kemasan sesuai dengan kebutuhan pemasaran. Kemasan yang biasa digunakan saat ini, adalah:
1. Plastik kedap air, ukuran 30 cm x 25 cm untuk kompos halus seberat
±
3 kg.
2. Plastik kedap air, ukuran 35 cm x 29 cm untuk kompos halus seberat
±
5 kg.
3. Karung plastik kedap air, ukuran 90 cm x 60 cm untuk kompos halus, kasar, maupun sedang seberat
±
40 kg. 11
Bagan
pembuatan
kompos
dengan
menggunakan
teknologi
fermentasi dapat dilihat dalam gambar berikut: PENYIAPAN
PEMILAHAN
PEMOTONGAN
/
PENCACAHAN
PENUMPUKAN
INOKULASI
PEMANTAUAN PEMATANGAN KOMPOS
PENYARINGAN PENGEMASAN
Gambar 5.2. Proses Pengomposan Dengan Teknologi Fermentasi
12
5.4. Kompos Rumah Tangga
Sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga di perkotaan merupakan salah satu permasalahan yang cukup pelik, terutama apabila lokasi perumahan tersebut belum terjangkau layanan angkutan sampah. Hal ini menyebabkan pencemaran badan - badan air akibat akumulasi sampah dan tersumbatnya saluran - saluran drainase yang menyebabkan
banjir
di
musim
hujan.
Seringkali
sampah
dimusnahkan dengan cara sederhana dan murah tetapi berpotensi untuk mencemari udara, yaitu langsung dibakar atau dibiarkan menumpuk di lahan-lahan kosong.
Sebagian sampah rumah tangga terdiri atas sampah dapur, sisa-sisa makanan, dan sampah kebun yang mengandung bahan organik dengan kandungan air cukup tinggi. Sebagian lagi adalah sampah non organik yang didominasi sampah kemasan seperti bekas bungkus mie, makanan kecil anak-anak, yang biasanya sulit untuk didaur-ulang. Sisanya merupakan sampah non organik yang dapat didaur-ulang seperti botol, kertas koran, plastik, dan barang-barang bekas lainnya. Rumah tangga juga menghasilkan sampah yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3) seperti batu baterai bekas, lampu neon bekas, bekas kemasan pestisida, dsb.
Sampah basah dengan kandungan organik yang tinggi merupakan sampah yang mudah terurai dan hancur secara alamiah di alam bebas. Produk akhir disebut dengan kompos yang besar manfaatnya terutama untuk konservasi tanah. Selain itu pembuatan kompos dapat mengurangi beban pengelola sampah kota, yaitu antara lain 13
dapat menghemat biaya pengangkutan, efisiensi lahan tempat pembuangan akhir sampah, dan dapat meningkatkan kondisi sanitasi di lingkungan permukiman.
Dalam rangka mengurangi sampah organik rumah tangga, salah satu kebijakan pemerintah adalah menganjurkan ibu-ibu rumah tangga untuk mulai menggunakan alat pembuat kompos (komposter) skala rumah tangga yang sangat sederhana, tepat guna dan mudah pengoperasiannya.
5.5. Tata Cara Pembuatan Kompo Rumah tangga 5.5.1. Bahan dan Peralatan 1.
Sampah organik rumah tangga, adalah sampah organik yang mudah terurai, dihasilkan dari dapur; sisa-sisa makanan; dan sampah kebun. Untuk mempercepat proses dapat pula ditambahkan dedak/serbuk gergaji/kapur atau cairan EM (effective microorganisme ).
2.
Komposter
rumah
tangga,
merupakan
alat
yang
digunakan untuk mengolah sampah organik rumah tangga menjadi kompos, terdiri dari 2 unit yang ditempatkan secara berdekatan.
14
5.5.2. PERSYARATAN TEKNIS
A. Bentuk Komposter berbentuk tabung, dan terbuat dari plastik. Bagian bawah komposter terbuka, dan di bagian atas diberi tutup plastik. Terdapat dua bentuk komposter (Gambar 2.1), yaitu :
a.
Komposter yang seluruh tabungnya tertanam di tanah.
b.
Komposter yang sebagian kecil tabungnya tertanam di tanah.
Gambar 5.3.. Jenis – Jenis Komposter Rumah Tangga
Gambar 5.4.. Jenis – Jenis Komposter Rumah Tangga
15
Gambar 5.5. Jenis – Jenis Komposter Rumah Tangga
Gambar 5.6. Jenis – Jenis Komposter Rumah Tangga
B.
Ukuran
Ukuran komposter rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
16
Tabel 5.1. Ukuran Komposter Rumah Tangga JENIS KOMPOSTER
TABUNG (cm)
PIPA GAS (cm)
DIAMETER LUBANG (cm)
θ
Ting gi
θ
Panj ang
Penge ring
Ga s
Do p
Kasa Nyam uk
Media Penger ing
Komposter a
50
80
11
45
10
1
11
0,2
2-3
Komposter b
50
80
11
20
-
1
-
0,2
-
Untuk pemasangan satu set komposter dibutuhkan lahan seluas 2 m 2. Ukuran galian tanah dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 5.2. Ukuran Galian Tanah
JENIS KOMPOSTER
DIAMATER (mm)
Galian
KEDALAMAN GALIAN (mm)
Galian Atas
Bawah Komposter a
800
1400
900
Komposter b
800
1400
400
17
5.5.3. Materi
Materi atau bahan komposter yang digunakan harus tahan korosi dan tahan terhadap sinar matahari. Badan komposter dan tutupnya terbuat dari plastik tebal atau dapat juga menggunakan galon air yang banyak dijual di pasaran dengan volume 75 – 100 m3, sedangkan pipa penyaluran gas tebuat dari PVC.
5.5.4. Kinerja
−
Komposter
rumah
tangga
digunakan
untuk
menampung
sampah organik mudah terurai yang dihasilkan oleh 5 orang anggota keluarga. −
Kapasitas tampung komposter maksimum 200 kg dengan waktu tampung 7 (tujuh) bulan.
−
Proses pengomposan berlangsung selama 4 – 6 bulan setelah komposter terisi penuh dengan sampah organik.
−
Sampah organik rumah tangga yang dapat dikurangi dengan menggunakan komposter sebesar 80 – 90%.
−
Untuk mempercepat proses penguraian dan meningkatkan kualitas komposnya, dapat ditambahkan serbuk gergaji dan atau larutan EM (Effective Microorganisme ).
5.6. Cara Pemasangan Komposter
−
Tanah digali berbentuk lingkaran dengan diameter bagian bawah 80 cm dan bagian atas 140 cm. Bila pada kedalaman tersebut dijumpai air tanah, maka harus diusahakan sedemikian rupa 18
sehingga dasar komposter berada di atas muka air tanah tersebut setinggi 30 cm. Untuk komposter jenis a kedalaman galian 90 cm, sedangkan komposter b sedalam 40 cm (lihat Gambar 2.5.).
Gambar 5.7. Penyiapan Lahan
−
Pada bagian dasar galian kerikil dimasukkan kerikil setinggi 10 cm, kemudian komposter yang terbuka di bagian dasarnya diletakkan di tengah galian. Setelah itu ditambahkan lagi kerikil sampai ketinggian 20 cm.
−
Untuk komposter jenis a, galian ditimbun lagi dengan tanah sampai mencapai 5 cm di bawah lubang tempat pipa udara, selanjutnya pipa udara dipasang. Di sekeliling pipa udara yang telah terpasang diberi kerikil secukupnya, selanjutnya timbun kembali dengan tanah sampai mencapai
5 cm di bawah pipa
udara.
19
−
Untuk komposter jenis b, setelah komposter diletakkan di tengah galian yang memiliki kedalaman 40 cm dan diberi kerikil 20 cm, kemudian galian ditimbun dengan tanah. Pipa udara tepat terletak di atas permukaan tanah.
Gambar 5.8. Cara Pemasangan Komposter
5.7. Cara Pengoperasian Komposter -
Letakkan komposter di lokasi yang memungkinkan, hindari dari curahan air hujan secara langsung masuk ke komposter tersebut.
-
Masukkan sampah organik mudah terurai yang dihasilkan rumah tangga seperti sampah dapur, sisa makanan ke dalam
komposter.
Sebelum
dimasukkan
ke
dalam
komposter, sampah dengan ukuran besar sedapat mungkin diperkecil/
dipotong-potong
terlebih
dahulu
untuk
mempercepat pengomposan. Tidak semua sampah dapur dapat dikomposkan, seperti kulit telur, kulit kacang, batok 20
kelapa, bonggol jagung, karena memerlukan waktu yang lama untuk menguraikannya.
-
Bila memungkinkan, setiap ketinggian lapisan sampah mencapai 10 cm, ditambahkan serbuk gergaji, kapur, atau dedak setinggi 1 cm. Dapat pula disemprotkan larutan EM setiap hari. Serbuk gergaji/kapur/dedak dan larutan EM dapat mengurangi bau busuk yang mungkin timbul. Bila material tambahan tersebut sulit didapat, maka dapat diganti dengan potongan sampah kebun seperti rumput dan daun-daunan.
-
Untuk menyeragamkan material sampah organik dan juga untuk mendapatkan sedikit udara, dilakukan pengadukan dengan menggunakan sekop seminggu sekali.
-
Setelah komposter pertama terisi penuh, maka akan terjadi proses penguraian selama kurang lebih 4–6 bulan, dan operasional pengomposan berpindah ke komposter kedua.
-
Bila masa sampah sudah hancur menyerupai tanah, berwarna coklat kehitaman dan tidak berbau lagi, maka kompos sudah dapat dipanen dan diaplikasikan untuk tanaman hias atau taman rumah.
21
5.8.
KOMPOSTER KOMUNAL
Prinsip kerja komposter komunal hampir sama dengan komposter rumah tangga, bedanya hanya daerah pelayanan komposter komunal lebih luas yaitu mencakup satu RT/RW. Fungsinya hampir sama dengan TPS, hanya jenis sampah yang ditampung khusus untuk sampah organik rumah tangga yang mudah terurai. Komposter komunal dapat merupakan gabungan dari beberapa komposter rumah tangga yang diletakkan pada lokasi/lahan khusus.
Komposter komunal dapat pula mempunyai desain khusus, seperti beberapa contoh komposter komunal yang terlihat pada gambar 5. Komposter komunal seperti ini telah diaplikasikan di Kelurahan Kadipaten, Kodya Yogyakarta dan akan segera diaplikasikan di Kodya Magelang. Komposter komunal dikelola oleh RT/RW setempat dan kompos yang dihasilkan digunakan untuk kebutuhan warga.
0
Gambar 5.9. Komposter Komunal
22
Gambar 3.2. Komposter Komunal DAFTAR PUSTAKA: 1. Departemen
Pekerjaan
Umum,
1998.
Spesifikasi
Komposter Rumah Tangga, Standar Nasional Indonesia, Jakarta.
2. Yuni & Osawa, 1995. Kompos Sahabat Lingkungan Kita. Balai Pelatihan Air Bersih dan PLP Dept. Pekerjaan Umum. Bekasi.
23
BAB VI
DAUR ULANG DAN PENGKOMPOSAN SAMPAH KOTA 6.1.
Umum
Usaha Daur-Ulang dan Produksi Kompos (UDPK) adalah suatu unit skala kecil yang melakukan pengolahan sampah kota dengan dua fungsi sekaligus, yaitu daur-ulang dan penjualan sampah anorganik yang
mempunyai nilai ekonomis serta daur-ulang dan penjualan
sampah organik yang diproses menjadi kompos.
Gagasan UDPK ini dikembangkan sebagai salah satu alternatif penanganan sampah perkotaan yang murah, efisien dan bersahabat dengan
lingkungan.
Pengembangan
UDPK
di
pengelolaan sampah selain dapat menghasilkan
dalam
sistem
nilai
tambah
berupa kompos, juga dapat meningkatkan ketepatgunaan sektor umum, termasuk ; penghematan biaya pengangkutan, penghematan biaya pemadatan tanah, efisiensi penggunaan TPS dan mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA.
Daur-ulang dan pengomposan mempunyai potensi yang besar untuk mengurangi timbulan sampah secara berarti dan dengan demikian dapat mengurangi biaya untuk transportasi, pengolahan dan pembuangan akhir. Perkiraan potensi daur-ulang adalah 15-25 % dan untuk pengomposan adalah 30-40%, yang berarti total potensi pengurangan timbulan sampah adalah 50% yang berarti juga
1
penghematan
sebesar
50%
dalam
biaya
transportasi
dan
pembuangan.
6.2. Sarana dan Prasarana UDPK
Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sebuah UDPK mencakup perlengkapan kerja, peralatan produksi dan sarana produksi.
6.2.1. Perlengkapan Kerja 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Helm kerja Sepatu kedap air (boot) Kaus tangan plastik Pakaian kerja Masker kain Perlengkapan P3K
6.2.2. Peralatan Produksi 1. Cangkrang 2. Terowongan bambu 3. Alat tulis dan kantor 4. Termometer alkohol 5. Selang air 6. Saringan putar 7. Sekop 8. Timbangan 9. Plastik sealer (untuk pengemasan) 10. Keranjang loak 11. Papan, cat dan kuas untuk menandai tumpukan 12. Ayakan kawat dengan beberapa ukuran. 6.2.3. Sarana Produksi 1. 2. 3. 4.
Pompa Air Tempat pemilahan Tempat residu Ruang penumpukan kompos 2
5. Ruang pematangan kompos 6. Ruang penyaringan 7. Ruang pengemasan 8. Kantor 9. Kamar mandi 10. Drainase 11. Kebun uji coba Peralatan Produksi yang paling penting untuk digunakan dapat dijelaskan fungsinya sebagai berikut :
6.3.
Terowongan Bambu
Terowongan bambu terbuat dan bambu dan kayu kaso atau kayu lainnya (tergantung dan kesediaan bahan di lokasi). Pembuatan terowongan bambu harus sesuai ukuran yang ditentukan. Pembuatan terowongan bambu dilakukan sebelum proses produksi dilaksanakan dan jumlahnya disesuaikan dengan kapasitas UDPK.
GAMBAR 6.1. TEROWONGAN BAMBU
3
Terowongan bambu ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi daerah dan keuangan yang ada, misalnya di Kalimantan banyak terdapat kayu, maka aerator ini dapat dibuat dari kayu.
6.3.1. Thermometer Alkohol
Alat ini dengan mudah dapat diperoleh di apotik atau toko farmasi. Terbuat dari kaca berisi alkohol sebagai penunjuk tingginya suhu. Alat ini mudah pecah sehingga perlu disiapkan cadangannya.
Gambar 6.2. Thermometer alkohol 6.3.2. Keranjang Loak
Alat ini digunakan untuk mengangkut sampah yang sudah dipilah ke atas terowongan bambu, dan untuk mengangkut barang lapak dan residu ke lokasinya masing-masing. Alat ini dapat digantikan dengan alat lain, misalnya tandu dan kain terpal yang dibuat sendiri.
4
Gambar 6.3 Keranjang Loak
6.3.3. Ayakan Kawat Nyamuk
Ayakan ini dipakai untuk menyaring kompos matang agar sesuai kebutuhan konsumen yang beragam. Biasanya terdapat ayakan yang berbeda ukuran kerapatan kawat nyamuknya. Ayakan ini dapat dibuat sendiri karena membutuhkan ukuran yang berbeda tersebut. Biasanya ukuran kawat nyamuk adalah sebagai berikut:
-
Ukuran (5 x 5) mm untuk kompos halus
-
Ukuran (5 x 5) mm s/d (10 x 10) mm untuk kompos sedang
-
Ukuran (I0 x 10) mm untuk kompos kasar.
5
Gambar 6.4. Ayakan / Saringan Kawat Nyamuk
6.3.4. Ayakan Saringan Putar
Ayakan ini mempermudah dan mempercepat pekerjaan penyaringan. Alat ini dapat dibuat sendiri atau dipesan di toko alumunium.
Gambar 6.5. Ayakan / Saringan Putar
6
Tabel 6.1 menunjukkan jumlah alat produksi dan perlengkapan kerja yang dibutuhkan sesuai dengan skala UDPK.
Tabel 6.1. Alat Produksi dan Perlengkapan Kerja UDPK yang Dibutuhkan dan Masa Pakai Jumlah
Alat Produksi
Masa Pakai
Keterangan
-
UDPK Kecil
UDPK Besar
28-30 min. 3 3 5 5 3-6 min. 3 1
45-67 min. 6 3-6 7 7 6-12 min. 6 1
2 bulan selama belum pecah
1
1
sampai rusak
- Untuk kompos karungan - Untuk kompos 3-5 kg
o Kecil - Plastik sealer - Lori (satu roda) - Cat dan kuas - Alat tulis kantor
1 1 1 1 unit 1 unit
1 1 2 1 unit 2 unit
sampai rusak sampai rusak
-
Perlengkapan Kerja: - Topi/helm - Sarung tangan - Sarung kain - Sarung plastik - Masker - Baju kerja - Kotak PPPK
8 7 7 8 8 16 1 unit
12 11 11 12 12 24 1 unit
Alat Produksi - Terowongan bambu - Thermometer alkohol - Penusuk kayu/besi - Keranjang/loak - Cangkrang - Sekop - Ayakan kawat - Ayakan putar - Timbangan o Besar
2 bulan 3 bulan 6 bulan 3 bulan 1 tahun
kurang lebih 1 tahun 2 minggu 2 minggu 2 minggu 2 minggu 6-12 bulan sampai habis
7
6.4. Kriteria Perencanaan 6.4.1. Kriteria Umum
Ketentuan umum tentang pengoperasian UDPK adalah sebagai berikut:
Lokasi
UDPK
harus
sedekat
mungkin
dengan
daerah
pelayanan.
Luas lahan yang dibutuhkan minimal 500 m 2.
Bahan baku sampah organik dan non organik tersedia minimal 15 m2 setiap hari.
Manajemen pengoperasian UDPK perlu didukung oleh:
−
Institusi pengelola UDPK yang memadai (Lembaga Masyarakat, Dinas Kebersihan atau Swasta).
−
Biaya pengelolaan yang memadai, baik untuk biaya modal kerja, biaya operasi maupun pemeliharaan.
−
Adanya aspek peraturan yang mendukung, terutama dalam kaitannya dengan masalah pemasaran kompos.
−
Peranserta masyarakat antara lain dalam pemilahan sampah sangat diharapkan untuk meningkatkan kinerja UDPK.
6.4.2. Kriteria Teknis
Ketentuan Bahan Baku
8
Proses pengomposan yang optimum membutuhkan bahan baku organik segar yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
−
Keseragaman jenis sampah organik (sisa sayuran, buahbuahan, sisa makanan kecuali kulit telur; kulit
kacang dan
tulang, sisa daging, daun-daunan, potongan rumput, dan sebagainya); −
Sampah tidak boleh menginap di sumber sampah, maksimal berumur 2 (dua) hari sehingga belum mengalami pembusukan atau mengandung larva lalat;
−
Kelembaban/kadar air sampah 50%;
−
Nilai/rasio C/N kurang lebih 30%.
6.4.3. Pola Perletakan UDPK
Dalam merencanakan suatu lokasi pengomposan sampah kota, dapat dilakukan dua pendekatan, yaitu:
−
Mencari sumber sampah di suatu daerah tertentu dan kemudian mencari lahan yang mencukupi untuk menangani sejumlah sampah yang akan diolah (dikomposkan) tersebut;
−
Mencari lokasi yang potensial berdasarkan kriteria pemilihan lahan, dan ukuran lahan yang dipilih akan menentukan jumlah sampah yang akan diolah di lokasi tersebut.
Lokasi yang terpilih harus diukur dengan seksama, selanjutnya harus ditentukan letak daerah untuk penerimaan sampah, pemilahan, 9
penumpukan residu, tumpukan pengomposan aktif, penyaringan dan pengepakan, serta untuk kantor dan gudang tempat penyimpanan peralatan kerja. Prosentase luas daerah yang akan digunakan untuk kegiatan ini adalah sebagai berikut:
−
Kegiatan pengomposan aktif : 50 – 60%
−
Pemilahan dan penumpukan residu : 15%
−
Penyaringan dan pengepakan : 15%
−
Gudang dan kantor : 15%.
Angka-angka ini bervariasi tergantung ukuran lahan, besarnya kegiatan
pengomposan,
frekuensi
pengiriman
kompos
untuk
pemasaran dan pengangkutan residu, keberadaan lapak, dan sebagainya. Secara diagramatis perletakan kegiatan tersebut dapat dijelaskan pada gambar 6.5.
10
Lokasi Pengomposan Aktif Penyaringan dan Pengemasan
Gudang ± 10%
km/wc Pemilahan ± 10%
Kantor ± 10%
Penumpukan Residu
Lapak
Gambar 6.5.. Rencana Perletakan UDPK Keterangan:
sirkulasi hasil pemilahan sirkulasi produksi sirkulasi sampah dan residu
11
6.5.
Perhitungan Kapasitas Pengomposan
Setelah rancangan pembagian ruang dibuat, dapat ditentukan jumlah
maksimum
dari
bahan
baku
kompos
yang
mampu
ditampung. Setelah itu kita bisa menentukan jumlah sampah yang bisa ditampung di lokasi UDPK, serta jumlah residu yang harus diangkut keluar UDPK secara teratur.
Beberapa hal yang harus diperhitungkan dalam menentukan kapasitas UDPK adalah sebagai berikut:
−
Ukuran tumpukan sampah yang ideal adalah tinggi (T) maksimum : 1,5 M; lebar (L) maksimum : 1,75 M, dan panjang (P) maksimum : 2 M.
−
Jumlah sampah yang dapat dikomposkan adalah 60 – 70% sampah organik.
−
Volume setiap tumpukan sampah adalah V m 3,
−
Dimana V = P x L x T
−
Jumlah volume seluruh tumpukan = A m3, dimana:
A=nxV
n = jumlah tumpukan
Dalam menentukan jumlah maksimum tumpukan, harus ada jarak minimal 1,5 M antara tumpukan memanjang. Jarak antara tumpukan tersebut
memungkinkan
para
pekerja
memantau
suhu
dan
memudahkan pembalikkan sampah.
12
−
Kebutuhan minimum pasokan sampah selama 60 hari proses adalah :
−
P = (100/60) x A m 3
−
Pasokan sampah per hari = P/60
−
Perhitungan hasil produksi diperkirakan sebesar 25% dari jumlah tumpukan awal, karena penyusutan bahan organik yang terjadi selama proses pengomposan adalah sebanyak 75%.
Ketentuan peletakan tumpukan pada areal pengomposan dapat dilihat pada gambar 6.6.
Jumlah tumpukan bisa bervariasi tergantung volume sampah yang
Sirkulasi 1,00 m
Lokasi tumpukan, lebar = 1,75 m
Jarak kerja antar
Panjang tergantung
Gambar 6.6. Perletakan Tumpukan Pada Lokasi Pengomposan
13
6.6.
Penentuan Jumlah dan Jadwal Pemasukan Sampah
Setelah jumlah sampah yang dapat dijadikan kompos ditentukan, maka jumlah masukkan sampah yang dapat dikirim ke lokasi dapat dihitung berdasarkan asumsi bahwa 60 – 70% sampah kota dapat dikomposkan, dengan catatan bahwa hal ini tergantung daerahnya. Daerah
berpenduduk padat perkotaan hanya 30% organik, dan
daerah dengan banyak penghijauan bisa mencapai 70-80%.
Bila jumlah seluruh kebutuhan masukkan sampah (100%) telah ditentukan, maka jumlah residu dapat dihitung, yaitu sebesar jumlah seluruh sampah dikurangi volume barang lapak yang masih dapat didaur-ulang. 6.7.
Cara Kerja
Langkah-langkah
pengoperasian
UDPK
dilaksanakan
sebagai
berikut:
6.7.1. Pemilahan Sampah
Sampah yang masuk ke lokasi UDPK dipilah untuk mendapatkan bahan organik pilihan sebagai bahan baku kompos. Barang-barang yang masih dapat didaur-ulang dikumpulkan sesuai dengan kategori masing-masing, seperti botol, plastik, kaleng, besi, dan sebagainya. Demikian pula barang-barang berbahaya, seperti batu baterei harus diamankan. Sisa pemilahan disebut residu, yang secepatnya harus dikeluarkan dari lokasi pengomposan sehingga tidak menyita ruang 14
dan
mengurangi
pencemaran.
Pemilahan
sebaiknya
segera
dilakukan sehingga bahan yang mudah rusak tidak membusuk secara liar dan menimbulkan bau serta lalat. Pemilahan di sumber sampah seperti rumah tangga sangat diharapkan, sehingga dapat mempercepat proses dan membantu pekerja.
6.7.2. Penumpukan Bahan Baku Kompos
Sampah organik pilihan sebagai hasil pemilahan, kemudian disusun menjadi tumpukan di atas terowongan udara. Seperti telah dijelaskan di bab sebelumnya, tumpukan ideal adalah 1,5 M (T) x 1,75 M (L) x 2 M (P). Ukuran ini setara dengan
±
2-3 ton sampah. Langkah ini dapat
berlangsung 2-3 hari, misalnya karena bahan tidak mencukupi atau karena pemilahan tidak selesai pada hari itu. Berikut gambar tumpukan ideal dari bahan baku kompos.
Gambar 6.7. Tumpukan Ideal Bahan Baku Kompos
15
6.7.3. Pemantauan Suhu Selama 2-4 Hari Pertama
Setelah bahan baku telah selesai ditumpuk dan mencapai ukuran ideal, maka suhu tumpukan perlahan-lahan akan meningkat sampai mencapai 650C atau lebih. Suhu setinggi ini memang diperlukan selama beberapa hari guna mematikan mikroorganisme patogen, bibit gulma yang tidak dikehendaki dan membantu memperlunak bahan yang sedang dikomposkan. Tetapi suhu yang tinggi ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama, karena dapat mematikan bakteri atau mikroorganisme
yang
berperan
dalam
proses
pengomposan.
Akibatnya adalah proses akan terhenti, dan bahan baku tidak akan berubah menjadi kompos. Maka bila suhu terlalu tinggi lebih dari 4 (empat) hari, maka tumpukan harus segera dibalik.
6.7.4. Memberikan
Perlakuan
Berdasarkan
Suhu
dan
Kelembaban
Kondisi tumpukan harus terus dijaga dan terpelihara agar kegiatan pelapukan bahan oleh jasad renik dapat berlangsung dengan baik. Hal ini dilakukan dengan memberikan perlakuan pada tumpukan bahan. Kondisi tumpukan dapat diketahui dengan mengamati suhu dan kelembaban.
A. Pemantauan Suhu
Suhu yang diinginkan selama proses pelapukan berkisar antara 45650C. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer alkohol, yang ditancapkan pada 3 hingga 5 tempat pada sisi 16
tumpukan, dan kemudian dihitung rata-ratanya. Mula-mula sisi-sisi tumpukan dilubangi/ditusuk dengan alat bantu berupa besi atau kayu/bambu. Kedalaman lubang/tusukan adalah 2/3 tinggi dari tebal tumpukan tersebut. Kemudian termometer dimasukkan pada lubanglubang tersebut, dan lubang ditutup kembali sehingga yang terlihat hanya tali pengikat termometernya saja. Setelah 1-2 menit temometer dicabut dengan cara menarik tali pengikatnya. Penunjukan suhu oleh termometer harus segera dibaca dengan cepat. Kalau lambat dibaca, maka pembacaan menjadi salah karena tinggi cairan alkohol akan cepat turun akibat terpengaruh dengan suhu kamar/udara yang relatif jauh lebih rendah.
Gambar 6.7. Cara Pengukuran Suhu Tumpukan B.
Pemeriksaan Kelembaban
Kelembaban ideal yang diperlukan dalam proses berkisar 50%.
pengomposan
Cara memeriksa kelembaban bahan secara
sederhana adalah dikepal dengan tangan. Bahan di bagian dalam 17
tumpukan diambil, kemudian diremas dengan kepalan tangan. Apabila:
−
Dari remasan tidak keluar air sama sekali dan buyar bila dilepaskan
berarti
tumpukan
kering
dan
harus
dilakukan
penyiraman; −
Air mengalir cukup banyak dari sela-sela jari, berarti tumpukan terlalu basah atau kelembaban terlalu tinggi. Maka, pembalikan tumpukan harus dilakukan dengan segera;
−
Hanya muncul sedikit tetesan air dari sela-sela jari, maka kelembaban yang diinginkan telah tercapai.
Gambar6.8. Memeriksa Kelembaban Tumpukan
18
C. Perlakuan Yang Diberikan Kepada Tumpukan
Bentuk perlakuan-perlakuan pada proses pengomposan adalah melakukan pembalikan dan penyiraman. Pada waktu pembalikan tumpukan tidak jarang dilakukan penyiraman secara bersamaan. a. Pembalikan Tumpukan
Pembalikan tumpukan bertujuan: −
Membuang panas yang berlebihan (menurunkan suhu);
−
Memasukkan udara segar ke dalam tumpukan bahan;
−
Meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan;
−
Meratakan pemberian air (bila sambil menyiram tumpukan);
−
Membantu penghancuran bahan menjadi partikel yang lebih kecil.
Ada
dua
macam
pembalikan,
yaitu
pembalikan
ganda
dan
pembalikan tunggal. Gambar 6.9. dan 6.10 menunjukkan kedua cara pembalikan tersebut.
Gambar 6.9. Pembalikan Ganda
19
Keuntungan dari pembalikan ganda adalah bisa menghemat tempat dan pengaruh pembalikan lebih merata. Namun tenaga dan waktu yang dikeluarkan lebih banyak, sehingga berpengaruh terhadap biaya.
Pembalikan tunggal menuntut lahan yang lebih luas, tetapi waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit. Bila luas lahan pengomposan tidak menjadi masalah, maka pembalikan tunggal dapat diterapkan.
Gambar 6.10. Pembalikan Tunggal b.
Penyiraman Tumpukan
Penyiraman tumpukan dilakukan bila diketahui tingkat kelembaban tersebut terlalu rendah atau tidak mencukupi. Penyiraman umumnya dikerjakan pada saat pembalikan.
20
C. Pematangan Kompos
Setelah waktu berjalan kurang lebih selama 35-40 hari, akan terlihat suhu rata-rata tumpukan semakin menurun. Bahan telah lapuk dan menyerupai tanah, berwarna coklat tua atau kehitaman. Kondisi fisik ini menunjukkan bahwa bahan baku telah berubah menjadi kompos. Kompos
masuk
pada
tahap
pematangan
yang
memerlukan
pematangan selama 14 hari. Hal ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa kompos telah benar-benar matang dan untuk dapat menjamin bahwa kompos benar-benar telah aman untuk digunakan. Selama 14 hari tumpukan perlu diberi perlakuan agar mencapai tingkat kematangan yang baik. Suhu tumpukan tetap diukur selama proses pematangan berlangsung.
Untuk
menguji
apakah
kompos
sudah
benar-benar
matang,
tumpukan perlu dibalik (pematangan hari pertama). Pada hari berikutnya ternyata suhu tetap rendah seperti hari pertama, maka tumpukan dibalik lagi (pematangan hari kedua). Apabila suhu tetap berada di bawah 45 0C, maka dapat dipastikan kompos telah matang. Tetapi bila suhu kembali meningkat di atas 45 0C dalam masa pematangan, maka tumpukan perlu dibalik dan juga disiram kalau kondisi tumpukan terlalu kering.
Cara lain untuk menguji kematangan kompos, yaitu dengan menutup tumpukan dengan sehelai plastik transparan. Bila dalam satu hari terlihat adanya titik-titik uap air pada plastik tersebut, maka hal tersebut menandakan masih terjadi proses penguraian bahan 21
organik, atau dengan kata lain kompos belum benar-benar matang. Biasanya, bila kompos belum matang betul, ketika plastik dibuka maka akan timbul bau busuk yang menyengat yang menandakan jasad renik masih aktif.
Parameter yang biasa dipakai untuk menentukan kematangan adalah rasio karbon : nitrogen (rasio C/N) dari produk akhir. Selama proses berjalan, kandungan karbon menurun karena berubah menjadi karbon dioksida. Bila bahan telah menjadi kompos, rasio C/N biasanya menjadi kurang dari 20 : 1. Rasio-rasio lain antara 15 : 1 sampai 30 : 1, diusulkan sebagai batasan untuk menentukan kematangan kompos.
Ciri-ciri kompos yang telah matang adalah sebagai berikut: −
bentuk fisik tumpukan telah hancur, dan tumpukan terlihat lebih mengecil (penyusutan berat dapat mencapai 50-60% dari awalnya);
−
warna tumpukan coklat tua kehitaman menyerupai tanah;
−
selama beberapa hari suhunya tetap sama atau di bawah 45 0C.
−
Berbau tanah (tidak menimbulkan bau busuk).
6.8.
Pemanenan dan Pengemasan
Bila kompos telah matang, maka kemudian dilakukan pemanenan. Kompos dipisahkan (diayak) untuk mendapatkan butiran-butiran kompos yang kita inginkan yaitu dari butiran halus sampai kasar. Hal ini juga sekaligus menyingkirkan serpihan plastik dan bahan lain yang tidak berguna. Langkah pengayakan dan pengemasan lebih 22
tergantung kepada selera atau kemauan dari pasar (pemakai atau pembeli). Ukuran butiran kompos sangat tergantung pada ukuran lubang saringan (ayakan). Bilamana digunakan ukuran lubang yang lebih kecil lagi (misalnya 1 x 1 mm), maka akan diperoleh butiran kompos yang lebih halus lagi.
Penyaringan dapat dilakukan di mana saja; artinya, saringan dapat dipindah sesuai dengan letak tumpukan yang akan disaring. Caranya adalah sebagai berikut:
−
Dirikanlah saringan dengan menggunakan penopang kayu, sampai bidang saringan tegak kurang lebih 70 derajat.
−
Kemudian, dari jarak 1 meter, lemparkanlah satu sekop kompos ke bagian atas saringan. Lemparan harus cukup kuat, sehingga bahan dapat terdorong melalui lubang saringan.
−
Lakukanlah berkali-kali, sampai diperoleh sejumlah kompos hasil saringan di satu sisi, dan sejumlah lain yang tidak lolos di sisi lain.
−
Kompos yang tidak lolos lubang saringan dapat dikumpulkan, lalu ditumpuk menjadi tumpukan kompos baru, atau dicampurkan ke dalam tumpukan yang belum matang untuk dipanen kemudian.
23
Penyaringan kompos dapat dilihat pada gambar 6.11. berikut:
Gambar 6.11. Cara Penyaringan Kompos Kompos yang sudah disaring dikemas ke dalam kantong sesuai dengan kebutuhan pasar. Kantong yang lazim digunakan saat ini di pasaran adalah sebagai berikut:
−
Plastik kedap air, ukuran 30 cm x 25 cm untuk kompos halus seberat
−
3 kg.
Plastik kedap air, ukuran 35 cm x 29 cm untuk kompos halus seberat
−
±
±
5 kg.
Karung plastik, berukuran 90 cm x 60 cm, untuk kompos jenis halus, kasar maupun sedang seberat
±
40 kg.
Kemasan kecil biasanya untuk melayani kebutuhan rumah tangga melalui penjual eceran maupun di pasar-pasar swalayan. Sedangkan
24
kemasan besar, terutama untuk melayani kebutuhan besar seperti pertamanan, pertanian, reklamasi, dan sebagainya.
Berat
kompos
akan
mengalami
penyusutan
sesuai
dengan
kandungan airnya. Untuk kemasan yang menggunakan karung (tidak kedap air), maka air yang terkandung di dalamnya akan mengalami penguapan, sehingga kompos akan menjadi kering dan berkurang beratnya. Untuk mencegah hal ini, maka kompos dalam karung tersebut sebaiknya ditumpuk di gudang yang terlindung dari sinar matahari. Selain itu, untuk penyimpanan penyimpanan yang cukup lama lama diperlukan penyiraman untuk mempertahankan kelembaban kompos.
Kompos dalam kemasan harus disimpan dalam gudang agar aman dari pencurian. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pencatatan barang masuk-keluar, untuk memudahkan m emudahkan pengelolaan usaha.
6.9.
Potensi Pasar Kompos
Pada umumnya, sesuai dengan kegunaannya, kompos dapat dipasarkan kepada kalangan yang cukup luas. Secara garis besar, kalangan ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
6.9.1. Pencinta Tanaman
Kelompok ini umumnya memanfaatkan kompos sebagai media tumbuhan pada taman yang dikelola secara amatir atau sebagai kegemaran/hobi. Pertimbangan utamanya adalah kualitas kompos dan tidak terlalu pada pertimbangan harga. Kelompok ini antara lain 25
adalah pemilik tanaman hias, tanaman pot, kebun, dan taman rumah tangga.
6.9.2. Pengusaha Profesional
Kelompok ini menggunakan kompos sebagai salah satu masukkan dalam kegiatan usahanya. Oleh karena itu, kelompok ini umumnya sangat berkepentingan dengan harga dan kelanggengan hubungan, selain jumlah dan kualitas yang baik dan stabil. Kelompok ini terdiri dari pengusaha-pengusaha dalam bidang:
-
Pembibitan tanaman hias, hutan industri;
-
Pertanian sayur-mayur, buah-buahan, palawija, padi dan rumput;
-
Perkebunan tanaman keras seperti kopi, coklat;
-
Tambak udang dan ikan;
-
Penyewaan tanaman hias;
-
Pertamanan;
-
Padang golf dan lapangan olah raga;
-
Pengembang permukiman.
6.9.3. Pemerintah
Kelompok
yang
tidak
kalah
pentingnya
adalah
dinas-dinas
pemerintah daerah, serta instansi pemerintah yang terkait dengan hal-hal sebagai berikut:
-
Taman kota dan jalur hijau;
-
Tempat rekreasi dan lapangan olah raga; 26
-
Kebun raya;
-
Usaha pemulihan tanah kritis;
-
Usaha/proyek penghijauan;
-
Usaha reklamasi lahan;
Kelompok pencinta tanaman merupakan pangsa pasar skala kecil. Bila kompos menjadi populer di kalangan ini, maka pasarannya menjadi potensial karena pasar relatif stabil dan pembeli tidak sensitif terhadap harga. Dengan kemasan yang baik, pelayanan yang memuaskan
dan
diversifikasi
produk
untuk
berbagai
jenis
penggunaan kompos, harga jual dengan mudah dapat dinaikkan. Margin keuntungan per unit dari pangsa pasar ini dapat besar.
Kelompok pengusaha profesional dan pemerintah merupakan pangsa pasar skala besar karena mampu menyerap kompos dalam jumlah besar, namun sensitif terhadap harga.
Kompos banyak memiliki manfaat bagi masing-masing pangsa pasar tersebut di atas. Manfaat kompos terhadap beberapa usaha terutama agrobisnis adalah sebagai berikut:
6.9.4. Produksi Rumput
Petani rumput memiliki potensi yang agak rendah karena sensitif terhadap harga dan daya belinya lemah. Sedangkan pengusaha lapangan golf dan usaha rancang taman memiliki potensi cukup tinggi karena tidak terlalu sensitif terhadap harga dan daya beli kuat. 27
Manfaat agronomisnya adalah dengan pemakaian kompos, rumput dapat tumbuh lebih cepat, sedangkan manfaat ekonominya adalah penghematan pemakaian air dan dapat mencegah pembelian rumput baru pada saat musim kering.
6.9.5. Konstruksi dan Pemeliharaan
Pengusaha lapangan golf memiliki potensi yang tinggi karena tidak terlalu sensitif terhadap harga dan memiliki daya beli kuat. Manfaat agronomisnya adalah antara lain:
-
Aliran air dan udara menjadi lebih baik;
-
Mencegah erosi;
-
Menahan air lebih lama;
-
Mencegah kerusakan rumput di musim kering;
-
Tidak berbau dan mudah dipakai;
-
Bebas gulma dan jamur.
Manfaat ekonomisnya adalah dengan pemakaian kompos dapat menghemat penyiraman, karena rumput mampu menahan dan menyimpan air.
6.9.6. Pembibitan Padi
Petani memiliki potensi yang cukup tinggi tetapi sensitif terhadap harga. Petani padi biasanya membutuhkan kompos dalam jumlah 28
besar, sehingga perlu dipertimbangkan lokasi penumpukan dan penyimpanannya.
Manfaat agronomisnya antara lain adalah bibit siap ditanam seminggu lebih cepat dan secara signifikan mengurangi lamanya waktu pembibitan. Dengan demikian manfaat ekonomisnya adalah siklus produksi dapat dipercepat.
6.9.7. Sayur, Buah, Bunga dan Rempah.
Petani sayur, buah, bunga dan rempah-rempah memiliki potensi tinggi karena membutuhkan kompos dalam jumlah besar dengan daya beli yang cukup tinggi. Tetapi banyak pesaing pupuk organik lain, seperti pupuk kandang. Manfaat agronomisnya adalah:
•
Kompos dapat mencegah penyakit akar dan hama pada tanaman palawija, lada, vanili, cabe, tomat, jahe, alpokat.
•
Aerasi dan drainase yang lebih baik membuat akar tumbuh lebih besar dan lebih sehat, seperti tanaman umbi jahe, kunyit, bawang putih, dsb.
Penggunaan kompos pada jenis tanaman-tanaman di atas secara ekonomis dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia.
29
6.9.8. Tanaman Pot dan Masa Perkecambahan,
Jenis usaha yang memiliki potensi tinggi adalah usaha hortikultura, usaha tanaman (pembibitan, sewa tanaman, rancang tanaman), penggemar tanaman hias, hutan tanaman industri, dan usaha bunga potong. Hal ini disebabkan jenis-jenis usaha di atas mampu menyerap dalam jumlah besar dan memiliki daya beli tinggi.
6.9.9. Percepatan Masa Produksi
Kompos dapat mempengaruhi masa produksi. Pangsa pasar yang baik
untuk
ini
adalah
pengusaha
tambak
udang.
Karena
penyerapannya sangat tinggi.
Manfaat agronomisnya adalah:
•
Masa pertumbuhan benur udang lebih cepat setengah bulan;
•
Fisik udang lebih besar dan sehat karena lahan tambak sehat;
•
Meningkatkan pertumbuhan plankton sebagai makanan udang dan plankton tumbuh stabil;
•
Ketahanan hidup udang bertambah;
•
Berat badan udang naik dan kebutuhan makanan menurun.
Manfaat ekonomisnya adalah sebagai berikut:
•
Pemakaian kompos pada tambak udang dapat mengurangi input bahan kimia;
•
Udang menjadi lebih besar dan sehat sehingga harga meningkat; 30
•
Mencegah kerusakan lahan tambak;
•
Dengan menambah input kompos sekitar Rp. 50.000,- per 0,5 ha tambak, keuntungan bertambah minimal Rp. 500.000,-.
6.10.
PESAING KOMPOS
Agar mampu menerobos pasar, diperlukan suatu pengetahuan mengenai keunggulan dan kelemahan dari produk yang akan dijual, maupun yang menjadi pesaing. Sampai saat ini belum terdapat suatu keseragaman pengertian mengenai kompos. Banyak penjual media tanamam yang menawarkan kompos dengan variasi yang sangat luas, baik dalam arti mutu, campuran bahan serta harganya.
Sampai saat ini terdapat dua macam produsen kompos pesaing, yaitu kompos pesaing resmi (formal) dan yang tidak resmi (informal). Kompos hasil produsen informal beraneka ragam. Kompos ini dapat hilang dan timbul, dan muncul dengan nama baru. Kandungannya dapat berupa tanah bakar, sampah kebun yang dipendam, pupuk kandang yang dicampur tanah. Standar mutunya tidak dapat dijamin karena kandungannya dapat berubah tergantung bahan yang tersedia. Pesaing kompos lainnya adalah humus hutan yang biasanya dipakai oleh kebanyakan pembibitan tanaman hias di Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Tabel berikut ini adalah ciri-ciri dan pesaing kompos.
31
Tabel 6.2. Ciri-ciri Kompos dan Pesaing Kompos
URAIAN
KOMPOS UDPK
HUMUS
PUPUK KANDANG
TANAH BAKAR
Asal
Sampah kebun, sisa makanan dan sampah organik lain yang telah diseleksi
Tanah hutan
Kotoran hewan
Sampah kebun yang dibakar tanpa dipilih, kadang dicampur pupuk kandang, tanah, pasir, pupuk kimia, dsb
Kandungan
Zat hara mikro, sedikit zat hara makro
Murni alami: Kaya zat hara makro dan mikro
Mengandung N cukup banyak dapat membunuh benih yang peka dalam perkecambahan
Tidak tentu tergantung campuran.
Bahaya Pencemaran
Ada pemilahan sampah, pencemaran dapat dihindari
Pupuk organik terbaik, murni alami dan tidak tercemar
Tidak tercemar selama murni pupuk kandang
Kemungkinan tercemar logam berat dan bahan beracun
Harga
Relatif mahal
Relatif murah
Relatif murah
Murah
Kegunaan
Pembibitan, konservasi tanah, taman, RT, tambak udang, penghijauan, reklamasi, dsb
Segala jenis tanaman pada segala tahap di dalam dan di luar rumah
Tanaman di kebun, untuk di dalam rumah pupuk kandang harus betul-betul matang
Karena mutunya rendah, tidak dapat dijamin akibatnya pada tanaman
(CPIS, 1994)
32
BAB VII
PEMBIAYAAN DAUR ULANG 6.1.
Umum
Faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi
aspek
pembiayaan
pembuatan kompos dan daur ulang atau dapat juga disebut sebagai variabel ongkos produksi adalah sebagai berikut :
•
Sampah sebagai bahan baku.
•
Lahan / lokasi.
•
Teknologi.
•
Tenaga kerja.
•
Bangunan dan perlengkapan.
•
Strategi pemasaran.
•
Harga jual kompos dan materi daur ulang.
6.1.1. Sampah Sebagai Bahan Baku
Ongkos produksi pembuatan kompos dan atau daur ulang akan dipengaruhi oleh kondisi sampah, yaitu :
•
Kompos memerlukan sampah dengan komposisi organik tinggi (rata-rata di Indonesia adalah 60 - 80 %) dan kadar air tinggi (50 - 60 %). Selain itu C / N ratio sampah juga akan berpengaruh pada proses fermentasinya.
1
•
Sumber sampah, kualitas sampah yang berasal dari sumbernya akan jauh lebih baik daripada sampah di TPA (sampah di TPA telah tercampur dan kotor). Kondisi ini akan mempengaruhi kualitas kompos.
•
Pemilahan sampah, sampah yang telah dipilah dari sumbernya akan jauh lebih baik dari sampah tanpa pemilahan. Sampah organik dan atau anorganik terpilih dapat langsung dibawa ke tempat UDPK sedangkan sisanya (residu) diangkut ke TPA.
•
Jumlah sampah akan menentukan kapasitas produksi dan daerah layanan UDPK.
6.1.2. Lahan / Lokasi
Lahan / lokasi unit produksi kompos berpengaruh dalam perhitungan ongkos produksi, yaitu :
•
Lahan dekat dengan daerah pelayanan secara teknis lebih baik karena tidak memerlukan biaya transportasi, tetapi biasanya harganya relatif lebih mahal. Sedangkan lahan di TPA biayanya relatif murah namun masih memerlukan biaya transportasi.
•
Luas lahan yang tersedia akan mempengaruhi kapasitas produksi, luas lahan yang disarankan untuk skala kawasan adalah 500 m 2 (sulit mendapatkan lahan yang luas di perkotaan).
2
6.1.3. Teknologi Pembuatan Kompos Dan Daur Ulang
Pemilihan teknologi pembuatan kompos dan daur ulang penting dipertimbangkan sebagai upaya mencari ongkos produksi yang relatif tidak mahal, seperti :
•
Mesin
mekanis
pembuatan
kompos
akan
lebih
mahal
dibandingkan cara yang konvensional (manual). •
Proses daur ulang menggunakan alat mekanis (magnetic separator ) akan lebih mahal dibandingkan dengan cara manual.
•
Penggunaan media lain (cacing, bakteri) sebagai upaya mempercepat
proses
pengomposan
perlu
diperhitungkan
dengan cermat.
6.1.4. Tenaga kerja
Tenaga
kerja
yang
mengoperasikan
unit
produksi
kompos
merupakan salah satu komponen biaya O/P. Dengan demikian maka jumlah tenaga kerja perlu diperhitungkan sesuai dengan kapasitas produksinya. Jumlah tenaga kerja yang terlalu banyak maupun terlalu sedikit akan tidak efisian. Untuk itu produktivitas para tenaga kerja sangat menentukan biaya produksi.
6.1.5. Bangunan Dan Perlengkapan
Luas dan jenis bangunan serta
perlengkapan pada unit produksi
kompos berpengaruh pada perhitungan biaya investasi. Usia teknis
3
bangunan dan perlengkapan juga perlu dipertimbangkan dalam perhitungan biaya penggantian (depresiasi).
6.1.6. Strategi Pemasaran
Keberhasilan pemasaran kompos maupun materi daur ulang merupakan kunci kesinambungan produksi. Untuk itu sebelum unit produksi dibangun perlu dibuat studi pemasaran terlebih dahulu atau minimal koordinasi dengan instansi terkait seperti Dinas Kebersihan, Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Pertambangan dan lain-lain.
6.1.7. Harga Jual
Harga jual kompos dan materi daur ulang akan mempengaruhi kesinambungan produksi. Unit cost agar dihitung berdasarkan kaidah ekonomi yang berlaku serta kepentingan aspek lingkungan (kompos dapat digunakan untuk memperbaiki struktur tanah dan dapat digunakan sebagai tanah penutup TPA serta dapat mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA).
6.2.
Model Pembiayaan
Perhitungan pembiayaan produksi kompos dan daur ulang terdiri dari beberapa komponen, yaitu :
•
Biaya investasi dan depresiasi.
•
Biaya operasi dan pemeliharaan. 4
•
Bunga pinjaman.
•
Unit cost.
6.2.1. Komponen Biaya Investasi
Model biaya investasi unit produksi kompos diberikan untuk beberapa tipe pembuatan kompos seperti UDPK, vermikompos dan kompos dengan bakteri EM-4, sebagai berikut :
•
UDPK
Biaya investasi pembangunan UDPK dan perlengkapannya untuk kapasitas 15 m 3 / hari adalah sebagai berikut :
•
Biaya pembebasan lahan (luas 500 m 2), harga lahan sangat tergantung pada letak lokasi dan kota.
•
Biaya pembuatan bangunan yang meliputi kantor, kamar mandi, gudang, areal pemilihan, areal pengomposan, pagar, instalasi pompa air, instalasi listrik, saluran drainase, penyiapan lahan dan lain-lain.
Biaya
investasi
ditentukan
oleh
(permanen atau semi permanen), bentuk
jenis
bangunan
bangunan areal
pengomposan (dengan atau tanpa dinding), jenis pagar (besi, tembok atau kayu). •
Biaya pembelian perlengkapan, meliputi keranjang, cangkrang, sekop, golok, termometer, terowongan bambu, saringan, masker, sepatu boot, sarung tangan, timbangan, selang, kemasan (karung atau kantong plastik), lembaran plastik dan lain-lain.
5
•
Kompos dengan bakteri EM-4
Biaya investasi unit produksi kompos dengan bakteri EM-4 (kapasitas 15 m3 / hari) adalah meliputi : •
Biaya pengadaan lahan (luas 200 m 2). Harga lahan sangat tergantung pada letak lokasi dan kota.
•
Biaya pembuatan bangunan (bangunan kantor, gudang, areal pemilahan,
areal
pengomposan,
pagar,
saluran
drainase,
instalasi air, instalasi listrik dan lain-lain). •
Biaya pengadaan perlengkapan seperti keranjang, wadah pengomposan, selang, saringan kawat, perlengkapan kerja, timbangan, karung kemasan atau kantong plastik dan lain-lain.
•
Biaya pembelian biakkan bakteri EM - 4. Selanjutnya bakteri dapat dibiakkan sendiri.
6.2.2. Komponen Biaya Operasi Dan Pemeliharaan
Komponen biaya operasi dan pemeliharaan untuk unit produksi kompos / daur ulang secara umum adalah terdiri dari :
•
Biaya upah tenaga kerja, yang minimal sesuai dengan UMR yang berlaku. Besarnya biaya ini sangat tergantung pada jumlah tenaga kerja yang digunakan. Untuk unit dengan kapasitas produksi 15 m3 / hari, rata-rata diperlukan 6 - 10 tenaga kerja.
•
Biaya sewa tanah (apabila tidak mungkin membeli). Besarnya biaya sewa ini sangat tergantung pada letak lokasi yang dipilih.
6
•
Biaya air dan listrik, besarnya tergantung pada pemakaian air dan listrik.
•
Biaya pemeliharaan dan pergantian peralatan, berupa perbaikan bangunan, pergantian peralatan yang rusak dan lain-lain.
•
Biaya budidaya cacing (untuk unit produksi vermikompos). Biaya ini diperlukan untuk pembelian media bagi cacing.
•
Biaya pengembang biakkan bakteri (untuk unit produksi kompos dengan bakteri EM-4). Biaya ini diperlukan untuk pembelian media pertumbuhan bakteri EM-4.
•
Biaya pengangkutan residu ke TPA.
•
Biaya kantor, seminar, diklat pekerja, promosi dan lain-lain.
•
Biaya tak terduga. Biaya ini diperlukan untuk hal-hal diluar perhitungan.
6.2.3. Bunga Pinjaman
Apabila biaya investasi berasal dari dana pinjaman, maka bunga pinjaman harus diperhitungkan sebagai salah satu komponen dalam menentukan ongkos produksi dan penentuan harga jual kompos. Besarnya bunga pinjaman tergantung dari mana sumber dana tersebut (dana BLN atau pinjaman bank), besarnya antara 10 - 20 %.
6.3.
Unit Cost
Perhitungan unit cost produksi kompos dihitung berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
7
Biaya produksi, meliputi biaya depresiasi (biaya investasi dibagi
•
dengan umur teknisnya), biaya operasi dan pemeliharaan serta bunga pinjaman. Biaya ini dihitung untuk satu tahun.
Kapasitas produksi kompos dihitung berdasarkan asumsi 25 %
•
dari sampah curah atau 50 % dari sampah organik. Sebagai contoh apabila kapasitas sampah curah adalah 15 m 3 / hari maka produksi komposnya diperkirakan akan menjadi 3 - 4 m 3 perhari. Produksi kompos ini kemudian dihitung untuk 1 tahun.
Unit cost dihitung dari pembagian biaya produksi terhadap jumlah
•
produksi kompos, sehingga didapat unit cost per m 3 kompos atau per kilogram kompos.
Contoh model biaya usaha unit produksi kompos
6.4.
Contoh Perhitungan Biaya Pendirian UDPK (Studi CPIS di Jakarta, 1993)
Berikut ini adalah contoh perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan UDPK skala kawasan, dengan kriteria sebagai berikut :
1. Luas lahan 500 M2, dengan perincian : •
Areal pengomposan
: 275 m2
•
Areal pemilahan
: 35 m2
•
Areal penumpukan residu
: 20 m2
•
Areal pengayakan
: 30 m2
8
•
Bangunan
: 50 m2
•
Areal batas
: 85 m2
2. Pasokan sampah 15 m3 / hari. 3. Jumlah tenaga kerja :8 orang (tenaga untuk proses pengomposan saja).
4. Produksi kompos total : 600 - 700 kg . 5. Waktu proses pengomposan rata-rata 60 hari. Berdasarkan asumsi tersebut diatas, maka kebutuhan biaya yang dihitung berdasarkan eskalasi dari
harga-harga di Jakarta tahun
1993 adalah sebagai berikut :
1. Investasi bangunan dan areal pengomposan : Rp. 20.000.000,2. Biaya pengadaan peralatan / perlengkapan : Rp. 2.000.000,3. Biaya modal kerja (3 bulan)
: Rp. 5.400.000,-
Jumlah total
: Rp. 30.000.000,-
Perkiraan hasil usaha UDPK tersebut diatas adalah sebagai berikut No
Komponen Biaya
I
Pengeluaran
I.1
Modal :
Investasi
Modal Biaya O /P (3 bulan)
I.2.
Depresiasi / tahun
I.3.
Operasional / tahun
Biaya (Rp. )
20.000.000,5.400.000,5. 080.000,-
supply sampah
-
penumpukan residu
1.000.000,9
No
Komponen Biaya
Biaya (Rp. ) 18.750.000,-
Tenaga kerja
Sewa lahan
3.750.000,-
Peralatan
5.250.000,-
I.4.
Pemeliharaan / tahun
300.000,-
I.5.
Bunga pinjaman menggunakan jasa bank)
(bila
Total Pengeluaran / tahun
3.710.000,- (rata-rata 15 %)
38.160.000,-
II
Penerimaan / tahun
II.1.
Penjualan barang lapak
1.300.000,-
II.2.
Penjualan kompos
37.700.000,-
Total Penerimaan
39.000.000,-
III
Perkiraan Keuntungan
840.000,-
Sumber : CPIS, 1993 & eskalasi (investasi 100 %, O/P 50 % dan penerimaan 30 %)
6.5.
Contoh
Perhitungan
Biaya
Pembuatan
Kompos
dengan Bakteri EM-4
Berikut ini adalah contoh perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan
unit
produksi
vermikompos
skala
kawasan
(hasil
penelitian Puslitbang Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum, 1998/1999), dengan kriteria sebagai berikut :
•
Luas lahan : 100 m2.
•
Lokasi di TPA.
•
Kapasitas 2,5 m3 / hari. 10
•
Jumlah tenaga kerja : 4 orang.
•
Waktu proses pengomposan rata-rata 21 - 30 hari.
•
Proses menggunakan bakteri EM-4.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan kompos dengan Bakteri EM-4 adalah sebagai berikut :
No
Komponen Biaya
I
Pengeluaran
1.1.
Investasi :
1.2.
Biaya (Rp.)
Bangunan
10.000.000,-
Peralatan
500.000,-
Pengadaan Bakteri EM-4 per tahun
Operasional per tahun
/
4.013.000,-
Pemeliharaan
Gaji / upah
Air
Listrik
75.000,-
Packing
27.700,-
Sewa lahan
Pemeliharaan
10.203.300,200.000,-
150.000,1.600.000,-
1.3.
Bunga
1.300.000,-
II
Penerimaan
2.340.000,-
Hasil penjualan kompos Sumber : Hasil Penelitian Puslitbangkim , 1998 / 1999 Catatan : - Biaya produksi per kg sampah adalah Rp. 85,- Biaya produksi per kg kompos adaalah Rp. 250,11